You are on page 1of 12

Masjid Sultan Suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin


adalah sebuah masjid bersejarah yang
merupakan masjid tertua di Kalimantan
Selatan. Masjid ini dibangun di masa
pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-
1550), raja Banjar pertama yang memeluk
agama Islam. Masjid Kuin merupakan salah
satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota
Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin
(Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya
adalah Masjid Besar (Masjid Jami) dan
Masjid Basirih. Masjid ini terletak di
Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara,
Banjarmasin, kawasan yang dikenal sebagai
Banjar Lama merupakan situs ibukota
Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid
ini letaknya berdekatan dengan komplek
makam Sultan Suriansyah dan di
seberangnya terdapat sungai kuin.
Bentuk arsitektur dengan konstruksi
panggung dan beratap tumpang, merupakan
masjid bergaya tradisional Banjar. Masjid bergaya tradisional Banjar pada bagian mihrabnya
memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan induk. Masjid ini didirikan di tepi sungai
Kuin.

Masjid Kuno
Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk
segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun
pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi : " Ba'da hijratun Nabi
Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah
Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia." Sedangkan pada daun
pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: "Kiai Damang Astungkara
mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada
sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)" . Kedua inskripsi ini menunjukkan pada
hari Senin tanghgal 10 Sya'ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (renovasi
masjid) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I (1734-
1759).
Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi
berbunyi "Allah Muhammadarasulullah". Pada bagian kanan atas terdapat tulisan "Krono
Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17", sedang pada bagian kiri terdapat
tulisan : "Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri".

Filosofi Ruang
Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid
Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh
Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri
dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan
Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga
aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh
masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat
(cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru
merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk
atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang
vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang
dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap
paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada
Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai
bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar
dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan
ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi
ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan
ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.
Masjid Jami Banjarmasin
Masjid Jami' Banjarmasin atau
dikenal juga sebagai Masjid
Jami' Sungai Jingah adalah
sebuah masjid bersejarah di
kota Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Mesjid berarsitektur
joglo yang dibuat dengan
bahan dasar kayu besi (ulin)
ini dibangun di tahun 1777.
Walaupun termasuk di
lingkungan Kelurahan
Antasan Kecil Timur, masjid
yang seluruh konstruksi
bangunan didominasi kayu
besi alias kayu ulin ini lebih
identik dikenal Masjid Jami
Sungai Jingah. Lokasi awal pembangunan masjid ialah di tepi Sungai Martapura, setelah
masjid ini dipindahkan sekarang berada di Jalan Masjid kelurahan Antasan Kecil Timur, Kota
Banjarmasin pada tahun 1934.

Sejarah
Konon ceritanya di masa itu masyarakat Banjar kesulitan beribadah karena tidak ada mesjid
yang cukup besar untuk menampung orang banyak. Pemerintah kolonial Belanda yang
kehadirannya tidak disukai oleh masyarakat Banjar berusaha menggunakan kesempatan itu
untuk mengambil hati orang Banjar. Mereka berniat menyumbangkan uang hasil pajak untuk
pembangunan masjid. Kebetulan saat itu pendapatan pajak pemerintah Belanda dari hasil
memeras rakyat Kalimantan sedang berlimpah, terutama dari hasil hutan seperti karet dan
damar. Namun masyarakat Banjar menolak mentah-mentah tawaran itu. Bagi orang Banjar
yang beragama Islam adalah haram hukumnya menerima pemberian dari penjajah Belanda,
apalagi untuk pembangunan masjid. Untuk mengatasi permasalahan tersebut mereka secara
swadaya dan bergotong- membangun tempat ibadah tersebut. Tua-muda, laki-laki dan
perempuan secara bahu-membahu mengumpulkan dana. Ada yang menyumbangkan tanah,
perhiasan emas atau hasil pertanian, sehingga tidak lama kemudian di atas tanah seluas 2
hektar berdirilah sebuah mesjid yang indah dan megah sebagai tempat beribadah dan kegiatan
sosial lainnya hingga sekarang.

Lain-lain
Di masjid ini terdapat kantor Majelis Ulama Indonesia kota Banjarmasin dan di belakang
masjid merupakan pemakaman umum yang juga terdapat Komplek Makam Pangeran
Antasari.
Mesjid Jami ini rencananya akan direnovasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan
dengan menelan dana sekitar 9,5 milyar Rupiah. Renovasi ini dilakukan dengan tidak
mengubah bentuk dasar dan arsitektur aslinya, sehingga nilai-nilai historisnya masih tetap
terjaga.
Masjid Dian Al-Mahri
Masjid Dian Al Mahri adalah
sebuah masjid yang dibangun
di tepi jalan Raya Meruyung-
Cinere di Kecamatan Limo,
Depok. Masjid ini selain
sebagai menjadi tempat ibadah
salat bagi umat muslim sehari-
hari, kompleks masjid ini juga
menjadi kawasan wisata
keluarga dan menarik perhatian
banyak orang karena kubah-
kubahnya yang dibuat dari
emas. Selain itu karena luasnya
area yang ada dan bebas
diakses untuk umum, sehingga
tempat ini sering menjadi
tujuan liburan keluarga atau
hanya sekedar dijadikan tempat beristirahat.

Sejarah
Masjid ini dibangun oleh Hj. Dian Djuriah Maimun Al Rasyid, pengusaha asal Banten, yang
telah membeli tanah ini sejak tahun 1996. Masjid ini mulai dibangun sejak tahun 2001 dan
selesai sekitar akhir tahun 2006. Masjid ini dibuka untuk umum pada tanggal 31 Desember
2006, bertepatan dengan Idul Adha yang kedua kalinya pada tahun itu. Dengan luas kawasan
50 hektar, bangunan masjid ini menempati luas area sebesar 60 x 120 meter atau sekitar 8000
meter persegi. Masjid ini sendiri dapat menampung sekitar kurang lebih 20.000 jemaah.
Kawasan masjid ini sering disebut sebagai kawasan masjid termegah di Asia Tenggara.

Arsitektur
Masjid Dian Al Mahri memiliki 5 kubah. Satu kubah utama dan 4 kubah kecil. Uniknya,
seluruh kubah dilapisi emas setebal 2 sampai 3 milimeter dan mozaik kristal. Bentuk kubah
utama menyerupai kubah Taj Mahal. Kubah tersebut memiliki diameter bawah 16 meter,
diameter tengah 20 meter, dan tinggi 25 meter. Sementara 4 kubah kecil memiliki diameter
bawah 6 meter, tengah 7 meter, dan tinggi 8 meter. Selain itu di dalam masjid ini terdapat
lampu gantung yang didatangkan langsung dari Italia seberat 8 ton.
Selain itu, relief hiasan di atas tempat imam juga terbuat dari emas 18 karat. Begitu juga pagar
di lantai dua dan hiasan kaligrafi di langit-langit masjid. Sedangkan mahkota pilar masjid
yang berjumlah 168 buah berlapis bahan prado atau sisa emas.
Secara umum, arsitektur masjid mengikuti tipologi arsitektur masjid di Timur Tengah dengan
ciri kubah, minaret (menara), halaman dalam (plaza), dan penggunaan detail atau hiasan
dekoratif dengan elemen geometris dan obelisk, untuk memperkuat ciri keislaman para
arsitekturnya. Ciri lainnya adalah gerbang masuk berupa portal dan hiasan geometris serta
obelisk sebagai ornamen.
Halaman dalam berukuran 45 x 57 meter dan mampu menampung 8.000 jemaah. Enam
menara (minaret) berbentuk segi enam atau heksagonal, yang melambangkan rukun iman,
menjulang setinggi 40 meter. Keenam menara itu dibalut batu granit abu-abu yang diimpor
dari Italia dengan ornamen melingkar. Pada puncaknya terdapat kubah berlapis mozaik emas
24 karat. Sedangkan kubahnya mengacu pada bentuk kubah yang banyak digunakan masjid-
masjid di Persia dan India. Lima kubah melambangkan rukun Islam, seluruhnya dibalut
mozaik berlapis emas 24 karat yang materialnya diimpor dari Italia.
Pada bagian interiornya, masjid ini menghadirkan pilar-pilar kokoh yang menjulang tinggi
guna menciptakan skala ruang yang agung. Ruang masjid didominasi warna monokrom
dengan unsur utama warna krem, untuk memberi karakter ruang yang tenang dan hangat.
Materialnya terbuat dari bahan marmer yang diimpor dari Turki dan Italia. Di tengah ruang,
tergantung lampu yang terbuat dari kuningan berlapis emas seberat 2,7 ton, yang
pengerjaannya digarap ahli dari Italia.
Sejarah Masjid Istiqlal
Kalau anda jalan-jalan ke Jakarta, tentu
tidak akan terlepas dari sebuah masjid
besar yang berdiri kokoh di sebelah utara
Lapangan Monas yang namanya Masjid
Istiqlal.
Masjid Istiqlal adalah Masjid yang
terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini
merupakan suatu kebanggaan bagi Bangsa
Indonesia, sebagai manifestasi ungkapan
rasa syukur kepada Allah SWT atas
curahan karunia-Nya, bangsa Indonesia
yang mayoritas beragama Islam dapat
berhasil memperjuangkan kemerdekaan
dan terbentuknya Negara RI. Oleh karena itulah masjid ini dinamakan ISTIQLAL artinya
MERDEKA. Setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada
Republik Indonesia tahun 1949, maka tercetuslah ide pembangunan Masjid Istiqlal di Jakarta
oleh Bapak KH. Wahid Hasyim (Menteri Agama tahun 1950) dan Bapak Anwar
Cokroaminoto, yang selanjutnya ditunjuk sebagai Ketua Yayasan Masjid Istiqlal.
Pada tahun 1953 dibentuklah panitia pertama pembangunan Masjid Istiqlal, yang diketuai
oleh Bapak Anwar Cokroaminoto. Beliau menyampaikan ide pembangunan Masjid Istiqlal
kepada Presiden RI DR. Ir. Soekarno dan ternyata mendapat sambutan hangat, bahkan
Presiden akan membantu sepenuhnya pembangunan Masjid Istiqlal.
Pada tahun 1954, DR. Ir. Soekarno oleh Panitia diangat sebagai Kepala Bagian Teknik
Pembangunan Masjid Istiqlal, dan sejak itulah beliau aktif dalam kegiatan-kegiatan Masjid
Istiqlal antara lain sebagai Ketua Dewan Juri untuk menilai sayembara maket Istiqlal.
Pada tahun 1955, diadakan sayembara membuat gambar dan maket pembangunan Masjid
Istiqlal, yang diikuti oleh 30 peserta. Dari jumlah tersebut, ada 27 orang yang menyerahkan
gambar, kemudian setelah diadakan seleksi secara seksama, hanya 22 peserta yang memenuhi
persyaratan lomba. Setelah itu Dewan Juri dan para anggota mengadakan evaluasi, ternyata
yang keluar sebagai pemenang ada 5 (lima) peserta yaitu:
a. F. Silaban dengan sandi “Ketuhanan”
b. R. Oetoyo dengan sandi “Istighfar”
c. Hans Groenewegen dengan sandi “Salam”
d. Lima orang Mahasiswa ITB dengan sandi “Ilham”
e. Tiga orang Mahasiswa ITB dengan sandi “Khatulistiwa”
Dari kelima pemenang tersebut, yang disepakati Dewan Juri dan para anggota adalah sandi
Ketuhanan dengan arsitek F. Silaban sebagai pemenang.
Pada tahun 1961, diadakan penanaman tiang pancang pertama pembangunan Masjid Istiqlal.
Tujuh belas tahun kemudian bangunan Masjid Istiqlal selesai dan diresmikan penggunaannya
pada tanggal 22 Februari 1978. Biaya pembanginan Masjid ini dengan dana APBN sebesar
Rp 7.000.000.000,00 (Tujur Milyar Rupiah) dan USD 12.000.000 (Dua Belas Juta Dollar
Amerika Serikat).
 Masjid Menara Kudus
A. Selayang Pandang
Salah satu obyek wisata di
kota Kudus yang sekaligus
menjadi tujuan para peziarah,
adalah Masjid Menara Kudus.
Masjid yang didirikan pada
tahun 956 Hijriah atau 1549
Masehi ini memiliki nama asli,
Masjid Al-Aqsa. Keberadaan
masjid ini tidak dapat
dipisahkan dari sosok ulama
terkenal di Kudus waktu itu,
yaitu Ja‘far Sodiq, atau yang
lebih dikenal sebagai Sunan
Kudus.Dari salah satu versi
cerita yang berkembang, nama
Al-Aqsa dipilih oleh Sunan Kudus sebagai buah kunjungannya dari Masjid Al-Aqsa di
Palestina. Konon, Sunan Kudus pernah membawa kenang-kenangan berupa sebuah batu dari
Baitul Maqdis di Palestina yang kemudian dijadikan sebagai batu pertama pendirian masjid
yang diberi nama Masjid Al-Aqsa tersebut. Seiring berjalannya waktu, masjid tersebut
kemudian lebih populer dengan sebutan Masjid Menara Kudus.
Di dalam kompleks masjid inilah makam Sunan Kudus berada.Bagi pengunjung yang
akan memasuki kompleks masjid, pertama-tama, sapuan mata akan tertuju pada bangunan
monumental berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit. Bukan hanya karena ukurannya yang
besar, tetapi juga keunikan bentuknya yang tak mudah dilupakan, yang membuat bangunan
itu tampak spesial di antara bangunan-bangunan lainnya. Bentuknya tidak akan pernah
ditemui kemiripannya dengan berbagai menara masjid di penjuru dunia manapun.
B. Keistimewaan
Menara Kudus merupakan simbol akulturasi antara kebudayaan Hindu-Jawa dengan
Islam, hal ini dapat dijumpai dari gaya arsitekturnya yang menyerupai candi-candi di Jawa
Timur pada era Majapahit (misalnya Candi Jago) dan juga menyerupai Menara Kukul di Bali.
Menara ini memiliki ketinggian 17 meter dan luas sekitar 100 meter persegi. Ciri lain yang
mudah diidentifikasi pengunjung adalah penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa
perekat semen sebagai bahan utama bangunan. Konon, dengan dibantu para cantriknya, Sunan
Kudus membangun menara ini hanya dengan menggosok-gosokkan batu bata yang satu
dengan batu-bata lainnya hingga lengket. Pada bagian ujung menara yang beratap dua lapis
dengan konstruksi kayu jati yang ditopang empat saka guru terdapat semacam mustaka
(kubah) mirip atap tumpang pada masjid-masjid tradisional Jawa. Fungsi dari menara itu
adalah untuk tempat mengumandangkan azan.
Keunikan lain yang bisa dijumpai oleh peziarah adalah pada ruang wudlu yang juga
disusun dari bata merah. Pancurannya berbentuk kepala arca berjumlah delapan buah. Hal ini
dekat dengan falsafah Buddha, Asta Sanghika Marga (delapan jalan utama) yang merujuk
pada: pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha, meditasi, dan
keutuhan.Objek wisata ini selalu ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah di Indonesia,
terutama pada momen “Buka Luwur” (penggantian kain kelambu pada makam Sunan Kudus)
yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharam/Asyura. Momen menarik dalam upacara Buka
Luwur ini adalah ketika menyaksikan para peziarah berebut nasi bungkus dan kain luwur
bekas penutup makam Sunan Kudus yang dipercaya dapat memberikan keberuntungan bagi
mereka yang memperolehnya. Selain “Buka Luwur”, kawasan Menara Kudus juga menjadi
pusat keramaian pada saat “Dandhangan”, yaitu tradisi menyambut kedatangan bulan
Ramadhan, yang mencapai puncaknya pada satu hari sebelum datangnya bulan Ramadhan.

C. Lokasi
Objek wisata Menara Kudus terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Kudus,
Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
D. Akses
Kota Kudus terletak di sebelah Timur Kota Semarang dengan jarak sekitar 40 km, atau
membutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam jika ditempuh dengan kendaraan bermotor/alat
transportasi umum (bus). Letak Masjid Menara Kudus yang cukup dekat dengan pusat kota
Kudus (Alun-alun kota), yaitu berjarak sekitar 1,5 km ke arah barat dari alun-alun kota
membuat Masiid Menara Kudus mudah dijangkau oleh calon wisatawan atau peziarah.
E. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di kawasan Menara Kudus tersedia lahan parkir, warung makan, kios cenderamata dan
makanan khas Kudus, warung telekomunikasi, warung internet, dan tolilet/MCK yang
dikelola oleh masyarakat setempat.
Sejarah Masjid Demak

Sejarah Masjid Demak

Masjid Agung Demak adalah


sebuah mesjid yang tertua di
Indonesia. Masjid ini terletak di
desa Kauman, Demak, Jawa
Tengah. Masjid ini dipercayai
pernah merupakan tempat
berkumpulnya para ulama (wali)
penyebar agama Islam, disebut juga
Walisongo, untuk membahas
penyebaran agama Islam di Tanah
Jawa khususnya dan Indonesia pada
umumnya. Pendiri masjid ini
diperkirakan adalah Raden Patah,
yaitu raja pertama dari Kesultanan
Demak.
Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi
berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka
guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah
buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan
Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh
melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal),
merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang
boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau
pangeran Sabrang Lor),sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.

Selayang Pandang

Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki
nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa
Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat memercayai masjid ini sebagai tempat
berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan
Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk beribadah, berdiskusi
tentang penyebaran agama Islam, dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar.
Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di
Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro.

Masjid Agung Demak didirikan dalam tiga tahap. Tahap pembangunan pertama adalah pada
tahun 1466. Ketika itu masjid ini masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi di
bawah asuhan Sunan Ampel. Pada tahun 1477, masjid ini dibangun kembali sebagai masjid
Kadipaten Glagahwangi Demak. Pada tahun 1478, ketika Raden Fatah diangkat sebagai
Sultan I Demak, masjid ini direnovasi dengan penambahan tiga trap. Raden Fatah bersama
Walisongo memimpin proses pembangunan masjid ini dengan dibantu masyarakat sekitar.
Para wali saling membagi tugasnya masing-masing. Secara umum, para wali menggarap soko
guru yang menjadi tiang utama penyangga masjid. Namun, ada empat wali yang secara
khusus memimpin pembuatan soko guru lainnya, yaitu: Sunan Bonang memimpin membuat
soko guru di bagian barat laut; Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut;
Sunan Ampel membuat soko guru di bagian tenggara; dan Sunan Gunungjati membuat soko
guru di sebelah barat daya.

Keistimewaan

Luas keseluruhan bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m 2. Di samping


bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m dengan panjang
keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak rambat dengan ukuran 25 x
3 m. Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang dengan
128 soko, yang empat di antaranya merupakan soko guru sebagai penyangga utamanya. Tiang
penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah,
dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.

Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini
menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas ini
berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk
kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna, yaitu bahwa seorang
beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya:iman, Islam, dan
ihsan. Di samping itu, masjid ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian
dengan bagian lain, yang memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat,
dan haji. Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman,
yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya,
hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.

Bentuk bangunan masjid banyak menggunakan bahan dari kayu. Dengan bahan ini,
pembuatan bentuk bulat dengan lengkung-lengkungan akan lebih mudah. Interior bagian
dalam masjid juga menggunakan bahan dari kayu dengan ukir-ukiran yang begitu indah.

Masjid Agung Demak berada di tengah kota dan menghadap ke alun-alun yang luas. Secara
umum, pembangunan kota-kota di Pulau Jawa banyak kemiripannya, yaitu suatu bentuk satu-
kesatuan antara bangunan masjid, keraton, dan alun-alun yang berada di tengahnya.
Pembangunan model ini diawali oleh Dinasti Demak Bintoro. Diperkirakan, bekas Keraton
Demak ini berada di sebelah selatan Masjid Agung dan alun-alun.

Di lingkungan Masjid Agung Demak ini terdapat sejumlah benda-benda peninggalan


bersejarah, seperti Saka Tatal, Dhampar Kencana, Saka Majapahit, dan Maksurah. Di
samping itu, di lingkungan masjid juga terdapat komplek makam sultan-sultan Demak dan
para abdinya, yang terbagi atas empat bagian:

 Makam Kasepuhan, yang terdiri atas 18 makam, antara lain makam Sultan Demak I
(Raden Fatah) beserta istri-istri dan putra-putranya, yaitu Sultan Demak II (Raden Pati
Unus) dan Pangeran Sedo Lepen (Raden Surowiyoto), serta makam putra Raden
Fatah, Adipati Terung (Raden Husain).

 Makam Kaneman, yang terdiri atas 24 makam, antara lain makam Sultan Demak III
(Raden Trenggono), makam istrinya, dan makam putranya, Sunan Prawoto (Raden
Hariyo Bagus Mukmin).
MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA
Biasanya adzan dilakukan oleh
satu orang. Namun, ini berbeda
dengan apa yang terjadi di
Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Cirebon. Di masjid yang
dibangun sekitar tahun 1480 ini,
adzan dikumandangkan oleh
tujuh orang sekaligus secara
bersamaan. Satu hal yang tidak
akan kita pernah temui di belahan
dunia manapun.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa
merupakan masjid tertua di
Cirebon. Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon dan
dibangun sekitar tahun 1480 M. Wali Songo berperan besar terhadap pembangunan masjid
ini. Sunan Gunung Jati yang bertindak sebagai ketua pembangunan masjid ini menunjuk
Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya.
Nama masjid ini sendiri diambil dari kata “sang” yang artinya keagungan, “cipta” yang
artinya dibangun, dan “rasa” yang artinya digunakan.
Pembangunan masjid ini melibatkan 500 pekerja dari Demak, Majapahit, dan Cirebon sendiri.
Selain itu, yang cukup menarik, didatangkan Raden Sepat (Raden Sepet). Raden Sepat
merupakan arsitek Majapahit yang menjadi tahanan perang Demak-Majapahit. Raden Sepat
didatangkan dari Demak. Tindakan ini dilakukan oleh Demak sebagai imbalan kepada
Cirebon karena telah membantu mengirim pasukan dalam penyerangan ke Majapahit.
Raden Sepat berperan dalam membawa tukang-tukang dari Majapahit. Bahkan, menurut
cerita dalam babad dikatakan bahwa serambi utama masjid itu berasal dari kota Majapahit.
Raden Sepat merancang ruang utama masjid berbentuk bujur sangkar dengan luas 400 meter
persegi. Tempat imam menghadap barat dengan tingkat kemiringan 30 derajat arah barat laut.
Intinya, masjid ini mempunyai lima ruangan, yaitu satu ruangan utama, tiga serambi, dan satu
ruang belakang. Pada ruang utama terdapat sembilan pintu. Sembilan pintu ini melambangkan
Wali Songo. Di bagian mihrab terdapat ukiran berbentuk bunga teratai yang dibuat oleh
Sunan Kalijaga. Di bagian mihrab juga terdapat ubin yang bertanda khusus yang
melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu iman, islam, dan ihsan. Di masjid ini juga
terdapat tempat wudhu yang airnya tak pernah kering dan sumur zam-zam yang ramai
dikunjungi orang kala Ramadan tiba.
Bagian atas masjid disangga oleh empat pilar yang dibuat dari tatal, yaitu pecahan kayu kecil-
kecil yang disatukan sehingga kuat untuk menjadi satu tiang utama. tiang tatal (saka tatal) ini
dibuat oleh Sunan Kalijaga. Saka tatal melambangkan kesatuan atau kegotong-royongan. Dari
beberapa sudut pandang, gaya bangunan masjid sedikit menyerupai gaya bangunan tradisi
sebelum Islam.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Gaya bangunan dan beberapa ukiran yang
menunjukkan kelanjutan tradisi sebelum Islam salah satunya bertujuan untuk menarik
perhatian masyarakat yang belum masuk Islam atau yang baru saja masuk Islam sehingga
mereka senang mengunjungi masjid yang gayanya masih mengingatkan unsur bangunan
candi.
Keunikan lain dari masjid ini adalah
tidak mempunyai kubah. Tidak adanya
kubah di Masjid Agung Sang Cipta
Rasa ini diawali oleh cerita
kumandang adzan pitu (adzan tujuh).
Menurut informasi dari buku Babad
Cirebon, adzan tujuh atau dikenal
dengan sebutan adzan pitu berawal
sejak masa awal perkembangan Islam
di Cirebon.
Konon di Masjid Agung Sang Cipta
Rasa dahulu ada musibah yang
menyebabkan tiga orang muadzin tewas berturut-turut secara misterius. Ketika masjid ini
didirikan, memang masyarakatnya sebagian besar belum memeluk agama Islam. Mereka
menolak pembangunan masjid ini. Penolakan itu diwujudkan melalui kekuatan sihir yang
menyebabkan kematian misterius tiga muadzin masjid ini. Banyak warga yang resah karena
masalah ini.
Akhirnya para wali meminta petunjuk Allah atas masalah yang terjadi. Para wali menganggap
ada satu kekuatan yang menolak Islam berkembang di daerah Cirebon. Sunan Kalijaga
mendapat petunjuk untuk segera mengumandangkan adzan yang diserukan oleh tujuh orang
muadzin sebelum sholat. Pada saat akan melaksanakan shalat Subuh, adzan pitu (tujuh)
dikumandangkan. Bersamaan dengan itu, dentuman besar terdengar dari kubah masjid.
Seketika binasalah kekuatan gaib yang disebarkan oleh makhluk halus bernama Menjangan
Wulung. Ternyata selama ini Menjangan Wulung bertengger di atas kubah tersebut. Setelah
Menjangan Wulung dapat dikalahkan, pemiliknya masuk Islam.
Menurut cerita, karena ledakan dahsyat tersebut, kubah masjid terlempar ke Banten. Itu
sebabnya mengapa hingga saat ini Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak mempunyai kubah
sedangkan Masjid Agung Banten memiliki dua kubah. Sampai sekarang tradisi adzan pitu
masih dilaksanakan. Kalau dahulu adzan pitu itu dikumandangkan ketika shalat Subuh, saat
ini adzan pitu dikumandangkan pada saat shalat Jumat, oleh tujuh orang dengan berpakaian
serba putih.

You might also like