You are on page 1of 17

PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2007


TENTANG PEMBENTUKAN DESA DALAM WILAYAH
KABUPATEN MAMUJU UTARA

A. Latar Belakang Masalah

Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia karena sejak berdirinya negara

kesatuan Republik Indonesia sudah dikenal adanya otonomi daerah yang

dipayungi oleh Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 1. Sedangkan inti dari

pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah

(dioscretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar

prakarsa, kreatifitas, dan peran serta masyarakat dalam rangka mengembangkan

dan memajukan daerahnya.

Perubahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah kepada

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pusat dan Daerah, kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa perubahan yang fundamental

dalam sistem Pemerintahan Daerah, yaitu dari sistem pemerintahan yang

sentralistik kepada desentralisasi. Sistem pemerintahan desentralisasi ini

merupakan penyelenggaraan pemerintahan dititik beratkan kepada daerah

1
Syamsudin Haris, Desentralisasi & otonomi Daerah, LIPI
Press, Jakarta, 2005 hal. 101

1
Kabupaten/Kota sehingga daerah Kabupaten/Kota memiliki keleluasaan untuk

mengelola rumah tangga daerahnya dengan prinsip otonomi daerah, Ketetapan

MPR Nomor XV/ MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah yang

berbunyi sebagai berikut :

“Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan


kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan Pusat dan Daerah. Disamping penyelenggaraan Otonomi Daerah
juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah yang didukung oleh semangat otonomi, pelaksanaan yang berkualitas
serta sarana dan prasarana yang memadai”

Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Otonomi

daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian ini memberikan implikasi

bahwa Pemerintah Pusat memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah

untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Daerah dengan inisiatifnya sendiri

dapat menyelenggarakan Pemerintahan Daerah dengan membuat peraturan-

peraturan daerah.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

menempatkan Pemerintah Daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan

daerah. Sesama unsur pemerintahan daerah pada dasarnya kedudukan Pemerintah

Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) adalah sama, yang membedakannya

adalah fungsi, tugas dan wewenang serta hak dan kewajibannya. Karena itu

hubungan yang harus dibangun antara Pemerintah Daerah dan DPRD mestinya

2
adalah hubungan kemitraan dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang

baik (good local governance )

Luasnya kewenangan daerah otonomi ini terlihat dari ketentuan pasal 10

ayat (3) UU No.32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa urusan Pemerintah Pusat

adalah meliputi : (1) Politik Luar Negeri; (2) Pertahanan (3) Keamanan; (4)

Yustisi; (5) Moneter dan fiskal nasional; dan (6)Agama, sementara diluar urusan

itu, merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk menyelenggarakannya.

Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk menjamin, mekanisme

demokrasi ditingkat daerah untuk menampung dan menyalurkan aspirasi

masyarakat baik untuk kepentingan daerah setempat maupun untuk mendukung

kebijaksanaan politik nasional dalam era reformasi saat ini. Untuk menjapai

tujuan dimaksud Undang-undang No.32 tahun 2004 menekankan tiga faktor yang

mendasar sebagai berikut :

1. Memberdayakan masyarakat.

2. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas

3. Meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan meningkatkan peran

dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat.

Ketiga faktor tersebut diatas point 1 dan 2 merupakan demokratisasi, daerah

yang harus ditumbuh kembangkan, sehingga otonomi yang diberikan pusat

kepada daerah betul-betul dirasakan mamfaatnya oleh rakyat didaerah, sedangkan

point tiga adalah berkaitan dengan fungsi-fungsi yang dipunyai DPRD sebagai

Badan Perwakilan Rakyat.

3
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, posisi DPRD ditempatkan

pada posisi yang sangat strategis dan menentukan dalam pelaksananaan otonomi

daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD merupakan lembaga

perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Fungsi pengawasan peraturan daerah sangatlah penting yang memberikan

kesempatan kepada DPRD untuk lebih aktif dan kreatif menyikapi berbagai

kendala terhadap pelaksanaan PERDA. Melalui pengawasan dewan, eksekutif

sebagai pelaksana kebijakan akan terhindar dari berbagai penyimpangan dan

penyelewengan, dari hasil pengawasan dewan akan diambil tindakan

penyempurnaan memperbaiki pelaksanaan kebijakan tersebut. Untuk menghindari

berbagai kesalahan administratif dalam tata laksana birokrasi pemerintahan daerah

tanpa mereka sadari dapat bermuara pada dugaan tindak pidana koropsi bagi

pejabat publik yang menanggani urusan publik tersebut, dengan adanya

pengawasan DPRD akan dapat memberikan perlindungan yang cukup efektif

terhadap eksekutif dalam menjalankan tata laksana birokrasi pemerintahan secara

optimal .

Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh DPRD adalah pengawasan politik,

yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPRD) terhadap

lembaga eksekutif ( Kepala Daerah,Wakil Kepala Daerah besarta perangkat

daerah) yang lebih bersifat kebijakan strategis dan bukan pengawasan teknis

maupun administratif, sebab DPRD adalah lembaga politik seperti penggunaan

4
anggaran yang telah dialokasikan disalah gunakan untuk hal-hal yang merugikan

rakyat dan negara.

Fungsi, tugas, wewenang dan hak DPRD diharapkan DPRD mampu

memainkan perannya secara optimal mengemban fungsi kontrol terhadap

pelaksanaan peraturan daerah. Tujuannya adalah terwujudnya pemerintahan

daerah yang efisien, bersih, berwibawa dan terbebas dari berbagai praktek yang

berindikasi koropsi, kolosi dan nepotisme ( KKN ). Menurut Mardiasmo 2 ada tiga

aspek utama yang mendukung keberhasilan otonomi daerah, yaitu pengawasan,

pengendalian,dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda baik

konsepsi maupun aplikasinya.

Pengawasan mengacu pada tingkatan atau kegiatan yang dilakukan diluar

pihak eksekutif yaitu masyarakat dan DPRD, untuk mengawasi kinerja

pemerintahan. Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh

pihak eksekutif (pemerintah Daerah) untuk menjamin dilaksanakanya sistem dan

kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Pemeriksaan

Audit merupakan kegiatan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki

kompetensi profesional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah

telah sesuai dengan standar atau kreteria yang ada.

Tugas dan wewenang DPRD melaksanakan pengawasan terhadap

pelaksanaan peraturan daerah terdapat dalam pasal 42 huruf c Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004 mengatakan : Tugas dan wewenang DPRD melaksanakan

pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-

2
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah,
Yogyakarta, 2002 hal 219

5
undangan lainya peraturan Kepala Daerah, APBD, Kebijakan Pemerintah Daerah

dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama Internasional

di daerah.

Fungsi pengawasan DPRD mempunyai kaitan yang erat dengan fungsi

legislasi, karena pada dasarnya objek pengawasan adalah menyangkut

pelaksanaan dari PERDA itu sendiri dan pelaksanaan kebijakan publik yang telah

tertuang dalam PERDA.3. Kewengangan DPRD mengontrol kinerja eksekutif agar

terwujud good governance seperti yang diharapkan rakyat. Demi mengurangi

beban masyarakat, DPRD dapat menekan eksekutif untuk memangkas biaya yang

tidak perlu, dalam memberikan pelayanan kepada warganya. 4

Peningkatan peran legislatif (DPRD) yang sebenarnya dimaksudkan agar

terciptanya “check and balances”, ternyata telah menimbulkan keadaan yang

tidak diharapkan sering terdengar pernyataan penolakan anggota DPRD terhadap

laporan pertanggung jawaban kepala daerah jauh sebelum laporan tersebut

disampaikan, dibahas dan diklarifikasi disertai ancaman akan dijatuhkan misi tak

percaya. Hal ini bearti fungsi pengawasan DPRD tidak profesional.

Kewenangan DPRD untuk mengawasi pelaksanaan PERDA hanya

disebutkan dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004 pasal 42 huruf c tanpa

dirinci lebih lanjut tentang batas kewenangan serta cara pengawasan. Akibatnya

masing-masing DPRD menjabarkan fungsi pengawasan sesuai dengan apa yang

diinginkanya, akhirnya fungsi pengawasan seringkali menjadi alat politik tertentu

3
Inosentius Syamsul, Meningkatkan Kinerja Fungsi legislasi
DPRD, Adeksi, Jakarta, 2004, hal.73
4
Syamsuddin Haris, op.cit. hal 147

6
dan tidak menjadi alat penyempurnaan kinerja politik yang demokratis dan

akuntabel.

Persoalan yang kemudian timbul adalah apakah bentuk Pengawasan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Pelaksanaan Peraturan Daerah

Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Desa Dalam Wilayah Kabupaten

Mamuju Utara sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang No.32 tahun 2004

Tentang Pemerintah Daerah

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka

permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut, yakni :

1. Bagaimanakah bentuk Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Terhadap Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang

Pembentukan Desa Dalam Wilayah Kabupaten Mamuju Utara

2. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi kendala pengawasan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah

Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Desa Dalam Wilayah

Kabupaten Mamuju Utara.

C. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan pada bagian

sebelumnya, maka Penulisan ini bertujuan :

7
1. Untuk mengetahui dan mengkaji secara lebih mendalam mengenai

Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Pelaksanaan

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Desa Dalam

Wilayah Kabupaten Mamuju Utara.

2. Untuk mengerahui faktor-faktor yang menjadi kendala pengawasan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3

Tahun 2007 Tentang Pembentukan Desa Dalam Wilayah Kabupaten Mamuju

Utara.

D. Mamfaat Penulisan

Selain mempunyai tujuan yang jelas maka suatu karya tulis haruslah

mempunyai manfaat adapun manfaat yang diharapkan dari Penulisan ini adalah:

1. Dari segi teoritis hasil Penulisan ini akan diperoleh pemahaman baru yang

terkait dengan pengembangan Hukum Administrasi Negara khususnya

pengkajian terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dalam pelaksanaan PERDA .

2. Dari segi praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

terhadap para penyelenggara pemerintahan daerah, khususnya dalam rangka

perumusan kebijakan pengawasan pelaksanaan PERDA.

E. Landasan Teoritis

Berbicara mengenai pengawasan peraturan daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah kita tidak bisa terlepas dari pembicaraan mengenai

pengawasan pemerintahan daerah oleh penrerintah pusat. Oleh karena itu,

8
landasan teoretis dari penulisan ini tidak akan terlepas dari konsep pembagian

kekuasaan dan susunan organisasi negara, baik secara horisontal maupun secara

vertikal. Pengawasan bisa berialan bilamana dalam suatu pemerintahan terjadi

pembagian kekuasaan antara organ negara atau antara organ pemerintahan daerah

secara tegas. Dalam teori pembagian kekuasaan negara dikenal berbagai paham.

Paham yang paling tua dikenal dalam pembagian kekuasaan negara adalah paham

yang dikemukakan oleh John Locke dalam bukunya yang terkenal 'Two Treaties

on Civil Governmenf. John Locke memisahkan kekuasaan negara dalam tiga

bidang, yaitu:

a. Kekuasaan dalam bidang legislatif (kekuasaan dalam pembuatan undang-

undang);

b. Kekuasaan di bidang Eksekutif (kekuasaan dalam melaksanakan atau

menjalankan undang-urtdang)

c. Kekuasaan Federatif (kekuasaan di bidang hubungan luar negeri yang

berupa perjanjian atau perserikatan dengan orang-orang, lembaga atiau

negara lain),1

Teori pembagian kekuasan dari John Locke tersebut di atas, kemudian

dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya yang beriudul 'L Esprit des

Lois" yang belakang sangat dikenal dengan ajaran Trias Politika. Ajaran ini sangat

laus pengaruhnya dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Ajaran

Trias Politika membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bidang yang terpisah satu

sama lain, yaitu :

a. Pouvoir Legislatief yaitu kekuasaan pembuatan undang-undang,

9
b. Pouvoir Eksekutief , yaitu kekuasaan untuk melaksanakan segala sesuatu

yang diperintahkan oleh undang-undang,

c. Pouvoir Yudikatief, yaitu kekuasaan untuk menjaga agar undangundang

dimaksud dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan

tujuannya.2

Walaupun ajaran Trias Politika ini cukup luas pengaruhnya tetapi tidak

semua negara secara murni menerapkan sepenuhnya teori atau ajaran Mol

rtosquieu terebut karena dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan digunakan

azas Chek and Balance dimana antiara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan

legislatif terjadi saling mengawasi satu sama lain.

Pengawasan pemerintahan tidak hanya dilakukan oleh badan atau organ di

luar struktur pemerintahan tetapi dilakukan juga di dalam intemal pemerintahan

dalam hubungan organisasi atasan dan organisasi bawahan yang tercermin dalam

susunan organisasi negara.

Susunan oraganisasi Negara Indonesia terdiri atas dua susunan utama

yakni; Susunan organisasi negara tingkat pusat dan susunan organisasi negara

tingkat daerah. Susunan organisasi negara tingkat pusat mencerminkan seluruh

cabang-cabang pemerintahan dan fungsi kenegaraan pada umumnya. Susunan

organisasi negara tingakt pusat telah ditentukan secara tegas dalam UUD 1945

yaitu; Majelis Permusyuraratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Penrakilan

Rakyat Daerah (DPR), Dewan Penrakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK). Badan-

badan kenegaraan ini disebut Lembaga-Lembaga Negara. Susunan organisasi

10
negara tingkat daerah terbatas pada susunan penyelenggaraan pemerintahan di

bidang eksekutif dan Legislatif Daerah dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Organisasi negara tingkat daerah pembentukannya

berdasarkan semangat Pasal 18 UUD 1945, kemudian diatur lebih lanjut dalam

peraturan organik, sebagai pelaksanaan dari UUD 1945. Dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pelaksanaan dari

Pasal 18 UUD 1945, ditemukan organisasi negara tingkat daerah yaitui badan

eksekutif daerah dan Dewan Penrakilan Rakyat (DPRD). Badan eksekutif daerah

terdiri dari; Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Darerah dan lembaga teknis lainnya

yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah.

Organ administrasi negara yang tercermin dalam susunan pemerintahan

adalah pemangku jabatan. Jabatan menunjukan suatu lingkungan keria tetap yang

berisi wewenang tertentu. Kumpulan wewenang momberikan kekuasaan untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa dari jabatan itulah lahir wewenang organ administrasi negara untuk

melakukan tindakan pemerintahan. Jabatan sebagai lingkungan pekerJaan tetap

mempunyai garisgaris

batas tertentu. Batas-batas tersebut meliputi materi, tempat dan waktu.a

Setiap penggunaan wewenang diluar batas-batas itu merupakan

merupakan 'tindakan melanggar wewenang', yang menurut Waline sebagaimana

dikutip Philipus M. Hadjon dibedakan atas : onbevoqdheid ratione materiae,

onbevoegdheid ratione loci, dan onbevoegdheid ratione temporis. Lebih lanjut

dijelaskan onbevoegdheid ratione materiae berarti bahwa organ administrasi

11
melakukan tindakan dalam bidang yang tidak termasuk wewenangnya.

Onbevoegdheid ratione loci berarti bahwa organ administrasi negara melakukan

tindakan yang melampauhi batas wilayah kekuasaannya. Onbevoegdheid ratione

temporis terjadi apabila wewenang yang digunakan telah melampauhi jangka

waktu yang telah ditetapkan untuk wewenang itu.

Kewenangan diterjemahkan dari kata 'authority, gezag' atau yuridiksi.

Sedangkan Wewenang diterjemahkan dari kata "compotence, bevoegheid'.5

Kewenangan adalah kekuasaan diformalkan, baik terhadap segolongan orang

tertentu maupun dalam bidang p',merintahan secara bulat yang bersumber dari

konstitusi dan atau peraturan perundang-undangan. Wewenang adalah bagian dari

kewenangan itu, mengenai suatu bidang tertentu saja, Kewenangan adalah

keseluruhan wewenang yang melekat pada pejabat sehingga ruang lingkupnya

jauh lebih luas dari ruang lingkup w€wenang. Wewenang adalah suatu hak yang

lahir karena adanya suatu kekuasaan, penggunaann)': tidak hanya tertuju bagi

kepentingan diri atau individu pomegangnya saja, melainkan tertuju pula pada

kepentingan orang lain.

Penggunaan wewenang mengandung unsur kepentingan umum yang

mewajibkan untuk dilaksanakan bila keadaan memerlukannya. Jika tidak

dilaksanakan dapat menimbulkan tanggapan negatif dari pihak yang

berkepentingan. Sejalan dengan penyelenggaaraan otonomi daerah yang

memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara

proporsional kepada daerah, di mana masyarakat dan pemerintah daerah diberikan

12
kesempatan yang luas untuk mengatur, menggali dan mengembangkan daerahnya

atas segala potensi yang dimilikinya.

Pembentukan peraturan daerah yang baik dan adil sebagai instrumen

yuridis dalam mengatur, mengurus, menggali dan mengembangkan segala potensi

yang dimiliki daerah menurut prakarsa sendiri merupkan tuntutian kebutuhan

yang mutlak harus dipenuhi. Sasarannya agar daerah mampu secara maksimal

memanfaatkan segala potensi daerah, memiliki kemandirian yang sungguh-

sungguh dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Otonomi daerah subtansinya

adalah pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada

daerah, sebagai wujud kongkrit makna kedaulatan rakyat.

Keberadaan daerah otonom dan aparat pemerintahannya harus dimaknai

sebagai pengorganisasian, pengaturan dan pengurusan kepentinganmasyarakatnya

dalam menciptakan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat hanya dapat

dicapai jika berada di bawah koordinasi dan bantuan pemerintah daerah yang

memiliki kemandirian. Dalam konteks demikian, pemberdayaan masyarakat

/daerah selaku subyek pembangunan melalui peraturan daerah menjadi suatu hal

yang mutlak dilaksanakan secara berkesinambungan. Sehubungan dengan itu,

Gubemur, Bupati dan Wali Kota bersama-sama dengan DPRD akan membentuk

peraturan daerah dalam rangka peneyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Harapan

Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, peraturan

daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain,

13
dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 136 ayat (4) UU No

32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah).

Peraturan daerah ini dimaksudkan untuk memberikan payung hukum bagi

pemerintah daerah dalam menggali, dan mengolah potensl daerah dalam rangka

mendukung pembangunan di daerah. Peraturan daerah, disamping sebagai alat

melegitimasi segala tindakan pemerintah daerah dalam melaksanakan

pembangunan, juga harus difungsikan sebagai instrumen hukum dalam memenuhi

tuntutan kebutuhan dan kepentingan masyarakat daerah dalam peningkatan

kesejahteraannya. Oleh karena itu produk hukum-PERDA ha rus aspi ratif-

parsitipatif . Fungsi peraturan daerah adalah menyelenggarakan pengaturan hal-

hal pokok mengenai kewenangan yang di desentralisasikan kepada daerah.

Pengaturan tslsebut, secara implisit mengharapkan produk hukum-PERDA

subtansi materinya memuat materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau

kehendak masyarakat yang dilayaninya dan tidak boleh bertentang undang-

undang yang lebih tinggi,

Berkaitan dengan itu, maka diperlukan pengawasan peraturan daerah

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh pemerintah. Untuk melakukan

pengawasan telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 20CE-

Tentang Pemerintahan daerah, Pasal 145 ayat (1) bahwa PERDA disampaiakan

kepada pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. PERDA

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang betentangan dengan kepentingan

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan

oleh pemerintah (ayat 2\.

14
Keputusan pembatalan PERDA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditentukan dengan peraturan presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak

diterimanya PERDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paling lama 7 (tujuh)

hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala

Daerah harus memberhentikan pelaksanaan PERDA dan selanjutnya DPRD

bersama Kepala Daerah mencabut PERDA dimaksud. Apabila

provinsi/kabupater/kota tidak dapat menerima keputusan pembatialan PERDA

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh

peraturan perundangundangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan

kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut

menyatakan peratutan presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan

hukum, Apabila pemerintah tidak mengeluarkan peraturan presiden untuk

membatalkan PERDA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PERDA dimaksud

dinyatakan berlaku.

F. Metode Penelitian

Untuk membahas permasalahan yang dikemukakan penulis di atas maka

metode Penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut

1. Tipe Penelitian

Tipe Penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini

adalah Peneltian Normatif, yakni mendekati masalah yang diteliti dengan


5
menggunakan sifat hukum yang normatif, karena dalam Penulisan ini hukum
5
Haliman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau
Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal. 60-63.

15
dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat

yang berwenang. Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas

pada peraturan perUndang-Undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang

diteliti.

2. Pendekatan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan perundang-

undangan (Statute approach) 6 yaitu dengan menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum dan pendekatan historis
7
(Historical approach) yaitu pendekatan dalam kerangka pelacakan sejarah

lembaga hukum dari waktu ke waktu, dan memahami filosofi dari aturan hukum

dari waktu ke waktu juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi

yang melandasi aturan hukum tersebut serta memadukan dengan pendekatan

konseptual yakni pendekatan yang beranjak dari perundang-undangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.

3. Bahan Hukum

Dalam Penulisan ini penulis menggunakan Bahan Hukum Primer, Bahan

Hukum Sekunder ahan Hukum Tersier dan Byakni :

a. Bahan Hukum Primer, berupa ketentuan

perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang Dasar 1945, Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum

yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan
6
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta 2005, Hlm.96
7
Ibid hlm. 126

16
untuk membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer

tersebut, yang meliputi buku-buku, literatur, laporan-laporan, teori-teori,

dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalah dalam

penulisan karya ilmiah ini dimana bahan hukum sekunder ini dapat

menunjang bahan hukum primer yang ada.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedi

maupun sumber hukum lainnya yang sejenis dan berhubungan dalam

Penulisan ini.

4. Analisis

Selain pendekatan penulisan serta bahan-bahan hukum, penulisan ini juga

ditunjang dengan bahan hukum yang diperoleh yang kemudian akan di olah atau

di analisis yaitu :

a. Secara kualitatif yang pengkajiannya secara keseluruhan terhadap produk

prundang - undangan dan berbagai literatur yang ada kaitannya dengan

objek Penulisan.

b. Hasil Penulisan akan di uraikan secara deskriptif .

17

You might also like