Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra
Oleh:
Nama : Suci Mahanani Cahyaningsih
NIM : 2150401500
Program Studi : Sastra Indonesia
Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang Panitia
Ujian Skripsi.
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Semarang
Ketua, Sekretaris,
Drs. Agus Nuryatin, M.Hum. Drs. Teguh Supriyanto, M.Hum. Drs. Mukh Doyin, M.Si.
NIP 131813650 NIP 131876214 NIP 132106367
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau
Motto:
- Jangan mengeluh karena banyak cobaan, kita tahu bahwa api justru
membuat emas semakin berkilau, dan pukulan membuat paku semakin
kokoh. (Suci. M.C)
- Kemarin adalah kenyataan, hari ini adalah perjuangan, dan esok adalah
impian yang harus diraih. (Suci. M.C)
Persembahan:
Karya kecil ini kupersembahkan untuk:
1. Mama dan Nenek Buyut yang telah
mengiringi perjalanan hidup penulis
dengan untaian do’a;
2. Adikku Ucok dan Mas Whien yang tiada
henti memberikan dukungan secara
mengesankan;
3. Almamaterku, Universitas Negeri
Semarang.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan
Novel Trilogi: Jendela- jendela, Pintu, dan Atap Karya Fira Basuki dapat penulis
bantuan yang berarti dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
skripsi ini;
3. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan ijin kepada
dan doanya, serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Penulis tidak
menutup diri apabila ada kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan
skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya para pecinta
sastra.
Penulis
SARI
PERNYATAAN ...................................................................................... iv
PRAKATA .............................................................................................. vi
Sumber Data………………………………………………….. 24
perselingkuhan ........................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
kelompok sosial tertentu. Karya sastra juga dipandang sebagai refleksi zaman
sesuatu yang dicari-cari, bahkan sesuatu yang sah untuk dipermasalahkan. Karya
sastra pasti diciptakan oleh pengarang sebagai individu yang berasa dalam
antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata dan latar
hero). Pandangan dunia bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra
agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif).
Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena,
pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas
kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan
inilah yang menentukan struktur karya sastra (Goldmann dalam Endraswara,
2003:57).
100). Dengan demikian, karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan bertujuan
untuk menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita. Novel yang mampu
masyarakat tergolong sebagai novel yang baik, karena pada dasarnya, novel
adalah pengetahuan realita nonilmiah yang muncul dan terjadi dalam suatu
yang memunculkan karya sastra dalam bentuk novel. Salah satu novel yang akan
dijadikan objek penelitian ini adalah novel trilogi karya Fira Basuki.
novel trilogi Jendela-jendela (2001), Pintu (2002), dan Atap (2002); Biru; Mr. B
(2004); serta Rojak (2004). Memahami novel karya Fira Basuki akan semakin
membuka mata hati pembaca untuk selalu percaya diri dan tidak mudah putus asa
dalam mengarungi hidup ini. Membaca ketiga novel, Jendela-jendela, Pintu dan
Atap baik secara berurutan atau tidak, pembaca akan menemukan hubungan satu
dengan lainnya. Membaca satu novel, pembaca akan tetap menemukan cerita
tersendiri yang terpisah. Fira Basuki mencoba mengupas berbagai sisi kehidupan
manusia sehari-hari.
Trilogi novel Jendela-jendela, Pintu dan Atap menceritakan kehidupan
Singapura. Tokoh utama, June dan Bowo, memiliki latar budaya Jawa yang
kental, tapi uniknya juga terpengaruh beberapa budaya asing. Judul-judul novel
Atap
yang hidup di luar negeri untuk menuntut ilmu, sampai akhirnya kenal dengan
bersuamikan Jigme, pria Tibet baik hati yang kemudian memeluk Islam. Hidup
June tidak begitu penuh liku dan memilukan namun tetap ada cerita yang terselip
ketiga atau indera keenam. Bowo, tokoh utama, mengajak pembaca mengikuti
kehidupannya mulai saat lahir hingga kini. Ia juga mengajak pembaca membuka
berbagai pintu kehidupan. Bowo yang memiliki latar belakang budaya Jawa
Atap, sebuah bagian dari rumah. Atap juga tempat June dan Bowo
bertemu. Untuk mereka berdua, di sana adalah tempat yang sepi dan luas, June
bisa bercerita panjang lebar dan kakaknya mendengarkan serta berkomentar. June
Pada umumnya karya sastra lahir dari situasi yang terjadi disekitar
sekitar pengarang.
karya sastra didasarkan pada pengalaman yang telah diperolehnya dari realitas
kehidupan di masyarakat yang terjadi pada peran tokoh di dunia nyata dan
yang mengangkut persoalan sosial tertentu. Untuk itulah, lahirnya karya sastra
tidak terlepas dari aspek sosial masyarakat tempat karya sastra itu diciptakan,
artinya karya sastra itu juga sebagai hasil imajinasi pengarang dan fenomena
sastra itu sendiri adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang
oleh sastrawan untuk menuliskan kembali kehidupan dengan bentuk cerita. Hal ini
sejalan dengan pengertian dari Scholes dalam Junus (1983 : 3) bahwa orang tidak
pengetahuan suatu realitas. Karena itu, imajinasi selalu terikat kepada realitas
sependapat dengan Teeuw (1978:11) bahwa karya sastra diciptakan oleh seorang
sastrawan tidak dapat lepas dari masyarakat dan budayanya maka karya sastra
merupakan salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat berbagai
maupun politik, dan sebagainya. Semua itu merupakan hasil imajinatif sastrawan
karya sastra.
jendela, Pintu dan Atap karya Fira Basuki dan berusaha mengetahui lebih dalam
1. Konteks sosial yang terdapat dalam novel Trilogi Jendela-jendela, Pintu dan
Atap.
2. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang sudah ada dan
sastra.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
Strukturalisme genetik tidak dapat lepas begitu saja dari struktur dan
latar belakang kehidupan pengarang (Faruk 1999:12 – 13). Orang yang dianggap
sebagai peletak dasar mazhab genetik adalah Hippolyte Taine (Damono dalam
sosiologis. Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat
imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula merupakan cerminan atau rekaman
budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan (Junus
1988:20).
Baginya, karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna (Damono
merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang
merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok
dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia
untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Fananie
2000:117).
subjektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan
proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan
bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial
tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai media.
Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra memperjuangkan masalah yang
Meskipun sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda tetapi
keduanya saling melengkapi. Seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren
tersebut masih sangat kabur. Oleh karena itu banyak disalahtafsirkan dan
dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap
karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik dari fakta-fakta sosial,
kultural yang rumit dan bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang
manusia untuk menyusaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.
Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hal yang sama. Dengan
demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia
dan sebagainya. Dalam pengertian dokumenter murni, jelas tampak bahwa novel
berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi dan politik yang juga menjadi urusan
sosiologi. Oleh karena itu, sosiologi dan sastra memiliki hubungan yang erat,
Menurut Damono (1978:7) perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra
adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang obyektif, sedangkan karya sastra
menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara
sedangkan sastra bersifat afektif. Karena persamaan objek yaang digarap, wajar
apabila kemudian para ahli meramalkan bahwaa pada akhirnya nanti sosiologi
akan dapat menggantikan kedudukan karya sastra (novel atau cerpen). Hal
tersebut tentunya tidak bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat, terutama
para sastrawan maupun penikmat karya sastra itu sendiri. Sebab, ada satu hal
yang perlu diingat dan merupakan sesuatu yang jelas dari sastra yaitu mempunyai
satu kekhasan atau keunikan yang tidak dimiliki oleh sosiologi dan tidak bisa
dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan
masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang
karya sastranya. Yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah: 1) bagaimana
waktu karya itu ditulis, 2) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi
gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya, 3) sejauh mana genre sastra
fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: 1)
sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat, 2) sejauh mana
sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan 3) sejauh mana terjadi sintesis
luas, beragam, rumit, yang mengangkat tentang teks sastra sebagai sebuah karya
tiga, yaitu sosiologi pengarang yang meliputi profesi pengarang dan situasi sosial
itu sendiri sebagai bidang penelaah, dan sosialogi pembaca yang memasalahkan
pendekatan struktural genetik dari Lucien Goldmann yang lahir sebagai reaksi
yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi
struktur kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang
terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi
tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai struktur karya sastra, bagi
otonom juga tidak dapat lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sasta sekaligus
genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama, hubungan antara makna suatu
unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama. Kedua,
hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang mengikat. Oleh karena itu,
tersebut juga bukan realitas, melainkan sebuah refleksi yang diungkapkan secara
imajinatif.
cabang penelitian sastra secara struktural yang tidak murni. Ini merupakan bentuk
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan
2003:56).
sistem relasi antarelemennya (Faruk 1999:12). Sistem relasi struktur itu sendiri
bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah
yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan
dihayati oleh masyarakat asal karya satra yang bersangkutan (Faruk 1999:12).
struktur-struktur tersebut dengan kondisi sosial dan historis yang kongret, dengan
kelompok sosial dan kelas sosial si pengarang, dan dengan pandangan dunia kelas
yang bersangkutan. Perhatian utama pendekatan ini dicurahkan pada teks itu
sendiri dan kepada sejarah sebagai suatu proses (Damono, 1978 : 14).
struktural genetik ke dalam tiga hal, yaitu: 1) penelitian sastra terhadap karya
sastra seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan; 2) karya sastra yang diteliti
dengan latar belakang sosial. Sifat hubungan tersebut: (a) yang berhubungan
latar belakang sosial adalah unsur kesatuan, (b) latar belakang yang dimaksud
adalah pandangan dunia suatu kelompok sosial yang dilahirkan oleh pengarang
dunia) adalah tiga hal yang masih perlu direnungkan bagi peneliti strukturalisme
embrio penelitian sastra dari aspek sosial yang kelak disebut sosiologi sastra.
Hanya saja, srukturalisme genetik tetap mengedepankan juga aspek struktur. Baik
struktur dalam maupun struktur luar tetap dianggap penting bagi pemahaman
2003:60).
Fakta ini mempunyai unsur yang bermakna, karena merupakan pantulan respon-
respaon subyek kolektif dan individual dalam masyarakat. Subyek tersebut selalu
kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi
sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang
pandangan dunia itu merupakan produk interaksi antara pengarang dengan situasi
sekitarnya.
Menurut Goldman, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan
antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau
ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat
dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan
Pandangan dunia yang bagi Goldman selalu terbayang dalam karya sastra
agung adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif).
Abstraksi itu akan mencapai bentuk yang konkrit dalam sastra. Oleh karena
pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas
kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan
inilah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra
dapat dipahami asal dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial
tertentu tersebut, bagi Goldman merupakan hubungan genetik, maka dari itu
disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang
bukanlah seorang individu yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari suatu
‘kelompok sosial’, sehingga pandangannya tadi adalah juga pandangan kelompok
sosial, maka lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan
politik yang benar. Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi
antagonisme kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran kelas. Setiap anggota kelas
yang terpelajar harus memahami dan terlibat dalam perubahan sosial dan poitik.
adalah ekspresi teoritis dari suatu kelas sosial pada saat karya sastra diciptakan
dan para pengarang, filsuf, dan seniman yang menampilkannya dalam karya-
Pandangan dunia itu sendiri menurut Junus (1988:16) terikat pada masa
sejarah suatu subjek kolektif di mana suatu karya diciptakan, tidak seorangpun
1975:5) yaitu karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang utama dan karya sastra
yang dihasilkan oleh pengarag kelas dua. Karya sastra yang dihasilkan oleh
pengarang utama adalah karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur
kelompok atau kelas sosial tertentu. Adapun karya sasta yang oleh pengarang
kelas dua adalah karya sastra yang isinya sekadar reproduksi segi permukaan
realitas sosial dan kesadaran kolektif. Untuk penelitian sastra yang menggunakan
karya sastra ciptaan pengarang utama karena sastra yang dihasilkan merupakan
(problematik hero) itu sendiri adalah tokoh yang mempunyai wira bermasalah
yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded) dan berusaha
dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi
merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu
dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak
memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan
a) Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan
pandangan dunia pengarang dalam sebuah novel atau karya adalah pandangannya
dengan pandangan dunia pada suatu ruang tertentu dalam masa tertentu, sehingga
terbentuk atas dua aspek yaitu (1) hubungan antara konteks sosial dalam novel
dengan konteks sosial kehidupan nyata, (2) hubungan latar sosial budaya
kebenaran yang indrawi tetapi juga dapat dijadikan cermin norma masyarakat.
Damono (1978:4) berpendapat bahwa hasil sastra tidak dapat dipahami selengkap-
yang telah menghasilkannya. Karya sastra bukanlah gejala tersendiri yang muncul
begitu saja, tetapi setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh yang rumit dari
dianggap sebagai fakta sosial dari subjek trans-individual karena merupakan alam
semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin
dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat
historis.
100). Dengan demikian, karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk menuliskan
gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada kultur
Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah
ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial
dan politik itu sendiri adalah ekspresi antanogis kelas, dan jelas mempengaruhi
dengan suatu ideologi yang eksplisit. Dengan cara begini, penulis dengan
dunianya sendiri mendapat tempat yang wajar. Pengarang bukan hanya penyalur
satu peristiwa.
masyarakat pengarang.
BAB III
METODE PENELITIAN
Karya sastra diciptakan tidak hanya dari imajinasi pribadi pengarang tetapi
juga dari peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga karya sastra dapat
dikatakan sebagai cermin atau rekaman budaya masyarakat. Oleh karena itu,
1. Konteks sosial yang terdapat dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan
Atap.
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Trilogi Karya Fira Basuki
Yaitu Jendela-Jendela, Pintu, Atap. Sumber data lainya adalah keterangan tentang
Fira Basuki. Keterangan tentang Fira Basuki dapat diperoleh dari Studi Pustaka,
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
dialektik. Model ini berjalan dari pemahaman terhadap struktur teks karya sastra,
ke struktur sosial budaya yang kongkret dan latar belakang sosial pengarang.
Selanjutnya hasil pemahaman terhadap stuktur sosial budaya dan kelompok sosial
pengarang ini digunakan untuk memahami kembali struktur teks sastra. Model
dengan teks sastra yang diteliti. Model dialektik mengutamakan makna yang
mengkaji konteks sosial novel yang turut mengkondisikan karya sastra saat
pandangan dunia pengarang dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap
Fira Basuki secara heuristik yakni pembacaan awal sampai akhir cerita
4. Mengkaji konteks sosial novel yang turut mengkondisikan karya sastra saat
7. Menarik simpulan dari permasalahan yang telah dibahas dalam novel trilogi
dan problemannya dari tokoh utama, June dan Bowo di berbagai tempat seperti
Indonesia, Amerika Serikat dan Singapura dengan latar budaya yang kental.
merupakan petualangan indera keenam atau mata ketiga yang dimiliki oleh Djati
Suryo Wibowo Subagio (Bowo). Indera keenam yang dimiliki oleh Bowo
mempengaruhi cerita tentang cinta dan perjalanan hidupnya. Konteks sosial novel
Atap adalah tempat bertemunya adik kakak June dan Bowo. Mereka bercerita
tentang pengalaman hidup, bercerita tentang masalah pada masa sekolah, rumah
diselesaikan dengan baik dan mereka hidup bahagia dengan pasangan hidup
masing-masing.
hidup di luar negeri untuk menuntut ilmu, sampai akhirnya kenal dengan seorang
pekerjaan dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain, namun tidak ada
Suaminya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya membuat dia merasa kesepian.
Karena sering bertemu, wanita dan laki-laki itu menjalin percintaan, sampai
perselingkuhan terjadi.
tentang hidup dan kehidupan. Kisah pasangan suami istri muda yang latarnya di
manusia sama sekali tidak sederhana. Itu semua diungkapkan dalam latar tempat
namanya June, lengkapnya June Larasati Subagio. Wanita berdarah Jawa kental
bersuami Jigme Tsering, pria Tibet yang kemudian memeluk Islam. Hidup June
tidak sebegitu penuh liku dan memilukan namun tetap ada cerita yang terselip di
(1)
Kutipan (1) merupakan awal dari perjalanan June dengan berbagai cerita
di antaranya masa sekolah di SMA Regina Pacis Bogor, masa kuliah, tentang
tentang pekerjaannya.
(2)
(3)
Dari kutipan (2) dan (3) tersebut June menemukan cinta pada masa
sekolah di SMA Regina Pacis pada sosok Didit. Hal itu diperjelas pada kutipan
(4)
Perjalanan cinta June dan Didit tidak berlangsung lama. Didit mendapat
Didit akhirnya meminta Nina temannya di Sydney untuk menjadi pacarnya setelah
didesak oleh June, walaupun sebenarnya Didit masih sayang sama June. Hal ini
awal cerita masa kuliah June di Pittsburg State University yang merupakan
pilihannya..
(6)
University. Namun Aji seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda, terkadang
baik terkadang juga kasar. Kutipan (7) menggambarkan pahit dan manisnya saat
(7)
Kesabaran June menghadapi sikap Aji Saka sudah habis. Dengan dibantu
Joe salah satu teman kampusnya, June pindah ke Wichita State University untuk
menghindari dan menjauhi Aji Saka. Di Wichita awal pertemuan June dan Jigme
sampai pada akhirnya mereka menikah. Seperti dijelaskan pada kutipan (8) dan
(9) berikut.
(8)
Putus dari Aji, aku pindah dan transfer sekolah ke Wichita. Ah,
siapa sangka Jigme terkaget-kaget melihatku di kafetaria kampus Wichita
State University.
“June Larasati Subagio”,teriaknya saat itu.
Aku yang bersiap menuju kelas kontan terperanjat. Siapa pria ini?
Mengapa ia tahu namaku?
”Ingat, saya Jigme Tshering,” katanya sambil menjulurkan tangan.
Dengan terbingung-bingung, aku membalas jabatan tangannya.
”Maaf, siapa..........”
(Jendela-jendela hlm.7)
(9)
Perjalanan rumah tangga June dan Jigme tidak selalu mulus. Masalah-
masalah dalam rumah tangga pun terjadi. Mulai dari masalah keuangan karena
ekonomi antara June dan Jigme yang nantinya menjadi salah satu masalah dalam
Board, alias rumah susun yang dibangun pemerintah Singapura, kehidupan rumah
tangga June dan Jigme masih saja mengalami kekurangan. Keadaan June dan
(13)
Jigme tidak tahu kalau aku pergi ke Pawn Shop atau tempat gadai.
Gaji Jigme tidak mencukupi hidup kami. Walaupun tinggal di apartemen
yang lumayan murah untuk ukuran Singapura dan masih ada sisa setengah
lebih gajinya, entah kenapa tidak pernah cukup. Mungkin gaya hidupku
yang boros. Makan enak setiap hari, tidak heran jika Jigme jadi sedikit
gemuk.
(Jendela-jendela hlm.41)
(14)
Karena tidak memiliki uang, kami merayakan tahun baru di
rumah. Tanpa televisi, atau hiburan lain yang berarti, satu-satunya cara
melewatkan tahun 1997 adalah dengan berbincang-bincang. Sebenarnya,
kami nyaris bercinta, tapi suasana yang ingar-bingar di rumah susun ini
membuat kami tidak bersemangat.
(Jendela-jendela hlm.45)
Kutipan (15) dan (16) adalah masalah yang dialami June dan Jigme ketika
hubungan mereka menjadi dingin yang disebabkan rasa bersalah June pada Jigme.
(15)
Buat apa aku menangis? Kalau bukan karena Jigme aku tidak
akan menangis terus menerus seperti ini. Aku terus menangis setelah
melihat Jigme menangis. Kami kehilangan calon buah hati, di
kandunganku yang berusia sekitar lima minggu. Rasanya baru kemarin
aku menerima kabar kehamilanku....... Ia keluar begitu saja, ketika aku
buang air kecil.
(Jendela-jendela hlm. 81)
(16)
Perasaan bersalahku pada Jigme membuatku menghukum diri.
Sejak meninggalkan rumah sakit tiga bulan lalu, kami jarang melakukan
hubungan suami istri. Aku takut hal buruk akan terjadi. Aku takut hamil,
takut keguguran lagi dan takut mengecewakan Jigme. Kalaupun kami
bercinta, itupun jadi dingim.
(Jendela-jendela hlm.99)
sering pulang malam dan June merasa kesepian. Hal itulah yang membuka
(17)
Jangan salahkan aku jika aku mulai menyukai Dean. Sebenarnya,
semenjak pertama kali Jigme mengenalkanku pada Dean di Whicita,
terselip kekagumanku padanya. Seperti yang kusebut sebelumnya, Dean
selalu tampak rapi dan rupawan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya
selalu enak didengar. Dan mungkin juga ditambah mobil BMW yang
dikendarainya sewaktu sekolah dulu.
(Jendela-jendela hlm.104)
(18)
Dengan mudah, aku menerima rayuan ‘coldheart’. Di suatu sabtu
pagi, ketika Jigme sedang syuting dan orang tua Dean ke Johor Baru, aku
datang ke rumahnya.
“Jangan Dean,”ujarku saat tangannya mulai meraba-raba daerah
pribadiku.
”Ssssttt June.......”
Badannya yang tegap meraih tubuhku dari sofa dan
mengangkatku ke suatu ruangan: kamar tidurnya.
(Jendela-jendela hlm.105)
dengan baik setelah ada pengakuan dan penyesalan dari June serta adanya
(19)
Aku memeluknya erat-erat. Teramat erat. Jigme, kamu tidak tahu
apa yang telah kulakukan. Selama ini aku tidak pernah mencoba
berkomunikasi. Siapa sangka ia pria yang mudah menerima keadaan?
Bahkan terlalu mudah. Pernah sesaat aku mengira ia juga serong
dibelakangku. Ternyata aku salah, Jigme seorang pria yang berhati mulia.
Allah, maafkan aku!
Jigme tidak pernah bertanya-tanya dan mengungkit apa yang
terjadi. Daripada menyalahkanku, ia selalu menyalahkan dirinya terlebih
dahulu. Sebagai orang Tibet, ia percaya karma, sebab dan akibat. Jigme
selalu yakin, orang yang bersalah akan menanggung resiko hukumannya.
(Jendela-jendela hlm.124)
(21)
Dua minggu menunggu hari pertamaku untuk bekerja di
International Voice, Jigme tidak henti-hentinya memberi semangat. Kata-
kata seperti, ”Jangan kalah sebelum perang,” atau ”Kamu pasti bisa”,
selalu keluar dari mulut Jigme. Hari perjumpaanku dengan rekan-rekan
sekerja dari Indonesia akhirnya tiba. Cuma ada lima orang, termasuk aku.
(Jendela-jendela hlm.52)
Setelah June mempunyai pekerjaan. June dan Jigme pindah kerumah baru
yang lebih baik dari yang dulu. Seakan kebahagiaan rumah tangga June dan jigme
(22)
Singapura, 23 Desember 1998. Aku dan jigme memutuskan untuk
pindah rumah sebelum tahun baru tiba. Belum ada setahun aku tinggal di
Ang Mo Kio ini, tapi aku sudah mulai tidak kerasan. Mungkin karena aku
yang gampang bosan.
(Jendela-jendela hlm.147)
(23)
Kami menemukan apartemen pribadi di kawasan Thomson. Tidak
seperti apartemen HDB milik pemerintah, apartemen yang akan kami
tempati jauh lebih mewah. Nantinya, aku akan bisa berenang dan bermain
tenis gratis di kawasan apartemen itu. Belum lagi letaknya yang tidak
terlalu jauh dari sini, jadi acara pindahan bisa berjalan cepat dan lebih
mudah.
(Jendela-jendela hlm.149)
Isi novel Jendela-jendela yang telah digambarkan di atas memungkinkan
Pada akhirnya kehidupan rumah tangga mereka bahagia karena adanya pengertian
June. Siapakah Mr.X ? Mr.X akan terungkap oleh June di Atap ketika bercerita
pada Bowo.
‘Pintu’ lebih maskulin. Tokoh utama dalam cerita ini adalah pria, Djati Suryo
Wibowo Subagio. Novel ini adalah ‘petualangan’ seorang lelaki yang memiliki
mata ketiga atau indera keenam, yang menyebabkan ia menjadi bagian dari dunia
sekolah, kuliah, pacar, perselingkuhan, indera keenam yang dimiliki dan tambatan
hati yang akhirnya menjadi isterinya. Budaya Jawa dalam novel ini sangat kental.
(24)
Aku lahir tahun 1968, dengan weton Sabtu Pahing dan memiliki
neptu Jawa tertinggi yaitu 18. konon ini tandanya aku bukan orang biasa.
Contoh orang yang lahir dengan tanggalan Jawa sepertiku adalah Sultan
Hamengku Buwono IX. Artinya, lahir dengan tanggal Jawa seperti ini
nantinya menjadi seorang pemimpin yang dipuja dan seorang pria yang
disenangi.
(Pintu hlm. 10)
Kutipan (24) membuka cerita dalam novel Pintu tentang budaya Jawa
bahwa tokoh utama Bowo yang dilahirkan pada weton Sabtu Pahing dan neptu
Jawa 18 nantinya akan menjadi pemimpin yang dipuja dan pria yang disenangi.
(25)
Yang aku ingat di usiaku yang tiga tahun, aku ’melihat sesuatu’
untuk pertama kalinya. Saat kami pindah ke rumah baru di Jakarta aku
melihat ada anak hitam kecil yang bertelanjang dada dan mengenakan
popok dari daun pisang menari-nari di atas atap. Aku menunjuk anak
tersebut sambil berujar, ”Itu, itu...hayo, sini turun”. Mama saat itu
memandangku keheranan dan berkata, ”Kamu nunjuk opo to ’le”.
Inikah yang disebut dengan indera keenam? Aku memang sering
melihat jin, hantu, ..... atau apalah namanya.
(Pintu hlm. 11)
(26)
Aku melihat ’mereka’ yang baik. Dalam arti, seperti anak kecil
hitam di atap yang selalu menemaniku itu ternyata mengaku seorang jin
baik dan berasal dari keluarga jin yang baik. Aku tidak pernah melihat
keluarganya, dia pun tidak pernah menawarkan diri untuk mengenalkanku
pada keluarganya. Oya, aku memanggilnya dengan nama Jeliteng yang
artinya si hitam.
(Pintu hlm.11)
Kutipan (25) dan (26) membuka Pintu pertama petualangan Bowo tentang
indera keenam ketika pada umur tiga tahun Bowo dapat melihat jin. Kemudian
pada usia sepuluh tahun Bowo belajar silat ke Pak Haji Brewok dan mulai rajin
(27)
Sejak usiaku sepuluh tahun, aku rajin membuat dan meminum
obat kuat sendiri. Tapi aku tidak pernah mencoba resep perkasa, soalnya
tujuannya adalah memperkuat keperkasaan pria dalam hal ’greng’ pria.
Biasanya resep ini banyak dipraktekkan oleh para tukang becak di
Surabaya yang terkenal slebor dan memiliki istri lebih dari satu.
Resep ini kudapat dari Pak Haji Brewok, guru silatku di kampung
belakang rumah.
(Pintu hlm.18)
Ilmu silat jauh lebih mendalam dari apa yang pernah dibayangkan oleh
Bowo. Belajar silat bisa mengundang bahaya. Hal tersebut dialami Bowo ketika
berusia lima belas tahun, ketika tubuhnya hamoir hangus tersambar petir. Seperti
(28)
Tubuhku yang berumur lima belas tahun hampir hangus tersambar
petir. Ini gara-gara aku tidak menggubris nasihat sang guru yang
menyebutkan bahwa ilmu memanggil teman di bumi belum sesuai
untukku. Ilmu ini memungkinkan seseorang memanggil petir, angin, dan
hujan sesuai kehendak.
Mama cerita kalau aku pingsan dan badanku berwarna hitam
legam. Mama menjerit-jerit histerois menyangka aku sudah tiada.
Untungnya Mpok Nyit ada di sana dan tahu kalau jantungku masih
berdenyut. Buru-buru tubuhku diselimuti dan kemudian Mpok Nyit
membaca doa-doa. Melalui ritual akupun siuman.
(Pintu hlm.21)
(29)
Yangti selalu mengingatkan aku akan hal ini. Ilmu silat yang
mumpuni saja tidaklah cukup. Selain tubuh, batin harus diasah. Kalau
mungkin Yangti menyampaikannya padaku dengan bicara biasa, artinya
tidak terasa. Tapi Yangti selalu menentang saat menasehatiku dengan kata-
kata ini. Suaranya seakan merasuk, seiring dengan maknanya sendiri.
(Pintu hlm.25)
arah timur merupakan awal petualangan indera keenamnya. Seperti pada kutipan
berikut.
(30)
Pernah, suatu ketika aku bermimpi bertemu seorang kakek
berjenggot panjang yang menyuruhku untuk pergi ke arah timur. Aku
tidak mengerti apa maksudnya. Sesudah bangun, keinginan untuk
memenuhi perintah si kakek itu seperti tidak terbendung. Aku harus pergi
kearah timur. Timur.....timur mana? Jakarta Timur? Jawa Timur?
(Pintu hlm.27)
Kutipan (32) dan (32) menegaskan petualangan indera keenam Bowo yang
lain. Sewaktu baru lulus SMA, Bowo pamit pada Mamanya untuk pergi ke
Surabaya selama dua hari. Bowo mengalami peristiwa dan keanehan di sana.
Bowo merasa pergi selama tiga hari tetapi menurut keluarganya ternyata dia pergi
(31)
Aku seperti disorientasi. Nggak salah nih? Perasaan aku pergi
paling lama juga tiga hari. Ada apa sih sebenarnya? Lalu, kuraba wajahku.
Kumis dan brewokku sedikit lebat, benar seperti gembel atau
gelandangan.....hm.....mungkinkah? ah, masa? Dua minggu?
(Pintu hlm.30)
(32)
Aku masih merinding setiap mengingat hal itu. Begitulah
ceritanya. Soal mata ketiga ini menjadi hal yang lumrah bagiku.
Kemudian aku tahu, istilah itu bahkan banyak di pakai oleh orang Tibet.
Aku tahu hal ini di kemudian hari dari Jigme, suami June. Jigme cerita,
beberapa Lama yang berbakat, atau memiliki indera keenam, ’di buka’
untuk mengetahui misteri kehidupan sepertiku. Ya, ya, ya,....aku berusaha
menutup mata.
(Pintu hlm.34)
yang meninggal karena gantung diri di kamarnya. Hal ini membuktikan bahwa
tidak semua orang dapat melihat orang yang sudah meninggal kecuali orang yang
memiliki ’mata ketiga’ atau indera keenam. Kutipan (33) dan (34) merupakan
(33)
Angin kembali mereda. Aku sadar bahwa Anna tidak sam dengan
Jeliteng. Anna adalah hantu, sedangkan Jeliteng itu jin. Apa bedanya?
Anna dulunya adalah manusia biasa seperti aku. Namun karena ia bunuh
diri, rohnya tidak tenang di alam baka dan gentayangan di dunia.
(Pintu hlm. 62)
(34)
Pemanas ruangan seperti kembali bekerja baik di kamarku. Anna
sudah pergi. Tapi ....sehelai rambut pirang tergeletak di bantalku! Rupanya
semalam suntuk Anna ada di sini. Entah mengapa mataku menuju kalender
di dinding...... Ops, nggak salah? Kemarin tanggal 15 Desember! Cerita itu
benar!
(Pintu hlm. 62)
kemampuan indera keenam Bowo. Seperti pada kutipan (35) dan (36) berikut.
(35)
Yang aku tidak habis pikir, Yangti yang keturunan Sunan Kalijaga
juga percaya kejawen. ”Eyang kakung belajar kebatinan, terutama
kejawen. Beberapa filsafat hidup ilmu itu bermanfaat”, demikian kilahnya.
Lebih lanjut Yangti berkata kejawen bukan berarti ilmu gaib atau
hal-hal gaib lainnya. Justru kondisi spiritual bisa diraih jika sesearang
percaya penuh kepada Gusti Allah, atau Yangti menyebutnya, Gusti
Pangeran. Mereka yang ingin mencapai kedamaian hidup dan ilmu
pengetahuan yang sebenarnya harus melakukan hal-hal yang baik.
(Pintu hlm. 26)
(36)
Aku tahu Yangti bukan orang biasa. Mpok Nyit juga bukan orang
biasa. Tapi Yangti luar biasa dalam hal lain. Bukan karena darah yang
mengalir di tubuhnya tapi karena aura Yangti sendiri. Berdekatan apalagi
berbicara dengan wanita berusia tujuh puluh delapan tahun ini seperti
membawa suatu energi.
(Pintu hlm.26)
Bowo merupakan tokoh utama dalam novel Pintu. Selain cerita tentang
mata ketiga yang menjadi kelebihan Bowo, yang semakin menarik adalah cerita
tentang cintanya.
Bowo memiliki hubungan dengan Erna ketika masih pacaran dengan Putri.
dengan Putri menjadi putus. Tapi pada akhirnya Bowo menikahi Aida tanpa
Kutipan (37) dan (38) menggambarkan petualangan cinta Bowo yang penuh liku.
(37)
Pacarku bernama Putri Kemuning, teman June. Kami langgeng
pacaran hingga aku berangkat ke Amerika Serikat, untuk sekolah di
Chicago. Di Amrik pun aku masih pacaran dengan Putri hingga datang
wanita lainnya.
(Pintu hlm. 4)
38)
Lewat June Putri berpesan bahwa ia tidak mau lagi berhubungan
denganku dalam bentuk apapun. Aku merasa kalah. Kalah melawan nafsu.
Mengapa aku bisa terjerat pada Erna? Bukankah Putri lebih baik dari
segalanya? Apa yang membuatku kalap?
(Pintu hlm. 78)
Perjalanan cinta Bowo yang lain berlabuh pada sosok Paris, perempuan
yang dikenalnya di New Orleans. Kekaguman Bowo pada Paris tergambar pada
kutipan berikut.
(39)
Aku mengangguk, masih mengagumi kecantikannya. Belum lagi
rambutnya yang mirip gadis sunsilk, bergoyang-goyang saat ia bicara.
Iseng-iseng aku mengecek auranya, hm.......kadang berwarna-warna,
kadang kecokelatan, artinya berbagai perasaan bercampur.
(Pintu hlm.93)
pelarian saat suaminya pergi bekerja sebagai sopir truk tailer yang mengantar
barang-barang kontainer ke luar kota. Hubungan Bowo dengan Paris semakin
(40)
Paris kemudian menarik tangan kananku agar aku mengikuti
langkahnya ke kamar berdinding kecokelatan dengan lampu yang redup.
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi bibir Paris yang merah tebal itu
seperti hendak melumatku. Aku tidak menolak. Siapa yang bisa?
Paris menelentangkan tubuhnya di tempat tidur Queen size.
Tubuhnya yang voluptuous, berlekuk sempurna tergolek seperti menanti.
Tubuhku menjadi panas dan penisku perlahan mengalami ereksi. Seperti
magnet, aku berjalan kearahnya.
(Pintu hlm.105)
1987. hari-hari awal di ITB Bowo sempat di rawat di Rumah Sakit Boromeus
karena ulah seniornya, Nico. Bowo melaporkannya ke Pembantu Dekan dan Nico
diskors satu semester. Kutipan (41), (42), dan (43) merupakan konflik yang
(41)
”Diam deh ’Wie. Dengar ya, Nico mati tadi malam di warung sate
si Udel. Ada bekas tusukan di perutnya, katanya sih ususnya pake acara
keluar segalanya. Nggak tau deh, cerita macem-macem, yang jelas Nico
mati. Titik. Eh, belum titik....polisi datang ke kampus intuk interogasi.
Katanya mereka mau ketemu kamu. Kabar gosip sih kamu dijadikan salah
satu tersang....”
(Pintu hlm. 48)
(42)
Aku tercekat. Ya Gusti! Apa benar Nico mati gara-gara luka
sabetan si Udel? Aku tahu Udel punya celurit layaknya orang Madura lain.
Tidak ada yang tahu ini selain aku.
(Pintu hlm. 49)
(43)
Rupanya Mama dan Papa takut Udel akan mencariku ketika
keluar dari penjara. Mama terutama, sangat kuatir jika Udel memporak-
porandakan masa depanku. Mama hanya memberikan waktu dua bulan
untuk berkemas-kemas, siap berangkat ke Amerika Serikat. Ya, sekolah di
luar negeri.
(Pintu hlm 54)
Masalah ekonomi menjadi masalah yang penting bagi Bowo. Hal itu
terjadi karena Papanya berhenti dari kerja dan hanya mengirim uang untuk
Bowo.
(44)
Keadaan keuanganku yang tidak pernah baik kini bisa dikatakan
nyaris bangkrut. Koleksi compact discku yang menumpuk perlahan kujual
ke toko cd bekas ataupun kepada teman-teman di kampus. Sampai
akhirnya, tidak ada lagi yang bisa kujual. Masih sih, ada beberapa
koleksiku, tapi aku tidak bisa menjualnya! Beberapa CD Rolling Stones
adalah kesayanganku, belum lagi pembelian dari Putri.
(Pintu hlm.81)
kuliahnya dan menawarinya pekerjaan dengan gaji dua ribu dolar. Seperti
(45)
Begitulah. Setiap bulan aku mendapat pesanan kerja dua hingga
tiga proyek. Pekerjaannya sendiri lumayan mudah untukku. Misalnya saja,
pernah Antonio menyuruhku mencari tahu strategi bisnis ”Light Up”,
nama sebuar bar di kota. Pernah juga aku hareus membuka beberapa
laporan tahunan perusahaan via internet. Satu pekerjaan paling lama hanya
membutuhkan waktu dua minggu, itu pun waktu terbanyak untuk mencari
tahu kata kuncinya. Anehnya, terkadang kunci rahasia itu seperti samar-
samar muncul di layar setelah aku berkonsentrasi. Hm.....mungkinkah
karena kelebihan mata ketigaku.
(Pintu hlm.85-86)
Social Security, sebuah lembaga pemerintahan yang mengurus mulai dari kartu
penduduk hingga dana pemerintahan. Bowo di tahan polisi selama dua hari karena
mereka berhasil melacak bahwa sistem komputer mereka kebobolan dan sumber
mengharuskan dia untuk mengalami petualangan tentang cinta yang penuh liku-
mana kita tinggal pada saat kita pulang ke rumah. Atap adalah akhir dari trilogi
novel Jendela-jendela dan Pintu. Novel ini merupakan percakapan antara adik dan
kakak, June dan Bowo. Di Atap June dan Bowo saling bercerita tentang
kehidupan.
(46)
Mas Bowo, pernahkah aku cerita tentang Mr. X? Huh, ya Mr.X!
dia lagi, dia lagi...Mr. X lagi! Itu orang dari dulu tidak bosan-bosannya
menghujaniku dengan puisi via e-mail. Siapa dia? Mr. X pasti orang yang
mengenaliku, kalau tidak bagaimana ia selalu menemukan puisi cinta yang
pas? Aduh...siapa sih? Enam bulan sudah aku tanya sana-sini, bagaimana
caranya mencari nama yang sebenarnya.
(Atap hlm. 7)
kepada Bowo kakaknya. Kutipan (47), (48), dan (49) menceritakan terkuaknya
Mr. X.
(47)
Mau tahu siapa Mr.X, Mas Bowo?
Tidak pernah ada yang mengaku terang-terangnya di hadapanku.
Tetapi sepertinya aku mendapat clue. Suatu sore, aku turun ke lantai dasar
apartemen untuk memeriksa kotak surat seperti biasanya.
(Atap hlm. 272)
(48)
Hei! Baru kali ini Mr.X mengirimku puisi berbahasa Indonesia.
Disebutkan bahwa aku akan tahu dengan membaca puisinya. Mataku
menangkap kata-kata bahasa Ibuku sendiri, bukan kata-kata dari penyair
asing.Mr.X membuat puisinya sendiri. Berarti Mr.X orang Indonesia!
Hmm, bukankah itu artinya ariel.....
(Atap hlm. 274)
(49)
Ariel Sahri! Benar Ariel temanku saat aku bekerja di radio
Internasional Voice. Aku tidak salah lagi. Karena tubuhnya yang tinggi
dan rambutnya yang berombak gondrong itu tidak mungkin bisa
dilupakan. Ariel tidak tinggal dikawasan apartemen sini. Apakah ia baru
pindah? Kalau ia datang mengunjungi temannya, kok ia tidak berkunjung
juga ketempatku? Bukankah ia termasuk salah satu teman baikku saat di
radio?
(Atap hlm.274)
berlabuh kepada Putri walaupun sudah beristri Aida. Kutipan (50) dan (51)
(51)
Aku membayangkan mbak Aida di rumah di Bintaro mungkin saat ini
ia sedang menangis dan meratap. Izin bisa saja keluar, tapui hati untuk
dibelah, siapa mau? Entah kapan mas Bowo akan tidur bersamanya saat
bulan menerangi, mungkin beberapa hari lagi, mungkin seminggu,
sebulan, entahlah. Yang jelas setiap senja tidak akan sama lagi.
(Atap hlm.13)
Atap juga tempat bercerita tentang perselingkuhan antara June dan Dean
sahabat Jigme, June yang telah tergoda oleh Dean. Seperti pada kutipan (52).
(52)
Mau tahu siapa di mas? Dean Sahi, bekas sahabat Jigme. Ya,
bekas. Persahabatan mereka terpaksa berakhir begitu saja karena aku.
Maafkan aku mas. Aku yang salah, aku telah menggodanya. Aku juga
telah tergoda olehnya. Tidak pantaslah aku menceritakan aib lainnya ini.
Untung Tuhan mengingatkan aku untuk kembali kepada Jigme. Walaupun
rasanya sangat menyakitkan, namun Tuhan memberi jalan. Ia
melemparkanku keluar dan aku ditinggalkannya dengan penyakit kelamin.
Kurang apa? Aku tidak mau melihatnya lagi. Aku muak padanya, pada
gayanya yang perlente dan menggodaku.
(Atap hlm. 190-191)
Bowo bisa melihat Kanjeng Ratu Kidul. Hanya orang yang mwemiliki indera
keenam yang dapat melihat Kanjeng Ratu Kidul. Seperti pada kutipan (53) dan
(54) berikut.
(53)
Mungkinkah maksudnya karena aku terlahir istimewa dengan
indera keenam atau mata ketiga? Atau karena laku batinku?
”Kanjeng Ratu Kidul akan menampakkan dirinya padamu besok”,
kata laki-laki tua tadi.
”Bagaimana Bapak bisa tahu?”
Lagi-lagi dia terkekeh. ”Kamu beruntung! Aku saja sudah puluhan
tahun di sini membantu juru kunci bari melihat beliau sekali, itu juga
setelah puasa, meditasi, dan laku batin lainnya. Kamu? Ah, sungguh
beruntung.........”
(Atap hlm. 248)
(54)
Benarkah hanya aku yang melihat? Pasti benar! Jika tidak orang-
orang tadi akan berlari, berhamburan ingin menyentuh bayangan Kanjeng
Ratu Kidul. Aku saja ingin bersalaman, hanya saja ia memang tidak mau
disentuh. Perasaanku seperti bunga-bunga, timbul rasa bahagia yang tidak
bisa dilukiskan.
(Atap hlm. 249)
kejelasan dan pandangan. Saat Bowo menikahi Aida, Jeliteng mengatakan bahwa
Putri merupakan jodohnya kelak. Hal ini terungkap pada kutipan (55) dan (56)
berikut.
(55)
Jeliteng menggeleng. Ia bilang, ini mungkin terakhir kalinya ia
bertemu aku. Bukankah dulu ia berjanji akan bertemu aku? Katanya ya,
karena besok aku akan bertemu jodohku.Putri dikatakan adalah jodohku
yang pas. Dengan putri hidupku akan bahagia. Lalu bagaimana dengan
Aida. Jeliteng menggeleng, tidak mau berkomentar. Kata Jeliteng, ia
mengabarkan persahabatannya denganku kepada ratu. Bahkan tanpa
diminta, ratunya itu ’melihatku’. Aku geli sendiri waktu disebutkan kalau
menurut orang-orang disana, dilihat dari mata batin, aku ini ’bersinar’.
Ratu Kidul juga merestui pernikahanku, tak kurang ia dan seluruh kerajaan
melakukan prisesi khusus untuk kesembuhan Putri.
(Atap hlm. 226)
(56)
Sekelebat aku melihat bayangan seorang perempuan matang,
berambut panjang tebal berurai mengenakan kebaya hijau. Ia tersenyum
dan mengangguk sebelum ijab kabul pernikahanku dilaksanakan.
Benarkah ia Kanjeng Ratu Kidul?
(Atap hlm. 227)
Atap juga bercerita tentang akhir dari petualangan June dan Bowo. Mereka
bahagia dengan pasangan hidupnya. June dengan Jigme dan Bowo dengan Putri
serta anak-anak mereka sebagai hasil cinta kasih. Kebahagiaan June dan Bowo
(57)
Jigme keluar dari pintu kamar. ”Sayang putrimu menangis!”
”Ibu datang, anakku sayang, susumu menanti......”
(Atap hlm. 279)
(58)
Putri keluar dari kamar. ” Mas Bowo, anakmu sepertinya
mencarimu ”.
”Aku akan kesana segera”.
(Atap hlm. 279)
June dan Bowo adalah adik kakak yang saling bercerita tentang
pengalaman kehidupan yang mereka alami. June dan Bowo saling bertukar
bahkan tentang cinta. Cerita tentang perselingkuhan yang mereka lakukan. Dan
1972. Setelah lulus dari SMU Regina Pacis di Bogor tahun 1991 ia meneruskan
Pittsburg State University. Selama musim semi hingga musim panas 1996 ia
majalah seperti Tempo dan Gadis, maupun oleh instansi seperti Departemen
dunia Fira Basuki. Ia juga pernah bekerja di majalah Dewi dan pernah menjadi
kontributor pada beberapa media asing seperti Sunflower, Collegio, dan Morning
Sun di Kansas, USA. Dunia Broadcast juga pernah dirambah Fira, antara lain
sebagai anchor/host pada CAPS-3 TV, Pittsburg, Kansas. Kini ibu dari Syaza C.
Galang dan istri Palden T. Galang ini tinggal di Singapura dan bekerja sebagai
isi cerita dalam novel-novel Fira Basuki sarat dengan pola budaya Jawa, seperti
diakuinya sebagai orang Jawa ia sudah akrab dengan pola hidup budaya Jawa, apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai orang Jawa. Sejak kecil Fira sudah
menyenangi buku-buku kuno seperti Serat Centhini misalnya, tapi juga senang
mempelajari budaya daerah lain hingga ketika di SMP ia pernah meraih juara I
Jakarta. Ternyata novel itu cukup bagus untuk diterbitkan dan kemudian berlanjut
novel trilogi Fira mengambil bagian-bagian dari rumah yaitu Jendela, Pintu, dan
Atap. Menurutnya, orang tua di Jawa umumnya mendoakan anaknya yang sudah
menikah agar cepat memiliki rumah buka benda lainnya, karena rumah menjadi
harta terpenting bagi orang Jawa sebagai tempat untuk kita berteduh didalamnya.
Fira Basuki yang dikenal sebagai penulis cerita remaja dengan bahasa
yang segar, kini lebih memfokuskan pada cerita-cerita untuk dewasa. Menulis
baginya, bukan merupakan suatu tekanan tapi justru saat-saat menulis merupakan
saat yang membahagiakan dan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bersuamikan
Palden Tenzening Galang, pria beribu Tibet dan Ayah Philipina membuat Fira
Tibet pada ibu mertuanya dan budaya Philipina pada ayah Palden yang kemudian
menjadi bagian dalam novel-novelnya. Kisah-kisah dalam novelnya dia ambil dari
berbagai pengalaman baik pribadi, orang lain bahkan mimpinyapun jadi bahan
dengan sejarah dan budaya. Ibu dari Syaza Calibria Galang sering diundang di
mengarang ada dua hal, pertama mencintai menulis atau mengarang itu sendiri
tanpa memiliki pamrih apa-apa, mendapat popularitas misalnya. Dan menjadi diri
sendiri, apa yamg dipikirkan dan dirasakan untuk kemudia dituangkan dalam
tulisan tanpa kita memikirkan apakah nanti tulisan kita akan dibaca orang atau
tidak maka kita akan mendapat hambatan dalam berkarya, kita akan merasakan
tertekan dan kecewa bila tulisan kita tidak dibaca orang. Maka menulislah dengan
hati nurani kita dan kita akan merdeka menuangkan isi pikiran kita dalam tulisan.
Dari seluruh novel yang telah diciptakan, Fira menyukai novel “Pintu”
yang menceritakan kehidupan seorang tokoh utama yang memiliki “mata ketiga”
atau indera keenam, alasannya karena tokoh utamanya pria. Sekalipun sempat
menampilkan tokoh utama pria dalam novelnya, karya- karya Fira yang lain
terkesan feminim. Tapi menurut Fira, ia hanya menulis apa yang dia pikirkan.
Cerita perselingkuhan yang sering muncul dalam novelnya bukan bahasan utama
karena ada juga bahasan tentang kebudayaan. Ide pembuatan novel muncul pada
saat teman-teman Fira curhat. Menurutnya, orang perlu untuk merefleksikan diri
itu sendiri.
4.3 Pandangan Dunia Pengarang yang terefleksi dalam Novel Trilogi
ditentukan sebagai tokoh problematik dalam sebuah novel adalah ketika tokoh
tersebut mempunyai wira bermasalah yang berhadapan dengan kondisi sosial yang
value).
yang sama karena ketiga novel ini saling berkelanjutan. Berdasarkan pembacaan
heuristik dan hermeutik dapat diketahui bahwa tokoh problematiknya adalah June
tokoh yang banyak menghadapi masalah dalam setiap peristiwa cerita. Dari
merupakan pandangan dunia pengarang itu sendiri sebagi individu, tetapi sebagai
Tema dalam trilogi novel Jendela-jendela, Pintu, dan Atap secara garis
besarnya adalah kehidupan sosial tokoh utama cerita, yakni kehidupan sosial June
sosial kedua tokoh June dan Bowo. Membaca satu novel akan menemukan cerita
tersendiri secara terpisah. Membaca ketiga novel tersebut akan menemukan suatu
Latar cerita dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap karya
budaya Jawa yang kental. Cerita dalam nonel trilogi jendela-jendela, Pintu, dan
Atap berawal dari tahun 1987, seperti dijelaskan pada kutipan berikut.
(59)
Tahun 1987, aku memutuskan untuk bersekolah di Bogor setelah
tahu orang tuaku berencana akan mengirimku kuliah ke Amerika. Ya, aku
pikir hitung- hitung belajar hidup sendiri. Jadi, aku kos, menyewa kamar
sendiri.
(Jendela-jendela hlm. 65)
Pada dasarnya novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap karya Fira
Basuki mempunyai tiga alur. Namun dalm penelitian ini dibuat menjadi satu alur
cerita karena novel ini berkelanjutan, sehingga untuk mengetahui keseluruhan isi
cerita harus membaca ketiga novel tersebut. Dengan demikian pembaca tidak
memahami cerita secara parsial akan tetapi dalam jalinan keseluruhan. Tahap awal
dimulai dengan tahap perkenalan. Tahap perkenalan dalam novel trilogi Jendela-
jendela, pintu, dan Atap dimulai dengan penggambaran tokoh June dan Bowo
sebagai tokoh problematik. Tahap tengah merupakan konflik yang dialami oleh
tokoh utama June dan Bowo. Diantaranya konflik yang terjadi adalah tentang
Penyelesaian dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap diakhiri dengan
kebahagiaan yang dialami oleh June dan Bowo sebagai tokoh problematik.
Seperti ketika menengok jendela tetangga yang terbuka kita melihat
duduk di depan pintu, nggak ilok (tidak baik)”, begitulah salah satu dari budaya
Jawa yang sering diucapkan orang tua. Atap menyempurnakan sebuah bangunan
rumah, atap merupakan bagian akhir dari suatu trilogi. Atap tempat tokoh utama
Jendela-jendela dan Pintu, June dan Bowo bercerita tentang kehidupan sosial
mereka.
tokoh utama. Kehidupan sosial tokoh utama sebagai tokoh problematik adalah
kehidupan masa sekolah di SMA, masa kuliah, pacar, cerita tentang suami atau
karena kurangnya perhatian dari suaminya, Jigme sering pulang malam karena
ketika masih berpacaran dengan Putri. Bowo berselingkuh karena faktor ekonomi,
mulai menipisnya uang simpanan untuk membayar biaya sewa asrama. Sehingga
dia menerima untuk tinggal bersama Erna dan perselingkuhan pun terjadi.
(60)
Akhir-akhir ini Jigme sering pulang malam. Pekerjaannya sebagai
produser sebuah rumah produksi memaksanya untuk ikut serta setiap kali
ada syuting. Terkadang aku merasa Jigme kerja terlalu keras tanpa bayaran
yang berarti.
(Jendela-jendela hlm.21)
(61)
Aku mulai merasa sepi, sendiri. Kalau sudah begini, aku rindu
pada Pittsburg, bukan Whicita dan juga bukan Jakarta. Mengapa
Pittsburg? Tanpa menyinggung soal Aji, sebenarnya kalau semua terserah
aku, tinggal di Pittsburg adalah pilihanku.
(Jendela-jendela hlm.22)
Kutipan (60) dan (61) penyebab June berselingkuh dari Jigme. Jigme yang
sering pulang malam membuat June merasa kesepian. Kutipan (62) berikut
(62)
Ceritanya bermula dari menipisnya uang simpananku. Orang tuaku
mendadak hanya mengirimkan uang sekadar untuk membayariuran
sekolah. Aku terpaksa kerja sambilan sebagai ahli pembantu di
laboratorium komputer. Tetap saja uang yang kudapat tidak mencukupi
untuk membayar biaya sewa asrama. Disitulah Erna mengulurkan
tangannya.
”Bowo, tinggal sama aku saja. Aku nggak keberatan kok.
Kamarnya Cuma ada satu sih....jadi kamu terpaksa tidur di sofa ruang
tengah”, ujarnya kala itu.
(Pintu hlm.69)
Fira Basuki menceritakan berbagai sisi menarik dari cerita novel yang
telah diciptakannya. Di antaranya berbagai budaya dari negara lain yang menjadi
(63)
Halal? Ya, aku lupa, Singapura tidak seperti Indonesia, dimana
semua pasar atau supermaket menjual daging sapi halal. Untuk seortang
muslim, setiap kali harus memeriksa apakah daging dan makanan yang
mereka beli bercap halal. Sementara aku tidak pernah berpikir kearah situ.
Setahuku, asal bukan babi, misalnya, ya halal. Kalau tidak begitu, apa
yang akan aku lakukan selama tinggal lima setengah tahun di Amerika?
Apa aku harus bertanya ini halal atau tidak setiap kalinya?
(Jendela-jendela halm.20-21)
memperhatikan halal atau tidaknya makanan itu untuk dikonsumsi. Dalam hal
ekonomi Singapura lebih baik dan lebih maju dari Indonesia. Hal ini dilihat dari
banyaknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Singapura. Seperti pada kutipan
berikut.
(64)
Yang benar, di Singapura orang asing tidaklah selalu kaya.
Banyak pejerja kasar, seperti kuli bangunan dan bagian cleaning service,
adalah orang-orang yang berimigrasi dari India dan Bangladesh. Banyak
pula pembantu rumah tangga dan pekerja pelabuhan yang berasal dari
Indonesia, Filipina dan Thailand. Maklumlah, Singapura memang
kekurangan tenaga kerja. Selain itu, orang-orang yang datang dari negara
Asia, rela bekerja apa saja asal mendapat gaji lebih. Asalkan
berpenghasilan dolar Singapura dan bisa mengirim sanak saudara, siapa
yang peduli hidup susah di negeri orang?
(Jendela-jendela hlm.46)
Budaya Jawa pun sangat kental dalam cerita novel trilogi Jendela-jendela,
Pintu dan Atap. Kutipan (65) dan (66) berikut menggambarkan budaya Jawa
(65)
Namun, lagi-lagi, aku si bayi kuning. Kuning bukan hanya
seminggu, tapi hingga sebulan. Tidak disinari dan tidak diapa-apakan.
Berlainan dengan sudut pandang kedokteran, bayi kuning menurut orang
Jawa justru adalah ’istimewa’, suatu pertanda bahwa si jabang bayi adalah
’orang pilihan’ atau titisan. Untuk menghilangkan warna kuning badan,
diadakan prosesi banyu gege untukku, yaitu mandi dengan air hangat yang
di jemur matahari.
(Pintu hlm.10)
(66)
Menurut Yangti, dalam literatur Jawa Kuno dikenal adanya kitab
Jangka Jayabaya. Kitab ini disebut-sebut pakar sejarah sebagai isyarat
kerohanian sejarah Nusantara masa lampau hingga masa depan.
Ciri-cirinya? Satria Piningit adalah seorang yang usianya muda
atau berjiwa muda, bersifat satria yaitu gigih, berani dan bertanggung
jawab (ksatria). Disebut piningit atau artinya disimpan, karena
kedatangannya yang diidam-idamkan dan tepat pada masanya.
(Pintu hlm.136)
Kutipan (67) dan (68) merupakan gambaran lain tentang budaya Jawa. Di
pedesaan Jawa masih terdapat tradisi anak-anak bermain di halaman saat bulan
purnama. Dan tentang bibit, bebet, bobot dalam budaya Jawa yang harus
(67)
Dulu, di pedesaan Jawa, terdapat tradisi, anak-anak bermain di
halaman saat bulan purnama. Menyanyi dan menari adalah kebiasaan
mereka, walaupun kini depertinya hal itu sudah jarang ditemui. Jadi aku
beruntung, masih bisa berjumpa dengan anak-anak desa yang menyanyi
ini.
(Pintu hlm.142)
(68)
Putri. Kenapa lagi-lagi nama itu muncul? Cukup. Aku sudah capek.
Mencari perempuan mudah, tapi bukan untuk mencari istri. Yangti selalu
mewejangiku kalau bisa mencari istri yang bibit, bebet, bobot. Bibit yaitu
berasal dari keluarga dan keturunan yang baik-baik, bebet yang bisa
memberikan keturunan yang baik, dan bobot yaitu yang berakhlak atau
berbudi tinggi.
(Pintu hlm.150)
Di dalam budaya Jawa yang paling utama adalah bahasa Jawa. Kutipan
(69) dan (70) melengkapi budaya Jawa yang ada dalam setiap cerita novel trilogi
(69)
”Ampun, Jeng Ayu. Dalem nyuwun duko Jeng Ayu (saya minta
maaf), isak Mbok Kinem bersimpuh di hadapanku.
Aku terpana. Pertama, karena perempuan itu nyaris seumuran
Mama, ibu dari empat anak itu merendahkan dirinya dihadapanku. Kedua,
karena aku tidak pernah menyangka ia berbuat tidak jujur, berhubung
bertahun-tahun telah teruji kesetiaannya pada keluarga kami.
(Atap hlm.35)
(70)
”Dalem ngaku salah. Dalem yang mengambil uang itu.....” Suara
tangisnya memilukan, menusuk-nusuk ragaku. Aku memegang kedua
tangannya dan mengajaknya berdiri.
”Ya sudah Mbok. Lain kali kalau Mbok memang butuh uang dan
sedang dalam kesulitan ya bicara terus terang saja padaku. Nggak apa-apa
kok Mbok, nanti kalau bisa pasti aku membantu”, kataku.
(Atap hlm.36)
Budaya Tibet dan Singapura lebih menonjol dalam novel trilogi ini.
Diantaranya, budaya ramal-meramal yang menjadi budaya Tibet dan budaya kiasu
Singapura. Hal ini dikarenakan tokoh utama June yang bersuamikan orang Tibet
(72)
Long queue di Singapura adalah hal yang lumrah dan bisa ditemui
dimana-mana. Orang-orang Singapura gemar mengantre. Jika mereka
melihat suatu antrean, pasti tdak lama kemudian mereka ramai-ramai ingin
tahu tentang apa yang di antre. Biasanya apalagi jika ada sesuatu yang
gratis, mereka pasti tidak akan melewatkannya.
Ada budaya kiasu, yaitu budaya tidak ingin ketinggalan. Yang
terparah, aku ingat pernah waralaba Mc Donald’s di Singapura memberi
hadiah gratis boneka Hello Kitty edisi millenium, banyak orang, bukan
saja anak-anak, tapi ibu-ibu hingga bapak-bapak ikutan mengantre.
(Atap hlm.89-90)
Kutipan (71) dan (72) merupakan sisi lain dari budaya Tibet dan
Singapura. Budaya tersebut mengiringi setiap cerita dan perjalanan dari tokoh
utama novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap. Budaya Amerika Serikatpun
sangat menarik, salah satunya adalah kota Pittsburg dan Chicago yang menjadi
latar cerita tokoh June dan Bowo. Kutipan (73), (74) dan (75) gambaran singkat
(73)
Untung ada Pittsburg State University yang membuat kota ini
lebih hidup, jadi walaupun penduduk kurang, paling tidak sekitar 20
hingga 24 ribu orang masih tinggal.
Setiap tahun untuk mengenang kejayaan kota ini, mulai tahun 1984
diadakan Little balkans Days setiap Labor Day atau hari buruh, sekitar
awal September. Ada parade pakaian tradisional ala Balkan, ada juga
pameran mobil kuno, lomba masak, pasar malam dan lainnya. Di sinilah
serunya, karena penduduk dan pihak universitas seperti melebur jadi satu.
(Jendela-jendela hlm.5)
(74)
Perayaan juga terasa hangat dan akrab. Selain Little balkan Days di
musim gugur, juga ada Halloween. Jakarta, Singapura, dan negara lain
meniru-niru perayaan Halloween seperti di Amerika, tapi tidak akan
pernah sama.
(Jendela-jendela hlm.25)
(75)
Intinya, kota ini sangatlah indah! Bayangkan the Chicago River
System yang panjangnya sekitar 156 mil mengalir ditengah-tengah kota!
Sering ada festifal dan perayaan di sekitar sungai mulai dari festifal seni
hingga sungai yang diwarnai hijau saat St. Patricks Day atau harinya orang
yang berasal dari Irlandia. Aku jadi geli sendiri saat Chicago dengan
bangganya mengatakan bahwa sunga mereka diwarnai suatu jenis kimia
yang tidak beracun dan bisa dihilangkan begitu saja. Betapa tidak! Di
Jakarta ’kan banyak sungai yang warnanya hijau alami alias lumut dan
kotoran.....hahaha.
(Pintu hlm.57)
politik di Indonesia pun menjadi ide cerita pengarang dalam novel trilogi Jendela-
jendela, Pintu dan Atap. Tahun 1998, Indonesia mengalami krisis moneter dan
gejolak politik. Hal tersebut ditandai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto.
(76)
Singapura, Mei 1998. semua orang semakin ramai membicarakan
soal krismon dan gejolak politik yang melanda Indonesia. Ditambah lagi
Presiden Soeharto baru saja mengundurkan diri, setelah ada demonstrasi di
sana-sini.
(Jendela-jendela hlm.87)
(77)
Soal Soeharto ini, aku juga memilih diam. Pantaskah aku
mengomentarinya jika aku tidak tahu pasti, apakah ia terlibat langsung
atau tidak, atas semua penderitaan rakyat? Mungkinkah ia dibohongi anak
buahnya? Mungkinkah ia tidak bersalah? Begitu banyak pertanyaan yang
membuatku malah diam saja.
(Jendela-jendela hlm.89)
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
hubungan konteks sosial novel, latar belakang sosial pengarang, dan pandangan
kenyataan kehidupan sosial dari tokoh utama June dan Bowo. Kehidupan
sosial dari tokoh utama meliputi kehidupan sosial masa sekolah, pekerjaan,
tokoh utama.
yang diciptakan. Fira Basuki yang berbudaya Jawa hidup di luar negeri
memunculkan karya novel dengan berbagai budaya sebagai latar cerira novel
karya sastra. Fira Basuki lebih menekankan pada segi budaya terutama budaya
dan budaya bahwa ekonomi di Singapura lebih maju hal ini ditandai dengan
dalam cerita novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap masih dipengaruhi
oleh budaya Jawa yang sangat kental. Dan pandangan dunia pengarang
5.2 Saran
Penelitian novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap karya Fira Basuki
kehidupan di masyarakat.
Novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap karya Fira Basuki masih
dapat diteliti lebih lanjut dari unsur dan dengan pendekatan yang lain untuk
Hardjana, Andre. 1994. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Yati, Lili Suherna. 2004. Novel Bulan Mati di Javasche Oranje, Syahid Samurai,
dan Peluru di Matamu Karya Afifah Afra Amatullah: Kajian
Strukturalisme Genetik. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani
Budianto. Jakarta: Gramedia.
ZF, Zulfahnur, Sayuti Kurnia dan Zuniar Z. Adji. 1997. Teori Sastra. Depdikbud.
Zulliyati, Nurul. 2003. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Lingkar Tanah
Lingkar Air Karya Ahmad Tohari. Skripsi. Universitas Negeri
Semarang. Semarang.
SINOPSIS
JENDELA-JENDELA
FIRA BASUKI
Tokoh utama cerita ini adalah June Larasati Subagio (June). Seorang
wanita Indonesia berdarah Jawa kental. June memutuskan untuk sekolah di Bogor
tahun 1987 setelah tahu orang tuanya akan mengirimnya ke Amerika untuk
kuliah. Di SMA Regina Pacis Bogor, June bertemu dengan Didit. Walapun tidak
pernah resmi menjadi sepasang kekasih, karena agama yang berbeda. Dsidit
beragama Katolik dan June beragama Islam. Tetapi Didit membuat masa remaja
June menjadi manis, dan June pun terlanjur sayang dan jatuh cinta kepadanya.
Aji Saka yang mempunyai dua kepribadian. Aji terkadang manis, lembut, dan
romantis, tetapi terkadang juga kasar. Karena perlakuan Aji, June pindah kuliah di
Wichita State University. Di Wichita, June bertemu dengan Jigme yang akhirnya
menjadi suaminya.
pindah ke Singapura. Jigme adalah orang Tibet. June dan Jigme tinggal di
apartemen HDB atau Housing Development Board, alias rumah susun yang di
June dan Jigme kehilangan calon buah hati. Kandungan June yang berusia
lima minggu keluar ketika June buang air kecil. Perasaan bersalah June
istri. Karena June takut hal buruk akan terjadi, June takut hamil, takut keguguran
Jigme semakin pulang malam dan June merasa kesepian. June akhirnya
berselingkuh dengan Dean temannya Jigme. June akhirnya mengaku pada Jigme
bahwa dia telah berselingkuh dengan Dean. Jigme tidak pernah bertanya-tanya
orang Tibet, ia percaya karma, sebab dan akibat. Jigme selalu yakin, orang yang
bersalah akan selalu menanggung resiko hukumannya. June memelik Jigme erat-
erat. Teramat erat. Siapa sangka Jigme pria yang mudah menerima keadaan.
Pernah ketika Jigme sering pulang malam, June mengira Jigme serong di
belakangnya. Ternyata June salah, Jigme seorang pria yang berhati mulia.
*****
PINTU
FIRA BASUKI
Djati Suryo Wibowo Subagio (Bowo) kakak dari June Larasati Subagio,
tahun 1968 dengan weton Sabtu Pahing dan memiliki neptu Jawa tertinggi yaitu
Di saat usia Bowo tiga tahun dia melihat jin yang akhirnya diberi nama
Jeliteng. Pernah suatu ketika Bowo bermimpi bertemu dengan seorang kakek
berambut panjang yang menyuruhnya untuk pergi ke arah timur. Bowo tidak
kakek itu tidak terbendung. Bowo harus pergu ke arah timur. Bowo akhirnya pergi
ke Surabaya selama dua hari, tetapi menurut June adiknya dia pergi sudah dua
Bowo belajar silat ketika berusia sepuluh tahun. Dia belajar silat dengan
Bowo, ilmu silat mumpuni tidaklah cukup. Selain tubuh, batin juga harus di asah.
Lebih lanjut Yangti berkata kejawen bukan berarti ilmu gaib atau hal-hal gaib
lainnya. Justru kondisi spiritual bisa diraih jika seseorang percaya penuh kepada
Gusti Allah.
bertemu hantu Anna di asrama Chicago ketika Bowo kuliah di sana. Segala
June. Hubungan Bowo dengan Putri bermasalah dan akhirnya putus. Hal ini
disebabkan Bowo berselingkuh dengan Erna. Bowo terpaksa tinggal bersama Erna
sebagai Hackers, membuka rahasia perusahaan lain via internet dengan bayaran
dua ribu dolar. Pekerjaan itu pun menyeret Bowo ke penjara Amerika karena
Paris yang sebenarnya sudah menikah dengan Anderson. Ketika menikahi Aida,
Jeliteng datang menemui Bowo dan berkata jodohnya belum datang. Pada resepsi
pernikahan Bowo dengan Aida, Putri mantan pacarnya datang untuk memberi
selamat. Yangti menyapa Putri dan mengobrol dengannya. Yangti dengan Putri
lalu berpelukan, tak lama kemudian Putri menjerit memanggil nama Yangti.
*****
ATAP
FIRA BASUKI
Atap adalah tempat June dan Bowo saling cerita tentang kehidupan
mereka masing-masing.
Bowo akhirnya menikahi Putri setelah mengantongi surat izin dari Aida
istrinya. June dan orang tuanya menghadirinya tanpa emosi yang pasti. Bowo pun
pulang ke rumah baru bersama Putri. June pun membayangkan mbak Aida di
rumah Bintaro, mungkinsaat ini ia sedang menangis dan meratap. Saat Bowo
menikahi Aida, Jeliteng jin temannya mengatakan bahwa jodohnya belum datang
dan Putri adalah jodohnya. Di saat pernikahan Bowo dengan Putri, Kanjeng Ratu
June akhirnya tahu siapa Mr.X. Karena baru kali ini Mr.X mengirimnya
puisi berbahasa Indonesia. Disebutkan bahwa June akan tahu dengan membaca
puisinya. Berarti Mr.X orang Indonesia. Berarti Mr.X adalah Ariel Sahri
dengan Dean Sahi teman suaminya. June menyesali perbuatannya dan berterus
terang pada Jigme tentang perbuatannya. Jigme adalah suami yang baik, Jigme
tidak pernah menyalahkannya. Dia berkata bahwa perbuatan yang tidak baik pasti
ada balasannya.
June dan Bowo akhirnya hidup bahagia dengan pasangan hidupnya dan
buah hati mereka. June dengan Jigme yang di karuniai anak perempuan dan Bowo
*****