You are on page 1of 85

PANDANGAN DUNIA PENGARANG DALAM NOVEL TRILOGI:

JENDELA-JENDELA, PINTU, DAN ATAP


KARYA FIRA BASUKI

SKRIPSI
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra

Oleh:
Nama : Suci Mahanani Cahyaningsih
NIM : 2150401500
Program Studi : Sastra Indonesia
Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS BAHASA DAN SENI


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang Panitia
Ujian Skripsi.

Semarang, September 2005

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Mukh Doyin, M.Si Drs. Teguh Supriyanto, M.Hum


NIP 132106367 NIP 131876214
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri

Semarang

pada hari : Kamis


tanggal : 29 September 2005

Panitia Ujian Skripsi

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. Rustono Drs. Agus Yuwono, M.Si.


NIP 131281222 NIP 132049997

Penguji I, Penguji II, Penguji III,

Drs. Agus Nuryatin, M.Hum. Drs. Teguh Supriyanto, M.Hum. Drs. Mukh Doyin, M.Si.
NIP 131813650 NIP 131876214 NIP 132106367
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.

Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau

dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, September 2005

Suci Mahanani Cahyaningsih


MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:

- Jangan mengeluh karena banyak cobaan, kita tahu bahwa api justru
membuat emas semakin berkilau, dan pukulan membuat paku semakin
kokoh. (Suci. M.C)
- Kemarin adalah kenyataan, hari ini adalah perjuangan, dan esok adalah
impian yang harus diraih. (Suci. M.C)

Persembahan:
Karya kecil ini kupersembahkan untuk:
1. Mama dan Nenek Buyut yang telah
mengiringi perjalanan hidup penulis
dengan untaian do’a;
2. Adikku Ucok dan Mas Whien yang tiada
henti memberikan dukungan secara
mengesankan;
3. Almamaterku, Universitas Negeri
Semarang.
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan

karuniaNya sehingga skripsi dengan judul Pandangan Dunia Pengarang dalam

Novel Trilogi: Jendela- jendela, Pintu, dan Atap Karya Fira Basuki dapat penulis

selesaikan. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan dan

bantuan yang berarti dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Mukh. Doyin, M.Si sebagai pembimbing I dan Drs. Teguh

Supriyanto, M.Hum sebagai pembimbing II yang telah memberikan arahan

dan bimbingan kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam penyusunan

skripsi ini;

2. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan

kemudahan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini;

3. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan ijin kepada

penulis untuk menyusun skripsi;

4. Para Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

menyampaikan ilmunya kepada penulis;

5. Mama, Nenek Buyut dan Adikku tercinta yang senantiasa memanjatkan

doa tulusnya untuk kesuksesan penulis;

6. Mas Whien yang telah memberikan kesegaran saat kejenuhan datang;

7. Teman-temanku Sastra Indonesia ’01 yang telah memberikan dorongan

dan doanya, serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Penulis tidak

menutup diri apabila ada kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan

skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya para pecinta

sastra.

Semarang, September 2005

Penulis
SARI

Cahyaningsih, Suci Mahanani. 2005. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel


Trilogi.: Jendela-jendela, Pintu, dan Atap Karya Fira Basuki. Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Mukh Doyin, M.Si; pembimbing
II: Drs. Teguh Supriyanto, M.Hum.
Kata kunci: Sosiologi sastra, strukturalisme genetik, pandangan dunia pengarang

Karya sastra merupakan refleksi zaman yang mewakili pandangan dunia


pengarang, tidak sebagai individu melainkan anggota masyarakat atau kelompok
sosial tertentu. Pandangan dunia pengarang merupakan interaksi dari pandangan
pengarang dengan kelompok sosial masyarakat di sekitar pengarang. Novel trilogi
Jendela-jendela, Pintu dan Atap adalah karya sastra yang membawa nilai-nilai
sosial budaya dan kehidupan sosial yang biasa terjadi dalam masyarakat. Hal
tersebut digambarkan dengan masalah yang dihadapi tokoh utama sebagai tokoh
problematik dan solusi yang ditawarkan pengarang melalui pandangannya, karena
karya sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat. Berdasarkan hal inilah
peneliti tertarik untuk mengkajinya lebih lanjut.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah
konteks sosial novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap, (2) bagaimanakah
latar belakang kehidupan sosial budaya pengarang novel trilogi Jendela-jendela,
Pintu dan Atap, dan (3) bagaimanakah pandangan dunia pengarang yang terefleksi
dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap. Berkaitan dengan masalah
tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap konteks sosial novel, latar
belakang kehidupan sosial budaya pengarang yang turut mengkondisikan karya
sastra saat diciptakan oleh pengarang, dan pandangan dunia pengarang yang
terefleksi dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan teori
strukturalisme genetik dari Lucien Goldmann. Sasaran penelitian ini adalah
konteks sosial yang terdapat dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap,
pengaruh latar belakang kehidupan sosial budaya pengarang yang turut
mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang, dan pandangan
dunia pengarang yang terefleksi dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan
Atap. Sumber data penelitian ini adalah novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan
Atap. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
dialektik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa novel trilogi Jendela-jendela,
Pintu dan Atap memiliki tokoh utama sebagai tokoh problematik bernama June
Larasati Subagio (June) dan Djati Suryo Wibowo Subagio (Bowo), memiliki latar
cerita di Indonesia, Amerika Serikat dan Singapura. Adapun tema cerita novel
trilogi tersebut adalah kehidupan sosial dalam masyarakat yang meliputi
kehidupan sosial masa sekolah, masa pekerjaan, dalam rumah tangga, ekonomi
dan budaya. Masalah-masalah yang terdapat dalam novel trilogi Jendela-jendela,
Pintu dan Atap karya Fira Basuki mempunyai hubungan yang erat dengan latar
belakang kehidupan sosial budaya pengarang saat novel tersebut diciptakan oleh
pengarang. Dari analisis diatas diperoleh, pandangan dunia pengarang tentang
perselingkuhan, ekonomi, budaya, dan politik serta berupa solusi-solusi atas
permasalahan yang dihadapi June dan Bowo, sebagai tokoh problematik. Masalah
perselingkuhan tidak harus diselesaikan dengan perpisahan atau perceraian. Yang
terpenting adalah komunikasi yang baik, adanya saling pengertian, tidak
melakukan kesalahan yang sama. Perselingkuhan kadang terjadi bukan karena
keinginan diri sendiri, namun ada faktor-faktor lain, seperti kesibukan suami
sehingga isteri merasa kesepian, trauma karena keguguran dan adanya peluang
sehingga perselingkuhan terjadi.
Berdasarkan temuan tersebut, saran yang penulis sampaikan adalah agar
para mahasiswa dapat melakukan penelitian lanjutan dari unsur dan pendekatan
yang berbeda untuk menambah pengetahuan dan keanekaragaman penelitian
sastra.
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ ii

PENGESAHAN KELULUSAN............................................................... iii

PERNYATAAN ...................................................................................... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN............................................................ v

PRAKATA .............................................................................................. vi

SARI ....................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah......................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................. 6

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 6

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 7

BAB II LANDASAN TEORETIS............................................................ 8

2.1 Strukturalisme Genetik .......................................................... 8

2.2 Pandangan Dunia Pengarang .................................................. 16

2.2.1 Konteks Sosial ........................................................... 20

2.2.2 Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang .................. 21

2.2.3 Ideologi Pengarang .................................................... 22


BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 23

Pendekatan Penelitian ............................................................ 23

Sasaran Penelitian .................................................................. 23

Sumber Data………………………………………………….. 24

Teknik Analisis Data ............................................................. 24

BAB IV KONTEKS SOSIAL, LATAR BELAKANG

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA PENGARANG, DAN

PANDANGAN DUNIA PENGARANG YANG TEREFLEKSI

DALAM NOVEL TRILOGI: JENDELA-JENDELA, PINTU,

DAN ATAP KARYA FIRA BASUKI ........................................ 26

4.1 Konteks Sosial Novel Trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap 26

4.1.1 Konteks Sosial Novel Jendela-jendela ....................... 27

4.1.2 Konteks Sosial Novel Pintu ....................................... 36

4.1.3 Konteks Sosial Novel Atap ........................................ 44

4.2 Latar Belakang Kehidupan Sosial Budaya Pengarang ............ 48

4.3 Pandangan Dunia Pengarang yang terefleksi dalam novel trilogi

Jendela-jendela, Pintu, dan Atap 52

4.3.1 Pandangan Dunia Pengarang tentang

perselingkuhan ........................................................... 54

4.3.2 Pandangan Dunia Pengarang tentang

Ekonomi dan Budaya ................................................. 56

4.3.3 Pandangan Dunia Pengarang tentang Polotik………... 60


BAB V PENUTUP .................................................................................. 62

5.1 Simpulan ............................................................................... 62

5.2 Saran ..................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Sinopsis Novel Jendela-jendela karya Fira Basuki

Lampiran II : Sinopsis Novel Pintu karya Fira Basuki

Lampiran III : Sinopsis Novel Atap karya Fira Basuki


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra dipandang sebagai refleksi zaman yang mewakili pandangan

dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan anggota masyarakat atau

kelompok sosial tertentu. Karya sastra juga dipandang sebagai refleksi zaman

yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan

sebagainya. Hubungan antara pengarang, sastra, dan masyarakat bukanlah

sesuatu yang dicari-cari, bahkan sesuatu yang sah untuk dipermasalahkan. Karya

sastra pasti diciptakan oleh pengarang sebagai individu yang berasa dalam

masyarakat dan zaman tertentu.

Pandangan dunia pengarang merupakan produk interaksi antara pengarang

dengan situasi sekitarnya. Pandangan dunia pengarang terbentuk atas hubungan

antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata dan latar

sosial budaya pengarang dengan novel yang dihasilkan. Pandangan dunia

pengarang akan dapat terungkap melalui tokoh problematiknya (problematic

hero). Pandangan dunia bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra

agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif).

Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena,

pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas

kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan
inilah yang menentukan struktur karya sastra (Goldmann dalam Endraswara,

2003:57).

Melalui karya sastra masyarakat pembaca sastra akan mengetahui

kehidupan sosial masyarakat pencipta karya sastra tersebut (Sumardjo 1995:99 –

100). Dengan demikian, karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan bertujuan

untuk menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita. Novel yang mampu

menggambarkan atau mencerminkan kehidupan yang nyata dalam sebuah

masyarakat tergolong sebagai novel yang baik, karena pada dasarnya, novel

adalah pengetahuan realita nonilmiah yang muncul dan terjadi dalam suatu

masyarakat (Wellek 1990:94). Dalam khasanah sastra sudah banyak pengarang

yang memunculkan karya sastra dalam bentuk novel. Salah satu novel yang akan

dijadikan objek penelitian ini adalah novel trilogi karya Fira Basuki.

Fira Basuki memang belum banyak dikenal oleh masyarakat, namun

karya-karyanya sudah mulai diperhatikan. Karya-karya Fira Basuki di antaranya

novel trilogi Jendela-jendela (2001), Pintu (2002), dan Atap (2002); Biru; Mr. B

(2004); serta Rojak (2004). Memahami novel karya Fira Basuki akan semakin

membuka mata hati pembaca untuk selalu percaya diri dan tidak mudah putus asa

dalam mengarungi hidup ini. Membaca ketiga novel, Jendela-jendela, Pintu dan

Atap baik secara berurutan atau tidak, pembaca akan menemukan hubungan satu

dengan lainnya. Membaca satu novel, pembaca akan tetap menemukan cerita

tersendiri yang terpisah. Fira Basuki mencoba mengupas berbagai sisi kehidupan

manusia sehari-hari.
Trilogi novel Jendela-jendela, Pintu dan Atap menceritakan kehidupan

dan problemanya di berbagai tempat seperti di Indonesia, Amerika Serikat, dan

Singapura. Tokoh utama, June dan Bowo, memiliki latar budaya Jawa yang

kental, tapi uniknya juga terpengaruh beberapa budaya asing. Judul-judul novel

triloginya mengambil bagian-bagian dari rumah yaitu Jendela-jendela, Pintu dan

Atap

Novel Jendela-jendela menceritakan tentang seorang wanita Indonesia

yang hidup di luar negeri untuk menuntut ilmu, sampai akhirnya kenal dengan

seorang laki-laki dan diteruskan ke jenjang pernikahan. Namanya June,

lengkapnya June Larasati Subagio. Seorang wanita berdarah Jawa kental,

bersuamikan Jigme, pria Tibet baik hati yang kemudian memeluk Islam. Hidup

June tidak begitu penuh liku dan memilukan namun tetap ada cerita yang terselip

di dalamnya. Cerita tentang masa kuliahnya, pacar-pacarnya, suaminya, teman

sekantornya sampai perselingkuhannya.

Novel Pintu menceritakan kehidupan seorang pria yang memiliki mata

ketiga atau indera keenam. Bowo, tokoh utama, mengajak pembaca mengikuti

kehidupannya mulai saat lahir hingga kini. Ia juga mengajak pembaca membuka

berbagai pintu kehidupan. Bowo yang memiliki latar belakang budaya Jawa

berbagi cerita, mulai dari pengalaman spiritual hingga kehidupan percintaannya.

Atap, sebuah bagian dari rumah. Atap juga tempat June dan Bowo

bertemu. Untuk mereka berdua, di sana adalah tempat yang sepi dan luas, June

bisa bercerita panjang lebar dan kakaknya mendengarkan serta berkomentar. June

berkelana pengembara mencari cinta dan menemukan jawaban siapakah Mr x si


pengagum gelap June. Sementara Bowo, kian mengasah indera keenam atau mata

ketiganya dan Bowo pun menentukan tautan hatinya.

Pada umumnya karya sastra lahir dari situasi yang terjadi disekitar

pengarang. Sastra merupakan gambaran masyarakat. Hal ini berarti bahwa

kejadian-kejadian atau problem kehidupan yang terjadi dalam masyarakat direkam

oleh pengarang dan didasarkan daya imajinasi dan kreasinya masalah-masalah

tersebut dituangkan dalam karya sastra. Pengarang mengajak pembaca untuk

melihat, merasakan, dan menghayati makna pengalaman hidup seperti yang

dirasakan pengarang melalui karyanya. Semi (1993:73) mengatakan bahwa sastra

merupakan gejolak hidup masyarakat, dan sastra mengabdikan diri untuk

kepentingan masyarakat. Karya sastra bisa menjadi gambaran masyarakat di

sekitar pengarang.

Karya sastra pada hakikatnya adalah pengejawantahan kehidupan, hasil

pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitarnya. Pengarang dalam menciptakan

karya sastra didasarkan pada pengalaman yang telah diperolehnya dari realitas

kehidupan di masyarakat yang terjadi pada peran tokoh di dunia nyata dan

dituangkan ke dalam bentuk karya sastra (Suharianto 1982:11). Harjana

mengatakan bahwa karya sastra, termasuk novel merupakan potret kehidupan

yang mengangkut persoalan sosial tertentu. Untuk itulah, lahirnya karya sastra

tidak terlepas dari aspek sosial masyarakat tempat karya sastra itu diciptakan,

artinya karya sastra itu juga sebagai hasil imajinasi pengarang dan fenomena

sosial dari lingkungan masyarakat tempat pengarang berada (1981:71).


Karya sastra merupakan karya imajinatif yang diciptakan dari kesan dan

pengetahuan serta pengalaman sastrawan. Kaitan sastra imajinatif dengan fakta

kehidupan atau realitas kehidupan memang berhubungan, karena pengertian karya

sastra itu sendiri adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang

obyeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa

sebagai mediumnya (Semi 1988:8). Dengan demikian, karya sastra diciptakan

oleh sastrawan untuk menuliskan kembali kehidupan dengan bentuk cerita. Hal ini

sejalan dengan pengertian dari Scholes dalam Junus (1983 : 3) bahwa orang tidak

mungkin melihat suatu realitas tanpa interpretasi pribadi yang mungkin

berhubungan dengan imajinasi. Dan orang tidak mungkin berimajinasi tanpa

pengetahuan suatu realitas. Karena itu, imajinasi selalu terikat kepada realitas

sedangkan realitas tidak mungkin lepas dari imajinasi.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pradopo (1993:113) yang juga

sependapat dengan Teeuw (1978:11) bahwa karya sastra diciptakan oleh seorang

sastrawan tidak dapat lepas dari masyarakat dan budayanya maka karya sastra

tidak pernah berangkat dari kekosongan budaya. Seringkali sastrawan sengaja

menonjolkan kekayaan budaya masyarakat, suku bangsa atau bangsanya. Novel

merupakan salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat berbagai

cerita tentang persoalan kehidupan, baik masalah budaya, ekonomi, sosial,

maupun politik, dan sebagainya. Semua itu merupakan hasil imajinatif sastrawan

yang diperoleh dari perenungan dalam kehidupan nyata yang kemudian

menafsirkannya, menjelaskan atau bereaksi dalam salah satu karya imajinatifnya.


Dengan kata lain pandangan dunia pengarang akan berpengaruh pada penciptaan

karya sastra.

Berdasarkan uraian diatas penulis menganalisis novel trilogi Jendela-

jendela, Pintu dan Atap karya Fira Basuki dan berusaha mengetahui lebih dalam

bagaimana pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel trilogi

Jendela-jendela, Pintu, dan Atap tersebut.

I.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah konteks sosial novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap?

2. Bagaimanakah latar belakang kehidupan sosial budaya pengarang novel trilogi

Jendela-jendela, Pintu dan Atap?

3. Bagaimanakah pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel trilogi

Jendela-jendela, Pintu dan Atap?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap :

1. Konteks sosial yang terdapat dalam novel Trilogi Jendela-jendela, Pintu dan

Atap.

2. Latar belakang kehidupan sosial budaya pengarang novel Trilogi Jendela-

jendela, Pintu dan Atap.


3. Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Trilogi Jendela-

jendela, Pintu dan Atap.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Menambah khasanah pengkajian sastra tentang strukturalisme genetik

khususnya mengkaji pandangan dunia pengarang lewat karyanya sehingga

dapat memberikan masukan yang berguna bagi pembaca untuk mengatasi

berbagai permasalahan yang sering terjadi pada diri seseorang maupun

masalah yang muncul di masyarakat.

2. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang sudah ada dan

mendorong pembaca dalam meningkatakan daya kreatifitas dan penalaran

sastra.
BAB II

LANDASAN TEORETIS

2.1 Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik tidak dapat lepas begitu saja dari struktur dan

pandangan pengarang. Pandangan pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui

latar belakang kehidupan pengarang (Faruk 1999:12 – 13). Orang yang dianggap

sebagai peletak dasar mazhab genetik adalah Hippolyte Taine (Damono dalam

Fananie 2000:116). Taine mencoba menelaah sastra dari sudut pandang

sosiologis. Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat

imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula merupakan cerminan atau rekaman

budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan (Junus

dalam Fananie 2000:117). Fenomena hubungan tersebut kemudian dikembangkan

oleh Lucien Goldmann dengan teorinya yang dikenal dengan Strukturalisme-

Genetik (Fananie 2000:117). Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya

Strukturalisme-Genetik Goldmann adalah penelitian sosiologi sastra (Junus

1988:20).

Sosiologi sastra yang dikembangkan Goldmann mencoba untuk

menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik.

Baginya, karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna (Damono

1978:40). Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia

merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang

merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok
dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia

untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Fananie

2000:117).

Semi (1987:7) berpendapat bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang

subjektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan

proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan

berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah

perekonomian, keagamaan, politik dan lain-lain, kita melihat gambaran tentaang

cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme

kemasyarakatannya, serta proses pemberdayaannya.

Sementara, sastra itu sendiri pada dasarnya berurusan dengan manusia,

bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial

tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai media.

Bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.

Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra memperjuangkan masalah yang

sama, kedua-duanya berurusan dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.

Meskipun sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda tetapi

keduanya saling melengkapi. Seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren

(1995:84), meskipun sastra dianggap cerminan keadaan masyarakat, pengertian

tersebut masih sangat kabur. Oleh karena itu banyak disalahtafsirkan dan

disalahgunakan. Namun demikian, Grebstein (dalam Damono 1978:4)

mengatakan bahwa meskipun sastra tidak sepenuhnya dapat dikatakan

mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, karya sastra tidak dapat


dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungannya

atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari

dalam konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap

karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik dari fakta-fakta sosial,

kultural yang rumit dan bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang

tersendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Damono (1978:7) bahwa

sosiologi sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat dalam usaha

manusia untuk menyusaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.

Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hal yang sama. Dengan

demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia

sosial itu: hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara,

dan sebagainya. Dalam pengertian dokumenter murni, jelas tampak bahwa novel

berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi dan politik yang juga menjadi urusan

sosiologi. Oleh karena itu, sosiologi dan sastra memiliki hubungan yang erat,

sosiologi mempelajari masalah-masalah sosial kemasyarakatan, sedangkan sastra

merupakan media untuk mendokumentasikannya.

Pendekatan sosiologi sastra bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan

pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang

mengungkapkan problem kehidupan tempat ia sendiri ikut di dalamnya. Karya

sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi

pengaruh terhadap masyarakat.

Menurut Damono (1978:7) perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra

adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang obyektif, sedangkan karya sastra
menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara

manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Sosiologi bersifat kognitif,

sedangkan sastra bersifat afektif. Karena persamaan objek yaang digarap, wajar

apabila kemudian para ahli meramalkan bahwaa pada akhirnya nanti sosiologi

akan dapat menggantikan kedudukan karya sastra (novel atau cerpen). Hal

tersebut tentunya tidak bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat, terutama

para sastrawan maupun penikmat karya sastra itu sendiri. Sebab, ada satu hal

yang perlu diingat dan merupakan sesuatu yang jelas dari sastra yaitu mempunyai

satu kekhasan atau keunikan yang tidak dimiliki oleh sosiologi dan tidak bisa

digantikan oleh sosiologi. Oleh sebab itu, kedua-duanya tampak memiliki

kemungkinan yang sama untuk berkembang, saling berkembang, untuk saling

bekerja sama, dan saling melengkapi.

Damono (dalam Faruk 1999:4-5) menemukan tiga macam pendekatan

dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan

dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dalam kaitannya dalam

masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang

bisa mempengaruhi pengarang sebagai perorangan di samping mempengaruhi isi

karya sastranya. Yang harus diteliti dalam pendekatan ini adalah: 1) bagaimana

pengarang mendapatkan mata pencahariannya, 2) sejauh mana pengarang

menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, 3) masyarakat apa yang dituju

oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang terutama

mendapat perhatian adalah: 1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada

waktu karya itu ditulis, 2) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi
gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya, 3) sejauh mana genre sastra

yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Ketiga,

fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: 1)

sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat, 2) sejauh mana

sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan 3) sejauh mana terjadi sintesis

antara kemungkinan 1 dan kemungkinan 2 di atas.

Selain melihat klasifikasi yang dipaparkan Damono di atas, dapat diperoleh

gambaran bahwa sosiologi sastra yang merupakan pendekatan terhadap sastra

dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan mempunyai cakupan yang

luas, beragam, rumit, yang mengangkat tentang teks sastra sebagai sebuah karya

cerminan masyarakat, pengarang dan pembacanya.

Klasifikasi di atas menggambarkan hubungan yang nyata antara sastra dan

masyarakat yang bersifat deskritif, yang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi

tiga, yaitu sosiologi pengarang yang meliputi profesi pengarang dan situasi sosial

yang melingkupinya, kemudian sosiologi karya sastra yang memasalahkan sastra

itu sendiri sebagai bidang penelaah, dan sosialogi pembaca yang memasalahkan

pembaca dan dampak sosial karya sastra.

Paparan di atas merupakan pengantar singkat menuju pembahasan

pendekatan struktural genetik dari Lucien Goldmann yang lahir sebagai reaksi

dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistaoris dan kausal.

Strukturalisme-Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang

berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur

yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi
struktur kategoris pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang

terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi

tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai struktur karya sastra, bagi

Strukturalisme Genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa pertimbangan faktor-

faktor sosial yang melahirkannya, sebab faktor-faktor itulah yang memberikan

kepaduan pada struktur itu (Goldmann dalam Faruk 1999:13).

Penelitian strukturalisme genetik semula dikembangkan di Perancis atas

jasa Lucien Goldmann. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu

menekankan latar belakang sejarah. Karya sastra, di samping memiliki unsur

otonom juga tidak dapat lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sasta sekaligus

mempresentasikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya

sastra. Menurut Goldmann (dalam Endraswara, 2003:55-56), studi strukturalisme

genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama, hubungan antara makna suatu

unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama. Kedua,

hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang mengikat. Oleh karena itu,

seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri. Pada dasarnya,

pengarang akan menyarankan suatu pandangan dunia yang kolektif. Pandangan

tersebut juga bukan realitas, melainkan sebuah refleksi yang diungkapkan secara

imajinatif.

Endraswara (2003:55) mengatakan bahwa srukturalisme genetik adalah

cabang penelitian sastra secara struktural yang tidak murni. Ini merupakan bentuk

penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya.


Konvergensi penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra

dimungkinkan lebih demokrat.

Penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut

yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan

dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya penelitian akan

menggabungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. Karya sastra

sebagai refleksi zaman dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik,

ekonomi dan budaya. Peristiwa-peristiwa penting pada zamannya akan

dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Endraswara

2003:56).

Strukturalisme-Genetik memandang karya sastra sebagai sebuah struktur,

sistem relasi antarelemennya (Faruk 1999:12). Sistem relasi struktur itu sendiri

bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah

yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan

dihayati oleh masyarakat asal karya satra yang bersangkutan (Faruk 1999:12).

Goldmann dalam menelaah novel pertama-tama yang ia lakukan adalah

meneliti struktur-struktur tertentu dalam teks, dan selanjutnya menghubungkan

struktur-struktur tersebut dengan kondisi sosial dan historis yang kongret, dengan

kelompok sosial dan kelas sosial si pengarang, dan dengan pandangan dunia kelas

yang bersangkutan. Perhatian utama pendekatan ini dicurahkan pada teks itu

sendiri dan kepada sejarah sebagai suatu proses (Damono, 1978 : 14).

Goldmann (dalam Junus, 1986 : 26) memberikan rumusan penelitian

struktural genetik ke dalam tiga hal, yaitu: 1) penelitian sastra terhadap karya
sastra seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan; 2) karya sastra yang diteliti

mestinya karya yang bernilai sastra yang biasanya mengandung tegangan

(tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent

whole); 3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya

dengan latar belakang sosial. Sifat hubungan tersebut: (a) yang berhubungan

latar belakang sosial adalah unsur kesatuan, (b) latar belakang yang dimaksud

adalah pandangan dunia suatu kelompok sosial yang dilahirkan oleh pengarang

sehingga hal tersebut dapat dikonkretkan.

Hipotesis Goldman yang mendasari penemuan word view (pandangan

dunia) adalah tiga hal yang masih perlu direnungkan bagi peneliti strukturalisme

genetik, yaitu sebagai berikut

1. Semua perilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitas,

maksudnya selalu berupa respon terhadap lingkungannya;

2. Kelompok sosial mempunyai tendensi untuk menciptakan pola tertentu

yang berbeda dari pola yang sudah ada;

3. Perilaku manusia adalah usaha yang dilakukan secara tetap menuju

transendensi, yaitu aktifitas, transformasi, dan kualitas kegiatan dari semua

aksi sosial dan sejarah.

Dari pandangan demikian, berarti struktiralisme genetik merupakan

embrio penelitian sastra dari aspek sosial yang kelak disebut sosiologi sastra.

Hanya saja, srukturalisme genetik tetap mengedepankan juga aspek struktur. Baik

struktur dalam maupun struktur luar tetap dianggap penting bagi pemahaman

karya sastra. Jadi, sekurang-kurangnya penelitian strukturalisme genetik meliputi


tiga hal, yaitu: 1) aspek intrinsik teks sastra, 2) latar belakang pencipta, dan3) latar

belakang sosial budaya serta sejarah masyarakatnya. Jadi, strukturalisme genetik

juga mengedepankan aspek kesejarahan lahirnya karya sastra (Endraswara

2003:60).

Menurut Endraswara (2003:60) yang terpenting dari kajian strukturalisme

genetik adalah karya sastra yang mampu mengungkapkan fakta kemanusiaan.

Fakta ini mempunyai unsur yang bermakna, karena merupakan pantulan respon-

respaon subyek kolektif dan individual dalam masyarakat. Subyek tersebut selalu

berinteraksi dalam masyarakat untuk melangsungkan hidupnya. Dari sini pula

akan muncul upaya-upaya manusia untuk menyeimbangkan kehidupan manusia

dengan alam semesta.

2.2 Pandangan Dunia Pengarang

Menurut Golmann (dalam Faruk, 1999:16) pandangan dunia merupakan

istilah yang cocok secara kompleks dan menyeluruh dari gagasan-gagasan,

aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-

sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang

mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu

kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi

sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang

memilikinya. Pandangan dunia pengarang tidak lahir dengan tiba-tiba, karena

pandangan dunia itu merupakan produk interaksi antara pengarang dengan situasi

sekitarnya.
Menurut Goldman, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan

mewakili pandangan dunia (visiun du monde) penulis, tidak sebagai individu

melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan

bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan

antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau

ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat

dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan

teks sastra diabaikan begitu saja (Endraswara 2003:57).

Pandangan dunia yang bagi Goldman selalu terbayang dalam karya sastra

agung adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif).

Abstraksi itu akan mencapai bentuk yang konkrit dalam sastra. Oleh karena

pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas

kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan

inilah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra

dapat dipahami asal dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial

tertentu tersebut, bagi Goldman merupakan hubungan genetik, maka dari itu

disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang

dari asalnya dan kejadiannya (Endraswara 2003:57).

Goldman beranggapan bahwa manusia (individu) tidak mungkin

mempunyai pandangan dunianya (world view) sendiri (Junus 1986:25). Goldman

mencoba mendapatkan pandangan dunia pengarangnya. Penulis itu sendiri

bukanlah seorang individu yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari suatu
‘kelompok sosial’, sehingga pandangannya tadi adalah juga pandangan kelompok

sosial, transindividual subject (Junus 1988:16).

Seorang pengarang sebagaimana dikatakan di atas adalah anggota kelas

sosial, maka lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan

politik yang benar. Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi

antagonisme kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran kelas. Setiap anggota kelas

yang terpelajar harus memahami dan terlibat dalam perubahan sosial dan poitik.

Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia

adalah ekspresi teoritis dari suatu kelas sosial pada saat karya sastra diciptakan

dan para pengarang, filsuf, dan seniman yang menampilkannya dalam karya-

karyanya (Damono 1978:42).

Pandangan dunia itu sendiri menurut Junus (1988:16) terikat pada masa

tertentu dan ruang tertentu. Keterlambatannya kepada masa tertentu menyebabkan

ia mesti bersifat sejarah. Sehingga, sebuah analisis Strukturalisme-Genetik

didasarkan faktor kesejarahan tanpa menghubungkannya dengan fakta-fakta

sejarah suatu subjek kolektif di mana suatu karya diciptakan, tidak seorangpun

akan mampu memahami secara komprehensif pandangan dunia atau hakikat

makna dari karya yang dipelajari (Goldman dalam Fananie, 2000:120).

Ada dua kelompok karya sastra menurut Goldman (dalam Damono

1975:5) yaitu karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang utama dan karya sastra

yang dihasilkan oleh pengarag kelas dua. Karya sastra yang dihasilkan oleh

pengarang utama adalah karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur

kelompok atau kelas sosial tertentu. Adapun karya sasta yang oleh pengarang
kelas dua adalah karya sastra yang isinya sekadar reproduksi segi permukaan

realitas sosial dan kesadaran kolektif. Untuk penelitian sastra yang menggunakan

pendekatan strukturalisme genetik oleh Goldman disarankan untuk menggunakan

karya sastra ciptaan pengarang utama karena sastra yang dihasilkan merupakan

karya agung (masterpeace) yang mempunyai tokoh problematik (problematic

hero). Pandangan dunia pengarang akan dapat terungkap melalui tokoh

problematik tersebut, Iswanto (2003:61) mendefinisikan tokoh problematik

(problematik hero) itu sendiri adalah tokoh yang mempunyai wira bermasalah

yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded) dan berusaha

mendapatkan nilai yang sahih (authentic value).

Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik

(problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan

dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi

merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu

kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu memperoleh bentuk konkret di

dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak

memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan

kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu.

Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk menjembatani fakta estetik.

(Goldmann dalam Fananie, 2000:118). Adapun fakta estetik dibaginya menjadi

dua tataran hubungan yang meliputi:

a) Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan

alam ciptaan pengarang.


b) Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu seperti diksi, sintaksis,

dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang dipergunakan

pengarang dalam ciptaannya.

Menurut Goldmann (dalam Junus, 1988:16) hubungan genetik antara

pandangan dunia pengarang dalam sebuah novel atau karya adalah pandangannya

dengan pandangan dunia pada suatu ruang tertentu dalam masa tertentu, sehingga

pendekatan ini dikenal dengan Strukturalisme-Genetik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia

terbentuk atas dua aspek yaitu (1) hubungan antara konteks sosial dalam novel

dengan konteks sosial kehidupan nyata, (2) hubungan latar sosial budaya

pengarang dengan novel yang dihasilkannya.

2.2.1 Konteks Sosial

Suharianto (1982:11) berpendapat bahwa sastra juga memegang peranan

aktif dan dapat dijadikan pedoman, walaupun kebenaran sastra merupakan

kebenaran yang indrawi tetapi juga dapat dijadikan cermin norma masyarakat.

Sumardjo (1982:12) berpendapat bahwa sastra adalah produk

masyarakat, berada di tengah masyarakat, karena dibentuk oleh anggota

masyarakat berdasarkan desakan emosional dan rasional dari masyarakat.

Damono (1978:4) berpendapat bahwa hasil sastra tidak dapat dipahami selengkap-

lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungannya, yaitu budaya atau peradaban

yang telah menghasilkannya. Karya sastra bukanlah gejala tersendiri yang muncul
begitu saja, tetapi setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh yang rumit dari

faktor sosial dan kultur.

Karya sastra yang besar menurut Goldmann (dalam Fananie, 2000:165)

dianggap sebagai fakta sosial dari subjek trans-individual karena merupakan alam

semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin

dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat

historis.

Johnson (dalam Faruk, 1994:45 – 46) menyimpulkan bahwa novel

mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan

sosial. Taine menyebutkan novel bertujuan untuk menggambarkan kehidupan

nyata. Melalui karya sastra masyarakat pembaca sastra akan mengatahui

kehidupan sosial masyarakat pencipta karya sastra tersebut (Sumardjo 1995:99-

100). Dengan demikian, karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk menuliskan

kembali kehidupan dalam bentuk cerita.

Konteks sosial novel merupakan karya sastra yang lahir di tengah-tengah

masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-

gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan

bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada kultur

tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 2001:61).

2.2.2 Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang

Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah

ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial
dan politik itu sendiri adalah ekspresi antanogis kelas, dan jelas mempengaruhi

kesadaran kelas (Damono 1978:42).

Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk dan karya yang

diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1994:55) sekolah dan

latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa

yang dikerjakan oleh sastrawan.

2.2.3 Ideologi Pengarang

Junus (1986:31) berpendapat bahwa menghubungkan pandangan

pengarang atau ideologi pengarang dengan pandangan suatu kelompok sosial

tidak ada kemestian untuk melakukannya. Paling kurang, jangan dihubungkan

dengan suatu ideologi yang eksplisit. Dengan cara begini, penulis dengan

dunianya sendiri mendapat tempat yang wajar. Pengarang bukan hanya penyalur

dari suatu pandangan dunia kelompok masyarakat tetapi juga menyuarakan

reaksinya terhadap fenomena sosiobudaya dan mengeluarkan pikirannya tentang

satu peristiwa.

Secara singkat ideologi atau pandangan pengarang akan memunculkan

pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari

pandangan pengarang setelah ia berinteraksi dengan pandangan kelompok sosial

masyarakat pengarang.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Karya sastra diciptakan tidak hanya dari imajinasi pribadi pengarang tetapi

juga dari peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga karya sastra dapat

dikatakan sebagai cermin atau rekaman budaya masyarakat. Oleh karena itu,

kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.

Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi Sastra dengan teori

Strukturalisme Genetik dari Lucien Golman. Pendekatan ini digunakan untuk

menganalisis novel trilogi Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap.

3.2 Sasaran Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah mengungkap:

1. Konteks sosial yang terdapat dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan

Atap.

2. Latar belakang kehidupan sosial pengarang novel trilogi Jendela-jendela,

Pintu, dan Atap.

3. Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel trilogi Jendela-

jendela, Pintu, dan Atap.


Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Trilogi Karya Fira Basuki

Yaitu Jendela-Jendela, Pintu, Atap. Sumber data lainya adalah keterangan tentang

Fira Basuki. Keterangan tentang Fira Basuki dapat diperoleh dari Studi Pustaka,

yaitu buku-buku tentang Fira Basuki dan Warnet.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

dialektik. Model ini berjalan dari pemahaman terhadap struktur teks karya sastra,

ke struktur sosial budaya yang kongkret dan latar belakang sosial pengarang.

Selanjutnya hasil pemahaman terhadap stuktur sosial budaya dan kelompok sosial

pengarang ini digunakan untuk memahami kembali struktur teks sastra. Model

dialektik bekerja dengan cara pemahaman bolak-balik antara struktur sosial

dengan teks sastra yang diteliti. Model dialektik mengutamakan makna yang

koheren. Secara sederhana, pelaksanaan analisis dialektik diawali dengan

mengkaji konteks sosial novel yang turut mengkondisikan karya sastra saat

diciptakan oleh pengarang, kemudian mengkaji kehidupan sosial budaya

pengarang karena pengarang merupakan bagian dari komunitas tertentu, setelah

itu menghubungkan kedua elemen tersebut sehingga mampu mendeskripsikan

pandangan dunia pengarang dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap

karya Fira Basuki.

Langkah kerja yang diterapkan dalam penelitian ini dengan pendekatan

strukturalisme genetik adalah sebagai berikut:


1. Membaca dengan teliti novel Trilogi Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap karya

Fira Basuki secara heuristik yakni pembacaan awal sampai akhir cerita

secara berurutan sehingga ditemukan tokoh problematik (problematic hero)

yang akan mengungkap pandangan dunia pengarang dalam novel trilogi

Jendela-jendela, Pintu, dan Atap karya Fira Basuki.

2. Pembacaan hermeneutik yakni membaca ulang setelah heuristik sehingga akan

diketahui pandangan dunia pengarang (vision de monde).

3. Meneliti struktur intrinsik novel trilogi Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap.

4. Mengkaji konteks sosial novel yang turut mengkondisikan karya sastra saat

diciptakan oleh pengarang.

5. Mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena pengarang merupakan

bagian dari komunitas tertentu. Adapun cara yang dilakukan untuk

memperoleh data tersebut adalah melalui proses riset kepustakaan. Hal-hal

yang berhubungan dengan kehidupan sosial budaya pengarang di antaranya

adalah aktivitas sehari-hari pengarang, lingkungan tempat tinggal pengarang,

latar belakang pendidikan pengarang, dan lain-lain.

6. Menghubungkan konteks sosial novel dengan latar belakang kehidupan sosial

budaya pengarang sehingga diperoleh pandangan dunia pengarang yang

terefleksikan dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap melalui

tokoh problematik yang ada pada novel tersebut.

7. Menarik simpulan dari permasalahan yang telah dibahas dalam novel trilogi

Jendela-jendela, Pintu, dan Atap karya Fira Basuki.


BAB IV

KONTEKS SOSIAL NOVEL, LATAR BELAKANG KEHIDUPAN SOSIAL

BUDAYA PENGARANG, DAN PANDANGAN DUNIA PENGARANG

YANG TEREFLEKSI DALAM NOVEL TRILOGI:

JENDELA-JENDELA, PINTU, DAN ATAP

KARYA FIRA BASUKI

4.1 Konteks Sosial Novel Trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap

Trilogi novel Jendela-jendela, Pintu, dan Atap menceritakan kehidupan

dan problemannya dari tokoh utama, June dan Bowo di berbagai tempat seperti

Indonesia, Amerika Serikat dan Singapura dengan latar budaya yang kental.

Judul-judul novelnya mengambil bagian-bagian dari rumah yaitu Jendela-jendela,

Pintu, dan Atap.

Konteks sosial novel Jendela-jendela adalah kehidupan sosial June

Larasati Subagio (June) dalam masa kuliah, pekerjaan, perekonomian, rumah

tangga, bahkan perselingkuhan yang dilakukannya. Konteks sosial novel Pintu

merupakan petualangan indera keenam atau mata ketiga yang dimiliki oleh Djati

Suryo Wibowo Subagio (Bowo). Indera keenam yang dimiliki oleh Bowo

mempengaruhi cerita tentang cinta dan perjalanan hidupnya. Konteks sosial novel

Atap adalah tempat bertemunya adik kakak June dan Bowo. Mereka bercerita

tentang pengalaman hidup, bercerita tentang masalah pada masa sekolah, rumah

tangga, pekerjaan, bahkan perselingkuhan yang sama-sama mereka lakukan dan


alami, yang pada akhirnya masalah yang dihadapi oleh June dan Bowo dapat

diselesaikan dengan baik dan mereka hidup bahagia dengan pasangan hidup

masing-masing.

4.1.1 Konteks Sosial Novel Jendela-jendela

Novel Jendela-jendela menceritakan tentang sorang wanita Indonesia yang

hidup di luar negeri untuk menuntut ilmu, sampai akhirnya kenal dengan seorang

laki-laki dan diteruskan ke jenjang pernikahan. Di dalam menjalani rumah tangga

selalu terjadi masalah-masalah yang tidak diharapkan seperti kekurangan uang,

hubungan dengan suami, dan mengalami keguguran. Segala cobaan selalu

dihadapi dengan sabar sehingga keberhasilanpun datang. Di saat mengalami

kekurangan uang dalam keluarganya, wanita tesebut mencoba-coba melamar

pekerjaan dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain, namun tidak ada

satupun lamaran yang diterima. Setelah hubungan dengan suaminya mulai

membaik, wanita itu mendapat tawaran pekerjaan menjadi penyiar radio.

Suaminya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya membuat dia merasa kesepian.

Di dalam suasana kesepiannya datanglah laki-laki yaitu teman dari suaminya.

Karena sering bertemu, wanita dan laki-laki itu menjalin percintaan, sampai

perselingkuhan terjadi.

Jendela-jendela yang dibangun oleh Fira Basuki penuh dengan cerita

tentang hidup dan kehidupan. Kisah pasangan suami istri muda yang latarnya di

Indonesia, Amerika Serikat dan Singapura ini memberikan gambaran yang

menarik bahwa bayangan kita mengenai kehidupan di negara-negara maju dan


kaya tidak selamanya benar. Di manapun ada saja orang yang mengalami

kesulitan hidup namun tetap berusaha untuk mengatasinya. Hubungan antar

manusia sama sekali tidak sederhana. Itu semua diungkapkan dalam latar tempat

yang jelas dan jalinan dialog yang lancar.

Cerita novel Jendela-jendela diawali oleh tokoh utama seorang wanita,

namanya June, lengkapnya June Larasati Subagio. Wanita berdarah Jawa kental

bersuami Jigme Tsering, pria Tibet yang kemudian memeluk Islam. Hidup June

tidak sebegitu penuh liku dan memilukan namun tetap ada cerita yang terselip di

dalamnya. Cerita tentang masa kuliahnya, pacar-pacarnya,suaminya,teman

sekantornya sampai selingkuhannya. June anak orang kaya dan pemboros

sedangkan Jigme lelaki sederhana namun hangat.

(1)

Tahun 1987, aku memutuskan untuk bersekolah di Bogor setelah


tahu orang tuaku berencana akan mengirimku kuliah ke Amerika. Ya, aku
pikir hitung-hitung belajar hidup sendiri. Jadi, aku kost, menyewa kamar
sendiri.
( Jendela-jendela hlm. 65)

Kutipan (1) merupakan awal dari perjalanan June dengan berbagai cerita

di antaranya masa sekolah di SMA Regina Pacis Bogor, masa kuliah, tentang

pacar-pacarnya, pertemuan dengan suaminya Jigme, perselingkuhannya, dan

tentang pekerjaannya.

(2)

Di hari pertama orientasi para pelajar baru, di saat perploncoan, di


sanalah aku tahu Didit. Ia salah satu pengurus Organisasi Intra Sekolah
(OSIS). Saat itu aku sebagai pelajar baru harus meminta tanda tangan
sedikitnya sepuluh pengurus OSIS. Setiap kali pula, aku harus
menamggung setiap suruhan mereka. Aku ingat seorang kakak seniorku
berkata, ”Kamu coba sekarang ke kakak yang berdiri di sana dan teriak
tiga kali ’Aku cinta kamu, aku cinta kamu, aku cinta kamu! Ingat,
teriaknya yang keras ya!”
(Jendela-jendela hlm.65-66)

(3)

Kami sebenarnya tidak pernah resmi menjadi sepasang kekasih.


Mungkin karena agama yang berbeda. Didit beragama Katolik dan aku
Islam. Lagi pula, kemungkinan besar aku memang bertemu pria yang
beragama Katolik di sekolah Katolik ini. Teman-temanku sebagian besar
Katolik dan aku berteman tanpa masalah dengan mereka. Sekolahku cukup
bertoleransi untuk para pelajarnya yang non Katolik.
(Jendela-jendela hlm.66)

Dari kutipan (2) dan (3) tersebut June menemukan cinta pada masa

sekolah di SMA Regina Pacis pada sosok Didit. Hal itu diperjelas pada kutipan

berikut yang merupakan pernyataan rasa sayang June terhadap Didit.

(4)

Aku terlanjur sayang dan jatuh cinta kepadanya. Apalagi Didit


sudah pasti mendapat beasiswa ke Sydney, Australia. Aku akan
ditinggalkannya. Dua tahun sudah saat itu dan tidak terasa. Didit membuat
masa remajaku berjalan dengan manis. Didit membuatku belajar dengan
sungguh-sungguh tapi tetap menikmati hari luangku. Aku juara kelas,
namun aku tetap berpesta dan naik gunung bersamanya
Kami sepakat untuk terus berhubungan dengan catatan. “Jika
salah satu dari kita bertemu jodoh, harus rela”.
(Jendela-jendela hlm. 67)

Perjalanan cinta June dan Didit tidak berlangsung lama. Didit mendapat

beasiswa untuk kuliah di Australia, sedangkan June kuliah di Amerika Serikat.

Didit akhirnya meminta Nina temannya di Sydney untuk menjadi pacarnya setelah

didesak oleh June, walaupun sebenarnya Didit masih sayang sama June. Hal ini

tampak pada kutipan berikut.


(5)
“Aku nggak bisa June.....”
“Kenapa Dit?”
“Aku masih sayang kamu”.
“Aku tahu....Tapi kamu bilang kamu suka Nina, ia manis dan
baik. Aku tahu kamu juga kesepian di sana Dit. Ayolah Dit....mendingan
kamu bareng Nina. Lagipula doski kan sama agamanya denganmu, orang
Jawa, manis dan baik,....kurang apalagi Dit....
(Jendela-jendela hlm. 69)

June memutuskan untuk kuliah di Amerika Serikat. Kutipan (6) adalah

awal cerita masa kuliah June di Pittsburg State University yang merupakan

pilihannya..

(6)

Aku bosan tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta.


Menurutku, New York, Los Angeles, Chicago, dan kota terkenal lainnya
tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Di tengah-tengah Kansas, di negara
bagian tempat Dorothy dari cerita film Wizard of oz tinggal, atau tepatnya
di “heartland of America” inilah aku ingin tinggal.
Pilihanku untuk kuliah di Pittsburg State University (PSU)
tidaklah salah. Tempatku belajar dan kota Pittsburg ibarat telur goreng,
dimana Universitasnya adalah kuningnya dan kota adalah putihnya.
Konon, kota ini sempat populer pada tahun 1920-an, karena ada tempat
penggalian batu bara.
(Jendela-jendela hlm.4)

June berpacaran dengan Aji Saka ketika kuliah di Pittsburg State

University. Namun Aji seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda, terkadang

baik terkadang juga kasar. Kutipan (7) menggambarkan pahit dan manisnya saat

June berpacaran dengan Aji Saka.

(7)

Pernah suatu kali ketika kami bertikai, Aji mendorong tubuhku


kuat-kuat. Saat itu aku memutuskan tidak mau menjadi pacarnya lagi.Aji
meratap, mengikutiku pulang, dan berdiri di depan pintu apartemenku
seharian penuh. Hatiku luluh dan memaafkannya.
Kali kedua, ia hampir memukulku, aku mengucapkan kata ‘putus’.
Aji datang ke apartemenku, membawa seikat mawar merah segar dan
sebuah boneka beruang. Dengan mudah pula, aku memaafkannya.
(Jendela-jendela hlm.33-34)

Kesabaran June menghadapi sikap Aji Saka sudah habis. Dengan dibantu

Joe salah satu teman kampusnya, June pindah ke Wichita State University untuk

menghindari dan menjauhi Aji Saka. Di Wichita awal pertemuan June dan Jigme

sampai pada akhirnya mereka menikah. Seperti dijelaskan pada kutipan (8) dan

(9) berikut.

(8)

Putus dari Aji, aku pindah dan transfer sekolah ke Wichita. Ah,
siapa sangka Jigme terkaget-kaget melihatku di kafetaria kampus Wichita
State University.
“June Larasati Subagio”,teriaknya saat itu.
Aku yang bersiap menuju kelas kontan terperanjat. Siapa pria ini?
Mengapa ia tahu namaku?
”Ingat, saya Jigme Tshering,” katanya sambil menjulurkan tangan.
Dengan terbingung-bingung, aku membalas jabatan tangannya.
”Maaf, siapa..........”
(Jendela-jendela hlm.7)
(9)

Aku menikah sebulan lalu, 5 September 1997, dan langsung


pindah ke Singapura. Titel nyonya atau ibu sudah pantas untukku, paling
tidak menurutku. Mungkin nama Jigme Tshering yang kedengarannya
aneh? Biasa saja, jika mengingat suamiku memang orang Tibet, ya, ya,
ya.......biasanya dahi orang akan bertekuk, tanda bertanya-tanya begitu
mereka mendengar nama baruku.
(Jendela-jendela hlm.3)

Perjalanan rumah tangga June dan Jigme tidak selalu mulus. Masalah-

masalah dalam rumah tangga pun terjadi. Mulai dari masalah keuangan karena

gaji Jigme yang kecil sampai perselingkuhan yang terjadi.


(10)
Orang tuaku bukan konglomerat hanya sedikit kaya. Apa sih
bedanya kaya dan konglomerat? Menurutku, kaya jika hidup diatas standar
biasa. Misalnya kalau sebagian besar orang kuliah di Indonesia, orang
tuaku mampu mengirim dua anaknya sekaligus ke luar negeri. Sementara,
konglomerat adalah jika uang bukan lagi pikiran dan masalah bagi
seseorang.
(Jendela-jendela hlm.28)
(11)
Biarpun Jigme juga sekolah di Amerika tapi orang tuanya tidak
kaya. Bapaknya bekerja keras, sedangkan ibunya tidak bekerja kini
mertuaku sudah pensiun. Mama ingin jika aku menikah, suamiku
bertanggung jawab terhadap kehidupan materiku. Ya, paling tidak
keluarganya bisa membantu. Aku selalu memastikan Mama bahwa aku
tidak akan meminta uang lagi jika menikah. Walaupun aku tahu Mama,
jika aku butuh ia akan tetap memberi.
(Jendela-jendela hlm.27)
(12)
Ketika memilih Jigme, Mama sudah mengingatkan apakah aku
siap untuk hidup mengikuti caranya. Dengan angkuh aku berkata,”aku
biasa hidup sendiri di Amerika. Tantangan macam apalagi yang aku
takutkan?”
Mama benar, selalu benar, Mama bilang aku boros, tidak
memikirkan masa depan.
(Jendela-jendela hlm.26)
Kutipan (10),(11),dan (12) menggambarkan perbedaan status sosial

ekonomi antara June dan Jigme yang nantinya menjadi salah satu masalah dalam

rumah tangganya. Walaupun sudah tinggal di HDB atau Hausing Development

Board, alias rumah susun yang dibangun pemerintah Singapura, kehidupan rumah

tangga June dan Jigme masih saja mengalami kekurangan. Keadaan June dan

Jigme jelas tergambar pada kutipan (13) dan (14) berikut.

(13)
Jigme tidak tahu kalau aku pergi ke Pawn Shop atau tempat gadai.
Gaji Jigme tidak mencukupi hidup kami. Walaupun tinggal di apartemen
yang lumayan murah untuk ukuran Singapura dan masih ada sisa setengah
lebih gajinya, entah kenapa tidak pernah cukup. Mungkin gaya hidupku
yang boros. Makan enak setiap hari, tidak heran jika Jigme jadi sedikit
gemuk.
(Jendela-jendela hlm.41)
(14)
Karena tidak memiliki uang, kami merayakan tahun baru di
rumah. Tanpa televisi, atau hiburan lain yang berarti, satu-satunya cara
melewatkan tahun 1997 adalah dengan berbincang-bincang. Sebenarnya,
kami nyaris bercinta, tapi suasana yang ingar-bingar di rumah susun ini
membuat kami tidak bersemangat.
(Jendela-jendela hlm.45)

Kutipan (15) dan (16) adalah masalah yang dialami June dan Jigme ketika

June mengalami keguguran saat kandungannya berusia lima minggu dan

hubungan mereka menjadi dingin yang disebabkan rasa bersalah June pada Jigme.

(15)
Buat apa aku menangis? Kalau bukan karena Jigme aku tidak
akan menangis terus menerus seperti ini. Aku terus menangis setelah
melihat Jigme menangis. Kami kehilangan calon buah hati, di
kandunganku yang berusia sekitar lima minggu. Rasanya baru kemarin
aku menerima kabar kehamilanku....... Ia keluar begitu saja, ketika aku
buang air kecil.
(Jendela-jendela hlm. 81)

(16)
Perasaan bersalahku pada Jigme membuatku menghukum diri.
Sejak meninggalkan rumah sakit tiga bulan lalu, kami jarang melakukan
hubungan suami istri. Aku takut hal buruk akan terjadi. Aku takut hamil,
takut keguguran lagi dan takut mengecewakan Jigme. Kalaupun kami
bercinta, itupun jadi dingim.
(Jendela-jendela hlm.99)

Banyaknya masalah yang harus dihadapi dalam rumah tangganya. Jigme

sering pulang malam dan June merasa kesepian. Hal itulah yang membuka

kesempatan June untuk berselingkuh dengan Dean teman Jigme. Perselingkuhan

tersebut diceritakan pada kutipan (17) dan (18) berikut.

(17)
Jangan salahkan aku jika aku mulai menyukai Dean. Sebenarnya,
semenjak pertama kali Jigme mengenalkanku pada Dean di Whicita,
terselip kekagumanku padanya. Seperti yang kusebut sebelumnya, Dean
selalu tampak rapi dan rupawan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya
selalu enak didengar. Dan mungkin juga ditambah mobil BMW yang
dikendarainya sewaktu sekolah dulu.
(Jendela-jendela hlm.104)
(18)
Dengan mudah, aku menerima rayuan ‘coldheart’. Di suatu sabtu
pagi, ketika Jigme sedang syuting dan orang tua Dean ke Johor Baru, aku
datang ke rumahnya.
“Jangan Dean,”ujarku saat tangannya mulai meraba-raba daerah
pribadiku.
”Ssssttt June.......”
Badannya yang tegap meraih tubuhku dari sofa dan
mengangkatku ke suatu ruangan: kamar tidurnya.
(Jendela-jendela hlm.105)

Permasalahan dalam rumah tangga June dan Jigme dapat diselesaikan

dengan baik setelah ada pengakuan dan penyesalan dari June serta adanya

pengertian dari Jigme. Seperti pada kutipan (19) berikut.

(19)
Aku memeluknya erat-erat. Teramat erat. Jigme, kamu tidak tahu
apa yang telah kulakukan. Selama ini aku tidak pernah mencoba
berkomunikasi. Siapa sangka ia pria yang mudah menerima keadaan?
Bahkan terlalu mudah. Pernah sesaat aku mengira ia juga serong
dibelakangku. Ternyata aku salah, Jigme seorang pria yang berhati mulia.
Allah, maafkan aku!
Jigme tidak pernah bertanya-tanya dan mengungkit apa yang
terjadi. Daripada menyalahkanku, ia selalu menyalahkan dirinya terlebih
dahulu. Sebagai orang Tibet, ia percaya karma, sebab dan akibat. Jigme
selalu yakin, orang yang bersalah akan menanggung resiko hukumannya.
(Jendela-jendela hlm.124)

Hubungan June dan Jigme semakin membaik. Kemudian June mendapat

pekerjaan di International Voice. Seperti kutipan (20) dan (21) yang

menggambarkan kebahagiaan June ketika menerima pekerjaan baru dan dukungan

dari Jigme suaminya.


(20)
Betapa bahagia hatiku ketika Miss Ann Ray berkata, ”Selamat
menjadi keluarga International Voice”. International Voice adalah radio
SW, Short Wave atau gelombang pendek yang memancarkan acaranya ke
seluruh dunia. Disebut International Voice, karena siaran radio ini
menggunakan bahasa yang dipakai di Singapura. Bahasa-bahasa itu adalah
Inggris, Melayu, Cina-Mandarin, dan Tamil. Kini mereka membuka siaran
bahasa Indonesia, mengingat banyaknya surat-surat permintaan datang
dari para pendengar Indonesia yang rajin mendengarkan siaran bahasa
Melayu.
(Jendela-jendela hlm. 51)

(21)
Dua minggu menunggu hari pertamaku untuk bekerja di
International Voice, Jigme tidak henti-hentinya memberi semangat. Kata-
kata seperti, ”Jangan kalah sebelum perang,” atau ”Kamu pasti bisa”,
selalu keluar dari mulut Jigme. Hari perjumpaanku dengan rekan-rekan
sekerja dari Indonesia akhirnya tiba. Cuma ada lima orang, termasuk aku.
(Jendela-jendela hlm.52)

Setelah June mempunyai pekerjaan. June dan Jigme pindah kerumah baru

yang lebih baik dari yang dulu. Seakan kebahagiaan rumah tangga June dan jigme

semakin lengkap. Seperti tergambar pada kutipan (22) dan (23).

(22)
Singapura, 23 Desember 1998. Aku dan jigme memutuskan untuk
pindah rumah sebelum tahun baru tiba. Belum ada setahun aku tinggal di
Ang Mo Kio ini, tapi aku sudah mulai tidak kerasan. Mungkin karena aku
yang gampang bosan.
(Jendela-jendela hlm.147)
(23)
Kami menemukan apartemen pribadi di kawasan Thomson. Tidak
seperti apartemen HDB milik pemerintah, apartemen yang akan kami
tempati jauh lebih mewah. Nantinya, aku akan bisa berenang dan bermain
tenis gratis di kawasan apartemen itu. Belum lagi letaknya yang tidak
terlalu jauh dari sini, jadi acara pindahan bisa berjalan cepat dan lebih
mudah.
(Jendela-jendela hlm.149)
Isi novel Jendela-jendela yang telah digambarkan di atas memungkinkan

gambaran cerita rekaan yang terjadi di sekitar pengarang sehingga pengarang

dengan leluasa membeberkan semua kejadian dengan jelas. June beruntung

mempunyai suami seperti Jigme, sehingga masalah rumah tangganya sampai

perselingkuhan yang di lakukannya dapat diselesaikan dengan baik dan damai.

Pada akhirnya kehidupan rumah tangga mereka bahagia karena adanya pengertian

dari keduanya. Jendela-jendela juga menceritakan tentang pengagum gelapnya

June. Siapakah Mr.X ? Mr.X akan terungkap oleh June di Atap ketika bercerita

pada Bowo.

4.1.2 Konteks Sosial Novel Pintu

Novel Pintu memang berbeda dengan Jendela-jendela, mungkin karena

‘Pintu’ lebih maskulin. Tokoh utama dalam cerita ini adalah pria, Djati Suryo

Wibowo Subagio. Novel ini adalah ‘petualangan’ seorang lelaki yang memiliki

mata ketiga atau indera keenam, yang menyebabkan ia menjadi bagian dari dunia

nyata maupun yang tidak kasat mata,’tidak tertangkap oleh mata’.

Pintu menceritakan tentang kehidupan sosial tokoh utama dari masa

sekolah, kuliah, pacar, perselingkuhan, indera keenam yang dimiliki dan tambatan

hati yang akhirnya menjadi isterinya. Budaya Jawa dalam novel ini sangat kental.

(24)
Aku lahir tahun 1968, dengan weton Sabtu Pahing dan memiliki
neptu Jawa tertinggi yaitu 18. konon ini tandanya aku bukan orang biasa.
Contoh orang yang lahir dengan tanggalan Jawa sepertiku adalah Sultan
Hamengku Buwono IX. Artinya, lahir dengan tanggal Jawa seperti ini
nantinya menjadi seorang pemimpin yang dipuja dan seorang pria yang
disenangi.
(Pintu hlm. 10)
Kutipan (24) membuka cerita dalam novel Pintu tentang budaya Jawa

bahwa tokoh utama Bowo yang dilahirkan pada weton Sabtu Pahing dan neptu

Jawa 18 nantinya akan menjadi pemimpin yang dipuja dan pria yang disenangi.

(25)
Yang aku ingat di usiaku yang tiga tahun, aku ’melihat sesuatu’
untuk pertama kalinya. Saat kami pindah ke rumah baru di Jakarta aku
melihat ada anak hitam kecil yang bertelanjang dada dan mengenakan
popok dari daun pisang menari-nari di atas atap. Aku menunjuk anak
tersebut sambil berujar, ”Itu, itu...hayo, sini turun”. Mama saat itu
memandangku keheranan dan berkata, ”Kamu nunjuk opo to ’le”.
Inikah yang disebut dengan indera keenam? Aku memang sering
melihat jin, hantu, ..... atau apalah namanya.
(Pintu hlm. 11)
(26)
Aku melihat ’mereka’ yang baik. Dalam arti, seperti anak kecil
hitam di atap yang selalu menemaniku itu ternyata mengaku seorang jin
baik dan berasal dari keluarga jin yang baik. Aku tidak pernah melihat
keluarganya, dia pun tidak pernah menawarkan diri untuk mengenalkanku
pada keluarganya. Oya, aku memanggilnya dengan nama Jeliteng yang
artinya si hitam.
(Pintu hlm.11)

Kutipan (25) dan (26) membuka Pintu pertama petualangan Bowo tentang

indera keenam ketika pada umur tiga tahun Bowo dapat melihat jin. Kemudian

pada usia sepuluh tahun Bowo belajar silat ke Pak Haji Brewok dan mulai rajin

membuat obat kuat sendiri. Seperti pada kutipan (27) berikut.

(27)
Sejak usiaku sepuluh tahun, aku rajin membuat dan meminum
obat kuat sendiri. Tapi aku tidak pernah mencoba resep perkasa, soalnya
tujuannya adalah memperkuat keperkasaan pria dalam hal ’greng’ pria.
Biasanya resep ini banyak dipraktekkan oleh para tukang becak di
Surabaya yang terkenal slebor dan memiliki istri lebih dari satu.
Resep ini kudapat dari Pak Haji Brewok, guru silatku di kampung
belakang rumah.
(Pintu hlm.18)
Ilmu silat jauh lebih mendalam dari apa yang pernah dibayangkan oleh

Bowo. Belajar silat bisa mengundang bahaya. Hal tersebut dialami Bowo ketika

berusia lima belas tahun, ketika tubuhnya hamoir hangus tersambar petir. Seperti

pada kutipan (28) dan (29) berikut.

(28)
Tubuhku yang berumur lima belas tahun hampir hangus tersambar
petir. Ini gara-gara aku tidak menggubris nasihat sang guru yang
menyebutkan bahwa ilmu memanggil teman di bumi belum sesuai
untukku. Ilmu ini memungkinkan seseorang memanggil petir, angin, dan
hujan sesuai kehendak.
Mama cerita kalau aku pingsan dan badanku berwarna hitam
legam. Mama menjerit-jerit histerois menyangka aku sudah tiada.
Untungnya Mpok Nyit ada di sana dan tahu kalau jantungku masih
berdenyut. Buru-buru tubuhku diselimuti dan kemudian Mpok Nyit
membaca doa-doa. Melalui ritual akupun siuman.
(Pintu hlm.21)
(29)
Yangti selalu mengingatkan aku akan hal ini. Ilmu silat yang
mumpuni saja tidaklah cukup. Selain tubuh, batin harus diasah. Kalau
mungkin Yangti menyampaikannya padaku dengan bicara biasa, artinya
tidak terasa. Tapi Yangti selalu menentang saat menasehatiku dengan kata-
kata ini. Suaranya seakan merasuk, seiring dengan maknanya sendiri.
(Pintu hlm.25)

Bowo yang bermimpi bertemu seorang kakek dan menyuruhnya pergi ke

arah timur merupakan awal petualangan indera keenamnya. Seperti pada kutipan

berikut.

(30)
Pernah, suatu ketika aku bermimpi bertemu seorang kakek
berjenggot panjang yang menyuruhku untuk pergi ke arah timur. Aku
tidak mengerti apa maksudnya. Sesudah bangun, keinginan untuk
memenuhi perintah si kakek itu seperti tidak terbendung. Aku harus pergi
kearah timur. Timur.....timur mana? Jakarta Timur? Jawa Timur?
(Pintu hlm.27)
Kutipan (32) dan (32) menegaskan petualangan indera keenam Bowo yang

lain. Sewaktu baru lulus SMA, Bowo pamit pada Mamanya untuk pergi ke

Surabaya selama dua hari. Bowo mengalami peristiwa dan keanehan di sana.

Bowo merasa pergi selama tiga hari tetapi menurut keluarganya ternyata dia pergi

selama dua minggu.

(31)
Aku seperti disorientasi. Nggak salah nih? Perasaan aku pergi
paling lama juga tiga hari. Ada apa sih sebenarnya? Lalu, kuraba wajahku.
Kumis dan brewokku sedikit lebat, benar seperti gembel atau
gelandangan.....hm.....mungkinkah? ah, masa? Dua minggu?
(Pintu hlm.30)

(32)
Aku masih merinding setiap mengingat hal itu. Begitulah
ceritanya. Soal mata ketiga ini menjadi hal yang lumrah bagiku.
Kemudian aku tahu, istilah itu bahkan banyak di pakai oleh orang Tibet.
Aku tahu hal ini di kemudian hari dari Jigme, suami June. Jigme cerita,
beberapa Lama yang berbakat, atau memiliki indera keenam, ’di buka’
untuk mengetahui misteri kehidupan sepertiku. Ya, ya, ya,....aku berusaha
menutup mata.
(Pintu hlm.34)

Bowo juga dapat melihat hantu ’Anna’ pelajar Universitas di Chicago

yang meninggal karena gantung diri di kamarnya. Hal ini membuktikan bahwa

tidak semua orang dapat melihat orang yang sudah meninggal kecuali orang yang

memiliki ’mata ketiga’ atau indera keenam. Kutipan (33) dan (34) merupakan

petualangan Bowo berikutnya dengan indera keenamnya.

(33)
Angin kembali mereda. Aku sadar bahwa Anna tidak sam dengan
Jeliteng. Anna adalah hantu, sedangkan Jeliteng itu jin. Apa bedanya?
Anna dulunya adalah manusia biasa seperti aku. Namun karena ia bunuh
diri, rohnya tidak tenang di alam baka dan gentayangan di dunia.
(Pintu hlm. 62)
(34)
Pemanas ruangan seperti kembali bekerja baik di kamarku. Anna
sudah pergi. Tapi ....sehelai rambut pirang tergeletak di bantalku! Rupanya
semalam suntuk Anna ada di sini. Entah mengapa mataku menuju kalender
di dinding...... Ops, nggak salah? Kemarin tanggal 15 Desember! Cerita itu
benar!
(Pintu hlm. 62)

Dunia leluhur Bowo di telusuri lewat jalur omongan Yangti, ataupun

pengalaman pribadinya yang erat akan budaya Jawa semakin mengasah

kemampuan indera keenam Bowo. Seperti pada kutipan (35) dan (36) berikut.

(35)
Yang aku tidak habis pikir, Yangti yang keturunan Sunan Kalijaga
juga percaya kejawen. ”Eyang kakung belajar kebatinan, terutama
kejawen. Beberapa filsafat hidup ilmu itu bermanfaat”, demikian kilahnya.
Lebih lanjut Yangti berkata kejawen bukan berarti ilmu gaib atau
hal-hal gaib lainnya. Justru kondisi spiritual bisa diraih jika sesearang
percaya penuh kepada Gusti Allah, atau Yangti menyebutnya, Gusti
Pangeran. Mereka yang ingin mencapai kedamaian hidup dan ilmu
pengetahuan yang sebenarnya harus melakukan hal-hal yang baik.
(Pintu hlm. 26)
(36)
Aku tahu Yangti bukan orang biasa. Mpok Nyit juga bukan orang
biasa. Tapi Yangti luar biasa dalam hal lain. Bukan karena darah yang
mengalir di tubuhnya tapi karena aura Yangti sendiri. Berdekatan apalagi
berbicara dengan wanita berusia tujuh puluh delapan tahun ini seperti
membawa suatu energi.
(Pintu hlm.26)

Bowo merupakan tokoh utama dalam novel Pintu. Selain cerita tentang

mata ketiga yang menjadi kelebihan Bowo, yang semakin menarik adalah cerita

tentang cintanya.
Bowo memiliki hubungan dengan Erna ketika masih pacaran dengan Putri.

Bowo mengenal Erna di pesta Permias (Persatuan Mahasiswa Indonesia di

Amerika Serikat). Mereka kemudian tinggal bersama. Dan hubungan Bowo

dengan Putri menjadi putus. Tapi pada akhirnya Bowo menikahi Aida tanpa

proses pacaran. Bowo mengenalnya ketika ajang antarsiswa di Jawa Barat.

Kutipan (37) dan (38) menggambarkan petualangan cinta Bowo yang penuh liku.

(37)
Pacarku bernama Putri Kemuning, teman June. Kami langgeng
pacaran hingga aku berangkat ke Amerika Serikat, untuk sekolah di
Chicago. Di Amrik pun aku masih pacaran dengan Putri hingga datang
wanita lainnya.
(Pintu hlm. 4)

38)
Lewat June Putri berpesan bahwa ia tidak mau lagi berhubungan
denganku dalam bentuk apapun. Aku merasa kalah. Kalah melawan nafsu.
Mengapa aku bisa terjerat pada Erna? Bukankah Putri lebih baik dari
segalanya? Apa yang membuatku kalap?
(Pintu hlm. 78)

Perjalanan cinta Bowo yang lain berlabuh pada sosok Paris, perempuan

yang dikenalnya di New Orleans. Kekaguman Bowo pada Paris tergambar pada

kutipan berikut.

(39)
Aku mengangguk, masih mengagumi kecantikannya. Belum lagi
rambutnya yang mirip gadis sunsilk, bergoyang-goyang saat ia bicara.
Iseng-iseng aku mengecek auranya, hm.......kadang berwarna-warna,
kadang kecokelatan, artinya berbagai perasaan bercampur.
(Pintu hlm.93)

Sebenarnya, Paris sudah menikah. Paris hanya menjadikan Bowo sebagai

pelarian saat suaminya pergi bekerja sebagai sopir truk tailer yang mengantar
barang-barang kontainer ke luar kota. Hubungan Bowo dengan Paris semakin

mendalam, perselingkuhan pun akhirnya terjadi di antara mereka. Kutipan (41)

merupakan gambaran perselingkuhan Bowo.

(40)
Paris kemudian menarik tangan kananku agar aku mengikuti
langkahnya ke kamar berdinding kecokelatan dengan lampu yang redup.
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi bibir Paris yang merah tebal itu
seperti hendak melumatku. Aku tidak menolak. Siapa yang bisa?
Paris menelentangkan tubuhnya di tempat tidur Queen size.
Tubuhnya yang voluptuous, berlekuk sempurna tergolek seperti menanti.
Tubuhku menjadi panas dan penisku perlahan mengalami ereksi. Seperti
magnet, aku berjalan kearahnya.
(Pintu hlm.105)

Masalah-masalah yang dialami oleh Bowo mewarnai cerita dalam

petualangan indera keenamnya. Di mulai pada saat Bowo diterima Sipenmaru

(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di ITB di Jurusan Teknik Geodesi di tahun

1987. hari-hari awal di ITB Bowo sempat di rawat di Rumah Sakit Boromeus

karena ulah seniornya, Nico. Bowo melaporkannya ke Pembantu Dekan dan Nico

diskors satu semester. Kutipan (41), (42), dan (43) merupakan konflik yang

dialami Bowo, sehingga ia harus pindah kuliah di luar negeri.

(41)
”Diam deh ’Wie. Dengar ya, Nico mati tadi malam di warung sate
si Udel. Ada bekas tusukan di perutnya, katanya sih ususnya pake acara
keluar segalanya. Nggak tau deh, cerita macem-macem, yang jelas Nico
mati. Titik. Eh, belum titik....polisi datang ke kampus intuk interogasi.
Katanya mereka mau ketemu kamu. Kabar gosip sih kamu dijadikan salah
satu tersang....”
(Pintu hlm. 48)
(42)
Aku tercekat. Ya Gusti! Apa benar Nico mati gara-gara luka
sabetan si Udel? Aku tahu Udel punya celurit layaknya orang Madura lain.
Tidak ada yang tahu ini selain aku.
(Pintu hlm. 49)

(43)
Rupanya Mama dan Papa takut Udel akan mencariku ketika
keluar dari penjara. Mama terutama, sangat kuatir jika Udel memporak-
porandakan masa depanku. Mama hanya memberikan waktu dua bulan
untuk berkemas-kemas, siap berangkat ke Amerika Serikat. Ya, sekolah di
luar negeri.
(Pintu hlm 54)

Masalah ekonomi menjadi masalah yang penting bagi Bowo. Hal itu

terjadi karena Papanya berhenti dari kerja dan hanya mengirim uang untuk

sekolah, sedangkan untuk keperluan sehari-hari Bowo harus memikirkannya

sendiri. Kutipan (44) menggambarkan permasalahan ekonomi yang di alami oleh

Bowo.

(44)
Keadaan keuanganku yang tidak pernah baik kini bisa dikatakan
nyaris bangkrut. Koleksi compact discku yang menumpuk perlahan kujual
ke toko cd bekas ataupun kepada teman-teman di kampus. Sampai
akhirnya, tidak ada lagi yang bisa kujual. Masih sih, ada beberapa
koleksiku, tapi aku tidak bisa menjualnya! Beberapa CD Rolling Stones
adalah kesayanganku, belum lagi pembelian dari Putri.
(Pintu hlm.81)

Sampai akhirnya kesulitan Bowo diketahui oleh Antonio Bonano teman

kuliahnya dan menawarinya pekerjaan dengan gaji dua ribu dolar. Seperti

tergambar pada kutipan (45) berikut.

(45)
Begitulah. Setiap bulan aku mendapat pesanan kerja dua hingga
tiga proyek. Pekerjaannya sendiri lumayan mudah untukku. Misalnya saja,
pernah Antonio menyuruhku mencari tahu strategi bisnis ”Light Up”,
nama sebuar bar di kota. Pernah juga aku hareus membuka beberapa
laporan tahunan perusahaan via internet. Satu pekerjaan paling lama hanya
membutuhkan waktu dua minggu, itu pun waktu terbanyak untuk mencari
tahu kata kuncinya. Anehnya, terkadang kunci rahasia itu seperti samar-
samar muncul di layar setelah aku berkonsentrasi. Hm.....mungkinkah
karena kelebihan mata ketigaku.
(Pintu hlm.85-86)

Pekerjaan Antonio merupakan pekerjaan gelap yang menjerumuskan

Bowo ke penjara. Proyek terakhir Bowo adalah membongkar sistem komputer

Social Security, sebuah lembaga pemerintahan yang mengurus mulai dari kartu

penduduk hingga dana pemerintahan. Bowo di tahan polisi selama dua hari karena

mereka berhasil melacak bahwa sistem komputer mereka kebobolan dan sumber

pembobolnya dari apartemen Bowo.

Indera keenam yang dimiliki Bowo membuatnya harus mengalami

petualangan yang tidak pernah terbayangkan oleh Bowo. Indera keenamnya

mengharuskan dia untuk mengalami petualangan tentang cinta yang penuh liku-

liku dan petualangan kehidupan yang menakjubkan sehingga dapat dijadikannya

pelajaran hidup yang berharga.

4.1.3 Konteks Sosial novel Atap

Atap menyempurnakan sebuah bangunan rumah. Atap adalah tempat di

mana kita tinggal pada saat kita pulang ke rumah. Atap adalah akhir dari trilogi

novel Jendela-jendela dan Pintu. Novel ini merupakan percakapan antara adik dan

kakak, June dan Bowo. Di Atap June dan Bowo saling bercerita tentang

kehidupan.
(46)
Mas Bowo, pernahkah aku cerita tentang Mr. X? Huh, ya Mr.X!
dia lagi, dia lagi...Mr. X lagi! Itu orang dari dulu tidak bosan-bosannya
menghujaniku dengan puisi via e-mail. Siapa dia? Mr. X pasti orang yang
mengenaliku, kalau tidak bagaimana ia selalu menemukan puisi cinta yang
pas? Aduh...siapa sih? Enam bulan sudah aku tanya sana-sini, bagaimana
caranya mencari nama yang sebenarnya.
(Atap hlm. 7)

Kutipan (46) June mengawali ceritanya tentang Mr. X pengagum gelapnya

kepada Bowo kakaknya. Kutipan (47), (48), dan (49) menceritakan terkuaknya

Mr. X.

(47)
Mau tahu siapa Mr.X, Mas Bowo?
Tidak pernah ada yang mengaku terang-terangnya di hadapanku.
Tetapi sepertinya aku mendapat clue. Suatu sore, aku turun ke lantai dasar
apartemen untuk memeriksa kotak surat seperti biasanya.
(Atap hlm. 272)
(48)
Hei! Baru kali ini Mr.X mengirimku puisi berbahasa Indonesia.
Disebutkan bahwa aku akan tahu dengan membaca puisinya. Mataku
menangkap kata-kata bahasa Ibuku sendiri, bukan kata-kata dari penyair
asing.Mr.X membuat puisinya sendiri. Berarti Mr.X orang Indonesia!
Hmm, bukankah itu artinya ariel.....
(Atap hlm. 274)
(49)
Ariel Sahri! Benar Ariel temanku saat aku bekerja di radio
Internasional Voice. Aku tidak salah lagi. Karena tubuhnya yang tinggi
dan rambutnya yang berombak gondrong itu tidak mungkin bisa
dilupakan. Ariel tidak tinggal dikawasan apartemen sini. Apakah ia baru
pindah? Kalau ia datang mengunjungi temannya, kok ia tidak berkunjung
juga ketempatku? Bukankah ia termasuk salah satu teman baikku saat di
radio?
(Atap hlm.274)

Petualangan cinta Bowo pun semakin menarik. Cinta Bowo kembali

berlabuh kepada Putri walaupun sudah beristri Aida. Kutipan (50) dan (51)

memperjelas cerita cinta Bowo yang penuh liku.


(50)
Mas Bowo akhirnya jadi menikahi Putri setelah mengantongi
surat izin dari Mbak Aida. Aku, Mama, dan Papa hadir tanpa emosi yang
pasti. Prosesinya cepat tanpa tedeng aling-aling. Mas Bowo pulang ke
rumah baru bersama Putri. Lebih tepat, rumah Putri, yang dibelinya sendiri
dari peras keringat sebagai Public Relations.
(Atap hlm. 13)

(51)
Aku membayangkan mbak Aida di rumah di Bintaro mungkin saat ini
ia sedang menangis dan meratap. Izin bisa saja keluar, tapui hati untuk
dibelah, siapa mau? Entah kapan mas Bowo akan tidur bersamanya saat
bulan menerangi, mungkin beberapa hari lagi, mungkin seminggu,
sebulan, entahlah. Yang jelas setiap senja tidak akan sama lagi.
(Atap hlm.13)

Atap juga tempat bercerita tentang perselingkuhan antara June dan Dean

sahabat Jigme, June yang telah tergoda oleh Dean. Seperti pada kutipan (52).

(52)
Mau tahu siapa di mas? Dean Sahi, bekas sahabat Jigme. Ya,
bekas. Persahabatan mereka terpaksa berakhir begitu saja karena aku.
Maafkan aku mas. Aku yang salah, aku telah menggodanya. Aku juga
telah tergoda olehnya. Tidak pantaslah aku menceritakan aib lainnya ini.
Untung Tuhan mengingatkan aku untuk kembali kepada Jigme. Walaupun
rasanya sangat menyakitkan, namun Tuhan memberi jalan. Ia
melemparkanku keluar dan aku ditinggalkannya dengan penyakit kelamin.
Kurang apa? Aku tidak mau melihatnya lagi. Aku muak padanya, pada
gayanya yang perlente dan menggodaku.
(Atap hlm. 190-191)

Bowo pun bercerita pada June tentang petualangan indera keenamnya.

Bowo bisa melihat Kanjeng Ratu Kidul. Hanya orang yang mwemiliki indera

keenam yang dapat melihat Kanjeng Ratu Kidul. Seperti pada kutipan (53) dan

(54) berikut.

(53)
Mungkinkah maksudnya karena aku terlahir istimewa dengan
indera keenam atau mata ketiga? Atau karena laku batinku?
”Kanjeng Ratu Kidul akan menampakkan dirinya padamu besok”,
kata laki-laki tua tadi.
”Bagaimana Bapak bisa tahu?”
Lagi-lagi dia terkekeh. ”Kamu beruntung! Aku saja sudah puluhan
tahun di sini membantu juru kunci bari melihat beliau sekali, itu juga
setelah puasa, meditasi, dan laku batin lainnya. Kamu? Ah, sungguh
beruntung.........”
(Atap hlm. 248)

(54)
Benarkah hanya aku yang melihat? Pasti benar! Jika tidak orang-
orang tadi akan berlari, berhamburan ingin menyentuh bayangan Kanjeng
Ratu Kidul. Aku saja ingin bersalaman, hanya saja ia memang tidak mau
disentuh. Perasaanku seperti bunga-bunga, timbul rasa bahagia yang tidak
bisa dilukiskan.
(Atap hlm. 249)

Ketika memilih pasangan hidup, mata ketiga Bowo turut memberikan

kejelasan dan pandangan. Saat Bowo menikahi Aida, Jeliteng mengatakan bahwa

Putri merupakan jodohnya kelak. Hal ini terungkap pada kutipan (55) dan (56)

berikut.

(55)
Jeliteng menggeleng. Ia bilang, ini mungkin terakhir kalinya ia
bertemu aku. Bukankah dulu ia berjanji akan bertemu aku? Katanya ya,
karena besok aku akan bertemu jodohku.Putri dikatakan adalah jodohku
yang pas. Dengan putri hidupku akan bahagia. Lalu bagaimana dengan
Aida. Jeliteng menggeleng, tidak mau berkomentar. Kata Jeliteng, ia
mengabarkan persahabatannya denganku kepada ratu. Bahkan tanpa
diminta, ratunya itu ’melihatku’. Aku geli sendiri waktu disebutkan kalau
menurut orang-orang disana, dilihat dari mata batin, aku ini ’bersinar’.
Ratu Kidul juga merestui pernikahanku, tak kurang ia dan seluruh kerajaan
melakukan prisesi khusus untuk kesembuhan Putri.
(Atap hlm. 226)

(56)
Sekelebat aku melihat bayangan seorang perempuan matang,
berambut panjang tebal berurai mengenakan kebaya hijau. Ia tersenyum
dan mengangguk sebelum ijab kabul pernikahanku dilaksanakan.
Benarkah ia Kanjeng Ratu Kidul?
(Atap hlm. 227)
Atap juga bercerita tentang akhir dari petualangan June dan Bowo. Mereka

bahagia dengan pasangan hidupnya. June dengan Jigme dan Bowo dengan Putri

serta anak-anak mereka sebagai hasil cinta kasih. Kebahagiaan June dan Bowo

terungkap jelas pada kutipan (57) dan (58).

(57)
Jigme keluar dari pintu kamar. ”Sayang putrimu menangis!”
”Ibu datang, anakku sayang, susumu menanti......”
(Atap hlm. 279)

(58)
Putri keluar dari kamar. ” Mas Bowo, anakmu sepertinya
mencarimu ”.
”Aku akan kesana segera”.
(Atap hlm. 279)

June dan Bowo adalah adik kakak yang saling bercerita tentang

pengalaman kehidupan yang mereka alami. June dan Bowo saling bertukar

pengalaman tentang hidup dan kehidupan, tentang rumah tangga, pekerjaan

bahkan tentang cinta. Cerita tentang perselingkuhan yang mereka lakukan. Dan

perjalanan kehidupan mereka yang berakhir bahagia.

4.2 Latar Belakang Kehidupan Sosial Budaya Pengarang

Dwifira Maharani Basuki merupakan nama lengkap dari pengarang novel

trilogi Jendela-jendela, Pintu, danAtap Fira Basuki. Ia lahir di Surabaya, 7 Juni

1972. Setelah lulus dari SMU Regina Pacis di Bogor tahun 1991 ia meneruskan

studi Jurusan Antropologi, Universitas Indonesia sebelum akhirnya setahun

kemudian ditransfer ke Jurusan Communication-Journalism di Pittsburg State

University, Pittsburg-Kansas, USA. Hingga di musim panas 1995 lulus dengan


gelar Bachelor of Arts. Selanjutnya, selama musim panas hingga musim gugur

1995 ia meneruskan studi master di jurusan Communication-Public Relation,

Pittsburg State University. Selama musim semi hingga musim panas 1996 ia

mengambil studi di bidang yang sama di Wichita State University.

Pengalaman menulisnya cukup banyak, diantaranya pada masa SMU ia

pernah menjuarai berbagai lomba menulis, baik yang diselenggarakan oleh

majalah seperti Tempo dan Gadis, maupun oleh instansi seperti Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, LIPI, dan FISIP-UI. Menulis akhirnya menjadi

dunia Fira Basuki. Ia juga pernah bekerja di majalah Dewi dan pernah menjadi

kontributor pada beberapa media asing seperti Sunflower, Collegio, dan Morning

Sun di Kansas, USA. Dunia Broadcast juga pernah dirambah Fira, antara lain

sebagai anchor/host pada CAPS-3 TV, Pittsburg, Kansas. Kini ibu dari Syaza C.

Galang dan istri Palden T. Galang ini tinggal di Singapura dan bekerja sebagai

part-time presenter pada radio Singapore International sekaligus sebagai

kontributor majalah Harper’s Bazaar-Indonesia.

Novel pertamanya, Jendela-jendela, telah dicetak ulang dalam lima bulan

pertama. Kini penerbitannya dalam bahasa Inggris bahkan akan di sinetronkan

dengan penulis skenario Arswendo Atmowiloto. Boleh dikatakan judul maupun

isi cerita dalam novel-novel Fira Basuki sarat dengan pola budaya Jawa, seperti

diakuinya sebagai orang Jawa ia sudah akrab dengan pola hidup budaya Jawa, apa

yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai orang Jawa. Sejak kecil Fira sudah

menyenangi buku-buku kuno seperti Serat Centhini misalnya, tapi juga senang
mempelajari budaya daerah lain hingga ketika di SMP ia pernah meraih juara I

menulis tentang budaya Sunda.

Novel Jendela-jendela menjadi buku menurutnya adalah sebuah kebetulan

yang membuka kesempatan untuknya menjadi penulis yang kini dikenal

pembacanya. Awalnya ketika seorang teman wartawan yang sedang mendapat

beasiswa menyelesaikan pendidikan S2 di Singapura singgah di rumah Fira, ia

melihat novel Jendela-jendela yang kemudian dipinjamnya dan dibawa ke

Jakarta. Ternyata novel itu cukup bagus untuk diterbitkan dan kemudian berlanjut

ke novel Pintu dan Atap yang melengkapi triloginya.

Trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap mengisahkan konflik percintaan,

dengan detail mistis kejawen, dan hubungan interaksi didalamnya. Judul-judul

novel trilogi Fira mengambil bagian-bagian dari rumah yaitu Jendela, Pintu, dan

Atap. Menurutnya, orang tua di Jawa umumnya mendoakan anaknya yang sudah

menikah agar cepat memiliki rumah buka benda lainnya, karena rumah menjadi

harta terpenting bagi orang Jawa sebagai tempat untuk kita berteduh didalamnya.

Fira Basuki yang dikenal sebagai penulis cerita remaja dengan bahasa

yang segar, kini lebih memfokuskan pada cerita-cerita untuk dewasa. Menulis

baginya, bukan merupakan suatu tekanan tapi justru saat-saat menulis merupakan

saat yang membahagiakan dan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bersuamikan

Palden Tenzening Galang, pria beribu Tibet dan Ayah Philipina membuat Fira

semakin senang mempelajari budaya dunia, ia banyak bertanya tentang budaya

Tibet pada ibu mertuanya dan budaya Philipina pada ayah Palden yang kemudian

menjadi bagian dalam novel-novelnya. Kisah-kisah dalam novelnya dia ambil dari
berbagai pengalaman baik pribadi, orang lain bahkan mimpinyapun jadi bahan

tulisan yang kemudian ia rangkai dengan tempat-tempat sesungguhnya juga

dengan sejarah dan budaya. Ibu dari Syaza Calibria Galang sering diundang di

SMU-SMU untuk mengajarkan bagaimana menulis yang baik. Menurutnya, inti

mengarang ada dua hal, pertama mencintai menulis atau mengarang itu sendiri

tanpa memiliki pamrih apa-apa, mendapat popularitas misalnya. Dan menjadi diri

sendiri, apa yamg dipikirkan dan dirasakan untuk kemudia dituangkan dalam

tulisan tanpa kita memikirkan apakah nanti tulisan kita akan dibaca orang atau

tidak maka kita akan mendapat hambatan dalam berkarya, kita akan merasakan

tertekan dan kecewa bila tulisan kita tidak dibaca orang. Maka menulislah dengan

hati nurani kita dan kita akan merdeka menuangkan isi pikiran kita dalam tulisan.

Dari seluruh novel yang telah diciptakan, Fira menyukai novel “Pintu”

yang menceritakan kehidupan seorang tokoh utama yang memiliki “mata ketiga”

atau indera keenam, alasannya karena tokoh utamanya pria. Sekalipun sempat

menampilkan tokoh utama pria dalam novelnya, karya- karya Fira yang lain

terkesan feminim. Tapi menurut Fira, ia hanya menulis apa yang dia pikirkan.

Cerita perselingkuhan yang sering muncul dalam novelnya bukan bahasan utama

karena ada juga bahasan tentang kebudayaan. Ide pembuatan novel muncul pada

saat teman-teman Fira curhat. Menurutnya, orang perlu untuk merefleksikan diri

bahwasanya kadang-kadang perselingkuhan terjadi bukan karena keinginan orang

itu sendiri.
4.3 Pandangan Dunia Pengarang yang terefleksi dalam Novel Trilogi

Jendela-jendela, Pintu, dan Atap

Dalam pendekatan strukturalisme genetik, tokoh dan penokohan

dipusatkan pada tokoh problematik (problematic hero). Seorang tokoh dapat

ditentukan sebagai tokoh problematik dalam sebuah novel adalah ketika tokoh

tersebut mempunyai wira bermasalah yang berhadapan dengan kondisi sosial yang

memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (authentic

value).

Novel Jendela-jendela, Pintu, dan Atap mempunyai tokoh problematik

yang sama karena ketiga novel ini saling berkelanjutan. Berdasarkan pembacaan

heuristik dan hermeutik dapat diketahui bahwa tokoh problematiknya adalah June

Larasati Subagio (June) dan Djati Suryo Wibowo Subagio (Bowo).

June dan Bowo ditentukan sebagai tokoh problematik karena ia merupakan

tokoh yang banyak menghadapi masalah dalam setiap peristiwa cerita. Dari

masalah-masalah yang dihadapi oleh tokoh problematik itulah pengarang

memberikan solusi-solusinya. Solusi yang ditawarkan oleh pengarang bukan

merupakan pandangan dunia pengarang itu sendiri sebagi individu, tetapi sebagai

salah satu kelompok sosial masyarakat tertentu.

Tema dalam trilogi novel Jendela-jendela, Pintu, dan Atap secara garis

besarnya adalah kehidupan sosial tokoh utama cerita, yakni kehidupan sosial June

dan Bowo. Jendela-jendela menceritakan kehidupan sosial June, Pintu

menceritakan kehidupan sosial Bowo dan Atap bercerita mengenai kehidupan

sosial kedua tokoh June dan Bowo. Membaca satu novel akan menemukan cerita
tersendiri secara terpisah. Membaca ketiga novel tersebut akan menemukan suatu

hubungan yang sangat erat dan berkaitan.

Latar cerita dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap karya

Fira Basuki bertempat di Indonesia, Amerika Serikat, dan Singapura dengan

budaya Jawa yang kental. Cerita dalam nonel trilogi jendela-jendela, Pintu, dan

Atap berawal dari tahun 1987, seperti dijelaskan pada kutipan berikut.

(59)
Tahun 1987, aku memutuskan untuk bersekolah di Bogor setelah
tahu orang tuaku berencana akan mengirimku kuliah ke Amerika. Ya, aku
pikir hitung- hitung belajar hidup sendiri. Jadi, aku kos, menyewa kamar
sendiri.
(Jendela-jendela hlm. 65)

Pada dasarnya novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap karya Fira

Basuki mempunyai tiga alur. Namun dalm penelitian ini dibuat menjadi satu alur

cerita karena novel ini berkelanjutan, sehingga untuk mengetahui keseluruhan isi

cerita harus membaca ketiga novel tersebut. Dengan demikian pembaca tidak

memahami cerita secara parsial akan tetapi dalam jalinan keseluruhan. Tahap awal

dimulai dengan tahap perkenalan. Tahap perkenalan dalam novel trilogi Jendela-

jendela, pintu, dan Atap dimulai dengan penggambaran tokoh June dan Bowo

sebagai tokoh problematik. Tahap tengah merupakan konflik yang dialami oleh

tokoh utama June dan Bowo. Diantaranya konflik yang terjadi adalah tentang

masalah rumah tangga, perselingkuhan, perekonomian, dan pekerjaan. Dan tahap

akhir adalah klimaks yang terjadi kemudian diakhiri dengan penyelesaian.

Penyelesaian dalam novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap diakhiri dengan

kebahagiaan yang dialami oleh June dan Bowo sebagai tokoh problematik.
Seperti ketika menengok jendela tetangga yang terbuka kita melihat

segalanya, jika benda-benda yang mempunyai makna bagi pemiliknya. ”Jangan

duduk di depan pintu, nggak ilok (tidak baik)”, begitulah salah satu dari budaya

Jawa yang sering diucapkan orang tua. Atap menyempurnakan sebuah bangunan

rumah, atap merupakan bagian akhir dari suatu trilogi. Atap tempat tokoh utama

Jendela-jendela dan Pintu, June dan Bowo bercerita tentang kehidupan sosial

mereka.

Masalah-masalah yang dihadapi tokoh problematik adalah kehidupan

sosial mereka, kehidupan sosial dalam keluarga maupun di masyarakat sekitar

tokoh utama. Kehidupan sosial tokoh utama sebagai tokoh problematik adalah

kehidupan masa sekolah di SMA, masa kuliah, pacar, cerita tentang suami atau

isteri, tentang pekerjaan bahkan tentang perselingkuhan.

4.3.1 Pandangan Dunia Pengarang tentang Perselingkuhan

Pandangan Fira Basuki tentang perselingkuhan adalah bahwa terkadang

perselingkuhan terjadi bukan karena keinginan orang itu sendiri. Tokoh

probelmatik June dan Bowo melakukan perselingkuhan. June berselingkuh

karena kurangnya perhatian dari suaminya, Jigme sering pulang malam karena

sibuk dengan pekerjaannya, sehingga June merasa kesepian. Bowo berselingkuh

ketika masih berpacaran dengan Putri. Bowo berselingkuh karena faktor ekonomi,

mulai menipisnya uang simpanan untuk membayar biaya sewa asrama. Sehingga

dia menerima untuk tinggal bersama Erna dan perselingkuhan pun terjadi.
(60)
Akhir-akhir ini Jigme sering pulang malam. Pekerjaannya sebagai
produser sebuah rumah produksi memaksanya untuk ikut serta setiap kali
ada syuting. Terkadang aku merasa Jigme kerja terlalu keras tanpa bayaran
yang berarti.
(Jendela-jendela hlm.21)
(61)
Aku mulai merasa sepi, sendiri. Kalau sudah begini, aku rindu
pada Pittsburg, bukan Whicita dan juga bukan Jakarta. Mengapa
Pittsburg? Tanpa menyinggung soal Aji, sebenarnya kalau semua terserah
aku, tinggal di Pittsburg adalah pilihanku.
(Jendela-jendela hlm.22)

Kutipan (60) dan (61) penyebab June berselingkuh dari Jigme. Jigme yang

sering pulang malam membuat June merasa kesepian. Kutipan (62) berikut

merupakan penyebab terjadinya perselingkuhan Bowo dengan Erna.

(62)
Ceritanya bermula dari menipisnya uang simpananku. Orang tuaku
mendadak hanya mengirimkan uang sekadar untuk membayariuran
sekolah. Aku terpaksa kerja sambilan sebagai ahli pembantu di
laboratorium komputer. Tetap saja uang yang kudapat tidak mencukupi
untuk membayar biaya sewa asrama. Disitulah Erna mengulurkan
tangannya.
”Bowo, tinggal sama aku saja. Aku nggak keberatan kok.
Kamarnya Cuma ada satu sih....jadi kamu terpaksa tidur di sofa ruang
tengah”, ujarnya kala itu.
(Pintu hlm.69)

Perselingkuhan terjadi karena ada faktor penyebabnya dan ada peluang

untuk melakukan perselingkuhan. Tidak seharusnya kita sebagai manusia

menganggap jelek bahwa seseorang telah berselingkuh. Mungkin juga

perselingkuhan itu karena perselingkuhan itu bukan keinginannya sendiri. Akibat

dari suatu kejadian pasti ada penyebabnya.


4.3.2 Pandangan Dunia Pengarang tentang Ekonomi dan Budaya

Fira Basuki menceritakan berbagai sisi menarik dari cerita novel yang

telah diciptakannya. Di antaranya berbagai budaya dari negara lain yang menjadi

latar cerita novel.

(63)
Halal? Ya, aku lupa, Singapura tidak seperti Indonesia, dimana
semua pasar atau supermaket menjual daging sapi halal. Untuk seortang
muslim, setiap kali harus memeriksa apakah daging dan makanan yang
mereka beli bercap halal. Sementara aku tidak pernah berpikir kearah situ.
Setahuku, asal bukan babi, misalnya, ya halal. Kalau tidak begitu, apa
yang akan aku lakukan selama tinggal lima setengah tahun di Amerika?
Apa aku harus bertanya ini halal atau tidak setiap kalinya?
(Jendela-jendela halm.20-21)

Kutipan (63) menggambarkan bahwa budaya Singapura dan Indonesia

berbeda. Misalnya dalam hal makanan, Indonesia lebih selektif karena

memperhatikan halal atau tidaknya makanan itu untuk dikonsumsi. Dalam hal

ekonomi Singapura lebih baik dan lebih maju dari Indonesia. Hal ini dilihat dari

banyaknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Singapura. Seperti pada kutipan

berikut.

(64)
Yang benar, di Singapura orang asing tidaklah selalu kaya.
Banyak pejerja kasar, seperti kuli bangunan dan bagian cleaning service,
adalah orang-orang yang berimigrasi dari India dan Bangladesh. Banyak
pula pembantu rumah tangga dan pekerja pelabuhan yang berasal dari
Indonesia, Filipina dan Thailand. Maklumlah, Singapura memang
kekurangan tenaga kerja. Selain itu, orang-orang yang datang dari negara
Asia, rela bekerja apa saja asal mendapat gaji lebih. Asalkan
berpenghasilan dolar Singapura dan bisa mengirim sanak saudara, siapa
yang peduli hidup susah di negeri orang?
(Jendela-jendela hlm.46)
Budaya Jawa pun sangat kental dalam cerita novel trilogi Jendela-jendela,

Pintu dan Atap. Kutipan (65) dan (66) berikut menggambarkan budaya Jawa

mengiringi perjalanan hidup dari tokoh utama.

(65)
Namun, lagi-lagi, aku si bayi kuning. Kuning bukan hanya
seminggu, tapi hingga sebulan. Tidak disinari dan tidak diapa-apakan.
Berlainan dengan sudut pandang kedokteran, bayi kuning menurut orang
Jawa justru adalah ’istimewa’, suatu pertanda bahwa si jabang bayi adalah
’orang pilihan’ atau titisan. Untuk menghilangkan warna kuning badan,
diadakan prosesi banyu gege untukku, yaitu mandi dengan air hangat yang
di jemur matahari.
(Pintu hlm.10)
(66)
Menurut Yangti, dalam literatur Jawa Kuno dikenal adanya kitab
Jangka Jayabaya. Kitab ini disebut-sebut pakar sejarah sebagai isyarat
kerohanian sejarah Nusantara masa lampau hingga masa depan.
Ciri-cirinya? Satria Piningit adalah seorang yang usianya muda
atau berjiwa muda, bersifat satria yaitu gigih, berani dan bertanggung
jawab (ksatria). Disebut piningit atau artinya disimpan, karena
kedatangannya yang diidam-idamkan dan tepat pada masanya.
(Pintu hlm.136)

Kutipan (67) dan (68) merupakan gambaran lain tentang budaya Jawa. Di

pedesaan Jawa masih terdapat tradisi anak-anak bermain di halaman saat bulan

purnama. Dan tentang bibit, bebet, bobot dalam budaya Jawa yang harus

dipikirkan dalam mencari istri ataupun suami.

(67)
Dulu, di pedesaan Jawa, terdapat tradisi, anak-anak bermain di
halaman saat bulan purnama. Menyanyi dan menari adalah kebiasaan
mereka, walaupun kini depertinya hal itu sudah jarang ditemui. Jadi aku
beruntung, masih bisa berjumpa dengan anak-anak desa yang menyanyi
ini.
(Pintu hlm.142)
(68)
Putri. Kenapa lagi-lagi nama itu muncul? Cukup. Aku sudah capek.
Mencari perempuan mudah, tapi bukan untuk mencari istri. Yangti selalu
mewejangiku kalau bisa mencari istri yang bibit, bebet, bobot. Bibit yaitu
berasal dari keluarga dan keturunan yang baik-baik, bebet yang bisa
memberikan keturunan yang baik, dan bobot yaitu yang berakhlak atau
berbudi tinggi.
(Pintu hlm.150)

Di dalam budaya Jawa yang paling utama adalah bahasa Jawa. Kutipan

(69) dan (70) melengkapi budaya Jawa yang ada dalam setiap cerita novel trilogi

Jendela-jendela, Pintu dan Atap.

(69)
”Ampun, Jeng Ayu. Dalem nyuwun duko Jeng Ayu (saya minta
maaf), isak Mbok Kinem bersimpuh di hadapanku.
Aku terpana. Pertama, karena perempuan itu nyaris seumuran
Mama, ibu dari empat anak itu merendahkan dirinya dihadapanku. Kedua,
karena aku tidak pernah menyangka ia berbuat tidak jujur, berhubung
bertahun-tahun telah teruji kesetiaannya pada keluarga kami.
(Atap hlm.35)
(70)
”Dalem ngaku salah. Dalem yang mengambil uang itu.....” Suara
tangisnya memilukan, menusuk-nusuk ragaku. Aku memegang kedua
tangannya dan mengajaknya berdiri.
”Ya sudah Mbok. Lain kali kalau Mbok memang butuh uang dan
sedang dalam kesulitan ya bicara terus terang saja padaku. Nggak apa-apa
kok Mbok, nanti kalau bisa pasti aku membantu”, kataku.
(Atap hlm.36)

Budaya Tibet dan Singapura lebih menonjol dalam novel trilogi ini.

Diantaranya, budaya ramal-meramal yang menjadi budaya Tibet dan budaya kiasu

Singapura. Hal ini dikarenakan tokoh utama June yang bersuamikan orang Tibet

dan menetap di Singapura.


(71)
Ramal-meramal ini sepertinya menjadi tradisi orang Tibet. Setiap
anak bisa dibilang harus melalui proses ramal-meramal. Ini penting, sebab
jika si anak adalah reinkarnasi seorang Lama terkenal dan nasibnya harus
pergi ke biara untuk menjadi seorang bikhu, maka sedini mungkin harus
dilaksanakan.
Dari sisi hiburan, tradisi ini menjadi ajang temu keluarga. Si
peramal diundang ke rumah anak yang mau diramal dengan segenap
keluarga mengelilinginya. Sebelum meramal, si peramal akan berteriak
”lha dre mi co-nang-chig” atau dewa,setan dan manusia, semuanya
menunjukkan reaksi yang sama. Kemudian jika hasil gambaran masa
depan orang yang diramal ternyata cerah dan menggembirakan, maka
kerumunan akan berteriak ”Ha-le ha-le” (luar biasa)
(Atap hlm. 87-88)

(72)
Long queue di Singapura adalah hal yang lumrah dan bisa ditemui
dimana-mana. Orang-orang Singapura gemar mengantre. Jika mereka
melihat suatu antrean, pasti tdak lama kemudian mereka ramai-ramai ingin
tahu tentang apa yang di antre. Biasanya apalagi jika ada sesuatu yang
gratis, mereka pasti tidak akan melewatkannya.
Ada budaya kiasu, yaitu budaya tidak ingin ketinggalan. Yang
terparah, aku ingat pernah waralaba Mc Donald’s di Singapura memberi
hadiah gratis boneka Hello Kitty edisi millenium, banyak orang, bukan
saja anak-anak, tapi ibu-ibu hingga bapak-bapak ikutan mengantre.
(Atap hlm.89-90)

Kutipan (71) dan (72) merupakan sisi lain dari budaya Tibet dan

Singapura. Budaya tersebut mengiringi setiap cerita dan perjalanan dari tokoh

utama novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap. Budaya Amerika Serikatpun

sangat menarik, salah satunya adalah kota Pittsburg dan Chicago yang menjadi

latar cerita tokoh June dan Bowo. Kutipan (73), (74) dan (75) gambaran singkat

tentang budaya tersebut.

(73)
Untung ada Pittsburg State University yang membuat kota ini
lebih hidup, jadi walaupun penduduk kurang, paling tidak sekitar 20
hingga 24 ribu orang masih tinggal.
Setiap tahun untuk mengenang kejayaan kota ini, mulai tahun 1984
diadakan Little balkans Days setiap Labor Day atau hari buruh, sekitar
awal September. Ada parade pakaian tradisional ala Balkan, ada juga
pameran mobil kuno, lomba masak, pasar malam dan lainnya. Di sinilah
serunya, karena penduduk dan pihak universitas seperti melebur jadi satu.
(Jendela-jendela hlm.5)
(74)
Perayaan juga terasa hangat dan akrab. Selain Little balkan Days di
musim gugur, juga ada Halloween. Jakarta, Singapura, dan negara lain
meniru-niru perayaan Halloween seperti di Amerika, tapi tidak akan
pernah sama.
(Jendela-jendela hlm.25)

(75)
Intinya, kota ini sangatlah indah! Bayangkan the Chicago River
System yang panjangnya sekitar 156 mil mengalir ditengah-tengah kota!
Sering ada festifal dan perayaan di sekitar sungai mulai dari festifal seni
hingga sungai yang diwarnai hijau saat St. Patricks Day atau harinya orang
yang berasal dari Irlandia. Aku jadi geli sendiri saat Chicago dengan
bangganya mengatakan bahwa sunga mereka diwarnai suatu jenis kimia
yang tidak beracun dan bisa dihilangkan begitu saja. Betapa tidak! Di
Jakarta ’kan banyak sungai yang warnanya hijau alami alias lumut dan
kotoran.....hahaha.
(Pintu hlm.57)

4.3.3 Pandangan Dunia Pengarang tentang Politik

Selain budaya Indonesia, Singapura, Amerika Serikat bahkan Tibet, faktor

politik di Indonesia pun menjadi ide cerita pengarang dalam novel trilogi Jendela-

jendela, Pintu dan Atap. Tahun 1998, Indonesia mengalami krisis moneter dan

gejolak politik. Hal tersebut ditandai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto.

Seperti pada kutipan (76) dan (77) berikut.

(76)
Singapura, Mei 1998. semua orang semakin ramai membicarakan
soal krismon dan gejolak politik yang melanda Indonesia. Ditambah lagi
Presiden Soeharto baru saja mengundurkan diri, setelah ada demonstrasi di
sana-sini.
(Jendela-jendela hlm.87)
(77)
Soal Soeharto ini, aku juga memilih diam. Pantaskah aku
mengomentarinya jika aku tidak tahu pasti, apakah ia terlibat langsung
atau tidak, atas semua penderitaan rakyat? Mungkinkah ia dibohongi anak
buahnya? Mungkinkah ia tidak bersalah? Begitu banyak pertanyaan yang
membuatku malah diam saja.
(Jendela-jendela hlm.89)
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan uraian pada bab IV dapat diambil simpulan bahwa novel

trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap melukiskan pandangan yang dilematis

mengenai kehidupan. Pandangan dunia itu merupakan produk berbagai tingkatan

hubungan konteks sosial novel, latar belakang sosial pengarang, dan pandangan

dunia pengarang itu sendiri.

a. Konteks sosial novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap mencerminkan

kenyataan kehidupan sosial dari tokoh utama June dan Bowo. Kehidupan

sosial dari tokoh utama meliputi kehidupan sosial masa sekolah, pekerjaan,

rumah tangga, indera keenam sampai perselingkuhan yang dilakukan oleh

tokoh utama.

b. Latar belakang sosial pengarang memberikan pengaruh terhadap karya sastra

yang diciptakan. Fira Basuki yang berbudaya Jawa hidup di luar negeri

memunculkan karya novel dengan berbagai budaya sebagai latar cerira novel

yang diciptakannya. Pergaulan Fira Basuki dan lingkungan sekitarnya

mempengaruhi isi cerita novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap.

c. Pandangan dunia pengarang juga memberikan pengaruh pada penciptaan

karya sastra. Fira Basuki lebih menekankan pada segi budaya terutama budaya

Jawa dan segi kemanusiaan dalam setiap karyanya. Pandangan pengarang

dunia tentang perselingkuhan adalah terkadang perselingkuhan terjadi bukan


karena keinginan orang itu sendiri, salah satu pandangan Fira Basuki

mengenai perselingkuhan yang merupakan salah satu fenomena sosial yang

sering terjadi dalam masyarakat. Pandangan dunia pengarang tentang ekonomi

dan budaya bahwa ekonomi di Singapura lebih maju hal ini ditandai dengan

banyaknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Singapura. Soal budaya,

dalam cerita novel trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap masih dipengaruhi

oleh budaya Jawa yang sangat kental. Dan pandangan dunia pengarang

tentang politik yang menggambarkan krisis moneter yang sedang melanda

negara Indonesia serta pengunduran dari presiden Soeharto sebagai orang

nomor satu di Indonesia.

5.2 Saran

Penelitian novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap karya Fira Basuki

dengan kajian Strukturalisme genetik hendaknya dapat dimanfaatkan sebagai

sarana mempertajam pembaca untuk berpikir kritis dalam melihat fenomena

kehidupan di masyarakat.

Novel trilogi Jendela-jendela, Pintu dan Atap karya Fira Basuki masih

dapat diteliti lebih lanjut dari unsur dan dengan pendekatan yang lain untuk

menambah pengetahuan dan keanekaragaman penelitian sastra.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Cristianty, Indri. 2002. Atap, Jendela, dan Pintu. http://www.kompas.com (5


Februari 2005).

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.


Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Widyatama.

Fananie, Zaenuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University


Press.

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Habis Film, Terbit Novel ‘Brownies’. http://www.goldasome.com (5 Februari


2005).

Hardjana, Andre. 1994. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

http://www.figurpublic.com/cgi-bin/c cakrawala.cgi?page=fira Bio (5 Februari


2005)

Iswanto. 1994. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika


Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.

2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha


Widia.

Jabrohim (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha


Widia.

Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.


1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.

1988. Karya Sastra Sebagai Sumber Makna Pengantar


Strukturalisme. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Kementrian
Pendidikan Malaysia.
Pradopo, Rachmad Djoko. 1993. Panduan Pembaca: Teori Sastra Masa Kini.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya.

1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Suharianto, S. 1982. Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.

Sumardjo, Yakob 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur


Cahaya.

1995. Sastra dan Massa. Bandung : Ganesha.

Yati, Lili Suherna. 2004. Novel Bulan Mati di Javasche Oranje, Syahid Samurai,
dan Peluru di Matamu Karya Afifah Afra Amatullah: Kajian
Strukturalisme Genetik. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Semarang.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani
Budianto. Jakarta: Gramedia.

ZF, Zulfahnur, Sayuti Kurnia dan Zuniar Z. Adji. 1997. Teori Sastra. Depdikbud.

Zulliyati, Nurul. 2003. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Lingkar Tanah
Lingkar Air Karya Ahmad Tohari. Skripsi. Universitas Negeri
Semarang. Semarang.
SINOPSIS
JENDELA-JENDELA

FIRA BASUKI

Tokoh utama cerita ini adalah June Larasati Subagio (June). Seorang

wanita Indonesia berdarah Jawa kental. June memutuskan untuk sekolah di Bogor

tahun 1987 setelah tahu orang tuanya akan mengirimnya ke Amerika untuk

kuliah. Di SMA Regina Pacis Bogor, June bertemu dengan Didit. Walapun tidak

pernah resmi menjadi sepasang kekasih, karena agama yang berbeda. Dsidit

beragama Katolik dan June beragama Islam. Tetapi Didit membuat masa remaja

June menjadi manis, dan June pun terlanjur sayang dan jatuh cinta kepadanya.

Sampai pada akhirnya Didit mendapat beasiswa ke Sydney Australia dan

berpacaran dengan Nina teman kuliahnya di Sydney.

June memutuskan untuk kuliah di Amerika Serikat, Pittsburg State

University adalah pilihannya. Ketika kuliah di Pittsburg June berpacaran dengan

Aji Saka yang mempunyai dua kepribadian. Aji terkadang manis, lembut, dan

romantis, tetapi terkadang juga kasar. Karena perlakuan Aji, June pindah kuliah di

Wichita State University. Di Wichita, June bertemu dengan Jigme yang akhirnya

menjadi suaminya.

June menikah dengan Jigme tanggal 5 September 1997 dan langsung

pindah ke Singapura. Jigme adalah orang Tibet. June dan Jigme tinggal di

apartemen HDB atau Housing Development Board, alias rumah susun yang di

bangun pemerintah Singapura. Masalah ekonomipun muncul di kehidupan rumah


tangga June dan Jigme. June sering pergi ke Pawn Shop atau tempat gadai, karena

gaji Jigme tidak mencukupi kebutuhan mereka.

June dan Jigme kehilangan calon buah hati. Kandungan June yang berusia

lima minggu keluar ketika June buang air kecil. Perasaan bersalah June

membuatnya menghukum diri dan mereka jarang melakukan hubungan suami

istri. Karena June takut hal buruk akan terjadi, June takut hamil, takut keguguran

lagi dan takut mengecewakan Jigme.

Jigme semakin pulang malam dan June merasa kesepian. June akhirnya

berselingkuh dengan Dean temannya Jigme. June akhirnya mengaku pada Jigme

bahwa dia telah berselingkuh dengan Dean. Jigme tidak pernah bertanya-tanya

dan menyalahkan June, ia selalu menyalahkan dirinya terlebih dahulu. Sebagai

orang Tibet, ia percaya karma, sebab dan akibat. Jigme selalu yakin, orang yang

bersalah akan selalu menanggung resiko hukumannya. June memelik Jigme erat-

erat. Teramat erat. Siapa sangka Jigme pria yang mudah menerima keadaan.

Pernah ketika Jigme sering pulang malam, June mengira Jigme serong di

belakangnya. Ternyata June salah, Jigme seorang pria yang berhati mulia.

*****
PINTU

FIRA BASUKI

Djati Suryo Wibowo Subagio (Bowo) kakak dari June Larasati Subagio,

merupakan seseorang yang mempunyai kelebihan indera keenam. Bowo lahir

tahun 1968 dengan weton Sabtu Pahing dan memiliki neptu Jawa tertinggi yaitu

18. itu tandanya Bowo bukan orang biasa.

Di saat usia Bowo tiga tahun dia melihat jin yang akhirnya diberi nama

Jeliteng. Pernah suatu ketika Bowo bermimpi bertemu dengan seorang kakek

berambut panjang yang menyuruhnya untuk pergi ke arah timur. Bowo tidak

mengerti apa maksudnya. Sesudah bangun, keinginan untuk memenuhi perintah si

kakek itu tidak terbendung. Bowo harus pergu ke arah timur. Bowo akhirnya pergi

ke Surabaya selama dua hari, tetapi menurut June adiknya dia pergi sudah dua

minggu. Bowo masih merinding ketika mengingat hal itu.

Bowo belajar silat ketika berusia sepuluh tahun. Dia belajar silat dengan

Pak Haji Brewok tetangganya di belakang rumah. Yangti selalu mengingatkan

Bowo, ilmu silat mumpuni tidaklah cukup. Selain tubuh, batin juga harus di asah.

Lebih lanjut Yangti berkata kejawen bukan berarti ilmu gaib atau hal-hal gaib

lainnya. Justru kondisi spiritual bisa diraih jika seseorang percaya penuh kepada

Gusti Allah.

Pengalaman indera keenam selalu dialami oleh Bowo. Bowo pernah

bertemu hantu Anna di asrama Chicago ketika Bowo kuliah di sana. Segala

misteri tentang Anna telah diungkap oleh Bowo.


Kisah cinta Bowo pun menarik. Bowo berpacaran dengan Putri temannya

June. Hubungan Bowo dengan Putri bermasalah dan akhirnya putus. Hal ini

disebabkan Bowo berselingkuh dengan Erna. Bowo terpaksa tinggal bersama Erna

karena menipisnya uang simpanannya. Orang tuanya mendadak hanya mengirim

uang sekadar untuk membayar iuran sekolah.

Bowo pun terpaksa bekerja membantu bisnis keluarga Antonio Bonano

sebagai Hackers, membuka rahasia perusahaan lain via internet dengan bayaran

dua ribu dolar. Pekerjaan itu pun menyeret Bowo ke penjara Amerika karena

membongkar sistem komputer social security. Akhirnya Bowo bebas bersyarat

selama satu tahun.

Sebelum menikahi Aida, Bowo pernah memiliki hubungan intim dengan

Paris yang sebenarnya sudah menikah dengan Anderson. Ketika menikahi Aida,

Jeliteng datang menemui Bowo dan berkata jodohnya belum datang. Pada resepsi

pernikahan Bowo dengan Aida, Putri mantan pacarnya datang untuk memberi

selamat. Yangti menyapa Putri dan mengobrol dengannya. Yangti dengan Putri

lalu berpelukan, tak lama kemudian Putri menjerit memanggil nama Yangti.

Ternyata Yangti telah meninggal dalam pelukan Putri.

*****
ATAP

FIRA BASUKI

Atap adalah tempat June dan Bowo saling cerita tentang kehidupan

mereka masing-masing.

Bowo akhirnya menikahi Putri setelah mengantongi surat izin dari Aida

istrinya. June dan orang tuanya menghadirinya tanpa emosi yang pasti. Bowo pun

pulang ke rumah baru bersama Putri. June pun membayangkan mbak Aida di

rumah Bintaro, mungkinsaat ini ia sedang menangis dan meratap. Saat Bowo

menikahi Aida, Jeliteng jin temannya mengatakan bahwa jodohnya belum datang

dan Putri adalah jodohnya. Di saat pernikahan Bowo dengan Putri, Kanjeng Ratu

Kidul mendatanginya dan memberi restu pada Bowo dan Putri.

June akhirnya tahu siapa Mr.X. Karena baru kali ini Mr.X mengirimnya

puisi berbahasa Indonesia. Disebutkan bahwa June akan tahu dengan membaca

puisinya. Berarti Mr.X orang Indonesia. Berarti Mr.X adalah Ariel Sahri

temannya saat June bekerja di radio International Voice.

June juga bercerita kepada kakaknya Bowo tentang perselingkuhannya

dengan Dean Sahi teman suaminya. June menyesali perbuatannya dan berterus

terang pada Jigme tentang perbuatannya. Jigme adalah suami yang baik, Jigme

tidak pernah menyalahkannya. Dia berkata bahwa perbuatan yang tidak baik pasti

ada balasannya.
June dan Bowo akhirnya hidup bahagia dengan pasangan hidupnya dan

buah hati mereka. June dengan Jigme yang di karuniai anak perempuan dan Bowo

dengan Putri yang mempunyai anak laki-laki.

*****

You might also like