You are on page 1of 250

Editor:

LEENA AVONIUS & SEHAT IHSAN SHADIQIN

ADAT
dalam Dinamika Politik

ACEH
Adat
dalam
Dinamika
Politik
Aceh
ADAT
dalam Dinamika Politik

ACEH
Editor:
Leena Avonius & Sehat Ihsan Shadiqin

Banda Aceh
2010
Diterbitkan pertama kali pada November 2010,
hasil dari proyek penelitian pertama ICAIOS
‘Adat dalam Dinamika Politik Aceh’
yang dilakukan sepanjang tahun 2009-2010

Editor:
Leena Avonius dan Sehat Ihsan Shadiqin.

Proofreader:
Husaini Nurdin

Editor Bahasa:
T. Murdani dan Lukman Emha

© 2010, ICAIOS.
Gedung PT ISB
Universitas Syiah Kuala
Jl. T. Nyak Arief, Darussalam
Banda Aceh. 23111. Indonesia

Cetakan 1, November 2010

Diterbitkan oleh
International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS)
bekerjasama dengan
Aceh Research Training Institute (ARTI)

xvi + 228 h. 13 x 20 cm.


ISBN: 978-979-1234567

Tataletak dan sampul dirancang dengan huruf Lucida oleh Khairul Umami.
Foto sampul milik Sehat Ihsan Shadiqin

Hak cipta dilindungi Undang-undang.


Kontributor

LEENA AVONIUS
Leena Avonius menerima gelar doktornya pada jurusan
Antropologi dari Universitas Leiden pada tahun 2004. Setelah
menyelesaikan penelitian pascadoktoralnya di Renvall Institute
Universitas Helsinki dalam tahun 2008, dia mulai bekerja di
International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS)
sebagai Direktur Internasional.

NUR LAILA
Nurlaila adalah dosen di Fakultas Ushuluddin. Alumni Program
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Aktif di Lembaga
Jaringan Masyarakat Adat Aceh Besar (JKMA). Banyak penelitian
yang dilakukan berkaitan dengan adat, di antaranya Adat Pantang
Blang dan Pergeserannya di Aceh Besar. Enumerator untuk
beberapa penelitian di antaranya Peran Perempuan dalam Proses
Penyelesaian Masalah oleh Perangkat Adat di Gampong. Penelitian
dengan lembaga ACARP tentang Gampong Bangkit dan Gampong
tidak Bangkit Setelah Tsunami di Calang. Enumerator untuk
penelitian MDF tentang Keterlibatan Masyarakat Lemah dalam
Pengambilan Keputusan di Tingkat Gampong, juga pernah terlibat
dalam penelitian Perempuan dan Proses Perdamaian di Aceh.
Dapat dihubungi di: laila_lamsie@yahoo.com
vi KONTRIBUTOR

ZULKARNAINI
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Teuku
Umar Meulaboh. Menyelesaikan pendidikan Pascasarjana di
Universitas Kebangsaan Malaysia dalam bidang Theology of
Philosophy. Pernah meneliti tentang Respon dan Tanggapan
Siswa beserta Guru terhadap Keberadaan Universitas Teuku Umar
(2007), Pengarusutamaan Gender di Kecamatan Meureubo, Aceh
Barat (2007). Zulkarnaini Muslim dapat dihubungi lewat email:
zulkarnaini_ma@yahoo.co.id atau metazul@ymail.com

SEHAT IHSAN SHADIQIN


Tercatat sebagai dosen di Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh. Menyelesaikan pendidikan Pascasarjana di IAIN Ar-
Raniry Banda Aceh pada tahun 2002. Aktif melakukan penelitian
sosial keagamaan, terutama berhubungan dengan sufisme, adat
budaya, syariat Islam dan politik lokal di Aceh. Saat ini sedang
menyelesaikan pendidikan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dalam bidang Islamic Studies. Bisa dihubungi melalui email:
sehatihsan@yahoo.com
Prakata
dari ICAIOS dan Tim Peneliti

International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS)


didirikan pada tahun 2008. Keputusan untuk membangun satu
lembaga penelitian antar-universitas yang kuat dibuat bersama
Gubernur Aceh, BRR dan tiga universitas lokal (Universitas
Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry and Universitas Malikussaleh). Pusat
penelitian ini berada di lingkungan kampus di Darussalam, Banda
Aceh. Selain memfasilitasi penelitian akademik yang merupakan
kerja sama antara Aceh dan institusi international, pusat penelitian
ini juga mendukung transformasi Aceh dengan cara menawarkan
sejumlah training untuk akademisi, perwakilan-perwakilan
pemerintahan dan juga rakyat sipil.

Buku ini adalah hasil dari proyek penelitian pertama ICAIOS ‘Adat
dalam Dinamika Politik Aceh’ yang dilakukan sepanjang tahun 2009-
2010 dengan dana bantuan BRR yang memungkinkan pekerjaan
ICAIOS dalam bulan-bulan awal. Tiga peneliti yang terlibat dalam
proyek penelitian pendek ini ingin mendekati istilah adat dari
perspektif yang baru dan menganalisis bagaimana posisi lembaga
adat dan tradisi-tradisi adat berperan dalam perkembangan politis
di daerah-daerah Aceh dalam masa transformasi ini. Apakah Aceh
mengalami revitalisasi adat yang cukup kuat sebagaimana daerah
lain di Indonesia sejak Orde Baru dan proses desentralisasi? Hasil
viii PRAKATA DARI ICAIOS DAN TIM PENELITI

investigasi mereka bisa kita membaca dalam buku ini. Kami harap
buku ini bisa berfungsi sebagai alat pembuka diskusi tentang
posisi adat dan lembaganya di Aceh, dan menginspirasi peneliti-
peneliti yang lain untuk mengeksplorasi isu ini secara lebih lanjut
dan dalam.

Sebuah karya akademik lahir dari proses diskusi yang panjang


yang melibatkan banyak orang dengan berbagai perannya. Oleh
sebab itu kami berterima kasih kepada semua orang yang telah
terlibat dalam menyelesaikan karya ini baik secara langsung
maupun tidak. Ucapan terima kasih terutama kami berikan kepada
narasumber kami di Aceh Besar, Nagan Raya dan Bener Meriah yang
telah menyediakan waktu untuk berbagai pengetahuan mengenai
daerahnya. Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada semuanya,
beberapa nama kami sebutkan di sini. Bapak Michael Leigh dan
Harold Crouch dari Aceh Research Training Institute (ARTI) yang
memberikan fasilitas untuk kelancaran penelitian ini. ARTI juga
mendanai penertiban hasil penelitian kami dalam buku ini. Ibu
Eka Srimulyani dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Minako Sakai
dari The University of New South Wales Canbera, Argo Twikromo
dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Richard Chauvel dari
Victoria University di Melbourne, dan Silvia Vignato dari Bicocca
University, Milan, yang masing-masing telah memberikan masukan
dan koreksi untuk kesempurnaan penelitian yang kami lakukan.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada staf ARTI dan ICAIOS
Aceh yang telah melakukan yang terbaik untuk kesempurnaan
penelitian ini.
Pengantar

oleh: Minako Sakai

ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH IS A WELCOME


addition to our social science studies on Acehnese society in
contemporary Indonesia. There are several reasons to celebrate
the publication of this book. Although it is a relatively small
collection of ethnographic accounts, this volume has significant
implications for social science studies of Aceh.
First of all, the prolonged conflict between Jakarta and Aceh
(1976- 2005) has prevented local researchers from undertaking
empirical research in the field. This has been particularly
damaging for a discipline like anthropology where extensive
ethnographic fieldwork over time is expected to play a central
role in the analysis. DOM and conflicts have made such tasks
nearly impossible. Secondly, because of the nearly three decade-
long military conflict, access to research resources for local
academics was limited. In particular, access to basic library
resources at the tertiary level lagged for a long time behind the
rest of Indonesia. The tsunami in December 2004 swept away
x ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

much of Banda Aceh, which further reduced the capacity to


undertake empirical research within the Achenese population.
Five years after the Helsinki peace treaty, we are now seeing
the first fruits of peace in Aceh, as shown in this collection.
The three authors, Sehat Ihsan Shadiqin, Laila and Zulkarnaini
are local Acehnese researchers who embarked on documenting
the implications of political and social change undertakings in
Acehnese communities under the guidance of ARTI-ICAIOS.
Dr Avonius, a social anthropologist, has encouraged these
researchers to bravely undertake ethnographic research in
three regions of Aceh: Aceh Besar, Nagan Raya and Bener
Meriah.
The theme which runs through this volume is the role of
adat in the community, which is indeed timely. The role of
revival of adat has been one of the important areas of research
in anthropology and politics of Indonesia since regional
autonomy was implemented in 2001 in Indonesia. The central
government of Indonesia introduced regional autonomy to
transfer decision-making power to local governments as part
of democratisation following the fall of the strongly-centralised
governance of Suharto in 1998. An area, which this policy was
expected to encourage and grow was that of regional identities
and cultures. During Suharto’s rule, administrative governance
and the educational curriculum were determined by the
central government. Particularly UU No. 5 1974 and UU No.
5 1979 significantly curtailed the authority of the indigenous
governance system, which led to erosion of hukum adat, the
basis of regional cultures and values across the archipelago.
In response, efforts were made to revive local administrative
PENGANTAR xi

governance and to claim communal land associated with


these administrative units. For example, in West Sumatra the
traditional governance system, nagari, was officially revived,
but to date the nagari still lacks interest from community
members to assume adat-related office, or communal resources
to re-establish nagari as a truly functional social organisation.
From a comparative perspective, ethnographic case studies
on the revival of adat in Aceh highlight interesting insights
into the politics of adat in contemporary Indonesia. This is
especially true in Aceh where Islamic law was implemented
as part of special autonomy, while UUPA in 2006 also
stipulated that adat be used for governance. Consequently,
the contestation continues to exist between the use of adat
and Islamic law in settling cases and disputes in the daily
lives of Acehenese. Furthermore, the peace agreement and the
Tsunami disaster have brought together a large number of
foreign-funded NGOs in Aceh, some of which work on gender-
equity issues in Aceh. As demonstrated in Laila’s work, NGOs
and international community’s agenda further have further
created polemics in the lives of Achenese. Zulkarnaini’s work
shows contention and rivalry among the local royals who are
the two main founders of the region. However, the interesting
outcomes are that the state, Pemerintah Nagan Raya, funds
for kenduri, one of the main adat events in the region. This
highlights the fact that in contemporary Aceh, the revival of
adat involves not only community participation but also state
financial support. Sehat’s work on Gayo shows the complexity
of the meaning of adat. The meaning of adat is not limited to a
single understanding and efforts to revive adat have inherently
xii ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

a political nature. Thus, the meaning of adat is being reinvented


to suit the modern life of the Gaya who live in Aceh.
I encourage the readers to share this book on the dynamics
of the politics of adat in Aceh, as seen by local researchers
from Aceh.

September 2010
The University of New South Wales, Australia
Daftar Singkatan
dan Istilah

AMAN : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara


BRR : Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias
Dayah : Lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren di
Jawa
DOM : Daerah Operasi Militer
DPRA : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
DPRK : Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota
GAM : Gerakan Aceh Merdeka
HAM : Hak Asasi Manusia
IAIN : Institut Agama Islam Negeri
ICAIOS : International Center for Aceh and Indian Ocean
Studies
Imum : Imam, biasanya sebagai pemimpin dalam hal agama,
namun sering juga dipercayakan sebagai pemimpin
upacara adat
IOM : International Organization for Migration
JKMA : Jaringan Komunitas Masyarakat Adat
KKTGA : Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh
KPA : Komite Peralihan Aceh
LAKA : Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh
LKMD : Lembaga Kerukunan dan Musyawarah Desa
LMD : Lembaga Musyawarah Desa
xiv DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat


MAA : Majelis Adat Aceh
Meunasah : Bangunan di gampong-gampong yang digunakan
untuk kepentingan ibadah maupun untuk kepentingan
sosial masyarakat
MoU : Memorandum of Understanding
MPD : Majelis Pendidikan Daerah
MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama
NAD : Nanggroe Aceh Darussalam
NGO : Non-Govermental Organization
ORBA : Orde Baru
Polmas : Perpolisian Masyarakat
Polri : Polisi Republik Indonesia
PWI : Persatuan Wartawan Indonesia
Qanun : Peraturan Daerah (Perda) baik di tingkat kabupaten
maupun provinsi
Raqan : Rancangan Qanun
RI : Republik Indonesia
Teungku : Ulama, kyai, ustaz
TNI : Tentara Nasional Indonesia
UNDP : United Nations Development Program
Unsyiah : Universitas Syiah Kuala
UU : Undang-Undang
UUPA : Undang-Undang Pemerintahan Aceh
Daftar Isi

Kontributor v

Prakata dari ICAIOS dan Tim Peneliti vii

Pengantar
Minako Sakai ix

Daftar Singkatan dan Istilah xiii

Daftar Isi xv

Pendahuluan: Revitalisasi Adat di Indonesia dan Aceh


Leena Avonius dan Sehat Ihsan Shadiqin 1

Revitalisasi Peradilan Adat di Aceh Besar


Nur Laila 25

Revitalisasi Lembaga Adat di Nagan Raya


Zulkarnaini 69

Wacana dan Peran “Orang Adat” dalam


Revitalisasi Adat Gayo
Sehat Ihsan Shadiqin 111

Daftar Pustaka 155

Lampiran
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 169
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 187
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2006 215

Indeks 225
Pendahuluan:
Revitalisasi Adat di Indonesia
dan Aceh
oleh: Leena Avonius dan Sehat Ihsan Shadiqin

JATUHNYA REZIM ORDE BARU DI BAWAH KEPEMIMPINAN


Suharto pada 1998 telah menyebabkan lahirnya berbagai
perkembangan baru dalam tata pemerintahan di Indonesia.
Salah satu perkembangan tersebut adalah lahirnya otonomi
daerah, yaitu dengan menggantikan Undang-Undang No. 5
tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
dan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Pengantian dasar hukum juga terjadi
dalam keuangan daerah dengan lahirnya Undang-Undang No. 25
tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah kemudian
direvisi menjadi UU. No. 32 tahun 2004.
Peraturan tentang otonomi daerah tersebut dipersiapkan
dan diimplementasikan dengan cepat pada tahun-tahun
pertama era reformasi yang penuh semangat membangun
Indonesia baru berbasis regionalisme. Penggantian ini
2 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk


mengembangkan kreatifitas dan menjadikan daerah lebih baik
sesuai dengan potensi dan kemampuan yang ada. Aspek positif
yang juga dirasakan adalah kesempatan membangun kembali
institusi-institusi adat lokal yang telah dihalangi oleh kebijakan
sentralisasi pada masa pemerintahan Suharto. Kesempatan
membangun kembali adat ini menjadi demikian penting karena
Indonesia adalah negara yang punya kemajemukan tinggi
dalam budaya dan kemasyarakatan. Pada masa Orde Baru
kemajemukan ini dilihat sebagai ancaman terhadap kesatuan
negara. Akibatnya, sistem pemerintahan menjadi sentralistis
dan seragam. Sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru daerah-
daerah Indonesia ikut membangun sistem pemerintahan baru
yang berbasis penghormatan terhadap -bukan hanya tradisi
dan seni tetapi juga- lembaga-lembaga sosio-politik masyarakat
dan kepentingan lokal.
Beberapa daerah di Indonesia termasuk Aceh tidak ikut
menikmati kesempatan yang dibuka oleh UU Otonomi Daerah.
Di Aceh ada dua alasan untuk ini. Pertama, sudah sejak 1950-
an Aceh punya otonomi yang diatur dalam undang-undang
sendiri. Pada tahun 2001 Undang-Undang No. 18 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diperbaharui status Aceh
sebagai daerah istimewa. Alasan yang kedua, meskipun Aceh
pada tahun 1998 tidak lagi dikategorisasikan sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM), provinsi ini tetap termasuk sebagai
daerah konflik, dan pemerintahan sipil tidak berfungsi dengan
baik. Peraturan-peraturan tentang otonomi daerah maupun
tentang otonomi khusus tidak dapat diimplementasikan secara
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 3

optimal. Apalagi pada tahun 2003 Aceh kembali ditetapkan


sebagai Daerah Operasi Militer yang setahun kemudian
menjadi status Darurat Sipil. Baru setelah proses perdamaian
yang terakhir ini mulai tahun 2005 situasi di Aceh menjadi
lebih kondusif untuk otonomi daerah. Undang-Undang No.
11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh meletakkan dasar
yang baru untuk mengimplementasikan peraturan-peraturan
tentang otonomi daerah di Aceh, termasuk pasal-pasal khusus
tentang lembaga-lembaga adat dan posisi adat pada umumnya.
Dalam bagian ini kami akan diskusikan latarbelakang
historis, legal dan politik yang perlu diketahui untuk mengerti
secara dalam artikel-artikel selanjutnya yang menganalisis
revitalisasi adat yang terjadi di tiga kabupaten di Aceh setelah
munculnya UU-PA pada tahun 2006.

Adat dan Warisan Pemerintahan Kolonial


Perbincangan mengenai adat dan pemerintahan di Indonesia
sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dan tidak bisa
dimulai dari jatuhnya Orde Baru. Sejak masa penjajahan Belanda
adat menjadi bagian dari kepentingan politik pemerintahan.
Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Sukarno
setelah Indonesia merdeka, zaman Orde Baru di bawah rezim
Suharto sampai zaman reformasi sekarang ini. Meskipun
hubungan antara adat dan pemerintahan yang terbangun pada
setiap pemerintahan berbeda-beda, namun secara umum setiap
rezim menggunakan adat sebagai bagian dari kesuksesan
pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, adat telah
menjadi bagian dari sistem politik pemerintahan Hindia-
4 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Belanda dalam melancarkan imperialismenya melalui kebijakan


hukum adat (adatrecht) (Davidson, 2007).1 Konsep adatrecht
ini dikembangkan dari Universitas Leiden di mana Cornelis
van Vollenhoven (1876–1933) menjadi tokoh utamanya. Ia
mendefinisikan adat sebagai tata aturan dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia, dengan kata recht, sebuah kata yang
secara konvensional diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai
‘law’ atau ‘hukum’ dalam bahasa Indonesia (Fasseur, 2007: 51).
Definisi adat sebagai hukum meminggirkan aspek-aspek adat
yang lain seperti tradisi-tradisi sosial, religius dan seni, maupun
kekuasaan ekonomi dan politik yang berbasis adat.
Van Vollenhoven dan teman-temannya di Leiden turun
ke lapangan di pulau-pulau Hindia-Belanda dengan tujuan
membuat kompilasi-kompilasi hukum adat. Akhirnya mereka
harus mengakui bahwa model hukum Eropa (Roman Law)
kurang cocok dengan kenyataan dalam praktek-praktek adat
yang lebih ke arah rekonsiliasi. Meskipun begitu, pengertian
adat sebagai hukum tetap hidup di Indonesia sampai sekarang
(Avonius 2004: 114). Bab-bab selanjutnya dalam buku ini juga
membuktikan bahwa adat sebagai sistem hukum dan rekonsiliasi
sekarang masih hidup di gampong-gampong di Aceh.
Apa yang dilakukan Cornelis van Vollenhoven sesuai
dengan kebijakan “politik etis” dan prinsip ’indirect rule’
(pemerintahan tidak langsung) yang dilakukan oleh pemerintah
Hindia Belanda. Pada prinsipnya pemerintah kolonial tidak
mau campur tangan dengan kehidupan masyarakat pribumi

1
Istilah adatrecht sendiri pertama kali disebutkan oleh C. Snouck Hurgronje
dalam bukunya "De Atjehers" (1908) untuk memberi nama pada satu sistem
pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 5

di desa-desa, tetapi dengan waktu yang sama otonomi desa


sangat dibatasi oleh keinginan ekonomi dan politik Belanda.
Pendekatan kontroversial pemerintah kolonial terhadap
masyarakat pribumi ini juga diwarnai oleh orientalisme dan
paternalisme. Program hukum adat ini bisa kita lihat sebagai
suatu perhatian paternalistik atas kesejahteraan penduduk
pribumi Indonesia, yang dianggap terancam oleh proses
pembangunan komersial dan westernisasi yang tak terkendali
(Biezeveld, 2007: 205 dari Kahn, 1993). Dalam pengertian
pemerintah kolonial masyarakat pribumi punya tradisi yang
kuat tetapi belum mampu mengurus daerahnya sendiri
tanpa pendukungan dan instruksi dari Belanda. Kebijakan ini
memiliki pengaruh besar dalam sistem peradatan di Nusantara
dengan kekuasaan pemerintahan Belanda yang tidak terbatas.
Satu contoh dari pengaruhnya politik kolonial yang
masih terlihat adalah ’desa’ sebagai kesatuan administratif.
Sampai akhir abad ke-19 komunitas-komunitas di Nusantara
mempunyai sistem sosio-ekonomi yang beragam. Bentuknya
gampong dan dusun (atau apa saja namanya) yang berada
sebelum desa-desa dibuat bervariasi tergantung budaya dan
sistem sosial lokal. Pembatasan desa administrasi tidak selalu
cocok dengan pembatasan desa adat, contohnya kita masih
bisa lihat misalnya di Bali di mana ’desa dinas’ dan ’desa adat’
dibedakan (Warren, 1991).
Dengan kedatangannya desa administrasi posisi komunitas
lokal terhadap negara juga berubah. Misalnya di Aceh gampong
punya posisi otonom yang cukup tinggi, dan pada umumnya
gampong mengurus masalahnya sendiri. Selain gampong ada
juga mukim, sejenis pengurus adat yang mewakili beberapa
6 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

gampong terhadap raja. Kita tidak perlu menjadi terlalu


romantis kalau lihat masa lalu di gampong di bawah kerajaan,
pasti ada kekurangan dalam sistem itu juga. Tetapi ada juga
mekanisme-mekanisme yang menghindari raja menguasai
secara sewenang-wenang. Yang menjadi masalah pada masa
kolonial adalah perubahan yang tidak lengkap: Belanda
ingin membangun sistem administrasi yang modern dengan
melahirkan desa-desa administrasi, tetapi dengan waktu
yang sama pemerintah penjajahan memposisikan sendiri
sebagai raja tanpa mengubah posisi tersebut. Akibatnya desa
yang menggantikan gampong itu meletak dalam posisi yang
jauh lebih lemah terhadap negara daripada gampong yang
digantikannya.
Warisan kolonial memengaruhi sistem hukum dan
pemerintahan pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Sikap
pemerintahan Sukarno terhadap adat ternyata tidak kalah
kontroversialnya dengan masa kolonial. Di satu sisi pemimpin-
pemimpin nasionalis merasa adat kurang cocok dengan sistem
masyarakat modern yang mau dibangun di Indonesia. Sistem
adat dianggap sesuatu yang kuno dan penuh feodalisme. Di
sisi lain, beberapa tokoh yang cukup berperan dalam nation-
building mendapatkan pendidikan di Belanda dan karena itu
mereka dipengaruhi oleh pikiran-pikiran van Vollenhoven yang
sudah dibicarakan di atas. Satu contoh yang cukup baik adalah
Supomo, ahli hukum dan adat yang juga alumni Universitas
Leiden. Supomo ikut terlibat dalam merancang Undang-Undang
Dasar Indonesia. Model integralisme yang ditawarkan Supomo
diwarnai oleh ’tradisionalisme romantik.’ Sistem integralisme
Supomo mengutamakan hubungan harmonis antara penguasa
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 7

dan masyarakat, dan melihat bahwa sistem berbasis adat yang


hierarkis di mana si penguasa mengambil keputusan yang dia
melihat terbaik tanpa konsultasi dengan masyarakat masih
bisa bertahan dalam negara modern (Bourchier, 2001: 113-
114). Pada waktu yang sama orang yang lain, seperti Sukarno
sendiri, justru melihat adat dan desa sebagai contoh pergaulan
hidup bersama yang demokratis. Sebenarnya posisi-posisi yang
berbeda ini bisa saja kita dapat dalam adat yang tidak pernah
seragam dan sederhana.
Meskipun debat tentang posisi lembaga adat cukup panas
pada 1950-an dan banyak pihak yang menganggap adat
sesuatu yang sangat penting, ternyata sistem-sistem adat
dibiarkan. Sistem pemerintahan pada umumnya lemah pada
masa Orde Lama. Kalau kita lihat sistem hukum, tidak banyak
kaum elit politik yang ingin memelihara sistem pengadilan
adat yang diutamakan pada masa kolonial. Di awal 1950-an
peradilan-peradilan adat dihapus hampir di seluruh Indonesia
dan digantikan dengan peradilan negara (Bourchier, 2007: 117-
118). Lembaga-lembaga adat yang lain juga tidak mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah yang lebih fokus membangun
sistem administrasi negara yang modern.

Institusi Adat dalam Pemerintahan Orde Baru


Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto
institusi adat mendapat tantangan yang lebih besar lagi. Hal
ini disebabkan kebijakan sentralisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Suharto. Sentralisasi merupakan kebijakan di
mana pemerintah melakukan intervensi sampai pada tingkat
pemerintahan lokal pedesaan. Hal ini dilakukan dengan
8 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

membentuk jaringan administrasi yang ketat dan serupa di


seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan ini tertuang dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan
Desa. Alasan utama yang dimunculkan adalah kebutuhan
pembangunan dan efektifitas pemerintahan. Akibatnya adalah
munculnya suatu sistem yang paling sentralistis dan tidak
punya fleksibilitas sedikitpun untuk memperhatikan keperluan-
keperluan yang ada di daerah-daerah negara yang luas ini.
Pemerintah Orde Baru tetap mengakui kemajemukan
budaya dan masyarakat Indonesia, dan juga posisi adat sebagai
dasar pluralisme. Tetapi adat hanya diposisikan sebagai seni
dan budaya (Acciaioli, 1985). Di beberapa daerah ritus-ritus
adat dipasarkan untuk dijual kepada wisatawan domestik
dan internasional. Hukum adat secara teoritis tetap diakui
sebagai satu sumber hukum yang dipakai dalam penyelesaian
kasus-kasus di pengadilan, tetapi dalam praktis hakim-
hakim jarang memperhatikannya. Selama pemerintahan
Orde Baru banyak institusi lokal dikebiri oleh pemerintah
dan tidak dapat dijalankan. Misalnya sistem pemerintahan
runggun (lembaga kekerabatan Adat Karo), Kerapatan Adat
Nagari (dalam masyarakat Minangkabau Sumatra Barat), dan
sistem pemerintahan mukim yang ada di Aceh dan berbagai
sistem pemerintahan lokal yang ada di berbagai daerah lain
di Indonesia (Rosnidar, 2003: 1). Lembaga-lembaga adat yang
masih berperan dalam sistem pemerintahan lokal dipinggirkan
oleh lahirnya lembaga LMD dan LKMD. Tokoh-tokoh adat
tidak terlibat lagi dalam pengambilan keputusan dalam desa
secara formal, meskipun mungkin masih dihormati sebagai
ahli adat dan tradisi oleh masyarakat setempat. Karena itu
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 9

di kebanyakan komunitas keahlian adat yang dipegang oleh


tokoh-tokoh adat tua tidak dapat dibelajari oleh generasi
muda. Akibatnya, banyak pengetahuan adat sudah hilang dan
tidak bisa dibangun kembali.

Otonomi Daerah dan Kebangkitan Institusi Adat


Jatuhnya pemerintah Suharto pada 1998 menjadi momentum
yang sangat penting dalam kebangkitan adat di Indonesia.
Beberapa daerah menggunakan kesempatan ini sebagai awal
menguatkan kembali sistem adat yang ada di daerahnya
masing-masing. Kejatuhan Suharto bisa dianggap sebagai awal
dari berakhirnya hegemoni pemerintah terhadap institusi
pemerintahan lokal berdasarkan adat. Di bawah pemerintahan
B.J. Habibie, Indonesia memasuki babak baru dalam sistem
pemerintahannya dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi
Daerah di mana daerah-daerah memiliki kewenangan dalam
membangun sistem pemerintahan dan pengelolaan keuangan
sendiri. Kewenangan mengelola pemerintahan yang disebutkan
dalam UU Otonomi Daerah bermakna adanya kesempatan kepada
masyarakat adat di berbagai daerah untuk mengembalikan
peran adat dalam kehidupan sosial dan pemerintahan lokal.
Dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru ini maka
komunitas-komunitas lokal di berbagai daerah di Indonesia
mulai bangkit dan menjalin komunikasi. Komunikasi antar
daerah ini difasilitasi oleh beberapa LSM-LSM Indonesia.2 Dari
komunikasi ini lahir sejenis gerakan yang dinamakan diri

Khususnya WALHI yang menjadi aktor utama pada tahun-tahun awal


2

menaikkan kesadaran masyarakat adat di Indonesia.


10 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

sebagai gerakan masyarakat adat. Pada tanggal 21 Mei tahun


1999 masyarakat adat di seluruh Indonesia melakukan kongres
yang pertama di Jakarta dan menyimpulkan beberapa hal:
1. Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi
landasan kehidupan Masyarakat Adat yang utama;
2. Adat di Nusantara ini sangat majemuk, karena itu tidak
ada tempat bagi kebijakan negara yang berlaku seragam
sifatnya.
3. Jauh sebelum negara berdiri, Masyarakat Adat di Nusantara
telah terlebih dahulu mampu mengembangkan suatu
sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan
dipahami sendiri. Oleh sebab itu negara harus menghormati
kedaulatan Masyarakat Adat ini.
4. Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari makhluk
manusia yang lain oleh sebab itu, warga Masyarakat Adat
juga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut
nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk itu seluruh tindakan
negara yang keluar dari kepatutan kemanusiaan universal
dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang dipahami oleh
Masyarakat Adat harus segera diakhiri.
5. Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan,
Masyarakat Adat Nusantara wajib untuk saling bahu-
membahu demi terwujudnya kehidupan Masyarakat Adat
yang layak dan berdaulat.3
Kesimpulan dalam pertemuan masyarakat adat pada awal
rezim reformasi ini menunjukkan adanya kesadaran akan

Keputusan Kongres Masyarakat Adat No. 02/KMAN/1999 tanggal 21


3

Maret 1999 tentang deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).


PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 11

ketertindasan masyarakat adat pada masa pemerintahan Orde


Baru dan keinginan untuk bangkit kembali pada masa reformasi.
Keinginan ini akan dilakukan dengan penghargaan terhadap
aspek-aspek spesifik yang ada dalam setiap masyarakat adat
yang ada di Indonesia.
Selama sepuluh tahun terakhir gerakan masyarakat adat
cukup berperan di daerah-daerah Indonesia dalam membangun
pemerintahan yang dasarnya sistem sosial dan budaya lokal.
Lembaga-lembaga adat yang lemah ataupun sempat hilang
pada masa Order Baru dibangun kembali. Generasi mudapun
jauh lebih tertarik pada adat dan pengetahuan lokal. Generasi
muda sering mengikut proses revitalisasi lembaga-lembaga
adat karena keterlibatannya LSM-LSM lokal maupun nasional
yang memfasilitasi proses tersebut. Misalnya di Aceh Jaringan
Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) adalah satu LSM lokal
yang terlibat dalam gerakan masyarakat adat. Perkembangan
ini tidak serupa di seluruh Indonesia, di beberapa daerah
masyarakat adat menjadi aktor yang sangat kuat, tetapi di
daerah-daerah lain setelah antusiasme awal gerakan ini tidak
dapat posisi kuat dalam pemerintahan lokal.
Para peneliti sudah cukup banyak menulis tentang adat
pada masa reformasi ini, dan lebih khusus tentang gerakan
masyarakat adat yang didiskusikan di atas. AMAN sendiri sudah
menertibkan beberapa buku yang menjelaskan tujuan dan
kegiatan anggota-anggota jaringan ini (Kartika dan Gautama,
1999). Ada beberapa perkumpulan artikel yang mendiskusi
perkembangan-perkembangan di berbagai daerah di Indonesia
(Davidson dan Henley, 2007; Sakai, Banks dan Walker, 2009,
Sakai, 2002). Ahli-ahli antropologi menganalisis revitalisasi
12 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

adat secara lebih dalam di beberapa daerah, misalnya Acciaioli


(2001, 2002) dan Li (2001) di Sulawesi, Avonius (2004) di
Lombok, Twikromo (2008) di Sumba, Benda-Beckmann dan
Benda-Beckmann (2001) di Sumatra Barat, dan Davidson
(2007) di Kalimantan Barat. Dengan buku ini kami harap bisa
membuka ruang diskusi dan analisis tentang perkembangan di
Aceh, yang sampai sekarang belum termasuk sebagai analisis
revitalisasi adat di Indonesia.

Aceh, Konflik dan Perdamaian


Kebangkitan adat di berbagai daerah di Indonesia sebagaimana
tergambar dalam penelitian-penelitian yang tersebut di atas
tidak serta merta sama dengan apa yang terjadi di Aceh.
Pascajatuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan
Suharto, di Aceh konflik panjang di antara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia (RI)
terus berlanjut. Konflik bersenjata yang terjadi di Aceh pada
awal reformasi ini menyebabkan banyak efek dari kebijakan
pemerintah Indonesia di bawah rezim reformasi tidak
berkembang, termasuk kebijakan mengenai Otonomi Daerah.
Meskipun pemilihan umum tahun 1999 dan 2004 di Aceh
dilaksanakan sebagaimana di daerah lain di Indonesia, namun
dari sisi partisipasi masyarakat dan proses pelaksanaannya
dipengaruhi oleh tekanan konflik dan perang bersenjata antara
pasukan TNI/Polri dengan GAM.
Kondisi di atas menyebabkan revitalisasi adat di Aceh tidak
seiring dengan apa yang terjadi di daerah lain di Indonesia.
Namun demikian bukan berarti di Aceh tidak ada usaha ke arah
revitalisasi tersebut. Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 13

dan lokal Aceh memberikan dampak pada usaha revitalisasi


adat. Misalnya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan
Aceh menegaskan kembali bahwa Aceh adalah daerah istimewa
dalam bidang adat, agama dan pendidikan.4 Penyelenggaraan
keistimewaan tersebut menurut Pasal 3 ayat (2) meliputi: (1)
penyelenggaraan kehidupan beragama, (2) penyelenggaraan
kehidupan adat, (3) penyelenggaraan pendidikan, dan (4) peran
ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan UU ini
pemerintah memberikan ruang kepada masyarakat adat lokal
untuk bangkit dam memungkinkan kembali adat yang ada
dalam masyarakat mereka.
Status keistimewaan Aceh dikonfirmasikan dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kebijakan ini
menyebabkan lahirnya tiga lembaga baru di Aceh yaitu Majelis
Adat Aceh (MAA) yang mengurus masalah adat; Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) yang membidangi masalah
agama Islam dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) yang
mengurus masalah pendidikan. MAA merupakan perubahan
dari Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) yang dibentuk
pada masa Gubernur Aceh Prof. Ali Hasjmy (1957-1964). Pada
tahun 2003 muncul juga sebuah qanun yang cukup penting
yaitu Qanun No. 4 Tahun 2003 Tentang Mukim.
Tetapi pada masa pemerintahan Megawati Sukarnoputri
tahun 2003 di Aceh kembali dilakukan Operasi Militer, dan

4
Dasarnya keistimewaan Aceh meletak dalam perjanjian perdamaian
setelah konflik Darul Islam pada tahun 1959.
14 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Undang-Undang Otonomi Khusus tidak dapat dilaksanakan. UU


tersebut juga cukup banyak dikritisi oleh kelompok-kelompok
masyarakat di Aceh maupun pemerhati dari luar daerah ini.
Kritik umum yang muncul adalah bahwa pada pemerintah
Aceh jauh lebih banyak memfokuskan untuk membangun
sistem Syariat Islam dan menguatkan MPU. Karena itu pasal-
pasal tentang adat dan posisi MAA sebagai lembaga yang
seharusnya sekuat MPU termarjinalisasikan. Baru setelah
proses perdamaian mulai tahun 2005 dan dasar hukum yang
baru tentang Pemerintahan Aceh muncul tahun kemudian
revitalisasi adat mulai nampak di Aceh.

UU-PA dan Revitalisasi Adat


Pada tahun 2005 perjanjian perdamaian antara Pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ditulis dalam satu
Memorandum of Understanding (MoU) yang berfungsi sebagai
dasar untuk mengundangkan dan mengimplementasikan
pemerintahan sendiri di Aceh. MoU tersebut belum banyak
membicarakan adat, kata tersebut hanya disebut satu kali
dalam pasal 1.1.6. yang menetapkan bahwa qanun-qanun di
Aceh harus “menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat
rakyat Aceh.” Dan meskipun tidak menyebut kata adat pasal
selanjutnya (1.1.7.) yang tentang pembentukannya Lembaga
Wali Nanggroe juga tidak kalah pentingnya terhadap proses
revitalisasi lembaga adat di Aceh.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan damai dan untuk
mengimplementasikan MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia
telah mengeluarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-
PA) No. 11 Tahun 2006. Saat itu, Undang-Undang Nomor 18
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 15

Tahun 2001 dicabut dan diganti dengan UU-PA. Dalam Undang-


Undang tersebut, keberadaan lembaga adat dijelaskan secara
lebih spesifik.5 Bab XII membicarakan tentang Lembaga Wali
Nanggroe dan memposisikan Wali Nanggroe sebagai pemimpin
adat yang tertinggi di Aceh. Bab XIII mendaftarkan tigabelas
lembaga adat6 yang harus difungsikan dan berperan “sebagai
wahana partisipasi masyarakat” dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh di tingkat kabupaten/kota maupun
provinsi. Secara lebih detail, Bab XV menjelaskan mengenai
mukim dan gampong.
Untuk pelaksanaan pasal-pasal UU-PA tentang Adat
Pemerintah Aceh telah mengeluarkan beberapa regulasi di
tingkat provinsi: Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, serta Qanun No. 10 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat. Kedua qanun tersebut di satu
sisi menjadi indikasi keseriusan Pemerintah Aceh dalam
upaya menjadikan adat yang ada di Aceh berlaku kembali dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan
Aceh. Di sisi lain ini juga dapat menjadi sebuah “sentralisasi”
yang dilakukan Pemerintah Aceh terhadap pluralitas adat yang
ada di berbagai kabupaten di Aceh. Saat ini Aceh memiliki 23
kabupaten yang setiap kabupaten memiliki perkembangan adat

Pasal-pasal UU-PA tentang adat bisa dilihat di lampiran buku ini.


5

6
Tigabelas lembaga tersebut adalah: 1) Majelis Adat Aceh, 2) imum mukim
atau nama lain, 3) imum chiek atau nama lain, 4) keuchik atau nama lain, 5)
tuha peut atau nama lain, 6) tuha lapan atau nama lain, 7) imum meunasah
atau nama lain, 8) keujruen blang atau nama lain, 9) panglima laot atau nama
lain, 10) pawang glee atau nama lain, 11) peutua seuneubok atau nama lain,
12) haria peukan atau nama lain, dan 13) syahbanda atau nama lain. (UU-
PA, Pasal 98(3))
16 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

tersendiri. Di daerah yang mayoritas dihuni oleh suku Aceh


sekalipun memiliki adat yang khas. Misalnya perkembangan
adat yang ada di Aceh Barat berbeda dengan adat di Aceh
Timur, meskipun pada dasarnya mereka sama-sama Aceh.
Perbedaan ini lebih besar lagi pada suku-suku kecil yang ada
di kabupaten lain, seperti suku Gayo, Alas, Kluet dan lainnnya.
Implikasi dari UU-PA maupun qanun-qanun provinsi ini
adalah pemerintah kabupaten diminta untuk menghidupkan
kembali lembaga adat Aceh di wilayahnya masing-masing.
Setiap kabupaten diwajibkan menyusun qanun mukim sendiri
sebagai wujud dari pemerintahan adat di daerahnya. Dalam
qanun mukim akan diatur mengenai kelembagaan adat yang
lain yang pernah ada di Aceh seperti keujruen blang, panglima
laot, pawang glee, etua seuneubok, haria peukan, dan lain
sebagainya. Bahkan ada kecenderungan memahami lembaga
mukim sebagai sebuah pemerintahan di tingkat mukim, di
mana selain memiliki pemimpin eksekutif (imum mukim) juga
memiliki anggota legislatif yang disebut tuha lapan. Lembaga
mukim juga diharapkan masuk menjadi bagian dari birokrasi
resmi pemerintahan yang membawahi beberapa buah gampong.
Di level provinsi, kelembagaan adat ini akan dipegang oleh
sebuah lembaga yang disebut dengan Wali Nanggroe. Pasal
96 (1) UU-PA menjelaskan bahwa Wali Nanggroe merupakan
“kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang
independen, berwibawa, dan berwenang membina dan
mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga
adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-
upacara adat lainnya.” Selama beberapa tahun terakhir ini
tuntutan agar lembaga Wali Nanggroe terealisasi semakin
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 17

menguat di Aceh. Pada tahun 2009 Pansus XI DPRA telah


melakukan dengar pendapat dan melakukan usaha menyusun
Qanun Wali Nanggroe, termasuk berkunjung ke Swedia untuk
bertemu dengan Hasan Tiro yang akan dijadikan Wali Nanggroe
pertama. Namun sayangnya karena beberapa alasan teknis dan
koordinasi mereka gagal bertemu.
Meskipun begitu, beberapa bulan sebelum masa jabatan
anggota DPRA periode 2004-2009 berakhir, dewan tetap
melakukan pembahasan mengenai Rancangan Qanun (Raqan)
Wali Nanggroe. Namun Raqan Wali Nanggroe tersebut tidak
diterima oleh eksekutif (Tabloid Kontras: 506 | Tahun XI 10-
16 September 2009). Penolakan itu didasari pada beberapa
alasan; pertama, pengesahan Qanun Wali Nanggroe dianggap
belum mendesak; kedua, pengesahan qanun ini akan berakibat
bertambahnya beban anggaran pemerintah daerah; dan ketiga,
kedudukan Wali Nanggroe yang belum jelas, apakah sebagai
mitra Pemerintah Aceh, atau sebagai lembaga tertinggi yang
berada sejajar dengan Pemerintah Aceh.
Paska penolakan Raqan Wali Nanggroe pada akhir 2009,
ada perkembangan lain pertengahan tahun 2010 yang akan
memengaruhi proses ini. Di awal Juni 2010 Hasan Tiro
meninggal dunia, dan meninggalkan ruang yang cukup
besar untuk persaingan terhadap posisi Wali Nanggroe
tersebut.7 DPRA baru yang sedang dikuasai oleh partai lokal
menjanjikan bahwa Qanun Wali Nanggroe akan diprioritasikan

7
Akhir Agustus 2010 para petinggi mantan GAM telah memilih Malik
Mahmud, Perdana Menteri GAM di masa konflik, menggantikan Hasan
Tiro sebagai Wali Nanggroe (Modus Aceh Edisi 6-12 September 2010, hlm
14-15: ’Dari Mentroe ke Wali Nanggroe’)
18 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

dalam Program Legislasi (Prolega) 2010. Baru setelah qanun


tersebut disahkan menjadi lebih jelas apa sebenarnya posisi
Wali Nanggroe terhadap pemerintah, apa saja tugasnya Wali
Nanggroe, dan bagaimana proses seleksinya.

Adat dalam Praktek


Kebanyakan tulisan yang tentang adat di Aceh sampai sekarang
lebih berfokus ke masalah-masalah normatif, dan/atau
diskusikan sistem adat secara ideal. Buku ini mencoba pindah
fokus ke arah bagaimana adat dipraktekkan, dan melihat
dinamika dalam proses revitalisasi lembaga adat yang sedang
berjalan di Aceh saat ini.
Apakah peran pemerintah daerah dan respon yang diberikan
berbagai kalangan untuk kebangkitan adat sebagaimana kami
paparkan di atas mendapat sambutan dari masyarakat secara
umum di Aceh? Singkatnya, apakah revitalisasi adat yang
dilakukan pasca kejatuhan Orde Baru mendapatkan apresiasi
dari semua kelompok masyarakat di Aceh? Bagaimana
bentuk apresiasi tersebut dihubungkan dengan kebijakan
pemerintah daerah yang selama ini menjadikan adat sebagai
bagian dari program mereka? Pertanyaan inilah yang akan
dieksplorasi dalam lembaran-lembaran buku ini. Pernyataan
ini dirasa perlu untuk mendapatkan sebuah gambaran
hubungan pemerintahan, lembaga adat dan masyarakat pasca
tumbangnya Orde Baru. Apalagi dalam kajian yang dilakukan
di beberapa daerah lain di Indonesia menunjukkan bagaimana
respon itu sangat beragam.
Buku ini berawal dari penelitian yang dilakukan oleh
sekelompok kecil peneliti muda Aceh yang berasal dari daerah
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 19

yang berbeda. Penelitian tersebut diawali dengan keinginan


untuk melihat berbagai revitalisasi lembaga adat yang ada
dalam masyarakat di beberapa kabupaten di Aceh yaitu Aceh
Besar, Nagan Raya dan Bener Meriah.8 Ketiga lokasi ini menjadi
daerah yang kami anggap memiliki keunikan tersendiri. Aceh
Besar dikenal sebagai “Aceh utama” karena faktor sejarahnya.
Dalam kajian historis Aceh Besar menjadi pusat kerajaan Aceh
Darussalam pada abad XV sampai XIX. Hal ini menyebabkan
Aceh Besar memiliki sejarah adat yang komplit terutama
mengenai hubungan adat dengan kekuasaan pemerintahan.
Bahkan istilah-istilah adat yang ada saat ini dalam masyarakat
Aceh pada dasarnya adalah istilah yang berasal dari Aceh
Besar. Sementara Nagan Raya adalah sebuah kabupaten yang
memiliki sistem peradatan Aceh yang lebih spesifik. Hal ini
disebabkan adanya pengaruh kharismatik dari seorang ulama
(Abu Peuleukung) yang ada di sana. Dan lokasi ketiga yaitu
Bener Meriah dipilih sebagai representasi adat Gayo yang sama
sekali berbeda dengan apa yang berkembang di Aceh secara
umum. Namun sebagai bagian dari Provinsi Aceh, Bener Meriah
juga memiliki keterkaitan dengan kebijakan pemerintah Aceh
termasuk dalam hal adat.
Jelas tiga kabupaten ini belum bisa mewakili Aceh pada
seluruhnya dan banyak hal dan isu yang penting dalam proses
revitalisasi adat belum termasuk buku ini. Akan tetapi beberapa

8
Pemilihan lokasi ini tidak dimaksudkan bahwa pembatasan kabupaten
selalu mirip pembatasan daerah-daerah adat di Aceh. Tetapi karena dalam
buku ini kami memfokuskan meneliti hubungan antara pemerintah
kabupaten dengan lembaga-lembaga adat, maka kami memilih mencocokkan
daerah penelitian dengan daerah administrasi kabupaten
20 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

tema-tema yang menarik muncul dari kajian-kajian tiga ini,


yang kami harap akan menginspirasi penelitian-penelitian dan
diskusi selanjutnya tentang perkembangan adat di Aceh pada
masa ini.

Adat dan Pemerintahan


Satu kesimpulan yang muncul dari kajian-kajian ini adalah
variasi respon yang diberikan oleh pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten di Aceh dalam usaha revitalisasi adat.
Selain membentuk MAA, Pemerintah Aceh juga menugaskan
beberapa instansi di kantor Gubernur Aceh menangani
masalah-masalah adat. Biro Keistimewaan punya satu sub-
bagian yang menangani masalah kebudayaan dan adat istiadat.
Satu bagian Biro Hukum memperhatikan hukum adat. Dan Biro
Pemerintahanpun punya pegawai-pegawai yang ditugaskan
untuk menangani lembaga-lembaga adat seperti mukim dan
gampong. Namun ternyata MAA yang jauh lebih aktif daripada
biro-biro pemerintahan dalam melaksanakan berbagai upaya
membangun kembali institusi adat yang ada di Aceh. Usaha ini
nampak dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan mukim di
seluruh Aceh. Beberapa upaya untuk menertibkan administrasi
mukim di daerah juga dilakukan oleh MAA.
Di beberapa kabupaten yang menjadi lokasi penelitian ini
juga nampak dialektika pemerintah daerah kabupaten dalam
merespon usaha revitalisasi adat. Kondisi seperti ini terjadi
di Bener Meriah di mana pemerintah setempat hampir tidak
menunjukkan keinginannya membangun kembali institusi
adat dalam pemerintahan. Meskipun dalam beberapa kegiatan
formal ia melibatkan tokoh adat, namun jelas secara institusi
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 21

perhatiannya pada usaha kebangkitan kembali adat hampir


tidak ada.
Berbeda dengan Bener Meriah, pemerintah Kabupaten Nagan
Raya nampak lebih aktif dan berpartisipasi dalam membangun
adat. Dari apa yang ditulis oleh Zulkarnaini kita dapat saksikan
bagaimana pemerintah terlibat dari beberapa prosesi adat di
sana. Namun hal ini harus dipahami juga berkaitan dengan
keterkaitan genealogis pemimpin pemerintahan dengan
Peuleukung. Peuleukung yang pada awalnya adalah nama
sebuah tempat menjadi sangat mewarnai adat Nagan Raya
setelah seorang ulama kharismatik lahir di sana. Hingga kini
keturunan ulama Peuleukung menjadi penguasa di Nagan Raya.
Namun demikian keterlibatan pemerintah di sini lebih banyak
pada prosesi adat semata. Sementara dalam usaha melakukan
sebuah revitalisasi adat nampaknya pemerintah Nagan Raya
tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di derah lain di
Aceh.

Peradilan Adat
Dalam kehidupan sehari-hari di gampong-gampong di Aceh,
lembaga adat masih sering dipakai dalam penyelesaian
sengketa-sengketa. Kalau ada masalah yang ternyata tidak
dapat diselesaikan di antara dua belah pihak paling sering
masyarakat di gampong minta bantuan dari keuchik untuk
menyelesaikannya. Prosedur penyelesaian sengketa di gampong
lebih mirip rekonsiliasi daripada proses hukum formal. Tetapi
harus diakui juga, seperti dikemukakan oleh Nurlaila di Aceh
Besar, bahwa belum pasti semua orang di gampong ingin
menggunakan lembaga adat untuk menangani kasus-kasus
22 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

sengketa. Mereka justru merasa lebih aman kalau kasus dibawa


ke sistem pengadilan formal. Selain itu juga nampak, orang-
orang yang status sosio-ekonominya lebih kuat lebih memilih
peradilan formal daripada peradilan adat. Masyarakat miskin di
gampong tidak punya pilihan tersebut, karena pada umumnya
mereka tidak mampu membayar proses hukum formal yang
lumayan mahal.

Aktor-aktor dalam Revitalisasi Adat


Kalau menganalisis prosesnya revitalisasi lembaga-lembaga
adat di Aceh selama beberapa tahun yang terakhir ini kita bisa
lihat bahwa aktor-aktor utama dalam proses ini hampir serupa
dengan apa yang ada di daerah Indonesia yang lain. Selain
lembaga pemerintah ada juga unsur-unsur dari masyarakat sipil
yang berperan dalam proses ini. Tingkat aktifitas tokoh-tokoh
pemerintah ternyata sangat bervariasi di antara kabupaten-
kabupaten, seperti sudah didiskusikan di atas. Aktor-aktor
non-pemerintah di semua kabupaten hampir sama. Majelis
Adat Aceh, yang sejenis aktor semi-pemerintah pada umumnya
sangat aktif dalam proses ini, tetapi kegiatannya tergantung
dukungan dari lembaga-lembaga lain. MAA dalam perannya
melakukan banyak workshop, seminar, pelatihan dan lain
sebagainya kepada imum mukim, keuchik, imum chik untuk
lebih mengerti masalah adat dan menjalankannya di daerah
mereka.
Sementara LSM-LSM meresponnya dengan penguatan
lembaga mukim dan peran mereka dalam masalah-masalah
tertentu. Dalam hal ini Aceh tidak jauh beda dengan daerah-
daerah lain di Indonesia. Ternyata di mana saja justru lembaga
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 23

sipil masyarakat yang menjadi aktor penting untuk mendukung


pemberdayaan lembaga-lembaga adat. Di Banda Aceh saja kami
mendapatkan beberapa LSM yang memiliki program khusus
dalam pemberdayaan masyarakat adat ini seperti Prodeelat,
Rumpun Bambu, Green Aceh Institute, Jaringan Komunitas
Masyarakat Adat (JKMA) dan lain sebagainya. LSM-LSM ini
memiliki peran dalam usaha membangun kembali peran adat
dalam masyarakat dengan mengaktifkan kembali kelembagaan
adat. Mereka juga ikut melakukan pelatihan, workshop, seminar
untuk penguatan tersebut. Bahkan JKMA yang kantornya
ada di seluruh kabupaten di Aceh memfasilitasi penyusunan
rancangan qanun mukim di setiap daerah tingkat dua untuk
diajukan kepada eksekutif dan legislatif daerah tersebut.
Respon dan dukungan juga diberikan oleh lembaga
kepolisian melalui program Perpolisian Masyarakat (Polmas).
Polmas adalah sebuah upaya untuk menjadikan polisi sebagai
bagian dari masyarakat dan masyarakat sebagai bagian dari polisi
dalam tugas-tugas tertentu. Dalam hal ini polisi menggunakan
tokoh adat dan agama untuk menjadi “polisi” di daerah mereka
masing-masing dengan tugas menyelesaikan masalah yang ada
di gampong mereka sebelum membawanya kepada polisi. Hal
ini sangat dekat dengan peran mukim yang selama ini memang
bertugas dalam menyelesaikan masalah yang ada dalam
masyarakat di daerah kepemimpinannya. Dengan program ini
maka polisi berkepentingan untuk melakukan pelatihan kepada
mukim dan aparatur adat yang lain sehingga mereka dapat
melaksanakan peran tersebut dengan baik.
Contoh-contoh yang muncul dari penelitian tim kami
menunjukkan bahwa revitalisasi lembaga-lembaga adat di
24 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Aceh adalah proses yang sangat kompleks dan memengaruhi


masyarakat maupun sistem pemerintahan di Aceh secara luas.
Proses ini punya potensi yang cukup tinggi untuk pemberdayaan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan Aceh. Akan tetapi, dalam proses revitalisasi ini
ada juga beberapa risiko yang bisa menghalangi terealisasinya
partisipasi tersebut secara ideal. Misalnya ada potensi konflik
di antara lembaga-lembaga yang terlibat, dan juga potensi
politisasi lembaga-lembaga adat. Penelitian primer yang
mengemukakan dan menganalisis situasi langsung di lapangan
bisa membantu aktor-aktor yang berperan mengantisipasi
risiko-risiko yang ada, dan mencari solusi pada masalah-
masalah yang ada. Kami berharap buku ini bisa membuka
ruang untuk diskusi dan penelitian selanjutnya tentang adat
di Aceh.
Revitalisasi
Peradilan Adat
di Aceh Besar
oleh: Nur Laila

ACEH BESAR
Awalnya Kabupaten Aceh Besar merupakan daerah yang terdiri
dari tiga kewedanan yaitu kewedanan Seulimum, Lhok Nga
dan Sabang. Kabupaten Aceh Besar disahkan menjadi daerah
otonom melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1956 dengan ibu
kota di Banda Aceh. Pada 29 Agustus 1983 Kabupaten Aceh Besar
resmi dipindahkan ke Kota Jantho sebagai ibukota. Kabupaten
Aceh Besar memiliki luas wilayah 2.974,12 km, 23 kecamatan,
68 mukim dan 604 desa/kelurahan. Jumlah penduduk 309.512
jiwa (laki-laki 159.721 jiwa dan perempuan 149.791 jiwa)
dengan kepadatan 116 jiwa/km. Secara geografis terletak
pada 5,2’ – 5,8’ LU dan 95,0’ – 95,8’ BT. Keadaan alam terbagi
dalam daratan landai, tanah berbukit atau bergelombang serta
tanah pegunungan yang curam. Kondisi tersebut menyebabkan
sebagian wilayahnya berada pada pesisir pantai dan pada
bagian yang lain berada di pedalaman. Secara demografi
penduduk yang mendiami Aceh Besar adalah termasuk etnis
Aceh (ureung Aceh) dan juga di Aceh banyak sekali suku-suku
yang lain sebagai pendatang seperti Arab, Batak, India dan dan
belakangan ini banyak suku Jawa yang berdatangan khususnya
pada masa Belanda juga juga pada masa Orde Baru dengan
program transmigrasi khususnya di daerah Jantho dan Saree,
kedua daerah ini pembauran budaya cukup kentara.
26 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

SANTI1 SEKARANG SUDAH PUAS KARENA SURAT CERAI


dari Mahkamah Syar’iyah Jantho, tempat ia memperkarakan
kasus perceraian dengan suaminya sudah keluar dengan
status hukum pasakh. Santi menggugat cerai suaminya karena
menurut dia sudah tidak ada kecocokan lagi di antara mereka
berdua. Proses perceraian Santi tidak terlepas dari peran
mediasi dari salah satu LSM lokal yaitu KKTGA yang bergerak di
bidang pemberdayaan perempuan. Proses ini juga dibantu oleh
keuchik dari gampong Santi, karena kasus Santi bukan hanya
karena ia tidak cocok dengan suaminya, tapi sudah beralih
pada perebutan anak. Menurut keuchik gampong di mana Santi
berdomisili, kasus mereka sudah berlapis, dan tidak mungkin
lagi diselesaikan secara adat. Dalam kasus Santi pihak perangkat
gampong sudah pernah mendamaikan Santi dan suaminya dua
kali dalam masalah percekcokan rumah tangga. Pada kali ketiga
percekcokan terjadi disertai dengan kasus perebutan anak.
Menurut keuchik gampong Santi, pihak suami, keluarga
suami dan perangkat adat gampong asal suami Santi tidak
proaktif untuk menyelesaikan masalah ini. Oleh sebab itu, agar
masalah tidak berlarut, pihak keuchik gampong Santi yang
khawatir kasus ini akan beralih pada kasus lain memutuskan
meminta bantuan KKTGA. Sang keuchik mengenal lembaga
KKTGA karena ia pernah diundang dalam salah satu
pelatihan yang mereka adakan. Lewat bantuan ini kasus Santi
ditangani, bukan hanya masalah anak tapi juga masalah
status perkawinannya. Santi tidak sanggup lagi hidup dengan
suaminya dengan beragam alasan hingga akhirnya ia memilih

Santi bukan nama aslinya.


1
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 27

untuk bercerai dan sah menurut hukum dengan surat cerai


dari pengadilan Mahkamah Syar’iyah Jantho.
Akan tetapi, suami Santi, sebut saja Rahman, merasa sangat
kesal dan tidak bisa menerima keputusan Mahkamah Syar’iyah
Jantho. Dia merasa dalam kasusnya telah cacat hukum, dan
menurutnya lagi proses perceraiannya tidak sesuai dengan
tatacara hukum yang sebenarnya. Menurut Rahman rumah
tangganya sebenarnya masih bisa dipertahankan seandainya
dilalui dengan proses yang muslihat yang sesuai dengan
tatacara hukum yang berlaku dalam masyarakat Aceh yaitu
melalui peradilan adat. Menurutnya perceraian mereka terjadi
karena campur tangan “NGO gender.”2 Menurutnya “NGO
gender” tersebut telah membawa kasus mereka langsung ke
pengadilan Mahkamah Syar’iyah, atas prakarsa keuchik desa
istrinya, hingga mereka akhirnya bercerai.
Rahman memang mengakui bahwa dalam rumah tangganya
sudah pernah ada percekcokan, tetapi menurutnya hal itu
lumrah. Dia bercerita bahwa dalam kasus percekcokan tersebut
mereka pernah didamaikan dua kali oleh perangkat desa dan
berhasil. Tapi pada kasus yang ketiga ini pihak perangkat desa
istrinya tidak menyelesaikan secara adat terlebih dahulu, akan
tetapi langsung membawa kasus mereka pada pihak “gender”.
Padahal secara adat masalah mereka harus diselesaikan oleh
perangkat adat di desa dan bila di tingkat desa tidak bisa
didamaikan masih ada lembaga mukim. Di dalam lembaga
tersebut ada peradilan adat yang bisa menangani masalah

Kata-kata ‘NGO gender’ ini penulis kutip dari kutipan langsung pada saat
2

wawancara dengan Rahman tanggal 25 Agustus 2009, maksudnya adalah


NGO yang peduli masalah perempuan.
28 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

mereka, tidak perlu langsung ke Mahkamah Syar’iyah.


Kesimpulan Rahman adalah bahwa mereka (keluarga Santi dan
perangkat desa Santi) tidak menghargai peradilan adat.
Rahman berpendapat bahwa lembaga NGO, terutama
NGO gender, telah merusak tatanan lembaga adat di Aceh.
Sebenarnya banyak masalah bisa diselesaikan dengan adat,
tetapi NGO gender langsung menangani tanpa melibatkan lagi
lembaga adat. Menurut dia pihak pemerintah, yakni Mahkamah
Syar’iyah, sekarang lebih mendengar pengaduan dari NGO
gender daripada perangkat adat baik di desa walaupun di
tingkat mukim. Akhirnya Rahman mempertanyakan untuk
apa Aceh ini banyak sekali mengeluarkan qanun tentang
pemperdayaan kembali lembaga adat kalau akhirnya yang
didengar adalah pihak sponsor dan pemerintah. Pihak
pemerintah menurutnya lagi sekarang seperti didekte oleh
NGO-NGO yang datang dari luar Aceh terutama NGO gender.
Dia mempertanyakan apa bedanya dengan tidak ada qanun
lembaga adat, kalau toh ternyata kasus yang diselesaikan oleh
Mahkamah Syar’iyah dari tahun ke tahun terus meningkat
berkali lipat. Dan menurutnya juga orang Aceh ini terlena,
sebenarnya Aceh bisa membedayakan kearifan lokal sendiri
tapi tertipu dengan nikmat sesaat yang dijanjikan oleh pihak
donor yang sebenarnya hanya mengacaukan Aceh saja.
Berdasarkan kasus di atas, terlihat dalam revitalisasi
lembaga peradilan adat terjadi suatu polemik, bahkan terkesan
ada dua wajah peradilan yaitu peradilan adat versus peradilan
agama (Mahkamah Syar’iyah). Kondisi ini sangat kontradiksi
dengan adagium/hadih maja atau istilah Aceh yang mengatakan
adat ngen hukom hanjeut cre, lagee zat ngen sifeut, lagee mata
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 29

puteh ngen mata hitam (adat dan hukum tidak boleh bercerai
seperti zat dan sifat, seperti mata hitam dengan mata putih).
Kalaulah adagium di atas mengatakan bahwa hukum dengan
adat seperti zat dan sifat, lantas sekarang ada dua bentuk
peradilan yaitu peradilan adat dan peradilan agama.
Dalam artikel ini penulis tidak melakukan perbandingan
antara peradilan agama dengan peradilan adat, namun
berdasarkan latar belakang di atas artikel ini memfokuskan
untuk mengkaji sejauh mana revitalisasi lembaga peradilan
adat dalam menyelesaikan berbagai kasus dalam masyarakat.
Mengingat pemberdayaan peradilan adat merupakan salah
satu agenda penting dalam pemberdayaan lembaga adat di
Aceh, terutama di Aceh Besar
Revitalisasi lembaga adat sekarang terus direspon oleh
berbagai pihak baik pemerintah maupun non pemerintah, dalam
berbagai bidang termasuk peradilan adat. Majelis Adat Aceh
(MAA) sebagai lembaga bentukan pemerintah yang mengurusi
masalah adat Aceh, menjadikan program pembentukan dan
pemberdayaan peradilan adat sebagai program utama mereka
dalam dua tahun terakhir ini. Sehingga semestinya peradilan
adat terutama di Aceh Besar akan menjadi sebuah lembaga
adat yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga adat
lainnya. Mengingat letak Aceh Besar yang dekat dengan ibu kota
Provinsi Aceh, sehingga bila ada pemberdayaan oleh berbagai
pihak Aceh Besar menjadi daerah pertama atau menjadi daerah
pilot proyek untuk berbagai pemberdayaan.
Untuk keperluan menjelaskan masalah di atas, penulis
melakukan studi lapangan di beberapa kecamatan di Aceh Besar
selama Juni 2009 hingga Maret 2010. Penulis mewawancarai
30 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

masyarakat biasa, dan juga para tokoh adat dan pekerja LSM
yang melakukan program berkaitan dengan adat Aceh. Selain
itu penulis juga terlibat dalam beberapa kegiatan adat di Aceh
Besar, termasuk mengikuti beberapa proses peradilan adat
yang dilaksanakan selama melakukan studi lapangan. Penulis
juga mengikuti beberapa workshop berkaitan dengan adat,
baik yang diadakan oleh pemerintah Aceh Besar melalui MAA
atau yang dilaksanakan oleh LSM lokal dan internasional yang
bekerja di Aceh Besar.

Pengertian Peradilan Adat


Pada saat mendengar istilah peradilan adat yang paling sering
terbayang pada persepsi kita adalah suatu peradilan yang
diselenggarakan di tingkat-tingkat gampong atau desa. Peradilan
adat tersebut bertujuan menyelesaikan sengketa-sengketa
menurut adat istiadat dan kebiasaan di lingkungan masyarakat
itu sendiri. Atau boleh jadi ada juga yang terbayang pada
hukum-hukum adat. Untuk sampai pada pengertian peradilan
adat tersebut penulis terlebih dahulu akan menjelaskan tentang
hukum adat. Saat ini hukum adat di Indonesia telah menjadi
sebuah objek studi para ahli dan telah dipraktekkan sejak
zaman kekuasaan Belanda dan Jepang di Indonesia.
Snouck Hurgronje adalah seorang yang pertama kali
memakai istilah hukum adat dengan nama adatrecht (Bahasa
Belanda) yang kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana hukum
lainnya dan kemudian menjadi teknis-juridis. Pada tahun
1920 istilah adatrecht pertama kali dipakai dalam undang-
undang Belanda mengenai perguruan tinggi Belanda (Bushar
Muhammad 2003: 1-7). Adatrecht ini sendiri mempunyai
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 31

pengertian yang beragam. Akan tetapi hukum adat itu tetap


juga mempunyai unsur-unsur asli maupun unsur-unsur
keagamaan, walaupun di beberapa daerah unsur agama tidak
begitu berpengaruh. Namun dalam arti sempit hukum adat
adalah hukum asli yang tidak tertulis yang didasarkan pada
kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang
memberi pedoman pada sebagian besar bangsa Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari, antar sesama lebih-lebih di pedesaan.
Snouck Hurgronje membenarkan tidak semua hukum agama
menjadi hukum adat, hanya bagian-bagian hidup manusia
yang mesra yang berhubungan erat dengan kepercayaan dan
kehidupan batin saja. (Bushar 2003 : 4).
Setelah Indonesia merdeka, adatrecht tidak lagi menjadi
hukum yuridis formal, dan adatrecht juga tidak dikenal
lagi sebagai perpaduan hukum adat dengan hukum agama.
Karena kemudian permasalahan mengenai agama diatur di
bawah “peradilan agama” di mana segala permasalahan yang
menyangkut masalah agama diselesaikan di pengadilan agama
sesuai dengan ketentuan agama masing-masing. Sedangkan
masalah hukum tentang adat istiadat tidak lagi diatur dalam
ketentuan hukum formal yang diakui oleh negara, tapi adat di
suatu tempat hanya secara de facto diakui dan dipatuhi oleh
masyarakat adat di suatu tempat. Di samping itu kemudian
juga dikenal peradilan formal lainnya seperti peradilan negeri,
peradilan tinggi, dan peradilan militer secara otonom (Mardani
2009: 28).
Dengan ditetapkannya peradilan agama sebagai suatu
peradilan formal di Indonesia, peradilan adat dan hukum
adat hanyalah merupakan bagian dari kemaslahatan dan
32 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

kearifan lokal setiap komunitas masyarakat tertentu. Tujuan


peradilan adat adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah
antar manusia di tingkat desa. Namun keputusan yang diambil
secara adat tidak mempunyai kekuatan hukum secara formal.
Misalnya kalau sepasang suami istri bercerai dalam pengadilan
adat, secara hukum adat, pasangan ini sudah resmi bercerai.
Namun karena hukum adat itu sendiri tidak mempunyai
kekuatan hukum secara formal, masih diperlukan sebuah
tahapan lain untuk mendapatkan legalitas formalnya.
Frase ‘peradilan adat’ merupakan salah satu bentuk
revitalisasi lembaga adat di Aceh. Frase ini tidak lahir dari
masyarakat adat itu sendiri, tapi dinamai oleh orang dari luar
yang melihat dan memantau apa yang terjadi dalam masyarakat.
Hal ini disebabkan dalam masyarakat di tingkat desa tidak
mengenal istilah ‘peradilan adat.’ Sama halnya dengan istilah
‘hukum adat’ seperti yang dikatakan oleh Van Vollenhoven
yang memperkenalkan hukum adat, yakni istilahnya muncul
dari sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminat-peminat lain yang
di luar masyarakat adat. Von Svigny menulis, hukum adat itu
ist und wird mit dem volk, hukum adat itu ada di tengah-tengah
rakyat sendiri dirasakan dan dipraktekkan oleh rakyat sendiri
tiap hari, jadi ganjil sekali untuk mengatakan bahwa rakyat
“menemukan hukum adat” (Bushar 2003 : 14).
Istilah ’peradilan adat’ sekarang banyak kita dengar dari
kalangan-kalangan MAA, dan beberapa LSM yang mempunyai
program untuk pemberdayaan lembaga tersebut. Sedangkan
dalam kalangan masyarakat sendiri yang mempraktekkan
mekanisme penyelesaian sengketa lewat lembaga ini tidak
mengatakan menyelesaikan perkara lewat peradilan adat.
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 33

Mereka mempunyai istilah sendiri seperti pedame ureung


(mendamaikan orang), peumat jaroe (berjabat tangan)
meudame (berdamai). Hal ini pernah penulis tanyakan pada
seorang keuchik di Lam Aling yang baru saja pulang dari
training peradilan adat pada 2009. Beliau mengaku sangat
tidak familiar dengan kata peradilan adat, sehingga tetap saja
menjawab baru pulang dari training mengenai adat, dan yang
dibicarakan adalah masalah cara peudame ureung (cara-cara
mendamaikan orang).
Istilah ‘peradilan adat’ sekarang ini pertama kali
dipopulerkan oleh MAA dan menjadi program kerja untuk
MAA yang kemudian didukung oleh beberapa NGO lokal dan
internasional. Dalam pemberdayaan lembaga peradilan adat
mereka mempunyai program kerjanya masing-masing dan
dengan pendekatan masing-masing pula. Oleh sebab itu istilah
peradilan adat sekarang menjadi lebih dikenal untuk mereka
yang meneliti adat dan sebagian kecil masyarakat umum
sekarang juga mulai menyebutkan istilah tersebut. Namun
dalam prakteknya lembaga peradilan adat masih berlangsung
menurut kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat. Meskipun
banyak tokoh-tokoh adat yang sudah mengikuti training atau
pelatihan tentang mekanisme tentang tata cara sebuah peradilan
adat dijalankan seperti halnya peradilan formal, namun dalam
prakteknya masih berjalan sebagaimana biasanya.
Dalam sejarah Aceh tercatat sejak masa Iskandar Muda
(1607-1636) kekuasaan peradilan dipegang oleh qadhi malikul
adil di tingkat kerajaan, dan qadhi ulee balang di tiap daerah.
Di bawahnya ada qadhi di tingkat mukim, dan yang terendah
adalah ureung tuha gampong (perangkat di tingkat gampong).
34 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Semua perkara yang terjadi terlebih dahulu diselesaikan di


tingkat gampong. Apabila di tingkat gampong tidak selesai
naik banding ke tingkat mukim. Suatu perkara yang sudah
tidak sanggup diselesaikan di tingkat mukim baru dilimpahkan
pada qadhi ulee balang. Bentuk peradilan ini sudah sama
dengan peradilan formal, karena sudah ada hakim, sudah ada
yang kalah dan yang menang, dan juga sudah membayar untuk
proses peradilan serta sudah ada penjara. Namun hanya sedikit
kasus yang sampai ke qadhi malikul adil dan apabila suatu
kasus sudah sampai pada penyelesaian di tingkat qadhi malikul
adil berarti sudah dimejahijaukan seperti istilah sekarang
(Mardani 2009: 32) sehingga dalam pepatah atau adagium
Aceh dikenal dengan: Pantang peudeung meulingteung sarong,
Pantang rincong meulinteung mata, Pantang ureung diteuoeh
kaom, Pantang hukom ta ba bak meja. Artinya pantang pedang
melewati sarung, pantang rencong matanya ke atas, pantang
orang mananyakan/menjelekkan kaum/keturunan, pantang
hukum di bawa ke meja pengadilan.
Istilah ‘hukum adat’ di Indonesia memang sejak zaman
Belanda sudah dikenal, diteliti dan dipraktekkan. Sedangkan
istilah ‘peradilan adat’ ini adalah istilah baru, maka belum banyak
literatur yang membahas tentang pengertian istilah peradilan
adat. Abdurrahman mengatakan dalam makalahnya di seminar
pelatihan peradilan adat yang diselenggarakan oleh MAA pada
tanggal 2-6 Juni 2009 bahwa ‘peradilan adat’ adalah sejenis
peradilan perdamaian untuk menyelesaikan berbagai sengketa
dalam masyarakat yang ada pada dua tingkat komunitas yaitu
desa dan mukim. Peradilan adat bukan bagian dari peradilan
formal tapi sebagai alternatif wadah penyelesaian perkara.
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 35

Muhammad Umar dalam buku Peradaban Aceh (2006: 83)


mengatakan peradilan adat adalah pengadilan secara adat,
pengadilan adat bukan melayani orang perkara, bukan mencari
mana yang benar mana yang salah, tetapi ialah mengusahakan
yang bertikai untuk berbaikan/berdamai. Penyelesaian perkara
melalui lembaga adat merupakan penyelesaian perkara secara
damai, untuk merukunkan para pihak yang berperkara dan
memberikan sanksi adat bagi orang yang melakukan perbuatan
yang melanggar adat setempat. Penyelesaian perkara secara
adat sekarang ini dikenal dengan istilah peradilan adat.
Oleh sebab itu peradilan berbeda dengan peradilan formal
yang diurus oleh negara, tetapi ia menjadi alternatif wadah
penyelesaian perkara. Umar juga menambahkan, kalau dilihat
dari sisi filosofisnya, peradilan adat memberikan nilai tambah
bagi kehidupan masyarakat karena bisa tetap menjamin
terjaganya keseimbangan kerukunan dan ketentraman
masyarakat. Peradilan adat sebagai peradilan perdamaian
bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam
masyarakat yakni gampong dan mukim, majelis ini terdiri dari
beberapa fungsionaris (Umar 2006: 83).
Ketua MAA Provinsi Aceh, Badruzzaman mengatakan:
“Sejak zaman dulu peradilan adat di Aceh sudah ada, namun
dulu bukan dinamakan dengan peradilan adat karena peradilan
tersebut bagian dari peradilan pemerintahan kerajaan Aceh
itu sendiri. Namun sekarang karena kita sudah mengenal
pengadilan yang lain, yang modern, maka pengadilan model
dahulu disebut dengan pengadilan adat, dan sekarang di
tingkat desa sistem pengadilan tersebut masih berjalan tapi
tidak dinamakan dengan pengadilan adat hanya diselesaikan
36 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

secara adat oleh orang tua di gampong.”3 Badruzzaman


menambahkan peradilan adat dalam konteks Aceh memang
merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh masyarakat
Aceh, dan merupakan lembaga yang murah dan secara
psikologi dapat memuaskan. Hal ini disebabkan pengadilan
adat berusaha mendamaikan, bukan mencari siapa yang salah
dan yang benar.
Dalam hadih maja Aceh dikenal sebuah ungkapan:
Hukom lillah sumpah bek, Hukum adat ikat bek, Hukom
ade pake bek, Hukom meujroh pake bek. Artinya berhukum
dengan hukum Allah jangan ada sumpah, berhukum dengan
hukum adat jangan diikat, hukum itu harus adil, dengan
hukum perdamaian bisa ditegakkan. Sebuah ungkapan lain
menyebutkan: Kuah beu lemak u bek beukah atau uleu beu
mate ranteng bek patah, artinya kuah harus lemak tapi kelapa
jangan pecah, atau ular harus mati ranting jangan patah.
Adagium di atas berarti suatu masalah atau perkara dapat
diselesaikan tanpa mengeluarkan dana yang banyak. Selain
itu ada sebuah ungkapan lain: ”Hai aneuk hai bek tameupake,
Menyoe na masalah yang rayeuk ta peu ubit, Yang ubit tapeu
gadoh, Beu tameujroh-jroh sabe keudroe-droe, Ubiet rugoe
rayeuk that laba, Lee syedara panyang kaom, Hana untong
menyoe ta meulhoe, Tameuperkara habeh paon, methon-thon
han seuleusoe.” Ungkapan ini bisa diartikan dengan; hai anak
jangan bertengkar, kalau ada masalah yang besar diperkecilkan,
kalau ada yang kecil dihilangkan saja, sesama saudara sendiri
harus berbaikan, karena ruginya sedikit untungnya banyak,

Wawancara dengan ketua MAA Aceh tanggal 20 Nevember 2009


3
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 37

banyak saudara banyak keluarga, tidak ada untung kalau kita


berkelahi, kalau memperkarakan sesuatu akan habis emas,
dan bertahun-tahun tidak selesai.
Dengan melihat hadih maja di atas menjadi suatu bukti
bahwa dalam sejarah Aceh istilah yang masa sekarang
dinamakan sebagai ’peradilan adat’ di tingkat desa merupakan
suatu peradilan yang dibutuhkan dan dipandang efektif untuk
menyelesaikan berbagai perkara yang terjadi sehingga tercipta
suatu perdamaian di kalangan masyarakat. Banyak juga adagium
yang menghendaki suatu perkara sebaiknya diselesaikan dulu
menurut peradilan adat di setiap gampong dan bisa dibanding
ke tingkat mukim. Sudah sejak dulu di Aceh sudah dikenal juga
peradilan di tingkat selanjutnya, tidak ubahnya seperti peradilan
formal kita sekarang, sehingga tercipta adagium-adagium atau
hadih maja yang mengingatkan bahwa suatu perkara sebaiknya
diselesaikan terlebih dahulu di peradilan adat.

Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat di Aceh


Untuk melaksanakan peradilan adat sekarang ini didukung
oleh sejumlah peraturan perundang-undangan. Dengan kata
lain payung hukum untuk pelaksanaan lembaga peradilan adat
sudah mamadai baik di tingkat gampong maupun di tingkat
mukim. Berikut ini undang-undang, qanun dan persetujuan
yang mengatur tentang pelaksanaan peradilan adat di Aceh
dan khususnya di Aceh Besar:
1.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, pasal 3 dan 6
menegaskan bahwa: daerah diberikan kewenangan untuk
menghidupkan adat yang sesuai dengan syariat Islam.
38 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

2.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
3. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Mukim dalam Provinsi NAD. Dan Qanun Nomor 5 tahun
2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi
Nanggroe Aceh.
4. Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan
Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Aceh Nomor 10 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat.
5. Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Gampong dan Qanun Aceh Besar Nomor 10
tahun 2007 tentang Tuha Peut Gampong.
6. Keputusan bersama antara kepolisian, gubernur, MAA, IAIN
Ar-Raniry, Balai Syura dan Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) tahun 2008. Dalam MoU tersebut menyebutkan:
”Adakalanya proses pendekatan permasalahan kamtibmas
dan kejahatan untuk mencari pemecahan masalah melalui
upaya memahami masalah, analisa masalah, mengusulkan
alternatif solusi dalam rangka menciptakan rasa aman,
bukan berdasarkan hukum pidana tapi juga hukum-hukum
adat.”4

Perangkat Pelaksana Peradilan Adat


Dalam sebuah hadih maja disebutkan: Menyoe carong
tapeulaku, boh labu jeut keu aso kaya, menyoe hana carong
tapeulaku, aneuk teungku jeut keu beulaga. Artinya, kalau kita

4
Keputusan ini memang tidak mempunyai efek hukum secara langsung,
tapi bisa juga dilihat sebagai suatu pacuan untuk pelaksanaan peradilan adat
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 39

cerdik dalam melakukan sesuatu, maka buah labu bisa jadi


serikaya, tapi jika bila tidak cerdik dalam melakukan sesuatu,
anak ulamapun bisa jadi pencuri. Dalam ungkapan lain
disebutkan: Menyoe carong tapeuantok, dalam bak jok diteubiet
saka, menyoe hana carong tapeuantok, sieuroe seuntok lale
meudawa. Artinya, kalau kita bijak dalam berbuat, dari buah
(pohon) aren bisa keluar gula (yaitu gula aren), namun kalau
tidak padai melakukan sesuatu, asyik berkelahi sepanjang hari.
Hadih maja ini mengandung makna bahwa bila segala sesuatu
dilakukan dengan bijaksana dan dengan manajemen yang baik
dan tepat akan memudahkan dan dapat bijaksanalah ia.
Adapun badan, atau orang yang menyelenggarakan
peradilan adat baik di gampong maupun di tingkat mukim
sangat tergantung pada suatu kasus di tingkat komunitas
masyarakat baik di tingkat gampong maupun mukim. Dalam
buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh yang diterbitkan oleh
MAA kerja sama dengan UNDP Indonesia, Uni Eropa, APPS dan
Bappenas, mencoba menawarkan mekanisme peradilan adat
dijalankan seperti halnya peradilan formal. Di tingkat gampong
peradilan adat terdiri dari keuchik sebagai ketua; Sekretaris
Gampong sebagai panitera; imum meunasah dan tuha peut
sebagai anggota, serta Ulama, tokoh adat/cendikiwan lainnya
di gampong yang bersangkutan (ahli di bidangnya) sesuai
kebutuhan. Sementara di tingkat mukim peradilan adat terdiri
dari imum mukim sebagai ketua; Sekretaris mukim sebagai
panitera; tuha peut mukim sebagai anggota, dan ulama, tokoh
adat/cendikiawan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Dalam proses pelaksanaan peradilan adat yang berlangsung
dalam masyarakat sebenarnya tidak terdapat perangkat
40 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

peradilan/hakim peradilan yang jelas dan baku. Hal ini


disebabkan peradilan adat yang dipraktekkan tidak mempunyai
ketentuan yang baku, dan belum ada ketentuan hukumnya
tertulis. Bahkan masih dijumpai di lapangan sekretaris desa
yang seharusnya berperan sebagai panitera dalam peradilan
adat yang tidak bisa baca tulis. Pada umumnya mereka diangkat
sebagai sekretaris desa karena kewibawaan dan kejujuran.
Hal ini terbukti di kecamatan Kuta Cot Glie pada saat adanya
program pemberdayaan untuk para sekretaris desa yang oleh
program PNPM-MP diharuskan untuk bisa baca tulis. Ternyata
ada beberapa sekretaris desa yang diwakili oleh orang lain,
alias disuruh orang lain mengikuti pelatihan tersebut dengan
alasan sekretaris desa sendiri tidak pandai menulis.
Peradilan adat biasanya dipraktekkan di kalangan
masyarakat dengan berbagai cara:
1. Diselesaikan sendiri antar pelaku yang bermasalah
tanpa melibatkan unsur lain (menyelesaikan sendiri)
dengan berdamai sendiri, misalnya dalam kasus tabrakan
kecil. Kalau tidak melibatkan keluarga tidak ada proses
peusijuek.5
2. Diselesaikan dengan cara melibatkan antar keluarga yang
bermasalah tanpa melibatkan orang lain atau unsur lain

5
Peusijuek adalah suatu serimoni untuk berdamai yang dalam serimoni
tersebut ada ketan kuning satu nampan, daun seunijuek, satu jenis rumput
on naleung sambo, on manek mano (sejenis daun yang ada bunga kecil-kecil
putih), beras, padi dan sedikit tepung. Dalam acara tersebut sebagai tanda
perdamaian kedua belah pihak yang bermasalah didudukkan dalam satu
tikar berdampingan kemudian kedua orang ini dipeusijuek oleh petua adat
dan keduanya disulangkan nasi ketan tadi dan akhirnya keduanya berjabat
tangan tanda damai
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 41

seperti keuchik, tapi diselesaikan sesama keluarga yang


bermasalah (secara kekeluargaan). Proses penyelesaian
tergantung kasus, dan kesepakatan kedua keluarga kadang
kala dengan peusijuek atau denda yang disepakati antar
sesama keluarga yang bermasalah.
3. Adakala suatu masalah yang terjadi diselesaikan oleh orang
cerdik pandai atau orang yang berpengaruh di suatu desa
tanpa melibatkan perangkat desa secara formal.
4. Dengan melibatkan perangkat desa atau disebut diselesaikan
secara adat oleh ureung tuha gampong, bila suatu masalah
sudah dilaporkan kepada perangkat desa, maka pihak
perangkat gampong memanggil pihak yang bermasalah
untuk diadili, dan sanksi atau hukum yang diterima
tergantung kesepakatan para perangkat ureung tuha
gampong proses perdamaian diakhiri dengan peusijuek.
5. Banding ke mukim, dengan melibatkan unsur mukim: bila
suatu masalah tidak bisa diselesaikan di tingkat desa bisa
dibanding ke tingkat mukim, yang diselesaikan secara adat
oleh para perangkat mukim.
6. Peradilan adat juga bisa diselesaikan oleh lembaga-lembaga
adat yang lain yang khusus, tergantung masalah yang terjadi.
Misalnya, masalah yang terjadi di laut akan diselesaikan
oleh lembaga panglima laot. Masalah menyangkut masalah
hutan juga akan diselesaikan oleh pawang uteun, dan begitu
juga dengan masalah yang terjadi di lahan bisa diselesaikan
oleh seunebok.
Dalam konteks Aceh Besar sekarang yang sudah
mempraktekkan (kembali) lembaga peradilan adat secara
efektif adalah di wilayah lembaga panglima laot, sedangkan
42 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

wilayah lembaga adat yang lain ternyata belum efektif


berjalan. Dalam praktiknya sekarang, peradilan adat juga
belum memiliki fungsionaris yang baku dan tetap. Dari hasil
pengamatan penulis di lapangan praktek peradilan adat di
Aceh Besar pada masa kini bisa disimpulkan sebagai berikut:
keuchik biasanya dilibatkan apabila ada sidang gampong
secara keseluruhan; keujruen blang menangani masalah yang
berkaitan dengan persawahan dan sumber air sawah; panglima
laot dipanggil apabila masalah berkaitan dengan kelautan dan
perikanan. Sementara lembaga adat yang lain ternyata belum
begitu berfungsi, seperti peutua seuneubok, haria peukan,
shahbandar dan lainnya.
Jika persoalan di tingkat gampong tidak selesai
atau cakupannya lebih luas dari sebuah gampong, maka
penyelesaiannya akan diberikan kepada imum mukim.
Secara khusus imum mukim mempunyai wewenang untuk
menyandingkan perkara banding yang datang dari keuchik di
wilayahnya, menyidangkan perkara banding yang datang dari
keujruen blang, menyidangkan perkara banding yang datang
dari haria peukan, menyidangkan perkara banding yang datang
dari panglima laot, dan menyidangkan perkara banding yang
datang dari imum meunasah (Umar, 2006: 84). Namun dalam
kenyataanya lembaga peradilan adat di tingkat mukim belum
berjalan, karena mukim tidak punya anggaran sebagaimana
halnya desa.6 Peradilan adat di tingkat mukim sampai sekarang
di Aceh Besar memang belum ada yang berfungsi secara

Wawancara dengan ketua Forum Duek Pakat Imum Mukim Aceh Rayeuk,
6

Bapak Nasruddin pada tanggal 25 Maret, 2010.


REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 43

optimal. Dalam amatan penulis hanya dua mukim yang baru


menggagaskan peradilan adat tersebut yaitu mukim Jeumpet
dan Lampanah.

Wewenang Peradilan Adat


Suatu perkara akan diproses secara hukum adat di tingkat
perangkat gampong dengan peradilan adat bila suatu kasus
sudah dilaporkan pada perangkat gampong (ureung tuha
gampong), baik pada keuchik, tuha peut, teungku imum, atau
sekretaris gampong oleh pihak yang terlibat. Biasanya tanpa
laporan dari masyarakat pihak perangkat gampong tidak
beraksi, kecuali dalam masalah yang sangat terdesak atau
krusial seperti pembunuhan, penganiayaan dan ketertiban
umum lainnya. Namun kalau masalah keluarga seperti ahli
waris, perkawinan dan masalah lainnya meskipun diketahui
oleh pihak perangkat gampong jarang sekali langsung diproses,
tapi terlebih dahulu menunggu laporan.
Ketika saya berada di lapangan saya sempat membuktikan
satu kasus pelanggaran yang diabaikan oleh para perangkat
gampong karena tidak adanya laporan dari masyarakat. Dalam
kasus tersebut seorang suami menthalak (mengucapkan kata
cerai) istrinya dengan thalak tiga. Menurut hukum Islam si
suami tidak boleh lagi pulang ke rumah istrinya, sebelum si
istri tersebut dinikahi oleh orang lain, bercerai, lalu menikah
kembali dengan suaminya yang lama. Namun karena mereka
sudah terjalin cinta kembali, pasangan ini berkumpul lagi
seperti semula. Kalau ditinjau dari kacamata hukum Islam
dan dari adat hal ini sudah sejenis pelanggaran. Akan tetapi
karena kasus tersebut tidak dilaporkan ke perangkat gampong
44 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

sehingga hanya menjadi gosip di antara warga saja dan tidak


ada proses hukum.
Namun bila suatu kasus melanggar ketertiban umum dan
meresahkan warga perangkat gampong langsung turun tangan.
Hal ini terlihat dalam kejadian yang terjadi di sebuah gampong di
Kecamatan Kuta Cot Glie. Ada satu keluarga yang tidak bersedia
menghibahkan sebagian tanahnya untuk pembuatan saluran di
gampong, padahal saluran tersebut sangat diperlukan untuk
kebersihan dan kenyamanan gampong. Mengetahui hal ini,
pihak perangkat gampong melakukan beberapa upaya untuk
meyakinkan keluarga tersebut agar memberikan sebagian
tanahnya, namun tetap tidak berhasil. Lalu aparatur gampong
mengadakan rapat dan memutuskan untuk menjatuhkan vonis:
keluarga tersebut tidak akan mendapatkan pelayanan apapun
dari gampong. Vonis ini membuat keluarga tersebut melunak
hingga akhirnya -mungkin dengan berat hati- menghibahkan
sebagian tanahnya untuk saluran.
Bila suatu kasus tidak bisa lagi diselesaikan secara
adat pihak gampong akan memberikan wewenang untuk
diselesaikannya melalui hukum formal. Tetapi ternyata tidak
semua menunggu keputusan dari pihak gampong. Dalam
masyarakat yang sudah tahu prosedur dan biasanya dari
kalangan yang menengah ke atas bila ada masalah mereka
memilih langsung memperkarakannya pada peradilan formal.
Mereka beralasan untuk memperkarakan masalah ke peradilan
formal karena legalitas hukumnya jelas. Tetapi juga pemilihan
prosedur itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena
menandakan mereka memiliki cukup uang. Di dalam gampong,
warga akan mendapat prestise (kebanggaan) bila suatu masalah
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 45

sudah sampai ke pengadilan formal. Dalam kalangan Aceh


Besar sering dikatakan dengan ungkapan “masalah nyan ka
dipeuek u Jantho” (masalah tersebut sudah dinaikkan ke Jantho
maksudnya peradilan formal yang letaknya di kota Jantho).
Ini menandakan suatu kehebatan, karena sudah diperkarakan
tingkat formal bukan hanya di tingkat gampong.
Kalau kita lihat realitas sepertinya masyarakat banyak
yang sudah yakin kalau peradilan formal sudah dapat
menyelesaikan segala jenis masalah, dan bisa menjadi
alternatif untuk peradilan adat. Namun selama ini ada juga
sejenis kasus pelanggaran yang tidak bisa dipungkiri oleh
masyarakat tetapi masih terjadi di tengah masyarakat di Aceh
Besar yaitu masalah santet (ilmu hitam). Masalah santet yang
diyakini masyarakat Aceh Besar ini tidak bisa diselesaikan
melalui hukum formal, karena peradilan formal belum
menyediakan hukum untuk menyelesaikan masalah ilmu
hitam. Oleh sebab itu proses penyelesaian masalah santet ini
murni harus melalui peradilan adat.
Dalam buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh, MAA
membatasi beberapa kasus yang menjadi kewenangan
peradilan adat dan di luar wewenang peradilan adat yaitu:
46 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Kewenangan Peradilan Adat Di Luar Kewenangan


Peradilan Adat

Pembatasan tanah Pembunuhan


Pelanggaran dalam bersawah Pemerkosaan
dan pertanian lainnya Narkoba, ganja dan sejenisnya
Perselisihan antar keluarga Pencurian berat
Wasiat Subversif (membangkang
Fitnah terhadap negara)
Perkelahian Penghinaan terhadap
Perkawinan pemerintah yang sah

Pencurian Kecelakaan lalulintas berat

Masalah pelepasan ternak Penculikan

Kecelakaan lalulintas Khalwat


(kecelaan ringan) Perampokan bersenjata
Ketidakseragaman turun ke
sawah

Menurut Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan


Adat dan Adat Istiadat pasal 13 mengatakan sengketa/
perselisihan adat dan adat istiadat meliputi berbagai persoalan
yang terjadi dalam masyarakat dalam skala kecil atau
persoalan antar warga. Antara lain masalah-masalah dalam
rumah tangga, masalah pelanggaran syariat Islam, perselisihan
hak milik, pencurian ringan yang masih dapat ditangani oleh
perangkat adat, sengekta di tempat kerja dan lain sebagainya.
Qanun ini tidak membatasi kewenangan di luar peradilan
adat. Karena dalam qanun tidak secara jelas membatasi
masalah yang diselesaikan secara adat, maka tidak tertutup
kemungkinan semua masalah yang terjadi dalam masyarakat
bisa diselesaikan secara adat.
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 47

Apakah penyelesaian secara adat dibatasi atau tidak, dalam


prakteknya sebagian besar masyarakat masih menjalankan
tata cara seperti dahulu dalam menyelesaikan masalah
dengan lembaga adat. Hal ini memang sangat berkaitan
dengan keinginan dan preferensi individu yang bersangkutan
dalam menyikapi masalah. Ini kita bisa lihat misalnya dalam
penyelesaiaan masalah kecelakaan lalu lintas. Meskipun
kasus kecelakaan telah diselesaikan secara kekeluargaan
oleh parangkat adat di tingkat desa, namun bila ada warga
yang tidak puas dan ia mempunyai cukup uang, ia bisa saja
memperkarakan kembali ke pengadilan formal. Sedangkan
warga yang miskin dan tidak begitu tahu tentang hukum
formal paling sering memilih cukup dengan peradilan adat di
gampong saja.
Kalau ditanya sama tokoh-tokoh adat sendiri, mereka
ingin meluaskan wewenangan peradilan adat. Menurut
salah seorang tokoh adat dari Aceh Besar, yang ikut dalam
pelatihan Peradilan Adat yang diselenggarakan oleh MAA
Aceh, dalam konteks budaya Aceh semua permasalahan
sebenarnya bisa diselesaikan secara adat, karena kesemuanya
telah pernah dipraktekkan dalam masyarakat Aceh.7 Akan
tetapi, menurutnya sekarang, pada saat lembaga adat ini mulai
hendak diberdayakan lagi, banyak sekali pembatasan yang
mesti diikuti. Sehingga ini dapat mehilangkan substansi dari
peradilan adat itu sendiri. Padahal kalau diselesaikan menurut
tatacara peradilan adat antar yang bertingkai akan kembali
menjadi baik dan akan menjadi saudara.

Wawancara dengan tokoh adat di Aceh Besar, tanggal 12 Juli 2009


7
48 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Dia mencontohkan dalam kasus tabrakan yang


menyebabkan kematian, kalau diperkarakan ke pengadilan
formal pasti akan lahir suatu keputusan tentang siapa yang
menang dan siapa yang salah. Yang salah mesti membayar denda
atau yang menabrak biasanya akan dimasukkan dalam penjara.
Padahal kalau diselesaikan secara adat mereka akan menjadi
saudara dan tidak akan jadi permusuhan karena tidak ada yang
dipenjara. Menurut tokoh adat tersebut meskipun orang tidak
dipenjarakan tetap dia bisa menginsafi perbuatannya. Kalau
diselesaikan dengan cara adat tidak akan menjadi dendam
baru di antara kedua belah pihak. Ia mengistilahkan kasus
seperti ini dengan sebuah hadih maja, “Bu seut paya, muruwa
meuraseuki.” Peribahasa di atas secara harfiah diartikan dengan
”monyet yang membuang air di parit, biawak yang dapat
rezeki.” Ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan kalau
ada masalah jangan melibatkan orang lain, karena bisa jadi
akan dimanfaatkan oleh orang lain. Seandainya masalah bisa
diselesaikan sendiri akan lebih mudah dan murah.
Seorang peserta pelatihan lain, yang juga tokoh adat di
daerah Kuta Cot Glie juga mempermasalahkan pembatasan-
pembatasan wewenang peradilan adat yang dia menanggap
kreasi baru. Menurut dia materi-materi yang dibahas dalam
pelatihan peradilan adat tersebut, yang misalnya tentang
wewenang peradilan adat serta peran perempuan dalam
perspektif adat, bertentangan dengan adat. Dia berpendapat
bahwa dalam adat Aceh tidak ada pembatasan untuk masalah
yang bisa diselesaikan secara adat. Dia juga keberatan kalau
perempuan dilibatkan dalam perangkat peradilan karena
menurut dia hal tersebut tidak sesuai dengan adat Aceh. Dia
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 49

menambahkan, keterlibatan unsur perempuan dalam lembaga


tuha peut (lembaga legislatif) di tingkat desa juga tidak ada
dasar dalam agama. Dasar tuha peut tersebut dari pancaran
sahabat nabi, dan sahabat nabi tidak ada unsur perempuan.
Namun pernyataan beliau ini sangat bertentangan dengan
apa yang terjadi ketika sebuah masalah menimpa keluarganya.
Setelah salah seorang keponakannya tertembak oleh aparat
keamanan. Tokoh adat tersebut langsung meminta aparat
kepolisian untuk mengusut tuntas kasus penembakan tersebut.
Dalam hal ini beliau tidak pernah menawarkan penyelesaian
masalah dengan peradilan adat, padahal pada umumnya beliau
sangat yakin semua masalah dapat diselesaikan dengan peradilan
adat. Dari contoh inipun kita bisa lihat bahwa pembatasan
wewenang peradilan adat masih kurang jelas, dan apakah suatu
kasus akan dibawa ke peradilan adat atau ke peradilan formal
sangat tergantung pada pilihan individu yang terlibat.

Proses Penyelesaian Perkara


Dalam proses penyelesaian perkara peradilan adat tidak
pernah membedakan kasus pidana atau perdata. Pihak
perangkat desa akan mengusaha menyelesaikan semua
masalah yang dilaporkan pada pada perangkat desa. Meskipun
dalam prakteknya sampai sekarang dalam peradilan adat di
tingkat desa cara penyelesaian sengketa pidana dan perdata
belum dibedakan, buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh telah
membedakan tata cara penyelesaian sengketa dan pidana.
Menurut buku pedoman ini penyelesaian sengketa perdata/
pidana mulai dengan menerima pengaduan, dan proses
selanjutnya adalah sidang persiapan, penulusuran duduk
50 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

sengketa, sidang persiapan putusan, penawaran alternatif,


rapat pengambilan keputusan dan yang terakhir pelaksanaan
keputusan. Sementara penyelesaian perkara yang bersifat
pidana prosesnya berbeda: setelah menerima laporan, tokoh
peradilan mengamankan para pihak, melakukan penanganan
khusus untuk perempuan atau anak-anak, mengkondusifkan
suasana damai terutama pada pihak keluarga yang dirugikan,
dan dalam pelaksanaan putusan mengadakan peusijuek untuk
mengembalikan kerukunan.
Di samping adanya perbedaan antara perkara kasus pidana
dan perdata, buku pedoman tersebut juga mengharuskan
adanya kelengkapan administrasi dalam proses pelaksanaan
peradilan adat. Alasan yang dikasih untuk kewajiban ini
adalah bahwa di zaman yang semakin modern ini, administrasi
peradilan gampong/mukim semakin dibutuhkan. Pembukuan
setiap peristiwa dan pengumpulan data tentang kasus tersebut
harus dilakukan untuk membuktikan bahwa apa yang pernah
dilakukan benar terjadi dan tidak terbantah lagi.
Kelengkapan administrasi minimal yang harus ada dalam
setiap peradilan adat di gampong/mukim adalah:
1. Buku registrasi yang berfungsi untuk mencatat setiap
laporan dari masyarakat tentang adanya sengketa/perkara
yang terjadi dan diminta untuk diselesaikan secara adat di
gampong.
2. Lembaran berita acara, yang dibuat untuk mencatat segala
yang mengemuka yang muncul dalam proses persidangan.
Segala data atau keterangan sedetil mungkin harus tercatat
dalam berita acara, baik keterangan dari pihak saksi-saksi,
alat bukti, maupun pertimbangan para majelis peradilan
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 51

3. Buku induk perkara, yang berisikan hal-hal pokok dari


keseluruhan penyelesaian perkara. Buku ini diperlukan
untuk memudahkan menemukan sengketa-sengketa yang
pernah diselesaikan. Buku ini mencatat semua kasus yang
pernah ditangani, karena itu cukup satu buku untuk satu
desa/mukim.
4. Lembaran keputusan perkara, merupakan surat keputusan
yang dikeluarkan oleh pihak peradilan adat di desa tentang
suatu perkara yang dilengkapi dengan nomor.
Selain itu juga tata letak sidang peradilan adat gampong
diseragamkan, seperti halnya letak persidangan formal. Di
samping itu juga diatur teknis musyawarah dalam peradilan
adat di antaranya: adanya perantara atau mediator yang
mempunyai peran, tahapan pertemuan dan strategi pertemuan
tertentu, seperti halnya peradilan formal.
Namun dalam praktek ternyata proses penyelesaian
perkara masih belum sesuai dengan cara yang dilatihkan
oleh MAA. Masyarakat yang diwawancarai mengakui bahwa
proses penyelesaian perkara masih belum dilengkapi dengan
administrasi yang berupa buku catatan perkara. Hal yang sama
dikonfirmasi juga oleh seorang staff lapangan dari IOM yang
mengomentar usaha sosialisasi oleh UNDP dan MAA dalam
hal penyelesaian perkara.8 Pada saat pelatihan pihak MAA
memang sudah membagikan contoh buku registrasi, lembaran
berita acara dan contoh buku induk perkara, serta lembaran
keputusan perkara. Namun di desa prosedur baru itu belum

Wawancara dengan Pak Darmi Yunus, staf lapangan IOM tanggal 4


8

Desember 2009
52 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

dijalankan, dengan alasan belum perlu, dan warga masih


mengikuti segala keputusan yang di keluarkan perangkat desa
tanpa tertulis hitam di atas putih. Kebiasaan lama masih juga
dilihat dalam tata letak persidangan, yang belum diatur seperti
peradilan formal tetapi seperti rapat gampong yang biasa.
Demikian halnya dalam masalah peran perempuan: meskipun
dalam pelatihan selalu diarahkan untuk diikutsertakan pihak
perempuan, dalam praktek perempuan masih tetap merupakan
hal yang tabu untuk diikutsertakan, kecuali kalau perempuan
tersebut dipanggil sebagai saksi.

Keputusan Peradilan Adat


Keputusan peradilan adat sangat beragam. Keputusan-
keputusan bisa bervariasi antara satu kasus dengan kasus
yang lain meskipun jenis kasusnya sama. Selain itu keputusan-
keputusan juga sangat bervariasi antara satu tempat dengan
tempat yang lain. Beberapa jenis-jenis sanksi yang biasa
dijatuhkan dalam peradilan adat di Aceh Besar adalah sebagai
berikut:

Nasihat
Keputusan ini bukan berupa sebuah denda yang diberikan
kepada pelaku, namun hanya kata-kata nasihat atau wejengan
yang diberikan oleh tokoh adat kepada si pelaku atau yang
melakukan kesalahan. Keputusan nasihat diberikan dalam
kasus-kasus ringan, misalnya adanya permasalahan fitnah dan
gosip yang tidak ada buktinya atau pertengkaran mulut antar
warga karena masalah kecil.
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 53

Teguran
Hampir sama dengan nesehat, teguran diberikan oleh
pihak yang mengadili kepada yang bersalah. Namun sifat dari
teguran ini bisa saja berupa peringatan dan bahkan sudah
termasuk pada suatu ancaman. Misalnya seorang warga yang
tidak mau ikut bergotong royong dua kali di desa. Ia akan
diberikan teguran bahwa ia akan didenda pada kali ketiga.
Ancaman denda bisa berupa tidak diberikan raskin (beras
untuk orang miskin) kepadanya.

Permintaan Maaf
Keputusan permintaan maaf sangat tergantung kepada
kasus. Dalam kasus yang bersifat pribadi, permintaan maaf juga
dilakukan oleh seorang yang bersalah kepada korbanya secara
langsung secara pribadi. Namun adakalanya permintaan maaf
dilakukan secara umum karena melanggar ketertiban umum.
Misalnya, orang yang berkhalwat di suatu desa, menurut warga
desa ia telah mengkotori desanya, maka ia harus minta maaf
di depan umum.

Diyat
Dalam sanksi ini, pelaku membayar denda kepada korban
sesuai dengan kasus atau masalah yang terjadi. Dalam kasus
yang menyebabkan keluarnya darah atau meninggal dunia,
maka hukuman dan denda dinamakan dengan diyat, atau
dalam bahasa Aceh dinamakan diet. Diyat dilakukan dengan
membayar uang atau tergantung keputusan ureung tuha
gampong, dan tergantung masalah. Dalam pengertian budaya
Aceh ini dikenal dengan luka ta sipat, darah ta sukat (luka
54 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

diukur, darah ditakar). Maka besarnya diet sangat tergantung


pada besarnya luka dan banyaknya darah yang keluar. Prosesi
ini akan diakhiri dengan upacara peusijuek dan peumat jaroe
(berjabat tangan) sebagai tanda telah dilakukan perdamaian.

Denda
Hukuman denda juga dijatuhkan sesuai dengan kasus yang
terjadi. Denda bisa berupa harta, atau uang. Tetapi orang yang
bersalah bisa juga didenda dengan cara dia tidak mendapatkan
pelayanan dari perangkat desa selama waktu yang tertentu.
Biasanya denda diberikan dalam kasus kesalahan yang
menyebabkan kerugian harta benda dengan menggantikannya
dengan barang lain yang memiliki fungsi yang sama.

Ganti Rugi
Hampir sama dengan denda, ganti rugi biasanya
dijatuhkan pada kasus pencurian dan atau tabrakan. Seorang
pencuri yang sudah ketahuan mencuri disuruh menggantikan
seluruh barang yang pernah dicurinya. Jumlah totalnya akan
ditentukan melalui keputusan adat. Demikian juga seorang
seorang yang menabrak harus memberikan ganti rugi sesuai
dengan kerugian yang diderita oleh korbannya.

Dikucilkan
Hukuman bisa juga diberikan oleh warga desa kepada
seseorang yang sering membuat masalah di suatu desa. Seorang
yang tidak pernah ikut gotong royong, tidak pernah ikut rapat,
tidak pernah ikut dalam kegiatan orang meninggal dan pesta
perkawinan di desa, saja dikucilkan. Artinya, jika ada masalah
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 55

yang menimpa dirinya maka masyarakat tidak peduli dan tidak


membantu orang tersebut mengatasi masalahnya. Contohnya,
kalau ada di antara anggota keluarganya yang meninggal dunia,
maka ia harus menyelesaikan sendiri jenazah keluarganya
tersebut dan masyarakat tidak ikut mendoakannya.

Dikeluarkan dari Gampong


Seorang yang melanggar adat bisa juga dikeluarkan
dari gampong oleh masyarakat. Hal ini terjadi bila seorang
mempunyai perangai seperti tersebut di atas ditambah
ada pekerjaan dia yang mengotori desa, misalnya seorang
bandar judi atau narkoba. Kalau ia sudah diberikan beberapa
nasihat dan teguran namun dia masih tidak menghentikan
pekerjaannya, dan tidak mau dengar apapun yang dikatakan
oleh perangkat gampong. Kalau perkara sudah berulang-ulang
dilakukan tanpa perubahan maka ia bisa saja dikeluarkan dari
gampong. Biasanya masyarakat akan membangkit sendiri untuk
berdemonstrasi, bisa dengan mengancam akan membakar
rumah pelaku bila dia tidak keluar dari desa tersebut. Ini bisa
juga terjadi pada kasus asusila.

Pencabutan Gelar Adat


Hal ini dilakukan bila perangkat adat tersebut terbukti
melawan hukum adat. Misalnya kalau seorang teungku meunasah
terbukti melakukan khalwat ia akan langsung dicabut gelar
teungku dan tidak berhak lagi memimpin upacara keagamaan.

Toep Meunalee
Sanksi ini dikenakan kepada seseorang yang menuduh
56 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

tanpa adanya bukti. Maka orang yang menuduh, karena


sudah mencemarkan nama baik orang yang dituduh, ia harus
membayar denda dengan nama toep meunalee (menutup malu).
Sanksi toep meunalee tergantung keputusan para parangkat
desa, dan disesuikan dengan kondisi masalah. Adakalanya
dengan memotong lembu atau kambing yang dimasak dan
dibagikan kepada warga desa. Namun ada kalanya sanksi
ini dipenuhi dengan hanya potong ayam saja, atau dengan
uang, atau dengan emas. Tetapi pada terakhir acara tersebut
tetap harus mengadakan acara peusijuk sebagai tanda bahwa
keduanya sudah berdamai.

Sanksi Adat di Laut


Hukuman dan sanksi yang berlaku dalam peradilan adat
sebagaimana tersebut di atas sangat berviariasi, tergantung
kapada permasalahan yang terjadi adakalanya sekedar teguran
atau nasihat apabila kasus yang terjadi tidak berat. Namun saat
ini ada pengecualian untuk perkara yang terjadi di laut atau
dalam masyarakat nelayan. Panglima laot sudah mempunyai
pedoman baku tentang sanksi yang dikenakan bagi nelayan
melanggar adat istiadat/tatacara penangkapan ikan. Dia akan
dikenakan tindakan hukum berupa pantang ke laut selama tiga
hari dan seluruh hasil tangkapan disita untuk kas panglima
laot.
Sebagai sebuah lembaga yang sudah teratur dalam
manajemennya lembaga panglima laot telah mempunyai
syarat-syarat pengajuan persidangan perkara.
1. Setiap orang/pawang yang mengajukan perkara pada
lembaga hukum adat laot atau lembaga persidangan adat
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 57

laot harus membayar uang meja sebesar Rp 15.000.- (lima


belas ribu rupiah)
2. Pengajuan perkara tidak boleh lewat hari Kamis
3. Biaya sidang dipungut 10% dari uang hasil perkara
4. Penggugat sudah harus menghadirkan saksi-saksi pada saat
sidang dibuka
5. Saksi-saksi dari pihak yang berpekara disyaratkan harus
mengangkat sumpah
6. Apabila penggugat atau tergugat tidak menghadiri sidang
sampai dengan dua kali persidangan maka mejelis akan
mengambil keputusan
7. Apabila penggugat dan tergugat tidak hadir, perkara dapat
ditolak dan lembaga hakim akan mengambil biaya sidang
10% dari uang yang diperkarakan.

Selain itu lembaga panglima laot juga mengalami


ketentuan-ketentuan adat laot lain yang sudah baku yaitu di
antaranya adat laot tidak boleh bertentangan dengan peraturan
pemerintah dan agama Islam. Sedangkan pada wilayah adat
yang lain belum mempunyai ketetapan yang pasti sebagaimana
panglima laot.

Revitalisasi Peradilan Adat di Aceh Besar


Tidak bisa dipungkiri Aceh Besar sebenarnya merupakan
daerah yang diuntungkan dari beragam pemberdayaan yang
dilakukan baik oleh pemerintah maupun non pemerintah. Hal
ini karena letaknya Aceh Besar yang sangat strategis dekat
dengan ibu kota provinsi. Termasuk di dalamnya masalah
pemberdayaan di bidang adat. Dalam pengamatan penulis ada
58 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

beberapa bentuk revitalisasi peradilan adat yang dilakukan di


Aceh Besar, yaitu:

Pembentukan Qanun Gampong


Di setiap desa di Aceh Besar sekarang sudah terbentuk
qanun gampong, namun komposisi dan materi qanun
gampong sangat bervariasi. Qanun-qanun ini bisa hanya
berisi rencana pembangunan desa yang terdiri dari rencana
lima tahun, satu tahun, serta anggaran gampong. Selain tiga
dokumen di atas ini di beberapa gampong di Aceh Besar sudah
terdapat dan dikeluarkan qanun gampong tentang adat, tata
tertib, dan lingkungan gampong, yang berisi semua tatacara
adat dan sanksi adat yang berkaitan pelanggaran. Bentuk
qanun gampong seperti ini antara lain terdapat di kemukiman
Jantho. Di sana ada sekitar lima desa yang sudah mempunyai
qanun gampong dan sanksi sudah diregulasi secara tertulis
dan tersimpan di kantor desa. Upaya pembuatan qanun di
kemukiman Jantho ini difasilitasi oleh ESP USAID Aceh pada
tahun 2008. Selain qanun gampong di kemukiman Jantho, di
Lampanah Leungah kecamatan Seulimum juga terdapat qanun
yang berjudul “Dokumen Kesepakatan Adat: Mukim Lampanah
Leungah.” Qanun ini berisi wewenang, fungsi dan kedudukan
dari para perangkat lembaga adat. Dokumen ini difokuskan
pada pelestarian lingkungan hidup, hutan dan sumber daya
hutan. Hal ini disebabkan karena Lampanah secara geografis
terletak di kaki gunung Seulawah yang sudah ditetapkan
sebagai Daerah Hutan Lindung sejak tahun 2005 atas prakarsa
NGO Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI)
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 59

Pelatihan
Banyak lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah
melakukan beragam pelatihan yang menyangkut peradilan adat
di Aceh Besar. Mulai awal bulan November sampai pertengahan
Desember tahun 2009, UNDP bersama MAA telah melakukan
pelatihan peradilan adat bagi 604 keuchik di seluruh gampong
di Aceh Besar. Pelatihan ini mengajarkan keuchik tentang
tatacara dan mekanisme sistem peradilan adat yang baik.
Di samping itu juga ada beberapa lembaga yang melakukan
pelatihan yang berkaitan dengan peradilan adat, yang diikuti
oleh tokoh-tokoh adat.

Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM)


Forum ini adalah sebuah langkah yang baru direncanakan
oleh Polda Aceh, dalam rangka menyukseskan program Polmas
(perpolisian masyarakat). Forum ini merupakan suatu upaya
pencegahan beragam masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Pencegahan tidak dilihat lagi sebagai tanggung jawab polisi,
namun keinginannya polisi bersama dengan masyarakat
melakukan pencegahan bersama. Menurut FKPM ini, masalah
yang muncul di gampong tidak perlu langsung dilapor ke
pengadilan atau kantor polisi, tetapi masyarakat akan dibantu
oleh polisi terlebih dahulu untuk memecahkan masalah
tersebut melalui forum tuha peut dan perangkat adat lainnya
di gampong. Bentuk penyelesaian masalah secara adat di desa
seperti dimaksudkan oleh pihak FKPM jarang menyebutkanya
penyelesaian menurut peradilan adat. FKPM ini adalah program
kerjasama dengan IOM dan masih dalam tahap pilot proyek di
beberapa desa di Aceh Besar.
60 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Ketidakpedulian Warga Terhadap Peradilan Adat


Seharusnya program pemberdayaan tersebut yang telah
dilakukan dapat menjadikan lembaga peradilan adat lebih baik
dan sebagai pilihan masyarakat di samping payung hukum
formal. Apalagi peradilan adat didukung oleh berbagai pihak
baik di tingkat gampong maupun di tingkat mukim. Dengan
demikian, sejatinya dengan adanya peradilan adat kasus
di peradilan formal seperti agama akan menurun. Namun
yang terjadi justru sebaliknya, jumlah kasus yang masuk ke
Pengadilan Agama Aceh Besar justru semakin meningkat. Pada
tahun 2006 ada 484 kasus yang masuk ke Mahkamah Syar’iyah,
tahun 2007 meningkat 859, tahun 2008 terjadi penurunan dari
tahun 2007 yaitu 608 kasus akan tetapi akan naik lagi pada
tahun 2009, yang sudah diperoleh hanya sampai bulan Mei
yaitu 357 kasus. Sampai sekarang, menurut seorang pegawai
di pengadilan Mahkamah Sya’riyah tahun ini juga meningkat.9
Dari pantauan penulis di beberapa daerah di wilayah
Aceh Besar, berbagai program revitalisasi lembaga peradilan
adat belum banyak berpengaruh. Hal ini disebabkan karena
masyarakat memang sudah mempraktekkannya peradilan adat
sejak lama, dan bila ada yang tidak puas mereka baru menempuh
tahap peradilan formal. Inipun sangat khusus karena alternatif
ini terbuka hanya bagi mereka yang mempunyai uang dan
mempunyai kapasitas untuk memperkarakan sebuah masalah
ke tingkat selanjutnya. Namun suatu relitas bagi mereka
yang tidak punya uang dan tidak mengerti tentang hukum
dicukupkan dengan peradilan di gampong.

Sumber data animous dari kantor Mahkamah Syar’iyah Kota Jantho


9
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 61

Ketidakmampuan ini bisa sangat menyulitkan kehidupan


orang di gampong. Hal ini terjadi dalam kasus perceraian antara
Murni dan Ali.10 Secara hukum agama dan hukum adat Murni
tanpa harus ke pengadilan Mahkamah Syar’iyah sudah bisa
dikatakan bercerai, karena Ali telah menthalak Murni dengan
raji’i (talak tiga). Setelah menalak istrinya, Ali melaporkan
ungkapan thalak tersebut pada perangkat desa. Perangkat
desapun sudah mengatakan sah Murni sudah bercerai karena
juga disertai sikap Ali yang sering menganiaya Murni, dan
sudah lama tidak pulang untuk mencukupi nafkah lahir batin
untuk Murni. Tapi sekarang Murni ingin kawin dengan laki-laki
lain, tetapi dia tidak boleh langsung menikah meskipun secara
agama dan hukum adat sudah cerai, karena belum keluar surat
cerai dari Mahkamah Syar’iyah Jantho. Karena itu pihak Kantor
Urusan Agama (KUA) tidak bisa menikahkan Murni dengan calon
suaminya.Kasus Murni tidaklah serumit ’mantan suaminya’
Ali, karena Ali sekarang sudah kawin lagi dengan Rubamah.
Ali kawin dengan Rubamah tidak melalui KUA tapi menikah di
bawah tangan (nikah siri), yaitu dinikahkan oleh seorang kadhi
secara agama dan adat saja, dan ini dianggap sudah sah. Di
pihak lain pun Ali tidak mempermasalahkan nikahnya tercatat
atau tidak di KUA, yang penting menurutnya sudah sah secara
agama dan adat. Kasus-kasus seperti ini sudah lazim terjadi
dari dulu, dan ternyata usaha revitalisasi peradilan adat yang
berlangsung sekarang belum membawa perubahan.
Begitu juga dengan kasus-kasusyang membuktikan
bahwa tidak semua warga peduli tentang peradilan formal.

bukan nama-nama asli


10
62 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Misalnya sudah pernah terjadi kasus kawin cerainya Bapak


Husni. Sekarang Bapak Husni sudah kawin dengan tujuh orang
perempuan, dan hampir tidak ada perkawinannya yang tercatat
di KUA. Hanya pernikahannya yang pertama yang tercatat dan
mempunyai buku nikah, sedangkan yang lain dia melakukan
dengan nikah di bawah tangan atau nikah dengan kadhi illegal
tanpa dicatat di pencatatan nikah. Namun masyarakat tidak
menganggap suatu hal yang melanggar syariat karena apa yang
dilakukan Husni ini secara adat dan secara agama sudah sah,
warga tidak memprotesnya. Dan beliaupun tidak mebutuhkan
pengakuan secara hukum formal. Jadi peran dan kedudukan
peradilan adat sekarang ini sangat tergantung kebutuhan dan
kepentingan masyarakat itu sendiri. Ketika ia merasa butuh
kepastian secara formal ia akan melapor ke peradilan agama,
dan ketika ia merasa cukup dengan peradilan adat masalah dia
cukup diselesaikan secara adat saja.
Ada satu kasus yang juga membuktikan argumen ini. Dalam
kasus tersebut anak Ibu Heni (bukan nama asli) yang berumur
12 tahun berkelahi sesama temannya. Ibu Heni langsung
melaporkan ke polisi karena ayahnya seorang mantan pejabat
teras di Jantho. Sebenarnya kasus tersebut adalah perkelahian
ringan dan bisa saja diselesaikan secara adat di desa, namun
karena bapaknya seorang mantan pejabat, dan tahu prosedur
hukum formal langsung melaporkan pada polisi. Akibatnya,
perangkat desapun sekarang tidak bisa menyelesaikan karena
sudah dilimpahkan ke polisi.
Berdasarkan realitas yang digambarkan di atas, ternyata
pemberdayaan lembaga peradilan adat sekarang dilakukan
secara parsial atau secara sepihak dan tidak secara menyeluruh
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 63

serta tidak ada saling koordinasi. Seandainya saja antara


peradilan adat dan peradilan formal saling menjalin koordinasi,
maka peradilan adat di tingkat gampong dan mukim akan
bangkit lagi marwahnya, atau eksistensi peradilan adat akan
lebih kuat. Dan lebih jauh akan menjadikan adagium “hukom
ngen adat lagee zat ngen sifeut, hukum dengan adat seperti
zan dan sifat, lebih terasa. Namun dalam realitasnya dengan
melihat konteks sekarang “hukom ngen adat lagee ie ngen
minyeuk, hukum dan adat seperti air dengan minyak yaitu
tidak pernah bersatu. Peradilan adat terus dikembangkan, di
pihak lain pihak peradilan formal juga terus berjalan dengan
tatacaranya tersendiri tanpa koordinasi antara peradilan adat
dengan peradilan formal.

Kesimpulan
Berdasarkan beberapa kenyataan yang terdapat di lapangan,
revitalisasi peradilan adat di Aceh Besar ternyata tidak begitu
berperan. Ada beberapa alasan untuk ini yang disimpulkan di
berikut ini.
Tidak kuatnya lembaga mukim sebagai banding perkara
dari gampong. Peradilan adat di tingkat mukim belum dibentuk
karena faktor sejarah: lembaga mukim sudah lama tidak aktif.
Sebenarnya lembaga mukim kalau kita lihat dari landasan
hukumnya sudah sangat kuat karena qanun nomor 4 tahun
2003 tentang Pemerintahan Mukim. Namun implementasinya
qanun ini hanya sampai ke imum mukim, dan dalam beberapa
tempat sudah ada sekretaris mukim, sedangkan struktur
lembaga mukim yang lain belum ada. Faktor lain adalah juga
karena sumber daya manusia mukim masih kurang, seperti
64 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

dikemukakan oleh satu penelitian yang dilakukan tahun


2005. Menurut penelitian ini pada umumnya imum mukim
hanya tamatan sekolah dasar (Nurlif: 2005). Sehingga bila ada
masalah yang tidak bisa diselesaikan di tingkat gampong tidak
ada peradilan adat banding, maka satu-satunya pilihan adalah
peradilan formal.
Meskipun usaha revitalisasi terus dilakukan oleh
berbagai pihak, namun di pihak lain pemerintah sendiri
belum melakukan koordinasi antar lembaga peradilan
adat dengan pengadilan formal. Meskipun qanun nomor 9
tahun 2008 tentang Peran Lembaga Adat dalam Bab II pasal
13 (3) mengatakan: aparat penegak hukum memberikan
kesempatan agar sengketa/perselisihan deselesaikan terlebih
dahulu secara adat di Gampong atau nama lain. Tapi dalam
implementasinya, pihak peradilan formal tidak menanyakan
dan tidak mensyaratkan suatu kasus yang mereka tangani
terlebih dahulu harus diselesaikan secara adat. Mereka
dengan leluasa menangani semua kasus yang diadukan karena
memang tidak ada suatu perintah bahwa suatu perkara akan
diproses di pengadilan formal bila tidak mampu diselesaikan
secara adat. Begitu juga dengan lembaga-lembaga lain dalam
melakukan pemberdayaan hanya menjalankan misinya masing-
masing, tanpa peduli atau mengaitkan dengan program yang
pernah dilakukan oleh lembaga lain, mungkin kasarnya hanya
menjalani misinya sendiri.
Tokoh-tokoh yang melakukan revitalisasi adat hanyalah
beberapa orang tua yang tertarik dengan pemberdayaan
adat. Sangat jarang kita melihat tokoh muda yang ikut dalam
berbagai kegitan yang berkaitan dengan adat. Penulis yang
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 65

mengikuti lima kali seminar tentang adat di Aceh Besar tetap


berjumpa dengan tokoh adat yang sama. Dalam kasus lain hal
ini menurut penulis juga sebuah tantangan bagi revitalisasi
adat di Aceh Besar karena para tokoh atau pelaku utama di
tingkat pemerintah yakni MAA diisi oleh tokoh-tokoh yang
sudah sangat lanjut usia dan pada umumnya pensiunan
Pegawai Negeri Sipil. Dari data yang ada kita bisa lihat sebagai
berikut: Ketua MAA Aceh Besar Teungku Ibrahim, mantan
anggota dewan DPRK Aceh Besar, umurnya 78 tahun. Wakil
Ketua, M. Hasbi, pensiunan kantor P&K Aceh Besar, umurnya 65
tahun. Sekretaris, Abdurraman, pensiunan sekretaris anggota
dewan DPRK Jantho, umurnya 68 tahun.11 Kita bisa tanyakan
bagaimana masa depan lembaga adat kalau tokoh-tokoh muda
tidak terlibatkan dalam posisi-posisi kunci?
Sebagai warga Aceh Besar, saya melihat (mungkin sangat
subjektif) di antara pihak lembaga donor ada yang hanya
memanfaatkan peluang saja dalam melakukan pemberdayaan
revitalisasi adat di Aceh Besar seperti contoh kasus. Sebuah
lembaga donor melakukan pembinaan terhadap lembaga adat
hanya melakukan di level desa. Bila suatu masalah tidak bisa
terselesaikan langsung diberikan arahan kepada peradilan
formal. Mereka tidak menunjukkan lembaga mukim sebagai
tempat banding bila tidak selesai di level desa. Alasannya
dalam program mereka hanya ada di tingkat desa, tidak
masuk dalam lembaga mukim. Padahal mereka tahu lembaga
mukim di Aceh Besar juga sedang diberdayakan, tapi mereka

Sumber: struktur pengurus MAA Aceh Besar dan hasil wawancara dengan
11

ketua MAA tanggal 28 Juli 2009.


66 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

tidak memperdulikan masalah tersebut karena bukan


wewenangnya.
Ketua MAA Aceh sendiri juga mengakui banyak lembaga
pemberdayaan tentang adat di Aceh tidak melakukan koordinasi
terutama dengan pihak MAA sendiri. Pak Badruzzaman
mencontohkan adanya beberapa NGO yang mempunyai
program pemberdayaan lembaga adat di Aceh Besar, seperti
LOGICA-AIPRD. Lembaga ini melakukan pemberdayaan kepada
para tuha peut di Aceh Besar. Menurutnya mereka tidak
melakukan koordinasi dengan pihak MAA Aceh dan MAA Aceh
Besar. Mereka bergerak terus sendiri-sendiri ke gampong-
gampong. Mereka juga mempunyai program pemberdayaan
perempuan untuk mengisi lembaga tuha peut, namun ini juga
tidak dikoordinasi dengan MAA.12
Meskipun payung hukum untuk membangun peradilan
adat sudah kuat, namun peradilan adat dari segi kekuatan
hukum tidaklah sama dengan pengadilan formal. Keputusan
dari peradilan adat ini tidak pernah dicatat. Pihak
penyelenggara peradilan ini tidak mempunyai tradisi untuk
mencatat atau menulis berita acara dan tatacara peradilannya.
Sehingga walaupun secara de facto diakui oleh masyarakat
sendiri bahwa suatu perkara sudah diselesaikan secara adat,
namun karena tidak pernah dicatat tidak mempunyai bukti
secara tertulis bahwa suatu perkara sudah diselesaikan
secara peradilan adat. Terkecuali peradilan adat panglima
laot yang sudah mempunyai mekanisme tersendiri dalam
masalah kelautan. Sedangkan lembaga adat yang lain sampai

Wawancara dengan ketua MAA Aceh Besar, tanggal 5 Juli 2009


12
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 67

sekarang belum ada suatu tradisi menulis atau mencatat tiap


perkara.
Di samping itu juga kesadaran masyarakat tentang
kedudukan peradilan adat juga masih sangat beragam. Di satu
pihak ada yang hanya mengandalkan peradilan adat tanpa
peduli dengan peradilan formal. Sementara di pihak lain masih
terdapat masyarakat yang tidak percaya dengan keberadaan
peradilan adat, hingga apabila ada suatu kasus kecilpun
mereka melapor ke peradilan formal. Hal ini biasanya berlaku
pada masyarakat kelas menengah ke atas yang sudah tahu
prosedur peradilan formal, seperti kasus yang pernah penulis
kemukakan di atas.
Tidak bisa dipungkiri dalam proses peradilan adat masih
terdapat bias terutama terhadap perempuan. Alasannya karena
perangkat adat di gampong yang melaksanakan peradilan
adat belum ada keterwakilan perempuan. Alasan kedua bila
ada kasus yang diselesaikan secara adat pihak perempuan
jarang dilibatkan. Alasan ketiga kaum perempuan jarang yang
diikutsertakan dalam proses peradilan, biasanya diwakilkan
oleh walinya, kecuali sebagai saksi.
Revitalisasi
Lembaga Adat
di Nagan Raya
oleh: Zulkarnaini

NAGAN RAYA
Kabupaten Nagan Raya secara geografis terletak pada lokasi
03º40 - 04º38’ Lintang Utara dan 96º11’ - 96º48’ Bujur Timur
dengan luas wilayahnya 3.363,72 Km² (336.372 hektar).
Kabupaten Nagan Raya berbatasan dengan Kabupaten Aceh
Barat dan Aceh Tengah di sebelah Utara, Kabupaten Gayo Lues
dan Aceh Barat Daya di sebelah Timur, Kabupaten Aceh Barat
di sebelah Barat dan di bagian Selatan berbatasan dengan
Samudera Indonesia. Pada tahun 2007 terdapat penduduk
dengan klasifikasi keluarga prasejahtera sebanyak 9.142 KK
(28,31 %), keluarga sejahtera I sebanyak 8.555 KK (26,49 %),
keluarga sejahtera II sebanyak 8.548 KK (26,47 %), keluarga
sejahtera III sebanyak 4.130 KK (12,79 %) dan keluarga sejahtera
plus sebanyak 1.917 KK (5,94 %). Penduduknya beragama
Islam, terdiri dari petani, peternak, nelayan, pedagang, PNS
dan TNI/Polri. Terdiri dari suku Aceh, Jawa, Padang, Batak.
Nagan Raya adalah kabupaten baru dari pemekaran kabupaten
induknya Aceh Barat. Pemekaran kabupaten ini terbentuk
pada tanggal 2 Juli 2002. Pada tahun 2007 Nagan Raya telah
mengalami pemekaran wilayah kecamatan yaitu dari 5 (lima)
kecamatan menjadi 8 (delapan) kecamatan. Saat ini Nagan
Raya memiliki 27 mukim dan 223 gampong.
70 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

REVITALISASI ADAT DI ACEH SETELAH ADANYA UU-PA


tahun 2006 lebih terfokus membangun lembaga adat seperti
lembaga mukim. Keistimewaan Aceh dalam bidang adat istiadat
juga termaktub dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 1999
tentang Pelaksanaan Keistimewaan Aceh; Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kemudian,
dikeluarkan pula Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun
2007 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat
Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat. Sebagai tindak
lanjut dari beberapa undang-undang nasional itu, disusunlah
Qanun Aceh No. 4 Tahun 2003 tentang Mukim dan Qanun No.
3 Tahun 2004 tentang Majelis Adat Aceh. Tahun 2008 DPRA
mengeluarkan Qanun No. 9 tentang Pembinaan Kehidupan Adat
dan Adat Istiadat, dan juga Qanun No.10 Tahun 2008 tentang
Lembaga Adat. Kesemuanya itu merupakan payung hukum bagi
usaha pengisian keistimewaan Aceh dalam bidang Adat dan
Istiadat (Yusri Yusuf, 2009: 1).
Di tulisan ini saya lebih memfokuskan dalam bidang
adat istiadat. Tulisan ini merupakan kajian pada berbagai
perkembangan di Kabupaten Nagan Raya dalam hal adat.
Kabupaten Nagan Raya berbeda dengan beberapa kabupaten
lainnya di Aceh, salah satunya dalam hal revitalisasi adat. Saat ini
daerah lain sedang giat-giatnya melaksanakan revitalisasi adat,
terutama semenjak otonomi khusus dan UU-PA didengungkan,
ternyata di Nagan Raya justru tidak tampak. Hal ini bisa jadi
karena adat istiadat memang telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari tradisi kehidupan masyarakat setempat.
Dalam kehidupan sosial masyarakat nampak kentara nuansa
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 71

adatnya dan masih cukup kental terutama dalam institusi adat


keluarga dan komunitas pengikut Abu Habib Muda Seunagan
(Abu Peuleukung).
Artikel ini menjelaskan berbagai hal berkaitan dengan
revitalisasi lembaga adat, dan apa saja yang membuat adat
istiadat di Nagan Raya masih tetap bertahan sampai sekarang.
Saya memfokuskan tulisan ini untuk menjawab beberapa
pertanyaan; bagaimana peran Peuleukung dalam setting adat
di Nagan Raya?; Bagaimana bentuk adat yang dipengaruhi
oleh Peuleukung?; dan Bagaimana kontrol Peuleukung
terhadap lembaga adat? Untuk menjawab pertanyaan ini saya
memperoleh dari kerja lapangan selama enam bulan melalui
wawancara mendalam dengan para tokoh adat, tokoh agama,
dan pegiat LSM lokal. Saya juga melakukan FGD dengan
beberapa kelompok masyarakat dan para tokoh adat. Selain itu
saya mengamati pelaksanaan adat istiadat dalam institusi adat
keluarga serta praktek adat komunitas pengikut Abu Habib
Muda Seunagan dalam berbagai momen dan kesempatan.
Pembahasan ini dirasakan perlu untuk mengetahui apa
kepentingannya sehingga adat istiadat di Kabupaten Nagan
Raya ini masih terpelihara dan terjaga dengan baik, siapa yang
berada di balik bertahannya institusi adat ini.

Sejarah Peuleukung
Kedatangan orang Arab ke kepulauan Nusantara sebahagian
dengan tujuan berdagang. Akan tetapi mereka datang tidak
hanya membawa barang-barang dagangan, melainkan juga
membawa agama Islam. Di Hadramaut (Yaman Selatan), para
pedagang ini dikenal berpengetahuan luas, pedagang dan
72 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

pekerja keras, bahkan sebagiannya juga dikenal sebagai wali


atau orang suci. Mereka inilah yang dikenal dengan kelompok
Habib di Nusantara. Komunitas Habib, di samping komunitas-
komunitas Arab lainnya telah lama terbentuk di banyak daerah
di Nusantara; di antaranya di Kampung Cikoang (Makasar), di
Solo (Jawa Tengah), di Kwintang (Jakarta Pusat), dan juga di
Nagan Raya di Aceh. Khusus di Jakarta Pusat golongan Habib
ini dulunya dipimpin oleh Ulama Besar Almarhum Habib Ali
bin Abdurrahman al-Habsyi. Sementara di Peuleukung, Nagan
Raya dulunya dipimpin oleh Abu Habib Muda Seunagan yang
bergelar Habib Syaikhuna Quthub Nasbah.
Abu Habib Muda Seunagan dilahirkan kira-kira pada tahun
1860 di Gampong Kreung Kulu, Blang Ara, Seunagan Timur,
yang sekarang merupakan kecamatan yang ada di daerah dalam
Kabupaten Nagan Raya. Abu Habib Muda Seunagan merupakan
anak keempat dari 14 orang bersaudara; 10 orang laki-laki dan
empat orang perempuan. Tidak seorangpun dari familinya
yang mengetahui persis tentang hari, tanggal dan bulan ia
dilahirkan. Hal demikian sudah umum terjadi pada masyarakat
zaman dulu, meskipun mereka seorang ulama maupun guru,
tetapi soal mencatat hari dan tanggal kelahiran anak atau cucu
kurang diperhatikan. Selain hanya tahun kelahirannya saja
yang diperingati atau menghubungkan peristiwa-peristiwa
yang mudah diingat seperti waktu terjadi gerhana matahari,
waktu zaman penjajahan Belanda maupun Jepang.
Abu Habib Muda Seunagan yang nama aslinya Habib
Muhammad Yeddin bin Habib Muhammad Yasin bin Habib
Abdurrahman Quthubul Ujud bin Habib Abdul Qadir
Rama’any bin Said Athaf (Intu) silsilah beliau diyakini oleh
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 73

para pengikutnya sampai kepada Rasulullah SAW. Said


Muhammad Yeddin atau Abu Habib Muda Seunagan memiliki
sejumlah nama lain seperti, Abu Peuleukung, Abu Nagan, Abu
Balee (balai), Abu Tuha (tua), dan Teungku Puteh (putih). Dari
sejumlah nama yang ia sandang sebagai bukti nyata bahwa
seluruh kehidupannya ia curahkan untuk kemaslahatan umat,
sehingga nama negeri atau tempat menyatu dalam dirinya.
Dari sinilah bibit kasih sayang, kagum dan hormat terlahir
dari lubuk hati umat, itulah yang terjadi pada diri Abu Habib
Muda Seunagan, sesuatu yang memang jelas terbukti, terlihat,
terdengar oleh orang-orang sepanjang hidupnya sehingga
tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Para Habib memiliki
bermacam-macam marga atau klan seperti al-Atas, al-Habsyi,
al-Aydrus, al-Haddad, dan lain-lain. Abu Habib Muda Seunagan
bermarga Habib diyakini para pengikutnya masih keturunan
Rasulullah SAW (Sammina Daud, 2009: 28-29).
Menurut Jakfar (bukan nama sebenarnya), seorang pengikut,
saat ini pengikut dari Abu Habib Muda Seunagan diperkirakan
berjumlah lebih kurang 50.000 orang yang tersebar di berbagai
daerah, di antaranya Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Selatan,
Takengon, dan juga daerah lainnya di Aceh. Menurut Said
Mahadri1 bagi pengikut Abu Habib Muda Seunagan ini, apapun
yang pernah diwasiatkannya adalah sumpah yang harus
dilaksanakan. Menurutnya tarekat itu sendiri sama dengan
“terikat”, yang berarti siapapun yang telah disumpah harus
mewasiatkan lagi kepada anak cucunya tentang beberapa hal.

1
Samaran dari nama tokoh agama, pengikut setia Abu Habib Muda
Seunagan.
74 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Di antara isi sumpah adalah tidak boleh berzina, tidak boleh


mencuri dan hal-hal lain yang dilarang agama. Semua itu harus
diikuti dan tidak ada yang berani melanggar walaupun orang
yang disumpah adalah orang yang sedikit ilmu agamanya
tetapi diamalkan apa yang “geuwasiet guree” (diwasiatkan oleh
guru). Menurut keyakinan pengikut Abu Habib Muda Seunagan
ini, ilmu yang dimiliki beliau adalah ilmu hakikat dan makrifat,
sedangkan yang diketahui masyarakat adalah ilmu syariat.
Pengaruhnya Abu Habib Muda Seunagan sangat terlihat
dalam masyarakat Nagan Raya selama kehidupannya maupun
setelah tokoh besar ini meninggal dunia. Reputasinya dia juga
terdengar di luar Aceh. Pada saat hidupnya banyak masyarakat
yang membawa ratusan kerbau memintanya membacakan
tahlil untuk anggota keluarga mereka yang telah meninggal.
Sepah dari sirih yang ia makan dijadikan sebagai obat oleh
para pengikutnya. Perkataannya selalu diikuti karena beliau
mengetahui apa yang akan terjadi ke depan; apakah itu tentang
akan adanya bala dan sebagainya. Saat dia hidup setiap pejabat
yang datang ke Aceh pasti mengunjunginya baik dari pejabat
sipil maupun militer. Sukarno sebagai seorang presiden
pertama Republik Indonesia pertama juga telah berkunjung
dan menghadiahkan satu mobil Land Rover yang sampai saat
ini masih dirawat dengan baik oleh keluarga Peuleukung.
Saat Abu Habib Muda menghembuskan nafas terakhir
pada hari Rabu 14 Juni 1972 M bertepatan dengan 4 Jumadil
Awal, para pelayat dari berbagai daerah datang ke komplek
kediamannya. Bahkan sebagian para pelayat menerobos hutan
belantara dengan jalan kaki menelusuri jalan setapak. Jenazah
Abu Habib Muda Seunagan malam itu disemayamkan di rumah
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 75

duka, baru ke esokan harinya dimakamkan. Saat Jenazah


almarhum diusung memasuki a’ziyin untuk memasuki kubah
pemakaman, terjadi perebutan di antara para mu’aziyin untuk
saling mengusung jenazah, sehingga ada teriakan agar para
pelayat tidak saling berebut mengangkat jenazah. Keributan
kecil itu berhenti ketika seorang mengumandangkan salawat,
kemudian diikuti oleh yang lain, akhirnya jenazah dapat
diletakkan di tepi liang kubur.
Pada masa G30S PKI, orang-orang yang tertuduh dan
terlibat baru akan selamat ketika dapat lari ke Peuleukung
dan mencari perlindungan dari Habib Muda Seunagan. Dalam
masa konflik Aceh sekalipun, ada banyak razia yang dilakukan
oleh aparat keamanan, namun yang menarik adalah bagi yang
punya surat cap sikureung (sembilan) yang dikeluarkan oleh
keluarga Peuleukung langsung dibebaskan tanpa diproses
sedangkan yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk saja tetap
diproses. Saat ini yang meneruskan ajaran Abu Habib Muda
Seunagan ini adalah Abu Qudrat, putra bungsu dari Abu Habib
Muda Seunagan dan satu-satunya yang masih hidup saat ini.

Stratifikasi Sosial
Di daerah Nagan Raya menurut perjalanan sejarah terdapat
pelapisan sosial (golongan-golongan) pada masyarakat,
terutama pada masa yang lalu (saat masih berdirinya kerajaan
kecil). Pelapisan sosial itu terbentuk berdasarkan keturunan dan
mempunyai kedudukan tersendiri di dalam masyarakat saat
itu. Pelapisan sosial pada masa lalu dalam masyarakat Nagan
Raya dapat dibagi dalam; golongan ulee balang yang memegang
tampuk pemerintahan (raja) beserta keluarganya; golongan ulee
76 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

balang cut dan ulama; golongan patut-patut (pejabat negeri)


dan orang terkemuka/cerdik pandai; dan golongan rakyat
(Pemerintah Kabupaten Nagan Raya, 2004: 24).
Saat ini stratifikasi sosial sedikit telah bergeser, karena
sistem kerajaan sudah tidak ada lagi sejak era kemerdekaan.
Lambat laun para golongan habib yang dulu hanya datang
menyebarkan Islam dan juga berniaga telah mendapat tempat
tersendiri di kalangan masyarakat Nagan Raya terutama
semenjak berakarnya pengaruh Abu Habib Muda Seunagan ini
dalam kalangan masyarakat setempat. Perubahan ini membuat
pelapisan sosial menjadi sedikit berubah: golongan Habib/
Said (yang ada silsilah dari keluarga Abu Habib Muda Seunagan
dan berasal dari Gampong Peuleukung, Blang Ara dan Pulo Ie);
golongan Raja/Ampon/Teuku (khusus yang punya kedudukan
dan kaya); golongan pejabat pemerintahan dan orang-orang
kaya; dan golongan masyarakat biasa.
Perlakuan adat menjadi berbeda berdasarkan pelapisan
sosial, masing-masingnya mempunyai reusam2 yang berbeda-
beda. Nuansa ini masih tergambar jelas dari sikap masyarakat
biasa terhadap kedua golongan yang lebih tinggi. Terhadap
keturunan Raja seperti ampon dan teuku misalnya; selalu
disambut dengan bu dalong (nasi dulang) dan idang (hidangan)
berlapis dalam setiap kunjungan upacara adat/kenduri.
Khusus bagi keturunan Habib atau Said di samping disambut

2
Arti reusam apabila ditafsirkan sesuai maksud isi reusam itu sendiri
adalah adab, karena maksud reusam terkandung tiga unsur yaitu diplomasi,
keprotokolan dan etika. Dalam ketiga unsur itulah terkandung adab, karena
yang berperan sebagai pelaksana reusam itu ada dua: Laksamana dan
Bintara.
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 77

dengan hal serupa seperti kaum raja juga bila bersalaman,


oleh masyarakat biasa selalunya membolak-balikkan telapak
tangan dua kali sambil mencium tangan sang Habib/Said
sebagai tanda keberkatan dan kemuliaan. Hal ini karena
sebagian masyarakat masih meyakini bahwa akan berdosa
jika tidak bersalaman demikian. Ternyata ada juga masyarakat
biasa yang disambut dengan bu dalong apabila mempunyai
kedudukan dalam pemerintahan dan posisi ketokohan dalam
masyarakat. Misalnya, tokoh-tokoh yang dilaqabkan dengan
Habib oleh masyarakat, walaupun yang bersangkutan bukan
keturunan Habib, namun adalah pengikut setia Abu Habib
Muda Seunagan yang telah menjadi pemuka agama.
Perlakuan khusus dalam penyambutan tamu oleh
masyarakat dalam setiap upacara adat terhadap golongan
Teuku dan Said ini, biasanya adalah khusus Teuku dan Said
yang berasal dari tiga gampong yaitu: Peuleukung, Blang
Ara dan Pulo Ie. Meskipun keturunan dari tiga gampong
ini sekarang sudah tersebar ke berbagai daerah lain, yang
terpenting berasal dari ketiga gampong tersebut; masyarakat
yang memberikan penyambutan bu dalong ini kebanyakannya
adalah pengikut setia Abu Habib Muda Seunagan.
Karena perubahan stratifikasi sosial dalam sejarah di
Nagan Raya hari ini ada dua jenis kelompok keturunan elit
yang terpisah. Penghormatan masyarakat biasa terhadap
dua kelompok ini ternyata sedikit berbeda, seperti kita bisa
mengobservasi dari perbedaan perlakuan terhadap kaum
Raja/Teuku dan kaum Said/Habib di Nagan Raya. Kaum raja
hanya dihormati ketika mempunyai kekuasaan dan kekayaan
saja, sedangkan yang tidak mempunyai kekuasaan dan
78 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

kekayaan diperlakukan sama dengan orang biasa. Sementara


kaum Habib/Said tidak demikian, walaupun mereka yang
masih anak-anak sekalipun sangat dihormati dan dimuliakan
malah dipanggil dengan sebutan Abu yang bermakna
kemuliaan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Almarhum
Abu Habib Muda Seunagan atau Abu Peuleukung yang masih
sangat dominan.

Ragam Budaya yang Dipengaruhi Peuleukung


Kehadiran Abu Habib Muda Seunagan sebagai ulama
kharismatik yang paling berpengaruh semasa hidupnya secara
tidak langsung telah mewarnai adat istiadat masyarakat Nagan
Raya. Kehadiran ini juga menambah kentalnya adat istiadat
itu sendiri, walaupun Nagan Raya semenjak dulunya nuansa
adatnya memang sudah begitu kuat mengakar di masyarakat
termasuk dari lapisan bawah sekalipun. Saat ini masih ada
tradisi di masyarakat yang tergambar dalam hadih maja
(pribahasa) sebagai berikut:

“Mulia wareh ranup lampuan, mulia rakan mameh suara,


adat tajunjong, hukom peutimang, kanun ngon reusam
wajeb tajaga.” (Artinya: Famili berkunjung disambut
dengan sirih, dalam pergaulan hendaklah dengan suara
yang lemah lembut, setiap orang hendaklah menjunjung
tinggi adat dan menghormati hukum, qanun dan reusam
mesti dijaga).
Hadih maja di atas tergambar dalam adat kebiasaan
masyarakat yang telah turun-temurun berlaku pada masyarakat
Nagan Raya terutama dalam penyambutan tamu. Di Nagan
Raya, tamu selalu mendapat tempat yang begitu mulia karena
ini merupakan perintah agama, sebagaimana kita ketahui
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 79

bahwa agama dan adat “lagee zat ngon sifeut” (seperti zat
dengan sifat), artinya perintah agama dijadikan petunjuk dan
kebiasaan adat oleh masyarakat. Tergambar dari keterangan
gambar logo dari Kabupaten Nagan Raya di poin ke 5 berbunyi:
“Dalong (dulang), cawan dan perangkat alat untuk peusijuek,
melambangkan adat budaya memuliakan tamu yang sudah
menjadi turun-temurun dalam masyarakat Kabupaten Nagan
Raya.”
Ada banyak jenis upacara adat yang ada di Nagan Raya.
Namun sebagian dari tradisi adat ini telah hilang seperti diakui
oleh beberapa tokoh masyarakat. Sherwin3 dan Shilin4 misalnya
mengemukakan, dalam penjualan tanah, dulu ada kenduri bu
leukat (nasi ketan), sehingga semua saksi dalam hal jual beli
ini datang. Demikian juga dalam pembagian harta warisan,
dulunya setelah selesai pembagian selalu diadakan kenduri dan
dipanggil seluruh ahli famili sebagai bentuk syukuran. Dalam
kenduri perkawinanpun ada sebagian tata cara adat yang telah
ditiadakan seperti menaikkan pengantin ke atas tandu, atau
pengajaran oleh penganjo (pendamping pengantin) dalam hal
tata cara bersuami istri dan sebagainya. Namun ada banyak
upacara adat yang masih dilaksanakan secara besar-besaran di
Nagan Raya sampai saat ini. Di bawah ini ada beberapa upacara
adat yang membedakan adat Nagan Raya dari daerah Aceh
yang lain.

Nama samaran dari tokoh masyarakat salah satu gampong di Nagan Raya.
3

4
Nama samaran dari salah seorang keuchik di salah satu gampong dalam
kawasan Nagan Raya.
80 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Kenduri Perkawinan
Secara garis besarnya upacara adat di Nagan Raya bisa
dikelompokkan kepada dua jenis kenduri; keureuja udep (kerja
hidup) dan keureuja mate (kerja mati). Pelaksanakan upacara
adat di Nagan Raya masih sangat kental nuansa adatnya, hal
ini tergambar dari keureuja udep dan keureuja mate tersebut.
Masyarakat tidak main-main dalam menjalankan adat istiadat
ini. Contohnya, untuk keureuja udep upacara perkawinan;
mulai dari proses peminangan sampai dengan upacara pesta
perkawinan dilangsungkan, ada tahapan-tahapan yang harus
dilewati, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh
kedua belah keluarga mempelai; mulai dari membawa ranup
meuh (sirih emas) saat acara pelamaran, bu meudalong (nasi
dulang) saat peresmian dan sebagainya. Bu meudalong itu harus
dibawa dan saling berbalas. Kalau bu bit (nasi biasa) dibalas
dengan bu leukat (Nasi Ketan). Apabila tidak dipenuhi biasanya
akan terjadi perselisihan/ pertengkaran antar dua keluarga dan
berakibat ditundanya upacara perkawinan sampai dipenuhinya
aturan adat gampong tersebut.
Dalam pelaksanaan adat istiadat perkawinan, selalu diawali
oleh adanya kesepakatan dua insan (agam ngon dara/laki
dengan perempuan) yang disambut baik oleh kedua orang tua.
Namun, kebiasaan di Nagan Raya secara tradisi kesepakatan
awal terjadi antar hubungan kedua belah pihak orang tua
agam dengan dara atau pihak ketiga (wali) yang merencanakan
untuk mengikat hubungan persaudaraan dengan menjodohkan
putra-putri saudara mereka (para orang tua atau wali calon
mempelai). Langkah berikutnya adalah mengawali usaha
perjodohan ini dengan pemanggilan tuha gampong (tetua
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 81

gampong) oleh orang tua calon linto seperti keuchik, imum


chik dan keluarga dekat lainnya untuk membicarakan langkah-
langkah anaknya menuju rencana perkawinan (Pemerintahan
Kabupaten Nagan Raya 2004: 98-99).

Menyoe meukawen sabe keudroe droe


Hana rugoe keurueng leubeh hareuta
Menyoe alang jeut teulong teumeulong
Watee na teulansong mangat teumeuhaba.
(Kalau kawin sesama sendiri
tidak rugi kurang lebih harta
kalau membutuhkan sesuatu bisa tolong-menolong
sewaktu diadakan sesuatu mudah membicarakannya)

Ungkapan tersebut adalah sebagai pedoman dan alasan


mengapa orang-orang tua tempo dulu lebih cenderung
mengawinkan anaknya sesama famili. Apabila tidak dapat
persesuaian mencari jodoh dalam lingkungan famili dan
lingkungan warga/kaum, barulah orang tua mencari calon/
jodoh anaknya di luar lingkungannya (Muhammad Umar
2008: 156).
Seiring perkembangan zaman, terlihat bahwa usaha jodoh
menjodohkan ini sudah sedikit berkurang karena kebanyakan
muda-mudi sekarang di Nagan Raya telah memiliki pilihan
jodohnya sendiri. Pengalaman saya sendiri yang juga beristrikan
orang Nagan Raya, ketika proses pelamaran ternyata calon istri
(istri saya sekarang) memang pernah dijodohkan dengan pihak
kerabat dekat, namun hal tersebut bukan sesuatu yang harus
dipenuhi karena tergantung dari sang anak sendiri, apakah
bersedia atau tidak. Jadi tidak ada pemaksaan untuk menerima
apa yang telah dijodohkan tersebut. Apalagi calon istri ternyata
82 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

lebih tertarik dengan peneliti, sehingga urusan perjodohan


tersebut dengan sendirinya batal. Menyangkut adat siapa pun
calon suami/istri dari luar Nagan Raya yang melaksanakan
perkawinan dengan warga Nagan Raya mesti disepakati dulu
melalui pihak seulangke (penghubung) dari pihak laki-laki
kepada seulangke pihak perempuan, demikian pernyataan
dari salah satu tokoh adat bernama Muhsidin, antara lain
menyepakati perihal mengikuti sepenuhnya adat setempat
atau ada batasan tertentu yang diikuti, karena salah satu pihak
(terutama laki-laki) masih dalam proses memasuki wilayah
lain dengan adat yang berbeda. Kecuali reusam yang boleh
disesuaikan dengan adat masing-masing daerahnya. Contohnya
membawa bu meubungong (nasi ketan yang dihias) itu adalah
wajib dari pandangan adat. Adapun bentuk dan modelnya
disesuaikan dengan adat daerah masing-masing antara lain
cara menghiasnya dan sebagainya. Ketika pihak laki-laki telah
menetap atau melaksanakan kegiatan adat di daerah Nagan
Raya segala bentuk kegiatan keureuja udep dan keureuja mate
yang dilaksanakan mesti mengikuti adat istiadat Nagan Raya.
Di Nagan Raya ketika proses pelamaran dilakukan dan
diterima oleh pihak keluarga perempuan maka diputuskanlah
kapan acara peresmian dilaksanakan. Bentuk dari acara
peresmian ini berbeda menurut strata sosial dalam masyarakat.
Khusus bagi keturunan raja yang mempunyai kedudukan
tertentu dalam masyarakat, upacara perkawinan dilangsungkan
secara besar-besaran. Contohnya seperti perkawinan anak
dari Bupati Nagan Raya saat ini (2006-2011). Kepanitiaannya
melibatkan seluruh unsur pemerintahan kabupaten. Hal ini
disebabkan, di samping pimpinan daerah, yang bersangkutan
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 83

adalah keturunan dari Raja Beutong dari pihak ayah serta


keturunan dari Habib Muda Seunagan dari pihak ibu. Dalam
perayaan upacara adat perkawinan tersebut yang bertindak
menjadi ketua panitianya adalah Bapak Sekda Kabupaten Nagan
Raya sendiri. Acaranya berlangsung selama tujuh hari tujuh
malam. Hampir seluruh masyarakat diundang secara terbuka.
Hidangan yang disediakan dalam dua model; model hidangan
tradisional sebagaimana kebiasaan masyarakat Nagan Raya,
dan model hidangan modern (ala francaise) tergantung kelas
masyarakat yang hadir. Selain itu pesta dimeriahkan dengan
hiburan yang lengkap, baik tradisional maupun modern. Di
siang harinya ada pertunjukan Band dan Keyboard, namun
ketika malam hari disuguhkan hiburan tradisional seperti
seukat, seudati, rapa’i dan sebagainya.

Kenduri Kematian
Berkenaan keureuja mate (kenduri orang meninggal)
oleh keluarga dekat, dan juga oleh keluarga dari pertalian
perkawinan membawa tilam gulong yang disesuaikan menurut
kemampuan. Menurut Jimali,5 tilam gulong adalah adat khas
Nagan Raya yang tidak ditemukan di daerah lain. Seorang
narasumber saya, Bapak Jamaluluddin, tilam gulong ini wajib
dalam adat disediakan oleh menantu perempuan kepada pihak
mertua laki-laki sebagai pertanda anak almarhum adalah laki-
laki dan akan menyusul adat berikutnya dari pihak besan
selama tujuh hari berturut-turut misalnya membawakan
kambing, sayur, kelapa, minyak dan lain-lain sesuai dengan

Nama samaran seorang tuha peut gampong di Nagan Raya.


5
84 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

kemampuan. Hari pertama sampai hari ke tujuh, besan


berdatangan ke tempat kenduri tidak serentak, terutama
bagi yang punya banyak besan, kecuali pada hari ke empat
puluh semua besan berkumpul. Bagi yang tidak memiliki anak
laki-laki yang telah dikawinkan, atau ia hanya mempunyai
anak perempuan saja, maka ketika ia meninggal tidak ada
yang menyediakan tilam gulong kecuali kain kafan putih
selengkapnya. Pengadaannya ditanggung oleh pihak besan laki-
laki jika ia telah mengawinkan anak perempuannya, namun
jika ia tidak mengawinkan satupun anak perempuannya maka
keluarga yang menyediakan kain kafannya, namun tidak boleh
menyediakan tilam gulong. Di daerah lain pun yang disediakan
bagi orang yang sudah meninggal adalah kain kafan putih saja.
Di samping itu diadakan kenduri acara meu ateut (berbuku).
Ateut mulai dari neu lhe (hari ketiga), neu limoeng (hari kelima),
si nujoeh (hari ketujuh), si ploh (hari ke 10), dua ploh (hari ke
20), lhe ploh (hari ke 30) sampai hari ke peut ploh (hari ke 40).
Khusus hari ke empatpuluh tidak semua masyarakat boleh
datang tetapi hanya yang diundang. Acara kenduri ini biasanya
dibuat secara besar-besaran oleh keluarga si meninggal dengan
memotong kerbau, kambing, bebek, dan ayam juga ikan, telor
asin dan sebagainya.
Stratifikasi sosial bisa dilihat juga dalam besarannya
upacara adat kematian. Upacara adat kematian terbesar yang
pernah ada di Nagan Raya adalah saat meninggalnya Abu
Habib Muda Seunagan yang bergelar Habib Syaikhuna Quthub
Nasbah pada tanggal 14 Juni 1972 bertepatan dengan 4
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 85

Jumadil Awal 1392.6 Ketika keluarganya mengadakan tahlilan


untuk almarhum, bantuan logistik sangat banyak diterima
dari berbagai pihak, baik dari keluarga besar Peuleukung
maupun masyarakat umum. Dalam acara tersebut tercatat
99 (sembilan puluh sembilan) ekor kerbau terkumpul, 20 ton
beras, ratusan kambing, ribuan ayam dan bebek ditambah lagi
puluhan truk sayur-mayur, buah kelapa dan kayu bakar yang
tidak terhitung diantar dengan truk maupun diantar sendiri
secara berombongan. Bantuan atau pemberian ini tidak hanya
berasal dari warga yang kaya, namun warga yang memiliki
dua ekor kerbau pun turut menyumbang satu ekor untuk
keperluan tahlilan. Ratusan juru masak siap mandi keringat
mempersiapkan menu yang siap saji untuk dikonsumsikan
para tamu yang datang berkunjung. Semua masyarakat yang
turut berpartisipasi tidak mengharapkan imbalan apapun
kecuali barakah (keberkahan) almarhum yang diyakini sebagai
keturunan wali songo yang bertalian nasab dengan Rasulullah
SAW (Sammina Daud 2009: 132).
Demikian juga saat meninggalnya salah satu anggota
keluarga Abu Habib Muda Seunagan. Masyarakat selalu
berbondong-bondong membawa kerbau, sapi, kambing dan
sebagainya, menurut kemampuan masing-masing untuk
dikendurikan. Banyak pengikut yang berharap hewan
bawaannya duluan yang disembelih untuk kenduri. Di sana
terkenal sebuah istilah grak jeunazah di rumoh, grak kenduri di
yup (jenazah selesai dimandikan, kerbau selesai dipotong). Ada
yang berbeda saat pemandian jenazah dari keturunan Habib

Ulama Tarekat Syattariyah.


6
86 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Muda Seunagan ini. Semua para pelayat yang datang, khususnya


pengikut fanatik dari Habib Muda Seunagan, menampung air
yang berasal dari pemandian jenazah tersebut untuk dibawa
pulang dengan tujuan dijadikan obat. Bahkan ada sebagian
pengikutnya yang langsung meminum air tersebut karena
diyakini sebagai keberkahan. Sebagian masyarakat yang sempat
peneliti wawancarai mengakui hal ini terutama masyarakat
yang menyaksikan secara langsung. Hal yang sama juga terjadi
saat meninggalnya anak perempuan dari Abu Habib Muda
Seunagan. Upacara kematian ibunda dari Bupati Nagan Raya ini
pun mendapat perlakuan serupa dari para pengikut Abu Habib
Muda, termasuk meminum dan membawa pulang air pemandian
jenazah serta pelaksanaan kenduri secara besar-besaran.

Kenduri Laot
Sebagian masyarakat Aceh percaya bahwa makhluk-
makhluk halus yang jahat mendiami tempat-tempat yang
angker seperti hutan, laut, lubuk yang dalam, kuala, rawa-rawa,
pohon-pohon besar dan sebagainya. Makhluk-makhluk ini
dianggap mengganggu masyarakat. Untuk menolak gangguan
tersebut mereka mengadakan berbagai jenis upacara. Upacara
ini dilakukan dengan berbagai cara atau bentuk. Ada yang
melakukannya dengan mengadakan kenduri di tempat-tempat
yang dihuni oleh makhluk halus tersebut, seperti di bawah
pohon besar, kenduri laut dan sebagainya (Rusdi Sufi dan Agus
Budi Wibowo 2007: 63), namun ada pula yang melakukannya
di rumah atau masjid/mushalla dengan diniatkan untuk
keselamatan bersama.
Khusus bagi masyarakat nelayan dalam wilayah Nagan Raya
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 87

setiap tahunnya dalam musim Timur7, selalu melaksanakan


kenduri laut. Informasi yang saya terima dari Salman8 bahwa
untuk kenduri tingkat kabupaten dilaksanakan tiga tahun
sekali. Kenduri ini dilaksanakan secara besar-besaran secara
bergiliran dalam beberapa tempat yang berbeda dengan
mengundang tokoh ulama, tokoh adat dan pejabat kabupaten.
Bentuk dari persiapan kenduri ini adalah dengan mewajibkan
setiap nelayan untuk menyumbangkan sejumlah dana sesuai
dengan kesepakatan per perahu nelayan. Sisanya dibantu
oleh Dinas Kelautan, pihak kecamatan dan bahkan bantuan
dari kabupaten termasuk dari Bupati sendiri. Bantuan dari
pemerintah ini diberikan sebagai bentuk perhatian pemerintah
kepada masyarakat nelayan.
Pada malam kenduri masyarakat melaksanakan pengajian
dan zikir di pinggir pantai sampai menjelang pagi. Pada pagi
hari akan dipilih seekor kambing warna hitam yang dililit warna
putih untuk dijadikan teumalang. Menurut Pawang Abdullah,9
penyembelihan kambing langsung dipimpin oleh Abu Qudrat
yang merupakan anak bungsu dari Abu Habib Muda Seunagan.
Beliau pula yang langsung memilih orang-orang khusus
yang tidak pernah meninggalkan shalat untuk melepaskan
kambing tersebut ke muara laut. Setelah kenduri ini selama

7
Musim Timur merupakan musim banyaknya nelayan turun ke laut karena
ombak lautnya tidak besar seperti musim Barat.
Nama samaran salah satu unsur pimpinan dalam Lembaga Adat Laot
8

Kabupaten Nagan Raya.


Nama samaran dari salah seorang Panglima Lhok di Nagan Raya.
9
88 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

tiga hari masyarakat dilarang melaut. Menurut Wardana10


hal ini dilakukan sebagai penghargaan kepada makhluk
halus bernama Nek Ti. Ternyata tidak semua di Nagan Raya
menerima upacara-upacara seperti ini dengan baik. Misalnya,
menurut Ahmad11 khusus daerah panglima lhok kawasan
Kuala Tadu, istilah peuleuh (melepaskan) teumalang (sesajen)
telah dihilangkan di daerahnya karena dianggap bertentangan
dengan ajaran Islam.

Kenduri Blang
Kenduri Blang sebenarnya juga dilaksanakan di hampir
semua tempat di Aceh, tetapi untuk kenduri secara besar-besaran
jarang dilakukan di tempat lain. Upacara adat ini dilakukan
menjelang petani turun ke sawah sebagaimana hasil keputusan
rapat pada tingkat kecamatan. Dalam pertemuan penentuan
tersebut pihak kecamatan mengundang imum mukim,
keujruen chik (keujruen tingkat kecamatan), hop keujruen
(keujruen di tingkat mukim), keujruen gampong, dan para ahli
pham gampong (cerdik pandai) untuk bermusyawarah terlebih
dahulu dengan tibanya masa turun ke sawah. Biasanya mereka
terlebih dahulu membentuk panitia kenduri, menetapkan
lokasi, dan memastikan berapa biaya yang diperlukan. Kenduri
ini untuk tingkat kecamatan dilaksanakan dengan memotong
kerbau atau kambing dan mengundang orang-orang luar yang
dianggap penting dan seluruh masyarakat dalam kecamatan
tersebut.

Nama samaran dari salah seorang nelayan di Nagan Raya.


10

Nama samaran dari salah satu Panglima Lhok di Nagan Raya.


11
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 89

Kenduri turun ke sawah (troen u blang) dilaksanakan


pada awal setiap tahun. Kenduri hanya dilaksanakan pada
tingkat kabupaten dan gampong. Menurut Syahdana12 untuk
kenduri tingkat kabupaten, Bupati langsung yang mengundang
seluruh para keujruen blang, mulai dari keujruen kabupaten,
kecamatan, kemukiman dan gampong yang ada dalam
kawasan Nagan Raya. Acara ini dilaksanakan di bendungan
irigasi Ulee Jalan, menurut salah seorang keujruen blang
hal ini dimaksudkan agar lancarnya aliran air dibendungan
terutama dengan pemotongan kerbau serta pembacaan
surat yasin dan acara zikir. Kenduri di tingkat kabupaten ini
adalah untuk menentukan waktunya turun ke sawah secara
serentak di seluruh Nagan Raya. Menurut Syahdana, ada tiga
tahapan kenduri sawah, yaitu kenduri troen u blang (turun ke
sawah), kenduri dara pade (muda padi) dan kenduri bunteng
pade (bunting padi). Kenduri troen u blang (turun ke sawah)
dikenal sebagai kenduri peutroen bijeh (turunkan bibit padi)
ke sawah. Kenduri dara pade (muda padi) dikenal sebagai
khanduri kanji (kenduri bubur). Sementara kenduri bunting
padi dikenal dengan kenduri leumang yang dilaksanakan pada
ulee thon (akhir tahun) setelah keumeukoh (panen). Kadang-
kadang kenduri ini disebut dengan nama kenduri Nabi Adam.
Semua bentuk kenduri di atas secara umum kegiatannya
adalah membaca Surah Yasin dari al-Qur’an, melaksanakan
zikir dan berdoa bersama serta mengundang Abu Qudrat
yang merupakan anak bungsu dari Abu Peuleukung demi
memberkati upacara adat yang dilaksanakan.

Nama samaran dari salah satu keujruen blang di Nagan Raya.


12
90 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Karakter Masyarakat Menambah Besarnya Adat


Masyarakat Nagan Raya dikenal dengan “masyarakat banyak
akal” atau rameune. Menurut Ramlani13 ini tidak terlepas
dari kebiasaan masyarakat yang terkesan melebih-lebihkan
adat istiadat, sehingga adat menjadi besar (rayeuk adat) dan
bertahan. Ada beberapa pendapat tentang asalnya istilah
rameune. Menurut satu pendapat rameune ini berasal dari kata
rahmani dalam bahasa Arab yang artinya rahmat. Contohnya
seseorang yang datang ke sebuah warung nasi/kopi, dengan
mengucapkan Assalamu’alaikum dan tanpa diminta oleh
pemilik warung ia langsung pergi ke belakang warung. Di
sana ia mencuci piring dan peralatan makan yang kotor
dengan maksud digratiskan biaya makan dan minum. Hal ini
mendatangkan “rahmat” karena “lhe akai” (banyak akal).
Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa istilah rameune
menunjukkan kebiasaan masyarakat Nagan Raya yang tampil
beda dengan daerah lainnya. Hal ini misalnya terlihat dalam
pembuatan keukarah sebagai kue adat Aceh yang ukurannya
jauh lebih besar di Nagan Raya dibandingkan dengan di
daerah lain di Aceh. Demikian juga, masyarakat Nagan Raya
suka balas membalas dalam urusan adat untuk menunjukkan
kemampuan keluarga. Misalnya, satu mobil kue dibalas dua
mobil kue dan seterusnya walaupun buat makan sehari hari
harus berhutang, hal ini dianggap tidak masalah. Dalam
masyarakat Nagan dikenal sebuah istilah “menyoe peusieng
engkoet sure dikeu rumoh, menyo eungkoet bileh dilikoet moh”
(kalau membersihkan ikan tongkol dilakukan di depan rumah,

Nama samaran dari salah seorang keuchik di Nagan Raya.


13
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 91

sementara kalau ikan kecil di belakang rumah). Ungkapan ini


dimaksudkan, yang hebat, tinggi, keren, dinampakkan kepada
orang lain. Sementara kalau tidak hebat disembunyikan saja.
Pendeknya mereka tidak boleh kalah di depan orang.
Masyarakat Nagan Raya juga dikenal memiliki rasa
persaudaraan yang tinggi. Hal ini antara lain terlihat dalam
hubungan kekeluargaan. Jika ada salah satu dari keluarga
besarnya membuat kenduri, maka seluruh keluarga besar yang
lain ikut membantu kesuksesan kenduri tersebut. Bantuan
tersebut bisa saja dengan menanggung biaya secara patungan.
Kalau tidak ada uang, bisa saja dengan memberikan cincin
emas, membayarkan sewa keyboard, menyerahkan beras dan
sebaginya. Saat giliran keluarga yang lain akan dibalaskan pula
serupa seperti yang pernah ia terima dari saudaranya.
Mereka juga mempunyai rasa perkauman yang tinggi.
Merasa senasib bila ada warganya mendapat perlakuan yang
tidak menyenangkan dari warga daerah lain, dengan beramai-
ramai mendatangi dalam membantu dalam mencari keadilan.
Saya sendiri punya pengalaman ketika ingin pulang ke Nagan
Raya dari Banda Aceh. Ketika memesan mobil sewaan saya
bertanya “apakah mobil ini pulang sampai ke Nagan?” Salah
seorang dari mereka menjawab: “iya, nyou moto ureung tanyoe,
mobil droe tanyoe” (Iya, ini mobil kita). Setelah naik ke mobil,
sopir dan penumpang yang berasal dari Nagan Raya bercerita
kalau banyak ureung geutanyoe (orang kita), maksudnya warga
Nagan Raya di Rukoh, Darussalam dan seluruh Banda Aceh
yang berhasil. Jelas di sini menunjukkan mereka ada satu rasa
sebagai orang Nagan di perantauan.
92 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Peuleukung dan Peran Politiknya


Masyarakat Nagan Raya saat ini secara umum masih sangat
memuliakan kaum Habib/Said. Termasuk dalam penentuan
hak politiknya, mereka menjatuhkan pilihan berkaitan dengan
pemuliaan tersebut. Memang pemilihan kepala daerah (Bupati)
yang dilaksanakan pada Desember 2006, mayoritas masyarakat
tidak menjatuhkan pilihannya kepada salah satu kontestan
dari kalangan Habib yang kebetulan saat itu menjadi salah satu
bakal calon kepala daerah dalam Pilkadasung (pemilihan kepala
daerah secara langsung), hal ini lebih disebabkan dukungan
keluarga besar Peuleukung mengarah ke kontestan dari
keturunan Teuku dari pihak ayah14 dan Habib dari pihak ibu.
Ketika hal ini saya tanyakan kepada beberapa informan,
ternyata sebagian di antara mereka mengatakan bahwa
calon dari kalangan Habib tersebut tidak mendapat restu
dari Peuleukung. Walaupun Habib yang menjadi konstestan
tersebut masih dalam garis keturunan Peuleukung, sebagian
masyarakat tersebut tetap menganggap bahwa lebih baik kalau
posisi pemimpin itu diduduki oleh orang dari keturunan raja.
Apalagi bila keturunan raja tersebut memiliki hubungan darah
dengan keturunan Peuleukung akan dianggap lebih tepat lagi
karena kedua keturunan tersebut sangat dihormati di Nagan

Ayahnya adalah Raja Beutong yang memerintah kerajaan kecil di


14

Nagan Raya yang berakhir setelah kedatangan Jepang. Pasca kemerdekaan


keturunan raja Betong masih mendapatkan tempat di dalam masyarakat
berupa penghormatan sosial dan budaya. Salah seorang turunan Raja Betong
adalah Teuku Azzaman yang tidak lain merupakan ayah dari T. Zulkarnaini,
Bupati Nagan Raya periode 2007-2012. Istri T. Azzaman adalah anak
perempuan dari Abu Peuleukung. Inilah yang menyebabkan T. Zulkarnani
dianggap memiliki garis keturunan Raja dan ulama sekaligus
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 93

Raya, demikian pernyataan informan yang peneliti wawancarai.


Kebetulan hal tersebut direpresentasikan oleh salah seorang
kontestan dalam Pilkada tersebut. Menurut para informan ini
masyarakat Nagan Raya sendiri menyadari adat istiadat ini
identik dengan raja, sehingga keturunan raja sampai saat ini
masih mendapat tempat tersendiri di masyarakat Nagan Raya
yang sangat memelihara sekali adat istiadatnya.
Persaingan antara kaum Teuku dengan kaum Habib di
Nagan Raya sebelumnya tidak pernah terjadi terutama dalam
masalah politik. Sebagaimana pendapat sebagian masyarakat
yang peneliti wawancarai, bahwa pilihan politik mereka adalah
menurut arahan keluarga besar Peuleukung. Calon-calon
yang tidak mendapat dukungan dari kalangan keluarga besar
Peuleukung terutama dari Abu Qudrat sendiri dipastikan akan
kalah dalam pemilihan Kepala Daerah. Abu Adabusri,15 seorang
yang saya wawancarai tentang hal ini bercerita, bahwa ketika
isu pemekaran Kabupaten Nagan Raya dihembuskan, Abu
Qudrat pernah memanggil seluruh keluarga besar Peuleukung
dan orang-orang yang selama ini dekat dengan Peuleukung.
Pada pertemuan tersebut Abu Qudrat bertanya kepada mereka
berdua yang juga ikut hadir berkenaan tentang siapakah di
antara keduanya yang lebih layak saat itu untuk memimpin
Kabupaten Nagan Raya kedepan16. Ternyata dalam pertemuan
itu sang Habib dari garis keturunan Peuleukung menjawab,
bahwa yang lebih tualah yang paling sesuai dan layak untuk

Nama samaran dari salah satu tokoh masyarakat di Nagan Raya yang
15

masih bertalian darah dengan keluarga Peuleukung.


Saat itu Kabupaten Nagan Raya tidak lama lagi akan dibentuk.
16
94 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

memimpin Nagan Raya ke depan. Pada waktu itu sang Habib


ini belum punya niat untuk maju sebagai calon Bupati, tetapi
memutuskan mendukung abangnya yang dari pihak ibu juga
merupakan syarifah/aja (anak kandung dari Habib Muda
Seunagan).
Namun pada waktu Pilkada tahun 2006, ketika masa
jabatan sang abang sebagai pejabat Bupati ini habis dan
mencalonkan kembali untuk Bupati defenitif ternyata sang
Habib bernama Said Mahdi yang sebelumnya telah pernah
mendukung Ampon Bang tadi berubah menjadi rival/saingan.
Namun karena tidak mendapat dukungan dari keluarga besar
Abu Habib Muda Seunagan akhirnya sang Habib tadi kalah
dan abangnya yang dikenal dengan sebutan Ampon Bang
oleh masyarakat, kembali terpilih menjadi Bupati Kabupaten
Nagan Raya. Seorang informan bernama Maidin17 mengatakan
bahwa Habib Qudrat sebenarnya bukan tidak mendukung sang
Habib tadi, akan tetapi karena keputusan sang Habib untuk
mencalonkan diri sudah terlambat saat ketika keluarga besar
Peuleukung telah memutuskan untuk mendukung Ampon
Bang (nama Becil bupati sekarang). Apalagi selama Ampon
Bang berkuasa sebagai pejabat Bupati di periode sebelumnya
ia dinilai berhasil termasuk dapat menjaga nama baik keluarga
besar Peuleukung.

Persaingan Antar Bangsawan


Meskipun secara kasat mata kaum bangsawan yang terkenal
di Nagan Raya hanyalah dari keturunan Abu Peleukueng dan

Nama samaran.
17
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 95

Raja Beutong, namun beberapa kalangan lain juga mengklaim


sebagai keturunan raja. Tidak hanya di Nagan Raya, klaim
mereka jauh lebih luas, yaitu turunan raja Melayu. Artinya,
Nagan Raya adalah sebuah daerah yang menjadi pusat akhir
dari perkembangan raja-raja Nusantara. Sekelompok orang
mengklaim dirinya sebagai turunan raja tersebut ingin
menyatukan kembali turunan raja yang ada di berbagai daerah
lain di Nusantara.
Kontestasi di antara elemen masyarakat yang menginginkan
adanya legitimasi sosial atas keningratan mereka bisa kita lihat
dalam polemik yang muncul setelah satu tokoh yang ingin
mengklaim sendirinya sebagai keturunan ninggrat berusaha
mengorganisir beberapa acara publik untuk membuktikan
posisinya dalam masyarakat. Debat publik ini mulai dengan
munculnya satu undangan dalam surat kabar:

Hari Rabu, tanggal 19 Agustus 2009 pukul 08.30 s/d


selesai bertempat di Masjid Jamik Abu Habib Muda
Seunagan, Kampung Peuleukung Seunagan Timur.
Keluarga Besar Abu Habib Muda Seunagan mengundang
berbagai kalangan masyarakat untuk menghadiri acara
zikir syukur atas terpilihnya Bapak SBY-Boediono sebagai
Presiden dan Wakil Presiden RI masa bakti 2009–2014.

Dalam undangan itu disebutkan bahwa acara akan dihadiri


langsung oleh ketua pemenangan Nasional SBY–Boediono yakni
Bapak Hatta Radjasa dan rombongan VIP di mana undangan
ditanda-tangani langsung oleh Abu Habib Qudrat sebagai
pemegang amanah keluarga besar Abu Habib Muda Seunagan.
Satu hari setelah acara oleh beberapa kalangan yang
menamakan dirinya sebagai tokoh muda Nagan dan Raja Muda
96 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Nagan dari Barisan Pemuda Aceh (BPA) mengeluarkan kritiknya


bahwa acara zikir tersebut telah dipolitisasi. Menurut Wan DP
dan Teuku Arif Cham dari BPA hal ini terlihat dari mencuatnya
tuntutan berbau politis yakni pemekaran Aceh dengan
menambah provinsi baru, Aceh Lauser Antara (ALA) dan Aceh
Barat Selatan (ABAS). Pernyataan ini langsung dibantah oleh
TRK, yang ketua pelaksana zikir syukur cinta NKRI se-Aceh
Keluarga Besar Abu Habib Muda Seunagan.18 Menurutnya
apa yang diberitakan oleh BPA dan yang menamakan dirinya
sebagai tokoh muda Nagan Raya tidak didukung oleh fakta-
fakta yang sebenarnya.
Klarifikasi yang disampaikan dalam koran lokal tersebut
mendapat reaksi kembali dari Wan DP dan Teuku Arif Cham.
Dalam siaran persnya kepada harian Serambi Indonesia tanggal
22 Agustus 2009 mereka mengungkapkan kekecewaannya
terhadap pernyataan panitia zikir. Mereka mengatakan bahwa
bukan BPA tetapi justru panitia yang dinilai telah memutar
balikkan fakta.19 Balasan ini kemudian dibalas oleh seseorang
lain dari mantan kombatan yang berinisial CM20

Bahwa komentar yang dilakukan Wan Datok Polem dan


Teuku Arif Cham di media massa merupakan bentuk

TRK adalah adik kandung Bupati Nagan Raya saat ini. Berita ini dimuat
18

pada Harian Serambi Indonesia 22 Agustus 2009 “Soal Politisasi Acara Zikir
di Nagan”.
Harian Serambi tanggal 23 Agustus 2009.
19

CM adalah adik ipar Bupati Nagan Raya saat ini, yang Khusus mendatangi
20

Biro Serambi Meulaboh, Jumat 21 Agustus 2009 untuk mengklarifikasi berita


sebelumnya dari WAN DP dan TEUKU ARIF CHAM yang disampaikan ke
Serambi Indonesia tanggal 19 Agustus 2009.
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 97

provokasi yang disampaikan kepada masyarakat.


Menurutnya pernyataan pemekaran yang disampaikan
Bupati Nagan Raya beberapa waktu lalu merupakan
komentar seorang pejabat negara untuk meminta
sesuatu kepada pemerintah khususnya kepada Presiden
SBY. Hal ini tentu sangat wajar dan tidak ada unsur
untuk memecahkan Aceh, karena masih dalam bingkai
NKRI, ibarat anak meminta sesuatu kepada bapak dan
itu wajar-wajar saja.

Selanjutnya CM mengecilkan tokoh-tokoh muda yang


mengkritik dan mengatakan bahwa,

Wan DP dan Teuku Arif Cham tidak punya kapasitas,


keduanya bukanlah tokoh pemuda seperti yang mereka
akui dalam pernyataannya di media massa, apalagi
yang bersangkutan menurut Cut Man bukanlah mantan
kombatan GAM, bukan tim suksesnya Irwandi–Nazar,
keduanya hanyalah masyarakat biasa layaknya pemuda
lainnya.

Melihat polemik yang semakin meruncing yang terjadi


di kalangan elemen masyarakat di Nagan Raya, pemerintah
Provinsi Aceh pun ikut berusaha meredam untuk kebaikan
bersama. Terkait dengan berita yang beredar tersebut
Wakil Gubernur Muhammad Nazar mengajak masyarakat
Aceh berfikir cerdas terkait polemik zikir di Nagan. Berikut
pernyataan Wagub:

Kita di Aceh ini kan berasal dari satu endatu (nenek


moyang), karena itu mari terus kita pupuk dan kita jaga
persaudaraan ini secara bersama-sama. Pemerintah pusat
kini sudah mengerti betul bahwa Provinsi Aceh itu hanya
satu. Karenanya alokasi anggaran baik yang bersumber
dari APBN, APBA, APBK maupun yang bersumber dari
bantuan-bantuan donor lain, sepenuhnya digunakan
98 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

untuk pembangunan dan kemajuan seluruh Kabupaten/


Kota yang ada di Provinsi ini, jadi kalau ada pihak yang
mempolarisasi masyarakat untuk hal-hal di sluar itu
sama dengan menganiaya diri sendiri.21

Tetapi polemik tetap berlanjut, dan beberapa hari


kemudian Wan DP dan Teuku Arif Cham mengklaim dirinya
tidak hanya sebagai tokoh muda Nagan dan Barisan Pemuda
Aceh (BPA), tetapi juga sebagai Sri Paduka Keluarga Besar Raja
Muda Nagan. Dengan mengatasnamakan mewakili seluruh
pemuda Nagan Raya dengan nada yang sama dengan panitia
pelaksana zikir syukur cinta NKRI se-Aceh Keluarga Besar Abu
Habib Muda Seunagan sebelumnya, mereka mengucapkan
selamat di media massa22 atas terpilihnya SBY-Boediono
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
periode 2009-2014. Selain itu mereka juga mengucapkan
terima kasih sedalam-dalamnya atas persatuan raja-raja Aceh,
dan masyarakat Aceh yang telah mempersatukan Aceh dalam
NKRI.
Dalam koran yang sama Wan DP dan Teuku Arif Cham
me­­­
nyampaikan juga bahwa Raja Nagan akan mengundang
keturunan raja-raja Melayu dalam rangka memperkuat
silaturahim, budaya dan kesenian Aceh. Dalam hal ini ia juga
akan mengundang dari Malaysia untuk mencari dan menyusun
kembali silsilah raja-raja Aceh yang kini dianggap nyaris
hilang dari lembaran sejarah. Prakarsa ini menurut mereka
berdua (Wan DP dan Teuku Arif Cham) semata-mata untuk

Harian Serambi Indonesia tanggal 23 Agustus 2009 kolom 1 dan 11.


21

Harian Serambi tanggal 25 Agustus 2009.


22
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 99

menyelamatkan sejarah dan meluruskan kembali silsilah


raja-raja Aceh. Mereka berharap kegiatan yang akan mereka
selenggarakan mendapat restu dan dukungan semua pihak.
Dalam berita ini Wan DP dan Teuku Arif Cham mengakui
dirinya bukan hanya sebagai tokoh muda tetapi sebagai
keturunan dari para ninggrat Aceh tempo dulu.
Pada bulan Ramadhan tanggal 15 September tahun 2009,
beberapa waktu sebelum polemik di atas muncul Wan DP dan
Teuku Arif Cham tersebut menyerahkan bantuan meugang
Hari Raya Idul Fitri 1430 Hijriah berupa uang tunai sebesar Rp.
50.000.000,- kepada masyarakat Beutong Ateuh, Nagan Raya.
Bantuan tersebut diserahkan langsung oleh mereka kepada
pimpinan pesantren Teungku Malikul yang merupakan putra
almarhum Teungku Bantaqiah.23 Ia berpesan agar bantuan
tersebut disampaikan kepada masyarakat Beutong Ateuh
sebagai bentuk kepedulian pihaknya selaku generasi muda
Nagan Raya terhadap masyarakat Beutong Ateuh yang sampai
saat ini tampak masih sangat tertinggal, dibandingkan dengan
kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Naga Raya. Sejumlah
tokoh masyarakat Nagan Raya turut menyaksikan penyerahan
bantuan tersebut.24
Polemik ini mengkonfirmasikan observasi bahwa
masyarakat dan elit politik di Nagan Raya masih berpegang
pada adat dan sistem stratifikasi sosial yang basisnya dalam

Ia adalah pimpinan pesantren yang tewas bersama beberapa muridnya


23

ketika lokasi pesantren ini diserang aparat keamanan pada saat konflik Aceh
berlangsung.
Liputan Harian Serambi Indonesia yang dimuat pada tanggal
24
15
September 2009, halaman 10.
100 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

kerajaan dan Habib. Meskipun ada kelompok atau tokoh-


tokoh yang mencoba melawan hegemoni elit politik yang ada,
mereka tetap memilih melawannya dengan memakai diskursus
adat dan kerajaan. Kedua tokoh muda yang ingin mengikuti
persaingan dengan Bupati setempat mengklaim sendirinya
sebagai keturunan raja yang lain. Mereka tidak memilih
membantah pentingnya adat atau kelompok keturunan.

Bentuk Ibadah Pengikut Peuleukung


Pada dasarnya kebudayaan Aceh diwarnai oleh ajaran Islam,
termasuk di Peuleukung. Pengaruh dari Habib Muda Seunagan
ini pada mulanya dimulai dari tampilnya beliau sebagai
mursyid bagi Tarikat Sattariah, sehingga kharismanya sebagai
seorang ulama kharismatik bukan hanya mempengaruhi
bidang keagamaan saja di kalangan pengikutnya tetapi juga
adat istiadat yang telah peneliti kemukakan di atas. Berkenaan
dengan masalah agama perlu peneliti uraikan sedikit di sini
karena hal ini adalah awal dari hegemoni Peuleukung di Nagan
Raya. Beberapa bentuk peribadatan pengikut Abu Habib Muda
Seunagan ini yang berbeda dengan masyarakat lain pada
umumnya sesama Islam.
Setiap musim Haji, menjelang hari raya Idul Adha ada
ribuan jama’ah pengikut ajaran Peuleukung dari berbagai
pelosok datang secara berombongan ke Gampong Peuleukung.
Jamaah ini tidak hanya dari kawasan Nagan Raya, tetapi juga
dari Aceh Barat, Aceh Selatan dan Aceh Tengah. Rombongan
tersebut datang untuk shalat Idul Adha ke dua tempat; gampong
Peuleukung tempat Abu Habib Muda Seunagan dikuburkan
dan ke Gampong Rambong Cut Pulo Ie tempat ayahandanya
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 101

dikuburkan yakni Habib Muhammad Yassin dengan panggilan


Habib Padang Sali. Di Pulo Ie ini juga dikuburkan nenek dari
Habib Muda Seunagan yang bernama Habib Abdurrahim. Oleh
masyarakat, kebiasaan dari pengikut Habib Muda Seunagan
ini disebut sebagai pelaksanaan ibadah Haji. Dan jamaah yang
melakukan haji ke sana setelah selesai dilaqabkan dengan Haji
Peuleukung dan Haji Pulo Ie.
Namun demikian, pengikut Habib Muda Seunagan sendiri
tidak mengakui demikian. Mereka menganggap apa yang
mereka lakukan hanyalah melaksanakan ziarah kubur. Di
sana mereka membaca zikir bersama yang mereka sebut
dengan zikir dua belas dan berdoa. Tetapi oleh masyarakat
terutama yang pernah menyaksikan, apa yang dilakukan oleh
para pengikut Abu Peulekueng ini sama persis dengan rukun
haji yang dilakukan di Mekkah. Misalnya mereka mendirikan
tenda-tenda, berpakaian putih seperti orang ihram di Mekkah,
mengelilingi kubur seperti mengelilingi Ka’bah untuk bertawaf.
Khusus di Pulo Ie, banyak pengikut Abu Peuleukung yang
membawa pulang tanah dari kuburan sebagai keberkatan dan
obat. Selain itu, tempat ini tidak hanya dikunjungi saat musim
haji tetapi juga musim lainnya, umumnya untuk menunaikan
nazar.
Ada perbedaan cara beribadah yang dilaksanakan
pengikut Abu Habib Muda Seunagan di Pulo Ie dengan yang
di Peuleukung. Di Pulo Ie cara beribadahnya sama persis
seperti haji di Mekkah di mana makamnya dikelilingi sambil
membacakan sesuatu. Tetapi di Peuleukung didirikan tenda,
mereka berzikir di balai dekat kuburan dan selanjutnya masuk
ke masjid untuk beribadah, di mana antara masjid dan kuburan
102 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

saling berdekatan. Pengikut Abu Peuleukung ini juga meyakini


adanya puasa tumpang.25 Namun salah seorang khalifah rateb
(zikir) yang memimpin dayah pengajian Peuleukung yang
tersebar di berbagai gampong, mengatakan puasa tumpang
bukanlah diajarkan oleh Abu Habib Muda.
Awalnya karena masyarakat sudah menganggap kalau
Habib Muda ini adalah Waliyullah dan mendapatkan ilham
langsung dari Allah SWT, sehingga apapun yang pernah dilihat
dari beliau pasti diikuti. Dalam konteks puasa tumpang, saat itu
Abu Habib Muda sedang sakit lalu beliau berbuka pada siang
hari dan memakan sirih. Ketika hal ini dilihat oleh masyarakat
pengikutnya, dianggap pembenaran bahwa dibolehkan puasa
tumpang. Sehingga saat ini banyak pengikutnya melakukan
buka puasa lebih cepat dari kaum muslimin pada umumnya
di bulan Ramadhan. Selain itu, pengikut Abu Peuleukung juga
merayakan Idul Fitri lebih duluan satu hari dibandingkan
dengan jadwal pemerintah yang tertera dalam kelender
tahunan. Menurut sebagian pengikutnya, ini dimaksudkan agar
pelaksanaannya serentak dengan hari raya di Mekkah.

Haul Tahunan Habib Muda Seunagan


Peringatan haul (kenduri tahunan kematian) Habib Muda
dilaksanakan setiap tahun secara rutin. Ini merupakan agenda
tahunan yang jatuh tepat pada 4 Jumadil Awal setiap tahun
Hijriah. Haul dilaksanakan pada malam hari. Sebelum haul
digelar, sorenya jama’ah berziarah ke makam Abu Peuleukung.

Puasa tumpang adalah berbuka pada siang hari atau sore hari di bulan
25

Ramadhan yang dilakukan oleh beberapa pengikut Abu Peuleukung.


REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 103

Peringatan haul ini bukanlah sekedar peringatan biasa, karena


diharapkan jama’ah yang hadir meneladani perjuangan beliau
sebagai guru mursyid Tarekat Syattariyah dan mensyariatkan
ajaran Rasulullah dalam menegakkan kalimah tauhid. Seluruh
pengikut yang datang dari berbagai daerah memadati lokasi
peringatan haul yang berada di komplek kediamannya (rumoh
rayeuk) di Gampong Peuleukung.
Haul dilaksanakan tepat jam 21.00 WIB pada malam hari.
Peringatan ini berlangsung khidmat. Masing-masing jama’ah
yang dipimpin oleh seorang khalifah mulai berdoa dengan
mengharap limpahan rahmat dan barakah dari Allah SWT.
Ada jama’ah yang berzikir, melakukan tahlil zikir (bil jahr) ada
yang menggunakan tasbih dan tahmid. Ada pula jama’ah yang
membacakan suratul ikhlas dan ada pula kelompok zikir yang
khusus dari Gampong Seumouet-Ulee Jalan (Beutong Bawah).
Jama’ah ini dalam berdoa tampil beda dengan kelompok lain.
Jama’ah ini membacakan lantunan Maulud Barzanji karya
Syekh Ja’far al-Barzanji dan Siratun Nabawi karya sejarawan
Abu Ishaq. Kelompok zikir dari Gampong Seumot ini umumnya
telah berumur rata-rata 40 tahun.
Ketika jarum jam telah mununjukkan pukul 1.00 WIB,
seluruh jama’ah beristirahat sambil menikmati kopi disusul
dengan kue khas Nagan Raya; keukarah, setelah jama’ah selesai
menikmati makanan ringan dan suguhan kopi selanjutnya
panitia menyajikan nasi hidangan yang masih hangat lengkap
dengan lauk pauk ditambah telur asin yang merupakan
makanan favorit Nagan Raya. Selesai mencicipi makanan,
seluruh jama’ah meneruskan zikir dan doa sampai jam 5.00 WIB
pagi, kemudian acara haul ditutup dengan doa bersama yang
104 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

dipimpin langsung oleh Habib Qudrat putra almarhum sebagai


pemegang amanah Abu Habib Muda Seunagan (Sammina Daud,
2009 :117-119).

Peuleukung dan Pengaruh Ajarannya dalam Pandangan


Aliran Lain
Seperti halnya daerah lain di Indonesia tentu bukan hanya
Tarekat Syattariyah saja yang berkembang di Nagan Raya. Di sana
berkembang juga Tarekat Naqsabandi, Perti, Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama. Setiap aliran mendapat tempat tersendiri
di kalangan masyarakat Nagan Raya. Buktinya banyak masjid,
meunasah dan balee seumeubeut (pondok pengajian), yang
dibangun oleh berbagai aliran/paham yang berbeda. Namun
demikian dilihat dari jamaah yang mendirikan shalat tetap
bercampur dari berbagai aliran/paham yang berbeda tersebut.
Sejauh ini berbagai aliran itu masih tetap saling
menghormati kalangan lain yang berbeda. Hal ini dapat
disaksikan di masjid yang para pengurusnya dari aliran
tertentu namun pelaksanaan ibadahnya bersama aliran yang
lain sesama Islam meskipun ada hal-hal tertentu yang tidak
diikuti oleh semua jamaah. Persoalan menyangkut khilafiah
saat ini jarang dipertentangkan aliran yang ada di Nagan Raya.
Sepertinya masyarakat mulai menyadari pentingnya saling
menghormati dan menghargai satu sama lain. Demikian juga
halnya dengan pengikut Abu Peuleukung di mana mereka juga
mendirikan masjid, mushalla dan dayah tersendiri.
Menurut Pak Rizal26 sebenarnya di Nagan Raya tidak semua

Nama samaran dari tokoh salah satu aliran yang berbeda dengan ajaran
26
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 105

masyarakatnya menjadi pengikut Abu Habib Muda Seunagan.


Walaupun pengaruh Abu Habib Muda ini tersebar sampai ke
berbagai daerah lain di Aceh hal ini tidak terlepas dari sejarah
awal penyebaran autad (delapan orang) sebagai orang-
orang khusus (pemikir inti) yang disebarkan di gampong-
gampong terdekat. Selain itu ada juga abdal (12 orang) yang
diutus untuk menyebarkan ajaran ini ke daerah lain sebagai
langkah awal untuk mengajak orang supaya datang belajar
ke Peuleukung. Ajakan tersebut untuk mendapatkan wasiat
dan ajaran rateb (zikir) oleh Abu Habib Muda Seunagan di
Peuleukung. Semenjak dibentuknya autad dan abdal inilah
mulai banyak orang yang datang ke Peuleukung. Ada yang
datang untuk menunaikan nazar ke sana. Setelah sampai
mereka lalu menjadi pengikut setia dan fanatik terhadap Abu
Peulekueng dibandingkan dengan pengikut aliran yang lain
pada pemimpin mereka.
Wujud fanatisme ini antara lain terlihat dari penghormatan
dan pelayanan berlebihan pada Abu Peulekueng. Dari beberapa
cerita yang saya peroleh dari masyarakat, banyak yang
menyaksikan, ketika Abu Habib Muda Seunagan ini melakukan
kunjungannya ke daerah lain beliau tidak sempat menginjakkan
kakinya di tanah. Dari satu tempat ke tempat lainnya ia disambut
dengan ditandu oleh para pengikutnya diberbagai gampong
yang ia kunjungi. Selain itu wujud fanatisme ini bisa juga
dilihat dari salah satu bentuk zikir para pengikutnya tentang
Abu Peuleukung. Zikir ini menunjukkan betapa fanatiknya

Peuleukung, ia masih bertalian darah dengan keluarga Peuleukung karena


neneknya adalah adik sepupu Abu Peuleukung.
106 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

para pengikut Peuleukung terhadap pemimpinnya antara lain


Lailaha Illallah Zikrullah kepada Abu, soe yang kheun Zikrullah
rahmat meulimpah dalam kubu. artinya “Lailaha Illah Zikrullah
kepada Abu, barangsiapa yang mengatakan Zikrullah rahmat
berlimpah di dalam kubur.”
Pak Rizal sendiri bukan pengikut Peuleukung, tapi ia
mengakui banyak tahu mengenai Peuleukung. Menurutnya
posisi Abu Peuleukung di kalangan para pengikutnya. Antara
lain Abu Habib Muda Seunagan ini diyakini dalam menuntut
ilmu tidak berkaki dan tidak berjari. Tidak berkaki diartikan
tidak pernah pergi ke luar menuntut ilmu, sementara tidak
berjari diartikan beliau tidak mengajarkan orang tapi hanya
berwasiat saja. Sepengetahuan Pak Rizal, Abu Habib Muda
Seunagan pernah berguru pada Teungku Jawa. Teungku
Jawa ini bukan berarti orang Jawa, tapi pernah menuntut
ilmu sampai ke Jawa. Teungku Jawa inilah tempat Abu
Habib Muda Seunagan belajar rateb 12 (zikir dua belas)
dengan beberapa murid yang lain. Ketika Teungku Jawa
meninggal dunia, rateb ini tidak ada lagi yang memimpin.
Ada yang menawarkan kepada Teungku Kali, salah seorang
murid Teungku Jawa, untuk menggantikan Teungku Jawa
memimpin rateb 12. Akan tetapi Teungku Kali menolak dan
merasa tidak mampu. Setelah saling tolak menolak, akhirnya
yang menggantikannya adalah Mahyeddin (nama kecil dari
Abu Habib Muda Seunagan).
Saat ini, menurut Pak Rizal, pengaruh ajaran Peuleukung
dalam kawasan Nagan Raya tersebar di berbagai gampong
dengan jumlah persentase berbeda menurut gampong dan
kecamatan. Ada gampong yang sedikit pengikut ada pula
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 107

yang banyak. Jadi bukan 100% warga di Nagan Raya menjadi


pengikut Abu Habib Muda Seunagan. Bahkan ada beberapa
gampong yang sama sekali tidak terdapat pengikut Peuleukung,
termasuk gampong Pak Rizal. Hal ini juga dibenarkan Pak
Samsul.27 Menurut Ibu Sapiah28 di gampong tempatnya
berdomisili juga tidak ada yang menjadi pengikut Peuleukung,
tapi masyarakatnya menghargai dan menghormati Peuleukung
apalagi banyak dari anggota masyarakat gampongnya memiliki
hubungan kekerabatan dengan Ampon Bang.29 Pada saat
upacara adat perlakuan masyarakat yang berbeda aliran/paham
dengan Peuleukung tetap memperlakukan para habib dari
garis keturunan Peuleukung ini dengan penuh penghormatan.
Misalnya mereka menyediakan bu dalong (nasi dulang), sama
seperti penyambutan dari keturunan para raja/teuku.

Lembaga Adat dan Peran Pemerintah dalam Revitalisasinya


Dalam PERDA Provinsi Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang
penyelenggaraan kehidupan adat, lembaga adat diartikan
sebagai suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk
oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
dan berwewenang untuk mengatur dan mengurus serta
menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. Di

Nama samaran dari tokoh dari paham/aliran yang berbeda dengan


27

Peuleukung.
Nama samaran dari seorang aktivis perempuan.
28

Sebutan panggilan untuk Teuku Zulkarnaini oleh masyarakat yang


29

merupakan nama kecil beliau yang saat ini sebagai Bupati Nagan Raya.
108 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Nagan Raya lembaga adat ini sudah lama hilang sejak zaman
Jepang yang memang sengaja dihilangkan fungsinya. Namun
hal ini tidak menyebabkan adat istiadat di Nagan Raya
mengikut hilang, bahkan masih begitu terjaga kelestariannya.
Salah satu tokoh adat Teungku Muhammad,30 mengatakan
hal ini terlihat dari praktek adat institusi keluarga dan para
pengikut Abu Peuleukung.
Diterbitkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh berkonsekuensi pada diberikannya
kedudukan hukum yang kuat terhadap pemerintahan mukim
dan gampong dalam sistem pemerintahan Aceh. UU tersebut juga
mengatur bahwa setiap kabupaten berwajib membuat qanun
mukim sendiri untuk mengatur secara teknis posisi dan fungsi
lembaga adat tersebut. Ternyata di Nagan Raya qanun tentang
mukim belum ada. Draf penjelasan atas Qanun Kabupaten Nagan
Raya Tentang Pemerintahan Mukim ini, saya dapatkan ketika
berkunjung yang kedua ke kantor Jaringan Komunitas Masyarakat
Adat Bumi Teuku Umar (JKMA BTU). Menurut penjelasan dari
Sekretaris Pelaksana JKMA BTU draf ini telah diserahterimakan
ke Bupati Nagan Raya pada bulan Maret 2009, beserta dengan
Qanun Kabupaten Nagan Raya Tentang Pemerintahan Mukim,
namun belum ada pengesahannya sehingga belum dinomorkan.
Meskipun Pemerintah Daerah Nagan Raya belum
mengeluarkan qanun mukim ini tidak berarti ketidakpedulian
terhadap lembaga-lembaga adat. Pemerintah Nagan Raya telah
menyediakan beberapa insentif setiap bulannya kepada para

Nama samaran dari salah satu unsur ketua dalam lembaga MAA
30

Kabupaten Nagan Raya.


REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 109

imum mukim, keuchik, tuha peut, teungku meunasah, keujruen


blang, panglima laot dan pimpinan lembaga adat lainnya. Hal ini
diakui oleh Razali.31 Menurut Razali bentuk insentif ini bervariasi
menurut tinggi rendahnya jabatan yang disalurkan tiga bulan
sekali melalui dinas terkait. Misalnya keujruen blang melalui
Dinas Pertanian, panglima laot melalui Dinas Perikanan dan
Kelautan. Pemerintah Nagan Raya juga memberikan seperangkat
pakaian setiap tahunnya kepada pimpinan dari setiap lembaga
adat. Bentuk pakaian ini tidak sama antara masing-masing
lembaga adat tetapi seragam. Misalnya pimpinan keujruen
blang kabupaten itu seragam sampai pimpinan tingkat bawah.
Pemerintah Nagan Raya juga memfasilitasi para pimpinan
lembaga adat melakukan studi banding ke daerah lain di
Indonesia. Sebagaimana pengakuan dari Ramli,32 bahwa dirinya
beserta hop keujruen, penyuluh, dan ketua kelompok tani
Kecamatan Kuala, pernah melakukan kunjungan ke Palembang
pada tahun 2007 yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten
Nagan Raya melalui Dinas Pertanian, dimana seluruh biaya
pesawat dan penginapan ditanggung Pemerintah Nagan Raya.
Anggaran biaya kenduri sawah dan laut yang didiskusikan
di atas dianggarkan berdasarkan permohonan para pimpinan
lembaga adat laot dan keujruen kabupaten melalui dinas
terkait. Selanjutnya RAB anggaran ini menunggu persetujuan
Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK).
Setelah mendapat persetujuan, anggaran biaya kenduri akan
disalurkan melalui dinas terkait untuk diserahkan ke lembaga

Nama samaran dari salah seorang keujruen chik Nagan Raya.


31

Nama samaran dari salah seorang keujruen chik Nagan Raya.


32
110 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

adat yang akan melakukan upacara kenduri. Semua bentuk


kegiatan kenduri yang dilaksanakan oleh lembaga adat yang
dibantu oleh pemerintah baru dianggap sempurna apabila
terlibat Abu Habib Qudrat yang merupakan satu-satunya
keturunan Peuleukung yang masih hidup. Dalam kenduri juga
disertai dengan doa dan zikir dari orang-orang terpilih dan doa
penutupnya dipimpin langsung oleh Abu Habib Qudrat sebagai
pemegang amanah terbesar Abu Peuleukung.

Kesimpulan
Dari apa yang telah saya kemukakan di atas tampak bahwa
praktek adat di Nagan Raya terkait erat dengan kuasa
Peuleukung di samping kebanggaan masyarakatnya dalam
mempertahankan sebutan Rameune Nagan. Kondisi ini
menyebabkan berbagai kebijakan pemerintah pusat dan
daerah melalui otonomi khusus, termasuk dengan lahirnya
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) tahun 2006, tidak
memberikan pengaruh signifikan dalam revitalisasi lembaga
adat di Nagan Raya. Besarnya adat belum disertai dengan upaya
revitalisasi terhadap lembaga adat itu sendiri sehingga peran
dari lembaga adat tidak berpengaruh besar terhadap eksistensi
adat dalam masyarakat. Namun figur Peuleukung selalu
menjadi acuan bagi sebagian masyarakat dalam pelaksanaan
adat, termasuk di dalamnya lembaga adat dan pemerintahan.
Wacana dan Peran
“Orang Adat” dalam
Revitalisasi Adat Gayo
oleh: Sehat Ihsan Shadiqin

BENER MERIAH
Bener Meriah merupakan salah satu daerah kabupaten hasil
pemekaran dari Aceh Tengah pada tahun 2004 yang mayoritas
(80%) dihuni oleh suku Gayo. Selain Gayo, di Bener Meriah
ada juga suku Aceh, Jawa dan Minang. Suku Aceh umumnya
mendiami daerah bisnis, seperti Simpang Balek dan Pondok
Baru. Suku Jawa merupakan pendatang yang dibawa Belanda
pada masa penjajahan dan melalui program transmigrasi
pada masa Orde Baru. Sementara suku Minang merupakan
minoritas yang membuka warung makan di berbagai daerah
di Bener Meriah. Suku Gayo juga ada di Aceh Tengah, Gayo
Lues, Aceh Tenggara dan satu kecamatan di Aceh Timur.
Secara administratif Bener Meriah dibagi dalam 7 kecamatan,
14 kemukiman dan 232 gampong. Dengan jumlah penduduk
118.660 orang, sementara luas wilayah mencapai 1.888,70
km2, maka tingkat kepadatan penduduk di Bener Meriah hanya
63 orang/km. Dari sisi pekerjaan, penduduk Bener Meriah
adalah petani, terutama petani kopi dan sayuran. Dua jenis
kopi yang ada di sana adalah robusta (Coffea robusta L) dan
arabika (Coffea arabica L). Pada tahun 2007 yang lalu Bener
Meriah memproduksi 142.430 ton sayuran yang dipasarkan ke
berbagai kota di Aceh dan Sumatera Utara. Pertanian banyak
digeluti oleh masyarakat suku Gayo dan Jawa. Sedangkan
perdagangan umumnya dilakukan oleh masyarakat suku Aceh
dan Minang di pusat-pusat pasar.
112 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

SETELAH KELUARNYA UU NO. 22 TAHUN 1999 TENTANG


Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dengan UU No.
32 Tahun 2004, banyak daerah di Indonesia yang berusaha
mengembalikan peranan adat dalam kehidupan sosial mereka.
Hal ini dilakukan setelah sekian lama pemerintah Orde Baru
membungkam kreatifitas masyarakat adat dengan UU No. 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan dengan berbagai
kebijakan lainnya. Dari berbagai penelitian yang ada terlihat
usaha ini dilakukan dengan beragam cara di berbagai wilayah
Indonesia sesuai dengan kultur dan kepentingan masyarakat
setempat (Davidson dan Henley 2007). Namun demikian,
revitalisasi yang tumbuh saat ini sarat dengan beragam
kepentingan. Avonius (2004: 221) yang melakukan penelitian di
Lombok, Nusa Tenggara Barat, menemukan bahwa revitalisasi
adat di sana merupakan sebuah manuver politik sekelompok
orang yang mengabaikan aspek budaya lokal dan hubungan
sosial dengan melakukan “adatisasi” pada banyak aspek
sosial kehidupan modern. Demikian juga Argo Twikromo
(2008) yang melakukan kajian etnografis pada masyarakat
Sumbawa, menemukan adanya partisipasi elit adat pada usaha
mengembalikan adat dengan memasukkan kepentingan politik
dan ekonomi mereka.
Di Aceh usaha ini tidak begitu dikenal karena pada tahun-
tahun awal setelah kejatuhan Orde Baru eskalasi konflik
antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Republik Indonesia masih tinggi. Setelah penandatanganan
Memorandum of Understanding (MoU) antara RI dengan GAM
di Helsinki pada 15 Agustus 2005 disusul lahirnya Undang-
Undang Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) pada
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 113

tahun 2006, masyarakat adat di Aceh mulai mengikuti saudara-


saudaranya di daerah lain di Indonesia. Bedanya, selain dengan
UU Otonomi Daerah, revitalisasi adat di Aceh juga didukung
dengan UU-PA di mana ada pasal yang secara tegas menyatakan
harus ada pemungsian kembali lembaga adat di Aceh sesuai
dengan karakteristik daerah dan masyarakat adat yang ada
(Pasal 114 ayat 4). Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya dua
produk hukum setingkat Peraturan Daerah (di Aceh disebut
dengan qanun) yang mengatur lebih rinci tentang peranan adat
dan fungsi lembaga adat dalam masyarakat Provinsi Aceh,
yaitu Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan
Adat dan Adat Istiadat dan Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang
Lembaga Adat.
Kedua qanun tersebut menjelaskan aturan-aturan dasar
yang berhubungan dengan pemungsian kembali adat dalam
kehidupan sosial masyarakat di Aceh yang selama ini tidak
berjalan lagi karena kebijakan politik sentralisasi pemerintahan
yang diterapkan pemerintah Orde Baru sejak tahun 1979.
Tiga hal utama yang ditekankan dalam qanun tersebut yaitu
pelestarian adat yang bersifat kultural dalam masyarakat,
pemungsian peradilan adat, dan membangun kembali lembaga
adat yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu kedua qanun
ini akan diikuti dengan qanun lain yang lebih spesifik dan
khusus berkaitan dengan adat, seperti Qanun Kejruen Blang,
Qanun Mukim, Qanun Wali Nanggroe dan lain sebagainya, baik
di tingkat provinsi maupun di level kabupaten/kota.
Pada tingkat grassroots, usaha ini disambut dengan berbagai
wacana dan praktek yang berusaha memungsikan kembali
adat dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks wacana
114 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

pemungsian adat ini terlihat pada keinginan untuk mewujudkan


adat masa lalu kembali dapat diterapkan dalam kehidupan
sekarang. Adat masa lalu adalah adat yang berlaku pada masa
kerajaan lima sampai sepuluh abad yang lalu. Sementara dalam
tataran praktek, pemungsian ini tampak dengan usaha untuk
membangun kembali hukum adat dalam menyelesaikan konflik
dan masalah sosial dalam masyarakat serta dengan pemungsian
kembali lembaga adat yang pernah ada.
Artikel ini akan menjelaskan berbagai wacana pemungsian
kembali adat Gayo dalam masyarakat Kabupaten Bener Meriah.
Saya berargumen bahwa revitalisasi adat yang terjadi di Bener
Meriah lebih pada wujud respon terhadap kebijakan yuridis
pemerintah di tingkat “orang adat” daripada kesadaran masif
masyarakatnya. Hal ini terlihat setidaknya dari berbagai data
lapangan yang saya kumpulkan. Saya memfokuskan artikel ini
dalam lima hal; pemaknaan adat yang ada dalam masyarakat,
revitalisasi peran mukim, hubungan pemerintah dan
masyarakat adat, “adatisasi” yang dilakukan oleh pemerintah
dan masyarakat, dan peran tokoh adat dalam usaha revitalisasi
adat yang dilakukan di Bener Meriah. Data ini saya peroleh dari
fieldwork di Kabupaten Bener Meriah selama enam bulan bulan.1
Di sana saya berjumpa dan mewawancarai orang-orang yang
dianggap sebagai “orang adat” yaitu orang yang dianggap oleh
banyak masyarakat mengerti tentang teori-teori adat Gayo dan
melakukan sebuah usaha revitalisasi adat dalam masyarakat.

1
Saya melakukan kunjungan ke Bener Meriah selama beberapa kali
sepanjang Juli-Desember 2010 dan tinggal dengan sebuah keluarga Gayo.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Keluarga besar Bapak Santa di
Kampong Kenawat yang memperlakukan saya laiknya anggota keluarga.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 115

Selain itu saya juga berbincang dengan aktivis LSM, guru,


petani, pedagang dan berbagai kelompok masyarakat yang
lain. Saya mewawancarainya menyangkut keterlibatan mereka,
baik sebagai individu atau organisasi, dalam pelaksanaan
adat di Bener Meriah. Saya juga mengamati berbagai kegiatan
pelaksanaan adat dalam masyarakat Gayo Bener Meriah dalam
berbagai momen.

Gayo dalam Penelitian Akademis


Studi mengenai Gayo pernah dilakukan oleh Hurgronje (1996b:
4-7) pada awal abad-20 yang menghasilkan sebuah monograf
yang sering dirujuk oleh peneliti selanjutnya. Melalatoa,
seorang antropolog asal Gayo, dalam pengantarnya untuk
buku terjemahan Bahasa Indonesia karya Hurgronje mengakui
bahwa karya Hurgronje merupakan karya paling klasik yang
sangat lengkap mengenai Gayo, sehingga banyak peneliti
sesudahnya merujuk pada karya ini. Dalam penelitiannya,
Hurgronje tidak pernah datang ke tanah Gayo. Ia hanya
mewawancarai beberapa orang Gayo yang datang ke daerah
pesisir Aceh. Dengan berbagai perkembangan yang terjadi
dalam masyarakat Gayo saat ini, karya yang sudah berumur
lebih satu abad tersebut tentunya tidak representatif lagi untuk
memahami masyarakat Gayo modern. Penelitian yang paling
komprehensif dilakukan oleh Bowen (1984, 1991, 1993 dan
2003) yang melihat berbagai dimensi sosial dalam masyarakat
Gayo, seperti wacana keagamaan, hubungan kekeluargaan,
sejarah modern Gayo, maupun gender. Bowen yang menetap
di Gayo selama penelitiannya mampu mendeskripsikan dan
menganalisis dengan sangat baik berbagai hal yang terjadi
116 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

dalam masyarakat Gayo. Namun karya tersebut tidak sampai


pada perkembangan wacana dan peran masyarakat Gayo dalam
revitalisasi adat, terutama pasca jatuhnya Orde Baru.
Artikel ini akan melihat dimensi keberlakukan adat dalam
masyarakat Gayo di Bener Meriah bukan dalam aspek sosial
masyarakat seperti dilakukan oleh Hurgronje, atau dalam aspek
wacana keagamaan, silsilah keluarga, atau sejarah Gayo seperti
yang diungkapkan Bowen, namun lebih kepada berbagai usaha
dan wacana terkini yang terjadi berkaitan dengan pemungsian
kembali adat dan lembaga adat dalam kehidupan sosial
mereka. Saya akan mengemukakan pemaknaan adat yang
diberikan oleh masyarakat Gayo terutama dalam hubungannya
dengan agama dan berbagai pergeserannya; peran mukim
baik dalam kehidupan sosial masyarakat atau hubungannya
dengan pemerintahan; bagaimana wacana yang berkembang
sekitar adat baik dalam hubungannya dengan pemerintah atau
‘adatisasi’ dalam dalam masyarakat; dan berbagai peran tokoh
adat dalam revitalisasi adat di Bener Meriah terutama yang
berkaitan dengan pemerintahan mukim.

Pengertian dan Kedudukan Adat


Selama di lokasi penelitian, saya tinggal di sebuah rumah
kenalan saya di Gampong Kenawat. Setiap saya berbincang-
bincang dengan bapaknya, maka kenalan saya selalu pergi ke
tempat lain, tidak duduk bersama kami. Menurut sang Bapak,
hal tersebut adalah salah satu “adat” Gayo di mana seorang
anak tidak boleh duduk bersama bapaknya ketika si bapak
duduk bersama tamu. Di waktu lain, saya dijamu makan
siang di rumah tersebut. Setelah makanan dihidangkan, saya
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 117

bersama dengan pemilik rumah duduk melingkari makanan


dan mulai makan. Anak perempuan mereka memiliki seorang
teman perempuan yang suka makan bersama kami. Anak
perempuan tersebut menyelesaikan makannya lebih cepat lalu
membasuh tangan, sementara temannya terus menyelesaikan
makannya. Si Ibu mengatakan sebenarnya dalam adat Gayo
kalau seseorang membawa teman ke rumahnya, maka ia harus
menyelesaikan makan setelah sang teman selesai. Kalaupun si
empunya rumah sudah selesai makan, ia tidak boleh mencuci
tangan sebelum tamu mencuci tangan.
Cerita tersebut adalah bagian dari pemahaman adat yang
berkembang dalam masyarakat Gayo. Ada pengertian lain yang
berkembang berkaitan dengan seni dan bangunan. Selama kerja
lapangan di Bener Meriah, saya tidak menemukan ada sebuah
kesamaan pandangan masyarakat dalam memahami apa yang
dinamakan dengan adat. Kebanyakan orang yang saya jumpai
mengatakan adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan
oleh tetuwe (orang tua bijak) zaman dahulu yang memiliki nilai
yang baik sehingga baik pula dilaksanakan dalam masyarakat
sekarang ini. Kebiasaan tersebut berupa tatacara dan norma
dalam kehidupan sehari-hari, seni, bangunan dan ajaran
kebajikan yang diwariskan turun temurun. Kebiasaan itu
termasuk kebiasaan dalam makan, berpakaian, bertutur, dan
dalam relasi sosial lainnya.

Adat dan Agama


Sebagai sebuah kebiasaan, maka adat adalah sesuatu yang
berubah sesuai dengan perubahan zaman. Perubahan itu tetap
ditolerir selama sesuai dengan syariat Islam. Nampaknya,
118 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

ungkapan “Adat ngen syariat lagee zat ngen sifeut” (adat


dengan agama bagaikan zat dengan sifat) yang terkenal dalam
masyarakat Aceh (Badruzzaman, 2008: 10) juga berlaku dalam
adat Gayo dengan ungkapan ara edet ara hukum (Hakim, 1993:
9). Ungkapan ini ingin menunjukkan hubungan yang sangat
dekat antara agama dengan adat sehingga tidak mungkin dipilah-
pilah dan dibedakan. Mahmud Ibrahim dan Hakim Aman Pinan
yang menulis tiga jilid buku berjudul Syariat dan Adat Istiadat
(2005) dalam adat Gayo mencoba menghubungkan keseluruhan
adat Gayo dalam konteks syariat Islam. Hal ini dilakukan untuk
menunjukkan bahwa adat yang berkembang dalam masyarakat
Gayo adalah adat yang sejalan dengan syariat Islam.
Namun demikian, dalam kenyataannya ada dua variasi yang
berkembang dalam pemahaman masyarakat Gayo mengenai
hubungan agama dengan adat. Pertama adat dan agama adalah
dua hal yang berjalan seiring dan saling membutuhkan. Seorang
narasumber saya, Muhammad Hatta,2 mengatakatan; “adat
tanpa agama adalah sesat, sementara agama tanpa adat adalah
hambar.” Ia meyakini agama tidak mungkin dilaksanakan
kalau tidak ada adat. Adat-lah yang akan menerjemahkan
pesan-pesan agama dalam konteks kehidupan manusia. Ini
pula yang diyakini oleh Aman Guntur,3 bahwa agama hanya

2
Usianya 70 th, seorang pensiunan Guru SMP. Saya mewawancarainya
pada 14 Juni 2009 di rumahnya.
3
Nama aslinya Jafaruddin (78 tahun). Ada sebuah tradisi di dalam
masyarakat Gayo untuk memanggil seseorang dengan nama anaknya tertua
yang diawali dengan ‘aman’. Guntur adalah nama anak Bapak Jafaruddin
tertua, sehingga ia dipanggil dengan nama Aman Guntur. Nama ini jauh lebih
dikenal dalam masyarakat daripada nama aslinya. Saya mewawancarainya
pada 10 Juni 2009 di rumahnya, Gampong Delong Tuwe.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 119

dapat dipahami melalui pemahaman adat dan adat sendiri


menjadi tatacara pelaksanaan ajaran agama. Banyak ajaran
agama yang tidak mungkin dilaksanakan jika tidak memahami
adat. Ia mencontohkan hukum agama mengenai pencuri yang
harus dipotong tangannya.4 Tanpa memahami adat, maka kita
harus memotong tangan seseorang yang mencuri walaupun
“sebuah korek api.” Ini bertentangan dengan adat sebab
kita akan terjebak pada “pemiskinan orang lain” yang justru
dilarang dalam agama. Makanya ia memandang harus ada adat
yang mendampingi pemahaman agama sehingga ada proses
yang panjang dalam mengajari, pemperingati dan memberikan
sanksi kepada seorang pelanggar syariat dengan pendekatan
adat.
Kedua, orang-orang yang menganggap agama saja sudah
cukup dan tidak perlu lagi adat. Sebab kalau agama sudah
dilaksanakan maka adat sudah terikuti di dalamnya. Oleh
sebab itu yang penting adalah melaksanakan agama dengan
baik. M. Salim,5 seorang narasumber saya di Gampong Reje
Guru menegaskan bahwa pelaksanaan adat sama sekali tidak
boleh bertentangan dengan agama. Jikapun ada, maka perlu

4
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al
Maaidah:38). Ayat ini dipahami sangat beragam oleh ulama, terutama
mengenai batas harta yang dicuri dan kondisi sosial ekonomi si pencuri. Para
ulama juga membedakan antara mencuri dengan pencuri. Hanya seorang
pencuri harta dalam kadar tertentu saja yang akan dipotong tangannya.
5
Usianya 83 tahun. Ia mengaku pernah menjadi mukim selama 39
tahun (1969-2008). Saya mewawancarainya pada tanggal 13 Juni 2009, di
rumahnya.
120 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

penyesuaian dengan agama melalui niat. Ia mencontohkan


dalam praktik peusijuek (tepung tawar) yang selama ini
dianggap banyak ulama sebagai praktik yang berlandaskan
pada kebudayaan Hindu sehingga mengandung syirik. Praktik
ini masih dilakukan dalam masyarakat Aceh dan Gayo.
Meskipun ada ulama yang mengatakan peusijuek adalah
praktik yang tidak sesuai dengan agama, namun bagi Salim
praktek ini tetap dapat dilakukan dengan mengubah niat orang
yang melaksanakannya. Kalau peusijuek dilakukan dengan niat
karena Allah dan untuk berdoa kepada-Nya, maka praktik itu
dinilai tidak bertentangan dengan agama.
Pun demikian Salim mengakui adat dalam masyarakat
Gayo masih sangat kuat bahkan pada hal-hal yang sekilas
bertentangan dengan agama. Ia mencontohkan mengenai
pelarangan pernikahan satu belah (marga)6 dalam adat
Gayo. Meskipun belakangan larangan ini semakin memudar
dan tidak kentara lagi, namun ia mengakui masih banyak
masyarakat yang melaksanakan itu dengan ketat. Dalam hal ini
ia menegaskan penting sebuah dakwah dan penjelasan kepada
masyarakat mengenai kemudahan yang diberikan agama
dalam pernikahan yang benar menurut Islam, sehingga tidak
mempertahankan adat yang melanggar ajaran agama.

Adat dan Kekerabatan


Dari dua kelompok pemahaman di atas saya memandang
masyarakat Gayo memberikan ruang dialog untuk penyesuaian
antara ajaran agama dengan praktek adat. Namun demikian,

Bagian ini akan saya jelaskan lebih lengkap dalam bagian berikutnya.
6
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 121

dalam beberapa hal adat memiliki daya tawar yang lebih


tinggi dibandingkan dengan agama. Misalnya dalam praktik
pernikahan antar laki-laki dan perempuan yang memiliki
belah7 yang sama. Dalam adat Gayo, praktek ini terlarang
dan salah satu pelanggaran adat yang berat. Pasangan yang
melakukannya akan dikenakan sebuah hukum adat yang
dikenal dengan hukum farak. Hukum farak adalah hukuman
yang dijatuhkan bagi seseorang yang menikah dalam satu
belah meskipun tidak memiliki hubungan genealogis yang
dekat. Proses hukuman diberikan oleh aparatur gampong
yang disaksikan oleh masyarakat. Dalam praktik selama ini,
hukuman yang diberikan ada dua jenis, pertama harus keluar
dari gampong, kedua menyembelih seekor kambing/kerbau
dan menyediakan bumbunya untuk sebuah kenduri di masjid.

7
Belah adalah klasifikasi sosial masyarakat di Gayo yang didasari pada
keturunan besar inti di masa lalu sehingga antar anggota belah dianggap
memiliki hubungan darah sehingga tidak boleh saling menikah. Dari sisi
sejarah belah berasal dari gampong Kenawat dan Kebayakan di Aceh Tengah
yang kemudian menyebar ke berbagai daerah lain. Oleh sebab itu klasifikasi
sosial dalam bentuk belah hanya ada dalam gampong yang memiliki asal-
muasal dari kedua daerah itu saja. Gampong yang tidak memiliki belah
maka gampong itu sendiri adalah sebuah “belah”, sehingga hukum adat yang
berkaitan dengan belah diterapkan pada satu gampong. Misalnya sebuah
gampong yang memiliki dua belah, maka orang bisa menikah dengan orang
satu gampong itu asalkan dari belah yang berbeda. Sementara jika satu
gampong tidak memiliki belah, maka orang yang ada di gampong itu tidak
dibenarkan saling menikah. Di sisi lain seseorang yang memiliki belah yang
sama, meskipun dari daerah administratif yang berbeda tetap tidak boleh
menikah karena masih dianggap saudara sedarah (Wawancara dengan
Fakhruddin, Direktur Redelong Institute Bener Meriah, 26 Juli 2009). Untuk
mempererat kesatuan belah, setiap tahun diadakan pertemuan belah di
tempat yang disepakati seraya dijelaskan kembali asal muasal belah yang
bersangkutan kepada anggotanya. Wawancara Aman Guntur, 27 Juli 2009.
Sebuah penelitian mengenai belah pernah dilakukan oleh Mukhlis (1977).
122 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Kalau hal ini tidak dilakukan maka orang tersebut harus


meninggalkan gampong.
Di antara narasumber saya meyakini larangan yang ada
dalam adat Gayo mengenai pernikahan memiliki banyak
manfaat. Di antaranya adalah untuk menghindari keturunan
yang cacat dan bermental lemah. Sopyan,8 misalnya mengatakan,
pernikahan manusia yang memiliki hubungan kekerabatan
dekat dapat menyebabkan kecacatan dan gangguan mental.
Karenanya, ia mengaku merasa bangga dengan tetuwe Gayo
masa lampau yang sanggup memikirkan adat demikian yang
baru dalam zaman modern ini diketahui alasannya. Menurut
para informan, dampak positif lain dari larangan tersebut
adalah untuk memudahkan seseorang dalam menyusun silsilah
keluarganya. Jika setiap orang dalam satu keluarga menikah
dengan orang “luar” maka akan menjadikan keluarga tersebut
teratur dan mudah ditelusuri. Ini berbeda jika seseorang
menikah dengan keluarga dekatnya sendiri yang menyebabkan
susunan keluarganya kacau dan tidak teratur. Selain itu ia
juga yakin bahwa menikah dengan orang dari luar belah-nya
akan menghindari kemungkinan perpecahan keluarga. Dalam
pandangan orang Gayo, sebuah keluarga yang dibangun atas
pernikahan saudara dekat yang masih memiliki hubungan
darah, maka jika mereka bermasalah (misalnya cerai atau
bertengkar) akan berdampak pada hubungan persaudaraan
famili besar yang lain. Sementara jika ia menikah dengan orang

8
Sofyan adalah seorang mukim. Saya wawancarai pada 12 Juni 2009 di
lapak jual ikan miliknya. Ia mengaku baru delapan bulan dilantik menjadi
mukim dan “baru dua” sengketa yang diselesaikannya. Sebelumnya ia
pernah menjadi keuchiek selama dua periode.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 123

luar, lalu timbul masalah dan berpisah, maka tidak memiliki


dampak pada keluarga yang masih memiliki hubungan darah
sehingga keutuhan keluarga besar tetap terjalin.9
Namun demikian banyak gampong di Bener Meriah tidak
lagi menerapkan aturan mengenai perkawinan antar belah
ini. Misalnya, gampong Mutiara Kecamatan Bandar yang
memiliki pluralitas suku (Gayo, Aceh dan Jawa), sama sekali
tidak berlaku aturan ini dalam kehidupan masyarakatnya. Di
sana ada anggota masyarakat yang menikah dengan sesama
suku Gayo yang hanya diselangi oleh sepuluh buah rumah
saja. Demikian juga di Simpang Balik, Kecamatan Wih Pesam,
aturan-aturan adat mengenai perkawinan banyak yang tidak
berlaku lagi. Bahkan banyak masyarakat yang sama sekali
tidak mengetahui belah-nya. Hal ini disebabkan pencampuran
suku dalam masyarakat yang mengakibatkan pencampuran
budaya dan menghasilkan budaya baru. Budaya baru ini tidak
memberikan ruang kepada salah satu budaya pendukungnya
untuk mendominasi dan menerapkan suatu aturan yang secara

9
Tidak menikah dengan saudara dekat sering salah satu alat ukur sebuah
kekerabatan di Gayo. Seseorang asing yang sudah dianggap menjadi saudara
maka tidak dibenarkan lagi menikah dengan keluarga tersebut. Hal ini dapat
dilihat dalam tradisi tari saman antar gampong yang ada dalam masyarakat
Gayo Lues. Hampir setiap tahun sekelompok penari saman diundang ke satu
daerah lain. Saat tiba di gampong tujuan, penari saman yang diundang akan
diperkenalkan kepada sebuah keluarga. Di sana ia tinggal selama ia mengikuti
pementasan sama (yang kadang sampai satu minggu). Ketika sang empunya
rumah datang ke gampong tamunya kelak, untuk membalas kunjungan
saman ini, maka ia juga akan menginap di rumah saudara barunya itu.
Dari sini terjalan kekerabatan yang dekat anatara keduanya. Setelah sangat
dekat maka mereka sepakat untuk tidak saling menikahkan antara keluarga
mereka. (Wawancara dengan Bapak Santa, pengawas sekolah Departeman
Agama dan petani kopi yang tinggal di Gampong Kenawat, Bener Meriah).
124 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

spesifik berlaku untuk budaya itu. Oleh sebab itu, larangan


perkawinan satu belah yang ada dalam masyarakat Gayo tidak
berlaku dalam sebuah masyarakat yang plural.

Distorsi Adat Gayo


Dalam perkembangan kontemporer, banyak kalangan di
Gayo mengakui adanya unsur adat sebagaimana dipahami di
atas yang mulai pudar. Hal ini terutama dapat dilihat dalam
penggunaan bahasa, bangunan-bangunan pemerintahan dan
publik, pakaian dan acara-acara adat. Banyak hal yang dulu
dianggap sakral (tabu) sekarang sudah dianggap biasa. Dalam
hal ini termasuk unsur-unsur sakral dalam bangunan yang
menunjukkan identitas Gayo tidak diperhatikan lagi. Demikian
halnya dengan pakaian yang dikenakan oleh pegawai negeri,
siswa sekolah dan masyarakat umum, sama sekali tidak
menunjukkan aspek etnisitas sebagai sebuah identitas yang
unik. Ini semua menjadi sebuah “keluhan” dalam masyarakat
dan dianggap sebagai salah satu kemunduran dan pemudaran
budaya Gayo dalam kehidupan mereka.
Beberapa narasumber saya menganggap “pelanggaran”
adat yang sifatnya moralitas, kebanyakan disebabkan oleh
hilangnya sumang. Sumang adalah pantangan atau ketabuan
yang dilakukan masyarakat dalam beberapa hal. Dalam adat
Gayo ada empat jenis sumang; Sumang Perceraken (perkataan);
misalnya pembicaraan antara pria dan wanita yang tidak pantas,
Sumang Kenunulen (kedudukan); yaitu duduk ditempat yang
menimbulkan kecurigaan untuk berbuat tidak baik, Sumang
Pelangkahan (perjalanan); yaitu berjalan tanpa muhrim,
dan Sumang Penengon (penglihatan); yaitu melihat laki-laki
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 125

dengan wanita yang bukan istrinya dengan perasaan birahi


dan berlebihan. Hilangnya sumang ini menjadikan perilaku
masyarakat mengikuti gaya hidup baru yang berkembang, baik
dari apa yang disaksikan di televisi atau gaya hidup yang dibawa
oleh pendatang dan perantau yang kembali ke gampongnya.
Apalagi dengan adanya teknologi modern yang menjadikan
manusia semakin mudah mengakses berbagai perkembangan
terkini di berbagai belahan dunia.
Praktik adat lain yang mulai hilang adalah struktur
pemerintahan adat yang diwariskan turun-temurun. Dalam
adat Gayo dikenal sistem pemerintahan sarakopat10 dan
mukim (tentang mukim akan dijelaskan dalam bagian
selanjutnya). Sistem ini tidak mendapatkan tempat lagi dalam
tatanan pemerintahan Gayo sejak keluarnya UU No. 5 Tahun
1979. Meskipun secara kultural peran pemimpin adat tidak
hilang secara total dalam masyarakat, namun UU tersebut
menyebabkan banyak kekuasaan adat yang diambil alih oleh
pemerintah. Misalnya kekuasaan atas tanah hutan (hak ulayat)
yang selama ini dilindungi oleh petua adat dengan hukum
adatnya, ketika beralih kepada pemerintah hutan diatur oleh

Sarakopat adalah pemerintahan yang disusun pada masa pemerintahan


10

kerajaan Linge. Dalam pemerintahan sarakopat, pemerintahan dibagi dalam


empat kekuasaan, yaitu: Pertama, Reje yang tugasnya musuket sipet. Artinya
seorang raja mesti bersifat adil dengan memenuhi hak-hak masyarakatnya.
Hal ini terkandung dalam istilah yang lain: munyuket enti soh munimang enti
angik; Kedua, petue diartikan dengan musudik sasat. Tetuwe adalah penasihat
raja dalam mengambil keputusan. Ketiga, imem disebut sebagai muperlu
sunet yang berarti seorang yang mengerti persoalan-persoalan dasar dalam
agama. Ia juga yang mengurus hal-hal yang berkaitan dengan sinte murip
(kenduri daur hidup) dan sinte mate (kenduri kematian). Bagian terakhir,
rakyat disebut genap mupakat yaitu orang yang bermusyawarah dan dan
memberikan kata sepakat dalam keputusan dan kebijakan pemerintahan.
126 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

penguasa melalui Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Pengusaha


tidak mengerti masalah sumber air dan menjaga “tali air”
yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Mereka
menebang dan membabat hutan sesuai dengan kewenangan
yang dimilikinya bahkan sering melebihi kewenangan tersebut.
Kondisi ini menyebabkan penderitaan pada masyarakat dalam
waktu dekat atau bahkan memicu terjadinya perubahan iklim
dalam waktu panjang. Namun dengan kekuasaan opresif
pemerintah Orde Baru hal ini tidak dapat dicegah dan terus
berlangsung sampai Orde Baru tumbang pada tahun 1998.
Sementara hilangnya lembaga adat, disebabkan oleh aturan
pemerintahan yang sentralistik pada masa Orde Baru. Ini tidak
hanya terjadi di Gayo, namun juga di berbagai daerah lain di
Indonesia. Lembaga adat yang ada dan berkembang dalam
masyarakat Gayo digantikan dengan lembaga pemerintahan
sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang negara
Republik Indonesia. Hal ini adalah ekses dari upaya pemerintah
Orde Baru untuk melakukan standarisasi dan sentralisasi
pemerintahan. Akibatnya bukan hanya di Gayo dan Aceh, namun
semua daerah di Indonesia peran lembaga adat termarjinalisasi.
Pun demikian dalam praktiknya di beberapa daerah lembaga adat
tetap eksis walaupun tidak diakui secara resmi sebagai bagian
dari sistim pemerintahan yang sah dan berlaku di Indonesia.
Tidak semua setuju dengan perlunya usaha revitalisasi
adat seperti yang terjadi belakangan ini. Seorang narasumber
bernama Ulwan11 yang mengatakan hilangnya lembaga adat itu

Guru SMP. Saya mewawancarainya pada 3 Juli 2009 di sebuah warung


11

kopi Redelong.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 127

memang disebabkan oleh perkembangan modern dalam sistem


pemerintahan, bukan hanya di Indonesia namun di berbagai
belahan dunia. Menurut dia, saat ini pemerintahan adat itu
memang tidak diperlukan lagi. Banyak hal yang dulu diperlukan
sekarang sudah digantikan oleh peran lain yang sama dengan
adat lama bahkan ada yang lebih baik. Ia mencontohkan
pemerintahan sarakopat yang ada dalam adat Gayo. Saat ini
tidak mungkin lagi dilaksanakan dan bahkan tidak diperlukan.
Sarakopat hanya sesuai dengan konteks masyarakat sederhana
yang ada dalam masyarakat zaman dahulu. Sementara dalam
masyarakat modern yang kompleks dan memiliki keterkaitan
dengan dunia luar maka sistem pemerintahan demikian tidak
dapat dilaksanakan lagi. Meskipun demikian ia mengakui kalau
nilai-nilai filosofis yang ada dalam pemerintahan sarakopat
masih dapat dipakai dan dipertahankan. Sebab, sebagai sebuah
nilai ia bersifat universal tanpa mengenal tempat dan waktu.
Dari beberapa penyebab pudarnya adat dalam masyarakat
Gayo di atas, modernisasi memang memberikan pengaruh
yang paling besar. Dalam teorinya, modernisasi yang salah
satunya ditandai dengan globalisasi dapat menjadi salah satu
penyebab pudarnya adat dan kebudayaan sebuah komunitas
karena melemahnya ikatan-ikatan tradisonal (Irwan, 2006:165).
Modernisasi bisa masuk ke dalam sebuah komunitas melalui
asimilasi penduduk dengan budaya yang berbeda, melalui
televisi, komunikasi dan transportasi, dan keterbukaan
sebuah daerah terhadap berbagai perubahan yang ada
dalam masyarakat di sekitarnya. Hal inilah yang kemudian
menjadikan sebuah budaya berubah dan membentuk budaya
baru. Budaya baru ini bisa jadi memiliki keterkaitan dengan
128 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

budaya sebelumnya, namun bisa jadi memang sesuatu yang


baru dengan menghilangkan apa yang ada sebelumnya. Dalam
kasus Gayo, keterkaitan dengan budaya sebelumnya masih
sangat kuat.

Revitalisasi Lembaga Adat: Peran Mukim dalam Pengadilan


Adat dan Pemerintahan
Kalau dilihat dalam literatur sejarah, wilayah mukim di Aceh
awalnya terbentuk atas dasar alasan keagamaan. Islam mazhab
Syafii yang dianut mayoritas masyarakat Aceh sejak dahulu
mengharuskan shalat Jumat dilakukan oleh 40 orang laki-laki
dewasa. Oleh sebab satu mukim diukur dengan sebuah masjid
yang digunakan untuk pelaksanaan salat Jumat (Hurgronje,
1996a: 62).12 Untuk mendapatkan jumlah demikian diperlukan
jamaah dari beberapa gampong. Gampong yang tergabung
dalam jamaah itulah yang kemudian membentuk sebuah
mukim (Hurgronje, 1996a: 62; Zainuddin, 1961: 315). Dengan
alasan ini maka kepemimpinan sebuah mukim identik dengan
kepemimpinan dalam agama dan adat. Karenanya seorang
mukim juga seorang yang ahli dalam agama (Islam) yang ada
dalam masyarakat.
Dalam perkembangan sistem politik dan tata pemerintahan
kerajaan Aceh pada masa Iskandar Muda (1607 – 1636) terjadi
sebuah evolusi pemerintahan seiring dengan kompleksitas

12
Kasus ini masih berlaku di Aceh Besar hingga saat ini meskipun jumlah
jamaah lebih dari 40 orang. Di beberapa daerah lain di Aceh hampir setiap
desa memiliki sebuah masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Jika jumlah
jamaah tidak mencukupi 40 orang mereka melaksanakan shalat i’adah zuhur,
artinya mereka tetap melaksanakan shalat zuhur setelah shalat Jum’at. Dalam
bahasa lokal dikenal dengan seumayang ireng (shalat pengiring).
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 129

yang terjadi dalam masyarakat (Langen, 2001). Mukim yang


sebelumnya masuk ke wilayah ukhrawi kemudian juga
terlibat dalam mengurus hal-hal yang bersifat politik kerajaan,
keuangan, kebijakan pemerintahan dan lainnya. Sehingga
kemudian untuk kepentingan keagamaan di tingkat mukim
diangkat seorang imam yang dikenal dengan imum chik atau
kadhi mukim (Hasjmy, 1977: 134; Harley, 2008: 78).
Secara struktural, dalam sejarah kerajaan Aceh Darussalam,
mukim berada di bawah ulee balang yang mengkoordinir
beberapa mukim. Mukim sendiri mengkoordinir beberapa keuchik
yang memimpin sebuah gampong (Said, 1981: 403; Sutoro, 2007:
15). Hal ini masih berlangsung sampai masa penjajahan Belanda
dan Jepang di Aceh. Belanda menetapkan kedudukan mukim
dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie
van 18 November 1937 Nomor 8, dengan nama Imeumschaap.
Sementara pada masa penjajahan Jepang, pemerintahan oleh
imum mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei
Nomor 7 Tahun 1944 (Mahdi, 1995: 3). Sayangnya “pengakuan”
Belanda tersebut diiringi dengan keinginan memecah-belah
kepemimpinan adat di Aceh dengan politik belah bambu. Belanda
merangkul ulee balang dengan memberikan kewenangan untuk
mengatur suatu daerah secara otonom dan mengabaikan unsur
pemerintahan yang lain seperti mukim, gampong, sagoe dan
juga pengaruh ulama. Kondisi ini menyebabkan ikatan mukim
dengan ulee balang menjadi longgar, sebaliknya mereka
mendekat kepada masyarakat gampong dan ulama. Sehingga
mukim kemudian menjadi basis konsolidasi perlawanan rakyat
terhadap penjajahan Belanda di Aceh (Hasan Saleh, 1992).
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, mukim masih
130 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

menempati posisi sebagai bagian dari struktur pemerintahan


adat di Aceh. Pemerintahan Indonesia pada masa itu
menetapkan mukim sebagai bagian dari stuktur pemerintahan
dalam Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan 3 tahun 1946
tentang Lembaga Mukim. Berdasarkan peraturan tersebut,
pemerintahan kemukiman diberlakukan di seluruh Aceh dengan
kedudukan bukan lagi di bawah ulee balang sebagaimana pada
masa kerajaan atau masa penjajahan, namun berada di bawah
Camat dan membawahi beberapa gampong (Taqwaddin, 2009).
Orde Baru yang memulai sebuah rezim otoriter
menggantikan kepemimpian Orde Lama di bawah Sukarno
menerapkan kebijakan sentralisasi yang menyebabkan
sistem kelembagaan adat terpinggirkan. Pada tahun 1979
pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1979 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56
tahun 1979) tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini
mengharuskan penyeragaman kedudukan pemerintahan Desa
di seluruh Indonesia. Dengan UU tersebut, maka gampong
di Aceh sebagai unit pemerintahan terendah diubah menjadi
desa atau kelurahan sebagaimana di Jawa. Demikian halnya
dengan seluruh alat perlengkapan dan penyelenggaraan
pemerintahan desa disesuaikan sebagaimana dikehendaki oleh
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979. Dalam hal ini secara
hirarkhis, di atas desa ada kecamatan; kumpulan kecamatan
menjadi kabupaten; dan beberapa kabupaten membentuk
sebuah provinsi. Dengan aturan seperti ini maka lembaga
mukim yang selama ini menguasai beberapa gampong tidak
lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan dalam struktur
pemerintahan baru. Penyeragaman ini tidak terlepas dari
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 131

keinginan pemerintah Orde Baru untuk memperkuat kontrol


dan penyebaran ideologi kekuasaannya kepada masyarakat
sampai ke tingkat pemerintahan terendah (Zando, 2003: 75).

Mukim dalam Adat Gayo


Dalam konteks sejarah masyarakat Gayo, istilah mukim tidak
dikenal sebagaimana di Aceh pesisir. Hurgronje (1996) dalam
monografnya tentang Gayo mengatakan kepemimpinan Gayo
dipegang oleh seorang reje yang ada pada setiap gampong.
Saat kerajaan Aceh Darussalam menguasai hampir seluruh
Pulau Sumatera pada abad ke-17 Gayo menjadi bagian dari
kerajaan Aceh. Sebagai penguasa bawahan sultan di Gayo
diangkat beberapa orang yang dikenal dengan keujruen. Istilah
keujruen di Gayo berbeda dengan apa yang dipahami di Aceh
pesisir sebagai pengatur air persawahan, keujruen dalam
sistem pemerintahan adat Gayo adalah penguasa wilayah
tertentu yang memiliki kewenangan atas beberapa reje. Hanya
ada lima orang keujruen di daerah Gayo yang ditetapkan oleh
sultan Aceh. Dan ini terus diwariskan secara turun-temurun
sampai zaman kemerdekaan di mana Gayo menjadi salah satu
bagian dari pemerintahan Aceh.
Dengan penggambaran di atas maka istilah mukim baru
dikenal dalam adat Gayo setelah daerah itu menjadi bagian
dari Provinsi Aceh sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia,
mengikuti apa yang berkembang di Aceh yang lain. Dari sisi
penyebutannya, istilah imum mukim sebagaimana yang di kenal
di daerah Aceh pesisir diganti dengan kepala mukim di Gayo. Hal
ini didasari pada keyakinan bahwa imum (Gayo: imem) adalah
pemegang otoritas dalam wilayah keagamaan, seperti memimpin
132 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

shalat, memimpin doa, kenduri dan lain sebagainya. Oleh sebab


itu istilah imum mukim dianggap tidak cocok bagi seseorang
yang tidak secara spesifik bekerja dan bertanggungjawab dalam
bidang keagamaan sehingga mereka menyebutnya dengan
“kepala mukim” yang artinya orang yang mengepalai beberapa
gampong dalam bidang adat dan administrasi umum. Namun
demikian kalau dilihat dari fungsi dan perannya sama saja
dengan imum mukim yang ada di daerah lain di Aceh.
Sebagaimana daerah lain di Aceh, peran dan fungsi
mukim di Bener Meriah juga mengikuti gerak perundang-
undangan pemerintah Indonesia. Pada saat UU No. 5 Tahun
1979 diberlakukan, di Bener Meriah (pada saat itu masih
tergabung dalam kabupaten Aceh Tengah) mukim secara
struktural juga ikut dihilangkan. Namun demikian peran dan
fungsi mukim yang sudah melekat dalam budaya masyarakat
tetap bertahan. Salah seorang narasumber saya yang dipilih
menjadi mukim pada tahuan 1969 mengatakan, meskipun pada
tahun 1979 pemerintah menghapus peran mukim, ia masih
dipercayakan camat untuk memegang fungsi dan perannya
sebagaimana sebelum keluarnya UU tersebut. Demikian halnya
masyarakat masih juga kerab menghubunginya untuk meminta
penyelesaian berbagai kasus sosial yang mereka alami.13 Bahkan

13
Hal yang sama juga terjadi di Aceh Besar. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Teuku Djuned (2003: 38)., dkk, Pemerintahan Mukim
Masa Kini menyebutkan, pada tahun 70-an saat dikeluarkannya UU
sistem Pemerintahan Desa oleh Orde Baru yang menyebabkan hilangnya
kelembagaan mukim, namun secara tidak langsung masyarakat tetap
mempertahankannya dengan melibatkan mukim dalam berbagai kegiatan
dan menjadikan mukim sebagai pihak yang terlibat dalam penyelesaian
sengketa antar gampong.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 133

pada tahun-tahun itu ia sempat menjadi orang yang ditunjuk


oleh camat untuk memberhentikan kepala gampong karena
kasus korupsi uang bantuan. Ia sendiri kemudian diangkat oleh
camat menjadi kepala gampong sementara untuk menyiapkan
pemilihan kepala desa yang baru. Ia melakukan ini sebanyak
tiga kali pada tiga desa yang berbeda, rata-rata ia menjadi
kepala desa sementara selama satu tahun saja. Setelah kepala
desa yang baru terpilih ia kemudian menjadi “mukim” kembali.
Dengan pengalaman inilah maka ia mengklaim bahwa ia pernah
menjadi mukim selama 39 tahun 6 bulan (1969 – 2008).
Peran mukim sebelum UU No. 5 Tahun 1979 lebih banyak
mengatur wilayah adat dan penyelesaian konflik dan pertikaian
dalam masyarakat. Mukim dianggap sebagai orang yang
mengerti, cerdas, bijaksana dan dihormati oleh masyarakatnya
hingga dapat dijadikan penengah dalam menyelesaikan
perkara yang ada dalam masyarakat. Saat ini, setelah keluar
Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat,
fungsi ini dihidupkan kembali. Dalam pasal 8 qanun tersebut
dijelaskan enam tugas pokok mukim di Aceh yaitu: melakukan
pembinaan masyarakat; melaksanakan kegiatan adat istiadat;
menyelesaikan sengketa; membantu peningkatan pelaksanaan
syariat Islam; membantu penyelenggaraan pemerintahan;
dan membantu pelaksanaan pembangunan. Dalam fieldwork
di Bener Meriah saya observasi beberapa peran lain yang
dilaksanakan mukim. Sebagian di antaranya memang sesuai
dengan apa yang ada dalam qanun tersebut di atas, namun
sebagian lain adalah fungsi tersendiri yang tumbuh karena
iklim budaya dan relasi sosial dalam masyarakat Gayo.
Beberapa fungsi itu dapat saya jelaskan sebagai berikut:
134 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Merancang Qanun Mukim Kabupaten


Dalam tahun 2009 mukim-mukim di Bener Meriah dan
Aceh Tengah sedang memperjuangkan lahirnya qanun mukim
di kedua kabupaten tersebut. Qanun ini dimaksudkan sebagai
landasan yang mengatur lebih jelas dan detil mengenai peran
dan fungsi mukim dalam sistem pemerintahan kabupaten. Hal
ini secara tidak langsung berkaitan pula dengan pengalokasian
anggaran untuk mukim di dalam APBA dan APBK di masa
yang akan datang. Secara yuridis-normatif penyusunan ini
diperlukan untuk mengatur secara rinci peran dan fungsi
mukim di tingkat kabupaten yang belum diatur secara detil
dalam qanun No. 9 dan Qanun No. 10 Provinsi Aceh. Hal ini
disebabkan adanya kekhususan yang ada dalam satu daerah
tertentu disebabkan karakter budaya yang ada di sana. Oleh
sebab itu setiap kabupaten menyusun qanun sendiri melalui
lembaga eksekutif dan legislatif kabupaten tersebut.
Penyusunan qanun mukim di Bener Meriah difasilitasi oleh
sebuah LSM Jaringan Komunikasi Masyarakat Adat (JKMA)
wilayah Lut Tawar yang membawahi Kabupaten Bener Meriah
dan Aceh Tengah.14 JKMA memfasilitasi dan mendanai proses
penyusunan qanun mukim dengan melibatkan berbagai unsur
masyarakat. Proses penyusunan ini sebenarnya tidak dimulai

Pola pembagian wilayah perwakilan JKMA berbeda dengan wilayah


14

administratif kabupaten kota. Mereka lebih menekankan pada pembagian


wilayah tradisional berdasarkan kerajaan masa lalu. Misalnya untuk wilayah
Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Luwes disatukan dalam JKMA Lut
Tawar (Laut Tawar). Untuk wilayah Bireun, Aceh Utara dan Lhokseumawe
berkumpul di bawah JKMA Wilayah Pase. Pase adalah nama salah satu
kerajaan masa lalu yang wilayah kekuasaannya sekitar bireun dan A. Utara
saat ini. Demikian juga halnya dengan daerah kabupaten lain di Aceh.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 135

dari awal karena ada beberapa kabupaten lain yang sudah


melakukannya yang juga difasilitasi oleh JKMA. Oleh sebab itu
yang mereka lakukan adalah penyesuaian draf dari daerah lain
kepada iklim budaya Bener Meriah saja. Dalam penyusunan
draf qanun ini turut terlibat para mukim, akademisi dari
Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh dan Universitas Gajah
Puteh di Takengon, Aceh Tengah, serta mahasiswa dari Banda
Aceh dan Bener Meriah.
Dalam amatan saya draf qanun mukim yang disusun oleh
mukim di Bener Meriah dan Aceh Tengah tersebut mengatur
tentang berbagai hal menyangkut dengan mukim di kabupaten,
baik tugas dan fungsinya, fasilitas, cara pemilihan, perangkat-
perangkat kemukiman dan lain sebagainya. Dalam rancangan
qanun ini nampak adanya keinginan para kepala mukim untuk
mejadikan kemukiman sebagai salah satu lembaga yang hirarki
dalam sistem pemerintahan kabupaten yang berada di bawah
kecamatan.

Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa memang sudah menjadi tugas kepala
mukim sejak ia pertama kali muncul pada masa pemerintahan
kerajaan di Aceh. Hal ini pula yang ditetapkan dalam Qanun No.
9 tentang kelembagaan adat yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Aceh. Kepala mukim memiliki wewenang untuk menyelesaikan
masalah yang ada dalam masyarakat dengan melibatkan
masyarakat sendiri. Penyelesaian masalah oleh kepala mukim
lebih banyak mengarah pada usaha mendamaikan kedua pihak
yang bertikai dari pada mencari yang menang atau yang salah.
Hal ini dipandang perlu untuk menghindari munculnya masalah
136 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

lain di kemudian hari yang memungkinkan timbulnya konflik


baru. Oleh sebab itu, penyelesaian masalah di tingkat mukim
melibatkan seluruh keluarga pihak yang bertikai sehingga
selain menyelesaikan masalah dari dua orang yang bertikai
juga meminimalisir dendam dua kelompok atau keluarga.
Perlu ditegaskan bahwa masalah yang diselesaikan oleh kepala
mukim adalah masalah yang tidak dapat diselesaikan di tingkat
gampong oleh perangkat gampong.
Dalam Kabupaten Bener Meriah, beberapa kepala mukim
yang saya wawancarai mengaku selama ini mereka hanya
melakukan tugas memfasilitasi dalam menyelesaikan berbagai
sengketa yang terjadi dalam masyarakat dalam wilayah desa
di bawah kemukimannya. Dalam tataran normatif mereka
mengakui hukum adat dapat menyelesaikan 75% dari masalah
sosial yang terjadi dalam masyarakat dan hanya 25% yang harus
dibawa ke pengadilan. Masalah yang diselesaikan oleh kepala
mukim adalah masalah yang tidak dapat diselesaikan lagi oleh
kepala gampong. Atau bisa juga masalah yang terjadi antara
dua gampong dalam mukim yang sama. Selain itu kepala mukim
juga menyelesaikan masalah yang terjadi di antara masyarakat
dengan kepala gampong atau aparatur gampong yang lain.
Dalam masalah sejenis ini, maka kepala mukim dibantu oleh
camat atau oleh pejabat dari kabupaten. Terkadang kepala
mukim yang menyelesaikan masalah juga bukan hanya satu
orang. Ada kasus di mana kepala mukim yang hadir lebih dari
satu orang. Hal ini maksudkan, pertama sebagai memberikan
rasa malu kepada orang yang bertikai, sebab masalah mereka
diketahui oleh banyak orang; kedua, sebagai pembelajaran bagi
kepala mukim yang lain tentang bagaimana menyelesaiakan
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 137

masalah yang ada dalam masyarakat; ketiga karena salah satu


pihak merasa keberatan terhadap kepala mukim tertentu karena
memiliki hubungan kekeluargaan dengan pihak yang bertikai.15
Proses penyelesaian masalah dengan adat yang melibatkan
mukim dimulai dengan undangan yang diberikan oleh mukim
kepada kedua orang atau dua belah pihak yang bersengketa.
Selain itu mukim juga mengundang pihak terkait lainnya
seperti keuchik, tuha peut, ketua pemuda, dan masyarakat
pada umumnya untuk hadir ke meunasah atau masjid untuk
sama-sama menyaksikan proses penyelesaian masalah
tersebut. Undangan dilakukan secara lisan atau tulisan, atau
dengan mengumumkannya di masjid. Dengan adanya jaringan
handphone yang masuk sampai ke pelesok-pelosok, undangan
juga dilakukan melalui telepon atau pesan singkat (SMS) yang
dikirimkan ke handphone orang yang dituju.
Para mukim sangat yakin, penyelesaian adat dapat
menyelesaikan masalah bukan hanya antara pihak yang
bertikai, namun juga keluarga atau masyarakat asal dari pihak
tersebut. Seorang narasumber saya berpendapat, pengadilan
pemerintah yang ada saat ini bukanlah meyelesaikan masalah,
namun mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, lalu
memutuskannya. Dalam konteks masyarakat gampong saat ini

Saat saya menjumpai Aman Guntur pada tanggal 27 Juli 2009, ia


15

menceritakan kalau ia baru satu malam sebelumnya ia menyelesaikan satu


masalah di gampong. Seorang laki-laki menuduh tetangganya mencuri
HP-nya. Mereka hendak membawa kasus ini ke pengadilan. Namun kepala
gampong mengatakan sebaiknya diselesaikan oleh mukim. Si penuduh tidak
setuju karena mukim untuk gampong itu masih famili dari si tertuduh.
Lalu mereka sepakat untuk memanggil mukim Aman Guntur. Dalam kasus
seperti ini Aman Guntur (atau kepala mukim lain) bisa saja menyelesaikan
masalah yang ada di luar wilayah kewenangannya.
138 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

hal itu tidak sesuai lagi. Sebab sebuah masalah yang terjadi
di gampong bukan hanya masalah pada dua orang atau dua
kelompok yang bertikai, namun juga keluarga dan masyarakat
secara umum. Jika seseorang bertikai dengan seseorang yang
lain, keluarga dari kedua belah pihakpun akan ikut-ikutan,
meskipun hanya dalam perasaan. Ini adalah potensi konflik
baru yang dapat muncul dalam waktu lain jika mendapat
stimulus yang tepat. Oleh sebab itu, penyelesaian dengan adat
adalah penyelesaian yang komprehensif dan menyeluruh.
Sebab dalam proses penyelesaiannya menghadirkan keluarga
dari kedua belah pihak dan kedua belah pihak tersebut pada
akhir sidang perkara bersalam-salaman dan saling memaafkan.

Membantu Program Pemerintah


Peran mukim yang lain yang nampak saat ini adalah sebagai
bagian dari pelaksana program pemerintah. Saya melihat
dalam sebuah pertemuan mukim yang dilaksanakan pada
tanggal 3 Juli 2009 di Bener Meriah, utusan pemerintah
daerah Kabupaten Bener Meriah menjelaskan mengenai
anggaran pembangunan gampong yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah Aceh. Dalam program itu setiap gampong
akan memperoleh dana pembangunan Rp. 100 juta yang
dikenal dengan program Peumakmu Nanggroe. Anggaran itu
digunakan untuk pembangunan fisik sebanyak 70% dan 30%
lainnya dialokasikan untuk kredit mikro kepada masyarakat
yang membutuhkannya. Dalam hal ini, pemerintah daerah
mengharapkan setiap gampong memilih seorang ketua
pelaksana, sekretaris dan seorang bendahara. Tim kecil itulah
yang akan mengelola uang bantuan pemerintah tersebut.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 139

Sementara keuchik dan mukim berfungsi sebagai pengawas


dan penasihat sehingga uang yang digunakan bisa sampai pada
maksud yang sebenarnya.
Peran lain adalah sosialisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
kepada masyarakat. Mukim menjadi salah satu pihak yang
dapat menjelaskan kepada masyarakat pentingnya membayar
pajak atas tanah dan bangunan yang mereka miliki. Sosialisasi
ini dilakukan oleh mukim dalam berbagai kesempatan di mana
mereka memiliki kesempatan berbicara kepada kelompok
masyarakat. Hal ini tentu saja dilakukan setelah mendapatkan
penjelasan dari pemerintah daerah mengenai pajak dan
pentingnya membayar pajak untuk pembangunan daerah.
Pilihan pemerintah untuk merangkul mukim dalam
melaksanakan programnya di lapangan di satu sisi dapat
dipahami sebagai sebuah sikap welcome kepada mukim dalam
sistem pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan.
Dalam hal ini ada sebuah kesadaran pada pihak pemerintah
untuk melibatkan tokoh dan institusi adat yang eksis dalam
masyarakat (dan didukung dengan undang-undang yang
berlaku). Jadi hal ini dapat dipahami sebagai sebuah peluang
yang dapat dimanfaatkan oleh “orang adat” untuk berpartisipasi
dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Namun di sisi lain ini adalah wujud kontrol pemerintah
terhadap lembaga adat untuk tetap mengikuti aturan dan jalur
yang sama dengan pemerintah sehingga tidak menimbulkan
kesalahan dan perbedaan dalam melakukan sebuah program
pemberdayan masyarakat. Dalam kapasitas dan peranya
yang demikian mukim tidak lagi sepenuhnya dapat dianggap
sebagai bagian dari masyarakat sipil, namun menjadi bagian
140 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

dari pemerintah dan kekuasaan. Bahkan dalam waktu yang


lama, kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya sebuah
formulasi adat yang dibentuk oleh pemerintah yang kemudian
diaplikasikan ke dalam masyarakat melalui perangkat adat
yang telah dikuasainya.

Asosiasi Mukim Bener Meriah


Untuk memperkuat peran dan posisinya, maka mukim-
mukim di Bener Meriah membentuk sebuah persatuan yang
disebut dengan Asosiasi Mukim Bener Meriah. Ketua asosiasi
ini adalah Bapak Aman Guntur. Asosiasi ini dimaksudkan
untuk meningkatkan solidaritas dan kesatuan mukim-mukim,
meningkatkan pengetahuan mukim-mukim dalam berbagai
masalah adat, mendiskusikan berbagai persoalan yang ada
dalam masyarakat dan pendekatan untuk menyelesaikannya.
Asosiasi ini melaksanakan pertemuan rutin setiap bulan di
rumah salah seorang mukim yang ada di Bener Meriah. Selama
ini rumah tempat pelaksanaan tidak ditentukan oleh asosiasi,
namun diminta oleh mukim itu sendiri agar pertemuan
dilaksanakan di rumahnya.
Diskusi dan pencerahan mengenai adat saat ini sangat
diperlukan. Ada kemungkinan seorang mukim tidak mengerti
secara mendalam tentang adat Gayo. Sebab sebagai sebuah
ajaran tetuwe (pendahulu) hal ini memang tidak dipelajari di
lembaga pendidikan namun merupakan ilmu yang diwarisi
secara turun temurun. Beberapa mukim yang saya jumpai
mengakui kalau “ilmu kepemimpinan” yang ia miliki berasal
dari orang tua mereka yang diajarkannya secara langsung atau
tidak langsung kepada mereka. Pengajaran langsung adalah
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 141

penyampaian yang dilakukan oleh seorang bapak kepada


anaknya melalui dialog dan doktrinal. Sementara secara
tidak langsung seorang anak mengikuti kebiasaan seorang
bapaknya yang menjadi pemimpin adat dalam masyarakat.
Lama-kelamaan jiwa kepemimpinan itu tumbuh dan menurun
kepadanya.
Namun demikian ada banyak mukim yang tidak ahli dalam
bidang adat. Ketika saya melaksanakan fieldwork dan menjumpai
mukim tertentu, ia merekomendasikan saya untuk menjumpai
seorang (mukim) yang ia sebut sebagai “ahli adat” atau “orang
adat”. Ia sendiri mengaku tidak begitu paham secara konseptual
perihal adat Gayo meskipun tidak juga terlalu buta, terutama
mengani pengalamannya dalam menyelesaikan masalah dalam
masyarakat. Namun kalau dalam tataran konseptual dan
pengetahuan tentang adat Gayo, maka ia mengaku tidak memiliki
pengetahuan yang cukup untuk dapat menjelaskan kepada
orang lain. Kondisi mukim seperti ini bisa juga dipengaruhi oleh
proses pemilihan mukim yang dilakukan saat ini sudah memiliki
dimensi politik sehingga pertimbangan seseorang sebagai orang
yang ahli dalam hal adat dapat saja diabaikan.
Sejatinya, seorang mukim dipilih karena wibawa
dan ketokohannya dalam masyarakat. Oleh sebab itu,
dalam pandangan beberapa narasumber saya, seharusnya
sebelum seseorang dipilih menjadi mukim dilihat dahulu
pengetahuannya, moralitas, agama dan keluarganya. Sebab jika
ia bermasalah dalam hal-hal tersebut maka tidak mungkin yang
bersangkutan dapat menjadi pemimpin. Karenanya, seorang
mukim setidaknya ia harus memiliki hubungan yang dekat
dengan masyarakat dan masyarakat mengenalnya dengan baik
142 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

dan ia harus tahu seluk-beluk masyarakat. Ini akan penting


ketika ia menyelesaikan sengketa. Sebab dalam menyelesaikan
sengketa tidak mungkin dilakukan dengan bahasa Indonesia,
tetapi hanya bisa dengan “bahasa adat”. Bahasa adat sendiri
tidak ada pendidikannya di lembaga pendidikan resmi. Ia
dipelajari lewat pengalaman, pengajaran turun-temurun dari
orang tua mereka.

Revitalisasi: Peran Pemerintah dan Kesadaran Masyarakat


Adat
Dari aspek yuridis-formal, kebijakan pemerintah Aceh dalam
usaha memfungsikan kembali adat sudah sangat bagus. Qanun
No. 9 dan 10 tahun 2008 jelas menunjukkan bagaimana
Pemerintah Aceh menginginkan adat dan lembaga adat dapat
hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat. Dua qanun itu
memberikan aturan yang jelas untuk memungsikan kembali
lembaga adat di Aceh. Bahkan ada istilah yang sebenarnya
tidak ada dalam khazanah sejarah Aceh saat ini justru
diangkat dan dianggap sangat penting, seperti wali nanggroe.
Meskipun pengangkatan wali nanggroe masih dibalut dengan
kepentingan politik, namun kekhasan tugas wali nanggroe
dalam bidang adat menunjukkan keinginan mengangkat
kembali adat dalam tataran pemerintahan. Atau dengan kata
lain, hal ini menunjukkan adanya keinginan dari kalangan
pemerintah untuk membangun kembali warisan sejarah dalam
bidang adat dan kebudayaan.
Namun dalam pandangan beberapa tokoh adat di Bener
Meriah, kebijakan tersebut dianggap masih sekedar komitmen
awal dari elit pemerintah. Secara spesifik sama sekali belum
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 143

nampak dalam konteks implementasi dan kesadaran masif


aparaturnya. Hal ini terlihat dari kebijakan yang dilakukan
pemerintah sebenarnya justru bertentangan dengan program
pemberdayaan adat yang mereka inginkan. Seorang narasumber
saya mencontohkan tentang kebijakan Gubernur Aceh pada
tahun 2008 yang membuka lowongan bagi seribu orang
tamatan SMU untuk diangkat menjadi polisi hutan. Kebijakan
Gubernur ini dinilai tidak memiliki perspektif budaya lokal. Bagi
narasumber saya tersebut, mengangkat polisi hutan bukanlah
kebijakan yang tepat. Sebab di daerah-daerah yang ada di Aceh
saat ini semuanya memiliki “orang adat” yang berhubungan
dengan hutan. Di Aceh pesisir dikenal pawang glee dan petua
seuneubok. Sementara dalam khazanah budaya Gayo dikenal
istilah penghulu huten. Seharusnya merekalah yang diangkat
menjadi polisi hutan sehingga dapat menghemat anggaran
daerah. Sebab penghulu uteun hanya perlu bimbingan masalah
teknis saja, sementara masalah hutan mereka sudah paham,
mana yang baik, mana yang tidak, bahkan mereka telah
menjadikan hutan sebagai alamnya, dan dia hidup di sana.
Lebih jauh ia menganggap masyarakat adat harus menjadi
“penguasa” di tanahnya sendiri. Argumennya, dalam UUD
1945 sebenarnya negara telah mengakui adanya hak ulayat
bagi masyarakat adat, sayangnya tidak diimplementasikan di
lapangan. Padahal tanah dan semua kekayaan alam adalah
milik masyarakat adat. Sehingga dapat dikatakan, masyarakat
adat itu sebenarnya sangat kaya, tapi karena kebijakan yang
diskriminatif terhadap mereka menjadikan masyarakat adat
dipandang sebagai masyarakat tertinggal dan terpinggirkan.
Dalam pepatah Aceh disebutkan: buya krueng teudong-dong,
144 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

buya tamoeng meuraseuki (orang pribumi menganggur,


sementara pendatang mendapatkan pekerjaan yang layak).
Menurut informan ini, kalau pemerintah tidak peduli pada
masyarakat adat, maka bisa saja Aceh akan menjadi “Papua”
kedua dalam kasus PT. Free Port, di mana hasil emas di Irian
diambil oleh pengusaha asal Amerika, namun masyarakat Irian
masih hidup dalam tradisi primitif yang sangat tertinggal.
Hal ini juga terjadi di Aceh dalam beberapa kasus, seperti
perusahaan besar di Aceh Utara, Arun, KKA, AAF dan lainnya
namun masyarakat Aceh Utara tergolong sebagai masyarakat
termiskin di Aceh. Kondisi yang sama bisa saja terjadi di Bener
Meriah. Banyak potensi alam berharga yang dikandung Bener
Meriah. Jika pemerintah tidak melibatkan masyarakat dalam
pengelolaannya tidak mustahil masyarakat Bener Meriah juga
akan merasakan seperti masyarakat Irian Jaya atau Aceh Utara.
Saya memahami apa yang diungkapkan narasumber saya
lebih kepada harapan kepada pemerintah Aceh daripada
sebagai sebuah protes atas kebijakannya. Sebab narasumber
saya juga mengakui kalau saat ini sangat jarang orang yang
memiliki pengetahuan “tradisional” mengenai hutan dan alam
secara umum. Ia mengatakan kalau seorang penghulu uteun itu
mengerti tentang natur pohon dan hutan. Ia memiliki ilmu yang
dapat mendeteksi pohon tertentu dan memahami jejak langkah
binatang buruan berdasarkan daun yang diinjaknya. Namun ia
mengakui kalau orang seperti ini nyaris tidak ada lagi di Bener
Meriah. Hal ini disebabkan banyaknya pengaruh aspek negatif
kehidupan modern dan materialisme yang mendorong orang
ikut dengan arus kehidupan baru tersebut dan meninggalkan
beberapa kearifat kehidupan “tradisional” mereka.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 145

Kesadaran Masif Masyarakat


Dari sisi masyarakat sendiri di Bener Meriah belum ada sebuah
gerakan masif yang mengupayakan kebangkitan adat dalam
kehidupan mereka. Sejauh ini saya mendapatkan informasi
mengenai beberapa kelompok masyarakat yang berusaha
mempertahankan adat mereka melalui caranya sendiri.
Kelompok pertama adalah kelompok belah. Kelompok keturunan
berupa belah ini membentuk menjalin komunikasi antar sesama
anggota belah. Hampir setiap tahun mereka melaksanakan
sebuah kenduri dengan mengundang seluruh anggota belah-
nya. Dalam kenduri tersebut seorang ahli adat dan ahli sejarah
belah memberikan penjelasan kepada hadirin anggota belah.
Hal ini dilakukan dengan maksud memperkenalkan kembali
sejarah belah kepada anggotanya untuk menguatkan ikatan
silaturrahim dan kesatuan di antara mereka.
Kelompok lain adalah kelompok penari didong. Didong
merupakan kesenian khas Gayo yang termasuk dalam sastra
lisan. Penari didong dianggap memiliki pengetahuan dalam
hal agama dan adat. Hal ini disebabkan didong memiliki tokoh
sentral yang dikenala dengan syeh. Syeh didong mesti memiliki
pengetahuan mengenai adat dan agama secara integratif yang
akan digunakan sebagai alat ”menangkis” serangan lawannya
dalam tarian sekaligus untuk memberikan pertanyaan atau
teka-teki kepada lawan mainnya. Ini mengharuskan mereka
untuk terus mendiskusikan berbagai masalah adat dalam
kelompok mereka.
Dua contoh ini memang secara tidak langsung berusaha
mempertahankan adat dalam kehidupan mereka. Namun di sisi
lain hal ini sebenarnya belum dapat disebutkan sebagai sebuah
146 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

kesadaran masif masyarakat untuk melakukan revitalisasi


adat. Gerakan-gerakan itu masih sangat sektoral dan memiliki
kepentingan kelompok yang sangat kuat. Apalagi hal ini tidak
dilakukan dengan sebuah jadwal khusus dan ketat. Pertemuan
belah dalam masyarakat juga tidak dilakukan setiap tahun
secara teratur. Demikian halnya dengan kelompok didong
yang mengadakan pertemuan lebih pada keinginan untuk
mengasah kemampuan dalam mempersiapkan penampilan-
penampilannya di pentas. Dua kelompok ini belum bisa
dikatakan sebagai sebuah kesadaran masif masyarakat dalam
menegakkan dan menguasahakan kebangkitan adat.

Wacana “Adatisasi”: Bahasa, Pakaian dan Bangunan

“Kamu Aceh, saya Gayo. Apa bedanya? Kalau pergi dari


Sabang sampai Marauke, sama saja, tidak ada bedanya.
Kecuali kalau kita masuk ke Bali, ke Padang, kita akan tahu
kalau kita sudah berada di sana. Yang lain sama saja.”
(M. Hatta)

Saat saya datang pertama kali ke Bener Meriah, saya


menghadapi sebuah dilema psikologis yang berat. Seorang
teman yang pertama kali menunjukkan “jalan” kepada saya
dan menjelaskan peta daerah Bener Meriah selalu berbicara
dengan bahasa Gayo ketika berjumpa dengan orang yang
hendak saya temui. Bahkan, ia berbicara bahasa Gayo dengan
pegawai di kantor pemerintahan. Setelah ia memperkenalkan
diri, menjelaskan mengenai saya, baru kemudian saya
mendapat kesempatan untuk memperkenalkan diri dan
maksud kedatangan saya. Beberapa narasumber saya
menyangka saya juga dapat berbicara bahasa Gayo sehingga
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 147

mereka memulainya dengan bahasa Gayo. Hal ini juga terjadi


dalam pergaulan dengan masyarakat. Di mana saja dalam
masyarakat Gayo, jika bertemu dua orang atau lebih mereka
akan berbicara bahasa Gayo, meskipun di sana ada seorang
teman yang tidak mengerti. Bagi orang Gayo, berbicara
bahasa Indonesia dengan sesama orang Gayo dianggap tabu
dan merendahkan adat. Bagi seseorang yang baru masuk
dan bergaul dengan orang Gayo, ini suatu hal yang tidak
menyenangkan. Namun tatkala saya sudah lebih lama tinggal
di sana dan sedikit bisa berbahasa Gayo, saya tahu tidak ada
yang aneh dengan pembicaraan itu.
Namun fenomena di atas tidak berlaku secara jamak dalam
masyarakat Bener Meriah. Selama fieldwork saya di Bener
Meriah, saya menemukan beberapa keluarga dari pedesaan yang
pindah ke kota yang mengajarkan anaknya di rumah berbahasa
Indonesia, meskipun ia sendiri belum bisa dikatakan sebagai
seorang yang dapat berbicara dengan bahasa Indonesia yang
baik. Alasan yang diberikan agar anak-anak mereka nantinya
mudah belajar di sekolah dan dapat mendapatkan pekerjaan
yang layak, bukan seperti orang tuanya. Ia menganggap bahasa
Gayo dapat dipelajari oleh seorang anak di lingkungannya.
Sebab di sana masih banyak orang menggunakan bahasa
Gayo sehingga ia tidak akan kesulitan untuk belajar melalui
temannya yang berbahasa Gayo.
Beralihnya penutur bahasa daerah ke bahasa nasional
(Bahasa Indonesia) seperti di atas memang menjadi fenomena
nasional saat ini di Indonesia. Irwan Abdullah, (2006: 92-
106) memberikan tiga alasan menguatnya pemakaian bahasa
nasional yang mungkin menjadi sebab bagi berkurangnya
148 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

penutur bahasa daerah; Pertama, karena interaksi antar dua


pemakai bahasa daerah di suatu tempat. Kondisi ini menyebakan
keduanya menggunakan bahasa Indonesia, atau kalau tidak
satu bahasa yang dominan akan mempengaruhi bahasa lain
sehingga tercipta sebuah bahasa baru. Kedua, adanya interaksi
yang besar antara bahasa daerah dengan bahasa nasional.
Pengwajiban penggunaan bahasa nasional dalam lembaga
pemerintah, lembaga pendidikan menyebabkan pengguna
bahasa daerah semakin terpinggirkan. Ketiga, pertemuan antara
bahasa daerah dengan bahasa berbagai bangsa yang disebabkan
oleh proses globalisasi. Dalam konteks ini pengguna bahasa
daerah semakin sulit menyesuaikan diri dengan berbagai
istilah teknologi yang bersifat ekspansif. Dalam konteks
Bener Meriah alasan ini dapat ditambah dengan sifat inferior
yang menganggap penggunaan bahasa daerah sebagai suatu
sifat masyarakat tertinggal sementara menggunakan bahasa
Indonesia sebagai wujud kemajuan. Sehingga seorang perantau
yang pulang gampong, kalangan terdidik, pekerja profesional,
masyarakat plural perkotaan cenderung menggunakan bahasa
nasional sebagai ekspresi kemajuan.
Narasumber saya di Bener Meriah mengaku pudarnya
semangat menggunakan bahasa Gayo dalam kehidupan
sehari-hari sebagai awal hancurnya sebuah budaya di Gayo.
Budaya suatu suku diukur dengan bahasanya. Jika bahasanya
sudah hilang, maka itu menunjukkan budayanya hilang pula.
M. Salim yang saya wawancarai di rumahnya Kampong Reje
Guru memandang kondisi penggunaan bahasa Gayo dalam
masyarakat Bener Meriah saat ini sangat memprihatinkan.
Banyak anak-anak yang tidak lagi mampu berbahasa Gayo dalam
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 149

kehidupan sehari-hari mereka. Ia mengatakan ini adalah awal


bagi pudarnya adat dan budaya Gayo. Meskipun ia mengakui
sebuah budaya memang akan pudar seiring dengan perjalan
waktu, namun dengan enggannya masyarakat berbicara bahasa
Gayo, maka hilangnya budaya Gayo akan semakin cepat.
Meskipun belum dilakukan dan diwujudkan ada banyak
jalan yang ditawarkan untuk proses “adatisasi”. “Adatisasi”
yang saya maksudkan adalah usaha menjadikan aspek-
aspek kehidupan sosial dan persolan sesuai dengan adat
yang digambarkan secara umum dalam masyarakat. Untuk
menguatkan bahasa daerah misalnya, maka diperlukan usaha
memasukkan kurikulum bahasa Gayo di sekolah-sekolah.
Kurikulum ini dimaksudkan sebagai mata pelajaran tambahan
(muatan lokal) sehingga anak-anak dapat belajar dasar-dasar
bahasa Gayo. Meskipun tidak diajarkan di rumah, dengan
adanya pelajaran bahasa Gayo di sekolah, diharapkan bahasa
Gayo tidak cepat hilang dalam masyarakat.
Tawaran adatisasi ini bukan hanya dalam hal bahasa, namun
juga dalam hal pakaian dan bangunan. Dalam pakaian, seorang
narasumber saya mengharapkan pakaian anak-anak sekolah
di Bener Meriah memiliki motif Gayo, yaitu kerawang Gayo.
Hatta, misalnya, mempertanyakan kebijakan yang mendasari
pemerintah daerah kabupaten Bener Meriah mewajibkan
anak-anak sekolah menggunakan pakaian batik. Bagi Hatta,
batik bukanlah pakaian khas Gayo dan tidak mencerminkan
adat budaya Gayo. Seharusnya pihak pemerintah –dalam hal
ini Hatta menyebut Dekranas- memikirkan motif Gayo yang
sesuai untuk anak sekolah, dari TK sampai SMA. Dengan
demikian anak-anak akan mulai mengenai pakaian budayanya
150 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

sendiri sejak kecil. Lebih jauh hal ini juga diharapkan dapat
berdampak pada tumbuhnya kebanggaan pada seorang anak
untuk mencintai budayanya.
Hal lain yang muncul dalam pandangan narasumber
saya adalah bangunan. Saat ini bangunan yang muncul di
Bener Meriah tidak memiliki sifat khusus sebagai bangunan
bernuansa adat. Hal ini menjadikan bangunan-bangunan yang
ada tidak dapat menunjukkan kalau ia adalah khas suatu
daerah tertentu (Gayo). Hal ini terjadi karena mereka yang
terlibat dalam perancangan dan pembangunan sebuah gedung
tidak mengerti masalah adat dan tidak mencoba berkonsultasi
dengan orang yang paham dengan bidang itu.

Orang Adat: Peran Tokoh dalam Revitalisasi


Pergerakan adat di Bener Meriah didominasi dalam wacana
para aktor yang dikenal dengan “orang adat.” Orang adat
adalah mereka yang dianggap memahami dan mengerti
masalah adat Gayo. Jumlah mereka tidak banyak, hanya
dalam hitungan jari saja. Dari penelusuran yang saya lakukan,
selalu mengarah kepada nama-nama tertentu yang akhirnya
bermuara pada beberapa orang saja. Orang-orang tersebut
dianggap memiliki pemahaman yang baik dalam bidang
adat Gayo. Karenanya seringkali saya menjumpai anggota
masyarakat yang mengatakan: “Kalau mau penelitian adat,
hubungi bapak ‘fulan’ saja. Kalau sudah wawancara dengan
dia sudah cukup itu.” Segolongan masyarakat memang merasa
enggan berbicara masalah adat karena merasa “tidak memiliki
kapasitas” untuk menjelaskan berbagai adat yang ada di Gayo.
Sebab pada umumnya adat dipahami sebagai konsep-konsep
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 151

ideal yang ada pada masa lalu, pada masa kerajaan sehingga
tidak banyak orang yang memahaminya.
“Orang adat” yang saya jumpai mengaku memahami
adat bukan melalui pendidikan formal. Sebab tidak ada mata
pelajaran adat yang diajarkan di sekolah-sekolah. Mereka
mengaku mewarisi adat dari orang tua mereka sendiri dengan
cara meneladani dan diajarkan oleh orang tua mereka.
Ajaran itulah yang kemudian mereka kembangkan dengan
mewawancarai orang tua lain dan hasilnya adalah seperti apa
yang mereka pahami saat ini. Mereka juga orang yang memiliki
peran kepemimpinan adat dalam masyarakat. Mereka menjadi
mukim baik sejak sebelum keluar UU. No. 5 tahun 1979 tetang
Pemerintahan Desa dan sesudah timbulnya UU. Otonomi
khusus. Bahkan dalam masa di mana mukim dianggap bukan
bagian dari pemerintahan mesyarakat tetap memanggilnya
dengan sebutan “bapak mukim”.
Terbangunnya anggapan demikian menyebabkan terjadi
sentralisasi kekuasan adat pada individu tertentu yang ada
di Bener Meriah. Seorang narasumber saya yang dianggap
oleh banyak orang (bahkan sejak dari Banda Aceh) sebagai
orang yang mengerti adat menjadi pusat “jabatan” yang
berkaitan dengan adat. Di gampong di mana ia tinggal ia
menjadi referensi bagi masyarakat yang ingin mengetahui
mengenai adat istiadat. Di tingkat kecamatan dan kabupaten
ia menjadi ketua asosiasi mukim Bener Meriah. Selain itu ia
depercayakan menjabat sebagai ketua MAA Bener Meriah. Di
luar pemerintahan ia adalah ketua sebuah LSM yang fokus
pada masalah-masalah adat. Dengan posisi ini ia menjadi orang
yang selalu mendapatkan kesempatan untuk menjadi pemateri
152 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

dalam seminar mengenai adat, memfasilitasi pertemuan


mukim, menjadi utusan pemerintah daerah kabupaten ke
tingkat provinsi dan bahkan pemerintah pusat di Jawa dalam
hal-hal yang berkaitan dengan adat.
Sentralisasi kekuasan adat baik dalam tataran wacana
maupun praktek pada orang tertentu di Bener Meriah
menyebabkan tumbuhnya konsep adat yang homogen dan
memudahkan pemerintah menjadikan tokoh adat tersebut
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah. Maka tidak heran
kalau kemudian tokoh adat di Bener Meriah menjadi tokoh
yang menyampaikan berbagai program pemerintah kepada
masyarakat gampong. Di sisi lain tokoh adat juga berusaha
menjadikan kelembagaan adat sebagai bagian dari pemerintahan
resmi negara sebagaimana lembaga kecamatan dan desa.

Komentar Penutup
Revitalisasi adat menjadi sebuah gerakan masif di berbagai
daerah di Indonesia setelah pemerintah pusat membuka kran
otonomi daerah. Di Aceh usaha ini dimulai sedikit terlambat
dibandingkan dengan daerah lain karena adanya konflik
antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Republik Indonesia (RI) di Aceh yang menjadikan usaha-usaha
konsolidasi sosial dalam sebuah gerakan tidak dimungkinkan.
Baru pada masa setelah perjanjian damai disepakati di Helsinki
pada 2005 usaha ini dapat dirintis. Peluang paling besar
usaha revitalisasi adat di Aceh adalah dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) pada tahun 2006
yang diikuti oleh keluarnya qanun-qanun yang berkaitan
dengan adat Aceh. Dengan kekuatan hukum formal tersebut
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 153

Aceh memperoleh kesempatan yang lebih besar dibandingkan


daerah lain di Indonesia untuk membangkitkan kembali adat
dan institusi adat dalam kehidupan sosial masyarakat.
Masyarakat Gayo di Bener Meriah yang menjadi bagian
teritorial dari provinsi Aceh memiliki kesempatan yang
sama dalam UU-PA. Dalam penelitian saya di Bener Meriah,
kesempatan revitalisasi adat yang diberikan oleh UU-PA tersebut
direspon sebagai sebuah kesempatan untuk membangkitkan
kembali ajaran tetuwe dalam konteks kehidupan modern.
Sebab saat ini adat budaya Gayo mulai pudar seiring dengan
perkembangan masyarakat modern dan kebijakan pemerintah
masa lalu. Dengan adanya UU Otsus dan UU-PA, adat memiliki
kesempatan untuk bangkit dan menjadi bagian yang hadir
dalam kehidupan sosial masyarakat Gayo di mana saja.
Sayangnya usaha ini hanya terlihat dilakukan oleh kalangan
elit adat saja yang dikenal dengan “orang adat.” Mereka yang
dianggap memiliki ketokohan dan pemahaman yang luas
mengenai adat Gayo. Revitalisasi adat Gayo dilakukan dengan
usaha formalisasi lembaga adat dalam institusi pemerintahan
dan membangkitkan nilai-nilai adat dalam tataran praktis.
Usaha ini menjadikan “orang adat” sebagai sentral pemahaman
mengenai adat dalam masyarakat. Merekalah yang sering
menjadi rujukan dalam memahami berbagai masalah adat
Gayo saat ini.
Tentu saja apa yang saya kemukakan di atas tidak dapat
menggambarkan kompleksitas revitalisasi adat yang ada
dalam masyarakat Gayo di Bener Meriah. Masih banyak hal
lain yang belum terpantau baik karena keterbatasan waktu
maupun keterbatasan saya sebagai peneliti. Sejumlah hal yang
154 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

saya temukan juga tidak dapat saya masukkan dalam artikel


yang pendek ini. Oleh sebab itu sebuah tinjauan ulang yang
komprehensif masih diperlukan, terutama melihat bagaimana
formulasi adat Gayo dalam konteks kehidupan modern.
Daftar Pustaka

Buku dan Makalah

Abdurrahman, (2009): ”Pelaksanaan Peradilan Adat dan


Penerapan Hukumnya”, Makalah, Disampaikan pada
Seminar Pelatihan Adat tanggal 2-3 dan 5-6 Juni 2009.

Acciaioli, Greg, (1985): “Culture as Art: From Practice to Spectacle


in Indonesia.” Canberra Anthropology Vol. 8.

_________, (2001): “Grounds of Conflict, Idioms of Harmony:


Custom, Religion, and Nationalism in violence Avoidance
at the Lindu Plain, Central Sulawesi.” Indonesia 72.

_________, (2002): “Re-empowering the ‘Art of the Elders’: The


Revitalisation of Adat among the To Lindu of Central
Sulawesi and Throughout Contemporary Indonesia.”
Dalam Sakai, Minako (ed.): Beyond Jakarta: Regional
Autonomy and Local Societies in Indonesia. Adelaide:
Crawford House Publishing.
156 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Argo Twikromo, Y, (2008): The Local Elite and The Appropriation


of Modernity, A Case in East Sumba, Indonesia, Yogyakarta:
Kanisius.

Avonius, Leena, (2004): Reforming Wetu Telu, Islam, Adat, and


the Promises of Regionalism in Post-New Order Lombok,
Helsinki.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Nagan


Raya dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagan Raya
(2008), Nagan Raya Dalam Angka 2008, Nagan Raya,
Penyunting/editor Seksi Neraca Wilayah dan Analisis
Statistik.

Badruzzaman Ismail, (2008): Sistem Budaya Adat Aceh dalam


Membangun Kesejahteraan (Nilai Sejarah dan Dinamika
Kekinian), Banda Aceh: Majelis Adat Aceh.

Von Benda-Beckmann Franz dan von Benda-Beckmann


Keebet, (2001): Recreating the Nagari: Decentralisation
in West Sumatra. Halle: Max Planck Insitute for Social
Anthropology, Working paper 31.

Biezeveld, Renske, (2007): “The many roles of adat in West


Sumatra” Dalam Davidson, James S. Dan Henley, David:
The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The
Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism.
London dan New York: Routledge.

Bourchier, David, (2001): “Conservative Political Ideology in


Indonesia: A Fourth Wave?” Dalam Lloyd, Grayson &
Smith, Shannon, (2001): Indonesia Today, Challenges of
DAFTAR PUSTAKA 157

History. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Bourchier, David, (2007): “Romance of Adat in the Indonesian


Political Imagination,” Dalam Davidson, James S. Dan
Henley, David, (2007): The Revival of Tradition in Indonesian
Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to
Indigenism. London dan New York: Routledge.

Bowen, John R, (1984): “The History and Structure of Gayo


Society: Variation and Change in The Highlands of Aceh”
Ph.D Dissertation, University of Chicago.

_________, (1991): Sumatra Polutichs and Poetics: Gayo History


1900 – 1989. New Haven: Yale University Press.

_________, (1993): Muslim Through Discourse, New Jersey:


Princeton University Press.

_________, (2003): Islam, Law and Equality in Indonesia An


Anthropology of Public Reasoning, United Kingdom:
Cambridge University Press.

Buku Panduan Penitipan Peran FKPM dalam Tuha Peut atau


nama Lain, Polda NAD, 2009.

Bushar Muhammad, (2003): Azas-Azas Hukum Adat (Suatu


Pengantar), Jakarta: Pradnya Pratama.

Davidson, Jamie S, (2007): Culture and rights in ethnic violence”


dalam Davidson, Jamie S. dan David Henley, (2007): The
Revival of Tradition in Indonesian Politics The deployment
of adat from colonialism to indigenism. New York:
Routledge
158 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Davidson, Jamie S and David Henley (eds), (2007): The Revival of


Tradition in Indonesian Politics, The Deployment of Adat
from Colonialism to Indigenism, London and New York:
Roudledge.

Djuned, Teuku, dkk, (2003): “Pemerintahan Mukim Masa Kini,”


Laporan Penelitian, Banda Aceh: Pusat Studi Hukum Adat
Universitas Syiah Kuala.

Eko, Sutoro, (et.al), (2007): Bergerak Menuju Mukim dan


Gampong, Yogyakarta: IRE.

Fard Hadi Rahman, dkk, (2008): Membangun Regulasi Gampong,


Banda Aceh: AIPRD-LOGICA

Fasseur, C, (2007): “Colonial dilemma: Van Vollenhoven and


the struggle between adat law and Western law in
Indonesia” dalam Davidson, Jamie S. dan David Henley,
(2007): The Revival of Tradition in Indonesian Politics The
Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism. New
York: Routledge

Gayo, H.M, (1983): Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda,


Jakarta: Balai Pustaka.

Hadi, Abdul, dkk., (2005). Aceh Kembali Ke Masa Depan, Jakarta:


Penerbit Yayasan SET. PT. Gudang Garam.

Hakim Aman Pinan, A. R. (1993): 1001 Pepatah Petitih Gayo,


Takengon: Panitia Penerbitan Buku Adat dan Budaya Gayo.

Harley (ed), (2008): Mukim Masa ke Masa, Banda Aceh: JKMA


Aceh.
DAFTAR PUSTAKA 159

Hasan Saleh, (1992): Mengapa Aceh Bergolak, Jakarta: Grafiti.

Hasjmi, Ali, (1977): 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah


Pemerintahan Ratu, Jakarta: Bulan Bintang.

Herry-Priyono, B. (2002): Anthony Giddens: Suatu Pengantar.


Jakarta: KPG.

Hurgronje, Cristiaan Snouck, (1996): De Atjehers, Jakarta:


Pustaka Nasional.

_________, (1996): Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jakarta:


INIS.

_________, (1996): Gayo; Masyarakat dan Kebudayaannya Awal


Abad Ke-20, Jakarta: Balai Pustaka.

Irwan Abdullah, (2006): Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kahn, Joel (1993): Constituting the Minangkabau: Peasants,


Culture and Modernity in Colonial Indonesia. Oxford:
Berg.

Kartika, S. and Gautama, C. (eds.), (1999): Menggugat Posisi


Masyarakat Adat Terhadap Negara, Jakarta: Prosiding
Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara. Jakarta.

Kartohadikoesoemo, Soetardjo, (1984): Desa, Jakrta: Balai


Pustaka.

Langen, K. F. H, (2001): Susunan Pemerintahan Aceh Semasa


Kesultanan, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh.
160 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Latief, AR, (1995): Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas, Bandung:


Kurnia Bupa.

Lembaga Adat Dan Kebudayaan Aceh (LAKA), (1990): Pedoman


Umum Adat Aceh, Edisi I. Banda Aceh.

Li, Tania Murray, (2001): ”Masyarakat Adat, Difference, and the


Limits of Recognition in Indonesia’s Forest Zone” dalam
Modern Asian Studies 35 (3), hlm. 645-676.

Lukman Munir (ed), (2003): Hukom dan Adat Aceh, Banda Aceh:
Yayasan Rumpun Bambu.

Mahdi Syahbandir, (1995): “Eksistensi dan Peranan Imum Mukim


dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa di Kabupaten
Tingkat II Aceh Besar,” Tesis, Bandung: Program
Pascasarjana UNPAD.

Mahmud Ibrahim dan Hakim Aman Pinan, (2005): Syariat dan


Adat Istiadat, 3 jilid, Takengon: Yayasan Maqamam
Mahmuda.

Majelis Adat Aceh dll. (2008): Pedoman Peradilan Adat di Aceh.


Banda Aceh: Bappenas, European Union, APPS, UNDP.

Mardani, M., (2009): Hukum Acara Perdata Perdata Peradilan


Agama, Jakarta: Sinar Grafika.

Melalatoa, M. Junus, (2001): Didong Pentas Kreatifitas Gayo,


Jakarta: Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan dan Yayasan Obor
Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Sains Estetika
dan Teknologi.

Mukhlis, (1977): Belah Di Masyarakat Gayo, Studi Kasus di


DAFTAR PUSTAKA 161

Kebayakan, Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-


Ilmu Sosial (PLPIS) Universitas Syiah Kuala.

Muklir, M. Akmal dan Aiyub, (2006): Penataan Lembaga


Mukim Dalam Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Studi Di Kabupaten Aceh Besar Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam), dalam Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik, Vol. VI. No. 1 September 2005-Februari
2006. Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Malang.

Pemerintah Kabupaten Nagan Raya (2004), Nagan Raya Dalam


Adat dan Budaya, Dipersembahkan Dalam Rangka
Peukan Kebudayaan Aceh Ke-4 19-28 Agustus 2004 di
Banda Aceh.

Rosnidar Sembiring, (2003): Kedudukan Hukum Adat


dalam Era Reformasi, http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/1593/1/perdata-rosnidar.pdf

Rusdi Sufi dan Agus Wibowo, (2007): Rajah dan Ajimat Pada
Masyarakat Aceh, Banda Aceh: Badan Perpusatakaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

_________, dkk, (2004): Keanekaragaman Suku dan Budaya Aceh,


Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Banda Aceh Bekerjasama dengan Badan Perpustakaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Said, Muhammad, (1981): Aceh Sepanjang Abad, Medan: Penerbit


Sendiri.

Sakai, Minako, (ed.), (2002): Beyond Jakarta: Regional Autonomy


162 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

and Local Societies in Indonesia. Adelaide: Crawford


House.

Sakai, Minako, Banks, Glenn dan Walker, John, (2009): The Politics
of the Periphery in Indonesia: Geographical and Social
Perspectives. Singapore: National University of Singapore
Press.

Sammina Daud, (2009): Abu Habib Muda Seunagan dan Thariqat


Syattariyah, Jakarta: Karya Sukses Sentosa.

Saragih, Djaren, (1984): Pengantar Hukum Adat Indonesia, Edisi


II, Bandung: Tarsito.

Singarimbun, (et.al), (1985): Aceh di Mata Kolonialis, terjemahan


dari The Achehnese, Snouck Hurgronje, Jakarta: Yayasan
Soko Guru.

Syarif, Sanusi M., (2003): Leun Pukat dan Panglima Laot, Banda
Aceh: Yayasan Rumpun Bambu Indonesia.

_________, (2007): Menuju Pengelolaan Kawasan Berbasis


Gampong dan Mukim di Aceh Rayeuk, Banda Aceh:
Yayasan Rumpun Bambu Indonesia dan ICCO.

Taqwaddin, (2009): Mukim Sebagai Pengembang Hukum


Adat di Aceh. Makalah disampaikan dalam Acara
Workshop Penguatan Institusi Lembaga Adat Melalui
Pendokumentasian Hukum Adat, diselenggarakan oleh
Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan
GenAsist di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar,
Rabu, 11 Februari 2009.
DAFTAR PUSTAKA 163

Thompson, John B., (1989): “The Theory of Structuration.”


dalam Held, David. Social Theory of Modern Societies:
Anthony Giddens and His Critics. Cambridge: Cambridge
University Press.

Tim Peneliti IAIN Ar-Raniry & Biro Keistimewaan Aceh


Provinsi NAD, (2006): Kelembagaan Adat Provinsi Aceh
Darussalam, Banda Aceh: Ar-Raniry Press.

Tim Peneliti PKPM dan BRR, (2007): Penerapan Alternative


Dispute Resolusioa Berbasis Hukum pada Lembaga
Keujrun Blang di Kabupaten Aceh Besar, Banda Aceh:
PKPM dan BRR.

Tuanku Abdul Jalil, (1991): Adat Meukuta Alam, Banda Aceh:


Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Umar, Muhammad, (2006): Peradaban Aceh (Tamadun) I, Banda


Aceh: Buboen Jaya.

_________, (2007), Peradaban Aceh (Tamadun) II, Banda Aceh:


Buboen Jaya.

_________, (EMTAS), (2008): Darah dan Jiwa Aceh, Banda Aceh:


Buboen Jaya.

Warren, Carol (1991): ’Adat and Dinas: Village and State in


Contemporary Bali.’ Di Geertz, Hildred: State and Society
in Bali. Leiden: KITLV Press.

Yusuf, Yusri, (2009): “Revitalisasi Nilai Adat Untuk Masa Depan


Aceh”, Makalah, disampaikan dalam Seminar Budaya
“Pekan Kebudayaan Aceh Ke-5 di Banda Aceh.
164 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Zainuddin, H,M. (1961): Tarikh Aceh dan Nusantara, Medan:


Pustaka Iskandar Muda.

Zainuddin, T.M. (1961): Tarikh Atjeh dan Nusantara, Jilid I,


Medan: Pustaka Iskandar Muda.

Zando Zakaria, R. (2003): Abih Tandeh: Masyarakat Desa di


Bawah Rezim Orde Baru, Jakarta: ELSAM.

Media Cetak, Internet dan Regulasi

Klarifikasi berita sebelumnya dari Wan DP dan Teuku Arif Cham,


Harian Serambi Indonesia, 19 Agustus 2009.

Penyerahan Bantuan, Harian Serambi Indonesia, 15 September


2009.

Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat.

Qanun Aceh No. 3 Tahun 2004 Tentang Tata Kerja Majelis Adat
Aceh.

Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 Tentang Kehidupan Adat dan


Adat Istiadat .

Serambi Indonesia, 13 maret 2010.

Serambi Indonesia, 14 Maret 2010.

Soal Politisasi Acara Zikir di Nagan, Harian Serambi Indonesia,


22 Agustus 2009.
DAFTAR PUSTAKA 165

Tabloid Kontras: 506 | Tahun XI 10-16 September 2009

Taqwaddin, “Adat Hutan Aceh “ Harian Serambi Indonesia, 10


Juni 2009.

Taqwaddin, “UUPA dan Lembaga Adat Aceh” Harian Serambi


Indonesia, 23 September 2009.

Taqwaddin, “UUPA dan Pemerintahan Mukim” Harian Serambi


Indonesia, 28 Juli 2009 .

Terkait Polemik di Nagan, Harian Serambi Indonesia, 23 Agustus


2009.

Ucapan Selamat Untuk Pasangan SBY-Boediono, Harian Serambi


Indonesia, 25 Agustus 2009.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua


Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan


Aceh.

Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan


Keistimewaan Aceh.

Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.


Lampiran

QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 11 TAHUN 2006
QANUN ACEH
NOMOR 9 TAHUN 2008

TENTANG

PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM,

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Menimbang : a. bahwa Adat dan Adat Istiadat yang berkembang


dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu
hingga sekarang melahirkan nilainilai budaya,
norma adat dan aturan yang sejalan dengan
Syariat Islam dan merupakan kekayaan budaya
bangsa yang perlu dibina, dikembangkan dan
dilestarikan;

b.
bahwa pembinaan, pengembangan dan
pelestarian Adat dan Adat Istiadat perlu
dilaksanakan secara berkesinambungan dari
generasi ke generasi berikutnya sehingga dapat
memahami nilai-nilai adat dan budaya yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh;

c. bahwa untuk menindaklanjuti Pasal 99 dan Pasal


162 ayat (2) huruf (e) Undang-Undang Nomor 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jo Pasal
16 dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 44 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh, perlu diatur Pembinaan Kehidupan Adat
dan Adat Istiadat dalam suatu qanun;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam uruf a, huruf b dan huruf c perlu
170 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

membentuk Qanun Aceh entang Pembinaan


Kehidupan Adat dan Adat Istiadat;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956, tentang


Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh
dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi
Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1103);

2. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang


Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);

3. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);

4. Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang


Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4633);

5. Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara


Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Tahun
2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor
03).
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 171

Dengan persetujuan bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH

dan

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : QANUN PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN


ADAT ISTIADAT

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam qanun ini yang dimaksudkan dengan :
1. Aceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undagan dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
2. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah Provinsi sebagai
suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undagan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.
3. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
172 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang


dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan
kewenangan masing.
4. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/
kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing;
5. Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Pemerintah
Aceh adalah unsur penyelenggara pemerintah Aceh yang
terdiri dari atas Gubernur dan perangkat daerah Aceh.
6. Gubernur adalah Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui
suatu proses demokrasi yang dilakukan berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
7. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah unsur penyelenggara
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas Bupati/
Walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota.
8. Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan daerah
kabupaten/kota yang dipilih melalui proses demokrasi yang
dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil.
9. Wali Nanggroe adalah pemimpin lembaga adat nanggroe
yang independen sebagai pemersatu masyarakat, berwibawa
dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan
kehidupan lembaga-lembaga adat dan adat istiadat, pemberian
gelar/derajat dan pembina upacara-upacara adat di Aceh serta
sebagai penasihat Pemerintah Aceh.
10. Adat adalah aturan perbuatan dan kebiasaan yang telah berlaku
dalam masyarakat yang dijadikan pedoman dalam pergaulan
hidup di Aceh.
11. Hukum Adat adalah seperangkat ketentuan tidak tertulis yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki
sanksi apabila dilanggar.
12. Adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-
temurun dari generasi pendahulu yang dihormati dan
dimuliakan sebagai warisan yang sesuai dengan Syariat Islam.
13. Kebiasaan adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan secara
berulang kali untuk hal yang sama, yang hidup dan berkembang
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 173

serta dilaksanakan oleh masyarakat.


14. Pemangku Adat adalah orang yang menduduki jabatan pada
lembaga-lembaga adat.
15. Reusam atau nama lain adalah petunjuk-petunjuk adat istiadat
yang berlaku di dalam masyarakat.
16. Upacara adat adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
sesuai dengan norma adat, nilai dan kebiasaan masyarakat
adat setempat.

BAB II
RUANG LINGKUP PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT

Pasal 2
(1) Ruang lingkup pembinaan dan pengembangan kehidupan
adat dan adat istiadat meliputi segenap kegiatan kehidupan
bermasyarakat.
(2) Pembinaan, pengembangan, pelestarian, dan perlindungan
terhadap adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berpedoman pada nilai-nilai Islami.

BAB III
ASAS, MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 3
Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat
berasaskan:
a. keislaman;
b. keadilan;
c. kebenaran;
d. kemanusiaan;
e. keharmonisan;
f. ketertiban dan keamanan;
g. ketentraman;
h. kekeluargaan;
i. kemanfaatan;
j. kegotongroyongan;
174 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

k. kedamaian;
l. permusyawaratan; dan
m. kemaslahatan umum.

Pasal 4
(1) Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat
istiadat dimaksudkan untuk membangun tata kehidupan
masyarakat yang harmonis dan seimbang yang diridhai oleh
Allah SWT, antara hubungan manusia dengan manusia, manusia
dengan lingkungannya, dan rakyat dengan pemimpinnya.
(2) Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan
adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
meningkatkan fungsi dan peran adat dan adat istiadat dalam
menata kehidupan bermasyarakat.

Pasal 5
Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat
bertujuan untuk:
(1) menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis;
(2) tersedianya pedoman dalam menata kehidupan bermasyarakat;
(3) membina tatanan masyarakat adat yang kuat dan bermartabat;
(4) memelihara, melestarikan dan melindungi khasanah-khasanah
adat, budaya, bahasa-bahasa daerah dan pusaka adat;
(5) merevitalisasi adat, seni budaya dan bahasa yang hidup dan
berkembang di Aceh; dan
(6) menciptakan kreativitas yang dapat memberi manfaat
ekonomis bagi kesejahteraan masyarakat.

BAB IV
TANGGUNG JAWAB DALAM PEMBINAAN DAN
PENGEMBANGAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT

Pasal 6
Wali Nanggroe bertanggungjawab dalam memelihara,
mengembangkan, melindungi, dan melestarikan kehidupan adat,
adat istiadat, dan budaya masyarakat.
(1) Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat
istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 175

Majelis Adat dan lembaga-lembaga adat.


(2)
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
memfasilitasi pembinaan dan pengembangan kehidupan adat
dan adat istiadat.

Pasal 7
Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan dengan
menumbuhkembangkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.

Pasal 8
Majelis Adat dan lembaga-lembaga adat lainnya melakukan
pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat
yang sesuai dengan syariat Islam.

BAB V
PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT

Pasal 9
(1) Kehidupan adat dan adat istiadat dilaksanakan oleh Pemerintah
Aceh/pemerintah kab/kota dan segenap lapisan masyarakat.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kehidupan
adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. lingkungan keluarga;
b. jalur pendidikan;
c. lingkungan masyarakat;
d. lingkungan kerja; dan
e. organisasi sosial kemasyarakatan.

Pasal 10
(1) Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat
istiadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat dilakukan
dengan:
a. maklumat Pemerintah Aceh/pemerintah kab/kota;
b. keteladanan;
c. penyuluhan, sosialisasi, diskusi dan simulasi;
176 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

d. perlombaan dan atraksi/ pertunjukan;


e. perlindungan karya-karya adat berdasarkan hukum;
f. perlindungan hak masyarakat adat, yang meliputi tanah,
rawa, hutan, laut, sungai, danau, dan hak-hak masyarakat
lainnya; dan
g. kaderisasi tokoh adat baik generasi muda maupun
perempuan.
(2) Setiap aparat yang bertugas di Aceh harus memahami dan
menghargai tatanan adat dan adat istiadat Aceh.
(3) Setiap pejabat/aparat, Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota harus memahami, membina, dan menghargai
tatanan adat dan adat istiadat masyarakat setempat.

Pasal 11
Lembaga adat wajib menjalin kerjasama dengan semua pihak untuk
menggali kembali kaidah-kaidah adat dan adat istiadat.

Pasal 12
(1) Pembinaan, pengembangan dan pelestarian adat dan adat
istiadat meliputi:
a. tatanan adat dan adat istiadat;
b. arsitektur Aceh;
c. ukiran-ukiran bermotif Aceh;
d. cagar budaya;
e. alat persenjataan tradisional;
f. karya tulis ulama, cendikiawan dan seniman;
g. bahasa-bahasa yang ada di Aceh;
h. kesenian tradisional Aceh;
i. adat perkawinan;
j. adat pergaulan;
k. adat bertamu dan menerima tamu;
l. adat peutamat darueh (Khatam Al Qur’an);
m. adat mita raseuki (berusaha);
n. pakaian adat;
o. makanan/ pangan tradisional Aceh;
p. perhiasan-perhiasan bermotif Aceh;
q. kerajinan-kerajinan bermotif Aceh;
r. piasan tradisional Aceh; dan
s. upacara-upacara adat lainnya.
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 177

(2) Pembinaan, pengembangan dan pelestarian prilaku luhur


dan kesalehan spiritual yang telah membentuk watak dan
kepribadian Aceh yang Islami diteruskan kepada generasi
muda Aceh.

BAB VI
PENYELESAIAN SENGKETA/PERSELISIHAN

Pasal 13
(1) Sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi:
a. perselisihan dalam rumah tangga;
b. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c. perselisihan antar warga;
d. khalwat meusum;
e. perselisihan tentang hak milik;
f. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g. perselisihan harta sehareukat;
h. pencurian ringan;
i. pencurian ternak peliharaan;
j. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k. persengketaan di laut;
l. persengketaan di pasar;
m. penganiayaan ringan;
n. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan
komunitas adat);
o. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p. pencemaran lingkungan (skala ringan);
q. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan
adat istiadat.
(2) Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan secara
bertahap.
(3) Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar
sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat
di Gampong atau nama lain.
178 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Pasal 14
(1) Penyelesaian secara adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) meliputi penyelesaian secara adat di Gampong atau
nama lain, penyelesaian secara adat di Mukim dan penyelesaian
secara adat di Laot.
(2) Penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-
tokoh adat yang terdiri atas:
a. Keuchik atau nama lain;
b. imum meunasah atau nama lain;
c. tuha peut atau nama lain;
d. sekretaris gampong atau nama lain; dan
e. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong
atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Penyelesaian secara adat di mukim sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri
atas:
a. imum mukim atau nama lain;
b. imum chik atau nama lain
c. tuha peut atau nama lain;
d. sekretaris mukim; dan
e. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim
yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
(4) Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan
dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat
Gampong atau nama lain dan di Masjid pada tingkat Mukim
atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama
lain dan Imum Mukim atau nama lain.
(5) Penyelesaian secara adat di Laot sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
a. panglima laot atau nama lain;
b. wakil panglima laot atau nama lain;
c. 3 orang staf panglima laot atau nama lain; dan
d. sekretaris panglima laot atau nama lain.
(6) Dalam hal penyelesaian secara adat di Laot Lhok atau nama lain
tidak bisa menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antara dua
atau lebih panglima laot lhok atau nama lain, maka sengketa/
perselisihan tersebut dilaksanakan melalui penyelesaian secara
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 179

adat laot kab/kota.


(7) Penyelesaian secara adat laot kabupaten/kota dilaksanakan
oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
a. panglima laot kab/kota atau nama lain;
b. wakil panglima laot atau nama lain;
c. 2 orang staf panglima laot kab/kota atau nama lain; dan
d. 1 orang dari dinas Dinas Kelautan dan Perikanan dan/atau
tokoh nelayan.
(8) Sidang musyawarah penyelesaian perselisihan/sengketa
dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat
Gampong atau nama lain, di Masjid pada tingkat Mukim, di laot
pada balee nelayan dan di tempat-tempat lain yang ditunjuk
oleh Keuchik atau nama lain, Imum Mukim atau nama lain, dan
Panglima Laot atau nama lain.

Pasal 15
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/
persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat
setempat.

BAB VII
BENTUK-BENTUK SANKSI ADAT

Pasal 16
(1) Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian
sengketa adat sebagai berikut:
a. nasihat;
b. teguran;
c. pernyataan maaf;
d. sayam;
e. diyat;
f. denda;
g. ganti kerugian;
h. dikucilkan oleh masyarakat gampong atau nama lain;
i. dikeluarkan dari masyarakat gampong atau nama lain;
j. pencabutan gelar adat; dan
k. bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.
(1) Keluarga pelanggar adat ikut bertanggung jawab atas
180 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan kepada anggota


keluarganya.

BAB VIII
PEMBIAYAAN

Pasal 17
Dana pembinaan dan pengembangan adat dan adat istiadat
diperoleh melalui:
a. bantuan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
sesuai dengan kemampuan daerah; dan
b. sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 18
Segala ketentuan yang ada tentang pembinaan dan pengembangan
adat dan adat istiadat, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Qanun ini.

Pasal 19
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang mengenai
peraturan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Gubernur.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20
Dengan berlakunya Qanun ini maka Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat dinyatakan
dicabut.
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 181

Pasal 21
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Aceh.

Disahkan di Banda Aceh


pada tanggal 30 Desember 2008 M
2 Muharram 1430 H

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

IRWANDI YUSUF

Diundangkan di Banda Aceh


Pada tanggal 31 Desember 2008 M
3 Muharram 1430 H

SEKRETARIS DAERAH
NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

HUSNI BAHRI TOB

LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN


2008 NOMOR 09
182 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

PENJELASAN

ATAS

QANUN ACEH
NOMOR 9 TAHUN 2008

TENTANG

PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT DI ACEH

I. UMUM
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh telah memberikan landasan yang lebih kuat dalam pembinaan
kehidupan adat dan adat istiadat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Pasal 99 Undang-Undang tersebut memerintahkan
untuk melaksanakan pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat
dengan membentuk suatu Qanun Aceh. Bahwa Adat dan Adat
Istiadat yang sejalan dengan Syariat Islam merupakan kekayaan
budaya menunjukkan identitas bangsa yang perlu dibina,
dikembangkan dan dilindungi keberadaannya.
Adat dan adat istiadat di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam
memiliki keragaman sesuai dengan sub-sub etnis yang hidup di
Aceh. Keragaman tersebut merupakan kekayaan dan khasanah
budaya yang pluralistis. Oleh karena itu pembinaan kehidupan
adat dan adat istiadat harus diarahkan kepada pembinaan dan
pengembangan adat dan adat istiadat setempat.
Adat dan adat istiadat telah menjadi perekat dan pemersatu
di dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menjadi modal
dalam pembangunan. Oleh karena itu nilai-nilai adat dan adat
istiadat tersebut perlu dibina dan dikembangkan di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 183

Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Yang dimaksud dengan sesuai dengan ajaran Islam adalah
untuk menjamin agar pelaksanaan adat dan adat istiadat tidak
bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam.

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Yang dimaksud secara bertahap adalah sengketa/perselisihan
yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu dalam keluarga,
apabila tidak dapat diselesaikan maka akan dibawa pada
penyelesaian secara adat di gampong.
184 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan sayam adalah perdamaian
persengketaan/perselisihan yang mengakibatkan
keluar darah (roe darah) yang diformulasikan dalam
wujud ganti rugi berupa penyembelihan hewan ternak
dalam sebuah acara adat.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 185

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM


NOMOR 19
QANUN ACEH
NOMOR 10 TAHUN 2008

TENTANG

LEMBAGA ADAT

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Menimbang : a. bahwa lembaga adat yang berkembang dalam


kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga
sekarang mempunyai peranan penting dalam
membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan
aturan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban,
ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi
masyarakat Aceh sesuai dengan nilai islami;
b. bahwa keberadaan lembaga adat perlu
ditingkatkan perannya guna melestarikan adat
dan adat istiadat sebagai salah satu wujud
pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh
di bidang adat istiadat;
c. bahwa untuk menindaklanjuti Pasal 98 dan Pasal
162 ayat (2) huruf (e) Undang-Undang Nomor
11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jo
Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, perlu diatur tentang keberadaan
lembaga adat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c,
perlu membentuk Qanun Aceh tentang lembaga
adat;
188 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang


Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh
dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi
Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1103);
2. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3893);
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4633);
4. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 17 Seri D
Nomor 7);
5. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003
Nomor 18 Seri D Nomor 8);
6. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan,
Susunan Organisasi dan Tatakerja Majelis Adat
Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 8 Seri D
Nomor 5);
7. Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Tahun
2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor
03);
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 189

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH


dan
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : QANUN ACEH TENTANG LEMBAGA ADAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
2. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai
suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota.
3. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
190 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang


dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan
kewenangan masing-masing.
4. Pemerintahan kabupaten/kota adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/
kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota
sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
5. Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Pemerintah
Aceh adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang
terdiri dari atas Gubernur dan perangkat daerah Aceh.
6. Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui
suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
7. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut
Pemerintah kabupaten/kota adalah unsur penyelenggara
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/
walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota.
8. Bupati/walikota adalah kepala pemerintahan daerah
kabupaten/kota yang dipilih melalui proses demokrasi yang
dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil.
9. Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat
yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu
mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan
tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan
mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan
adat Aceh.
10. Majelis Adat Aceh yang selanjutnya disebut MAA adalah
sebuah majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang
struktur kelembagaannya sampai tingkat gampong.
11. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat
sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat
dan budaya.
12. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat
daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan
kecamatan.
13. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan
yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 191

batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imum Mukim atau


nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.
14. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum
yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik
atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangga sendiri.
15. Imum Mukim atau nama lain adalah kepala Pemerintahan
Mukim.
16. Imum Chik atau nama lain adalah imum masjid pada tingkat
mukim orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat
di mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan
pelaksanaan syariat Islam.
17. Keuchik atau nama lain merupakan kepala persekutuan
masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan
pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum
adat, serta menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman dan
ketertiban masyarakat.
18. Tuha Peut Gampong atau nama lain adalah unsur pemerintahan
gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan
gampong.
19. Tuha Peut Mukim atau nama lain adalah alat kelengkapan
mukim yang berfungsi memberi pertimbangan kepada imum
mukim.
20. Tuha Lapan atau nama lain adalah lembaga adat pada tingkat
mukim dan gampong yang berfungsi membantu imum mukim
dan keuchik atau nama lain.
21. Imum Meunasah atau nama lain adalah orang yang memimpin
kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan
dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan
syariat Islam.
22. Keujruen Blang atau nama lain adalah orang yang memimpin
dan mengatur kegiatan di bidang usaha persawahan.
23. Panglima laot atau nama lain adalah orang yang memimpin
dan mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan.
24. Peutua Seuneubok atau nama lain adalah orang yang
memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang pembukaan
dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan.
25. Haria Peukan atau nama lain adalah orang yang mengatur
ketentuan adat tentang tata pasar, ketertiban, keamanan, dan
192 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

kebersihan pasar serta melaksanakan tugas-tugas perbantuan.


26. Syahbanda atau nama lain adalah orang yang memimpin dan
mengatur ketentuan adat tentang tambatan kapal/perahu,
lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu di laut, danau dan
sungai yang tidak dikelola oleh Pemerintah.
27. Pawang Glee dan/atau Pawang Uteun atau nama lain adalah
orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat yang
berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan
hutan.
28. Hukum Adat adalah seperangkat ketentuan tidak tertulis yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki
sanksi apabila dilanggar.
29. Adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-
temurun dari generasi pendahulu yang dihormati dan
dimuliakan sebagai warisan yang bersendikan Syariat Islam.
30. Kebiasaan adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan
secara berulang kali untuk hal yang sama, yang hidup dan
berkembang serta dilaksanakan oleh masyarakat.
31. Pemangku Adat adalah orang yang menduduki jabatan pada
lembaga-lembaga adat.

BAB II
FUNGSI DAN PERAN LEMBAGA ADAT

Pasal 2
(1) Lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
pembinaan masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah
sosial kemasyarakatan.
(2) Lembaga-lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. Majelis Adat Aceh;
b. imum mukim atau nama lain;
c. imum chik atau nama lain;
d. keuchik atau nama lain;
e. tuha peut atau nama lain;
f. tuha lapan atau nama lain;
g. imum meunasah atau nama lain;
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 193

h. keujruen blang atau nama lain;


i. panglima laot atau nama lain;
j. pawang glee/uteun atau nama lain;
k. petua seuneubok atau nama lain;
l. haria peukan atau nama lain; dan
m. syahbanda atau nama lain.
(3) Selain lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
lembaga-lembaga adat lain yang hidup di dalam masyarakat
diakui keberadaannya, dipelihara dan diberdayakan.

BAB III
SIFAT DAN WEWENANG LEMBAGA ADAT

Pasal 3
Lembaga adat bersifat otonom dan independen sebagai mitra
Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
tingkatannya.

Pasal 4
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) lembaga adat berwenang:
a. menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban
masyarakat;
b. membantu Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
c. mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
d. menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak
bertentangan
e. dengan syariat Islam;
f. menerapkan ketentuan adat;
g. menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
h. mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan
i. menegakkan hukum adat.

Pasal 5
Setiap lembaga adat berhak atas pendapatan yang bentuk dan
besarnya disepakati berdasarkan musyawarah masyarakat adat.

Pasal 6
194 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Setiap lembaga adat dapat berperanserta dalam proses perumusan


kebijakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota
sesuai dengan tingkatannya yang berkaitan dengan tugas, fungsi,
dan wewenang masing-masing lembaga adat.

BAB IV
ORGANISASI, KELENGKAPAN, DAN TUGAS LEMBAGA ADAT

Bagian Kesatu
Majelis Adat Aceh

Pasal 7
(1) Majelis Adat Aceh bertugas membantu Wali Nanggroe dalam
membina, mengkoordinir lembaga-lembaga adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf
m.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk susunan organisasi dan tata kerja Majelis
Adat Aceh sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh.

Bagian Kedua
Imum Mukim atau Nama Lain

Pasal 8
Imum mukim atau nama lain bertugas:
a. melakukan pembinaan masyarakat;
b melaksanakan kegiatan adat istiadat;
c. menyelesaikan sengketa;
d. membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;
e. membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan
f. membantu pelaksanaan pembangunan.

Pasal 9
(1) Imum Mukim atau nama lain dipilih oleh musyawarah mukim.
(2) Imum Mukim atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 195

Bupati/Walikota atas usulan Camat dari hasil musyawarah


mukim.
(3) Pembentukan susunan organisasi, kedudukan, tugas, fungsi,
dan alat kelengkapan Imum Mukim atau nama lain diatur
dengan qanun kabupaten/kota.

Pasal 10
Tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian Imum
Mukim atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Bagian Ketiga
Imum Chik atau Nama Lain

Pasal 11
Imum Chik atau nama lain bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan dan peningkatan
peribadatan serta pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan
masyarakat;
b. mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan
yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran
masjid; dan
c. menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak
bertentangan dengan syariat Islam.

Pasal 12
(1) Imum Chik atau nama lain dipilih dalam musyawarah mukim
yang dihadiri oleh Imum Mukim atau nama lain, Tuha Peut
Mukim atau nama lain, Sekretaris Mukim atau nama lain,
Pemangku Adat, Keuchik atau nama lain, Imum Masjid atau
nama lain dan Imum Meunasah atau nama lain dalam mukim.
(2) Syarat dan tata cara pemilihan Imum Chik atau nama lain
ditentukan oleh musyawarah mukim.

Pasal 13
Imum Chik atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Bupati
atas usul Imum Mukim atau nama lain melalui Camat berdasarkan
hasil kesepakatan musyawarah mukim.
196 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Pasal 14
Imum Chik atau nama lain berhenti karena :
a. meninggal dunia;
b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c. melalaikan tugasnya sebagai Imum Chik atau nama lain; dan
d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan
syariat Islam atau adat istiadat.

Bagian Keempat
Keuchik atau Nama Lain

Pasal 15
(1) Keuchik atau nama lain bertugas:
a. membina kehidupan beragama dan pelaksanaan syariat
Islam dalam masyarakat;
b. menjaga dan memelihara adat dan adat istiadat yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat;
c. memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong;
d. menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat
dalam membangun gampong;
e. membina dan memajukan perekonomian masyarakat;
f. memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;
g. memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban
serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam
masyarakat;
h. mengajukan rancangan qanun gampong kepada Tuha Peut
Gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan;
i. mengajukan rancangan anggaran pendapatan belanja
gampong kepada tuha peut gampong atau nama lain untuk
mendapatkan persetujuan;
j. memimpin dan menyelesaikan masalah sosial
kemasyarakatan; dan
k. menjadi pendamai terhadap perselisihan antar penduduk
dalam gampong.
(2) Keuchik atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf k dibantu oleh Imum Meunasah atau nama lain dan Tuha
Peut Gampong atau nama lain.
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 197

Pasal 16
(1) Keuchik atau nama lain dipilih secara langsung oleh penduduk
gampong melalui pemilihan yang demokratis, bebas, umum,
rahasia, jujur dan adil.
(2) Tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian
Keuchik atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Qanun Aceh.

Bagian Kelima
Tuha Peut atau Nama Lain

Pasal 17
(1) Tuha Peut Mukim atau nama lain diangkat dan diberhentikan
oleh Bupati/Walikota atas usulan Camat dari hasil musyawarah
mukim.
(2) Tuha Peut Gampong atau nama lain diangkat dan diberhentikan
oleh Camat atas usulan Imum Mukim atau nama lain dari hasil
musyawarah masyarakat gampong.
(3) Tuha Peut atau nama lain dipimpin oleh seorang ketua dan
sekretaris yang merangkap sebagai anggota.

Pasal 18
Tuha Peut Gampong atau nama lain mempunyai tugas:
a. membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan belanja
gampong atau nama lain;
b. membahas dan menyetujui qanun gampong atau nama lain;
c. mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama
lain;
d. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan gampong
atau nama lain;
e. merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama
Keuchik atau nama lain;
f. memberi nasihat dan pendapat kepada Keuchik atau nama
lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
g. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat
bersama pemangku adat.
198 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Pasal 19
Tuha Peut atau nama lain berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c. melalaikan tugasnya sebagai Tuha Peut atau nama lain; dan
d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan agama
atau adat istiadat.

Pasal 20
Tuha Peut Mukim atau nama lain mempunyai tugas:
a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam
penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan mukim;
b. merumuskan kebijakan Mukim bersama Imum Mukim atau
nama lain;
c. memberi nasihat dan pendapat kepada Imum Mukim atau
nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
d. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat
bersama pemangku adat.

Bagian Keenam
Tuha Lapan atau Nama Lain

Pasal 21
(1) Pada tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat
dibentuk Tuha Lapan atau nama lain sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan masyarakat.
(2) Tuha Lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah
Gampong atau nama lain atau musyawarah mukim.
(3) Tuha Lapan atau nama lain beranggotakan unsur Tuha Peut
atau nama lain dan beberapa orang mewakili bidang keahlian
sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau
Mukim.
(4) Pengangkatan dan pemberhentian Tuha Lapan atau nama
lain serta tugas dan fungsinya ditetapkan dalam musyawarah
gampong atau nama lain atau mukim.
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 199

Bagian Ketujuh
Imum Meunasah atau Nama Lain

Pasal 22
(1) Imum Meunasah atau nama lain dipilih dalam musyawarah
gampong atau nama lain.
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Imum Meunasah atau nama
lain dilakukan oleh Camat atas nama Bupati/Walikota.
(3) Tata cara dan pemilihan, serta masa jabatan Imum Meunasah
atau nama lain ditetapkan dalam musyawarah gampong atau
nama lain setiap 6 (enam) tahun sekali.

Pasal 23
Imum Meunasah atau nama lain mempunyai tugas:
a. memimpin, mengkoordinasikan kegiatan peribadatan, pendidikan
serta pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat;
b. mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan
yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran
meunasah atau nama lain;
c. memberi nasihat dan pendapat kepada Keuchik atau nama
lain baik diminta maupun tidak diminta;
d. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat
bersama pemangku adat; dan
e. menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak
bertentangan dengan syariat Islam.

Bagian Kedelapan
Keujruen Blang atau Nama Lain

Pasal 24
(1) Keujruen Blang atau nama lain terdiri dari Keujruen Muda
atau nama lain dan Keujruen Chik atau nama lain.
(2) Pengaturan tugas, fungsi, wewenang dan persyaratan Keujruen
Blang atau nama lain ditetapkan dalam musyawarah Keujruen
Blang atau nama lain setempat.
(3) Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan pihak terkait
lainnya.
200 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Pasal 25
Keujruen Blang atau nama lain mempunyai tugas:
a. menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah;
b. mengatur pembagian air ke sawah petani;
c. membantu pemerintah dalam bidang pertanian;
d. mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang
berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah;
e. memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar
aturan-aturan adat meugoe (bersawah) atau tidak melaksanakan
kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah
secara adat; dan
f. menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan
pelaksanaan usaha pertanian sawah.

Pasal 26
Keujruen Blang atau nama lain berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c. melalaikan tugasnya sebagai Keujruen Blang atau nama lain; dan
d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan
syariat dan adat istiadat.

Bagian Kesembilan
Panglima Laot atau Nama Lain

Paragraf 1
Susunan Organisasi

Pasal 27
(1) Panglima Laot atau nama lain terdiri dari :
a. Panglima Laot lhok atau nama lain;
b. Panglima Laot kabupaten/kota atau nama lain; dan
c. Panglima Laot Aceh atau nama lain.
(2) Panglima laot lhok atau nama lain, dipilih oleh pawang-pawang
boat lhok atau nama lain masing-masing melalui musyawarah.
(3) Panglima Laot kab/kota atau nama lain dipilih dalam
musyawarah panglima laot lhok atau nama lain.
(4) Panglima Laot Aceh atau nama lain dipilih dalam musyawarah
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 201

panglima laot kab/kota atau nama lain setiap 6 (enam) tahun


sekali.

Paragraf 2
Wewenang, Tugas dan Fungsi

Pasal 28
(1) Panglima Laot atau nama lain berwenang :
a. menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang
termasuk menentukan bagi hasil dan hari-hari pantang
melaut;
b. menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi
di kalangan nelayan;
c. menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antar Panglima
Laot lhok atau nama lain; dan
d. mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot,
peningkatan sumber daya dan advokasi kebijakan bidang
kelautan dan perikanan untuk peningkatan kesejahteraan
nelayan.
(2) Panglima Laot lhok atau nama lain mempunyai tugas :
a. melaksanakan, memel ihara dan mengawasi pelaksanaan
adat istiadat dan hukum adat laot ;
b. membantu Pemerintah dalam bidang perikanan dan
kelautan;
c. menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di
antara nelayan sesuai dengan ketentuan hukum adat laot;
d. menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan
pesisir dan laut;
e. memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat
nelayan; dan
f. mencegah terjadinya penangkapan ikan secara illegal.
(3) Panglima Laot kab/kota atau nama lain mempunyai tugas:
a. melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang bersifat lintas lhok atau nama lain; dan
b. menyelesaikan sengketa antar Panglima Laot lhok atau
nama lain.
(4) Panglima Laot Aceh atau nama lain mempunyai tugas:
a. melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a yang bersifat lintas kab/kota;
202 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

b. memberikan advokasi kebijakan kelautan dan perikanan


serta memberikan bantuan hukum kepada nelayan yang
terdampar di negara lain; dan
c. mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot.
(5) Fungsi Panglima Laot atau nama lain:
a. Panglima Laot lhok atau nama lain dan Panglima Laot kab/
kota atau nama lain sebagai ketua adat bagi masyarakat
nelayan;
b. Panglima Laot lhok atau nama lain dan Panglima Laot
kab/kota atau nama lain, sebagai penghubung antara
pemerintah dan masyarakat nelayan; dan
c. mitra Pemerintah dalam menyukseskan program
pembangunan perikanan dan kelautan.

Paragraf 3
Organisasi dan Masa Tugas Panglima Laot

Pasal 29
Tatacara pemilihan dan persyaratan Panglima Laot atau nama lain
ditetapkan melalui musyawarah Panglima Laot atau nama lain.

Bagian Kesepuluh
Pawang Glee atau Nama Lain

Pasal 30
(1) Pawang Glee atau nama lain dipilih oleh masyarakat kawasan
hutan.
(2) Tatacara pemilihan dan persyaratan Pawang Glee atau nama
lain ditetapkan melalui musyawarah masyarakat kawasan
hutan setiap 6 (enam) tahun sekali.

Pasal 31
Pawang Glee atau nama lain memiliki tugas sebagai berikut:
a. memimpin dan mengatur adat istiadat yang berkenaan dengan
pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan;
b. membantu pemerintah dalam pengelolaan hutan;
c. menegakkan hukum adat tentang hutan;
d. mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan
dengan hutan; dan
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 203

e. menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dalam


pemanfaatan hutan.

Bagian Kesebelas
Peutua Seuneubok atau Nama Lain

Pasal 32
(1) Peutua Seuneubok atau nama lain dipilih oleh masyarakat
kawasan seuneubok atau nama lain.
(2) Tatacara pemilihan dan persyaratan Peutua Seuneubok
atau nama lain ditetapkan melalui musyawarah masyarakat
kawasan Seuneubok atau nama lain.

Pasal 33
(1) Petua Seuneubok atau nama lain mempunyai tugas:
a. mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam
kawasan Seuneubok atau nama lain;
b. membantu tugas pemerintah bidang perkebunan dan
kehutanan;
c. mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat
dalam wilayah Seuneubok atau nama lain;
d. menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah
Seuneubok atau nama lain; dan
e. melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah
Seuneubok atau nama lain.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait.

Bagian Keduabelas
Haria Peukan atau Nama Lain

Pasal 34
(1) Haria Peukan atau nama lain dapat dibentuk untuk pasar-pasar
tradisional.
(2) Pembentukan Haria Peukan atau nama lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pasar-pasar tradisional
yang belum ada petugas Pemerintah.
(3) Dalam hal Haria Peukan atau nama lain telah dibentuk, maka
204 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

petugas Pemerintah yang ditunjuk harus bekerjasama dengan


Haria Peukan atau nama lain.
(4) Pembentukan dan pengangkatan Haria Peukan atau nama lain
dilakukan oleh Camat setelah berkonsultasi dengan tokoh-
tokoh pedagang dan Keuchik atau nama lain setempat.

Pasal 35
Tatacara pembentukan, pengangkatan dan persyaratan Haria
Peukan atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(4) ditetapkan melalui musyawarah tokoh-tokoh pedagang dan
Keuchik atau nama lain setempat setiap 6 (enam) tahun sekali.

Pasal 36
Haria Peukan atau nama lain mempunyai tugas:
a. membantu pemerintah dalam mengatur tata pasar, ketertiban,
keamanan, dan melaksanakan tugas-tugas perbantuan;
b. menegakkan adat dan hukum adat dalam pelaksanaan berbagai
aktifitas peukan;
c. menjaga kebersihan peukan atau nama lain; dan
d. menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan atau nama lain.

Pasal 37
Haria Peukan atau nama lain berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c. melalaikan tugasnya sebagai Haria Peukan atau nama lain; dan
d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan
syariat dan adat istiadat.

Bagian Ketigabelas
Syahbanda atau Nama Lain

Pasal 38
(1) Syahbanda atau nama lain dapat dibentuk untuk pelabuhan
rakyat.
(2) Pembentukan Syahbanda atau nama lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pelabuhan-pelabuhan
rakyat yang belum ada petugas Pemerintah.
(3) Dalam hal Syahbanda atau nama lain telah dibentuk, maka
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 205

petugas Pemerintah yang ditunjuk harus bekerjasama dengan


Syahbanda atau nama lain.
(4) Pembentukan dan pengangkatan Syahbanda atau nama lain
dilakukan oleh Bupati/Walikota atas usul Panglima Laot atau
nama lain dan tokoh-tokoh masyarakat setempat setiap 6
(enam) tahun sekali.

Pasal 39
Tatacara pembentukan, pengangkatan dan persyaratan Syahbanda
atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4)
ditetapkan melalui kesepakatan bersama antara unsur Pemerintah
dengan Panglima Laot atau nama lain dan tokoh-tokoh masyarakat.

Pasal 40
Syahbanda atau nama lain mempunyai tugas:
a. mengelola pemanfaatan pelabuhan rakyat;
b. menjaga ketertiban, keamanan di wilayah pelabuhan rakyat;
c. menyelesaikan sengketa yang terjadi di wilayah pelabuhan
rakyat; dan
d. mengatur hak dan kewajiban yang berkaitan dengan
pemanfaatan pelabuhan.

BAB V
PEMANGKU ADAT
DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

Pasal 41
(1) Pemangku Adat mengatur kebijakan dan tata cara pelaksanaan
adat dan adat istiadat sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga
adat masing-masing.
(2) Pemangku Adat berfungsi sebagai pendamai dalam
menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan sesuai dengan
bidangnya masing-masing.

Pasal 42
(1) Lembaga-lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) dan ayat (3) berada di bawah pembinaan Wali Nanggroe.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
206 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

melalui Majelis Adat Aceh.


(3) Tata cara pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Wali Nanggroe.

Pasal 43
(1) Pembinaan Lembaga Adat dalam bidang administrasi dan
keuangan dilaksanakan oleh pemerintah Aceh, dan pemerintah
kabupaten/kota.
(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota menyediakan
bantuan dana pembinaan Lembaga-lembaga Adat sesuai
dengan kemampuan daerah.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44
Sepanjang lembaga Wali Nanggroe belum terbentuk, maka tata cara
pembinaan lembaga-lembaga adat dilakukan oleh MAA.

Pasal 45
Segala ketentuan yang ada tentang lembaga adat, dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Qanun ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 46
Dengan berlakunya Qanun ini maka Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Kehidupan Adat dinyatakan dicabut.

Pasal 47
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Qanun ini dengan menempatkannya dalam
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 207

Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Disahkan di Banda Aceh


pada tanggal 30 Desember 2008 M
2 Muharram 1430 H

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

IRWANDI YUSUF

Diundangkan di Banda Aceh


Pada tanggal 31 Desember 2008 M
3 Muharram 1430 H

SEKRETARIS DAERAH
NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

HUSNI BAHRI TOB

LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN


2008 NOMOR 10
208 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

PENJELASAN

ATAS

QANUN ACEH
NOMOR 10 TAHUN 2008

TENTANG

LEMBAGA ADAT

I. UMUM
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh telah memberikan landasan yang lebih kuat dalam pembinaan
kehidupan adat dan adat istiadat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Pasal 98 Undang-Undang tersebut memerintahkan
untuk mengatur tugas, wewenang, hak dan kewajiban dalam
melaksanakan pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dengan
membentuk suatu Qanun Aceh.
Lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai fungsi dan berperan
dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturan
untuk mewujudkan keamanan, keharmonisasian, ketertiban,
ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh
sebagai manifestasi untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama
sesuai dengan keinginan dan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk meningkatkan peran dan melestarikan lembaga
adat, sebagai salah satu wujud pelaksanaan kekhususan dan
keistimewaan Aceh di bidang adat istiadat perlu dilakukan
pembinaan dan pemberdayaan yang berkesinambungan terhadap
lembaga-lembaga adat dimaksud sesuai dengan dinamika dan
perkembangan masyarakat Aceh.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup Jelas
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 209

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Selain yang tersebut dalam ayat (2) ini, dikenal lembaga
adat yang mempunyai fungsi yang sama di daerah
kabupaten/kota dengan nama yang berbeda yang perlu
diakui keberadaannya.

Pasal 3
Cukup Jelas

Pasal 4
Cukup Jelas

Pasal 5
Cukup Jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup Jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan musyawarah mukim adalah
musyawarah untuk pemilihan imum mukim atau nama
lain yang dihadiri oleh para Keuchik atau nama lain,
Imum Chik atau nama lain, Tuha Peut Mukim atau nama
lain, Sekretaris Mukim atau nama lain, dan Ketua-ketua
Lembaga Adat dalam wilayah mukim.
Ayat (2)
Cukup jelas
210 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup Jelas

Pasal 13
Cukup Jelas

Pasal 14
Cukup Jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Huruf K
Yang dimaksud pendamai adalah seseorang yang
berfungsi sebagai hakim perdamaian dalam hal
terjadinya sengketa/perselisihan.

Pasal 16
Cukup Jelas

Pasal 17
Cukup Jelas

Pasal 18
Cukup Jelas

Pasal 19
Cukup Jelas

Pasal 20
Cukup Jelas
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 211

Pasal 21
Cukup Jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Penyebutan Imum Meunasah atau nama lain termasuk
Imum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau
nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama
lain.
Ayat (2)
Penyebutan Imum Meunasah atau nama lain termasuk
Imum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau
nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama
lain.
Ayat (3)
Penyebutan Imum Meunasah atau nama lain termasuk
Imum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau
nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama
lain.

Pasal 23
Penyebutan Imum Meunasah atau nama lain termasuk Imum
Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau nama lain
yang tidak mempunyai meunasah atau nama lain.

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup Jelas

Pasal 26
Cukup Jelas

Pasal 27
Cukup Jelas

Pasal 28
Cukup Jelas
212 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Pasal 29
Cukup Jelas

Pasal 30
Cukup Jelas

Pasal 31
Cukup Jelas

Pasal 32
Cukup Jelas

Pasal 33
Cukup Jelas

Pasal 34
Cukup Jelas

Pasal 35
Cukup Jelas

Pasal 36
Cukup Jelas

Pasal 37
Cukup Jelas

Pasal 38
Cukup Jelas

Pasal 39
Cukup Jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup Jelas
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 213

Pasal 42
Cukup Jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup Jelas

Pasal 45
Cukup Jelas

Pasal 46
Cukup Jelas

Pasal 47
Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM


NOMOR 20
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2006

TENTANG

PEMERINTAHAN ACEH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan


Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-
Undang;
b. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan
Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa terkait dengan salah satu karakter
khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang
memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;
c. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi
tersebut bersumber dari pandangan hidup yang
berlandaskan syariat Islam yang melahirkan
budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi
daerah modal bagi perjuangan dalam merebut
dan mempertahankan kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di Aceh belum
dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan
rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan,
dan perlindungan hak asasi manusia sehingga
216 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan


dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik;
e. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami
yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan
solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia
untuk membangun kembali masyarakat dan
wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik
secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pemerintahan Aceh;

Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal
18A, Pasal 18B, dan Pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan
Perubahan Peraturan Provinsi Sumatera Utara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1103);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3893);
4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas Sabang menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 525, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4054);
LAMPIRAN: UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 217

5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang


Partai Politik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4251);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota-Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/
Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4277);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4438);
218 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN


ACEH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
3. Kabupaten/kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai
suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota.
4. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi
LAMPIRAN: UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 219

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan
kewenangan masing-masing.
5. Pemerintahan kabupaten/kota adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/
kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota
sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
6. Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Pemerintah
Aceh adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang
terdiri atas Gubernur dan perangkat daerah Aceh.
7. Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui
suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
8. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut
pemerintah kabupaten/kota adalah unsur penyelenggara
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/
walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota.
9. Bupati/walikota adalah kepala pemerintah daerah kabupaten/
kota yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang
dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
10. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh yang selanjutnya
disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) adalah unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah Aceh yang anggotanya
dipilih melalui pemilihan umum.
11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang
selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten/
kota (DPRK) adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah
kabupaten/kota yang anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
12. Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah
KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian
dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum
Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK,
220 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan


walikota/wakil walikota.
13. Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk
oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara
sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa,
dan negara melalui pemilihan umum.
14. Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di
Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-
cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK,
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/
wakil walikota.
15. Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/
kota adalah pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman
dalam lingkungan peradilan agama yang merupakan bagian
dari sistem peradilan nasional.
17. Majelis Permusyawaratan Ulama yang selanjutnya disingkat
MPU adalah majelis yang anggotanya terdiri atas ulama dan
cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah
Aceh dan DPRA.
18. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat
sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat
dan budaya.
19. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat
daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan
kecamatan.
20. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan
yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai
batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imum mukim atau
nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.
21. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum
yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau
nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangga sendiri.
22. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis
peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
LAMPIRAN: UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 221

23. Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan


sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
kabupaten/kota di Aceh.
24. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh yang
selanjutnya disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh
(APBA) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan
Daerah Provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh.
25. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota
yang selanjutnya disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja
Kabupaten/Kota (APBK) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang ditetapkan dengan
qanun kabupaten/kota.

BAB XII
LEMBAGA WALI NANGGROE

Pasal 96
(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat
sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa,
dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan
kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian
gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
(2) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan
di Aceh.
(3) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal
dan independen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata
cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan
protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut
Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 97
Wali Nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat
adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar
negeri yang kriteria dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh.
222 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

BAB XIII
LEMBAGA ADAT

Pasal 98
(1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan,
ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
(2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat
ditempuh melalui lembaga adat.
(3) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), meliputi:
a. Majelis Adat Aceh;
b. imum mukim atau nama lain;
c. imum chik atau nama lain;
d. keuchik atau nama lain;
e. tuha peut atau nama lain;
f. tuha lapan atau nama lain;
g. imum meunasah atau nama lain;
h. keujruen blang atau nama lain;
i. panglima laot atau nama lain;
j. pawang glee atau nama lain;
k. peutua seuneubok atau nama lain;
l. haria peukan atau nama lain; dan
m. syahbanda atau nama lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan
kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 99
(1) Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan
sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan
Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat Islam dan
dilaksanakan oleh Wali Nanggroe.
(2) Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada
masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan
pertimbangan Wali Nanggroe.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud
LAMPIRAN: UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 223

pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR


62
Indeks

Abdal  105 134-5
Abdurrahman al-Habsyi  72 Aceh Timur   16, 111
Abu Adabusri  93 Adat Gayo   19, 111, 114, 117-8,
Abu Balee  73 120-2, 124-5, 127, 131, 140-1,
Abu Nagan  73 150, 153-4
Abu Peuleukung   19, 71, 73, 78, Adat Nagari  8
89, 101-2, 104-6, 108, 110 Adatisasi   112, 114, 116, 146,
Abu Qudrat   75, 87, 89, 93 149
Acciaioli  8, 12 Adatrecht  4, 30-1
Aceh   1-4, 8, 11-25, 27-30, 32-9, Agam  80
45, 47-9, 53, 58, 66, 69-70, Agus Budi Wibowo   86
72-5, 79, 86, 88, 90, 96-100, ALA  96
105, 107-8, 110-3, 115, 118, Alas  16
120, 123, 126, 128-35, 138, Ampon Bang   94, 107
142-4, 146, 152-3 Ampon  76
Aceh Barat Daya   69 Antropologi  11
Aceh Barat   69, 73, 100, Autad  105
Aceh Besar   19, 21, 25, 29-30, Avonius   1, 4, 12, 112
37-8, 41-2, 45, 47, 52, 57-60, A'ziyin  75
63, 65-6 B.J. Habibie  9
Aceh Selatan   73, 100 Badruzzaman   35-6, 66, 118
Aceh Tengah   69, 100,111, 132, Banda Aceh   23, 25, 91, 135,
151
226 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Bener Meriah   19, 20-1, 111, 131, 133, 143, 145-50, 153
114-7, 123, 132-6, 138, 140, Gelar adat  55
142, 144-53 Gender  27-8, 115
Beutong Ateuh  99 Geuwasiet guree  74
Biezeveld  5 Grassroots  113
Blang Ara   72, 76-7, Habib Ali  72
Boediono  95, 98 Habib Muda Seunagan   71-8,
Bourchier  7 83-7, 94-6, 98, 100-2, 104-7
Bowen  115-6 Habib Syaikhuna Quthub
Bu dalong   76-7, 107 Nasbah  72, 84
Bu leukat  79-80 Hadih maja   28, 36-9, 48, 78
Bu meubungong  82 Haria peukan   16, 42
Bu meudalong  80 Hasan Saleh  129
Budaya Aceh   47, 53 Hasan Tiro  17
Bushar Muhammad  30 Haul  102-3
Cap sikureung  75 Henley  11, 112
Cikoang  72 IAIN Ar-Raniry  38
Coffea arabica L   111 Idang  76
Coffea robusta L   111 Imem  131
Cornelis van Vollenhoven   4 Imum mukim   16, 22, 39, 42,
Cut Man  97 63-4, 88, 109, 129, 131-2
Daerah Operasi Militer   2-3 Irwandi  97
Dara pade  89 Iskandar Muda   33, 128
Dara  80 Jakarta  10
Darurat Sipil  3 Jantho   25-7, 45, 58, 61-2, 65
Darussalam  91 Jawa Tengah  72
Davidson   4, 11-2, 112 Jawa   25, 69, 106, 111, 123,
De facto   31, 66 130, 152
Didong  145-6 JKMA   11, 23, 108, 134-5
Diet  53-4 Kartika  11
Diyat  53 Keuchik  21-2, 26-7, 33, 39, 41-3,
Farak  121 59, 81, 109, 129, 137, 139
Fasseur  4 Keujruen blang   16, 42, 89, 109
Feodalisme  6 Keukarah  90, 103
Fieldwork   114, 133, 141, 147 Keumeukoh  89
G30S PKI  75 Keureuja mate   80, 82-3
GAM   12, 97, 112, 152 Keureuja udep   80, 82
Gautama  11 Khalwat  46, 55
Gayo   16, 115-8, 120, 122-8, Kluet  16
INDEKS 227

Komunitas Habib  72 Panglima laot   16, 41-2, 56-7,


Kuta Cot Glie   40, 44, 48 66, 109
Lampanah  43, 58 Paternalisme  5
Leumang  89 Pawang glee   16, 143
Linto  81 Penganjo  79
LMD  8 Penghulu uteun  143-4
LKMD  8 PERDA  107
Lombok  12, 112 Petua seuneubok   16, 143
LSM   9, 11, 22-3, 26, 30, 32, 71, Peumat jaroe   33. 54
115, 134, 151 Peusijuek   40-1, 50, 54, 79, 120
Lut Tawar  134 Peutroen bijeh  89
MAA   13-4, 20, 22, 29-30, 32-5, Polda Aceh  59
38-9, 45, 47, 51, 59, 65-6, 151 Politik etis  4
Mahkamah Syar'iyah   26-8, 60-1 Polmas  23, 59
Makasar  72 Polri  12, 69
Mardani  31, 34 Prolega  18
Maulud Barzanji  103 Pulo Ie   76-7, 100-1
Melalatoa  115 Qanun Aceh   38, 70, 133
Meudame  33 Qanun gampong  58
Meunasah   39, 42, 55, 104, 109, Raja Beutong   83, 95
137 Rameune  90, 110
Minang  111 Ranup meuh  80
Minangkabau  8 Rapa'i  83
MoU Helsinki  14 Rasulullah   73, 85, 103
Mu'aziyin  75 Rateb  102, 105-6
Muhammad Umar   35, 81 Reje   119, 131, 148
NAD  13, 38 Reusam   76, 78, 82
Nagan Raya   19, 21, 69-84, 86, Revitalisasi   1, 3, 11-4, 18-25,
88-100, 103-4, 106-10 28-9, 32, 57-8, 60-1, 63-5, 69-
Nation-building  6 71, 110-4, 116, 126, 128, 142,
Nazar  101, 105 146, 150, 152-3
NKRI  96-8 Rosnidar  8
Nurlif  64 Rukoh  91
Orang Adat   111, 114, 139, Rumoh   85, 90, 103
141, 143, 150-1, 153 Runggun  8
Orde Baru   1-3, 7-9, 11-2, 18, Rusdi Sufi  86
25, 111-3, 116, 126, 130-1 Said Mahadri  73
Otonomi Daerah   1-3, 9, 12, Said Mahdi  94
112-3, 152 Said Muhammad Yeddin   73
228 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH

Sammina Daud   73, 85, 104 Tuha lapan  16


Santet  45 Tuha peut   38-9, 43, 49, 59, 66,
SBY  95, 97-8 109, 137
Sentralisasi   2, 7, 15, 113, 126, Tumpang  102
130, 151-2 Twikromo  12, 112
Seudati  83 Ulayat  125, 143
Seukat  83 Ulee balang   33-4, 75, 129-30
Seulangke  82 Ulee thon  89
Seulawah  58 UU-PA   3, 14-6, 70, 110, 112-3,
Seumeubeut  104 152-3
Siratun Nabawi  103 Von Svigny  32
Snouck Hurgronje  30-1 Wali nanggroe   14-8, 113, 142
Solo  72 WAN DP  96-9
Stratifikasi   75-7, 84, 99 Warren  5
Suharto   1-3, 7, 9, 12 Westernisasi  5
Sukarno   3, 6-7, 74, 130
Sumang  124-5
Sumatra Barat   8, 12
Supomo  6
Suratul ikhlas  103
Syariat Islam   14, 37, 46, 117-8,
133
Syeh didong  145
Tahlil  74, 103
Takengon  73, 135
Tarekat  73
Tarekat Naqsabandi  104
Tarekat Syattariyah  103-4
Tetuwe   117, 122, 140, 153
Teuku Arif Cham   96-9
Teuku Umar  108
Teumalang  87-8
Teungku Muhammad  108
Tilam gulong  83-4
TNI  12, 69
Toep meunalee  55-6
Troen u blang   89
Tuha gampong   33, 41, 43, 53,
80
ADAT
dalam Dinamika Politik

ACEH
Buku ini adalah hasil dari proyek penelitian pertama
ICAIOS ‘Adat dalam Dinamika Politik Aceh’ yang dilakukan
sepanjang tahun 2009-2010 dengan dana bantuan BRR
yang memungkinkan pekerjaan ICAIOS dalam bulan-bulan
awal. Empat peneliti yang terlibat dalam proyek penelitian
pendek ini ingin mendekati istilah adat dari perspektif yang
baru dan menganalisis bagaimana posisi lembaga adat dan
tradisi-tradisi adat berperan dalam perkembangan politis di
daerah-daerah Aceh dalam masa transformasi ini. Apakah
Aceh mengalami revitalisasi adat yang cukup kuat di berbagai
daerah di Indonesia sejak Orde Baru dan proses desentralisasi?
Hasil investigasi mereka bisa kita membaca dalam buku ini.
Kami harap buku ini bisa berfungsi sebagai alat pembuka
diskusi tentang posisi adat dan lembaganya di Aceh, dan
menginspirasi peneliti-peneliti yang lain untuk mengeksplorasi
isu ini secara lebih lanjut dan dalam.

You might also like