You are on page 1of 123

KEBERADAAN PASAR TRADISIONAL WAGE

WADASLINTANG SEBAGAI PUSAT KEGIATAN


EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT
WADASLINTANG, KABUPATEN WONOSOBO
TAHUN 1998-2005

SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh
Ifah Chasanah
NIM 3101403038

FAKULTAS ILMU SOSIAL


JURUSAN SEJARAH
2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang Panitia
Ujian Skripsi pada :
Hari : Jum’at
Tanggal : 13 Juli 2007

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Rr. Sri Wahyu S, M. Hum


Dra. Ufi Saraswati, M. Hum NIP. 132 010 313
NIP. 131 876 209

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Semarang pada :
Hari :
Tanggal :

Penguji Skripsi

Drs. Im Jimmy De Rossal, M.Pd


NIP. 131 475 607

Anggota I Anggota II

Dra. Ufi Saraswati, M. Hum Dra. Rr. Sri Wahyu S, M. Hum


NIP. 131 876 209 NIP. 132 010 313

Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Drs. H. Sunardi, M. M
NIP. 130 367 998

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juli 2007

Ifah Chasanah
NIM. 3101403038

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Hidup yang berlebih-lebihan adalah sebuah ketenangan yang terrenggut. Kebutuhan yang
melampaui batas adalah beban yang memberatkan. Menahan diri dalam kecukupan lebih baik
dari pada berlebih-lebihan” (Dr.’Aidh Al Qarni)

“Sabar dalam menghadapi musibah itu sulit tapi hilangnya kesabaran itu lebih sulit

akibatnya” (Ali bin Abi Thalib)

“Jangan menganggap kritik sebagai permusuhan, ambillah hikmahnya karena kita lebih
membutuhkan perbaikan daripada pujian” (penulis)

Dengan rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi ini

saya persembahkan untuk :

1. Bapak dan ibu tercinta yang tak henti-

hentinya memberikan doa, dukungan dan kasih

sayangnya.

2. Adik-adikku tercinta atas kasih sayang dan

doanya.

3. Rudy Rustandy, atas perhatian dan

dukungannya.

4. Alm. Hj. Isroni dan Keluarga Besar atas

dukungan, kasih sayang dan bantuannya.

5. Galuh, Zam, Yudhi, Ayu dan teman-teman di

Prodi Pendidikan Sejarah’03.

6. Almamater Universitas Negeri Semarang.

v
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk mencapai

gelar Sarjana Sosial di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Keberhasilan penulis dalam menyusun skripsi ini atas bantuan dan

dorongan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini dengan

kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri

Semarang yang telah memberikan kesempatan sehingga penulis dapat

menyelesaikan Studi Strata 1 pada Universitas Negeri Semarang.

2. Drs. H. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial yang telah

memberikan ijin penelitian.

3. Drs. Jayusman, M.Hum, Ketua jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial

yang telah memberikan kesempatan Penulis untuk menyelesaikan

skripsi.

4. Dra. Ufi Saraswati, M.Hum, Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan ide, pengarahan, bimbingan, dan saran pada penulis.

5. Dra. Rr. Sri Wahyu Sarjanawati, M.Hum, Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan petunjuk, bimbingan, dan saran pada penulis.

6. Drs. Im Jimmy De Rossal, M.Pd, Dosen Penguji yang telah

memberikan petunjuk dan saran pada penulis.

vi
7. Bapak/ Ibu Dosen di jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial yang telah

memberikan ilmu dan bimbingan pada Penulis sehingga dapat

menyelesaikan studi.

8. Ahmad Muhadjir, B.A, Kepala Kelurahan Wadaslintang yang telah

memberikan ijin melakukan penelitian kepada penulis di Pasar

Wadaslintang Kelurahan Wadaslintang.

9. Sumardi, S.E, Kepala UPT. Pasar Kaliwiro/ Wadaslintang yang telah

memberikan ijin penelitian di Pasar Wadaslintang serta membantu

dalam memberikan informasi.

10. Bapak, Ibu, dan adik-adikku tercinta yang telah memberikan doa,

kasih sayang dan dukungan pada penulis.

11. Rudy Rustandy, makasih untuk bantuan, dukungan, dan perhatian.

12. Ari dan Wayenk, makasih atas bantuannya. Galuh, Zaman dan Chupu

buat persahabatan yang terlalu indah. Teman-teman Kost (anik, mbak

awang, ani) thank udah nemenin aku tiap malam.

13. Para informan dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan

Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak

kekurangannya maka saran dan kritik senantiasa penulis harapkan dan

semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Semarang, Juli 2007

Penulis

vii
SARI

Ifah Chasanah. 2007. Keberadaan Pasar Tradisional Wage Wadaslintang


sebagai Pusat Kegiatan Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Wadaslintang,
Kabupaten Wonosobo Tahun 1998-2005. Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial.
Universitas Negeri Semarang. 135 halaman

Kata Kunci : Pasar, Ekonomi, Sosial Budaya


Pasar Tradisional Wage Wadaslintang merupakan pasar yang masih
menerapkan sistem klasifikasi pancawara yang dikaitkan dengan konsep panatur
desa. Pasar ini berada di daerah yang jauh dari kota kabupaten namun
keberadaannya masih tetap bertahan ditengah-tengah masyarakat. Pasar
Wadaslintang mempunyai status Pasar Daerah yang berbeda dengan pasar-pasar
desa lainnya di Kecamatan Wadaslintang yang masih berstatus pasar desa.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:(1)Bagaimana
sejarah Pasar Tradisional Wage Wadaslintang di Kelurahan Wadaslintang?,(2)
Bagaimana kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Wadaslintang tahun
1998-2005?,(3)Bagaimana pengaruh keberadaan Pasar Tradisional Wage
Wadaslintang terhadap kegiatan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
Wadaslintang tahun 1998-2005?. Penelitian ini bertujuan:(1)Untuk mengetahui
sejarah Pasar Tradisional Wage Wadaslintang,(2)Untuk mengetahui kondisi
ekonomi, sosial dan budaya Masyarakat Wadaslintang tahun 1998-2005,(3)Untuk
mengetahui pengaruh keberadaan Pasar Tradisional Wage Wadaslintang terhadap
kegiatan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Wadaslintang tahun 1998-2005.
Metode yang dipakai untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini
adalah metode sejarah, yang meliputi empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber,
interpretasi dan historiografi. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan
teknik observasi, wawancara dan studi pustaka.
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa tujuan pembangunan pasar ini
untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang sangat sulit pada waktu itu yaitu
pada pemerintahan Glondong Sastro Sukarno. Keberadaan Pasar Wage
Wadaslintang di Kelurahan Wadaslintang telah membawa perubahan terhadap
kehidupan ekonomi dan sosial budaya masyarakat sekitarnya. Pasar tidak hanya
berperan sebagai tempat bertemunya antara penjual dan pembeli tetapi pasar juga
sebagai tempat bertemunya budaya yang dibawa oleh setiap mereka yang
memanfaatkan pasar. Pasar juga berperan di bidang sosial budaya yaitu sebagai
tempat interaksi, komunikasi dan informasi serta tempat keramaian dan hiburan
sehingga terjadi pembauran dan pembaharuan.
Pengaruh keberadaan Pasar Wage Wadaslintang terhadap kehidupan
masyarakat sekitarnya cukup luas. Pembaharuan yang berkaitan dengan ekonomi
sangat tampak. Wadaslintang sebagai penghasil kelapa membawa pengaruh bagi
petani untuk memproduksi gula Jawa sehingga meningkatkan pendapatan. Pasar
telah mengubah masyarakat menjadi konsumtif dan suka meniru. Nilai-nilai
kegotong royongan yang dilandasi hubungan timbal balik telah mengalami
perubahan dan hubungan ketetanggaan lebih bersifat hubungan kerja semata.
Motif-motif sosial telah menghilang dan digantikan dengan motif ekonomi.

viii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................ iii

PERNYATAAN.................................................................................................. iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................ v

PRAKATA ......................................................................................................... vi

SARI ................................................................................................................... viii

DAFTAR ISI....................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 9

E. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................. 9

F. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 11

G. Metode Penelitian .......................................................................... 18

H. Sistematika Penulisan ................................................................... 27

BAB II SEJARAH PASAR TRADISIONAL WAGE WADASLINTANG

ix
A. Pengertian Pasar ............................................................................ 29

1. Latar Belakang Pasar................................................................ 29

2. Jenis Pasar ................................................................................ 31

B. Komponen Pasar ........................................................................... 33

1. Rotasi Pasar.............................................................................. 33

2. Jenis Pedagang ......................................................................... 45

3. Arus Barang dan Jasa .............................................................. 48

a. Barang Produksi Dalam Pasar............................................ 49

b. Penjual Jasa ........................................................................ 49

c. Mekanisme Pengatur Arus Barang dan Jasa ...................... 50

C. Sejarah Pembangunan dan Perkembangan Pasar Tradisional


Wage Wadaslintang ....................................................................... 53

1. Sejarah Berdirinya Pasar Wadaslintang ................................... 53

2. Perkembangan Pasar Wadaslintang Tahun 1998-2005............ 60

BAB III KEHIDUPAN EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA


MASYARAKAT WADASLINTANG TAHUN 1998-2005

A. Kondisi Geografis Kelurahan Wadaslintang ................................. 66

B. Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Wadaslintang . 69

1. Kehidupan Ekonomi.................................................... ............ 69

a. Sistem Produksi.................................................................. 72

1) Bidang Pertanian .......................................................... 74

2) Bidang Peternakan ....................................................... 77

3) Bidang Perikanan ........................................................ 77

4) Bidang Industri ............................................................ 78

x
b. Sistem Distribusi ................................................................ 78

c. Sistem Konsumsi ............................................................... 81

2. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Wadaslintang...............84

a. Interaksi Sosial ................................................................... 87

b. Informasi dan Komunikasi................................................. 93

c. Hiburan .............................................................................. 96

BAB IV PENGARUH PASAR TRADISIONAL WAGE WADASLINTANG


BAGI MASYARAKAT WADASLINTANG

A. Pengaruh Pasar Terhadap Kehidupan Ekonomi............................. 99

1. Produksi ................................................................................... 99

2. Konsumsi ................................................................................. 102

3. Distribusi .................................................................................. 103

B. Pengaruh Pasar Terhadap Kehidupan Sosial Budaya ................... 104

1. Pengaruh di Bidang Sosial ....................................................... 104

2. Pengaruh di Bidang Kebudayaan ............................................ 107

BAB V SIMPULAN ........................................................................................... 115

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 118

LAMPIRAN........................................................................................................ 121

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya sudah berlangsung sejak

manusia itu ada. Salah satu kegiatan manusia dalam usaha memenuhi

kebutuhan tersebut adalah memerlukan adanya pasar sebagai sarana

pendukungnya. Pasar merupakan kegiatan ekonomi yang termasuk salah satu

perwujudan adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Hal ini didasari atau

didorong oleh faktor perkembangan ekonomi yang pada awalnya hanya

bersumber pada problem untuk memenuhi kebutuhan hidup (kebutuhan pokok).

Manusia sebagai makhluk sosial dalam perkembangannya juga menghadapi

kebutuhan sosial untuk mencapai kepuasan atas kekuasaan, kekayaan dan

martabat.

Pasar adalah tempat dimana terjadi interaksi antara penjual dan pembeli

(Chourmain, 1994 : 231). Pasar merupakan pusat dan ciri pokok dari jalinan

tukar-menukar yang menyatukan seluruh kehidupan ekonomi (Belshaw, 1981

:98). Pasar di dalamnya terdapat tiga unsur, yaitu: penjual, pembeli dan barang

atau jasa yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan. Pertemuan antara penjual

dan pembeli menimbulkan transaksi jual-beli, akan tetapi bukan berarti bahwa

setiap orang yang masuk ke pasar akan membeli barang, ada yang datang ke

pasar hanya sekedar main saja atau ingin berjumpa dengan seseorang guna

mendapatkan informasi tentang sesuatu (Majid, 1988: 308).

1
2

Pembahasan mengenai pasar tidak bisa dipisahkan dari pola yang terjadi

di Jawa pada umumnya. Kelompok-kelompok orang Jawa yang dominan

berdagang di pasar adalah pedagang ikan kering (ikan asin) dari Semarang,

pengrajin perhiasan emas dari Kota Gede, pedagang batik dari Solo dan

pedagang tembakau dari Magelang dan Madura (Hefner, 2000 : 285).

Pasar secara harfiah berarti tempat berkumpul antara penjual dan pembeli

untuk tukar menukar barang, atau jual beli barang. Pasar dalam konsep urban

Jawa adalah kejadian yang berulang secara ritmik dimana transaksi sendiri

bukan merupakan hal yang utama, melainkan interaksi sosial dan ekonomi yang

dianggap lebih utama (Saraswati, 2000 : 141).

Pada masyarakat Jawa dikenal konsep panatur desa. Konsep panatur

desa ini dikaitkan dengan sistem klasifikasi hari-hari pasar yang lima atau

pancawara1, yaitu Manis/Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon. Satu rotasi yang

lamanya lima hari pada masyarakat Jawa sekarang disebut sepasar (Nastiti,

2003 : 54-55).

Pasar desa hanya terselenggara pada hari tertentu menurut konsep panatur

desa yang kemudian dikenal dengan konsep macapat, yaitu satu desa dikelilingi

oleh empat desa yang terletak di arah empat penjuru mata angin. Ikatan macapat

desa-desa di Jawa menjadi struktur, desa penyelenggara akan menjadi puser

(pusat) terhadap empat desa lainnya (Saraswati, 2000: 141). Menurut Nastiti

(2003:54) konsep macapat merupakan tanda rasa kerukunan sebuah desa

dengan keempat desa tetangga yang letaknya kira-kira di arah keempat mata
1
Pancawara adalah nama dari sebuah pekan atau minggu yamg terdiri dari lima hari, dalam
budaya Jawa dan Bali. Pancawara juga disebut sebagai hari pasaran dalam bahasa Jawa. Dalam
sistem penanggalan Jawa dan Bali terdapat 2 macam siklus waktu yaitu mingguan dan pasaran.
3

angin. Rasa kerukunan antar desa-desa kemudian meluas lebih jauh letaknya.

Konsep macapat tidak hanya sekedar tanda kerukunan saja, akan tetapi

berhubungan juga dengan masalah-masalah yang terdapat di daerah pemukiman

yang bersifat agraris. Misalnya masalah-masalah yang berhubungan dengan

pengairan sawah, keamanan dan sebagainya yang perlu diatasi dengan

membentuk semacam kumpulan diantara desa-desa yang bertetangga. Jadi

pasar tradisional atau dikenal dengan nama pasar desa di Jawa hanya

terselenggara sehari secara bergiliran begitu pula dengan Pasar Tradisional

Wage Wadaslintang yang terselenggara pada hari pasaran Wage dan dikelilingi

desa-desa lainnya di kecamatan Wadaslintang.

Pasar merupakan pranata penting dalam kegiatan ekonomi dan kehidupan

masyarakat. Pasar sudah dikenal sejak masa Jawa Kuno yaitu sebagai tempat

berlangsungnya transaksi jual beli atau tukar menukar barang yang telah teratur

dan terorganisasi. Hal ini berarti pada masa Jawa Kuno telah ada pasar sebagai

suatu sistem (Nastiti, 2003:13).

Pasar sebagai sistem maksudnya adalah pasar yang mempunyai suatu

kesatuan dari komponen-komponen yang mempunyai fungsi untuk mendukung

fungsi secara keseluruhan, atau dapat pula diartikan pasar yang telah

memperlihatkan aspek-aspek perdagangan yang erat kaitannya dengan kegiatan

jual-beli, misalnya adanya lokasi atau tempat, adanya ketentuan pajak bagi para

pedagang, adanya pelbagai macam jenis komoditi yang diperdagangkan, adanya

proses produksi, distribusi, transaksi dan adanya suatu jaringan transportasi

serta adanya alat tukar.


4

Menurut Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-IX

Masehi dikatakan bahwa (2003 : 60) :

“Timbulnya pasar tidak lepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat


setempat. Kelebihan produksi setelah kebutuhan sendiri terpenuhi
memerlukan tempat pengaliran untuk dijual. Selain itu pemenuhan
kebutuhan akan barang-barang, memerlukan tempat yang praktis untuk
mendapatkan barang-barang baik dengan menukar atau membeli. Adanya
kebutuhan-kebutuhan inilah yang mendorong munculnya tempat
berdagang yang disebut pasar”.

Alasan inilah yang melatar belakangi manusia membutuhkan “pasar”

sebagai tempat untuk memperoleh barang atau jasa yang diperlukan tetapi

tidak mungkin dihasilkan sendiri. Keberadaan pasar dapat dianggap sebagai

pusat perekonomian.

Pengertian tradisional menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah

bersifat turun temurun. Jadi dapat disimpulkan bahwa Pasar tradisional

berkaitan dengan suatu tradisi2. Kata tradisi dalam percakapan sehari-hari

sering dikaitkan dengan pengertian kuno atau sesuatu yang bersifat luhur

sebagai warisan nenek moyang. Tradisi pada intinya menunjukkan bahwa

hidupnya suatu masyarakat senantiasa didukung oleh tradisi, namun tradisi itu

bukanlah statis. Arti paling dasar dari kata tradisi yang berasal dari kata tradium

adalah sesuatu yang diberikan atau diteruskan dari masa lalu ke masa kini

(Sedyawati, 1992 : 181).

Berbicara mengenai tradisi pada dasarnya tidak lepas dari pengertian

kebudayaan, karena tradisi sebenarnya merupakan bagian isi kebudayaan.

Karakter suatu kebudayaan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan alam.

2
Tradisi adalah segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran,dsb) yang turun
temurun dari nenek moyang dan masih dijalankan di masyarakat (Poerwadarminta. 2002 :959)
5

Hal ini dapat dimengerti mengingat kebudayan pada dasarnya merupakan hasil

budi manusia dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan guna

mempertahankan hidupnya dari tantangan alam (Subroto, 1985 : 7).

Manusia dalam kehidupannya tidak terlepas dari kebudayaannya, dimana

kebudayaan yang dipunyai oleh manusia merupakan jembatan antara hubungan

kegiatan manusia dengan lingkungannya. Kebudayaan merupakan alat kontrol

bagi kelakuan dan tindakan manusia.

Pengertian kebudayaan yang lebih detail menurut Parsudi Suparlan

adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk

sosial yang isinya adalah perangkat model-model pengetahuan yang secara

selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterprestasikan

lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong serta menciptakan tindakan

yang diperlukan (Widiyanto,1997 : 47).

Menurut Koentjaraningrat (2002: 5) kebudayaan mempunyai tiga wujud:

pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,

norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, kebudayaan sebagai suatu

kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud

kebudayaan yang ketiga adalah sebagai benda-benda hasil karya manusia. Jadi

dengan adanya pasar maka akan terjadi perubahan nilai, gagasan, norma,

kepercayaan dan aktivitas berpola dari manusia dalam masyarakat.

Pasar memiliki multi peran, yaitu tidak hanya berperan sebagai tempat

bertemunya antara penjual dan pembeli tetapi pasar juga memiliki fungsi

sebagai tempat bertemunya budaya yang dibawa oleh setiap mereka yang
6

memanfaatkan pasar. Interaksi tersebut tanpa mereka sadari telah terjadi

pengaruh mempengaruhi budaya masing-masing individu (Depdikbud, 1993 :4).

Pasar tradisional memegang peranan yang amat penting pada masa ini,

terutama pada masyarakat pedesaan. Pasar, pada masyarakat pedesaan dapat

diartikan sebagai pintu gerbang yang menghubungkan masyarakat tersebut

dengan dunia luar. Hal ini menunjukkan bahwa pasar mempunyai peranan

dalam perubahan-perubahan kebudayaan yang berlangsung di dalam suatu

masyarakat. Melalui pasar ditawarkan alternatif-alternatif kebudayaan yang

berlainan dari kebudayaan setempat (Sugiarto, 1986 : 2).

Pasar desa di Jawa atau peken 3(Bahasa Jawa halus/ bahasa Jawa krama),

biasanya letaknya tidak jauh. Jarak dari rumah seorang petani ke pasar, yang

letaknya biasanya di tepi jalan besar, hanya kira-kira tiga sampai lima kilometer

saja (Koentjaraningrat, 1984 : 186-187).

Pasar desa biasanya tumbuh di persimpangan jalan atau di tempat-tempat

yang strategis di dalam desa dan seringkali juga mengambil nama dari tempat

atau daerah di mana pasar tersebut berada, misalnya Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang yang nota bene berada di Kelurahan Wadaslintang, Kecamatan

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo. Pasar tradisional selain sebagai sarana

jual-beli juga merupakan tempat bertemunya warga masyarakat dari berbagai

kalangan. Pasar tradisional juga mempunyai peranan dalam kegiatan sosial.

Perannya sebagai tempat melakukan aktivitas sosial, pasar tradisional terlihat

sebagai tempat interaksi, komunikasi dan informasi serta tempat keramain dan
3
Menurut Wiryomartono peken adalah kata lain dari pasar, yang kata kerjanya mapeken, artinya
berkumpul. Berkumpul dalam arti saling bertemu muka dan berjual beli pada hari pasaran
(Saraswati, 2000 : 140. Dalam Paramita. No. 2)
7

hiburan. Pasar dengan kata lain juga mempunyai peranan dalam kegiatan sosial

selain berperan sebagai tempat berniaga.

Pasar selain mempunyai peranan dalam aktivitas ekonomi ternyata juga

mempunyai peranan dalam aktivitas sosial. Pernyataan ini dipertegas dalam

buku Peranan Pasar pada Masyarakat Pedesaan Sumatera Barat disebutkan

bahwa (Depdikbud,1990 :2) :

“Pasar pada prinsipnya adalah tempat dimana para penjual dan pembeli
bertemu. Tetapi apabila pasar telah terselenggara dalam arti para pembeli
dan penjual sudah bertemu serta barang-barang kebutuhan sudah
disebarluaskan, maka pasar memperlihatkan peranannya bukan hanya
sebagai pusat kegiatan ekonomi tetapi juga sebagai pusat kebudayaan”

Pasar Tradisional Wage Wadaslintang adalah salah satu pasar tradisional

yang masih bertahan di Kelurahan Wadaslintang, Kecamatan Wadaslintang,

Kabupaten Wonosobo walaupun berada didaerah yang terpencil namun

keberadaannya masih tetap bertahan ditengah-tengah masyarakat yang terus

berkembang. Pasar merupakan salah satu penyebab adanya pergeseran nilai-

nilai tradisional yang semula masih dipertahankan. Kehadiran pasar setidak-

tidaknya telah merubah pola ekonomi tradisional kepada ekonomi komersial.

Salah satu ciri untuk dapat melihat setiap usaha yang dilakukan oleh

masyarakat telah berorientasi kepada untung dan rugi atau diukur dengan uang

(Depdikbud, 1993 :201).

Dari uraian di atas, peneliti terdorong untuk mengkaji Pasar Tradisional

Wage Wadaslintang. Oleh karena itu peneliti mengambil judul “Keberadaan

Pasar Tradisional Wage Wadaslintang sebagai Pusat Kegiatan Ekonomi, Sosial


8

dan Budaya Masyarakat Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo Tahun 1998-

2005”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah

1. Bagaimana sejarah Pasar Tradisional Wage Wadaslintang di Kelurahan

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo ?

2. Bagaimana kondisi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo tahun 1998-2005?

3. Bagaimana pengaruh keberadaan Pasar Tradisional Wage Wadaslintang

terhadap kegiatan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Wadaslintang,

Kabupaten Wonosobo tahun 1998-2005?

C. Tujuan Penelitian

Sebuah penelitian akan efektif apabila sebelum penelitian berlangsung,

penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan tersebut merupakan

penunjuk arah penelitian agar tidak membias pada bidang lain. Sehubungan

dengan ini maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini

adalah :

1. Untuk mengetahui sejarah Pasar Tradisional Wage Wadaslintang di

Kelurahan Wadaslintang, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten

Wonosobo.
9

2. Untuk mengetahui kondisi ekonomi, sosial dan budaya Masyarakat

Wadaslintang tahun 1998-2005.

3. Untuk mengetahui pengaruh keberadaan Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang terhadap kegiatan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat

Wadaslintang tahun 1998-2005.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan didapat dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Memberi wawasan dan pengetahuan kepada mahasiswa dan masyarakat

umum tentang sejarah Pasar Tradisional Wage Wadaslintang.

2. Memperkaya khasanah sejarah lokal dalam upaya melengkapi sejarah

nasional

3. Dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti–peneliti lainnya yang

meneliti tentang latar belakang sejarah terbentuknya Pasar Tradisional

Wage Wadaslintang dan perananya dalam bidang Ekonomi, Sosial dan

Budaya Masyarakat Wadaslintang.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Agar penelitian ini terfokus perlu adanya batasan ruang lingkup yaitu

ruang lingkup wilayah (scope spacial) dan ruang lingkup waktu (scope

temporal). Ruang lingkup wilayah membahas suatu daerah atau wilayah dimana

peristiwa itu terjadi. Lingkup wilayah dalam penelitian ini yaitu di Pasar
10

Tradisional Wage Wadaslintang yang terletak di Kelurahan Wadaslintang,

Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo.

Pemilihan wilayah penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa

masyarakat kelurahan Wadaslintang merupakan subjek yang langsung

merasakan dampaknya bagi perkembangan kehidupan ekonomi, sosial dan

budaya sejak adanya Pasar Wage tersebut. Selain itu didasarkan pula pada

pertimbangan bahwa Pasar Tradisional Wage Wadaslintang tersebut letaknya

relatif jauh dari kota Kabupaten sehingga peranannya terhadap masyarakat

sekitar sangat besar.

Lingkup temporal adalah pada tahun 1998-2005. Pemilihan tahun 1998

didasarkan karena adanya Otonomi Daerah, sehingga status desa Wadaslintang

yang semula berstatus desa berubah menjadi Kelurahan Wadaslintang. Kepala

pemerintahan terdahulu dipegang oleh seorang Kepala Desa yang dipilih secara

langsung oleh rakyat Wadaslintang kemudian beralih status kepada kepala

kelurahan (lurah), yang ditunjuk oleh pemerintah daerah Kabupaten.

Pemilihan tahun 2005 didasarkan pada alasan bahwa pada tahun 2005

atau tepatnya pada tanggal 3 Maret 2005, status Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang telah berubah status secara resmi dari pasar Kelurahan menjadi

Pasar Daerah yang berada di bawah pengelolaan Dinas Pasar Kabupaten

Wonosobo. Selain itu pada tahun tersebut, keberadaan pasar telah menyebabkan

adanya pergeseran nilai-nilai tradisional yang semula masih dipertahankan.

Kehadiran pasar setidak-tidaknya telah mengubah pola ekonomi tradisional

kepada ekonomi komersial. Hal inilah yang sekarang terjadi di Kelurahan


11

Wadaslintang, usaha yang dilakukan masyarakat telah berorientasi kepada

untung dan rugi atau diukur dengan uang.

F. Tinjauan Pustaka

Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan, Mentalitas dan

Pembangunan (2002) membahas mengenai kebudayaan. Kehidupan manusia

tidak lepas dari kebudayaan karena kebudayaan yang dimiliki manusia

merupakan penghubung antara manusia dengan lingkungannya. Banyak orang

mengartikan kebudayaan dalam arti yang terbatas, yaitu pikiran, karya, dan hasil

karya manusia akan keindahan. Padahal banyak para ahli yang mengartikan

kebudayaan itu dalam arti yang sangat luas.

Konsep kebudayaan dalam arti yang sangat luas yaitu seluruh total dari

dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya,

dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses

belajar. Konsep kebudayaan akhirnya dipecah lagi ke dalam unsur-unsurnya

guna keperluan analisa konsep kebudayaan. Unsur-unsur terbesar yang terjadi

karena pecahan tahap pertama disebut unsur-unsur kebudayaan yang universal

yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Unsur-unsur universal iu yang

sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan di dunia ini, yaitu: (1) sistem

religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi masyarakat, (3) sistem

pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan

(7) sistem teknologi dan peralatan.


12

Ketujuh unsur tersebut masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam sub

unsur-unsurnya. Ketujuh unsur kebudayaan universal tadi memang mencakup

seluruh kebudayaan makhluk manusia di dunia dan menunjukkan ruang lingkup

dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.

Pasar tradisional berkaitan erat dengan unsur kebudayaan yaitu sistem

dan organisasi kemasyarakatan serta berkaitan dengan sistem mata pencaharian

hidup. Adanya pasar maka terjadi pertemuan atau tatap muka antara penjual atau

pembeli. Pasar memiliki multi peran, selain terjadinya pertemuan antara

produsen dan konsumen pasar juga memiliki fungsi sebagai tempat bertemunya

berbagai budaya yang dibawa oleh setiap masyarakat yang memanfaatkan pasar.

Berbagai individu dari berbagai kelas sosial dan budaya berinteraksi di

Pasar Tradisional Wage Wadaslintang ini. Interaksi tersebut tanpa mereka sadari

telah terjadi pengaruh-mempengaruhi budaya masing-masing individu. Mereka

saling memberi dan menerima budaya yang dibawa. Bertemunya warga

masyarakat Wadaslintang di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang mempunyai

maksud yang berbeda-beda. Ada yang bermaksud berjualan, berbelanja,

berdagang sekaligus berbelanja, atau hanya sekedar melihat-lihat untuk mencari

hiburan.

Buku Sistem Ekonomi Tradisional Jawa Tengah (1986) terbitan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membahas mengenai pola kehidupan

ekonomi penduduk Jawa Tengah yang paling dominan yaitu pada sektor

pertanian. Penduduk Jawa Tengah di samping bermata pencaharian di bidang

pertanian juga mempunyai usaha sambilan, seperti misalnya pedagang,


13

pengrajin dan lain-lain. Adanya pedagang dan pengrajin ini tentunya mereka

membutuhkan tempat penyaluran untuk penjualan barang-barang dagangan

mereka, dan pasarlah tempat yang tepat untuk menyalurkan barang-barang

dagangan mereka.

Pasar dilihat dari segi pengertian ekonomi ialah suatu tempat menetap

yang penduduknya terutama hidup dari perdagangan daripada pertanian.

Pengertian yang lebih luas dikemukakan oleh Geertz dalam buku Penjaja dan

Raja (1977) bahwa “pasar sebagai suatu pranata ekonomi sekaligus cara hidup,

suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek”. Geertz

membahas mengenai pasar sebagai tempat jalinan hubungan penjual dan

pembeli dalam melaksanakan transaksi tukar-menukar, baik pada suatu tempat

maupun dalam suatu keadaan yang lain.

Pasar dapat dilihat dari tiga sudut pandangan : pertama, sebagai arus

barang dan jasa menurut pola tertentu; kedua sebagai rangkaian mekanisme

ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa tersebut; dan

ketiga sebagai sistem sosial dan kebudayaan dimana mekanisme itu tertanam.

Ciri khas pasar yang paling menonjol dari arus barang dan jasa adalah jenis

barang yang diperjualbelikan, yaitu bahan pangan, sandang dan lain-lain serta

dapat juga berupa kegiatan pengolahan dan pembuatan barang-barang produksi

sedangkan dalam mekanisme ekonomi pasar cenderung untuk lebih menekankan

persaingan antar penjual dan pembeli sehingga terjadi tawar-menawar. Proses

dari perdaganganpun akhirnya berlangsung.


14

Pasar sebagai sistem sosial kebudayaan, bermakna bahwa pasar tumbuh

dan berkembang dalam suatu masyarakat yang berbeda struktur dan budayanya.

Pedagang yang ada di pasar terdiri dari berbagai etnis yang memiliki sifat dan

adat yang berbeda sehingga bisa terjadi perilaku dalam jual beli mempunyai cara

yang berbeda pula, seperti halnya yang terjadi di Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang. Pedagang yang berjualan di Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang tidak hanya berasal dari Kelurahan Wadaslintang maupun

Kecamatan Wadaslintang akan tetapi mereka juga berasal dari daerah-daerah di

luar Wadaslintang seperti Kaliwiro, Wonosobo, Temanggung, Semarang,

Prembun Kebumen dan Banjarnegara. Adanya pedagang yang berasal dari luar

daerah Wadaslintang maka memunculkan cara berdagang yang berbeda, adat

yang berbeda dan etnis yang berbeda pula. Hal ini tidak dapat dipungkiri, akan

tetapi sebagian besar dari para pelaku pasar di Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang adalah masyarakat Jawa.

Nastiti dalam bukunya yang berjudul Pasar di Jawa Masa Mataram

Kuna Abad VIII-IX Masehi (2003) antara lain membahas tentang Peranan Pasar

dalam kegiatan Ekonomi dan peranan Pasar dalam kegiatan Sosial Budaya.

Buku tersebut menjelaskan bahwa pasar merupakan suatu sistem yang

merupakan suatu kesatuan dari komponen-komponen yang mempunyai fungsi

secara keseluruhan. Adapun komponen-komponen pasar antara lain adalah

lokasi, bentuk fisik, komoditi, produksi, distribusi, transportasi, transaksi serta

rotasi.
15

Komponen-komponen pasar tersebut mempunyai keterkaitan fungsi

masing-masing yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, umpamanya faktor

produksi sangat tergantung pada faktor distribusi dan untuk lancarnya suatu

distribusi sangat diperlukan sarana transportasi yang baik, sehingga hasil

produksi dapat mencapai pasar. Jalur transportasi tidak dapat dilepaskan dari

lokasi pasar karena suatu pasar dianggap baik jika lokasinya mudah dicapai.

Lokasi yang mudah dijangkau sangat mempengaruhi banyaknya orang yang

datang kepasar yang dapat mengakibatkan naiknya jumlah transaksi.

Meningkatnya transaksi dapat menyebabkan jumlah produksi naik. Satu hal

yang penting kaitannya dengan sistem pasar ialah rotasi pasar yang merupakan

kerjasama antar beberapa desa yang tentunya melibatkan warga masyarakat dari

desa-desa bersangkutan.

Pasar selain mempunyai peran dalam bidang ekonomi, pasar juga

berperan dalam kegiatan sosial. Peranannya sebagai tempat melakukan aktivitas

sosial, pasar terlihat pula sebagai tempat interaksi, komunikasi dan informasi

serta tempat keramaian dan hiburan. Interaksi yang terjadi di antara warga

masyarakat di dalamnya terdapat kontrak diadik yang sifatnya informal dan

tidak dilandasi hukum.

Kontrak diadik yang terjadi dapat bersifat simetris dan asimetris. Kontrak

diadik tersebut hampir terjadi di seluruh lapisan masyarakat termasuk

masyarakat Wadaslintang yaitu adanya interaksi antara warga masyarakat

Wadaslintang maupun warga selain Wadaslintang yang berasal dari berbagai

kalangan, baik antara orang-orang yang berasal dari desa sama maupun interaksi
16

yang terjadi antara orang-orang dari desa yang berlainan yang datang di Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang.

Pasar memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia

pada umumnya dan masyarakat pedesaan pada umumnya dan hal ini tidak dapat

dipungkiri. Buku Peranan Pasar pada Masyarakat Pedesaan Sumatera Barat

(1990), membahas mengenai pasar bagi masyarakat pedesaan dapat diartikan

sebagai pintu gerbang yang menghubungkan masyarakat tersebut dengan dunia

luar. Pasar berarti mempunyai peranan dalam perubahan-perubahan kebudayaan

yang berlangsung didalam suatu masyarakat.

Buku ini juga membahas mengenai Peranan pasar sebagai pusat kegiatan

ekonomi dan sosial budaya. Pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi mengenal

sistem produksi, sistem distribusi dan sistem konsumsi. Pasar sebagai kegiatan

sosial dijelaskan bahwa peranan pasar yaitu sebagai tempat interaksi masyarakat

di pasar, pasar sebagai arena pembauran, pasar sebagai pusat informasi serta

pasar sebagai pusat pembaharuan.

Pasar di dalamnya menawarkan alternatif-alternatif kebudayaan yang

berlainan dari kebudayaan masyarakat setempat, sedangkan kebudayaan itu

adalah seperangkat nilai-nilai dan keyakinan, pilihan hidup dan alat komunikasi.

Pasar sebagai pintu gerbang diperkirakan akan terjadi perubahan nilai, gagasan,

dan keyakinan.

Pasar dapat pula diartikan sebagai sentral dari masyarakat pedesaan yang

berada disekitarnya. Pasar di dalamnya bukan saja akan terjadi saling interaksi

sesama warga masyarakat pedesaan, tetapi akan terjadi pula tukar-menukar


17

benda hasil produksi bahkan informasi-informasi tentang berbagai pengalaman

diantara sesama warga masyarakat. Pasar sebagai sentral dengan segala

perangkat yang ada di dalamnya dapat pula menjadi panutan masyarakat. Hal ini

menunjukkan bahwa bukan hanya peranan ekonomi, tetapi peranan kebudayaan

terhadap masyarakat disekitarnya cukup besar. Peranan-peranan tersebut dengan

demikian akan menimbulkan perubahan-perubahan baik dalam bidang ekonomi

maupun sosial budaya.

Soerjono Soekanto (1990) dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar

membahas tentang pendekatan sosial dan kebudayaan. Buku tersebut

menjelaskan tentang bentuk-bentuk perkembangan sosial dan kebudayaan,

fakta-fakta yang menyebabkan perkembangan sosial dan kebudayaan serta

faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perkembangan dan perubahan

masyarakat. Kajian dalam buku ini penting dalam kaitannya untuk memahami

perkembangan kehidupan masyarakat Kelurahan Wadaslintang, Kecamatan

Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo sebagai pengaruh di fungsikannya Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang sebagai sarana jual-beli, baik ditinjau dari segi

sejarah, ekonomi maupun sosial dan budayanya.

Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul Budaya dan Masyarakat (2006)

membahas mengenai gejala pertumbuhan ekonomi dan masyarakat pasar yaitu

terbentuknya kelas-kelas sosial yang saling bertentangan kepentingan.

Pembentukan masyarakat pasar disini dimulai pada abad ke-19 dengan

masuknya modal Barat, akan tetapi dalam sistem pasar di Pasar Wage

Wadaslintang belum dikenal adanya modal Barat. Sistem pasar yang ada di
18

Pasar Tradisional Wage Wadaslintang hanya mengenal adanya sumber modal

yang merupakan awal modal kegiatan perdagangan para pedagang di pasar.

Menurut Kuntowijoyo, pasar adalah kekuatan revolusioner dan proses

pemasaran masyarakat yang mempunyai akibat yang jauh bagi perkembangan

sejarah. Pasar menuntut perilaku rasional dalam menentukan pilihan-pilihan.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode penelitian sejarah (historical method). Pengertian metode penelitian

sejarah disini adalah suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis

rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1985 : 32). Menurut

Garraghan (Wiyono,1990 :6) metode penelitian sejarah adalah suatu kumpulan

yang sistematis dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk

membantu dengan secara efektif dalam pengumpulan bahan-bahan sumber dari

sejarah, dalam menelaah/menilai sumber-sumber itu secara kritis, dan

menyajikan suatu hasil sinthese (yang biasanya dalam bentuk tertulis) dari hasil-

hasil yang dicapai.

Penelitian ini dilakukan dengan cara meninjau masalah-masalah dari

perspektif sejarah berdasarkan dokumen dan literatur yang ada. Empat langkah

kegiatan dalam metode penelitian sejarah, yaitu :

1. Heuristik

Heuristik adalah kegiatan mencari sumber-sumber dan menghimpun

bahan-bahan sejarah atau jejak-jejak masa lampau yang otentik dengan cara
19

mencari dan mengumpulkan berbagai sumber sejarah untuk dijadikan sebagai

bahan penulisan sejarah. Diartikan pula sebagai usaha yang dilakukan untuk

menghimpun data dan menyusun fakta–fakta sejarah yang berhubungan dengan

penulisan skripsi ini.

Sumber sejarah yang dipakai adalah sumber primer dan sumber sekunder.

Sumber primer adalah sumber asli dalam arti kesaksiannya tidak berasal dari

sumber lain melainkan berasal dari tangan pertama. Sumber primer adalah

sumber yang diperoleh melalui kesaksian daripada seorang saksi dengan mata

kepala sendiri atau saksi dengan panca indera yang lain, atau dengan alat

mekanis seperti diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang

diceritakannya atau lebih dikenal dengan saksi pandangan pertama

(Gottschalk,1985:35).

Sumber sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan

saksi pandangan pertama yakni seseorang yang tidak hadir dalam peristiwa

kisahnya (Gottschalk, 1985 : 35). Sumber sekunder dengan kata lain adalah

sumber yang berasal dari seseorang yang bukan saksi hidup atau tidak sejaman

dengan peristiwa tersebut. Penulis mendapatkannya sumber sekunder ini melalui

buku-buku mengenai pasar atau bentuk tukar-menukar dalam masyarakat dan

peranan pasar dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat serta buku-buku

terbitan Pemerintah Daerah kabupaten Wonosobo.

Peneliti juga menggunakan sumber lisan yang dapat membantu peneliti

dalam penelitian. Sumber lisan merupakan sumber tradisional sejarah dalam

pengertian luas. Sumber ini bersifat tua karena waktu pikiran manusia yang
20

mulai tumbuh waktu kebudayaan mulai lahir dan serempak dengan itu bahasa

mulai digunakan. Warisan atau sumber lisan masih dipakai sebagai bahan

pelengkap, bahan perbandingan atau bahan yang dapat ditarik kesimpulan

tentang hal yang telah berlalu dalam penulisan metode ilmiah. Peneliti

menggunakan sumber lisan berupa cerita sejarah dari para tokoh masyarakat

yang berkaitan dengan Pasar Tradisional Wage Wadaslintang untuk

mengungkap sejarah dan pengaruh keberadaan pasar bagi masyarakat

Wadaslintang.

Teknik yang dipakai penulis dalam pengumpulan sumber adalah sebagai

berikut:

a. Studi Pustaka

Studi Pustaka yaitu proses mencari informasi, menelaah, dan

menghimpun data sejarah yang berupa buku-buku, referensi, surat kabar,

majalah dan sebagainya untuk menjawab pertanyaaan yang ada kaitannya

dengan permasalahan yang akan diteliti (Gottschalk, 1985: 46). Studi pustaka ini

banyak bersumber pada buku. Buku yang telah ditemukan oleh peneliti antara

lain dalah tentang Pasar atau yang ada kaitannya dengan pasar. Buku Pasar di

Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-IX Masehi (Nastiti : 2003) yang

membahas tentang Peranan Pasar dalam kegiatan Ekonomi dan peranan Pasar

dalam kegiatan Sosial Budaya.

Penulis dalam penelitian ini mendapatkan sumber-sumber/ buku–buku

yang ada dan ditemukan di Perpustakaan UNNES, Perpustakaan Jurusan Sejarah


21

UNNES, Perpustakaan Wilayah Propinsi Jawa Tengah, Perpustakaan UNDIP

dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Wonosobo.

b. Studi Lapangan

Studi Lapangan yaitu suatu upaya untuk menghimpun jejak dengan cara

terjun langsung di lapangan. Teknik ini bermanfaat untuk bahan perbandingan

antara data dari berbagai sumber tertulis dengan keadaan yang sesungguhnya di

lapangan. Penulis melakukan pengamatan langsung di Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang, Kelurahan Wadaslintang, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten

Wonosobo; termasuk pengamatan terhadap kehidupan masyarakat di Kelurahan

Wadaslintang, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo.

c. Wawancara

Menurut Koentjaraningrat, wawancara adalah usaha untuk

mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat

beserta pendirian-pendirian mereka (1986 :129).

Teknik wawancara bertujuan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah

yang benar-benar dapat dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan dari para

pelaku sejarah atau saksi sejarah. Wawancara selain itu juga merupakan alat

informasi berupa tanggapan pribadi, pendapat, atau opini serta keyakinaan.

Penulis dalam hal ini mencari sumber berupa informasi dari para pelaku sejarah

yaitu orang-orang/tokoh masyarakat yang mengetahui seluk beluk tentang Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang termasuk pengaruh keberadaan pasar yang

terjadi pada kehidupan masyarakat sekitarnya meliputi segi ekonomi, sosial dan

budayanya. Adapun para informan yang di wawancarai adalah beberapa tokoh


22

masyarakat Wadaslintang, Kepala Kelurahan Wadaslintang, Kepala UPT. Dinas

Pasar Wadaslintang dan beberapa pedagang sebagai pelaku ekonomi pasar yang

ada di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang. Langkah-langkah yang digunakan

dalam wawancara : (1) membuat rambu-rambu pertanyaan sebagai pedoman

wawancara, (2) menetapkan dan menghubungi tokoh-tokoh peristiwa, (3)

pelaksanaan wawancara tanpa mengadakan perjanjian terlebih dahulu, dan (4)

pengolahan hasil wawancara dengan cara mengambil keterangan-keterangan

yang relevan.

2. Kritik Sumber

Tahap ini merupakan tahap penilaian atau tahap pengujian terhadap

sumber-sumber sejarah yang berhasil ditemukan dari sudut pandang nilai

kebenarannya. Kritik sumber adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan data

yang tingkat kebenarannya atau kredibilitasnya tinggi dengan melalui seleksi

data yang terkumpul. Kritik sumber in terbagi menjadi dua, yaitu kritik sumber

ekstern dan kritik sumber intern.

Kritik ekstern adalah kritik yang menilai apakah sumber yang didapat

merupakan sumber yang dikehendaki, sumber asli, atau turunan, sumber itu

lengkap, atau sudah berubah. Kritik ekstern berusaha menjawab pertanyaan

tentang keaslian dari sumber sejarah. Kritik intern adalah kritik yang menilai

apakah isinya relevan dengan permasalahan dan dapat dipercaya kebenarannya.

Pada tahap kritik intern penulis melakukan pengecekan dan pembuktian

terhadap sumber-sumber yang diperoleh. Apakah sumber-sumber tersebut isinya

dapat diterima sebagai sebuah kebenaran. Hal ini dapat dibuktikan dengan cara
23

membandingkan antara sumber satu dengan sumber yang lain dimana sumber

tersebut sama-sama berkaitan dengan masalah yang dikaji. Contohnya adalah

penulis melakukan pengecekan mengenai hasil wawancara antara tokoh

masyarakat Wadaslintang satu dan lainnya, apakah semuanya dapat memberikan

informasi yang benar dan dapat dipercaya berkaitan dengan masalah yang dikaji.

3. Interpretasi

Interpretasi adalah usaha untuk menghubung-hubungkan dan

mengkaitkan peristiwa atau fakta satu sama lain sedemikian rupa sehingga fakta

yang satu dengan yang lainnya kelihatan sebagai satu rangkaian yang masuk

akal menunjukkan kecocokan satu sama lain. Fakta sejarah dalam proses ini

tidak semua dapat dimasukkan, tetapi harus dipilih mana yang relevan dan mana

yang tidak relevan dengan gambaran cerita yang akan disusun.

Menginterpretasikan penelitian dalam bentuk karangan sejarah ilmiah, sejarah

kritis, perlu diperhatikan sasaran karangan yang logis menurut urutan yang

kronologis dan tema yang jelas dan mudah dimengerti ( Gottschalk, 1985: 131).

4. Historiografi

Historiografi merupakan langkah perumusan cerita sejarah ilmiah,

disusun secara logis menurut urutan kronologis dan sistematis yang jelas dan

mudah dimengerti, pengaturan bab atau bagian yang dapat menggabungkan

urutan kronologis dan tematis. Hal ini disebabkan penelitian sejarah sekurang-

kurangnya harus memenuhi empat hal yaitu : detail faktuil yang akurat, struktur

yang logis, dan penyajian yang terang dan halus (Gottschalk, 1985: 131).
24

Masalah pendekatan dapat disebut sebagai permasalahan inti dari

metodologi dalam ilmu sejarah. Penggambaran kita mengenai suatu peristiwa

sangat tergantung pada pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya,

dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain

sebagainya. Penelitian mengenai Keberadaan Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang ini peneliti memfokuskan pada bidang sejarah ekonomi dengan

menggunakan beberapa pendekatan.

Kartodirdjo dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi

Sejarah (1992) membahas mengenai pendekatan ekonomi yang mengungkapkan

bahwa kompleksitas sistem ekonomi dengan sendirinya menuntut pula

pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi dan sebagainya.

Untuk menjelaskan relevansi metodologi sejarah dengan pendekatan ilmu sosial

kita perlu bertolak dari konsep sejarah sebagai sistem. Konsep sistem sendiri

mencakup prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Suatu sistem terdiri atas unsur-

unsur atau aspek-aspek yang merupakan satu kesatuan; (2) Fungsi-fungsi unsur-

unsur tersebut saling pengaruh-mempengaruhi dan ada saling ketergantungan,

bersama-sama mendukung fungsi sistem; (3) Saling ketergantungannya

disebabkan karena setiap unsur memiliki dimensi-dimensi unsur lain; (4) Dalam

mendeskripsi unsur-unsur serta saling pengaruhnya tidak ada satu faktor atau

dimensi yang deterministik; (5) Dalam studi sejarah pendekatan sistem yang

sinkronis sifatnya perlu diimbangi oleh pendekatan diakronis.

Kita berangkat dari konsep ekonomi sebagai pola distribusi alokasi

produksi dan konsumsi dalam pendekatan sistem, maka jelaslah bahwa pola itu
25

berkaitan, bahkan sering ditentukan oleh sistem sosial serta stratifikasinya.

Korelasinya faktor sosial itu lebih lanjut jelas pula dengan sistem politik atau

struktur kekuasaanya. Akhirnya kesemuanya dipengaruhi oleh faktor kultural,

dengan demikian fungsi ekonomi tidak terlepas dari fungsi-fungsi sosial dan

politik serta kulturnya.

Sejarah ekonomi dalam perkembangannya mengalami diferensiasi dan

subspesialisasi, antara lain dengan timbulnya: (1) sejarah pertanian, (2) sejarah

kota, (3) sejarah bisnis, (4) sejarah perburuhan, dan (5) formasi kapital.

Perubahan ekonomi dari ekonomi tradisional yang bersifat pedesaan, primitif

dan petani, menuju ke ekonomi kolonial dengan masuknya peraturan-peraturan

ekonomi kolonial dan pada akhirnya ekonomi kapitalis tidak menunjukkan

tingkatan yang sepadan. Perubahan dari ekonomi pasar ke ekonomi warung dan

ke ekonomi toko serta ke ekonomi toserba (department strore) tidak mempunyai

laju yang sama di setiap lokalitas. Bahkan di suatu lokalitas ciri-ciri ekonomi

agraris seperti dalam hubungan kerja, bakulan masih berlaku di tengah-tengah

kota. Perubahan pasaran masing-masing juga tergantung seberapa jauh derajat

penguasaan dari pasar yang didominasi oleh usaha-usaha besar dan kapital besar

jika dibandingkan dengan operasi dari usaha kecil dengan kapital rendah.

Burger mengemukaan adanya dualisme pasar semacam itu, menurut

Burger bahwa lalu lintas pasar yang ada di Jawa, mengenal pekan pasar

tradisional lima hari adalah sesuatu yang tua, lebih tua daripada kapitalisme

tinggi. Pasar-pasar erat hubungannya satu sama lain dan merupakan suatu

jaringan pasar yang meliputi seluruh Jawa, serta mempunyai hubungan pula
26

dengan pulau-pulau lain dan dengan pasar dunia. Lalu lintas ini bukan bersifat

kapitalis tinggi saja, ada juga lalu lintas non-kapitalis dan kapitalisme

perdagangan. Berbeda dengan Boeke yang melihat pasaran dalam negeri terlalu

sepihak, yaitu sebagai lalu lintas dalam batas desa, ditambah lalu lintas dengan

lingkungan kapitalis tinggi, yang diartikan terlalu sempit.

Pendekatan Sosilogi pada penelitian ini menitikberatkan pada bentuk

proses sosial, yaitu interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan syarat utama

terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-

hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang

perorangan, antar kelompok manusia maupun antar orang perorangan dengan

kelompok manusia dalam aktivitas pasar maupun kegiatan di luar pasar.

Pendekatan Sosilogi juga digunakan dalam melihat berbagai perubahan sosial

dan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat Wadaslintang akibat adanya

aktivitas dan interaksi yang terjadi di pasar, baik perubahan yang terjadi secara

lambat maupun secara cepat.

Studi tentang kehidupan sehari-hari dalam suatu komunitas, pranata atau

lembaga-lembaga, sistem ekonomi, sosial, politik, struktur masyarakat, struktur

kekuasaan, golongan sosial, kesemuanya memerlukan pendekatan antropologi

sosial di satu pihak dan pendekatan sejarah dilain pihak. Antropologi ekonomi

menitikberatkan perhatiannya pada keterlibatan manusia itu dalam upaya

mempertahankan hidupnya yang merupakan perwujudan nilai-nilai budaya yang

selama ini dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat

Jawa, khususnya masyarakat Wadaslintang.


27

Buku Metodologi Sejarah (2003) karya Kuntowijoyo membahas secara

singkat sejarah ekonomi. Menurutnya, sejarah ekonomi mempelajari manusia

sebagai pencari dan pembelanja. Sejarah ekonomi bukanlah interpretasi

ekonomis terhadap sejarah. Sejarah ekonomi haruslah spesifik. Sektor ekonomi

yang dikenal dalam ekonomi pedesaan tentu saja yang berhubungan pertanian,

perdagangan, peternakan dan industri rumah tangga. Lembaga-lembaga

ekonomi seperti kredit, koperasi, lumbung desa, bank sudah banyak dikenal

dalam ekonomi pedesaan, terutama atas campur tangan kekuasaan negara.

Munculnya antropologi dan sosiologi ekonomi merupakan usaha untuk

menumbuhkan antara ekonomi dengan sistem budaya dan sosial.

Kesimpulan yang dapat diambil yaitu dengan digunakannya beberapa

pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan digunakannya pendekatan

ekonomi maka akan membantu penelitian ini dalam bidang produksi, distribusi

dan konsumsi serta sistem tukar menukar yang terjadi di masyarakat

Wadaslintang. Pendekatan antropologi-sosiologi membantu dalam kajian

mengenai masyarakat Wadaslintang yang beranekaragam struktur dan

budayanya.

H. Sistematika Penulisan

Secara garis besar sistematika penulisan skripsi yang berjudul

“Keberadaan Pasar Tradisional Wage Wadaslintang sebagai Pusat Kegiatan

Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo

Tahun 1998-2005 ”. Terbagi dalam beberapa bab :


28

Bab I. Pendahuluan, bab ini berisi: latar belakang masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II. Sejarah Pasar Tradisional Wage Wadaslintang, bab ini berisi:

Pengertian Pasar, meliputi Latar Belakang Pasar dan Jenis Pasar; Komponen

Pasar yang mencakup: Rotasi Pasar, Jenis Pedagang Pasar, Arus Barang dan

Jasa; Sejarah Pembangunan dan Perkembangan Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang, meliputi Sejarah berdirinya Pasar Wadaslintang dan

Perkembangan Pasar Wadaslintang Tahun 1998-2005.

Bab III. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat

Wadaslintang tahun 1998-2005, bab ini terdiri dari Kondisi Geografis Kelurahan

Wadaslintang; Kondisi Ekonomi yaitu Kegiatan Produksi, Distribusi dan

Konsumsi; Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat Wadaslintang yang meliputi

Interaksi, Penyebaran Informasi dan Komunikasi serta Hiburan.

Bab IV. Pengaruh Keberadaan Pasar Tradisioanal Wage Wadaslintang

Bagi Masyarakat Wadaslintang tahun 1998-2005, bab ini berisi: Pengaruh Pasar

bagi Masyarakat Wadaslintang bidang Ekonomi yaitu bidang Produksi,

Konsumsi dan Distribusi; Pengaruh Pasar Wadaslintang bagi Masyarakat

Wadaslintang bidang Sosial dan Budaya.

Bab V. Simpulan.
BAB II

SEJARAH PASAR TRADISIONAL WAGE WADASLINTANG

A. Pengertian Pasar

1. Latar Belakang Pasar

Sejak masa prasejarah manusia telah menyelenggarakan kegiatan untuk

memenuhi kebutuhan hidup utamanya. Adapun faktor yang mendorong

perkembangan ekonomi pada awalnya hanya bersumber pada problem untuk

memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), yaitu kebutuhan untuk memuaskan

kebutuhan hidup/ biologis.

Ilmu ekonomi mengenal dua kegiatan ekonomi yaitu ekonomi subsistensi

dan ekonomi pasar. Ekonomi subsistensi adalah ekonomi yang terselenggara

dengan melakukan produksi untuk kebutuhan sendiri sedangkan ekonomi

pasar terjadi akibat terciptanya hubungan antara dua pihak karena adanya

penawaran (supply) dan permintaan (demand) (Chourmain, 1994: 231).

Pada prakteknya tidak ada ekonomi subsistensi yang memungkinkan

segala macam hasil produksi dikonsumsi sendiri oleh produsen. Ekonomi

pasar juga begitu karena tidak semua barang disalurkan melalui pasar.

Ekonomi pasar memiliki ciri : 1) Harga barang tidak pasti, orang dapat tawar-

menawar; 2) Barang beralih dari pedagang yang satu ke pedagang yang lain

berkali-kali sebelum akhirnya jatuh ketangan konsumen; 3) Adanya hubungan

utang-piutang yang kompleks antara pedagang tersebut; 4) Barang dagangan

sedikit ( Majid, 1988: 291).

29
30

Menurut Jacob dan Stern, tukar menukar secara sederhana mulai terdapat

pada masyarakat pengumpul makanan tingkat lanjut (advanced food gathering

economies). Masyarakat pada tingkat ini mulai mengenal surplus sehingga

kelebihan produksinya itu disalurkan dengan cara ditukar, baik secara barter

maupun dengan memakai kulit kerang sebagai alat tukar atau dipertukarkan

dengan hadiah (gift) dari satu komunitas dengan komunitas lain (Nastiti,

2003:52).

Benda-benda yang diperjualbelikan ada dua macam. Pertama adalah

barang-barang untuk memenuhi kebutuhan primer seperti sandang dan

pangan. Kedua adalah barang-barang sekunder yang mempunyai makna dan

fungsi sosial atau barang-barang yang dianggap sebagai simbol kekayaan

masyarakat pemakainnya.

Masyarakat yang telah mencapai surplus, mulai menyadari akan adanya

kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak dapat dipenuhi sendiri. Mereka selain

itu, juga memerlukan tempat untuk menyalurkan hasil produksinya. Adanya

kebutuhan akan barang-barang dan kebutuhan untuk penyaluran hasil produksi

ini yang mendorong timbulnya pasar. Timbulnya pasar tidak terlepas dari

kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. Manusia memerlukan pasar tempat

ia memperoleh barang atau jasa yang diperlukan tetapi tidak mungkin

dihasilkan sendiri. Pemenuhan kebutuhan akan barang-barang memerlukan

tempat yang praktis untuk mendapatkan barang-barang, baik dengan cara

menukar maupun membeli. Adanya kebutuhan dan kelebihan inilah yang

mendorong timbulnya arena perdagangan tempat tukar menukar barang dan


31

jasa yang disebut pasar (Nastiti, 2003: 11-12). Timbulnya Pasar Tradisional

Wage Wadaslintang juga begitu, pasar ini timbul karena adanya surplus atau

kelebihan hasil produksi masyarakat Wadaslintang dan adanya kebutuhan

masyarakat yang tidak dapat diproduksi sendiri.

2. Jenis Pasar

Menurut jenisnya pasar dibedakan atas pasar yang terdapat di kota dan

pasar yang terdapat di desa. Sekalipun ada dua jenis pasar, namun keduanya

tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam hal kepentingan ekonomi

masyarakat kota. Adanya pasar kota maupun pasar desa maka terjadi

hubungan yang timbal balik antara masyarakat kota dengan masyarakat desa.

(Saraswati, 2000:140).

Pasar yang terdapat dikota biasanya terselenggara setiap hari sehingga

kegiatan perekonomiannya terjadi secara rutin dan menetap sering disebut

pasar harian. Hal ini berbeda dengan pasar yang terdapat di desa (pasar desa).

Pasar desa tidak terselenggara setiap

hari. Pasar desa biasanya dibuka

seminggu sekali sehingga dikenal

dengan sebutan peukan (Majid, 1988:

289). Pasar Wadaslintang juga

merupakan pasar desa dan

terselenggara seminggu sekali.


Gambar 1. Pasar Wadaslintang
pada hari biasa tampak depan
Sumber :Dokumen Pribadi,
Keadaan Pasar Wadaslintang dapat
diambil tanggal 1 Maret 2007
dilihat pada gambar.
32

Gambar di samping menunjukkan

bahwa Pasar Wadaslintang tidak

terselenggara setiap hari. Pasar

Wadaslintang dibuka hanya pada hari

pasaran Wage. Pada hari biasa Pasar

Wadaslintang sepi tidak ada kegiatan


Gambar 2. Pasar Wadaslintang
pada hari biasa dilihat dari sebelah
jual-beli maupun interaksi sosial.
Selatan.
Sumber :Dokumen Pribadi,
diambil tanggal 1 Maret 2007 Menurut Sutjipto, secara garis besar

tipe pasar dapat dibedakan menurut letak geografisnya, yaitu pasar-pasar

daerah pantai dan pasar-pasar daerah pedalaman. Adanya perbedaan kegiatan

dari kedua macam pasar tersebut, menimbulkan perbedaan jenis-jenis

komoditinya. Komoditi yang diperdagangkan di pasar pantai terdiri dari dua

jenis, yaitu barang-barang impor yang dibawa perahu-perahu dagang dan

barang-barang hasil produksi setempat. Hasil produksi agraris seperti beras,

sayuran, palawija, buah-buahan, barang-barang kerajinan, dan lain-lain lebih

banyak diperjualbelikan di pasar-pasar pedalaman (Nastiti, 2003:67).

Pasar Tradisional Wage Wadaslintang adalah tipe pasar daerah

pedalaman. Hal ini disebabkan karena letaknya berada di daerah pedalaman

dan jauh dari pantai meskipun di Wadaslintang terdapat sebuah waduk, namun

tetap merupakan tipe pasar daerah pedalaman.


33

B. Komponen Pasar

1. Rotasi Pasar

Penyelenggaran hari-hari pasar sangat bervariasi, dari beberapa sumber

tertulis dikenal tiga konsep minggu, yaitu Saptawara (satu minggu terdiri dari

tujuh hari atau padewan) yaitu Ahad/Minggu (Raditya), Senin (Soma), Selasa

(Anggara), Rabu (Buda), Kamis (Wrehaspati/Respati), Jumat (Sukra) dan

Sabtu (Saniscara/tumpek); Sadwara (satu minggu terdiri dari enam hari atau

paringkelan) yaitu Aryang, Wurukung, Paningron, Uwas, Mawulu dan

Tungleh; dan Pancawara (satu hari terdiri dari lima hari atau pasaran). Hal ini

berbeda dengan pasaran yang dikenal di daerah Bali. Masyarakat Bali

mengenal triwara (satu minggu terdiri dari tiga hari) yakni, pasah, beteng

atau galang tegeh dan kajeng (Nastiti 2003: 55; Purwadi 2006: 24).

Berdasarkan hasil penelitian di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang,

dapat diketahui bahwa para pedagang yang berjualan di pasar ini menerapkan

lima hari pasar kecuali hari pasaran pon. Pasar Kelurahan Wadaslintang yang

terselenggara seminggu sekali menurut sistem klasifikasi hari-hari pasar yang

lima atau pancawara, yaitu dibuka setiap hari “wage”. Pasar Kelurahan

Wadaslintang terselenggara setiap hari pasaran wage maka dapat dikatakan

bahwa masyarakat Wadaslintang masih menempatkan konsep panatur desa

yang kemudian dikenal dengan konsep macapat atau mancalima yaitu satu

desa induk dikelilingi oleh empat desa yang terletak di arah delapan penjuru

mata angin. Kenyataannya letak desa-desa tersebut tidak selalu tepat di arah
34

empat atau penjuru mata angin. Ada beberapa alasan yang menguatkan

ketidaksesuaian sistem ini.

Pertama, penerapan konsep pancawara terhadap sistem pemukiman

adalah mengatur rotasi hari-hari pasar pada desa-desa tertentu. Masing-masing

hari-hari pasar itu mempunyai watak yang berbeda. Watak hari-hari pasar ini

dapat dihitung menggunakan Kalender Jawa (Petungan Jawi), yaitu

perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu hari,

tanggal, bulan dan tahun. Petungan Jawi dengan kelengkapannya itu dapat

dipercaya sebagai pelukisan watak bawaan atau pengaruhnya terhadap

kehidupan manusia dan kesesuaiannya dengan alam. Adapun watak atau

karakter dari masing-masing hari-hari pasar adalah sebagai berikut: (1)

Pahing, wataknya melikan artinya suka pada barang yang kelihatan,

mempunyai rupa merah dan bertempat di sebelah selatan; (2) Pon, wataknya

pamer artinya suka memamerkan harta miliknya, mempunyai rupa kuning dan

bertempat di sebelah barat; (3) Wage, wataknya kedher artinya kaku hati/

teguh bicara, mempunyai rupa hitam dan bertempat di sebelah utara; (4)

Kliwon, wataknya micara artinya dapat mengubah bahasa, bertempat di

tengah-tengah/induk dan mempunyai rupa manca warna; (5) Manis/Legi,

wataknya komat artinya sanggup menerima segala macam keadaan,

mempunyai rupa putih dan bertempat disebelah timur ( Purwadi, 2006 : 2)

Jadi menurut watak atau karakter dari uraian di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa Pasar Wage mempunyai watak yang kedher artinya kaku

hati/ teguh bicara, mempunyai rupa hitam dan bertempat di sebelah utara.
35

Akan tetapi kurang diketahui, mengapa Pasar Wadaslintang jatuh pada hari

pasaran “wage” padahal menurut karakter hari pasar, hari wage terletak di

sebelah utara. Hal ini berbeda dengan Pasar Wadaslintang yang terletak di

tengah-tengah dan tidak berada di sebelah utara dalam wilayah Kecamatan

Wadaslintang (Lihat Gambar 3. Peta Lokasi Pasar-pasar Desa di Kecamatan

Wadaslintang) .

Kedua, konsep pancawara terhadap sistem pemukiman macapat dengan

mengatur rotasi hari-hari pasar yang ada di Wadaslintang dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

Tabel 1
Hari-hari Pasar di Kecamatan Wadaslintang
Hari Pelaksanaan Tempat Pasar
Pasar
Hari Wage Pasar Kelurahan Wadaslintang
Hari Kliwon Pasar Sikapat (Desa Besuki) dan Pasar Desa Lancar
Hari Manis/ Legi Pasar Desa Erorejo dan Pasar Desa Ngalian
Hari Pahing Pasar Desa Kaligowong dan Pasar Desa Panerusan
Sumber : pribadi

Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa pada hari pasarana pon tidak

dilakukan atau terselenggara pasar. Jadi konsep panatur desa yang dikaitkan

dengan sistem klasifikasi pancawara tidak sesuai. Ketidaksesuian yang ketiga

yaitu dapat di lihat pada denah lokasi pasar-pasar desa yang berada di

Kecamatan Wadaslintang tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :


36

Gambar 3. Peta Lokasi Pasar-pasar Desa di Kecamatan Wadaslintang


Sumber : Kecamatan Wadaslintang dalam Angka Tahun 2004

Berdasarkan gambar di atas dapat diamati dan diketahui bahwa letak

kelurahan Wadaslintang berada di tengah-tengah desa-desa lainnya yang

berada di kecamatan Wadaslintang. Jadi dapat disimpulkan bahwa letak pasar-

pasar desa di Kecamatan Wadaslintang, tidak selalu tepat dengan arah penjuru

mata angin. Pasar Wage yang seharusnya terletak di sebelah utara namun

dalam kenyataannya berada di tengah-tengah, begitupula dengan letak pasar

desa lainnya yang tidak sesuai dengan konsep pancawara terhadap sistem

pemukiman di kecamatan Wadaslintang.


37

Keempat, kenyataan lain yang tidak sesuai dengan konsep pancawara

dalam sistem pemukiman di kecamatan Wadaslintang adalah kelurahan

Wadaslintang yang digunakan sebagai desa induk dan pasar induk serta

sebagai pusat pemerintahan kecamatan diantara desa atau pasar-pasar desa

yang berada di kecamatan Wadaslintang. Hal ini berbeda dengan konsep

pancawara yang menjadikan pasar kliwon sebagai pasar induk.

Pasar Wadaslintang dianggap sebagai pusat pasar di kecamatan

Wadaslintang dan tentu saja mempunyai pendapatan yang lebih besar dari

pada pasar-pasar desa lainnya. Pasar Wadaslintang juga mempunyai status

yang berbeda dengan pasar-pasar yang ada di kecamatan Wadaslintang

tersebut. Pasar Wadaslintang dikatakan berbeda karena sejak tahun 2004

status Pasar Wadaslintang telah berubah dari milik Kelurahan Wadaslintang

menjadi milik Dinas Pasar Kabupaten Wonosobo, perbedaan lain yaitu di

Kecamatan Wadaslintang yang melakukan hari pasaran Wage hanya pasar

Wadaslintang. Hal ini berbeda dengan pasar-pasar lain di Kecamatan

Wadaslintang yang melakukan hari pasaran bersamaan dengan pasar lain,

misalnya pasar Ngalian dan pasar Erorejo yang secara bersamaan melakukan

pasaran di hari Manis/ Legi.

Di Kecamatan Wadaslintang tidak ada desa yang melakukan kegiatan

perekonomian pasar pada hari pon. Pada hari pon pasar Wadaslintang sudah

mulai ramai dikunjungi masyarakat walaupun pada hari pasaran pon tidak ada

desa yang melakukan aktivitas perekonomian, namun aktivitas perekonomian

tetap berjalan di Pasar Wadaslintang. Aktivitas perekonomian dilakukan oleh


38

para pedagang yang berasal dari luar Wadaslintang yang akan berdagang

keesokan harinya di Pasar Wadaslintang.

Luas Pasar Wadaslintang adalah 5.400 m2, yang meliputi Pasar Atas

dengan luas 3.300 m2 dan

Pasar Bawah dengan luas

2.100 m2. Pasar Tradisional

Wage Wadaslintang ini terdiri

dari beberapa Blok, yaitu :

Blok Sayuran terdiri dari Los

Soto, Los Cukur, Los Sayur A Gambar 4. Suasana Blok Pakaian di


Pasar Atas pada hari pasaran Wage.
Sumber :Dokumen Pribadi, diambil
sampai Los Sayur E; Blok Kios tanggal 3 Maret 2007

terdiri dari Kios A sampai Kios

G; Blok Pakaian terdiri dari

Los A sampai Los H; dan yang

terakhir adalah Komplek

Terminal. Adapun rincian

jumlah pedagang yang ada di

Pasar Tradisional Wage


Gambar 5. Suasana Los Sayuran di
Pasar Bawah pada hari pasaran Wage.
Wadaslintang adalah sebagai
Sumber :Dokumen Pribadi, diambil
tanggal 3 Maret 2007
berikut :
39

Tabel 2
Data Potensi Pasar KelurahanWadaslintang Tahun 1998-2005

Tahun 1998/1999 Tahun 2004/2005

No Jenis Pedagang Jumlah Luas Jumlah Luas


Pedagang Pedagang
1 Pedagang sayuran di Los 106 728,14 m2 104 560 m2

2 Tukang cukur di Los 11 115 m2 38 112 m2

3 Pedagang pakaian di Los 81 687,35 m2 114 151 m2

4 Pedagang pakaian di Kios - - 3 29 m2

5 Pemilik Kios/ Warung 89 608,51 m2 99 1.110 m2


Makan
6 Pedagang Kaki Lima - - 250 500 m2
Jumlah 287 2.139 m2 608 2.462 m2
Sumber : Dinas Pasar Wadaslintang & Kelurahan Wadaslintang

Berdasarkan tabel di atas, jumlah pedagang-pedagang yang terdaftar di

Kelurahan Wadaslintang tahun 1998/1999 hanya berjumlah sekitar 287 orang

dan pada tahun 2004/2005 naik menjadi 608 orang. Pada tahun 1998/1999

para pedagang kaki lima belum terdaftar di data potensi pasar sehingga

kenaikan jumlah pedagang yang terjadi di Pasar Wadaslintang cukup besar

yaitu sekitar 321 orang pedagang. Luas lahan yang digunakan pada tahun

1998/1999 adalah seluas luas 2.139 m2 sedangkan pada tahun 2004/2005 lahan

pasar yang terpakai sekitar 2.462 m2, sehingga terjadi perluasan pasar sekitar

323 m2. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan dalam penggunaan Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang.


40

Gambar 6. Pedagang pendatang yang menempati salah satu


sudut Pasar Tradisional Wage Wadaslintang pada hari pasaran
Wage sedang menanti pembeli datang.
Sumber : Dokumen Pribadi, diambil tanggal 3 Maret 2007

Kenyataannya pedagang yang berjualan di Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang lebih dari jumlah tersebut. Hal ini dapat diketahui dari

banyaknya para pedagang pendatang dan pedagang musiman yang tidak

terdaftar di Kelurahan Wadaslintang pada waktu itu. Keadaan tersebut juga

dapat dilihat dari luas pasar yang ada yaitu seluas 5.400m2. Dari lahan seluas

5.400m2, pedagang tetap yang menempati kios/ los pada tahun 2004/2005

hanya seluas 2.462 m2, sedangkan sisanya seluas 2.938 m2 ditempati para

pedagang yang tidak terdaftar pada daftar pedagang di Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang. Uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa para

pedagang yang berjualan di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang jumlahnya

lebih dari jumlah pedagang yang terdaftar di Kelurahan Wadaslintang. Data


41

kios/ los Pasar Tradisional Wage Wadaslintang berdasarkan sumber dana

pembangunannya adalah sebagai berikut :

Tabel 3
Data Los/ Kios Pasar Tradisional Wage Wadaslintang

No Jenis Kios/ Sebelum tahun Tahun 2004 Los


Los 2004 Revitalisasi
Jumlah Luas Jumlah Luas
1. Kios APBD 6 51 m2 6 51 m2 -
2. Kios 110 1.226 m2 110 1.226 m2 -
Swadaya
3. Los Swadaya 292 1.591 m2 196 1.046 m2 96
Sumber : Kelurahan Wadaslintang tahun 2004

Data di atas menunjukkan bahwa

Pasar Tradisional Wage Wadaslintang

mengalami Revitalisasi Los pada tahun

2004 seluas 545 m2 dengan jumlah 96

buah los. Los yang mengalami

revitalisasi adalah los swadaya yang

sudah tidak layak. Di dalam pasar

terdapat Bank Pasar, Kantor Dinas


Gambar 7. Los Revitalisasi
Pasar Tradisional Wage
Pasar Wadaslintang, Kantor Kelurahan
Wadaslintang pada hari biasa, dilihat
dari sebelah Selatan
dan Balai Kelurahan serta Komplek Sumber :Dokumen Pribadi,
diambil tanggal 1 Maret 2007
Terminal Wadaslintang. Kantor

Kelurahan, Balai Kelurahan dan komplek Terminal rencananya akan

dibongkar karena untuk perluasan pasar . Pembongkaran Kantor Kelurahan

dan Balai Kelurahan Wadaslintang karena Tanah Kantor Kelurahan dan Balai

Kelurahan adalah tanah Kas (Bondo Desa). Status desa yang berubah menjadi
42

kelurahan maka beralih pula status pasar desa menjadi pasar daerah, sehingga

tanah desa beralih status menjadi tanah milik Pemerintah Daerah Kabupaten

Wonosobo. Kantor Kelurahan dan Balai Kelurahan rencananya akan

dipindahkan ke Puskesmas Wadaslintang sekarang sedangkan Puskesmas

Wadaslintang akan dipindahkan ke Rumah Rawat Inap Wadaslintang.

Berubahnya status desa Wadaslintang menjadi kelurahan Wadaslintang,

berakibat pada pergantian kepemilikan pasar sehingga statusnya berubah

menjadi milik pemerintah daerah kabupaten Wonosobo. Hal ini dikarenakan

kecamatan Wadaslintang hanya memiliki satu kelurahan yaitu kelurahan

Wadaslintang, yang terdiri dari empat dusun yaitu dusun Wadaslintang,

Cangkring, Dadapgede dan Paras disamping 16 desa lainnya4.

Ada beberapa pedagang datang membawa barang ke Pasar Wadaslintang

sehari sebelum pasar dibuka yaitu pada hari pasaran pon. Mereka

menempatkan barang pada los pasar dengan menggunakan plastik yang

dibentangkan secara melingkar sebagai dinding pemagar barang. Kadang ada

pedagang yang tidur diatas barang itu sekaligus untuk menjaganya dan kadang

pula mereka sudah menggelar barang dagangannya pada hari pon tersebut.

Pada hari pon pasar Wadaslintang sudah mulai ramai dikunjungi oleh para

pembeli khususnya pembeli sayuran, karena jika mereka datang pada hari pon

maka sayuran yang mereka beli masih segar-segar dan bagus-bagus.

4
Desa-desa lain di Kecamatan Wadaslintang kecuali kelurahan Wadaslintang, yaitu desa
Kaligowong, Sumbersari, Sumberejo, Erorejo, Karanganyar, Panerusan, Plunjaran, Kumejing,
Lancar, Somogede, Trimulyo, Tirip, Besuki, Gumelar, Ngalian dan Kalidadap.
43

Tujuan utama pedagang yang datang pada hari pon itu agar pada pagi

harinya saat hari pasaran wage, mereka sudah siap berdagang karena tempat

tinggal mereka jauh dari Wadaslintang. Pasar Wadaslintang pada hari pasaran

pon sudah mulai ramai, walaupun tidak seramai ketika hari pasaran wage

karena para pedagang yang datang dan melakukan aktivitas perdagangannya

baru sebagian yang ada yaitu yang berasal dari luar daerah Wadaslintang. Para

pedagang yang berasal dari wilayah Wadaslintang baru akan datang pada

waktu hari pasaran wage tersebut.

Ketika hari pasaran wage tiba, sebelum matahari terbit, para pedagang

mulai berdatangan sekaligus dengan barang dagangannya. Para buruh pasar

sibuk menurunkan barang dan membawanya ke tempat jualan mereka masing-

masing, sementara pedagang sibuk mempersiapkan tempat barang yang akan

diperdagangkan. Banyak para pedagang yang tidak memiliki los atau

berjualan di luar los tetapi mereka tidak kesukaran tentang tempat berjualan.

Tampaknya sudah menjadi kebiasaan/ aturan yang tidak tertulis bagi pedagang

yang datang secara kontinyu, selalu menempati tempat semula. Pedagang

lainpun menyadari dan tidak berusaha untuk menempati tempat dagang yang

telah ditempati pedagang lain sebelumnya. Bagi pedagang yang baru tentu

mencari tempat yang belum pernah ditempati orang lain. Hal ini ditegaskan

dengan penuturan Sa’adah seorang pedagang pakaian yang mengatakan

bahwa :
44

“Saya berjualan di pasar wage Wadaslintang ini baru dua bulan namun
saya sudah bisa langsung menempati los pakaian. Pertama kali berjualan
sebenarnya saya tidak mempunyai los tapi kemudian saya menyewa dari
pedagang lain. Ketika bulik saya yang juga seorang pedagang pakaian,
tidak berjualan lagi maka saya yang menempati losnya sekarang ini. Jadi
saya tidak serta merta menempati los orang lain” (Wawancara, 3 Maret
2007).

Adanya kebebasan pedagang memasuki pasar, di satu pihak

menimbulkan keresahan bagi pedagang yang menetap, karena mereka merasa

disaingi. Pihak lain, masyarakat konsumen, merasa lebih leluasa membeli

didalam menentukan pilihannya. Konsumen lebih leluasa membeli dalam

menentukan pilihannya, maka konsumen juga dapat melakukan tawar

menawar sesuka hatinya. Jika barang dagangan yang ada di pasar sedikit maka

para pedagang dapat menentukan harga sesukanya sehingga mendapatkan

keuntungan sesuai dengan harapannya.

Kegiatan pasar Tradisional Wage Wadaslintang dimulai jam 07.00 pagi

dan berakhir jam 14.00 siang. Waktu yang teramai di kunjungi oleh

pengunjung adalah antara jam 08.00 sampa jam 11.00 siang sehingga waktu

berjualan pada pasar Wage Wadaslintang menjadi terbatas. Jumlah

pengunjung tiap pasaran wage mencapai ribuan orang dan bisa berkurang jika

cuaca buruk atau turun hujan. Menjelang saat Agustusan atau bulan puasa

serta Hari Raya, jumlah pengunjung meningkat (Wawancara Marliyah tanggal

3 Maret 2007).

Hasil wawancara dengan pedagang-pedagang di pasar Wage

Wadaslintang dapat diketahui bahwa para pedagang berjualan di beberapa

desa, mengikuti perputaran hari-hari pasar. Satu pedagang pada umumnya


45

berdagang di dua atau tiga pasar dan variasinya tidak selalu sama. Ada

pedagang yang berjualan di pasar Wadaslintang dan pasar Ngalian; ada yang

berjualan di pasar Erorejo, pasar Kaligowong dan pasar Panerusan; dan ada

pula yang berjualan di pasar Lancar, pasar Wadaslintang, pasar Ngalian dan

pasar Panerusan. Marliyah, seorang pedagang pakaian mengatakan bahwa :

“Saya sudah berjualan pakaian semenjak tahun 1970an. Saya berjualan


dibantu suami dan anak saya. Saya berjualan pakaian di pasar Ngalian
dan pasar Wadaslintang saja sedangkan anak saya berjualan di pasar
Pahing Kaliwiro” (Wawancara, 3 Maret 2007).

Perputaran para pedagang itu atas dasar kemauan sendiri atau mengikuti

pedagang-pedagang sedesa lainnya tanpa peraturan yang mengikat. Jadi para

pedagang di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang hanya berdagang di dua

atau tiga pasar dalam sepasar.

2. Jenis Pedagang

Pada hari pasar wage, situasi di pasar Wadaslintang sangat ramai. Para

pedagang datang dari segala penjuru sehingga yang berjualan tidak hanya di

kios-kios dan los-los yang sudah tersedia, tetapi juga meluap sampai ke

jalanan. Mereka menggelarkan dagangannya di pinggir jalan. Para petani

biasanya membawa sayur-mayur atau buah-buahan yang merupakan hasil

kebun/palawija dari kebun/ladangnya sendiri atau yang ia beli dari hasil

kebun/palawija penduduk di desanya atau dari desa tetangga.

Adakalanya seorang petani, laki-laki atau perempuan, pergi ke pasar

tanpa membawa uang, ia hanya membawa hasil kebun atau hasil palawija

yang berupa buah-buahan atau sayuran khususnya buah kelapa. Sesampainya

di pasar, jika ia tidak menjualnya sendiri, biasanya telah ada pedagang yang
46

menunggu, pada umumnya yang membeli adalah perempuan. Dari hasil

penjualan ini para petani mendapatkan penghasilan untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

Pedagang yang menunggu petani yang menjual hasil kebun atau palawija

dalam jumlah yang tidak banyak, oleh penduduk di kelurahan Wadaslintang

disebut bakul5. Para bakul ini datang sebelum aktivitas pasar dimulai. Mereka

menunggu para petani yang menjual hasil kebun atau hasil palawija dalam

jumlah yang tidak banyak, di pintu masuk pasar. Hasil pembelian dari

beberapa petani tersebut dikumpulkan kemudian dijual, baik secara eceran

maupun diborongkan kembali kepada tengkulak kedua.

Menurut Koentjaraningrat (1984: 188), ada beberapa jenis pedagang di

pasar-pasar di Jawa, yaitu : 1) petani atau tengkulak pertama yang membawa

hasil bumi atau kerajinan sebanyak yang dapat mereka angkut ke pasar; 2)

para tengkulak bakul yang membeli hasil bumi maupun industri rumah dari

para petani atau tengkulak pertama tersebut diatas dan menimbun barang itu

untuk kemudian mereka jual secara eceran atau secara borongan kepada

tengkulak kedua; 3) tengkulak kedua yang membeli barang dagangan secara

borongan dari para bakul, dan mengangkutnya ke suatu pasar lain untuk di jual

kepada bakul-bakul disana; 4) para makelar (pedagang perantara, sering juga

disebut dengan bakul atau sodagar) yang berkeliaran di daerah-daerah

pedesaan untuk membeli dan menghimpun hasil hasil pertanian yang kadang-

kadang mereka simpan sementara, dan kemudian mengangkutnya ke pasar; 5)

5
Bakul dalam bahasa Jawa berarti pedagang/ penjual (Koentjaraningrat, 1984:188)
47

pemilik pedati dan opelet yang menyewakan kendaraan mereka kepada para

pedagang “tengkulak pertama” maupun “tengkulak kedua”; 6) para penjaja

keliling yang membeli barang dagangan mereka dari bakul dan menjajakannya

ke rumah-rumah penduduk di desa maupun di kota; 7) para pemilik toko

keturunan Tionghoa yang membeli dagangan dari para tengkulak, para bakul,

maupun para makelar untuk dijual ke kota-kota yang jauh letaknya; 8) para

pemilik warung makanan; 9) para tukang yang terdiri dari tukang cukur,

tukang jahit, tukang sepatu dan sebagainya. Di Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang terdapat berbagai pedagang, ada pedagang kelontong6,

pedagang sayuran, buah-buahan, tembakau, pedagang makanan dan minuman,

pecah belah, kain/ pakaian, emas,

logam, pedagang sepatu, pedagang

ikan asin, daging, alat-alat

pertanian bahkan ada penjual jasa

seperti tukang cukur, tukang jahit

dan lain-lain. Mereka berasal dari


Gambar 8. Pedagang alat-alat
berbagai daerah di Wadaslintang pertanian sedang menanti pembeli.
Sumber :Dokumen Pribadi, diambil
maupun dari luar wilayah tanggal 3 Maret 2007

kecamatan Wadaslintang seperti Kaliwiro, Wonosobo, Prembun Kebumen,

Banjarnegara, Temanggung, Semarang dan lain-lain.

Di dalam pasar Tradisional Wage Wadaslintang terdapat berbagai jenis

pedagang, namun secara keseluruhan dapat digolongkan dalam tiga macam,

6
Pedagang kelontong adalah pedagang yang menjual berbagai keperluan termasuk sembilan
bahan makanan pokok (sembako)
48

yaitu : Pertama, pedagang menetap, pedagang yang berasal dari Wadaslintang

atau yang bertempat tinggal dalam pasar Wadaslintang dan berjualan juga

pada hari pasaran Wage, mereka kebanyakan adalah pedagang nasi; Kedua

adalah pedagang lokal yang bersifat insidentil, yaitu pedagang yang berasal

dari daerah sekitar Wadaslintang; Ketiga adalah pedagang yang berasal dari

luar.

3. Arus Barang dan Jasa

Ciri khas pasar dilihat dari sudut arus barang dan jasa adalah jenis barang

yang diperjualbelikan (Geertz, 1977: 31). Barang yang dijual di Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang pada umumnya adalah barang yang

dibutuhkan oleh masyarakat sehari-hari. Barang-barang yang masuk ke pasar

berasal dari beberapa daerah cukup bervariasi. Barang yang datang dari sekitar

Pasar Wadaslintang berasal dari hasil produksi tani dan hasil produksi pasar.

Maju mundurnya suatu pasar tergantung pada gerak roda ekonomi pasar

itu. Penggerak ekonomi itu antara lain pedagang. Pedagang berperan sebagai

penjual dan pembeli dalam rangka mempersiapkan barang kebutuhan

konsumen. Konsumen berhadapan langsung dengan pedagang yang memiliki

kedai. Penjual mengharapkan barang yang dijual agar cepat laku, sebaliknya

bagi pembeli ingin memiliki barang yang ia butuhkan. Adanya barang dalam

pasar karena adanya permintaan dan penawaran. Untuk memperoleh barang

tersebut bisa terjadi dibeli sendiri oleh pedagang atau melalui pedagang

keliling, bahkan ada yang dibuat dalam pasar (Majid, 1988: 321).
49

a. Barang Produksi Dalam Pasar

Ada pula hasil produksi dalam pasar selain barang dagangan yang datang

dari luar, yaitu barang yang dibuat dalam pasar, seperti makanan dan minuman

serta barang-barang lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan masyarakat.

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang

jumlah pemilik kios/ warung makan berjumlah 99 orang sehingga dapat

dikatakan bahwa barang produksi dalam pasar seperti halnya makanan dan

minuman dibuat dan dipasarkan dalam pasar.

Pedagang nasi/ warung makan di pasar Wadaslintang sekaligus menjual

minuman, kesemuanya itu dibuat sendiri. Tenaga kerjanya biasanya adalah

keluarga sendiri, namun ada juga yang tenaga kerjanya bukan keluarga tetapi

biasanya masih saudara. Mbah Sutrisno seorang pedagang soto di los pasar

bawah Wadaslintang mengungkapkan :

“Saya membuka warung makan berjualan nasi rames dan soto. Saya
memasak dan mempersiapkan makanan tersebut dibantu suami dan anak
saya. Saya tidak memberi upah mereka, mereka hanya sekedar
membantu sebisanya” (Wawancara, 3 Maret 2007).

Pekerjaan dalam warung sudah dibagi sesuai dengan bidang masing-

masing. Ada yang khusus memasak dan ada yang melayani pembeli. Tiap

warung nasi terdapat berbagai macam lauk makanan maupun minuman, mulai

dari yang bermodal kecil sampai kepada yang bermodal besar.

b. Penjual Jasa

Penjual jasa pasti ada dimana disitu ada pasar, begitu juga di Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang. Penjual jasa yang terdapat di pasar

Wadaslintang antara lain tukang cukur, penjahit dan para buruh-buruh jasa
50

(kuli-kuli kasar) yang membawakan barang dagangan para pedagang maupun

pembeli. Menurut data potensi pasar Kelurahan Wadaslintang, di Pasar

Wadaslintang terdapat 38 tukang cukur (lihat tabel 2).

c. Mekanisme Pengatur Arus Barang dan Jasa

Pasar dalam masyarakat petani, merupakan pusat dan ciri pokok dari

jalinan tukar-menukar yang menyatukan seluruh kehidupan ekonomi. Di

dalam pasar terjadi suatu sistem pemasaran barang dagangan yang

menghasilkan pengaturan harga-harga dengan sendirinya. Sistem pengaturan

harga ini termasuk ke dalam sistem pertukaran (Belshaw, 1981 : 98).

Menurut Belshaw (1981 : 10), ciri-ciri sistem pertukaran dipandang dari:

(1) sifat interaksi antara penjual dan pembeli; (2) sistematisasi dari nilai tukar

yaitu harga-harga apakah saling mempengaruhi; (3) berapa jauh pembelian

serta penjualan barang-barang dan jasa merupakan fungsi pasar; (4) rangkaian

barang-barang dan jasa-jasa yang diperjualbelikan; (5) berapa jauh transaksi

masuk ke tahap produksi dari bahan mentah ke produksi atau jasa yang dapat

dikonsumsi; (6) tingkat dan persaingan jual-beli; (7) tingkat dimana jual-beli

dapat dibeda-bedakan menurut alat tukar-menukar.

Pertemuan antara penjual dan pembeli menimbulkan suatu peristiwa

tawar-menawar. Timbulnya tawar-menawar karena barang yang diminta oleh

pembeli itu bukan harga pasti, karena tidak tahu secara pasti harga sesuatu

barang, melainkan hanya perkiraan saja. Ada beberapa barang tertentu tidak

terjadi tawar-menawar, karena harganya sudah diketahui secara pasti.


51

Perilaku penjual dan pembeli di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang

dalam tata cara tawar-menawar secara umum dapat dibagi dua bagian.

Pertama, tawar-menawar dalam bentuk pendek serta singkat dan yang kedua,

tawar-menawar dalam bentuk panjang serta lama. Tawar-menawar dalam

bentuk pendek dan singkat lazimnya ditujukan kepada barang yang telah

diketahui oleh pembeli baik tentang harga maupun mutunya. Tawar-menawar

kedua, umumnya terjadi atas barang yang masih kabur, baik mengenai sifat

barang itu sendiri maupun terhadap barang yang jarang mereka beli sehingga

pedoman tentang harga sama sekali tidak ada (Majid, 1988: 330).

Barang yang dijual tanpa mendapatkan tawaran harga yang menyolok

pada umumnya barang kebutuhan sehari-hari, seperti: beras, minyak goreng,

minyak tanah, ikan asin, rokok, tepung terigu, perhiasan emas dan lain-lain.

Barang dagangan yang mendapat tawaran yang lama dan panjang seperti :

barang pecah belah, pakaian, sepatu, bahan kain, dan lain-lain. Sebaliknya

pula jika petani membawa hasil pertaniannya, seperti : kelapa, petai, cengkeh,

kopi, dan yang lainnya; mereka menjual kepada pedagang yang diawali

dengan tawar-menawar yang bersifat lama. Persaingan terjadi dalam

menentukan harga, di satu pihak menawarkan dengan harga yang tinggi,

dipihak lain menawarkan dengan harga yang murah dengan memberikan

beberapa pertimbangan kepada penjual (petani). Terkadang tawar-menawar

bisa membuat harga yang pasti hingga terjadi transaksi jual-beli, akan tetapi

sebaliknya jika tidak ditemukan harga yang disepakati bersama, maka

pembawa barang itu beralih menawarkan kepada yang lain.


52

Menurut Nastiti (2003 : 99), ada dua bentuk transaksi yang dikenal :

pertama, transaksi yang dilakukan secara barter yang didasarkan atas

perbandingan satuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak; kedua

transaksi dilakukan dengan mempergunakan mata uang sebagai alat penukar.

Barang yang dijual atau dibeli pada umumnya dibayar secara konstan

dengan uang, ada pula yang dilakukan dengan utang piutang, serta ada pula

yang melakukan dengan cara barter. Utang piutang dilakukan jika keduanya

yaitu antara penjual dan pembeli telah memiliki kepercayaan dan mengenal

satu sama lain. Sistem barter biasanya dilakukan antara petani yang membawa

hasil pertaniannya dengan para pedagang yang menjual barang kebutuhan

pokok.

Penggunaan mata uang sebagai alat tukar muncul karena ada kebutuhan

akan benda-benda yang dapat dihitung untuk tujuan tukar menukar secara

tidak langsung. Uang itu sendiri didefinisikan sebagai sarana untuk melakukan

pertukaran secara tidak langsung yang dipakai sebagai alat pembayar, sebagai

satuan baku, dan sebagai alat tukar menukar (Nastiti, 2003: 99).

Menurut Belshaw (1981 : 11), uang pada hakekatnya bukanlah benda

fisik, uang adalah kumpulan dari berbagai fungsi. Fungsi-fungsi uang tersebut

lebih dari anggapan mengenai uang tunai yaitu sebagai alat tukar dan atau alat

simpanan; daya beli; modal likuid atau jangka pendek; cadangan likuid pada

umumnya; dan kesatuan nilai.

Banyaknya pedagang yang berasal dari luar pada Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang menyebabkan variasi barang cukup banyak. Transportasi yang


53

lancar turut mempercepat gerak keluar-masuk pedagang dan barang dalam

Pasar Tradisional Wage Wadaslintang. Ada beberapa pedagang yang

menyewa mobil colt atau truk selain menggunakan bus umum untuk

mengangkut barang dagangan mereka. Pengangkutan dari jalan atau dalam

lokasi pasar ke tempat jualan, dilakukan oleh sekelompok penjual jasa.

Pekerjaan yang dilakukan oleh penjual jasa adalah menurunkan serta

menaikkan barang dari dan ke mobil. Volume arus barang dengan demikian

cukup deras yang masuk. Ketinggian jumlah barang mempengaruhi atas

keluasaan pengunjung untuk memilih barang yang dibelinya. Faktor yang

mempercepat barang masuk pasar selain transportasi yang lancar juga

ditunjang oleh sekelompok penjual jasa dengan memberikan imbalan yang

setimpal dengan pekerjaannya.

C. Sejarah Pembangunan dan Perkembangan Pasar Wadaslintang

1. Sejarah Berdirinya Pasar Wadaslintang

Pasar Wadaslintang terletak di Kelurahan Wadaslintang. Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang ini berbatasan dengan: sebelah utara Kantor

Kecamatan Wadaslintang dan Perumahan Warga. Sebelah Timur berbatasan

dengan Jalan Raya Wadaslintang, Jalan Perkampungan Kauman dan

Perumahan Warga. Sebelah Selatan berbatasan dengan Masjid Wadaslintang

yang berfungsi sebagai tempat ibadah lima waktu, juga sebagai tempat

sembahyang Jum’at para umat Islam yang datang dari berbagai desa sambil
54

berbelanja di pasar. Sebelah Barat berbatasan dengan Perkampungan Gondang

Wadaslintang (Gambar dapat dilihat di Lampiran Denah Pasar Wadaslintang).

Sejarah berdirinya Pasar Tradisional Wage Wadaslintang terkait erat

dengan sejarah Wadaslintang dan perkembangan kekuasaan Desa

Wadaslintang. Menurut Heri Susanto, seorang tokoh masyarakat dusun

Cangkring Wadaslintang mengatakan bahwa sejarah berdirinya desa

Wadaslintang tidak dapat dilepaskan dengan Peristiwa Perang Diponegoro

yang terjadi tahun 1825-1830. Wilayah Wadaslintang ketika itu masih berupa

hamparan kawasan hutan belantara. Sekitar tahun 1827 datanglah pasukan

Diponegoro yang mencari daerah persembunyian, yang akhirnya terdamparlah

pasukan Diponegoro di wilayah Cangkring. Kedatangan pasukan Diponegoro

di Cangkring ini untuk menghindari kejaran pasukan Belanda dari arah

Kebumen ke Wonosobo. Mereka datang ke Cangkring lewat Kalipuru, Lancar

kemudian Cangkring. Ki Selarong Magelang juga sempat tinggal beberapa

lama di Cangkring (Wawancara tanggal 4 Maret 2007).

Beberapa anggota pasukan yang tinggal di Cangkring adalah Joko

Kanoman dan Suryo Mataram. Mereka ditugaskan untuk membuka hutan dan

mengubahnya menjadi tempat pemukiman, yang pada akhirnya berdirilah desa

Wadaslintang.

Menurut peristilahannya, Wadaslintang berasal dari dua kata yaitu,

wadas yang berarti batu dan lintang yang berarti bintang. Jadi kata

Wadaslintang kurang lebih berarti batu yang mirip bintang yang bersinar

terang. Konon menurut cerita rakyat, sebelum desa Wadaslintang dibuka


55

menjadi pemukiman disana terdapat bebatuan yang berkilauan menyerupai

bintang sehingga dinamailah Wadaslintang (Ahmad Toyib, Wawancara 28

Februari 2007). Bebatuan yang mempunyai ciri berwarna putih susu dan

berkilauan seperti bintang ini sampai sekarangpun masih banyak terdapat di

desa Wadaslintang, terutama banyak terdapat di pasir-pasir kali Kelurahan

Wadaslintang.

Joko Kanoman diminta untuk menjadi Dhemang7, namun Joko Kanoman

tidak bersedia untuk diangkat menjadi Dhemang. Cadipura akhirnya diangkat

sebagai Dhemang yang pertama di Wadaslintang yang diangkat secara

langsung dari Kadipaten. Cadipura bukan merupakan penduduk asli desa

Cangkring, beliau berasal dari Lamuk, Kaliwiro. Daerah kekuasaannya adalah

wilayah Wadaslintang, Cangkring dan Panerusan. Pada waktu itu pusat

pemerintahannya berada di desa Cangkring, namun pada masa pemerintahan

Dolah Sirod (1907-1910) yang merupakan Lurah yang diangkat oleh Camat

maka pusat pemerintahannya dipindahkan ke desa Wadaslintang.

Pengangkatan Cadipura sebagai Dhemang adalah awal dari sebuah

perjalanan panjang bagi bumi Wadaslintang, awal dari sebuah tatanan

pemerintahan dan awal dari kumpulan sosial kemasyarakatan. Adapun nama-

nama Lurah yang pernah memerintah Wadaslintang adalah sebagai berikut

(Susanto, wawancara tanggal 4 Maret 2007) :

1) Dhemang Cadipura, memerintah antara tahun 1834-1848

7
Dhemang adalah jabatan setingkat Lurah atau Kepala Desa pada waktu itu. Hal ini dipertegas
oleh Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Jawa yang menyatakan bahwa “seorang kepala
desa yang pada umumnya disebut lurah, tetapi seringkali juga bekel, perbekel, dhemang,
penatus, atau petinggi,…” (1984, 202).
56

2) Dhemang Cadireja, memerintah antara tahun 1848-1895

3) Kartodirjo, memerintah antara tahun 1895-1907

4) Lurah Dolah Sirod, memerintah antara tahun 1907-1910

5) Glondong Sastro Sukarno, memerintah antara tahun 1910-1955

6) Kepala Desa Maryo Sudarmo, memerintah antara tahun 1955-1973

7) Kepala Desa Sardi Susilo Miharjo, memerintah antara tahun 1973-1975

8) Kepala Desa Abdulholim, memerintah antara tahun 1975-1990

9) Kepala Desa Joyo Dipuro, memerintah antara tahun 1990-1998

10) Lurah Ahmad Muhadjir, memerintah mulai tahun 1998- sekarang.

Adanya perbedaan nama antara nama Dhemang, Glondong, Kepala Desa

maupun Lurah sebenarnya mempunyai sejarah tersendiri. Pada awalnya,

sekitar tahun 1827 sedang terjadi Perang Diponegoro datanglah pasukan Joko

Kanoman di Cangkring Wadaslintang kemudian dia diangkat oleh Bupati di

Kadipaten Wonosobo untuk menjadi Penguasa Wilayah Wadaslintang atau

yang pada waktu itu disebut Dhemang, akan tetapi Jaka Kanoman tidak mau

sehingga Bupati mengangkat Cadipura sebagai Dhemang pertama di

Wadaslintang.

Nama Lurah adalah jabatan yang diberikan oleh pemerintah yang ada

diatas desa, yang diangkat secara langsung oleh Camat. Lurah Dolah Sirod

adalah Lurah pertama yang diangkat oleh Camat Wadaslintang pada waktu itu

secara langsung, tetapi status wilayahnya masih desa Wadaslintang bukan

kelurahan. Bapak Ahmad Muhadjir, Lurah Wadaslintang sekarang, adalah

Lurah yang diangkat oleh Bupati secara langsung. Status desanya juga
57

berubah dari desa menjadi kelurahan. Lurah sekarang sudah tidak mempunyai

tanah bengkok karena statusnya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang

digaji oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan lurah terdahulu yang belum

berstatus pegawai negeri.

Glondong adalah merupakan ketua dari lurah-lurah yang ada pada waktu

itu. Glondong Sastro Sukarno merupakan ketua lurah-lurah desa yang ada di

kecamatan Wadaslintang pada waktu itu. Pada masa pemerintahan Glondong

Sastro Sukarno, pada tahun 1955 di Indonesia ada pemilihan umum yang

pertama. Adanya Pemilu tahun 1955 itulah maka melahirkan memikiran

demokrasi sehingga berubahlah cara pemilihan lurah. Pada pemerintahan

Bapak Maryo Sudarmo, pemilihan lurah dilakukan secara langsung dipilih

oleh rakyat Wadaslintang sehingga berubah pula nama lurah menjadi Kepala

Desa. Adanya otonomi daerah, maka status kepala desa juga berubah lagi

menjadi lurah pada masa pemerintahan Bapak Ahmad Muhadjir.

Nama Wadaslintang sebelum wilayahnya dikenal, daerah tersebut

termasuk dalam desa Plunjaran. Desa Plunjaran sendiri termasuk kedalam

wilayah Cangkring yang meliputi, desa Cangkring, desa Tirip dan desa

Plunjaran. Pembagian wilayah ini terjadi pada masa pemerintahan Lurah

Sastro Sukarno dengan jabatan Glondong8.

Glondong Sastro Sukarno berkuasa antara tahun 1910-1955. Pada masa

pemerintahan Glondong Sastro Sukarno, di Wadaslintang terjadi

pembangunan fisik secara besar-besaran. Pembangunan fisik tersebut antara


8
Glondong adalah seorang Lurah namun mempunyai kekuasaan untuk membawahi lurah-lurah
yang ada didaerah sekitar (Ketua Lurah-lurah). Penunjukan Glondong berasal dari Kadipaten
atau Bupati pada waktu itu (Susanto,wawancara tanggal 4 maret 2007) .
58

lain pembangunan Jalan Raya yang menghubungkan Wonosobo-Kebumen,

pembangunan Irigasi dan pembangunan Pasar desa.

Menurut Nastiti, kelebihan produksi setelah kebutuhan sendiri terpenuhi

memerlukan tempat pengaliran untuk dijual. Pemenuhan kebutuhan akan

barang-barang juga memerlukan tempat yang praktis untuk mendapatkan

barang-barang, baik dengan menukar atau membeli. Adanya kebutuhan-

kebutuhan inilah yang mendorong munculnya tempat berdagang yang disebut

pasar (Nastiti, 2003: 60)

Alasan itulah yang mungkin ada dalam benak Glondong Sastro Sukarno

sehingga beliau merealisasikan pembangunan pasar desa di Wadaslintang

pada waktu itu. Pembangunan pasar desa Wadaslintang tidak lepas dari

kebutuhan ekonomi masyarakat Wadaslintang setempat.

Pembangunan pasar desa ini tidak diketahui secara pasti kapan mulai ada,

tetapi dari keterangan penduduk sekitar, bahwa pasar desa Wadaslintang

sudah ada sekitar tahun 1900-an. Pembangunan pasar desa ini bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat yang amat sulit pada waktu itu.

Pada masa pemerintahan Glondong Sastro Sukarno inilah terjadi

kesepakatan antara para Dhemang di kecamatan Wadaslintang mengenai

letak-letak pasar desa yang berada di wilayah kecamatan Wadaslintang.

Menurut Sutaryo kepala dusun (bau) Wadaslintang sejak tahun 1962 sampai

sekarang, mengatakan bahwa pasar desa Wadaslintang sebelumnya terletak di

desa Plunjaran akan tetapi setelah beberapa saat berada di desa Plunjaran,
59

akhirnya pasar desa ini dipindahkan ke desa Wadaslintang (Wawancara, 2

Maret 2007).

Pemindahan lokasi pasar Plunjaran ke desa Wadaslintang ini menurut

Sutaryo disebabkan karena beberapa alasan antara lain karena letak desa

Wadaslintang yang strategis dekat dengan jalan raya yang menghubungkan

antara kabupaten Wonosobo dan kabupaten Kebumen sehingga pasar desa ini

mudah dijangkau oleh masyarakat sekitar Wadaslintang. Alat transportasi

pada waktu itu masih jarang, namun dengan keberadaan pasar desa ini di

Wadaslintang telah memunculkan alat transportasi berupa mobil angkutan

yang beroperasi tiap hari pasaran wage dimana aktivitas pasar dilakukan. Jadi

selain hari pasaran wage dimana tidak ada aktivitas pasar maka tidak ada alat

transportasi sehingga orang-orang yang mau bepergian ke kabupaten

Wonosobo yang berjarak 37 km pada waktu itu harus berjalan kurang lebih

satu hari perjalanan. Menurut penuturan Ahmad Toyib yang mengatakan

bahwa :

“Sejak saya lahir, Pasar Wage Wadaslintang ini sudah ada. Desa
Wadaslintang ini sekitar tahun 1960an masih sangat sepi. Apalagi desa
Wadaslintang ini letaknya jauh dari ibukota kabupaten Wonosobo. Jadi
desa Wadaslintang ini hanya ramai pada hari-hari tertentu saja yaitu pada
hari pasaran pon dan hari pasaran wage. Alat transportasinyapun masih
sangat jarang hanya ada pada hari pasaran pon dan wage saja, itupun
hanya terdapat satu atau dua mobil angkutan saja. Sedangkan pada hari-
hari biasa tidak ada angkutan sama sekali” (Wawancara, 28 Februari
2007)

Menurut Sutaryo Kadus Wadaslintang, alasan kedua di pindahkannya

pasar Plunjaran ke Wadaslintang adalah karena letak desa Wadaslintang yang


60

dekat dengan kecamatan9 Wadaslintang sehingga informasi yang berasal dari

pemerintah akan cepat disampaikan pada masyarakat (Wawancara, 2 Maret

2007).

Masa pemerintahan Glondong Sastro Sukarno, pembangunan fisik masih

terus dilakukan dan paling banyak dilakukan sesudah adanya Pemilihan

Umum I tahun 1955. Pembangunan fisik ini dilakukan untuk memulihkan

keadaan ekonomi rakyat setelah penjajahan Jepang. Sutaryo juga mengatakan

bahwa pembangunan los pasar juga dilakukan sesudah kemerdekaan atau

sekitar tahun 1945an (Wawancara, 2 Maret 2007).

Nama Pasar Tradisional Wadaslintang ini sebenarnya bukanlah Pasar

Wage, namun karena diselenggarakan setiap hari wage maka banyak orang

yang menyebutnya sebagai Pasar Wage Wadaslintang. Keberadaan pasar

Wadaslintang ini masih ada sampai sekarang. Pasar ini melakukan

aktivitasnya setiap hari wage, namun pada hari pon pun pedagang dari daerah

sekitar Wadaslintang sudah banyak yang datang sehingga ada pula pedagang

yang sudah memulai aktivitas perdagangan pada hari pon. Menurut keterangan

Pak Muhadjir (Lurah Wadaslintang sekarang), bahwa Pasar Wadaslintang ini

telah mengalami beberapakali revitalisasi los, revitalisasi terakhir dilakukan

pada tahun 2004 (Wawancara, 5 Maret 2007).

2. Perkembangan Pasar Wadaslintang Tahun 1998-2005

Era Reformasi yang bergulir 1998 melahirkan Otonomi Daerah. Dampak

adanya Otonomi Daerah adalah berubahnya status desa Wadaslintang yang

9
Kecamatan pada waktu itu masih bernama seten belum kecamatan (wawancara dengan Heri
Susanto, tanggal 4 maret 2007)
61

semula berstatus desa berubah menjadi Kelurahan Wadaslintang. Kepala

pemerintahan terdahulu dipegang oleh seorang Kepala Desa yang dipilih

secara langsung oleh masyarakat Wadaslintang kemudian beralih status

kepada kepala kelurahan (lurah), yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten.

Perubahan ini berdampak pada status Pasar Wadaslintang. Pasar

Wadaslintang yang berstatus pasar desa dengan adanya Otonomi Daerah maka

beralih menjadi pasar daerah. Status Pasar Wadaslintang telah berubah status

secara resmi dari pasar desa menjadi Pasar Daerah yang berada di bawah

pengelolaan Dinas Pasar Kabupaten Wonosobo tepatnya pada tanggal 3 Maret

2005. Beralihnya status Pasar Kelurahan Wadaslintang menjadi Pasar Daerah

Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo berkaitan erat dengan adanya

otonomi daerah Kabupaten Wonosobo. Adanya Otonomi Daerah maka status

desa Wadaslintang berubah menjadi Kelurahan Wadaslintang secara resmi

pada tanggal 24 Maret 1998 (Muhajir, Wawancara 5 Maret 2007).

Berubahnya status desa menjadi kelurahan Wadaslintang, maka berubah

pula struktur birokrasi yang ada di dalamnya. Struktur birokrasi sebelum

berubahnya status desa menjadi kelurahan, Desa Wadaslintang dipimpin oleh

seorang Kepala Desa (Kades) yang dibantu oleh beberapa perangkat desa.

Menurut Koentjaraningrat, sebagai kepala desa yang membawahi suatu

daerah, seorang lurah dibantu oleh suatu staff yang terdiri dari 10-15 orang

pegawai (perabot dhusun atau lebih sering disebut perangkat desa) yang pada

umumnya diangkat walaupun ada beberapa yang menempati jabatan itu


62

berdasarkan pemilihan. Perangkat desa tersebut antara lain terdiri dari wakil

kepala desa (congkok), penulis atau sekretaris desa (carik), bendaharawan

(kamisepuh), pegawai keagamaan (kaum atau modin) untuk mencatat

perkawinan dan perceraian, beberapa orang polisi (jagabaya) dan beberapa

orang penyiar pengumuman (kebayan) di desa-desa di tanah dataran rendah

dimana pembagian air dan sistem pengairan memerlukan perhatian khusus,

seringkali ada seorang pegawai pengairan yang disebut ulu-ulu, anjir,

reksabumi (1984: 203).

Menurut tradisi, di desa Wadaslintang hanya lima orang saja yang

dianggap sebagai pegawai pamong desa kecuali jumlah sesungguhnya, yaitu

kepala desa, sekretaris desa (carik), bendahara desa, pegawai keagamaan

(kaum) dan juru penyiar pengumuman. Selain itu juga ada beberapa kepala

dusun yang membawahi dusun-dusun yang berada di desa Wadaslintang.

Kepala desa Wadaslintang pada waktu itu dipilih secara langsung oleh

warga masyarakat Wadaslintang melalui pemilihan kepala desa. Kepala desa

memiliki masa jabatan selama delapan tahun dan dapat dipilih kembali

melalui pemilihan kepala desa berikutnya apabila masih didukung oleh

rakyatnya. Seorang kepala desa yang sudah tidak dipercayai lagi oleh para

penduduk desanya dapat dilepaskan dari jabatannya oleh camat.

Seorang kepala desa dan pegawainya tidak menerima gaji dari

pemerintah tetapi sebagian dari penghasilan mereka diperoleh dari hak mereka

untuk menggunakan tanah (siti bengkok) yang diberikan kepada mereka


63

selama mereka menjabat pekerjaan mereka, dan sebagian lagi dari pajak serta

jasa yang mereka terima dari penduduk desa, yang berdasarkan adat.

Kepala desa memiliki tanah bengkok yang dapat dimanfaatkan secara

pribadi selama menjabat sebagai seorang kepala desa. Carik dan Kadus juga

demikian, mereka memiliki tanah bengkok selama menjabat jadi perangkat

desa dan jika sudah tidak menjabat maka tanah bengkok tersebut akan jatuh

ketangan perangkat desa yang baru dan seterusnya. Tanah bengkok ini adalah

sebagai imbalan kepada perangkat desa karena mau mengabdikan dirinya

untuk kemajuan desanya. Jadi mereka tidak mendapatkan gaji dari desa atas

jabatan mereka selama menjadi perangkat desa.

Kepala Kelurahan (Lurah) adalah pejabat pemerintah yang diangkat

secara langsung oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini yang berwenang

mengangkat adalah Bupati. Rakyat tidak memilih secara langsung seperti

halnya Kepala Desa. Lurah memiliki jabatan sama dengan Kepala Desa yaitu

selama delapan tahun dan dapat dipilih kembali. Lurah dan perangkat

kelurahan merupakan pejabat pemerintah jadi statusnya adalah sebagai

pegawai pemerintah (pegawai negeri), sehingga Lurah dan perangkat

kelurahan tidak memiliki tanah bengkok, namun mereka mendapatkan gaji

dari pemerintah.

Adapun susunan struktur birokrasi Kelurahan terdiri dari Lurah,

Sekretaris Kelurahan, Kasi Pemerintahan, Kasi Pemberdayaan Masyarakat,

Kasi Kesejahteraan Sosial, Kasi Ketentraman dan Ketertiban serta Kepala


64

Lingkungan yang membawahi Rukun Rumah Tangga (RT) dan Rukun Warga

(RW).

Kelurahan Wadaslintang saat ini belum ada Kepala Lingkungan yang

membawahi RT dan RW. Hal ini terkait dengan berubahnya status desa

menjadi kelurahan yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk

mengubah struktur birokrasi desa. Kepala kelurahan tidak mempunyai

wewenang untuk memberhentikan kepala dusun yang ada di Wadaslintang.

Kepala dusun yang ada di Wadaslintang saat ini mempunyai kedudukan yang

sama dengan Kepala Lingkungan dan membawahi RT dan RW yang berada di

lingkungan Kelurahan Wadaslintang, akan tetapi karena statusnya tetap

sebagai Kepala Dusun maka mereka tetap memiliki Tanah Bengkok dan tidak

berstatus sebagai pegawai negeri yang mendapatkan gaji dari pemerintah

seperti halnya Kepala Lingkungan.

Berubahnya status desa Wadaslintang menjadi kelurahan Wadaslintang

mengakibatkan berubahnya status Pasar Wadaslintang. Memperhatikan

Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 12 Tahun 2002 tentang

Pedoman Pembentukan, Penghapusan, dan atau Penggabungan Kelurahan

Pasal 11 yang antara lain menyebutkan bahwa seluruh kekayaan dan sumber

pendapatan yang menjadi milik pemerintah desa dengan berubahnya status

desa menjadi kelurahan maka menjadi milik Pemerintah Daerah Kabupaten

Wonosobo.

Berdasarkan peraturan daerah tersebut, maka Kepala Kelurahan

Wadaslintang berkoordinasi dengan Dinas Pengelola Pasar Daerah Kabupaten


65

Wonosobo yang intinya membahas perubahan status pasar Desa/Kelurahan

Wadaslintang menjadi pasar Daerah Kabupaten Wonosobo. Perubahan Status

Pasar Wadaslintang ini telah ditindak lanjuti dengan Musyawarah Kelurahan

pada tanggal 3 Juli 2004 di Balai Kelurahan Wadaslintang. Hasil

Musyawarah Kelurahan menyatakan dengan mufakat bulat bahwa : 1) Setuju

alih status Pasar Wadaslintang menjadi Pasar Daerah Kabupaten Wonosobo;

2) Fasilitas berupa Kantor Kelurahan dan Balai Kelurahan Wadaslintang yang

kemudian hari akan dibongkar untuk penataan Pasar dan Areal Parkir/

Terminal, mendapatkan kompensasi dibuatkan penggantinya di tempat lain

yaitu di tempat Puskesmas Wadaslintang sekarang. Puskesmas Wadaslintang

akan dipindahkan di Rumah Rawat Inap Wadaslintang yang sedang dalam

proses penyelesaian (Muhajir, Wawancara 5 Maret 2007). .

Status Pasar Desa menjadi Pasar Daerah berubah secara resmi yaitu pada

tanggal 3 Maret 2005, sehingga akhirnya Pasar Wadaslintang dikelola oleh

Dinas Pengelola Pasar Kabupaten Wonosobo dibawahi oleh UPT Pasar

Kaliwiro. Wilayah Wadaslintang merupakan Kawedanan Kaliwiro sehingga

UPT Pasar masuk kedalam UPT Pasar Kaliwiro (Tri Ukendarwati,

Wawancara 8 Maret 2007).

Perubahan status pasar berakibat pada pergantian kepemilikan tanah

pasar dan halaman Balai Kelurahan/ Terminal Wadaslintang yang berada di

dalam pasar yang merupakan tanah kas (bondo desa) maka dengan

berubahnya status pasar menjadi milik Pemerintah Kabupaten Wonosobo.


BAB III

KEHIDUPAN EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT


WADASLINTANG TAHUN 1998-2005

A. Kondisi Geografis Kelurahan Wadaslintang

Kelurahan Wadaslintang terletak di Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten

Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan Wadaslintang merupakan

Kecamatan terjauh dan terluas di Kabupaten Wonosobo dan wilayah paling

selatan Kabupaten Wonosobo.

Luas kecamatan Wadaslintang adalah 12.716 Ha, terletak pada

ketinggian 275 m diatas permukaan laut sehingga merupakan wilayah yang

paling rendah di kabupaten Wonosobo. Kecamatan Wadaslintang merupakan

wilayah yang udaranya cukup panas dari pada kecamatan-kecamatan lain yang

berada di kabupaten Wonosobo, hal ini disebabkan karena posisi wilayahnya

yang paling rendah dari permukaan laut. Curah hujan pada tahun 2000

sebanyak 3.293 milimeter dengan jumlah hujan sebanyak 136 hari.

Jarak ibukota kecamatan Wadaslintang ke ibukota kabupaten adalah 37

km kearah timur dan merupakan kecamatan terjauh dari kota Wonosobo.

Kecamatan Wadaslintang ini berbatasan dengan beberapa wilayah, antara lain:

pada sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kaliwiro, sebelah timur

berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, sebelah selatan dan barat berbatasan

dengan Kabupaten Kebumen.

Penduduk Kecamatan Wadaslintang akhir tahun 2005 sebanyak 53.811

jiwa yang tersebar di 16 desa dan 1 kelurahan dengan sex ratio 99,47% dengan

66
67

kepadatan rata-rata 423 jiwa/km2. Kelurahan Wadaslintang adalah satu-

satunya kelurahan yang berada di Kecamatan Wadaslintang. Kelurahan

Wadaslintang sendiri mempunyai luas 442,000 Ha dengan jumlah penduduk

4.692 jiwa dengan rincian laki-laki 2.322 jiwa dan perempuan dengan jumlah

2.370 jiwa, sehingga kepadatan penduduknya adalah 1.062 jiwa/km2 pada

akhir tahun 2005. Batas-batas wilayah Kelurahan Wadaslintang dapat dilihat

pada gambar dibawah ini.


68

Gambar 9. PETA KELURAHAN WADASLINTANG


Sumber : Kelurahan Wadaslintang

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa Kelurahan Wadaslintang

berbatasan dengan: sebelah utara berbatasan dengan Desa Trimulyo dan Hutan

Pinus milik Kehutanan Kedu Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Desa

Plunjaran, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Panerusan dan Waduk

Wadaslintang dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Tirip.


69

Kelurahan Wadaslintang terdiri dari 4 Dusun yaitu Dusun Wadaslintang,

Cangkring, Dadapgede dan Paras serta terdiri dari 39 RT dan 10 RW. Masing-

masing dusun dikepalai oleh seorang kepala dusun. Jabatan kepala dusun

sebenarnya sudah tidak berlaku lagi jika wilayahnya berstatus kelurahan karena

jika suatu desa mempunyai status kelurahan maka yang membawahi suatu

lingkungan dibawah Kelurahan adalah Kepala Lingkungan yang berstatus

Pegawai Negeri Sipil.

Proses perubahan status desa Wadaslintang menjadi kelurahan

Wadaslintang itu sangat panjang dan tidak mudah maka kelurahan

Wadaslintang masih menggunakan Kepala Dusun untuk membawahi suatu

Lingkungan Warga. Kepala dusun tersebut masing-masing masih mempunyai

hak atas tanah bengkok yang merupakan “bondo desa” sehingga mereka tidak

mendapatkan gaji dari pemerintah seperti halnya Kepala Lingkungan.

B. Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Wadaslintang

1. Kehidupan Ekonomi

Kehidupan masyarakat Wadaslintang, sebagian besar menitikberatkan

kepada sektor pertanian, sehingga masyarakatnya bermata pencaharian sebagai

petani. Jenis tanah di Wadaslintang sebagian besar adalah tanah kering yang

digunakan sebagai areal pemukiman, bangunan, pekarangan, hutan,

perkebunan dan waduk. Kegiatan pertanian masyarakat adalah pertanian

tegalan dan perkebunan.


70

Pertanian tanaman pangan untuk wilayah Wadaslintang lebih rendah

kalau dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten Wonosobo. Hal tersebut

disebabkan oleh kondisi lahan pertaniannnya yang kering dan terpengaruh pada

keadaan iklim yang kurang mendukung, khususnya untuk lahan sawah/padi,

yang sebagian besar adalah sawah tadah hujan. Pertanian perkebunan cukup

bagus terutama pada tanaman keras/tanaman tahunan seperti kelapa, cengkeh,

kopi dan sebagian telah dikembangkan tanaman lada.

Sektor yang mendukung perekonomian masyarakat Wadaslintang selain

sektor pertanian adalah dibidang perdagangan dan jasa. Pengembangan sektor

perkebunan dan perikanan juga cukup baik. Masyarakat Wadaslintang juga

mempunyai pekerjaan sambilan lainnya. Pekerjaan sambilan adalah pekerjaan

yang dilakukan bila pekerjaan disawah sudah selesai artinya menunggu waktu

bersawah yang akan datang atau menunggu waktu panen tiba. Adapun

pekerjaan sambilan yang dilakukan oleh masyarakat petani kelurahan

Wadaslintang adalah beternak dan berdagang yang biasanya dilakukan

seminggu sekali yaitu di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang, dan lain-lain.

Para petani ini biasanya menghentikan aktivitas pertaniannya pada hari pasaran

wage. Pada hari itu mereka melakukan kegiatannya di Pasar Wadaslintang,

untuk menjual hasil pertaniannya. Keadaan perekonomian masyarakat

Wadaslintang dapat dilihat pada tabel berikut ini.


71

Tabel 4
Komposisi Penduduk Kelurahan Wadaslintang Menurut Mata
Pencaharian Tahun 1998 dan Tahun 2005

No. Mata pencaharian Tahun 1998 Tahun 2005

1 Petani Sendiri 749 1.030


2 Buruh Tani 98 100
3 Nelayan 17 14
4 Pengusaha 11 -
5 Industri 76 68
6 Bangunan 27 98
7 Perdagangan 176 190
8 Transportasi 38 120
9 Pegawai Negeri Sipil 49 74
10 POLRI - 3
11 Pensiunan 43 47
12 Lainnya 1620 68
Jumlah 2.904 1.798
Sumber : BPS Kabupaten Wonosobo tahun 1998 dan 2005

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa mata pencaharian pokok

masyarakat kelurahan Wadaslintang adalah sebagai petani. Pertanian yang

dilakukan adalah persawahan dan pertanian ladang. Kebanyakan masyarakat

Wadaslintang membudidayakan tanaman tahunan seperti kelapa.

Kehidupan ekonomi masyarakat Wadaslintang terlihat jelas dengan

adanya pasar. Pasar mempunyai peran dalam kegiatan ekonomi, sosial maupun

budaya. Terdapatnya peranan pasar yang bermacam-macam maka pasar dapat

dilihat sebagai suatu sistem. Adapun yang dimaksud dengan sistem ialah

organisasi yang saling terkait dan tergantung antar bagiannya yang membentuk

suatu kesatuan. Pasar sebagai suatu sistem merupakan suatu kesatuan dari

komponen-komponen yang mempunyai fungsi untuk mendukung fungsi secara

keseluruhan. Sistem pasar oleh karena itu dapat dirumuskan sebagai sistem
72

pertukaran barang dan jasa yang diperlukan untuk spesialisasi karakteristik

fungsi ekonomi dari masyarakat yang kompleks dan diatur oleh norma-norma

sosial yang telah dilembagakan (Nastiti, 2003 : 53).

Sistem pasar tampak sebagai suatu kesatuan yang saling berhubungan

sehingga terjadi saling ketergantungan antara masing-masing komponen.

Adapun komponen-komponen yang ada di pasar adalah produksi, distribusi,

transportasi, transaksi, dan rotasi serta konsumsi. Masing-masing komponen

yang terdapat dalam sistem pasar, misalnya faktor produksi sangat tergantung

pada faktor distribusi dan untuk lancarnya suatu distribusi sangat diperlukan

sarana transportasi yang baik sehingga hasil produksi dapat mencapai pasar,

begitulah seterusnya sampai barang tersebut sampai di tangan konsumen.

a. Sistem Produksi

Bagi masyarakat pedesaan di Wadaslintang, keberadaan Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang mempunyai peranan yang sangat penting.

Pasar merupakan tempat bertemunya penjual atau pembeli atau dapat dikatakan

sebagai tempat dimana produsen dan konsumen bertemu untuk melakukan

transaksi jual-beli. Pasar berperan sebagai tempat pengumpulan hasil usaha tani

dan sebagai tempat pembagian barang untuk konsumsi lokal

Pada awalnya pasar hadir dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat Wadaslintang dari hasil bumi masyarakat Wadaslintang itu sendiri.

Pasar tradisional ini dalam perkembangannya tidak hanya menampung hasil

bumi dan produksi masyarakat Wadaslintang saja melainkan juga menampung

hasil bumi dan produksi daerah lain yang diperlukan masyarakat Wadaslintang.
73

Pelaku pasar pun yang semula hanya oleh dan untuk masyarakat

Wadaslintang, dalam perkembangannya selanjutnya hadir pelaku pasar dan

pembeli dari daerah-daerah sekitar, misal Kelurahan Kaliwiro, Wonosobo,

Prembun (Kebumen), Banjarnegara dan lain-lain. Pasar Tradisional Wage pada

akhirnya merupakan pusat pertemuan dari beberapa daerah disekitar

Wadaslintang.

Komoditi yang diperdagangkan di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang

adalah barang-barang kebutuhan sehari-hari. Wadaslintang termasuk dalam

kategori daerah pedalaman, sehingga komoditi yang banyak diperjualbelikan

adalah hasil produksi agraris (pertanian) seperti padi atau beras, sayur-mayur,

buah-buahan dan lain-lain. Sayur-mayur dan buah-buahan yang

diperjualbelikan berasal dari Kecamatan Garung, Kalikajar dan Dieng. Daerah

Wadaslintang tanahnya tidak cocok untuk menanam sayur-mayur karena

daerahnya cukup panas dibandingkan dengan Kecamatan lain yang berada di

Kabupaten Wonosobo. Sayur-mayur dan buah-buahan yang produksi sendiri

adalah sayur daun singkong, buah kelapa, durian, duku dan lain-lain. Sayur dan

buah-buhana yang ditanam disesuaikan dengan tanah dan cuaca di

Wadaslintang. Wadaslintang terletak di daerah pedalaman, namun di pasar

dijualbelikan juga berbagai jenis ikan, baik ikan laut ataupun tambak10. Jenis

10
Menurut Subroto (1985: 38), pengertian tambak terdapat beberapa tafsiran antara lain : tambak
yang dapat berarti dinding dam, kolam ikan dan pintu air untuk mengatur banjir; dapat pula
berarti tanggul sungai; atau hanya terbatas pada pengertian kolam pemeliharaan ikan; serta dapat
pula berarti sebuah dam yang menyeberangi sungai dan berfungsi sebagai pengatur air sungai
agar pada waktu musim kering kebutuhan air tetap dapat terpenuhi. Sedangkan Tambak yang
dimaksud disini yaitu kolam pemeliharaan ikan. Tambak disini adalah budidaya ikan yang
dilakukan masyarakat Wadaslintang dengan memanfaatkan keberadaan Waduk Wadaslintang.
74

ikan laut berasal dari Kebumen, ikan tambak diproduksi sendiri dengan

memanfaatkan Waduk Wadaslintang.

Jenis-jenis komoditi yang diperdagangkan dapat dibedakan oleh

produksinya, yaitu produksi primer dan produksi sekunder. Produksi primer

yaitu barang-barang yang dihasilkan oleh usaha manusia atau kelompok

masyarakat yang berhubungan dengan alam seperti pertanian, perikanan, atau

bahan mentah lainnya; sedangkan produksi sekunder adalah suatu barang yang

dihasilkan oleh usaha industri yang berupa barang-barang yang dihasilkan oleh

usaha industri yang berupa barang-barang konsumsi seperti makanan dan

pakaian (Syamsidar, 1991: 48).

1) Bidang Pertanian

Kondisi geografis dan geologis serta tersedianya sumber-sumber bahan

untuk keperluan pertanian menyebabkan pertanian sudah dikenal di Indonesia

sejak masa sebelum Masehi (Geertz, 1983 :38). Pertanian tanaman pangan

untuk wilayah Wadaslintang bisa dikatakan lebih rendah kalau dibandingkan

dengan daerah atau kecamatan lain di Wonosobo11. Hal ini disebabkan karena

memang kondisi lahan pertaniannya sangat terpengaruh pada keadaan dan

iklim yang kurang mendukung, khususnya untuk lahan sawah atau padi, yang

sebagian besar sawah tadah hujan.

Berdasarkan pada perbedaan sifat dari masing-masing jenis tanamannya,

secara umum dikenal adanya pertanian basah dan pertanian kering. Pertanian

kering tidak memerlukan irigasi baik dari sumber mata air atau sungai atau air
11
Di Wonosobo ada 13 kecamatan yaitu Wadaslintang, Kepil, Sapuran, Kaliwiro, Leksono/
Sukaharjo, Selomerto, Kalikajar, Kertek, Wonosobo, Watumalang, Mojotengah, Garung, dan
Kejajar.
75

hujan secara teratur, sebaliknya pertanian basah sangat menggantungkan pada

penggunaan irigasi yang sangat teratur. Termasuk dalam jenis pertanian kering

adalah: (1) pertanian di tanah tegalan, yaitu kegiatan penanaman tanaman

pangan secara tetap pada daerah lahan kering dan perlu adanya pengolahan

tanah sebelum ditanami, jenis tanamannya juga lebih bervariasi; (2) pertanian

di ladang, yaitu jenis kegiatan pertanian yang dilakukan secara berpindah-

pindah dengan penanaman berbagai tanaman berumur pendek, terutama

tanaman pangan, dan tanah yang akan ditanami tidak diolah sehingga tingkat

kesuburannya makin lama makin berkurang; dan (3) pertanian di kebun, yaitu

kegiatan pertanian yang

menggarap tanaman perdu

berusia panjang atau tanaman

penghasil panenan yang ditanam

pada lahan tetap, biasanya

letaknya berdekatan dengan

Gambar 10. Wadaslintang Sentra Buah dengan suatu bangunan tempat


Kelapa. Bahu jalan menuju Pasar Wage
Wadaslintang yang digunakan untuk penghunian. Sebaliknya yang
memasarkan hasil pertanian kelapa.
Sumber :Dokumen Pribadi, diambil termasuk jenis pertanian basah
tanggal 3 Maret 2007
adalah pertanian yang dilakukan di sawah. Jenis pertanian basah biasanya

dihubungkan dengan jenis tanaman padi pada suatu lahan yang di sebut

sawah.tanaman padi memerlukan banyak air maka air merupakan faktor

penting di dalam pertanian sawah, baik air dari sumber mata air dan sungai

maupun air hujan. Jenis sawah yang mendapatkan air dari aliran sungai atau
76

sumber mata air disebut sawah sorotan, sedang sawah yang menggantungkan

pada air hujan disebut sawah tadahan (Subroto, 1985: 28-31)

Masyarakat Wadaslintang telah mengenal ragam sistem pertanian, akan

tetapi hasil produksi bidang pertanian terutama didapat dari hasil bersawah dan

berkebun. Hasil pertanian bersawah adalah padi atau beras yang merupakan

salah satu jenis hasil bumi yang menjadi bahan komoditi di pasar Tradisional

Wage Wadaslintang. Hasil pertanian perkebunan cukup bagus terutama pada

tanaman keras12 atau tanaman tahunan seperti kelapa, cengkeh, kopi dan

sebagian telah dikembangkan tanaman lada. Wadaslintang merupakan daerah

sentra penghasil buah kelapa/kopra selain Kaliwiro, sehingga komoditas utama

di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang selain padi adalah buah kelapa.

Masyarakat Wadaslintang kemudian memanfaatkan pohon kelapa untuk

pembuatan gula Jawa (gula hitam). Wadaslintang juga terkenal sebagai sentra

penghasil Gula Jawa. Penghasilan dari penjualan Gula Jawa dapat membantu

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak masyarakat Wadaslintang terutama

yang tinggal didekat Waduk Wadaslintang dalam pengolahan sawah, tidak

sedikit yang memanfaatkan keberadaan Waduk Wadaslintang untuk mengairi

sawah-sawah pertanian mereka.

Bila musim panen tiba, maka berbagai jenis tanaman akan berpengaruh

terhadap ekonomi masyarakat. Hasil panen itu mereka jual di pasar Wage

Wadaslintang, baik untuk konsumsi lokal maupun bukan sehingga segala

macam barang yang dibutuhkan dapat dibeli, mulai dari kebutuhan yang kecil

12
Hasil produksi bidang pertanian terdiri atas jenis tanaman keras berumur panjang dan tanaman
muda, yaitu tanaman yang habis dalam satu kali panen (Nastiti, 2003:77)
77

sampai kebutuhan yang besar. Pada umumnya kebutuhan sehari-hari itu dapat

diperoleh di Pasar Wage Wadaslintang, sedang kebutuhan sekunder seperti

kendaraan bermotor misalnya mereka beli di ibu kota Kabupaten.

2) Bidang Peternakan

Di sektor peternakan wilayah kecamatan Wadaslintang pada umumnya

sangat cocok untuk beternak sapi maupun kambing. Hal ini disebabkan karena

kondisi alam yang sangat mendukung antara lain rumput tumbuh liar secara

alami cukup banyak dan rumput yang dikembangkan juga dapat tumbuh subur

seperti Kunggres13 dan sejenisnya. Peternakan ayam pedaging dan burung

puyuh juga mulai dikembangkan oleh masyarakat Wadaslintang.

3) Bidang Perikanan

Masyarakat Wadaslintang selain memproduksi hasil pertanian dan

peternakan, juga membudidayakan sistem perikanan. Jadi komoditi di pasar

selain dibidang pertanian dan peternakan juga bidang perikanan walaupun

bukan dari hasil laut. Hasil perikanan masyarakat Wadaslintang sebagian besar

dihasilkan dari sistem karamba (tambak) yang memanfaatkan genangan air

Waduk Wadaslintang14, selain dimanfaatkan untuk pengairan sawah.

Pengembangan sektor perikanan dengan sistem karamba pada genangan waduk

cukup baik, sebagai contoh pada PT. Acua Pam dengan sistem pembesaran

13
Kunggres adalah sejenis rumput liar yang digunakan sebagai makanan hewan ternak khususnya
sapi dan kerbau. Rumput kunggres ini, sekarang banyak dibudidayakan oleh para peternak
hewan sapi dan kerbau. Rumput ini tingginya bisa mencapai beberapa meter berbeda dengan
rumpu-rumput liar pada umumnya yang tingginya hanya mencapai beberapa centimeter saja.
14
Waduk Wadaslintang adalah Waduk yang berada di Kecamatan Wadaslintang, waduk ini
dibangun pada tahun 1982 dan selesai tahun 1988. Pembangunan waduk tersebut menghabiskan
dana sebesar 185 Milyar dan memakan lahan seluas 1.463,08 Hektar, yang merupakan tanah
dari beberapa desa di kecamatan Wadaslintang (Muntaha, 2002 : 12).
78

ikan jenis Nila merah di Karamba dengan hasil cukup baik, rata-rata perhari

bisa meningkat 5-8 ton ikan segar (BPS Kab. Wonosobo tahun 2004).

4) Bidang Industri

Sektor indutri dan jasa masih relatif kecil, penyebabnya karena sektor

industri masih terbatas pada Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga. Indutri

ini dikelola oleh para perajin yang bergerak dalam berbagai bidang usaha. Jenis

usaha rumah tangga antara lain, Industri Tahu, Industri Tempe dan lain-lain.

Sektor perdagangan sangat berkembang, hal ini disebabkan karena

wilayah Wadaslintang yang sangat strategis berada di jalur alternatif

Wonosobo-Kebumen sehingga menjadi persinggahan orang-orang yang

melewatinya. Apalagi dengan difungsikannya Waduk Wadaslintang sebagai

obyek wisata maka sektor perdaganganpun semakin berkembang.

Sarana ekonomi yang menunjang kegiatan perekonomian di kelurahan

Wadaslintang antara lain berupa 2 buah pasar, yaitu pasar umum Kelurahan

Wadaslintang atau sering disebut Pasar Wadaslintang dan Pasar Hewan

Wadaslintang serta beberapa toko atau kios dan beberapa koperasi serta Bank.

Adapun Koperasi yang ada di wilayah pasar adalah berupa kios, toko serta

wartel milik KUD Gemah Ripah Wadaslintang. Bank yang ada di dalam pasar

adalah Bank Pasar sedangkan yang berada diluar lokasi pasar adalah BRI,

BKK, dan Bank Muamalat.

2. Sistem Distribusi

Pasar mempunyai peranan penting dalam mendistribusikan barang-

barang kebutuhan masyarakat. Distribusi pada dasarnya ialah proses


79

penyebaran dan penyaluran bahan baku dari tempat asalnya ke tempat

pembuatan atau langsung ke tempat pemakaian atau dapat pula dikatakan

sebagai penyaluran barang hasil produksi kepada konsumen. Distribusi adalah

bagian yang tidak dapat dipisahkan dari produksi dan konsumsi (Syarifuddin,

1990 : 84).

Sistem distribusi mengenal dua macam sistem distribusi, yaitu distribusi

langsung dan distribusi tak langsung. Distribusi langsung adalah beredarnya

barang atau benda hasil suatu produksi sampai ketangan konsumen dari

produsen langsung tanpa melalui perantara atau pedagang. Barang biasanya

dibawa langsung oleh produsen kepada konsumen atau konsumen mendatangi

produsen untuk mendapatkan suatu produk tertentu. Distribusi tak langsung

adalah suatu distribusi barang dari produsen yang tidak langsung diterima oleh

konsumen, melainkan melalui jasa pihak ketiga. Hal ini dapat terjadi bila

produsen memerlukan pihak ketiga sebagai perantara barang produksinya

sampai kepada konsumen. Pihak ketiga dalam distribusi tak langsung ini

biasanya adalah agen, distributor ataupun seorang pengecer dan untuk sampai

pada konsumen, suatu produk tertentu dapat berkali-kali melalui pihak

perantara ini baru sampai pada pengguna atau konsumen sebagai mata rantai

terakhir dari suatu proses distribusi (Depdikbud, 1990 :88-91).

Kedua macam sistem distribusi ini sangat dipengaruhi oleh diferensiasi

kerja yang ada pada masyarakat Wadaslintang dan sistem transportasi yang

ada. Lancarnya sistem transportasi dan semakin jelasnya pembagian kerja suatu

masyarakat memungkinkan sistem distribusi tak langsung semakin


80

berkembang. Kenyataan ini yang sekarang dijumpai di Wadaslintang, seperti

yang terlihat pada jenis produksi hasil pertanian dan produksi Industri Rumah

Tangga seperti produksi tahu, tempe serta hasil peternakan.

Para pedagang di kelurahan Wadaslintang yang menjual barang-barang

kebutuhan pokok adalah pihak perantara dalam jaringan distribusi tidak

langsung. Hal ini terjadi karena barang-barang yang mereka jual bukan hasil

produksinya sendiri melainkan mereka membeli barang dagangan dari tempat

lain. Sarana distribusi merupakan unsur yang sangat penting dalam proses

penyebaran barang produksi. Hal ini karena memungkinkan suatu barang

menyebar sampai kepada para konsumen. Sarana distribusi ini dapat berujud

yang terutama adalah alat transportasi dan kondisi jalan, sedangkan alat tukar,

alat ukur dan tempat juga merupakan pendukung dimungkinkannya distribusi

berlangsung.

Alat transportasi adalah alat untuk memudahkan barang atau penumpang

dari suatu tempat ke tempat lain. Alat ini sangat berperan dalam perekonomian,

terutama kendaraan bermotor, sebab

kecepatannya tinggi sehingga dapat

memperlancar distribusi (Utomo,

1991: 59).

Jalan merupakan sarana yang

sangat penting bagi transportasi,


Gambar 11. Keadaan Jalan menuju
Pasar pada hari pasaran Wage. semakin baik kondisi jalan akan
Sumber :Dokumen Pribadi,
diambil tanggal 3 Maret 2007 semakin memperlancar transportasi
81

sehingga akan semakin memperlancar proses distribusi. Di kelurahan

Wadaslintang mempunyai kondisi jalan yang baik dan sudah beraspal serta

armada angkutan yang cukup banyak. Hal inilah yang mendukung lancarnya

barang keluar masuk dari dan ke kelurahan Wadaslintang. namun masih ada

sebagian jalan-jalan antar desa ke pasar Pasar Tradisional Wage Wadaslintang

yang masih sulit terjangkau dan rusak. Kendala ini membuat keluar masuknya

hasil bumi para petani ke pasar sedikit terhambat.

Tempat berlangsungnya distribusi di kelurahan Wadaslintang ini ada dua

macam, yaitu adanya pasar Wadaslintang dan toko, kios serta warung. Pasar

Wadaslintang tidak setiap hari buka karena hanya buka pada hari pasaran wage

saja sehingga masyarakat Wadaslintang tidak dapat setiap saat berbelanja

disana. Masyarakat Wadaslintang dapat berbelanja setiap hari di toko, kios dan

warung yang hampir setiap saat selalu dibuka. Kedua tempat ini merupakan

bertemunya antara penjual dan pembeli sehingga proses distribusi berlangsung.

3. Sistem Konsumsi

Pada dasarnya sistem konsumsi dibedakan menjadi dua yaitu konsumsi

sebagai pemenuhan kebutuhan primer dan konsumsi sebagai pemenuhan

kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer atau kebutuhan-kebutuhan pokok

adalah kebutuhan yang keberadaanya harus dipenuhi untuk dapat

terselenggaranya sebuah kehidupan. Kebutuhan sekunder atau kebutuhan

tambahan adalah kebutuhan yang keberadaanya tidak harus dipenuhi dan

kehidupan tetap dapat terselenggara meskipun kebutuhan tersebut tidak

dipenuhi (Syarifuddin, 1990 : 94).


82

Kebutuhan primer masyarakat kelurahan Wadaslintang sebagian besar

pemenuhannya dengan membeli dan sebagian kecil diusahan sendiri. Jenis-

jenis barang yang tidak dapat diproduksi di kelurahan Wadaslintang ini

misalnya kain, minyak tanah, garam, dan lain-lain. Kebutuhan akan barang-

barang yang dapat diproduksi di kelurahan ini adalah kelapa, beras/ padi,

cengkeh, kopi dan lain-lain.

Jenis barang kebutuhan pokok yang tidak dapat diproduksi di kelurahan

ini oleh para pedagang dibelinya dari daerah lain kemudian dijual kembali di

kelurahan ini. Hal inilah yang mendorong munculnya warung pada rumah-

rumah penduduk (rumah toko/ruko) yang menyediakan barang-barang

kebutuhan pokok.

Kebutuhan sekunder atau kebutuhan tambahan adalah kebutuhan yang

keberadaannya tidak mutlak harus ada untuk dapat terselenggaranya suatu

kehidupan. Jenis kebutuhan sekunder ini muncul setelah kebutuhan-kebutuhan

pokok terpenuhi, oleh karena itu fungsi kebutuhan ini adalah tidak untuk

mempertahankan hidup melainkan untuk mempertinggi mutu hidup..

kebutuhan sekunder ini dapat berupa Televisi, Radio, Telepon/ HP, Sepeda

motor, mobil dan lain-lain.

Kehidupan manusia pada umumnya dan masyarakat Wadaslintang pada

khususnya tidak cukup dipenuhi kebutuhan pokoknya untuk menjadikan hidup

lebih berkualitas, tetapi mereka juga memerlukan hiburan, informasi,

pendidikan, perawatan kesehatan dan kebutuhan pelengkap lainnya. Barang

atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sekunder masyarakat Wadaslintang ini


83

biasanya diperoleh dari membeli. Pasar merupakan suatu sarana yang dapat

menyerap dan menyediakan semua hasil serta kebutuhan masyarakat. Jika

diperhatikan secara seksama, kehadiran pedagang dan petani produsen di Pasar

Wage Wadaslintang hanya ingin mendapatkan tambahan pendapatan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi pedagang, kelebihan harga dari harga

beli tiap unit barang yang didapatkan merupakan rejeki yang diperoleh melalui

perdagangan.. kebanyakan pembeli di Pasar Wage Wadaslintang adalah petani

sehingga pedagang dan petani adalah dua unsur yang tak dapat dipisahkan

dalam gerak ekonomi pasar rakyat (Majid, 1988 : 310).

Adanya Pasar Tradisional Wage Wadaslintang menambah pendapatan

Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo melalui retribusi pasar yang di setor

ke Dinas Pengelola Pasar Kabupaten Wonosobo. Retribusi pasar ini didasarkan

atas Peraturan Daerah (Perda) No. 24 Tahun 2001 tentang Karcis Pasar Daerah

Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Dari para pedagang ditarik retribusi pasar

Rp. 1000 rupiah tiap pedagang pada hari peuken Wage (wawancara Tri

Ukendarwati tanggal 8 Maret 2007).

Hasil penarikan retribusi pasar dipergunakan untuk kebersihan pasar,

sebagian dipergunakan untuk gaji pegawai yang membersihkan pasar dan

sebagian lagi disetorkan ke Dinas Pengelola Pasar Kabupaten Wonosobo

(Mardi, wawancara tanggal 8 Maret 2007).

Kesimpulan dapat diambil bahwa Pasar Wadaslintang merupakan tempat

Masyarakat Wadaslintang berbelanja dan tempat menjual barang hasil usaha

tani. Keberadaan Pasar juga berfungsi untuk menambah pendapatan


84

pemerintah, karena setiap pedagang yang berjualan dikenakan retribusi pasar

atau uang kebersihan.

2. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Wadaslintang

Masyarakat Wadaslintang masih menerapkan sistem gotong royong

dalam kehidupan sosial dan budaya. Sistem gotong royong ini sekarang sudah

mulai berkurang di sebagian wilayah Wadaslintang terutama di Dusun

Cangkring dan Dusun Wadaslintang. Masyarakat Dusun ini sebagian besar

bermata pencaharian sebagai pedagang yang membuka kios/warung yang buka

setiap hari. Mereka tinggal di sekitar pasar, mereka saling bersaing dalam

mendapatkan pelanggan sehingga mereka cenderung individual. Kegiatan

gotong royong pada masyarakat Wadaslintang sudah mulai berkurang, akan

tetapi pada saat salah satu keluarga masyarakat Wadaslintang memiliki hajat,

berkabung dan lain-lain, tetangga sekitar tempat tinggal keluarga tersebut

secara serempak bergotong royong untuk membantu.

Bentuk gotong royong ini dapat diwujudkan berupa tenaga, bahan

material (barang) maupun uang. Gotong royong dalam bentuk kerja bakti

seperti membersihkan lingkungan, memperbaiki jalan (krigan) biasanya tokoh

pemrakarsanya adalah tokoh masyarakat dan aparat kelurahan. Adapun peran

lembaga desa yang ada di kelurahan Wadaslintang dan dipandang cukup aktif

dalam kegiatan pembiayaan terhadap masyarakat seperti lembaga PKK,

Posyandu, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dan lain-lain

sehingga hubungan sosial masyarakat Wadaslintang sudah berjalan dengan


85

baik. Hubungan sosial antar warga ditujukkan apabila ada diantara warga

tersebut yang mempunyai hajat atau ada yang meninggal dunia.

Mayoritas penduduk Wadaslintang beragama Islam walaupun ada

beberapa perbedaan penganut agama, namun toleransi antar umat beragama

sangat terjaga. Terbukti dengan adanya Masjid Muhammadiyah dan Gereja

Katholik yang berdiri berdampingan di RT 2 RW I Kelurahan Wadaslintang.

Berdampingannya kedua tempat beribadah ini semakin menunjukkan bahwa

toleransi yang terjaga sangat tinggi dan kerukunan antara umat beragama

semakin terjalin. Adapun keadaan penduduk Kelurahan Wadaslintang

berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5
Penduduk Kelurahan Wadaslintang Dirinci Menurut Agama
Tahun 1998 dan Tahun 2005
No Agama Tahun 1998 Tahun 2005
1 Islam 4672 4.640
2 Katholik 12 24
3 Kristen Protestan 28 28
Jumlah 4.712 4.692
Sumber : Kecamatan Wadaslintang Dalam Angka Tahun 1998 dan 2005

Sarana tempat ibadah dirasa cukup memadai bila dilihat dari data akhir

tahun 2005. Jumlah masjid ada 6 buah, musholla 29 buah, dan gereja 2 buah.

Lembaga-lembaga Islam yang terdapat di Wadaslintang antara lain NU,

Muhamadiyah dan LDII. Penduduk Wadaslintang sebagian besar beragama

Islam sehingga adat istiadat/ tradisi masyarakat mulai dari acara perkawinan,

khitanan, tujuh bulanan dan upacara kematian semua didasarkan pada ajaran

Islam, walaupun tidak semua masyarakatnya melakukan tradisi tersebut.


86

Tingkat kemajuan masyarakat salah satunya dapat diperhatikan dari

tingkat pendidikannya. Tingkat pendidikan di Wadaslintang tergolong masih

rendah. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut ini.

Tabel 6
Komposisi Penduduk Kelurahan Wadaslintang menurut Tingkat
Pendidikan bagi penduduk usia 5 tahun keatas tahun 1998 dan tahun 2005

No. Pendidikan Tahun 1998 Tahun 2005


1 Tamat AK/PT 16 120
2 Tamat SMA 107 209
3 Tamat SMP 384 1.025
4 Tamat SD 1.798 2.507
5 Tidak tamat SD 588 267
6 Belum tamat SD 496 607
7 Tidak Sekolah 194 93
Jumlah 3.583 4.828
Sumber : BPS Kabupaten Wonosobo tahun 1998

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar masyarakat

kelurahan Wadaslintang dari tahun 1998 sampai 2005 sudah menamatkan

pendidikan minimal di Sekolah Dasar. Jumlah ini terus meningkat diikuti

lulusan SMP dan lulusan SMA. Pemerintah tetap berusaha memacu

ketinggalan dengan latar belakang pendidikan masyarakat Wadaslintang seperti

ini dengan Otonomi Daerah. Hal ini dapat dilihat dari prasarana pendidikan

yang berangsur-angsur dibenahi dan dipenuhi untuk mengimbangi minat anak

sekolah untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Sarana pendidikan di

kelurahan Wadaslintang cukup memadai dibandingkan dengan tahun-tahun

lalu sampai akhir tahun 2005 dengan adanya fasilitas/sarana pendidikan berupa

sekolah-sekolah antara lain: sekolah TK sampai MA, dengan rincian TK 5


87

buah, SD 3 buah, MI 1 buah, SMP 1 buah, Mts 1 buah dan MA 1 buah serta

terdapat 1 pondok pesantren.

Kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat Wadaslintang terlihat

melalui cara berinteraksi, penyebaran informasi maupun adanya hiburan yang

didapatkan dengan keberadaan dan peranan pasar Wadaslintang. Peranan pasar

tidak terbatas pada kegiatan ekonomi saja, tetapi juga dalam kegiatan sosial

budaya. Setiap orang yang pergi ke pasar tidak selalu akan membeli barang,

tetapi ada yang datang hanya sekedar main saja, atau ingin berjumpa dengan

seseorang guna menadapatkan informasi tentang sesuatu. Hal ini merupakan

pertemuan sosial. Jadi dalam kehidupan bermasyarakat, pasar merupakan

pranata yang penting, dimana secara berkala atau insidental warga masyarakat

saling berhubungan.

1. Interaksi Sosial

Interaksi merupakan prasyarat dari segala macam aktivitas sosial, oleh

sebab itu suatu interaksi sosial umumnya mengacu pada hubungan-hubungan

sosial yang terjadi di antara individu dengan individu, individu dengan

kelompok, dan di antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat

sehingga terjadi komunikasi dan respons di antara keduanya. Ada dua hal yang

menyebabkan terjadinya interaksi sosial, yaitu kontak sosial dan komunikasi.

Kontak sosial dapat bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Kontak sosial

yang bersifat positif mengarah pada suatu kerjasama sedangkan yang bersifat

negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan tidak menghasilkan

suatu interaksi sosial. Suatu kontak dapat bersifat primer atau sekunder.
88

Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu

dan berhadapan muka, sedangkan kontak sekunder dapat dilakukan dengan

melalui perantara, baik oleh orang lain maupun benda-benda budaya (Nastiti,

2003 : 102).

Pasar Tradisional Wage Wadaslintang sebagai tempat bertemunya antara

warga masyarakat Wadaslintang maupun warga masyarakat dari desa-desa

sekitarnya, dan dengan sendirinya menimbulkan interaksi diantara mereka.

Interaksi tersebut dapat berhubungan langsung dengan masalah transaksi jual

beli atau berhubungan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

kehidupan sosial dalam masyarakat.

Mengingat kontak yang terjadi baik antara penjual dan pembeli, pembeli

dan pembeli, maupun penjual dan penjual lebih mungkin berhadapan muka

langsung, maka interaksi sosial yang terdapat di Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang, lebih cenderung ke dalam kontak primer. Meskipun sebenarnya,

dapat saja kontak itu bersifat sekunder, misalnya jika seorang menitipkan

membeli sesuatu kepada tetangganya yang pergi ke pasar, maka yang terjadi

adalah kontak tidak langsung antara si pembeli dan si penjual. Hal ini terjadi di

kelurahan Wadaslintang. Menurut Ratmi seorang ibu rumah tangga, warga RT

3 RW 1 Wadaslintang yang mengatakan bahwa,

“Setiap kali saya pergi ke pasar wage pasti ada saja tetangga nitip
belanjaan. Biasanya yang nitip belanjaan adalah tetangga yang tidak
sempat pergi ke pasar. Mereka nitip dibelikan sayuran, bumbu dapur
atau buah-buahan” (Wawancara, 3 Maret 2007).

Rupanya interaksi yang terjadi di pasar tidak hanya melibatkan warga

desa yang masuk dalam sistem panatur desa saja, tetapi yang datang dari luar
89

sistem itu. Pada sistem produksi, adanya produk pesisir yang di dapatkan di

pasar Wadaslintang yang notabene merupakan daerah pedalaman, menandakan

adanya distribusi komoditi, baik yang dilakukan oleh pedagang dari pesisir,

pedagang dari pedalaman/ pegunungan maupun perantara. Adanya pedagang

ataupun perantara yang datang dari pesisir ke pegunungan/ pedalaman untuk

menjual hasil produksi mereka atau sebaliknya, menggambarkan adanya

interaksi di antara warga masyarakat yang tercakup dalam sistem pasar dengan

orang-orang dari luar sistem tersebut. Menurut penuturan Ahmad Toyib, yang

mengatakan bahwa :

“Pedagang yang berjualan di Pasar Wage Wadaslintang ini tidak hanya


para pedagang yang terdapat di pasar-pasar desa di kecamatan
Wadaslintang, tapi mereka juga para pedagang yang biasanya berjualan
di Pasar Pahing Kaliwiro, Pasar Wonosobo, Pasar Kertek, Pasar
Banjarnegara, bahkan adapula yang berasal dari Semarang. Jadi mereka
tidak hanya berasal dari kecamatan Wadaslintang” (Wawancara, 28
Februari 2007).

Pasar Tradisonal Wage

Wadaslintang sebagai Interaksi Sosial

Masyarakat Wadaslintang dan sekitarnya.

Gambar suasana pasar di bawah ini

merupakan contoh interaksi yang terjadi

antara penjual dan pembeli di Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang. Gambar 12. Suasana Pasar


Wage Wadaslintang
Interaksi yang paling sering terjadi Sumber : Dokumen Pribadi
diambil tanggal 3 Maret 2007
antara penjual dan pembeli adalah tawar

menawar, yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan harga. Proses tawar-


90

menawar antara penjual dan pembeli merupakan hal yang sangat lumrah

dijumpai di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang.

Penjual dan pembeli yang melakukan aktivitas di pasar biasanya berasal

dari masyarakat petani walaupun tidak sedikit yang merupakan pedagang. Pada

umumnya mereka mengenal satu sama lain baik antara penjual dan pembeli,

maupun antara pembeli dengan pembeli atau pejual dengan penjual. Hal ini

menyebabkan rasa ketergantungan antara penjual dan pembeli yang

menimbulkan rasa keterikatan satu sama lainnya. Keterikatan itu dapat

mempengaruhi tingkah laku penjual dan pembeli dalam menentukan harga

dalam tawar menawar.

Salah satu bentuk yang memperlihatkan adanya ikatan-ikatan yang erat

dalam interaksi antara penjual dan pembeli yang dibina oleh kepercayaan yang

tinggi di antara mereka adalah dengan adanya penjual yang berusaha

menyediakan barang-barang yang dipesan oleh si-pembeli, meskipun barang-

barang pesanan itu bukanlah jenis komoditi yang dijualnya. Ikatan-ikatan

seperti itu terjadi pula pada pedagang pakaian, hal ini terjadi pada Sa’adah

seorang pedagang pakaian. Seorang pelanggannya membutuhkan baju daster

padahal Sa’adah adalah pedagang pakaian sekolah. Hasil pengamatan di Pasar

Tradisional Wage Wadaslintang menunjukkan bahwa kadang-kadang pesanan

itu tidak dipesan langsung ke si produsen, akan tetapi melalui pedagang

pakaian yang lain yang berjualan di Pasar Wage Wadaslintang. Pada kasus

semacam ini, pedagang lebih cenderung sebagai perantara sehingga besar-

kecilnya keuntungan yang diperoleh si pedagang tergantung dari hubungan si


91

pedagang dan si pelanggan. Biasanya makin baik hubungan si pedagang

dengan si pelanggan, makin sedikit keuntungan yang akan diambil.

Interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat menyebabkan adanya

kontrak diadik (dyadic contract) atau hubungan yang terjalin antara dua orang

dalam kurun waktu yang telah ditentukan atau pun dalam waktu yang tidak

terbatas. Kontrak diadik ini sifatnya informal dan tidak dilandasi hukum, serta

dilakukan kedua belah pihak tanpa paksaan. Kontrak diadik tersebut dapat

berupa simetris dan asimetris. Adapun yang dimaksud hubungan simetris

adalah hubungan dua pihak yang mempunyai kedudukan sama dan diantara

keduanya saling melengkapi, sedangkan hubungan asimetris jika salah satu

pihak mempunyai kedudukan yang lebih tinggi sehingga hubungannya lebih

menyerupai patron-klien (patron-client) (Nastiti, 2003: 109)

Seseorang dapat melakukan kontrak diadik dengan beberapa orang

sekaligus dalam waktu yang bersamaan, umpamanya seorang pedagang

melakukan kontrak diadik dengan istrinya, yaitu selama mereka terikat dalam

pernikahan, si suami mencari nafkah dan si istri mengurus rumah tangga.

Kontrak diadik selain itu juga dapat dilakukan dengan tetangganya yaitu saling

tolong-menolong dalam suka dan duka, juga ia, jika seorang pedagang, dapat

mengadakan kontrak diadik dengan langganannya, dengan pedagang-pedagang

lainnya, dengan pemasok barangnya, dan sebagainya.

Interaksi sosial menyebabkan pula adanya kontak budaya dalam

masyarakat, diantara mereka saling memperkenalkan barang-barang baru hasil

produksi mereka. Hasil produksi yang menjadi komoditi dapat menyebabkan


92

difusi atau penyebaran pengetahuan mengenai produksi dan pengetahuan

mengenai konsumennya. Berbekal pengetahuan mengenai produksi yang

disukai konsumen, produsen dapat menciptakan sesuatu yang bersifat inovatif

yang diperkirakan laku di pasar. Difusi pengetahuan dapat terjadi di dalam satu

komunitas yang tinggal dalam satu desa, atau dapat juga antara satu komunitas

dengan komunitas lainnya yang tinggal di beberapa desa15.

Adanya difusi pengetahuan yang diakibatkan oleh interaksi yang terjadi

dalam masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan pola tingkah laku yang

terus menerus akan mengakibatkan adanya inovasi16 yang dapat membawa

masyarakat kearah kemajuan. Pengetahuan mengenai produksi suatu barang,

misalnya, dapat diperoleh secara turun temurun, dapat diperoleh dari tetangga

dalam satu desa, atau dari warga desa tetangga. Keahlian ini kemudian

dikembangkan terus menerus oleh warga masyarakat desa tersebut sehingga

barang-barang yang diproduksi merupakan ciri khas dari desanya.

Wadaslintang merupakan sentra produksi kelapa sehingga ciri khas Kelurahan

Wadaslintang adalah buah kelapa.

Seringnya warga masyarakat Wadaslintang dari berbagai lapisan bertemu

di pasar Tradisional Wage Wadaslintang, orang-orang yang tadinya tidak

mengenal satu sama lain menjadi saling mengenal sehingga terjadi ikatan-

15
Yang dimaksud difusi pengetahuan disini adalah peminjaman pengetahun dari atau antar
komunitas.
16
Istilah inovasi biasa digunakan dalam tiga konteks yang berbeda-beda, yaitu (1) sinonim dengan
invention,dalam pengertian ini inovasi menunjuk pada suatu proses kreativitas yaitu kombinasi
dari dua konsep atau lebih sehingga melahirkan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak
diketahui oleh individu yang bersangkutan. Mereka, individu atau organisasi, yang memiliki
daya kreativitas itu disebut inovatif; (2) proses penerimaan, dalam pengertian ini inovasi
diartikan sebagai proses pengambilan dan internalisasi atau proses memasarkan ide-ide baru;
dan (3) hasil invention,inovasi dalam pengertian ini lebih menekankan pada hasil penemuannya,
yaitu ide-ide, praktek-praktek, dan alat-alat yang ditemukan (Joyomartono, 1991, 44-45).
93

ikatan yang erat diantara mereka. Apalagi interaksi ini terjadi pada masyarakat

pedesaan yaitu masyarakat Wadaslintang yang belum begitu kompleks

sehingga interaksi di antara mereka lebih mudah terjadi. Interaksi ini dapat

berlanjut dalam aktivitas sosial yang terdapat di luar pasar, misalnya dalam

perkawinan maupun kemalangan/ musibah.

Hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi sosial yang

terjadi di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang pada umumnya adalah

berdagang untuk mengambil keuntungan sekaligus berinteraksi untuk

mendapatkan teman. Kemungkinan penyebabnya adalah ciri khas masyarakat

pedesaan yang bergotong royong sehingga mereka selalu merasa membutuhkan

orang lain. Adanya pelanggan juga membuat para pedagang merasa di

untungkan tanpa harus memasang iklan. Mengapa dikatakan demikian karena

dengan banyaknya teman yang dimiliki maka para teman inilah yang akan

memberitahukan jenis dagangan para pedagang ke orang lain.

2. Informasi dan Komunikasi

Bertemunya antara pedagang dan penjual di pasar, yang berasal dari

berbagai kalangan, kelas sosial dan latar belakang budaya menjadikan fungsi

pasar tidak sekedar sebagai tempat yang berfungsi ekonomis tetapi juga

informatif. Sumber informasi tidak hanya melalui media cetak (koran, majalah)

ataupun media elektronik (televisi dan radio), tetapi juga tidak kalah

pentingnya adalah sumber informasi yang diperoleh dari seseorang.

Bagi masyarakat Wadaslintang, Pasar Wage Wadaslintang secara

otomatis berfungsi sebagai tempat berkomunikasi dan juga sebagai sumber


94

informasi. Interaksi sosial yang terjadi di Pasar Tradisional Wage

Wadaslintang, baik antara penjual dan pembeli atau antara sesama pembeli

ataupun sesama penjual, secara tidak langsung di antara mereka telah terjadi

pertukaran informasi. Informasi ini dapat berupa informasi penting atau hanya

informasi-informasi tentang berbagai kejadian yang mereka alami.

Masyarakat Wadaslintang selama berinteraksi di pasar tidak hanya

membicarakan masalah-masalah ekonomi semata, tetapi juga membicarakan

semua aspek kehidupan. Berbagai macam informasi dapat secara cepat

menyebar di pasar yang berlangsung dari mulut ke mulut sehingga pasar

menjadi tempat mendapatkan sekaligus menyebarkan informasi.

Dari gambar di samping

dapat diamati, bahwa

keberadaan pedagang obat

yang menawarkan

dagangannya melalui suara

speaker dengan suara yang

Gambar 13. Suasana Pasar Wage keras di Pasar Wage


Wadaslintang sebagai Pusat Informasi dan
Komunikasi Wadaslintang ternyata
Sumber :Dokumen Pribadi, diambil
tanggal 3 Maret 2007 mampu menarik perhatian

pengunjung sehingga Informasi yang akan disampaikan yaitu mengenai barang

dagangannya yaitu obat-obatan yang ditawarkan akan tersampaikan.

Pasar Tradisonal Wage Wadaslintang sebagai tempat berkumpulnya

warga masyarakat Wadaslintang, masyarakat sekitar Wadaslintang maupun


95

masyarakat dari daerah luar Wadaslintang, disadari ataupun tidak ternyata

Pasar Wadaslintang merupakan sarana yang paling baik untuk menyebarkan

suatu pesan atau berita walaupun dalam era sekarang ini sudah tersedia alat

komunikasi yang maju, misalnya Telepon ataupun HP ternyata pasar

tradisional masih merupakan sarana informasi yang baik. Multifungsi yang

dimiliki pasar secara tidak langsung sangat menguntungkan pihak pemerintah

dalam menyebarkan pesan-pesan pembangunan dan hasil yang telah tercapai.

3. Hiburan

Pasar Tradisional Wage Wadaslintang pada umumnya selain

menawarkan kebutuhan pokok (primer) maupun pelengkap (sekunder), juga

menawarkan hiburan yang dapat dinikmati meskipun hanya untuk melihat-lihat

keramaian di pasar untuk menonton pertunjukan. Hiburan bagi masyarakat

sampai sekarang masih merupakan unsur penting dalam kehidupan.

Masyarakat Wadaslintang memanfaatkan hari pasar sebagai selingan dari

pekerjaan rutin yang harus dilakukan, seperti yang dinyatakan oleh Sukirman

seorang buruh tani yang mengatakan bahwa :

“ Saya setiap wage pasti pergi ke pasar Wadaslintang untuk menjual hasil
kebun, selain itu juga untuk mencari selingan hiburan. Saya jarang sekali
bahkan tidak pernah ke pasar selain wage kecuali kalau ada keperluan
mendesak” (Wawancara, 28 Februari 2007).

Pengunjung Pasar Wadaslintang sangat bervariasi. Anak-anak, pemuda-

pemudi, orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Diantara pengunjung

pasar, ada yang sengaja untuk mencari hiburan (rekreasi) di pasar. Rekreasi

merupakan kebutuhan setiap individu dimana saja berada, bukan hanya

berlaku bagi orang yang tinggal di kota (Majid, 1988 : 311).


96

Di Wadaslintang, selain Waduk Wadaslintang tidak ada tempat wisata

untuk hiburan yang dikunjungi banyak orang sehingga yang menjadi sasaran

tempat untuk mencari hiburan hanyalah pasar Wadaslintang. Kehadiran orang-

orang yang mencari hiburan di pasar Wadaslintang didorong oleh beberapa

faktor antara lain disebabkan karena di kampung selalu dipacu dalam bekerja,

tidak waktu kosong untuk bersantai, kecuali saat tertentu seperti pada acara

hajatan seperti perkawinan atau khitanan.

Jika hari pasar tiba, para pemuda-pemudi banyak yang datang ke pasar

Wadaslintang, kendatipun tidak ada maksud apa yang dibeli, seperti yang

diutarakan oleh Ari seorang remaja putri dari desa Trimulyo yang mengatakan

bahwa :

“Saya berasal dari desa Trimulyo. Saya datang ke pasar jalan kaki. Saya
masih kuliah, jadi kalau saya di rumah ketika liburan hampir setiap hari
wage saya pasti pergi ke Pasar Wage Wadaslintang, sebab kalau saya di
rumah terus-terusan bosan tidak ada kerjaan. Saya pergi ke pasar
biasanya untuk jalan-jalan sambil cuci mata kecuali kalau dititipi belanja
sama ibu saya” (Wawancara, 3 Maret 2007).

Datangnya pengunjung di Pasar Wadaslintang yang hanya sekedar

mencari hiburan di pasar tampaknya sangat berpengaruh terhadap keramaian

pengunjung pasar. Apalagi dengan keadaan jalan yang sempit semakin

menambah kesulitan bagi orang yang berbelanja ataupun para pengunjung

pasar yang hanya sekedar cuci mata sehingga disana-sini terjadi desak-desakan.

Para pelajar sekolah juga tidak sedikit yang masuk pasar. Apalagi dengan

keberadaan pasar yang dekat dengan sekolah-sekolah yaitu dekat dengan SD 1,

SD 2, MI, SMP, dan MTs serta SMA Maarif sehingga kalau hari pasaran Wage

tiba frekuensi pelajar yang masuk ke pasar banyak. Para pelajar biasanya
97

hanya sekedar jalan-jalan, walaupun mungkin ada yang berbelanja. Tujuan

mereka untuk berbelanja kemungkinan sangat kecil. Mereka ke pasar biasanya

setelah pulang sekolah, akan tetapi dari hasil penelitian kebanyakan para

pelajar yang masuk ke pasar paling banyak ditemui pada hari jum’at. Hal ini

disebabkan pada hari Jum’at mereka pulang lebih awal sehingga pasar Wage

Wadaslintang masih ramai. Hal ini berbeda dengan pada hari peken yang jatuh

pada hari selain Jum’at, para pelajar ini pulang siang sehingga pasar sudah

sepi.

Adanya beberapa kemungkinan yang ditawarkan di pasar, maka tujuan

orang-orang pergi kepasar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

dengan berbelanja barang-barang yang diperlukan, tetapi juga untuk mencari

hiburan.
BAB V
SIMPULAN

Berdasarkan permasalahan dan hasil penelitian, penulis menyimpulkan

bahwa :

1. Berdirinya pasar Tradisional Wage Wadaslintang terkait erat dengan sejarah

Wadaslintang dan perkembangan kekuasaan Desa Wadaslintang. Munculnya

pasar desa ini tidak diketahui secara pasti kapan mulai ada, tetapi dari

keterangan penduduk sekitar, bahwa pasar desa Wadaslintang sudah ada

sekitar tahun 1900-an yaitu pada masa pemerintahan Glondong Sastro

Sukarno. Pada pemerintahannya terjadi pembangunan fisik secara besar-

besaran, termasuk pembangunan pasar desa.

Pembangunan pasar desa ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

pokok rakyat yang amat sulit pada waktu itu. Pasar Wadaslintang ini terletak

di tengah-tengah wilayah kecamatan Wadaslintang. Letak Pasar Wadaslintang

yang berada di tengah-tengah ternyata berbeda dengan konsep watak atau

karakter menurut perhitungan Jawa dimana “wage” yang berwatak kedher

(kaku hati) bertempat di sebelah utara.

Menurut konsep watak dalam perhitungan Jawa letak pasar Wadaslintang

yang berada di tengah-tengah seharusnya hari pasarannya adalah kliwon.

Pasar Wadaslintang yang merupakan pusat pasar atau pasar induk sesuai

dengan konsep watak perhitungan Jawa, dimana pasar yang terletak di tengah-

tengah merupakan pasar induk (pusat pasar).

115
116

2. Kondisi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Wadaslintang

sedikit banyak telah terpengaruh dengan adanya pasar. Pasar ternyata telah

menjadikan masyarakat Wadaslintang menjadi masyarakat konsumtif. Nilai-

nilai kegotongroyongan yang selama ini diperlihatkan mulai luntur. Pertanian

yang dikembangkan adalah pertanian tegalan dan berkebun. Hasil produksi

yang utama adalah penghasil buah kelapa/kopra serta penghasil gula Jawa

(gula aren). Masyarakat Wadaslintang masih merupakan masyarakat

sederhana jadi barang-barang yang diperdagangkan di pasar masih terbatas

pada barang-barang kebutuhan sehari-hari. Sektor perdagangannya sangat

berkembang apalagi wilayah Wadaslintang yang berada di jalur alternatif

Wonosobo-Kebumen serta di fungsikannya Waduk Wadaslintang sebagai

objek wisata sehingga sektor perdagangan semakin berkembang.

3. Keberadaan Pasar Wage Wadaslintang di Kelurahan Wadaslintang sedikit

banyak telah membawa perubahan terhadap kehidupan ekonomi dan sosial

budaya masyarakat sekitarnya. Pasar memiliki multi peran, yaitu tidak hanya

berperan sebagai tempat bertemunya antara penjual dan pembeli tetapi pasar

juga sebagai tempat bertemunya budaya yang dibawa oleh setiap mereka yang

memanfaatkan pasar. Pasar dalam bidang ekonomi menawarkan barang dan

jasa yang beranekaragam baik jenis, mutu maupun jumlahnya. Pasar dengan

keanekaragaman barang dan jasa yang ditawarkan pada akhirnya akan

mempengaruhi pola konsumsi, pola distribusi dan pola produksi masyarakat di

sekitar pasar.
117

Pasar dilihat dari aspek sosial yaitu sebagai arena interaksi dari berbagai

golongan dan lapisan masyarakat. Pasar mewujudkan masyarakat majemuk.

Interaksi antara masyarakat setempat dengan masyarakat luar Wadaslintang

tidak dapat dihindari. Pertemuan antar masyarakat ini akan saling

mempengaruhi dan pada akhirnya akan membawa pengaruh pada masing-

masing pihak.

Pasar sebagai pusat kebudayaan, menawarkan ide-ide dan gagasan baru pada

masyarakat di sekitar pasar melalui barang dan jasa yang diperdagangkan di

pasar. Mobilitas yang tinggi juga membawa gagasan dan informasi yang baru

serta membawa pengaruh pada pola berfikir dan pola tingkah laku masyarakat.

Pengaruh yang ditimbulkan di pasar berupa pengenalan terhadap ide-ide baru

yang ternyata dapat meningkatkan hasil produksi. Penggunaan teknologi baru

menyebabkan arus informasi menjadi lebih cepat. Kebudayaan teknologi maju

banyak mengubah pola kebiasaan masyarakat.

Pasar Wage Wadaslintang yang berstatus pasar daerah milik Dinas Pasar, jelas

secara kuantitas dan kualitas pola interaksinya berbeda dengan pasar desa

yang berstatus pasar desa murni. Pasar Wage Wadaslintang sebagai pasar

daerah dimana mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pada pasar-pasar

desa lain yang berada di Kecamatan Wadaslintang fungsinya sebagai pusat

ekonomi lebih bersifat komplek, sebab di Pasar Wage Wadaslintang terjadi

pola interaksi antar dan inter warga di Kecamatan Wadaslintang tersebut

bahkan antar dan inter desa di luar Kecamatan Wadaslintang.


DAFTAR PUSTAKA

Belshaw, Cyril S. 1981. Tukar-Menukar Tradisional dan Pasar Modern. Jakarta :


Gramedia.

Boeke dan Burger. 1973. Ekonomi Dualistis. Jakarta : Bhatara.

BPS. 1998. Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dalam Angka.


Wonosobo : BPS Kab. Wonosobo

------. 2002. Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dalam Angka.


Wonosobo : BPS Kab. Wonosobo

------. 2005. Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dalam Angka.


Wonosobo : BPS Kab. Wonosobo

Chourmain, Imam dan Prihatin. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta : Depdikbud.

Depdikbud. 1986. Sistem Ekonomi Daerah Jawa Tengah. Jakarta : Depdikbud.

-------------. 1990. Peranan Pasar Pada Masyarakat Pedesaan Sumatera Barat.


Jakarta: Depdikbud.

--------------.1993. Dampak Pembangunan Ekonomi (Pasar) Terhadap Kehidupan


Sosial-Budaya Masyarakat di Pedesaan Sumatera Barat. Padang: Depdikbud.

--------------.1993. Dampak Pembangunan Ekonomi (Pasar) Terhadap Kehidupan


Sosial-Budaya Masyarakat di Pedesaan Sumatera Selatan. Palembang:
Depdikbud.

Djoyomartono, Mulyono. 1989. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam


Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang press.

Geertz, Clifford. 1977. Penjaja dan Raja terjemahan Supomo. Jakarta : Gramedia.

------------------. 1983. Involusi Pertanian. Jakarta : Bharatara Karya Aksara.

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Heilbroner, Robert L (ed). 1982. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Terjemahan


Sutan Dianjung. Jakarta : Ghalia Indonesia.

118
119

Hefner, Robert W. 2006. Budaya Pasar (Masyarakat dan Moralitas dalam


Kapitalisme Asia Baru). Jakarta : PT. Pustaka Utama LP3S.
Kartodirjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit


Djambatan.

-------------------. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : PN. Balai Pustaka.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah Edisi Kedua. Yogyakarta : Tiara Wacana.

----------------. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-IX Masehi.
Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya.

Majid, M. Dien. 1988. Pasar Angkup (Studi Kasus Perilaku Pasar). Dalam
Perdagangan, Pengusaha Cina, Perilaku Pasar (Pengantar Dr. Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti). Jakarta : PT. Pustaka Grafika Kita.

Purwadi. 2006. Petungan Jawa. Yogyakarta : Pinus.

Saraswati, Ufi. 2000. ‘Peranan Pasar Bagi Kerajaan Banten’. Dalam Paramita. No.
2. Hal. 137-149.

Syamsidar (ed). 1991. Peranan Pasar pada Masyarakat Pedesaan di Daerah Riau.
Jakarta : Depdikbud.

Syarifuddin, dkk. 1990. Peranan Pasar pada Masyarakat Pedesaan di Daerah


Kalimantan Selatan. Jakarta : Depdikbud.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Subroto, Ph. 1985. Sistem Pertanian Tradisional pada Masyarakt Jawa Tengah
secara Arkeologis dan Etnografis. Yogyakarta :Depdikbud Dikjen Javanologi.

Sugiyarto, Dakung (ed). 1986. Peranan Pasar Pada Masyarakat Pedesaan Jawa
Barat. Jakarta : Depdikbud.

Utomo, Cahyo Budi dan JB. Tjoek Soewarno. 1991. Peranan Pasar pada
Masyarakat Pedesaan di Daerah Jawa Tengah. Jakarta : Depdikbud.
120

Widiyanto, T. Sigit dan Elizabeth T. Gurning. 1997. Pengetahuan, Sikap,


Kepercayaan, dan Perilaku Budaya Tradisional Pada Generasi Muda di Kota
Ambon. Jakarta : Depdikbud.

Wiyono. 1990. Metode Penelitian Sejarah. Makalah tidak diterbitkan. Semarang :


FPIPS Semarang.
123

INSTRUMEN PENELITIAN

A. Informan
1. Nama :………………………………………….
2. Alamat :………………………………………….
3. Jenis Kelamin :………………………………………….
4. Umur :………………………………………….
5. Pendidikan :………………………………………….
6. Pekerjaan :………………………………………….

B. Sistem Kemasyarakatan
1. Desa ini terbentuk semenjak kapan?
2. Mengapa desa ini dinamakan Wadaslintang? Bagaimanakah sejarahnya?
3. Apakah mata pencaharian utama penduduk desa?
4. Pasar desa ini telah ada semenjak kapan?
5. Bagaimana sejarah terbentuknya pasar desa ini?
6. Tanah pasar ini milik siapa?
7. Mengapa pasar desa ini terselenggara pada hari Wage kenapa tidak
terselenggara pada hari Kliwon misalnya? bagaimana sejarahnya?
8. Kedai/toko disekitar los dibangun sejak tahun?
9. Fasilitas yang terdapat di pasar, apa saja?
10. Bagaimana peranan Pasar Tradisional Wage Wadaslintang sebagai Pusat
Kegiatan Ekonomi, Sosial dan Budaya bagi masyarakat Wadaslintang?
124

Daftar Pertanyaan Pedoman Wawancara Penelitian pada Masyarakat /


Pedagang di Pasar Tradisional Wage Wadaslintang

A. Pasar sebagai Pusat Kegiatan Ekonomi.


1. Sejak kapan saudara berdagang di pasar ini?
2. Tahukah saudara asal mula atau sejarah Pasar Wage Wadaslintang?
3. Apakah sejak dahulu pasar Wage sudah ramai dan lengkap seperti sekarang
ini?
4. Apakah saudara mempunyai tempat berjualan yang sudah tetap di pasar
ini?Sejak kapan?
5. Sebelum berdagang di pasar Wage Wadaslintang pernahkan saudara
berdagang di pasar lain?
6. Adakah perubahan yang saudara rasakan dengan perbedaan tempat
berdagang?
7. Kebutuhan apa saja yang biasa saudara beli di pasar Wage Wadaslintang?
8. Selain pasar ini, apakah saudara berbelanja kebutuhan pokok ke
tempat/pasar lain? Di pasar mana?apa alasannya?
9. Barang kebutuhan pokok apa yang paling banyak dibeli di pasar Wage?
10. Adakah pedagang musiman yang berjualan di pasar ini?

B. Pasar sebagai Pusat Kegiatan Sosial dan Kebudayaan


1. Adakah pedagang dari daerah lain yang bertempat tinggal di sekitar pasar?
2. Pernahkah saudara berkenalan dengan orang dari desa lain di pasar ini?
3. Bagaimana hubungan antara pedagang di pasar ini? Dengan pedagang
mana saudara menjalin hubungan?
4. Selain hubungan jual-beli, apakah saudara menjalin hubungan dengan
pembeli diluar pasar?
5. Dari lapisan /golongan mana pembeli yang banyak berbelanja di pasar ini?
6. Apakah di pasar ini ada Petugas pasar atau pegawainya? Misal, Kepala
Pasar, keamanan, dan lain-lain.
7. Siapakah yang mengatur tempat-tempat berjualan di pasar ini?
125

8. Apakah pasar ini dilengkapi dengan fasilitas seperti penerangan listrik, air
bersih, tempat parkir, gudang, dan lain-lain?
9. Pernahkah ada pertunjukan yang diselenggarakan di pasar ini? Pertunjukan
apa saja?
10. Siapa yang mengadakan pertunjukan tersebut?
11. Dalam rangka apa pertunjukan tersebut diadakan?
12. Pernahkah diadakan penyuluhan dari pemerintah? Misalnya, tentang
kebersihan lingkungan, kesehatan, dan lain-lain?
13. Menurut saudara, pengunjung pasar ini yang ramai disaat apa? Adakah
pengaruhnya bagi usaha saudara?
14. Keuntungan apa yang saudara peroleh dengan adanya pasar ini?
15. Apakah pengelolaan pasar ini sudah baik?
16. Apakah pergaulan saudara selama ini di pasar ini membawa pengaruh
dalam kehidupan anda?Jelaskan!
126

SURAT KETERANGAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : H. Ahmad Toyib
Umur : 60 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta/ Ketua Rt 3 Rw I
Alamat : Wadaslintang Rt 3 Rw I

Menerangkan bahwa saya telah diwawancarai oleh mahasiswa dari


Jurusan Sejarah Universitas Negeri Semarang.
Nama : IFAH CHASANAH
NIM : 3101403038

Demikian surat keterangan ini kami buat dengan sesungguhnya.

Wonosobo, 2 Maret 2007

( )
126

BIODATA INFORMAN

Nama Lengkap : Ahmad Muhadjir, BA


Umur : Wonosobo, 23 Desember 1952
Pekerjaan : PNS (Kepala Kelurahan Wadaslintang)
Alamat : Wadaslintang RT 01 RW III
Posisi Informan : Pejabat Pemerintah

Nama Lengkap : Mardi, SE


Umur : 56 Tahun
Pekerjaan : PNS
Alamat : Tanjungsari Kaliwiro
Posisi Informan : Kepala UPT Pasar Kaliwiro-Wadaslintang

Nama Lengkap : Sutaryo


Umur : 63 Tahun
Pekerjaan : Petani (Kadus Wadaslintang)
Alamat : Wadaslintang RT 01 RW II
Posisi Informan : Tokoh Masyarakat

Nama Lengkap : H. Ahmad Toyib


Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta (Ketua RT 03 RW I)
Alamat : Wadaslintang RT 03 RW I
Posisi Informan : Tokoh Masyarakat

Nama Lengkap : Tri Ukendarwati


Umur : 42 Tahun
Pekerjaan : PNS
Alamat : Trimulyo
Posisi Informan : Karyawan UPT Pasar Wadaslintang
127

Nama Lengkap : Heri Susanto


Umur : 47 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Cangkring
Posisi Informan : Tokoh Masyarakat Cangkring

Nama Lengkap : Hj. Marliyah


Umur : 57 Tahun
Pekerjaan : Pedagang Pakaian
Alamat : Ngalian

Nama Lengkap : Sutrisno


Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : Pedagang Makanan
Alamat : Wadaslintang RT 01 RW II

Nama Lengkap : Sa’adah Aryati


Umur : 22 Tahun
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Kemutug, Tirip

Nama Lengkap : Ari S


Umur : 20 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Sarimulyo
Posisi Informan : Pengunjung Pasar
128

INFORMAN

Gambar 17. Bp. Ahmad Muhajir, BA (Lurah Wadaslintang )


Sumber : Dokumen Pribadi, diambil tanggal 5 Maret 2007

Gambar 18. Bp. Mardi, SE (Kepala UPT Pasar Wadaslintang)


Sumber : Dokumen Pribadi, diambil tanggal 8 Maret 2007
129

Gambar 19. Bp. Sutaryo (Kadus Wadaslintang).


Sumber : Dokumen Pribadi, diambil tanggal 2 Maret 2007

Gambar 20. Bp. H. Ahmad Toyib (Ketua RT 03 RW I Wadaslintang)


Sumber : Dokumen Pribadi, diambil tanggal 28 Februari 2007
130

Gambar 21. Ibu Tri Ukendarwati ( Karyawan UPT Pasar


Wadaslintang).
Sumber : Dokumen Pribadi, diambil tanggal 8 Maret 2007

Gambar 22. Ibu Hj. Marliyah (Pedagang Pakaian).


Sumber : Dokumen Pribadi, diambil tanggal 3 Maret 2007

You might also like