You are on page 1of 40

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada

waktunya.

Penulisan makalah yang berjudul “Masalah Pengangguran di Indonesia” ini, bertujuan

untuk mengetahui pengaruh dan dampak dari pengangguran terhadap masyarakat Indonesia pada

umumnya.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan

kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari

Bapak dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi, serta berbagai bantuan dari berbagai pihak,

akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis

sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk

mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.

Jatinangor, Januari 2008


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat kondisi

ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak

pernah mencapai 7-8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan

pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga

ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu

orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4 persen, tentunya hanya akan menyerap

1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga,

setiap tahun pasti ada sisa pencari kerja yang tidak memperoleh pekerjaan dan menimbulkan

jumlah pengangguran.di.Indonesia.bertambah.

Bayangkan, pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta. Selanjutnya,

pada 1999 (6,03 juta), 2000 (5,81 juta), 2001 (8,005 juta), 2002 (9,13 juta) dan 2003 (11,35 juta).

Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan, pada 2001: usia kerja (144,033

juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka

(8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah penganggur sukarela (24,422

juta);
pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja (100,779 juta), penduduk yang kerja (91,647

juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah penganggur terpaksa (28,869 juta), setengah

penganggur sukarela tidak diketahui jumlah pastinya. Hingga tahun 2002 saja telah banyak

pengangguran, apalagi di tahun 2003 hingga 2007 pasti jumlah penggangguran semakin

bertambah dan mengakibatkan kacaunya stabilitas perkembangan ekonomi Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis
mengambil rumusan masalah sebagai berikut

1. Apa pengertian definisi pengangguran

2. Apa yang menjadi masalah pengangguran di indonesia

3. Bagaimana keadaan pengangguran di Indonesia

4. Bagaimana keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja

5. Pengangguran mengakibatkan kemiskinan

6. Apa dampak pengangguran di indonesia terhadap pertumbuhan asean

7. Apa janji realisasi Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi
pengangguran
8. Sajian data pengangguran di indonesia

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membuat makalah yang berjudul ”Masalah Pengangguran
di Indonesia” adalah sebagai berikut:

1. Mengetahu Definisi Pengangguran

2. Mengetahui apa yang menjadi masalah pengangguran di Indonesia.


3. Mengetahui keadaan pengangguran d Indonesia

4. Mengetahui keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja

5. Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari pengangguran.

6. Mengetahui dampak pengangguran di Indonesia terhadap pertumbuhan asean

7. Merealisasikan Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi

pengangguran
8. Mengetahui data – data tentang pengangguran.
D. Metode Pengumpulan Data

Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi

aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah

tersebut dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan

data, yang pertama browsing di Internet, kedua dengan membaca media cetak dan dengan

pengetahuan yang penulis miliki.

E. Sistematika Penulisan
Makalah ”Masalah Pengangguran di Indonesia ini disusun dengan urutan
sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan

Pada bab ini ditemukan pembahasan yang terdiri dari definisi pengangguran, apa
masalah pengangguran di indonesia, bagaimana keadaan pengangguran di indonesia, bagaimana
keadaan angkatan kerja dan keadaan kesempatan kerja, kenapa pengangguran mengakibatkan
kemiskinan, apa dampak pengangguran di indonesia terhadap pertumbuhan asean, apa realisasi
industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, serta penyajian data
pengangguran di indonesia.
Bab III Penutup
Bab terakhir ini memuat kesimpulan dan solusi terhadap masalah
pengangguran di Indonesia.
Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang penulis
gunakan untuk pembuatan makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pengangguran

Definisi pengangguran secara teknis adalah semua orang dalam referensi waktu tertentu,

yaitu pada usia angkatan kerja yang tidak bekerja, baik dalam arti mendapatkan upah atau

bekerja mandiri, kemudian mencari pekerjaan, dalam arti mempunyai kegiatan aktif dalam

mencari kerja tersebut. Selain definisi di atas masih banyak istilah arti definisi pengangguran

diantaranya:

Definisi pengangguran menurut Sadono Sukirno


Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam
angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya
Definisi pengangguran menurut Payman J. Simanjuntak

Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja berusia angkatan kerja yang tidak bekerja sama

sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pencacahan dan berusaha

memperoleh pekerjaan.

Definisi pengangguran berdasarkan istilah umum dari pusat dan latihan tenaga
kerja

Pengangguran adalah orang yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang


menghasilkan uang meskipun dapat dan mampu melakukan kerja.
Definisi pengangguran menurut Menakertrans

Pengangguran adalah ornag yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan suatu

usaha baru, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
B. Masalah Pengangguran di Indonesia

Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari

kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha

mendapatkan pekerjaan.

Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding

dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi

masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan

pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan

masalah- masalah sosial lainnya.

Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah

pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen

Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran

konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan.

Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk

terhadap penganggur dan keluarganya.

Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik,

keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat

jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran

terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit,

dilakukan oleh lebih banyak orang.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup

memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar,

pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah

pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang

ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong

peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka

panjang.

Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi


merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban

keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan

sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.

Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas sumber daya

manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja,

sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan

penghasilan yang tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan

pendidikan anggota keluarganya.


Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada

sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan dan perluasan

kesempatan kerja. Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri

perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses, pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat

suku bunga kecil yang mendukung.

Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan

perluasan kesempatan kerja.

Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP), Mengingat


70 persen penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan

penanganan khusus secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan


kesempatan kerja khusus bagi kaum muda oleh semua pihak.

Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan Gerakan Nasional Penanggulangan

Pengangguran (GNPP) dengan mengerahkan semua unsur- unsur dan potensi di tingkat nasional

dan daerah untuk menyusun kebijakan dan strategi serta melaksanakan program penanggulangan

pengangguran. Salah satu tolok ukur kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan

dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah pengangguran.

Gerakan tersebut dicanangkan dalam satu Deklarasi GNPP yang diadakan di Jakarta 29

Juni 2004. Lima orang tokoh dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perwakilan

pengusaha, perwakilan perguruan tinggi, menandatangani deklarasi tersebut, merekaadalah

Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal; Walikota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung H. Zulkarnaen Karim; Palgunadi; T. Setyawan,ABAC; pengusaha; DR. J.P. Sitanggang,

UPN Veteran Jakarta; Bambang Ismawan, Bina Swadaya, LSM; mereka adalah sebagian kecil

dari para tokoh yang memandang masalah ketenagakerjaan di Indonesia harus segera

ditanggulangi oleh segenap komponen bangsa.

Menurut para deklarator tersebut, bahwa GNPP ini dimaksudkan untuk membangun

kepekaan dan kepedulian seluruh aparatur dari pusat ke daerah, serta masyarakat seluruhnya

untuk berupaya mengatasi pengangguran.

Dalam deklarasi itu ditegaskan, bahwa untuk itu, sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, sebaiknya segera dibentuk Badan Koordinasi Perluasan

Kesempatan Kerja.

Kesadaran dan dukungan sebagaimana diwujudkan dalam kesepakatan GNPP tersebut,

menunjukan suatu kepedulian dari segenap komponen bangsa terhadap masalah ketenagakerjaan,

utamanya upaya penanggulangan pengangguran. Menyadari bahwa upaya penciptaan

kesempatan kerja itu bukan semata fungsi dan tanggung jawab Depatemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, akan tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, pihak pemerintah baik pusat

maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan. Oleh karena itu, dalam penyusunan

kebijakan dan program masing-masing pihak, baik pemerintah maupun swasta harus dikaitkan

dengan penciptaan kesempatan kerja yang seluas-luasnya.

Sementara itu dalam Raker dengan Komisi VII DPR-RI 11 Februari 2004 yang lalu,

Menakertrans Jacob Nuwa Wea dalam penjelasannya juga berkesempatan memaparkan konsepsi
penanggulangan pengangguran di Indonesia, meliputi keadaan pengangguran dan setengah

pengangguran; keadaan angkatan kerja; dan keadaan kesempatan kerja; serta sasaran yang akan

dicapai. Dalam konteks ini kiranya paparan tersebut masih relevan untuk diinformasikan.

Dalam salah satu bagian paparannya Menteri menyebutkan, bahwa


pembukaan UUD 1945 mengamanatkan: “… untuk membentuk suatu

Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan

bangsa …”. Selanjutnya secara lebih konkrit pada Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa : ” tiap-

tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ” dan

pada Pasal 28 D ayat (2) menyatakan bahwa:” Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat

imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal ini berarti, bahwa secara

konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan pekerjaan dalam jumlah yang

cukup, produktif dan remuneratif.. Kedua Pasal UUD 1945 ini perlu menjadi perhatian bahwa

upaya-upaya penanganan pengangguran yang telah dilaksanakan selama ini masih belum

memenuhi harapan, serta mendorong segera dapat dirumuskan Konsepsi Penanggulangan

Pengangguran.

Selanjutnya Menakertrans menyatakan, Depnakertrans dengan mengikut sertakan pihak-pihak

terkait sedang menyusun konsepsi penanggulangan pengangguran. Dalam proses penyusunan ini

telah dilakukan beberapa kali pembahasan di lingkungan Depnakertrans sendiri, dengan Tripartit

secara terbatas (Apindo dan beberapa Serikat Pekerja); dan juga pembahasan dengan beberapa

Departemen dan Bappenas. ” Memperhatikan kompleksnya permasalahan pengangguran,


disadari bahwa penyusunan konsepsi tersebut masih perlu didiskusikan dan dikembangkan lebih

lanjut dengan berbagai pihak yang lebih luas, antara lain sangat dibutuhkan masukan dan

dukungan sepenuhnya dari Anggotra DPR-RI yang terhormat khususnya Komisi VII; masih

memerlukan waktu dan dukungan biaya sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan suatu

Konsepsi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia yang didukung oleh seluruh komponen

masyarakat”, tutur Menteri Jacob Nuwa Wea.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pertumbuhan

ekonomi 6 persen, yang berlangsung selama enam bulan sejak triwulan IV tahun 2004 hingga

triwulan I tahun 2005, sebagai pertumbuhan tidak berkualitas karena tak mampu menekan

pengangguran yang malah naik 10,3 persen.

Pertumbuhan ekonomi itu dinilai semu karena kesejahteraan masyarakat tidak semakin

membaik. Hal itu tercermin dari munculnya kasus busung lapar di beberapa lokasi.

Direktur Utama Indef M Fadhil Hasan mengungkapkan hal tersebut saat memublikasikan

Kajian Tengah Tahun 2005 di Jakarta, Rabu (3/8). ”Ini merupakan anomali dalam perekonomian

Indonesia,” ungkap Fadhil menjelaskan.

Menurut dia, pertumbuhan semu itu terjadi karena kontribusi penggerak ekonomi pada

periode tersebut lebih disebabkan oleh berlangsungnya penurunan impor sehingga ekspor bersih

Indonesia seolah-olah membaik. Pada triwulan I 2005 nilai impor menurun sebesar 0,49 persen

dibandingkan dengan impor triwulan IV tahun 2004.


”Selain itu, pertumbuhan ini tidak terjadi pada sektor yang menyerap tenaga kerja dalam

jumlah besar, seperti pertanian, industri manufaktur, dan sektor bangunan. Indeks Tendensi

Bisnis menurun ke level pesimistis dari 113,5 di triwulan IV 2004 menjadi 98,93 pada triwulan I

2005,” kata Fadhil.

Sementara itu, Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester I 2005

memperkirakan defisit APBN-P 2005 membengkak menjadi satu persen terhadap produk

domestik bruto (PDB) atau Rp 26,2 triliun. Itu berarti Rp 5,85 triliun lebih tinggi dari target

APBN-P 2005 sebesar Rp 20,33 triliun atau 0,8 persen terhadap PDB.

Defisit itu terjadi karena selisih antara realisasi keuangan pemerintah Semester I dan

perkiraan Semester II 2005. Pemerintah memperkirakan pendapatan negara dan hibah akan

mencapai Rp 516,03 triliun atau lima persen lebih tinggi dari target APBN-P 2005 senilai Rp

491,59 triliun. Sementara belanja negara diperkirakan Rp 542,2 triliun atau 5,9 persen di atas

target yang ditetapkan APBN-P 2005.

C. Keadaan Pengangguran di Indonesia

Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang

tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan

pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja

Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang

disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis
ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan

dalam proses ekspor impor, dll.

Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur

terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia

penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat

sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi

seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Masalah lainnya adalah

jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per

minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang

bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang

mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan

setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.

Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI)

memprediksi bahwa jumlahpengangguran tahun ini akan meningkat menjadi 11,833 juta orang.

Angka tersebut belum termasuk eks tenagakerja Indonesia (TKI) yang kembali ke Tanah Air dari

Malaysia dan pengangguran akibat bencana tsunami di Aceh.

"Angka ini berbeda dengan yang dikeluarkan pemerintah yang menyatakan

pengangguran pada 2005 sekitar 9,9juta orang," kata Koordinator P2E LIPI, Wijaya Adi, kepada

wartawan di Jakarta kemarin.Menurut Wijaya, tingginya angka pengangguran terkait dengan

fenomena yang muncul pada masa krisis, yaitupertumbuhan ekonomi ditopang oleh
pertumbuhan konsumsi. Padahal konsumsi tidak memberikan pengaruh kepada penyerapan

tenaga kerja. Bila sebelum krisis kenaikan pertumbuhan ekonomi 1 persen mampu menyerap 400

ribu tenaga kerja, sekarang hanya menyerap 250 ribu tenaga kerja.

Padahal dalam setahun, menurut dia, tambahan angkatan kerja mencapai 2,5 juta orang

atau 12,5 juta orang selama lima tahun. Dengan target pertumbuhan ekonomi 2005 sebesar 5,5

persen, tenaga kerja yang dapat diserap hanya 1,375 juta orang. "Tambahan pengangguran pada

2005 akan berkisar pada angka 1,125 juta orang," ujarnya. "Ditambah stok penganggur pada

tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan jumlah penganggur pada 2005 akan berkisar 11,833 juta

orang."

Penelitian LIPI tersebut belum memperhitungkan pengangguran pascatsunami di Aceh.

Akibat bencana ini, boleh jadi angka pengangguran di Indonesia akan lebih besar. Sebab,

menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), ada 600 ribu pengangguran pascabencana

tersebut. ILO memperkirakan, tingkat pengangguran di provinsi-provinsi yang terkena dampak

bencana ini

diperkirakan 30 persen atau lebih, meningkat drastis dari tingkat 6,8 persen di provinsi-provinsi

tersebut sebelum tertimpa bencana (Koran Tempo, 24/1). Wijaya membenarkan bila

memperhitungkan eks TKI dan pascatsunami, angka pengangguran bisa lebih besar lagi.

"Perkiraan saya ada tambahan pengangguran sekitar 500 ribu orang," tuturnya.

Di sisi lain, ia menjelaskan, masalah ketenagakerjaan menjadi semakin pelik karena

setiap tahun upah buruh diwajibkan naik. Padahal penentuan upah buruh tidak dikaitkan secara
langsung dengan produktivitas tenaga kerja. Dalam batas tertentu, kata dia, hal itu akan

menyebabkan biaya produksi meningkat dan pada gilirannya akan mempengaruhi daya saing.

Padahal di berbagai negara pesaing Indonesia, seperti Vietnam, upah buruh relatif lebih rendah

dengan produktivitas tenaga kerja lebih tinggi atau sama. Menurut dia, jika persoalan ini tidak

diselesaikan, konflik antara pengusaha dan tenaga kerja akan tetap berlanjut."Dalam jangka

panjang hal ini akan merugikan," katanya, "sebab salah satu pertimbangan hengkangnya investor

ke luar negeri berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan.

D. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja

Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya

dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar

100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh

angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang

hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan

kerja.di.Indonesia.kualitasnya.masih.rendah.

Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran

tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah

sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian,

yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari

kesempatan

kerja
yang
tersedia
tersebut
berstatus

informal.

Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke

bawah. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang tersedia adalah bagi golongan

berpendidikan rendah.

Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia

mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak.

Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja rendah.

E. Pengangguran Mengakibatkan Kemiskinan

Tanggal 17 Oktober lalu komunitas global baru saja merayakan hari anti kemiskinan se-

dunia. Akan tetapi di negeri ini, kemiskinan adalah simbol sosial yang nyaris absolut dan tak

terpecahkan. Sejak masa kolonial hingga saat ini

predikat negeri miskin seakan sulit lepas dari bangsa yang potensi kandungan kekayaan alamnya

terkenal melimpah. Cerita pilu kemiskinan seakan kian lengkap dengan terjadinya berbagai

musibah alam dan bencana buatan: gempa bumi, tsunami, lumpur panas Lapindo, dan kebakaran

hutan yang diikuti kabut asap. Kantung-kantung kemiskinan di negeri ini kian hari kian

menyebar bak virus ganas, mulai dari lapis masyarakat pedesaan, kaum urban perkotaan,

penganggur, hingga ke kampung-kampung nelayan.


Lepas dari perdebatan indikator yang digunakan, data kemiskinan di negeri ini terus

menunjukkan trend memburuk. Jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 17 persen dari

populasi penduduk yang kini telah mencapai angka 220 juta jiwa. Menurut data resmi Susenas

(BPS, 2006), jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 juta jiwa (15,97 persen) menjadi

29,05 juta jiwa (17,75 persen). Sementara jumlah penganggur menurut data Sakernas (BPS,

2006) juga terus meningkat dari 10,9 juta jiwa (10,3 persen) pada Februari 2005 menjadi 11,1

juta jiwa (10,4 persen) pada Februari 2006.

Padahal, perang melawan kemiskinan sudah ditabuh sejak lama di negeri ini. Di era Orde

Baru, misalnya, pemerintah menggalang berbagai sarana dan cara untuk mengatasi kemiskinan.

Pembangunan fisik digenjot di berbagai bidang, pertumbuhan ekonomi menjadi fokus perhatian,

investasi asing digalakkan, berbagai jenis skema kredit investasi kecil dan kredit modal kerja

digelar, bahkan utang luar negeri pun ditempuh sebagai alternatif untuk menopang idea of

progress bernama pembangunan. Akan tetapi, karena

keberpihakan ideologis pemerintah tak jelas, hasil pembangunan ala Orde Baru itu tak bisa

sepenuhnya bisa dirasakan rakyat lapis bawah. Yang terjadi, seluruh angka-angka keberhasilan

pembangunan yang digarap secara intens selama 30 tahun itu, rontok tersapu krisis ekonomi dan

gejolak politik tahun 1998.

Meski pemerintahan terus berganti, kemiskinan tetap saja menjadi virus endemis yang

terus mendera rakyat. Secara empirik, data pemerintah menunjukkan, 70 persen rakyat kita

menggantungkan sumber penghidupannya dari sektor ekonomi mikro berbasis sumber daya alam
terbarukan. Di sektor pertanian, petani kita telah sejak lama mengembangkan tanaman pangan,

holtikultura, perkebunan, dan peternakan. Di sektor kelautan dan perikanan, nelayan kita

sanggup mengembangkan perikanan budi daya, perikanan tangkap, industri bioteknologi

kelautan, dan non-conventional ocean resources. Sementara di sektor kehutanan, masyarakat kita

mampu mengoptimalkan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman industri, dan agroforestry.

Pada level teknis, data tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 23 persen anggaran

pembangunan pemerintah yang tergunakan. Akibatnya, dana pembangunan yang berjumlah lebih

dari Rp 50 triliun parkir di Bank Indonesia. Sementara di bank pembangunan daerah (pengelola

dana pemerintah daerah), lebih dari Rp 40 triliun juga parkir dalam bentuk Sertifikat Bank

Indonesia (SBI). Dana “menganggur” ini semestinya bisa digunakan untuk membantu percepatan

pertumbuhan sektor riil agar mampu menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.

Pada level global, Indonesia juga telah masuk dalam kategori negara yang paling gagal

dalam pencapaian target-target Millenium Development Goals (MDGs), sebuah komitmen global

yang ikut ditandatangani pemerintah Indonesia guna mengatasi masalah kemiskinan akut.

Padahal, kucuran dana yang datang dari World Bank, IMF, ADB, CGI, dan donor bilateral (baik

dalam bentuk hibah maupun utang) yang mengatasnamakan penanggulangan kemiskinan

mencapi angka puluhan milyar dolar. Di sini, komitmen melawan kemiskinan menjadi patut

dipertanyakan.

Contoh nyata melawan kemiskinan sebenarnya telah terbentang di depan mata. Pada aras

global, gerakan masyarakat sipil anti globalisasi-neoliberal (sejak Seattle, Cancun, Hongkong,
hingga Singapura) terus menyerukan ”Global Call to Action Against Poverty”. Mereka dengan

gamblang menunjukkan berbagai metode dan aksi-aksi politik nyata guna melawan sumber-

sumber kemiskinan. Juga Ikhtiar seorang Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian 2006,

yang mendesain model ”Bank Grameen” (dan fungsi intermediasi)-nya sebagai solusi efektif

memerangi kemiskinan di Bangladesh, sejatinya bisa menjadi sumber inspirasi mutakhir bagi

kita dalam melawan kemiskinan.

Masalahnya sekarang, apakah para elite, politisi, dan birokat kita punya keberpihakan

ideologis untuk melawan kemiskinan? Adakah komitmen tegas dari para penentu kebijakan

negara untuk memberantas KKN secara radikal? Jika negara tak sanggup menyatakan perang

terhadap kemiskinan, gagal dalam memerangi korupsi, dan tetap malas melaksanakan agenda

reformasi sebaga

perintah konstitusi, maka kemiskinan bangsa—yang di masa kolonial pernah


disebut ”nation van Koelis”—mungkin akan menjadi simbol abadi negeri ini.
F. Dampak Pengangguran Di Indonesia Terhadap Pertumbuhan Asean

Presiden menyatakan, besarnya tingkat pengangguran di Indonesia merupakan masalah

ketenagakerjaan yang paling mengkhawatirkan di kawasan ASEAN, karena itu Presiden

mengajak ASEAN menyimak lebih dekat kepada persoalan ketenagakerjaan. "Pengangguran tak

hanya menampilkan masalah ekonomi tetapi juga membawa dampak luas di bidang sosial,

keamanan dan politik yang pada gilirannya menimbulkan gangguan, stabilitas nasional dan

akhirnya menjadi ketegangan dalam hubungan antarbangsa-bangsa di kawasan ini," katanya saat

membuka pertemuan ke-17 Menteri Tenaga kerja ASEAN di Mataram, NTB, Kamis (8/5).

Pertemuan internasional pertama di Mataram sejak terjadinya tragedi bom Bali itu diikuti seluruh
negara ASEAN, yakni tujuh menteri tenaga kerja, satu menteri negara, dan dua deputy menteri.

Selain itu juga diikuti tiga wakil menteri dari negara mitra dialog dari China, Jepang, dan Korea

Selatan termasuk dari perwakilan Organisasi Buruh Internasional, serta dari Sekretariat Jenderal

ASEAN. Presiden menyebutkan pengangguran di Indonesia hingga akhir tahun 2001 mencapai

angka 8,1 persen. Bila itu yang menjadi tolok ukur, maka angka itu paling menyimpan

kekhawatiran di kawasan ASEAN. "Angka tersebut lebih tinggi bila dibanding dengan realisasi

pertumbuhan ekonomi serta kemampuan kami dalam mengundang investasi," katanya. Dalam

konteks ASEAN, meluasnya situasi seperti itu jelas sangat mengkhawatirkan dan
sungguh memerlukan kewaspadaan.

Dari sudut pandang tersebut Kepala Negara mengajak para menteri tenaga kerja ASEAN

untuk menyimak lebih dekat persoalan ketenagakerjaan di kawasan ASEAN. Presiden

memahami pemulihan ekonomi yang besar peranannya dalam penciptaan lapangan kerja akan

sangat berkaitan dengan kebijakan di banyak aspek, seperti fiskal, investasi, pembiayaan dan

perbankan, hukum dan keamanan. Sejak lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, kata Megawati, para

pendahulu ASEAN telah bekerja keras membangun dasar-dasar kerjasama dan solidaritas

bangsa-bangsa di kawasan ini, dengan keyakinan bahwa hanya dengan stabilitas politik dan

keamanan di kawasan masing- masing dapat membangun kehidupan yang sejahtera dan maju.

Dengan perkembangan dan kemajuan yang dialami saat ini, bangsa- bangsa dan negara

ASEAN telah semakin berubah menjadi masyarakat besar yang kian terbuka. Sekecil apa pun

perkembangan negatif yang terjadi di suatu negara akan menjalar dan memberi pengaruh

terhadap bangsa-bangsa lainnya di kawasan. Presiden menggambarkan di Indonesia bahwa


pemerintahannya baru saja selesai memperbaiki pengaturan mengenai perlindungan dan

kesejahteraan tenaga kerja terutama soal pengupahan, jaminan sosial, PHK ataupun mekanisme

tripartit dan lain-lainnya dalam rangka penyeimbangan

antara
hak
dan
kewajiban
tenaga
kerja
dan
pemberi
kerja.

Presiden juga memberikan gambaran tentang ragam dan tingkat kesulitan yang harus

diatasi hampir oleh setiap negara anggota ASEAN dalam lima tahun terakhir ini. Menurut

Presiden, ada yang telah selesai menormalisasi keadaan dan mulai bangkit lagi, ada yang sudah

pada tahap akhir pemulihan, tetapi ada juga yang masih harus bergulat dengan banyak persoalan

baik yang lama ataupun yang belakangan timbul sebagai dampak dari persoalan itu sendiri.

"Akhir-akhir ini jerih payah tadi malah mulai tampak memudar atau malah tertimbun oleh

kesulitan baru yang bersumber dari ancaman terorisme ataupun wabah penyakit,” kata

Megawati. Pertemuan Menaker ke-17 tersebut akan berlangsung hingga 9 Mei 2003.Indonesia

sebelumnya pernah menjadi tuan rumah untuk pertemuan serupa yang pertama dan yang ketujuh.

Sedangkan pertemuan ke-16 tahun 2002 berlangsung di Laos, dan pertemuan ke 18 tahun 2004

direncanakan berlangsung di Brunei, tetapi belum diputuskan.

Pengangguran di Indonesia sudah menjadi ancaman di ASEAN mengingat kontribusi

Indonesia pada angka pengangguran di kawasan Asia Tenggara itu sudah mencapai 60 persen.
Wakil Sekjen Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ,

Haryono Darudono, di Medan, Jumat, mengatakan, tingginya pengangguran menunjukkan

Indonesia tidak menarik bagi investor sebagai tempat investasi yang berakibat pada tidak

berjalannya sektor riil.

Menurut dia, tidak menariknya Indonesia sebagai tempat investasi karena dipicu banyak

hal mulai dari infrastruktur yang tidak memadai hingga birokrasi perizinan.yang.masih.berbelit.

"Bagaimana investor baru mau masuk atau pengusaha mengembangkan investasinya

kalau listrik dan gas sulit didapat seperti saat ini," katanya di sela-

sela.rapat.tahunan.Apindo.Sumut.

Dia tidak merinci data pengangguran di Asean, tapi di Indonesia disebutkan sekitar 40

jutaan bahkan lebih karena tahun ini jumlahnya semakin bertambah menyusul banyaknya

industri yang melakukan PHK menyusul kesulitan.gas.dan.listrik.

"Pemerintah diharapkan melakukan tindakan nyata untuk mengtasi angka pengangguran

itu karena pengangguran itu berdampak luas seperti kepada

tingginya.tingkatan.kriminilitas,"katanya.

Sekretaris Umum DPD Apindo Sumut, Laksamana Adiyaksa, mengatakan di Sumut,

tahun ini PHK terjadi pada ribuan tenaga kerja menyusul krisis listrik dan gas yang masih

berlanjut. PHK, katanya terbesar terjadi pada industri sarungtangan karet dan keramik yang

memang menggunakan atau memerlukan gas dalam volume yang besar


G. Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga Kerja dan Mengurangi
Pengangguran

Masa jaya Nusantara di bawah pemerintahan Sriwijaya dan Majapahit mencatat

perekonomian dan industri yang berpusat pada kekayaan alam, yakni pertanian dan laut. Selepas

lima abad, muncullah Republik Indonesia dengan mimpi besar membangun industri maju, tetapi

melupakan kemakmuran petani dan nelayan. Perbagai peninggalan candi sebagai bukti kejayaan

bangsa berikut reliefnya, seperti simbol Yoni-Lingga, adalah pertanda kemajuan dan

kemakmuran masyarakat yang berbasis agraria. Demikian pula gambaran "Kapal Borobudur"

yang menggambarkan keakraban masyarakat Indonesia masa lampau dengan lautan luas.

Sesungguhnya, kembali pada jati diri lewat pengembangan industri berbasis lokal, yakni

pertanian dan kelautan, adalah jawaban mutlak untuk menyerap tenaga kerja yang melimpah

sekaligus menyelamatkan perekonomian nasional.

Kondisi riil membuktikan bahwa industri teknologi tinggi dikuasai negara maju,

sedangkan industri teknologi rendah (low technology intensity) dikuasai China, Vietnam, dan

negeri jiran lain yang baru berkembang. Praktis, menghadapi persaingan yang tidak seimbang

itu, Indonesia harus melakukan renaisans (renaissance) atau gerakan kembali ke industri mula-

mula di negeri ini, yakni sektor pertanian dan kelautan. Selanjutnya barulah industri lainnya

berkembang, tetapi terkait atau berangkat dari pengembangan kedua sektor tersebut. Pengamat

ekonomi, Faisal Basri, menegaskan, dengan mencermati sejarah masa silam tersebut,

tentudeportasi massal ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia tidak perlu terjadi.

"Keberadaan TKI adalah ekses dari kegagalan kebijakan lompatan industri. Tanpa memiliki
basis industri intensitas rendah yang kuat, kita langsung memaksakan diri bermain di sektor

intensitas teknologi tinggi, seperti pembuatan pesawat. Alhasil, semuanya gagal dan telanjur

menciptakan angkatan kerja yang meninggalkan kehidupan agraria dan nelayan, tetapi tidak

terserap dalam pasar kerja di perkotaan. Mereka ini adalah korban kebijakan pembangunan yang

kini dikenal sebagai TKI," Faisal menjelaskan.

Dunia industri Indonesia dewasa ini menjadi potret kegagalan industrialisasi, seperti terjadi

di China pada dekade 1960-an akibat kebijakan lompatan jauh ke depan ala Mao Ze Dong. Alih-

alih mengikuti proses alamiah perkembangan industri dari skala teknologi rendah, teknologi

menengah, hingga teknologi tinggi, Indonesia memaksakan diri "melompat" dari industri teknologi

rendah ke teknologi tinggi semasa BJ Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi.

Ketika itu, Malaysia dan Thailand konsisten mempelajari agrobisnis di Indonesia serta

mengembangkannya untuk membangun perekonomian mereka. Saat sama, Indonesia sempat

mengalami surplus pangan, tetapi selanjutnya

lebih asyik membuat industri pesawat terbang yang bahkan tidak dilakukan oleh Jepang. Hal

serupa dialami Korea Selatan pada periode 1970-an akibat blunder kebijakan industrialisasi oleh

Park Chung-Hee dalam periode tersebut. Menurut Faisal Basri, hanya industri baja saja yang

dapat dikatakan berhasil ketika itu.

Namun, pemimpin Korea Selatan cepat menyadari kesalahan dan cepat kembali

mengikuti logika sehat dalam mengembangkan industri dengan kembali ke titik awal, yakni
mengukuhkan sektor pertanian- kelautan sebelummenapaki industri teknologi menengah dan

teknologi tinggi.

Mereka berangkat dari pemikiran logis, yakni mengembangkan sektor padat karya,

menghasilkan devisa, dan mendorong industri berbasis sumber daya alam (resource-based

industry). Kebijakan tersebut sangat berdasar karena sektor pertanian dan perikanan serta budi

daya laut bersifat padat karya (labour intensive). Perlahan tetapi pasti, Korea Selatan

berkembang menjadi raksasa ekonomi. Skema tersebut mampu menyerap tenaga kerja dan

menghasilkan devisa untuk membayar utang luar negeri, kemudian mengembangkan industri ke

skala intensitas menengah hingga teknologi tinggi.

Dewasa ini, seiring perkembangan ke industri teknologi canggih, Korea Selatan

meninggalkan industri seperti tekstil untuk produksi massal dan usaha jenis tersebut melakukan

relokasi ke China dan Vietnam. Hal tersebut merupakan sebuah prestasi mengingat berdasar

kondisi riil, daerah yang

sebetulnya potensial untuk industri adalah Korea Utara, sedangkan wilayah


Korea Selatan adalah sentra pertanian.

Namun, di Indonesia terjadi paradoks. Di saat terjadi fenomena teori modernisasi berupa

peralihan dari pertanian ke sektor industri dan jasa, justru terjadi gerakan kembali ke desa akibat

menyusutnya lapangan kerja di perkotaan. Akan tetapi, tenaga kerja ini juga tidak terserap akibat

rendahnya produktivitas industri pertanian. Akibatnya, tenaga kerja tersebut berakhir sebagai

buruh migran di negeri jiran.


Salah satu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit membenarkan

perlunya menata industri pertanian. Akan tetapi, dia menekankan, industri manufaktur harus

tetap mendapat perhatian. Pasalnya, sektor industri yang masih tersisa ini juga harus

diselamatkan karena semakin terpuruk akibat persaingan dan terlebih lagi tekanan produk

perundang-undangan pemerintah di tingkat pusat serta daerah.

Kondisi riil saat ini ada persoalan mendasar yang menghambat upaya menggerakkan

sektor manufaktur, yakni tingginya biaya yang bersumber dari aturan-aturan mengenai

perburuhan. Pelbagai peraturan yang ada justru semakin memberatkan dunia usaha. Padahal,

pihak pengusaha tengah berusaha mempertahankan pekerja tetap berada di sektor formal

Peraturan yang justru semakin memberatkan pengusaha dan buruh itu misalnya aturan

mengenai pesangon yang terlalu besar dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Seharusnya, lanjut

Anton Supit, terjadi perpindahan pekerja informal ke sektor formal dalam kondisi normal.

Apalagi jumlah tenaga kerja informal di Indonesia menurut Organisasi Buruh Internasional

(ILO) telah mencapai 68-70 persen dari angkatan kerja. Kondisi ini pada akhirnya mendorong

pengusaha menghindari memiliki karyawan tetap. Mereka cenderung menggunakan sistem

kontrak yang memang tidak memberi jaminan kelangsungan kerja bagi buruh. Faisal Basri

membenarkan pendapat tersebut. Menurut dia, beratnya komponen pajak dan peraturan

ketenagakerjaan semakin menghambat sisa-sisa industri manufaktur di Indonesia. Sebagai

contoh, untuk memecat tenaga kerja akan memunculkan biaya yang sangat tinggi bagi

pengusaha. Kebijakan perpajakan juga turut menyudutkan dunia usaha, misalnya pajak yang

harus ditanggung pabrik olahan mete jauh lebih besar dibandingkan eksportir mete mentah.
Meski demikian, Anton Supit merasa optimistis dunia usaha di Indonesia masih akan

berkembang. Pasalnya, kondisi adanya pasar, kompetensi, dan harga sebetulnya tetap dapat

dipenuhi oleh sektor manufaktur. Direktur Tenaga Kerja dan Analisa Ekonomi Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Widianto menanggapi situasi tersebut

dengan mengupayakan skema perundingan bipartit pekerja-pengusaha. Langkah

tersebut lebih efektif untuk mengatasi persoalan labour regulation cost sehingga
dunia usaha dapat diselamatkan.

Di lain pihak, kebijakan industri juga terus diarahkan untuk menyerap angkatan kerja

secara maksimal. Sasaran utamanya yakni menekan penganggur hingga 5,1 persen dari total

angkatan kerja pada tahun 2009. Akan tetapi, Faisal Basri bersikap pesimistis karena menilai

pemerintah tidak serius dalam menangani industri pertanian dan kelautan, seperti terlihat dalam

Infrastructure Summit awal tahun ini. Pembahasan tentang infrastruktur yang dilakukan ternyata

tidak menyentuh langsung atau menunjang sektor pertanian dan kelautan. Yang menjadi

perhatian adalah pembangkit listrik, jalan tol, dan pelbagai proyek mercusuar lain. Proyek yang

diusulkan ternyata tidak kompatibel dengan sumber persoalan, yakni membangun sektor

pertanian dan kelautan. Usulan proyek yang ada justru mendukung proyek dan pabrik besar

tanpa menyentuh jejaring infrastruktur pertanian serta kelautan.

Faisal Basri menambahkan, salah satu penyebab kebijakan yang tidak menyentuh

persoalan adalah perilaku para politisi yang sebagian besar bukanlah negarawan. Mereka hanya

memikirkan kepentingan sesaat dengan menyetujui atau mendukung proyek yang hasilnya dapat

terlihat semasa jabatan mereka tanpa memikirkan kesinambungan sebuah kebijakan. Apalagi
membangun industri dasar seperti pertanian dan kelautan merupakan pekerjaan jangka panjang

dalam dua atau tiga dasawarsa, seperti dialami Thailand dan Malaysia.

Padahal, jika para politisi jeli, lahan untuk mencari dukungan suara terbesar ada di sektor

pertanian dan kelautan. Namun, ketidakpekaan para elite atas pembangunan dunia pertanian atau

kelautan terlihat jelas dari pos jabatan menteri di sektor pertanian, ketenagakerjaan ataupun

usaha kecil dan menengah yang tidak dipegang oleh partai berkuasa. Posisi tersebut dianggap

pos "kering" dibandingkan dengan, misalnya, jabatan menteri keuangan.

Sebagai contoh, semasa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, hanya pos menteri

tenaga kerja yang diisi oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Saat ini, tidak ada

posisi menteri dari tiga sektor tersebut yang

dijabat oleh kader Partai Demokrat! Pengalaman sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit

tampaknya menjadi jawaban persoalan penyerapantenaga kerja dan TKI. Bukankah istilah

gemah ripah loh jinawi sempat dialami waktu itu ketika pertanian dan laut menjadi sumber hidup

negeri ini.

Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja

bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau

setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya. Diharapkan

ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi

secara optimal untuk memerangi pengangguran.


H. Data Pengangguran di Indonesia
1. Angka Pengangguran Terbuka di Indonesia

Salah satu jenis pengangguran yang bisa diukur dengan data Sakernas adalah

pengangguran terbuka dan setengah pengangguran. Kali ini Penulis ingin mencoba membuat

analisa sederhana dengan data terbaru yaitu Sakernas 2006 (Februari). Pengangguran terbuka

artinya orang yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan, sedang mempersiapkan usaha,

sudah punya pekerjaan tapi belum dimulai, dan orang yang merasa tidak mungkin mendapat

pekerjaan. Dalam analisa ini juga akan disinggung tentang gender, umur dan wilayah

(kota/desa).

2. Angka Pengangguran Menurut Umur

Pengangguran di Indonesia sudah mencapai 11 juta (usia 15 tahun keatas) dan 8.5 juta-

nya penduduk usia 15-29 tahun. Seperti pada Histogram 1 di atas, menunjukan angka

pengangguran terbuka (%) menurut umur (15 tahun ke atas, 15-29 tahun dan 30-49 tahun).
Terlihat jelas bahwa pengangguran terbuka banyak terjadi di usia remaja 15 sampai 29 tahun

(23%). Di usia tersebut banyak sekali lulusan sekolah yang ingin mendapatkan pekerjaan, dari

yang baru lulus SMP, SMU maupun perguruan tinggi termasuk yang tidak sekolah. Sangat

masuk akal jika hal ini terjadi. Sedangkan untuk usia 30-49 tahun, jumlah penganggurannya

tidak terlalu tinggi (hanya4%). Angka pengangguran terbuka penduduk usia lebih dari 15 tahun

ke atas sekitar10.4%. Jika kita lihat, ternyata kaum perempuan-lah yang banyak sebagai

penganggur terbuka, sekitar27.6% (usia 15-29 th) atau13.7% (usia di atas 15 tahun). Hal-hal

yang menyebabkan fenomena ini antara lain masih adanya diskriminasi gender, jenis pekerjaan

yang tersedia kebanyakan untuk laki-laki. Hal-hal tersebut masih perlu dianalisa lebih lanjut.

3. Angka Pengangguran Menurut Perkotaan atau Pedesaan

Kita semua sudah tahu bahwa sebagian besar pekerjaan tersedia lebih banyak di

perkotaan di pedesaan, sekaligus pekerjaan di perkotaan menjajikan lebih banyak pendapatan.

Inilah yang menyebabkan pencari kerja berbondong-


bondong ke perkotaan yang berakibat angka pengangguran terbuka di kota lebih
besar (13.3%) dibandingkan pedesaan (8.4%)
Histogram 2 menunjukan analisa di atas, selain itu yang menarik lagi
perempuan penganggur usia 15 tahun lebih di pedesaan hampir sama
dengan penganggur laki-laki di kota (waluapun nilainya lebih sedikit
dibanding perempuan penganggur di kota). Ini yang mungkin patut dicermati
oleh pemerintah yang ingin mengurangi pengangguran. Penciptaan
lapangan pekerjaan tidak hanya dilakukan di perkotaan, pedesaan-pun
butuh kegiatan- kegiatan yang mendatangkan pendapatan. Terutama
lapangan pekerjaan yang

bisa memperdayakan perempuan yang ingin bekerja dan penghapusan


deskriminasi gender di bidang pekerjaan.
Catatan: Sumber data berasal dari data mentah SAKERNAS BPS Februari 2006 dan diolah
kembali sesuai
kebutuhan tulisan ini
4. Tabel Tingkat Pengangguran di Indonesia
Tabel 1. Pengangguran menurut umur di Indonesia
Golongan Umur
Laki-Laki (ribuan)
Perempuan (ribuan) Jumlah (ribuan)
15 - 24
2,712
2,071
4,783
25 - 34
3,171
3,350
6,521
35 - 44
3,047
3,542
6,589
45 - 54
2,631
2,577
5,208
55 +
3,251
2,115
5,367
Jumlah
14,812
13,655
28,467
Sumber : Sakernas, DPR 2003 (Usman, 2004)
Tabel 2. Penganggur terbuka menurut kategori pengangguran
Kategori Pengangguran Laki-Laki (ribuan)
Perempuan (ribuan)
Jumlah (ribuan)
Mencari Pekerjaan
3,171
2,452
5,623
Mempersiapkan Usaha
49
65
114
Merasa Tidak Mungkin
Mendapat Pekerjaan
1,417
1,665
3,082
Sudah Bekerja tapi
Belum Mulai Bekerja
291
421
712
Jumlah
4,928
4,603
9,531
Sumber : Sakernas, DPR 2003 (Usman, 2004)
Tabel 3. Pengangguran di Indonesia secara makro menurut pendidikan
Pendidikan
Laki-Laki (ribuan)
Perempuan (ribuan)
Jumlah (ribuan)
< SD
9,847
10,240
20,087
SMTP
2,809
1,951
4,761
SMTA
1,687
1,016
2,703
Diploma/Akademi
197
217
413
Universitas
272
232
504
Jumlah
14,812
13,655
28,467
Sumber : Sakernas, DPR 2003 (Usman, 2004)
Tabel 4. Total penganguran di Indonesia
Tahun
Penduduk
Penganggur
1999
179 juta jiwa
5,37 juta
2005
223 juta jiwa
11,15 juta
2020 (perkiraaan)
254 juta jiwa
20,3 juta
Sumber : Sakernas, DPR 2003 (Usman, 2004)
5. Peringkat Negara Berdasarkan Tingkat Pengangguran
BAB III
PENUTUP
A. Kesmipulan

Pengangguran di Indonesia kondisinya saat ini sangat memprihatnkan, banyak sekali

terdapat pengangguran di mana-mana. Penyebab pengangguran di ndonesia ialah terdapat pada

masalah sumber daya manusia itu sendiri dan tentunya keterbatasan lapangan pekerjaan.

Indonesia menempati urutan ke 133 dalam hal tingkat pengangguran di dunia, semakin rendah

peringkatnya maka semakin banyak pulah jumlah pengangguran yang terdapat di Negara

tersebut. Untuk mengatasi masalah pengangguran ini pemerintah telah membuat suatu program

untuk menampung para pengangguran. Selain mengharapkan bantuan dari pemerintah sebaiknya

kita secara pribadi juga harus berusaha memperbaik

kualitas sumber daya kita agar tidak menjadi seornag pengangguran dan
menjadi beban pemerintah.
B. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia

Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penggangur

(underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa

ini dan ke depan. Sepuluh juta penganggur terbuka berarti sekitar separo dari penduduk

Malaysia.

Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak

sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar

biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa
dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan

berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya.

Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih

baik dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan

bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan

berbagai upaya.

Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah


persoalan muara. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teor

disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional,

komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun muara.Sebagai solusi

pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat

ditempuh sebagai berikut. Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi

kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan

partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran

menjadi komitmen nasional.

Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus).

Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro

ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang

melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam

keputusan rapat- rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada
penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan

pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.

Selalin itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam

beberapa poin.Perta ma, pengembanganmindset dan wawasan penganggur, berangkat dari

kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering

tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap

pribad

sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih

baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.

Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke

depan, berani mengambil tantangan serta mempunyaimindset yang benar. Itu merupakan

tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini

dan di masa-masa mendatang.

Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita

untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional

dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional

melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu

Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya


yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan

komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun

tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial).

Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin


kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian
Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosia

Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai

devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia

akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan

lembaga itu dapat disusun dengan baik.

Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu

banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA),

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun

berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang

pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.

Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan

masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang

tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan

bahan non-organik yang dapat didaur ulang.


Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan

kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan

untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan

menciptakan lapangan kerja.

Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional.

Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara

profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan

lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras

(hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah

lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.

Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri.

Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-

tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan

Daerah.

Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan

aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa

Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD- PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi

dengan lembaga pelatihan (Training

Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat


banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri
tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem
pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sanga
menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya
dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial

(PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap

penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu

dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru

sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.

Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan kompleks sehingga hal itu perlu dicegah

dengan berbagai cara terutama penyempurnaan berbagai kebijakan.

Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian

besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi

kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang

produktif dan remuneratif.

Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja

bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau

setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya. Diharapkan

ke depan kebijakan

ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara


optimal untuk memerangi pengangguran.
ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara
optimal untuk memerangi pengangguran.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.andisite.com, 2007

http://www.datastatistik-indonesia.com, 2007

http://www.dephan.go.id, 2007

http://www.google.co.id, 2007

http://id.wikipedia.co.id, 2007

http://www.instruments.worldpress.com, 2007

http://www.suarapembaruan.com, 2007

http://www.tempointeraktif.com, 2007

You might also like