You are on page 1of 9

STRES PSIKOLOGIS PADA DERMATITIS ATOPIK DAN HUBUNGANNYA

DENGAN KADAR NOREPINEFRIN DAN INTERLEUKIN-4 PLASMA

Made Wardhana
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin
FK Unud/RS Sanglah, Denpasar

ABSTRAK

Dermatitis atopik (AD) adalah penyakit inflamasi kulit dengan ditandai hiperaktivitas dari sistem
imun humoral, dan dapat terjadi mulai sejak bayi atau anak-anak. Banyak peneliti melakukan
penelitian tentang peran respon imun dan reaksi hipersensitivitas pada patofisiologi dermatitis
atopik. Namun sejak diketahui adanya reseptor terhadap hormon stress dipermukaan sel-sel imun,
maka dibuktikan adanya pengaruh sistem neuro-endokrin terhadap patogenesis dermatitis atopik.
Telah diketahui bahwa peran kortisol dan norepinefrin sebagai hormon stres utama yang
memegang peran dalam regulasi respon imun. Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan
bahwa pada penyakit atopik seperti dermatitis atopik, rinitis alergi dan asma bronkhiale kadar
kortisol saliva lebih rendah daripada yang tidak menderita penyakit atopik. Dengan bukti tersebut
diasumsikan bahwa rendahnya kadar kortisol sebagai akibat hiporesponsivitas sumbu
hypotalamus-pituitary-adrenal terhadap stresor, hal ini akan mengakibatkan peningkatan kadar
norepinefrin dan interleukin-4 (IL-4). Ke duanya akan menyebabkan stimulasi sel Th2 untuk
mensintesis IL-4, IL-4 ini berperan penting pada sintesis imunoglobulin-E (IgE), imunoglobulin
ini sangat perperan dalam patogenesis dermatitis atopik dengan meningkatkan hipersensitivitas
terhadap berbagai alergen lingkungan. Belum banyak informasi tentang rendahnya kadar kortisol
plasma sebagai faktor risiko terjadinya dermatitis atopik serta hubungan kortisol dengan
norepinefrin dan IL-4, sehingga perlu dilakukan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa rendahnya kortisol plasma merupakan faktor
risiko terhadap kejadian dermatitis atopik serta berkorelasi negatif dengan norepinefrin dan IL-4
plasma.
Penelitian ini menggunakan 2 rancangan yaitu, penelitian matched-pair case-control
untuk membuktikan rendahnya kortisol sebagai risiko dermatitis atopik dengan 36 kasus dan 36
kontrol, dan rancangan cross-sectional study untuk membuktikan korelasi negatif antara kortisol
dengan norepinefrin dan IL-4 dengan sampel penelitian berjumlah 88 orang terdiri dari 52 orang
dengan dermatitis atopik dan 36 orang tanpa dermatitis atopik
Hasil penelitian case-control secara deskriptif membuktikan bahwa kortisol plasma pada
dermatitis atopik (4,89 + 2,11 ug/dl) secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan kontrol
(9,12 + 2,33 ug/dl), pada interval kepercayaan (IK) 95 %; p < 0,001). Analisis multiple logistik
regresi mendapatkan rasio odd untuk kortisol sebesar 3,45, hasil ini lebih tingga dari pada rasio
odd variabel bebas yang lain seperti norepinefrin, IL-4, riwayat atopi dan kelembaban kulit. Hasil
uji korelasi menunjukkan kortisol berkorelasi negatif dengan norepinefrin dengan r = - 0.684 (p <
0.001), dan berkorelasi negatif dengan IL-4 dengan r = - 0.55 (p < 0.001).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rendahnya kadar kortisol plasma merupakan
faktor risiko dermatitis atopik dan berkorelasi negatif dengan norepinefrin dan IL-4.

Kata kunci: Dermatitis atopik, kortisol, norepinefrin, IL-4

1
PSYCHOLOGICAL STRESSOR IN ATOPIC DERMATITIS AND ITS CORRELATES
WITH NOREPINEPHRINE AND INTERLEUKIN-4 PLASMA LEVEL

Made Wardhana
Depat. of Dermato-Venereology Faculty of Medicine, Udayana University/
Sanglah General Hospital, Denpasar, Bali

ABSTRACT

Atopic dermatitis (AD) is a skin inflammatory disease characterized by hyperactivity of humoral


immune system with an onset in infancy or early childhood. Many studies have concentrated on
the patho-physiological role of the immune system in atopic dermatitis, but since the stress
hormone receptor was recognized on the surface of immune cells, it proved that cortisol and
norepinephrine were prominent stress hormones in regulating the immune system. Some previous
studies have shown that individuals with atopic diseases such as atopic dermatitis, allergic rhinitis
and bronchial asthma had lower concentration of saliva cortisol than those with non-atopic
conditions. With this evidence, it can be assumed that lower concentration of cortisol as the result
of hypo-response of hypothalamus-pituitary-adrenal to stressor can increase norepinephrine and
interleukin (IL-4) concentrations. Both substances stimulate Th2 cells to synthesize IL-4, which
has an important role in atopic dermatitis pathogenesis to increase hypersensitivity to various
environmental allergens. Inadequate information is available concerning the low concentration of
plasma cortisol as a risk factor for atopic dermatitis incidence, as well as its correlation with
norepinephrine and IL-4, therefore this study is necessary to carry out.
The purpose of this study was to prove that low concentration of plasma cortisol is a risk
factor for atopic dermatitis and the negative correlation with norepinephrine and plasma IL-4.
This study applied matched pair case control design to prove that low concentration of
cortisol is a risk factor for atopic dermatitis, involving 36 cases and 36 controls, and cross
sectional design to find out the negative correlation between cortisol and norepinephrine and IL-4
using 88 samples consisted of 52 persons with atopic disease and 36 persons without it.
The result of the case-control study showed that plasma cortisol concentration of the case
group was significantly lower (4.88 + 2.1 ug/dl; CI 95 %; p < 0.001) than that of the control
group (9.12 + 2.33 ug/dl) at confidence level of 95%; p < 0.001. Multiple logistic regression
analysis showed odd ratio of cortisol 3.45, which was higher than the ratio of other parameters
such as norepinephrine, IL-4, history of atopy and skin moisture. The correlation test showed that
plasma cortisol negatively correlated to norepinephrine (r =0.68; p < 0.001), and IL-4 (r = 0.550;
p = 0.001).
Based on the above findings, it can be concluded that low concentration of plasma
cortisol is a risk factor for atopic dermatitis and it correlates negatively with norepinephrine and
IL-4.

Key word: Atopic dermatitis, cortisol, norepinephrine, IL-4

2
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit bersifat kronik-residif, dimulai sejak usia dini,
umumnya bersifat herediter dengan gejala klinis yang khas dan disertai rasa gatal.1-3 Selain gejala
pada kulit juga dijumpai gejala lainnya seperti gangguan sekresi kelenjar keringat, rentan terhadap
infeksi bakteri dan gangguan vaskuler.1-4 Dermatitis atopik umumnya berhubungan dengan faktor
genetik atau herediter yang bermanifestasi akibat respon hipersensitivitas kulit terhadap paparan
alergen lingkungan seperti alergen makanan, alergen hirup (aeroalergen), bahan iritan, eksotoksin
streptococcus, stresor fisik dan stresor psikologis.1,2
Patogenesis dermatitis atopik belum diketahui secara pasti, namun telah disepakati bahwa
penyakit ini berhubungan dengan hipersensitivitas seseorang terhadap alergen lingkungan, hal ini
didasari oleh perubahan keseimbangan aktivitas sel limfosit T helper 1 (Th1) dan sel limfosit T helper
2 (Th2) yang didominasi oleh peran sel Th2 yang menyebabkan peningkatan kadar imunoglobulin E
(IgE), interleukin-4 (IL-4) dan interleukin-5 (IL-5), ke tiganya merupakan mediator utama dalam
patogenesis dermatitis atopik. Oleh karena itu dermatitis atopik disebut juga Th2 mediated disease.1,3
Penyebab perubahan keseimbangan Th1-Th2 dan hipersensitivitas terhadap alergen pada
dermatitis atopik belum diketahui dengan pasti namun disepakati merupakan mekanisme multiorgan,
selain mekanisme imunologis, sistem saraf pusat, sistem saraf otonom dan sistem endokrin juga
berperan dalam pengendalian respon imun.5,6 Hal ini tampak dengan manifestasi klinis berupa
gangguan sekresi kelenjar keringat dan kepucatan kulit. Beberapa penelitian terdahulu membuktikan
bahwa faktor stresor psikologis berperan dalam kekambuhan dermatitis atopik.1,2 Stresor akan
diterima oleh saraf pusat sebagai stress perception, kemudian akan menimbulkan stress responses
melalui beberapa jalur terutama jalur hipothalamus dan sistem saraf simpatetik, hasil akhir dari respon
ini akan menyebabkan meningkatnya sintesis kortisol dan norepinefrin. Ke dua hormon ini sangat
berpengaruh terhadap homeostatis tubuh.
Kortisol alah hormon stres yang dihasilkan oleh korteks adrenal, merupakan produk akhir dari
Hypothalamus-Pituitary-Adrenal axis (sumbu HPA) sebagai pusat dari stress responses. Kortisol
memiliki peran biologis terhadap metabolisme glukosa, namun kemudian diketahui adanya reseptor
glukokortikoid juga dijumpai di permukaan sel imunokompeten dan menekan aktivitas sel Th2.6
Norepinefrin, selain sebagai hormon juga sebagai neurotransmiter yang dihasilkan di berbagai tempat
seperti, locus ceruleus, sistem saraf simpathetik dan medula kelenjar adrenal. Norepinefrin berefek
langsung terhadap monosit melalui reseptor β-adrenergic untuk meningkatkan sintesis IL-10,
Interleukin ini secara langsung mengaktivasi Th2 untuk meningkatkan produksi IL-4 dan IL-5.7,8
Baik secara langsung maupun tidak langsung sintesis norepinefrin dihambat oleh kortisol melalui
glucocorticoid receptor (GR) di sistem simpatetik adrenal.9,10
Secara umum stres psikologis akan meningkatkan produk kedua hormon stres tersebut
sehingga berefek terhadap respon imun dengan dominasi dari peran sel Th2, IL-4 adalah salah satu
sitokin Th2 yang berperan dalam patogenesis dermatitis atopik, sehingga stres dikatakan sebagai
faktor pencetus kejadian dermatitis atopik.11,12 Asadi and Usman (2001) melaporkan 50 % sampai 60
% dari penyakit ini dicetuskan oleh faktor stres psikologis. Kodama et al (1999) mengamati peranan
stres sebagai pencetus dermatitis atopik, dari penduduk yang mengalami gempa bumi di Jepang,
ternyata 63 % dari pasien dermatitis atopik terjadi kekambuhan setelah mengalami kerusakan berat
akibat gempa dan hanya 19 % dari pasien yang tidak mengalami kerusakan akibat gempa, dengan
rasio odd cukup tinggi 2,98. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (1996) yang
mengatakan 68 % pasien dermatitis atopik menghadapi stresor psikis dari ringan sampai berat. Benea
(2001) gangguan emosional terjadi pada 74 % dari kasus dermatitis atopik dan kesulitan penyesuaian
diri terjadi pada 34 dermatitis atopik.
Penelitian ini bertujuan mencari status stres psikologis pasien dermatitis atopik dan
hubungannya dengan norepinefrin dan IL-4 plasma.

3
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Untuk mengetahui hubungan stres psikologis (selanjutnya ditulis stres) dengan dermatitis atopik dan
hubungannya dengan kadar norepinefrin serta interleukin-4 (IL-4) plasma dilakukan penelitian
observasional-analitik cross-sectional study (potong lintang) yaitu dengan mengukur beberapa
variabel secara bersamaan. Diagnosis dermatitis atopik ditegakkan berdasarkan kriteria dari Haniffin
& Rajka. Pengukuran tingkat (level) stres dilakukan dengan metode Rahe & Holmes yang dikenal
dengan Life Events Stress test yaitu dengan menilai adanya peristiwa dalam hidupnya sebanyak 42
item, seperti adanya kematian orang terdekat diberi skor 100, menghadapi masalah pelanggaran lalu
lintas diberi skor 15 dan sebagainya. Skor semua kejadian dijumlahkan, bila jumlah skor lebih dari
150 maka dikatakan sangat rentan terhadap stres. Variabel lain yang dicatat adalah riwayat atopi,
kelembaban kulit. Kelembaban kulit diukur dengan alat moisturizer cheker dari Scalar. Analisis
statistik dilakukan dengan uji beda rerata, uji korelasi dan uji regresi linier.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Selama 6 bulan penelitian tercatat sebanyak 88 subyek penelitian yang memenuhi kriteria, 48 orang
(54,5 %) laki-laki dan 40 orang (45,5 %) perempuan, yang terdiri dari 52 orang (59,10 %) dengan
dermatitis atopik dan 36 orang (40,90 %) tanpa dermatitis atopik. Selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian


Dermatitis Atopik Tanpa Dermatitis p
(52) Atopik (36)
Jenis Laki-laki 27 (30,69 %) 21 (23,87 %)
Perempuan 25 (28,41 %) 15 (17,03 %) 0,354
Umur (tahun) 37,42 + 11,23 39,23 + 9,56 0,001
Kortisol (ug/dl) 5,36 + 2,16 9,12 + 2,33 0,001
Norepinefrin (ng/ml) 5,14 + 2,65 1,99 + 0,78 0,001
IL-4 (pg/ml) 4,63 + 1,28 2,90 + 0,70 0,001
Kelembaban kulit (%) 34,44 + 5,47 44,74 + 3,28 0.019
Riwayat Atopi Ada 29 (32,97 %) 11 (12,50 %)
Tidak ada 23 (26,13 % ) 25 (28,40 %) 0,020
Level Stres 160,35 + 23,56 76,45 + 19,20 0,008
Bermakna bila p< 0,05

Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata kadar kortisol pada penderita dermatitis atopik (5,36 + 2,16
µ g/dl) lebih rendah secara statistik dibandingkan dengan rerata kadar kortisol subyek tanpa
dermatitis atopik (9,12 + 2,33 µ g/dl), rerata kadar norepinefrin pada penderita dermatitis atopik
sebesar (6,14 + 2,65 ng/ml), lebih tinggi dibandingkan secara bermakna dibandingkan dengan rerata
norepinefrin pada penderita tanpa dermatitis atopik (1,96 + 0,78 ng/ml). Rerata kadar IL-4 pada
subyek dermatitis atopik (4,63 + 1,28 pg/ml) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan
rerata IL-4 subyek tanpa dermatitis atopik (2,90 + 0,70 pg/ml). Rerata kelembaban kulit pada
dermatitis atopik adalah 34,44 + 5,74 % dan pada subyek tanpa dermatitis atopik 44,74 + 3,28 %.
Adanya riwayat atopi pada dermatitis atopik sebanyak 29 (26,13 %) sedangkan 25 (28,40 %) dari
yang tidak menderita dermatitis atopik dan tidak ada riwayat atopi dengan uji Chi square p = 0,002.
Demikian juga tingkat stresnya menurut Rahe & Holmes, pada dermatitis atopik lebih tinggi (160,35
+ 23,56) secara bermakna dibandingkan subyek tanpa dermatitis atopik( 76,45 + 19,20).

4
Banyak peneliti menyimpulkan bahwa rendahnya kortisol disebabkan karena terjadinya
hiporeaktivitas sistem Hypothalamus-pituitary-adrenal axis (sumbu HPA) terhadap stresor pada
pasien dermatitis atopik. Buske-Kirschbaum, Penelitiannnya pada tahun 1998 dan diulang kembali
pada tahun 2003 dengan subyek asthma pada anak-anak, dengan age and sex-matched healthy
controls, subyek yang menderita asthma dan kontrol diberi perlakuan stres dengan metode Trial
Social Stress Test for Children (TSST-C) yaitu anak diminta melakukan berbicara di depan umum dan
menyelesaikan tugas mental aritmatika. Dengan hasil kadar kortisol saliva 20 dan 30 menit setelah
perlakuan terjadi peningkatan pada kedua kelompok, namun peningkatan pada kontrol lebih besar
secara bermakna dibandingkan peningkatan pada kasus dengan p < 0,01. Landstra et al (2002)
melakukan penelitian pada 28 anak usia 7-16 tahun yang menderita asma. Pengukuran kadar kortisol
plasma dilakukan secara berseri pada malam hari, dengan hasil bahwa kadar kortisol plasma penderita
asma lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol yang tidak menderita asthma
terutama pada jam 04.00 dan 08.00. Demikian juga Wamboldt et al (2003) meneliti 202 pasien usia
12-19 tahun yang menderita penyakit atopi yaitu, dermatitis atopik, rinitis dan asma. Pengukuran
kortisol diambil dari saliva dengan kit radioimmunoassay, dengan hasil bahwa kadar kortisol saliva
pada pasien dengan penyakit atopik lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol yang
tidak mempunyai penyakit atopi (p<0,001). Peneliti menyimpulkan bahwa kortisol sebagai produk
akhir dari sumbu HPA memegang peran penting dalam penyakit atopik. Penelitian-penelitian di atas
kebanyakan pasien penyakit atopik secara keseluruhan pada anak dan yang diukur adalah kortisol dari
saliva. Pada penelitian ini yang diukur adalah kortisol plasma pada dermatitis orang dewasa. Ada
perbedaan antara kortisol plasma dan saliva.
Level stres dari penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya tentang hubungan stres
dengan kekambuhan dermatitis atopik. Beltrani (1999) mengungkapkan sekitar 81% dermatitis atopik
akibat stres emotional. Asadi and Usman (2001) melaporkan 50 % sampai 60 % dari penyakit ini
dicetuskan oleh faktor stres psikologis. Kodama et al (1999) mengamati peranan stres sebagai
pencetus dermatitis atopik, dari penduduk yang mengalami gempa bumi di Jepang, ternyata 63 % dari
pasien dermatitis atopik terjadi kekambuhan setelah mengalami kerusakan berat akibat gempa dan
hanya 19 % dari pasien yang tidak mengalami kerusakan akibat gempa, dengan rasio odd cukup tinggi
2,98. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (1996) yang mengatakan 68 % pasien
dermatitis atopik menghadapi stresor psikis dari ringan sampai berat. Seiffert et al, (2005) dalam
penelitiannya mendapatkan pasien dermatitis atopik secara bermakna mengalami kecemasan, depresi
dan gangguan emosi dibandinngkan yang tidak menderita dermatitis atopik.

Korelasi antara Level Stres dengan Norepinefrin dan IL-4


Untuk mengetahui korelasi antara level stres dengan norepinefrin pada dermatitis atopik dilakukan
analisis korelasi. Hasilnya, adanya korelasi negatif antara level stres dengan norepinefrin pada
dermatitis atopik dengan koefisien korelasi (r) = 0,489, ini beratri adanya korelasi positif.

Level Stres
r p
Norepinefrin 0,489 0,001
IL-4 0,398 0,001

Untuk mengetahui hubungan secara kwantitatif dilakukan analisis regresi linier untuk mendapatkan
koefisien regresi maka estimasi hubungan tersebut seperti berikut ; norepinefrin = 52,01 + 9,68 level
stres, berarti setiap kenaikan 1 unit level stres akan disertai peningkatan 0,53 kali unit norepinefrin.
Visualisasinya dapat dilihat pada gambar 1.

5
 
   
160.0 Linear Regression

    Indek Stres = 52.01 + 9.68* Norepi
  R-Square =0.24
 
     

 
120.0
LevelStres

   

      

   
80.0


    


    

   



  
 
40.0

 

 
 

2.00 4.00 6.00 8.00

Norepinefrin

Gambar 1. Scatter plot hubungan Level Stres dengan norepinefrin

Uji korelasi antara level stres dengan IL-4 pada dermatitis atopik didapatkan korelasi positif antara
level stres dengan IL-4 pada dermatitis atopik dengan koefisien korelasi (r) = 0,398. Untuk
mengetahui hubungan secara kwantitatif dilakukan analisis regresi linier untuk mendapatkan koefisien
regresi dengan estimasi sebagai berikut; IL-4 = 36,30 + 13,40 level stres, ini berarti setiap kenaikan 1
unit level stres akan disertai peningkatan 13 kali unit IL-4. Visualisasinya dapat dilihat pada gambar
2.

 
   
160.0 Linear Regression
 
   
 
        Indek Stres = 36.30 + 13.40 * IL4
 R-Square =0.16

 
120.0
Level Stres

   

  
  

    
80.0

  
   

 
    

 
   

   
40.0 
  
   

2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

IL-4

Gambar 2. Scatter plot hubungan kortisol dengan IL-4

6
Penelitian-penelitian peran kortisol dalam menghambat IL-4 pada manusia masih sangat terbatas,
namun beberapa studi yang sama dapat dipakai sebagai rujukan dalam kajian teoritis. Benedetti et al
(2003) dalam penelitiannya mendapatkan glukokortikoid dapat menghambat efek anti-tumor dari IL-
4, demikian juga Sewell et al (1998), glukokortikoid dapat menghambat ekspresi IL-4 dan IL-5 pada
sel mast.21 Disimpulkan bahwa glukokortikoid menghambat sel Th2.
Dua dekade terakhir ini telah diketahui bahwa norepinefrin memiliki efek terhadap keseimbangan Th1
dan Th2 melalui reseptor beta adrnergik yang ada di permukaan sel T maupun sel imun lainnya. Pada
keadaan stresor akan terjadi peningkatan kortisol dan norepinefrin, kedua hormon ini mempunyai efek
yang berbeda terhadap sistem imun, dalam keadaan normal berada dalam keseimbangan.
Hubungan dermatitis atopik dan sistem saraf otonom telah diteliti oleh Crespi et al (1982),
penelitiannya terhadap anak-anak dengan dermatitis atopik dan penyakit atopi lainnya mendapatkan
peningkatan epinefrin, norepinefrin dan dopamin saliva dan urin setelah subyek yang distimulasi
dengan furusemide. Peneliti menyimpulkan adanya dugaan terjadi gangguan respon dari beta-
adrenergic pada penyakit atopi.19 Penelitian sebelumnya, Giannetti (1980) menyatakan bahwa adanya
blokade reseptor beta-adrenergic yang mempengaruhi maturasi, diferensiasi dan fungsi dari sel T
pada dermatitis atopik.20 Demikian juga Ionescu & Kiehl (1988) meneliti beberapa kadar hormon stres
seperti norepinefrin, epinefrin dan dopamin pada pasien dermatitis atopik yang berat, ternyata
norepinefrin pada dermatitis atopik (401,3 + 164,5 pg/ml) lebih tinggi secara bermakna dari pada
kontrol (174,3 + 55,8 pg/ml) dengan p<0,005, hormon adrenalin dan dopamin tidak berbeda secara
bermakna. Hasil yang sama juga dilakukan oleh Rupprechet et al (1997) melakukan penelitian pada
14 dermatitis atopik dan kontrol orang sehat bahwa pada pasien atopik termasuk juga dermatitis
atopik menunjukkan kadar norepinefrin (270,3 pg/ml) lebih tinggi secara statistik dibandingkan
dengan kontrol (211,0 pg/ml). Demikian juga kadar kortisol pada dermatitis sebesar 16,43 + 5,3 ug/dl
dan pada kontrol 15,56 + 6,7 ug/dl, perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik dan tidak
dilakukan analisis hubungannya dengan kadar kortisol.21
Norepinefrin dan kortisol sangat berpengaruh terhadap regulasi Th1/Th2, pada penyakit atopik
termasuk dermatitis atopik. Norepinefrin meningkatkan aktivitas sel Th2, norepinefrin secara
langsung dapat berikatan dengan sel penyaji antigen (APC) melalui reseptor beta-2 adrenergic untuk
menstimuli sintesis IL-10, interleukin ini akan mempengaruhi proliferasi dan maturasi sel Th2 untuk
menghasilkan IL-4.6 Pada keadaan normal, kortisol secara langsung dapat menghambat sel Th2,
sehingga terjadi penghambatan peran sel Th2, di tingkat saraf pusat, kortisol juga menekan sintesis
norepinefrin, sehingga rendahnya kortisol akan lebih meningkatkan norepinefrin. Sebagai hasil akhir
akan terjadi meningkatkan produksi sitokin IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10, sitokin ini meningkatkan
respon reaksi hipersensitivitas tipe I, dengan meningkatnya sensitivitas terhadap alergen lingkungan,
salah satu manifestasinya adalah dermatitis atopik atau penyakit atopik lainnya. Atas dasar teori ini
dapat menjelaskan bahwa seseorang menghadapi stresor akan lebih mudah terjadi dermatitis
atopik.19,21
Interleukin-4, sebelumnya disebut B Cell stimulating factor-1 (BSF-1), disintesis oleh sel T,
sel Mast dan juga sel B CD5 +. Sitokin ini memegang peran penting dalam proses class-switching
imunoglobulin menjadi IgG-1 dan IgE. Fungsi utama IL-4 adalah sebagai regulator respon imun yang
diperantarai oleh IgE, meningkatkan ekspresi MHC klas II dan reseptor IgE, hal ini akan
meningkatkan sensitivitas terhadap alergen.6,22
Sampai saat ini, paradigma mengenai IL-4, bahwa sistesis IL-4 ini sebagai akibat adanya rangsangan
antigen lingkungan terhadap sel penyaji antigen, kemudian disajikan kepada sel Th0, sehingga sel
Th0 berdifrensiasi menjadi Th2 dengan mesistesis sitokin tipe II, termasuk IL-4. Kortisol dapat
menekan aktivitas sel mast melalui penekanan terhadap produksi IL-4 dan ekspresi ICAM-1,
demikian juga penghambatan terhadap IL-4 terjadi akibat penghambatan ekspresi gen IL-4 melalui
peningkatan kalsium intraseluler dan aktivitas calcineurin.23 Pada dasarnya stresor menyebabkan
hormon kortisol dan norepinefrin meningkat, namun peningkatan norepinefrin jauh lebih tinggi
daripada kortisol. Kedua hormon tersebut mempunyai negative feedback. Banyak peneliti berasumsi

7
terjadi hiporesponsivitas respon sumbu HPA terhadap stresor, namun tidak ada informasi tentang
gangguan topis dari sumbu HPA tersebut, apakah ditingkat hipothalamus, hipofise atau di korteks
adrenal? Hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
SIMPULAN
Dari dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa level stres pada dermatitis atopik
lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan yang tidak menderita dermatitis atopik. Level stres
berhubungan positif dengan kadar norepinefrin dan IL-4 plasma.

DAFTA R PUSTAKA
1. Leung DYM, Eicheenfield LF and Bogunieicz. 2008. Atopic Dermatitis. In Wolff K. et al. Eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. McGraw Hill. 7th Ed. New York: 146-158.
2. Leung DYM, Eicheenfield LF and Bogunieicz. 2008. Atopic Dermatitis. In Wolff K. et al. Eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. McGraw Hill. 7th Ed. New York: 146-158.
3. Bieber T. 2008. Mechanism of Disease Atopic Dermatitis. NEJM; 358[14]: 1483-1494.
4. Hanifin JM, and Rajka G. 1986. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta Derm Venereol ; 92: 44-47.
5. Necela BM, and Cidlowski. 2004. Mechanism of Glucocorticoid Receptor Action in Noninflammatory and
Inflammatory Cells. The Proceedings of the American Thoracic Society; 1: 239-246.
6. Elenkov IJ, and Chrousos GP. 2002. Stress Hormones, Proinflammatory and Anti-inflammatory Cytokines,
and Autoimmunity. Ann. N.Y. Acad. Sci ; 966: 290-303.
7. Visser J, Boxel-Dezare A, and Methorst D. 1998. Differential Regulation of Interleukin-10 and IL-12 by
Glucocorticoid In Vitro. Blood ; 91(11): 4255-4264.
8. Sewell WA, Scurr LL, Orphanides H, Kinder S and Ludowyke RI. 1998. Induction of IL-4 and IL-5
Expression in Mast Cell Is Inhibited by Glucocorticoid. Clinical and Diagnosis Laboratory Immunology;
5(1): 18-23
9. Lenders JW, 1995; Golczynska A, and Goldstein DS. 1995. Glucocorticoids, Sympathetic activity, and
presynaptic alpha 2-adrenoceptor Function in Human. J Clin Endocrinol Metab.; 80(6): 1804-1808.
10. Dhabhar FS and McEwen BS. 2001. Bidirectional Effects of Stress and Glucocorticoid Hormones on
Immune Function: Possible Explanations for Paradoxical Observation. In Ader R et al. eds.
Psychoneuroimmunology 3rd Academic Press Sandiego. 301-338
11. Szentivanyi A, Heim O, Schultze P and Szetivanyi J. 1980. Adrenoceptor Binding Stuies with
Dihydroalprenolol and Dihydroergocryptine on Membranes of Lymphocytes from patients with Atopic
Disease. Acta Dermatovener (Stockholm) Suppl. 92: 19-21
12. Ionescu G, and Kiehl R. 1988. High Palasma Levels of Noradrenaline in Severe Atopic Dermatitis.
Zeitscrift fur Hautkrankheiten ; 64(11): 1036-1037
13. Buske-Kirschbaum A, Jobst S, Wustmans A, Kirschbaum C, Rauh W and Hellammer D. 1997. Attenuated
Free Cortisol Response to Psychosocial Stress in Children with Atopic Dermatitis. Psychosomatic Medicine
59 : 419 – 426.
14. Asadi AK, and Usman A. 2001. The Role of Psychological Stress in Skin Disease. J of Cutaneous Med and
Surgery. (online)
15. Kodama A, Horikawa T, Suzuki T, Ajiki W, Takhasima T, Harada S, and Ichihasi M. 1999. Effect of stress
on atopic dermatitis : investigation in patients after the great Hanshin earthquake. J Allergy Clin Immunol ;
104(1): 173-176.
16. Tarigan J. 1996. Hubungan Antara Gangguan Cemas dengan Dermatitis Atopik Pada Pasien Yang Berobat
Jalan Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Cipto Mangunkusumo. Jiwa. Indon Psychiat Quart ; XXIX(2):
39-46.
17. Crepsi H, Armando I, Tumilasci O, Levin G, Massimo J, Barontini M, and Perec C. 1982. Catecholamines
levels and parotid secretion in children with atopic dermatitis. J Invest Dermatol; 78(6): 493-497. (Abst)
18. Giannetti A. 1980. Beta-Adrenergic Blockade in Atopic Dermatitis. Evidence of An Abnormality of T-
lymphocyte Beta-receptors. Acta-Dermatovener. (Stockholm) Suppl. 92: 25.
19. Ionescu G, and Kiehl R. 1988. High Palasma Levels of Noradrenaline in Severe Atopic Dermatitis.
Zeitscrift fur Hautkrankheiten ; 64(11): 1036-1037
20. Hashizume et al. 2005. Anxiety Accelerated T-Helper2-Tilted Immune Responses in Patients with Atopic
Dermatitis. Br J. Dermatol; 152(6): 1161-1164.
21. Agarwal SK. and Marshall GD. 2001. Stress Effects on Immunity and Its Application to Clinical
Immunology. Clinical and Experimental Allergy; 31: 25-31
22 Wright et al. 2005. The impact of stress on the development and expression of atopy. Curr Opin Allergy
Clin immunol 5:23–29.

8
9

You might also like