You are on page 1of 3

SMA : Belajar Teknik Berbicara di depan Publik

Mendengar istilah “Story telling”, sambil mengikuti alur cerita film, sejenak pikiranku terbagi 2
(dua) antara menonton alur cerita dan melayang pada 12 tahun yang lalu, tahun pertama ketika
aku masih di bangku SMA. Ada seorang Bapak Guru di sekolahku yang terkenal
kedisiplinannya, dan ketegasannya dalam berbicara dan cukup bijaksana. Teknik mengajarnya
berbeda dari guru yang lain, membuatku kagum padanya.
Kalau guru yang lain, biasanya hanya 1 arah, anak didik diminta untuk mendengar, mencatat,
menghapal, mengerti lalu belajar soal sehingga “Bagaimana memecahkan masalah”, tergantung
Guru. Sederhananya, murid tidak belajar untuk aktif.
Berbeda dengan Bapak Guru ini, setiap mengajar, beliau selalu memiliki teknik untuk
meningkatkan minat/mencegah bosan setiap murid pada pelajaran yang diajarkannya, yakni
PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Beliau mengedepankan teknik 2 (dua)
arah. Dalam teknik ini, tidak hanya Guru yang berperan mengajarkan materi, tapi selain itu anak
didik diminta untuk aktif, tidak hanya dengan mengetahui suatu permasalahan, berdiskusi
membentuk kelompok. Namun sekali waktu (sayangnya sering!) dan tidak tanggung-tanggung,
murid akan diminta menjadi Pengajar alias Guru di depan kelas!
Awalnya teknik ini membuat banyak murid menjadi ketakutan dan resah, tidak terkecuali aku.
Apakah bisa, seorang murid “bertukar tempat” menjadi seorang Guru? Apalagi, Bapak Guru
berada di bangku terdepan, mengisi bangkuku. Alamakkk..takut setengah mati!
Membayangkan saat itu cita-cita menjadi seorang guru belum pupus 100%, sehingga mau tidak
mau harus berani memerankan tokoh guru sejak dini. Intinya, belajar bersama beliau ada
persentase-nya. Deg-degan menguasai materi dan audience 50%, Berani Malu 40%, Takut salah
9%, tapi kesempatan dipuji 1%. Kesimpulan, dari seluruh teknik belajar mengajar bersama
beliau, murid diajarkan untuk :
1. Kuasai permasalahan dan menggali bahan (dengan membaca) sebanyak mungkin,
2. Berani berdiri di depan, menghadap dan sesekali menatap audience yang rata-rata 35 orang
3. Berani mengajar apa yang kita ketahui, termasuk dengan style seorang guru (kapur,
penghapus dan tulisan yang bisa dibaca, tentunya) dan cara menguasai ruangan (berjalan
mengitari ruangan)
4. Tahu bagaimana memancing minat audience untuk mendengar bahkan bereaksi atas yang
dibicarakan (kreatif dan menarik).
5. Berani dikritik, ditanya dan didebat atas apa yang kita ajarkan.
6. Di akhir sesi, guru akan melengkapi apa yang telah kita sampaikan.
Pada saat itu, setiap kali dijadwalkan maju ke depan untuk berperan menjadi seorang Guru,
sebelumnya aku berlatih di rumah dengan bantuan Papan Tulis dan Kapur. Latihan berbicara,
mengerti dan menghapal materi dengan bantuan adikku yang perempuan (kalau Papi hanya
sekali-sekali), termasuk bagaimana posisi/body language ketika mengajar di depan. Hal ini
penting, untuk menilai apakah style kita membuat orang bosan, mengantuk, melotot atau takut?
Haha…
Beruntunglah, cara belajar seperti itu tidak membuatku menjadi kaget menghadapi dunia
universitas. Memerankan tokoh, berdebat dan sebagainya, menjadi hal yang biasa saja. Pun,
ketika merambah mempelajari dunia baru.
Lomba Story Telling
Ketika memasuki lingkungan pekerjaan (yang jauh dari cita-cita menjadi Guru, karena memilih
yang lain) dan keberadaan organisasi intra kantor, aku memutuskan untuk bergabung dengan
bagian Pendidikan. Haha..sepertinya masih tidak jauh-jauh dari dunia pendidikan, meskipun aku
tidak menjadi guru disini.
Bergabung dengan bagian ini membuka daya tarik tersendiri. Berinteraksi dengan anak-anak
sesama pegawai dengan cara melibatkan mereka dalam event tertentu. Story telling, adalah salah
satu bentuk perlombaan yang biasanya diadakan setiap merayakan 17-an (17 Agustus),
disamping Menggambar dan Science Day. Kategorinya juga beraneka ragam, mulai dari bahasa
yang digunakan (Bahasa Indonesia & Bahasa Inggris), ruang lingkup cerita (buku, film atau
peristiwa) bahkan alat bantu yang digunakan (Boneka) dengan klasifikasi rentang usia tertentu.
Meskipun belum pernah menyaksikan langsung lomba story telling, karena keterbatasan personil
sehingga aku harus mengurus lomba lainnya, tetap saja ada cerita yang menggemaskan dari
anak-anak dan mengundang tawa. Keberanian, serta style (termasuk body language) mereka
ketika bercerita yang didukung dengan kemampuan bahasa yang cukup baik, membuat kita
tersenyum. Entah, apakah orang tuanya menyadari, fungsi dari story telling ini atau tidak.
Sama-Sama Membentuk Karakter Berani dan Kreatif
Story telling, tidak jauh berbeda dengan teknik mengajar Bapak Guruku di SMA. Mengapa?
Sepanjangan pengetahuanku, hal ini didasarkan adanya persamaan, antara lain unsur penguasaan
materi/permasalahan, unsur keberanian (menghadapi audience), unsur memancing minat
audience dengan kreatifitas tertentu. Bedanya, story telling jarang ada yang bertanya, kalau Guru
maka harus bersiap untuk ditanya.
Apakah ada hubungannya antara cara belajar murid di sekolah (interaksi Guru dan Murid)
dengan perilaku anak? Barangkali, aku yang saat ini bukan seorang guru, namun pernah menjadi
murid, akan berkata :YA! Jelas, dididik pasif, anak akan cenderung pasif dan dalam arti luas
menjadi murid yang biasa saja/pendiam. Tapi, ketika ada stimulan untuk menjadi aktif, murid
akan terpacu untuk menjadi aktif, kreatif dan berani. Meskipun tidak terlepas dari faktor
keluarga, apakah dididik secara demokratis, atau tidak.
Berangkat dari kegundahan seorang ibu yang kebetulan adalah rekan kerja, yang pernah
mengeluhkan tentang anaknya yang agak penakut dan kurang bergaul, aku mulai menyarankan
untuk mengikuti setiap ada perlombaan story telling.
“Duh, kata gurunya, anakku jarang bicara, cenderung pendiam dan kurang berani, padahal
cowok. Tambah lagi, olahraga nggak minat, pulang pergi naik mobil (antar jemput). Di rumah,
main komputer selalu sembunyi-sembunyi. Akibatnya, badannya melar terus. “ ucapnya suatu
kali. Dengan tidak ingin mencampuri cara mendidik anak (pilihan orang tua), aku memilih
menanggapi kenapa anaknya jarang bicara.
“Barangkali, teknik belajar di sekolah terlalu pasif, Mbak. Gini deh Mbak, coba ikutkan dia pada
kegiatan yang membuat dia berpikir untuk menjadi aktif. Kalau ada lomba story telling, ajak ya!
Mudah-mudahan bisa membuatnya lebih aktif dan berani tampil.” kataku.
Jika di sekolah, anak tidak mendapatkan pengajaran dari guru yang aktif, maka masih ada jalan
keluar. Toh, cara mengajar masing-masing guru berbeda antara satu dan lainnya. Atau, jika anda
adalah seorang guru, barangkali menerapkan cara belajar aktif (dua arah) serta menyelipkan cara
belajar story telling dalam teknik mengajar anda, bisa menjadi saran yang patut dicoba.
Mengikuti lomba story telling, merupakan salah satu contoh untuk merangsang anak untuk
belajar aktif. Atau, tingkatan lebih lanjut adalah Lomba Pidato. Siapa tahu?
Masih penasaran, bagaimana cara orang-orang hebat di negeri ini (terutama) belajar berbicara di
depan Publik. Apakah belajar di sekolah, atau sempat mengikuti story telling ya? Hehehe…
Salam hormat untuk seluruh guru dan salam rindu untuk semua guruku!

You might also like