Professional Documents
Culture Documents
Di Indonesia gejala mentalitas pragmatis sebenarnya bukan hal yang baru. Bentuk
perwujudannya semakin bervariasi sesuai dengan situasi sosial yang semakin kompleks.
Menurut Koentjaraningrat (1987), gejala sosial yang satu ini telah berkembang setelah
bangsa Indonesia memasuki era baru pasca kemerdekaan tahun 1945 sebagai akibat
negatif dari revolusi yaitu suatu mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuan dengan
secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan langkah demi langkah.
Mentalitas ini lanjutnya, akibat dari alam pikiran dan sikap mental yang meremehkan
mutu dalam hidup dan ini merupakan suatu penyakit.
Sebagai contoh, lahirnya pengusaha-pengusaha baru yang sukses dan hidup dengan
menempuh jalan bisnis yang tidak lazim. Para pegawai negeri yang ingin meraih jenjang
karir secepat-cepatnya dengan cara jalan pintas. Hingar-bingarnya aksi unjuk rasa
(demonstrasi) yang tidak mengindahkan etika dan cenderung anarkis, kendatipun
mengatasnamakan demokrasi dan pembelaan terhadap rakyat. Kecenderungan demikian
dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, di jalan raya, di pasar, di
tempat-tempat antrian pelayanan publik, bahkan di tempat ibadah sekalipun di mana
setiap orang ingin menjadi yang tercepat dengan jalan pintas.
Mentalitas ini, bukanlah perilaku kebetulan dalam kasus kekeliruan atau keseleo, tetapi
merupakan cerminan dan manifestasi dari alam pikiran dan sikap mental yang
memandang hal-hal secara jalan pintas (pragmatis) itu sebagai sesuatu yang baik dan
benar, serta dianggap kelaziman umum. Orang menjadi gampang untuk menempuh jalan
pintas demi tujuan yang ingin dicapai secara cepat dan untung besar.
Dalam bahasa lain, gejala jalan pintas ini sering disebut sikap hidup dan perilaku
pragmatis. Orang ingin mencari sesuatu yang lebih bersifat kegunaan dan kepraktisan
tanpa mempersoalkan baik atau buruk serta benar atau salah. Bahkan gejala pragmatis ini
makin dilengkapi dengan sebutan pragmatisme utilitarian, suatu alam pikiran dan
perilaku didasarkan pada falsafah hidup, bahwa yang benar dan baik itu adalah berguna
secara praktis dan merupakan representasi dari hal benar dan baik itu adalah berguna dari
ukuran materi dan ekonomi serta mudah diukur secara kuantitatif.
Problem dunia pendidikan di atas memang tidak terlepas dari dua masalah utama, yaitu
kerancuan filosofi pendidikan kita dan arus modernisasi-globalisasi (baca: westernisasi).
Dalam kerancuan filosofi pendidikan, kita melihat bahwa KBK berlandaskan filsafat
Pragmatisme dan psikologi Konstruktivisme(Yayat Hidayat, 2006). Sebagaimana
diketahui bahwa Pragmatisme merupakan filsafat asli Amerika yang digagas John Dewey
ruh Barat yang kapitalis-materialis-liberalis akhirnya terbawa dalam implementasi di
dunia pendidikan kita.
Meskipun negara berkembang telah menghasilkan berbagai bahan baku guna kelanjutan
produksi industri di negara maju akan tetapi pengelolaan dan pangsa pasar atas bahan
baku tersebut tetap di kendalikan oleh masyarakat yang mempunyai andil besar terhadap
kemajuan teknologi. Sebagai contoh kongkrit atas hal tersebut ialah, bagaimana produk
seperti kopi yang bahan bakunya berasal dari Indonesia setelah diolah oleh produsen
asing ditambah berbagai pengembangan rasa dan packaging yang bagus, produk tersebut
seakan telah berubah menjadi produk luar yang hilang sama sekali asalnya (bahan
bakunya).
Selain memenuhi berbagai kebutuhan bagi industri, masyarakat Barat juga berusaha
menyebarkan ajaran-ajaran yang ada di negaranya. Dari sini terjadilah sebuah pembauran
budaya asli dengan budaya luar. Tuntutan zaman serta mudahnya akses informasi
semakin memudahkan masuknya budaya-budaya luar. Budaya Barat yang telah
dikonsumsi secara sembarangan menimbulkan beralihnya pola pikir masyarakat Timur
dari identitas aslinya beralih ke Barat. Ini dapat diperhatikan dalam gaya hidup remaja.
Menurut mereka yang populis adalah apa yang menjadi tren di dunia Barat.
Arus globalisasi menawarkan sebuah standarisasi disegala hal, mudai dari bahasa, life
style, cara berpakaian dan lain-lain. Hal ini juga menimbulkan tuntutan tehadap sebuah
ideologi yang mendukung globalisasi. Akibatnya negara-negara berkembang hanya
menjadi objek zaman, ia tidak dapat menentukan arah dari perkembangan zaman.
Peradaban Timur memang dirasa lamban sekali menuju kemajuan, tidak seperti di Barat
yang disimbolkan kemajuan sebagai garis linear, di Timur perkembangan zaman
digambarkan sebagai sebuah spiral yang meskipun lamban akan tetapi mempunyai
landasan yang kokoh.
Masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah politik. Sebab, kebijakan
politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Sebaliknya
pula pendidikan memengaruhi maju mundurnya bangsa. Kualitas pendidikan suatu
bangsa menentukan kemajuan bangsa dan indeks pembangunan manusia. Fakta ini bisa
dibaca dalam banyak buku sejarah kemajuan peradaban suatu bangsa. David N. Plank
dan William Lowe Boyd (1994) dalam”Antipolitics, Education, and Institutional Choise:
The Flight From Democracy”, menyebutkan bahwa antara pemerintah yang demokratis,
politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya
tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik.
Sejak tahun 1980-an di negara-negara maju, sector perdagangan jasa tumbuh pesat dan
telah memberikan sumbangan yang besar pada produk domestik bruto (PDB), lebih besar
dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder. Tiga negara yang paling mendapatkan
keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris, dan
Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002). Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan
Amerika mencapai USD14 miliar atau 126 triliun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari
ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4% dari penerimaan sektor jasa negara tersebut.
Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports
mengungkapkan bahwa pada 1994 sektor jasa telah menyumbangkan 70% pada PDB
Australia, menyerap 80% tenaga kerja dan merupakan 20% dari ekspor total Negeri
Kanguru tersebut.
Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang
paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan.
Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar
Australia pada 1993. Oleh karena itu, asumsi yang kemudian dikembangkan sebagai
bahan perbandingan oleh para perancang kebijakan pendidikan (Pemerintah) dengan
melihat pengalaman AS, Inggris dan Autralia yang mengubah Orientasi pendidikanya
menjadi sector Industri jasa yang berhasil menyumbang dana ke kas Negara. Itulah yang
ditiru dengan tanpa memperhatikan peri kehidupan ekonomi rakyat yang makin hari
semakin berat.
Indonesia yang memiliki 222.781.000 Jiwa (BPS, 2005), dengan angkatan sekolah di
seluruh Indonesia sekitar 38,5 juta anak usia SD 6-12 tahun, 25,6 juta usia SMP 13-15
tahun, 12,8 juta usia SMA(Kompas, 26/2/05), dan rata-rata tingkat partisipasi di
pendidikan tinggi sekitar 14% dari jumlah penduduk usia 19–24 tahun. Dari data
kuantitatif yang sifatnya sekunder itu kita bisa melihat betapa rendahnya tingkat
pendidikan rakyat Indonesia, jika ditotal dari semua penduduk yang menghuni di negeri
ini. Sementara itu dilain pihak, hubungan antara Industri pendidikan dengan dunia usaha
lain kian mesra.
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan gobal adalah bahwa informasi dan
pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa
kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami
hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global sebagaimana dikemukakan oleh
Psikolog Csikszentmihalyi dalam bukunya The Evolving Self: A Psychology for the
Third Millenium, 1993, yang menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang seimbang
dan sehat memerlukan "an understanding of the complexities of an increasingly complex
and interdependent world".
A. Perspektif kurikuler
Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan dua perspektif: Kurikuler dan
perspektif Reformasi. Berdasarkan perspektif kurikuler, pendidikan berwawasan global
merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik
kelas menengah dan profesional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam
memahami masyarakatnya dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan
ciri-ciri: a) mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik
berat memahami adanya saling ketergantungan, b) mempelajari berbagai cabang ilmu
pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat, dan, c)
mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk
bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.
Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pembahasan materi
yang mencakup: a) adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia, b) adanya
perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu, c) adanya perbedaan kultur
di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh karena itu perlu
adanya upaya untuk saling memahami budaya yang lain, d) adanya kenyataan bahwa
kehidupan dunia ini memiliki berbagai keterbatasan antara lain dalam ujud ketersediaan
barang-barang kebutuhan yang jarang, dan, e) untuk dapat memenuhi kebutuhan yang
jarang tersebut tidak mustahil menimbulkan konflik-konflik.
B. Perspektif reformasi
Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global merupakan suatu
proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dengan
kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang
bersifat sangat kompetitif dan dengan derajat saling ketergantungan antar bangsa yang
amat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang berlangsung di
sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Oleh karena itu
sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat kita harus selalu dikaji dalam
kaitannya dengan masyarakat dunia.
Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut perspektif reformasi tidak hanya
bersifat perombakan kurikulum, melainkan juga merombak sistem, struktur dan proses
pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok
bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan
kombinasi antara kebijakan sosial disatu sisi dan disisi lain sebagai kebijakan yang
mendasarkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, sistem dan struktur pendidikan
harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.
Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar,
memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata ditata dan diatur dengan menggunakan
perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan
instruktif. Melainkan, pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan
pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan
dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala
sesuatunya dengan rinci.
Di samping itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistemik organik, dengan ciri-ciri
fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Bersifat sistemik-organik berarti sekolah
merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak dapat dilihat sebagai
hitam-putih, melainkan setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan
interaksi yang ada.
Fleksibel-Adaptif, berarti pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning dari
pada teaching. Peserta didik dirangsang memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu
yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, peserta didik tidak akan dipaksa
untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin dipelajari. Materi yang. dipelajari bersifat
integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-system
environment. Pada pendidikan ini karakteristik individu mendapat tempat yang layak.
Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang
berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti
menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner.
Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global menuntut kebijakan
pendidikan tidak semata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada
di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan mekanisme pasar. Oleh
karena itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan
adaptif.
Kemajuan teknologi dalam tiga dasawarsa ini telah menampakkan pengaruhnya pada
semua kehidupan individu, masyarakat dan negara. Dapat dikatakan bahwa tidak ada
orang yang dapat menghindar dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). Peran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam ikut
mewujudkan KBS telah dicanangkan dalam Visi dan Rencana Strategis (Renstra)
Pendidikan Nasional dengan program yang dinamakan tiga pilar pembangunan
pendidikan nasional. Visi Depdiknas adalah ’terwujudnya sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara
Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah’. Sementara tiga pilar pembangunan
pendidikan nasional adalah (a). Pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (b).
Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan; dan (c). Penguatan tata
kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan.
IPTEK bukan saja dirasakan individu, akan tetapi dirasakan pula oleh masyarakat, bangsa
dan negara. Bila cita-cita menuju KBS ini dapat diwujudkan, maka tujuan pembangunan
seperti yang diamanatkan dalam UUD-1945 yaitu ’mencerdaskan bangsa’ akan semakin
dapat dicapai. Karena itulah maka kebijakan menuju KBS ini adalah (a). Mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi
seluruh rakyat Indonesia; (b). Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak
bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan
masyarakat belajar; (c). Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan
untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (d). Meningkatkan
keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional
dan global; dan (e). Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting
dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi elektronika seperti
komputer, faksimile, internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari
lingkungan yang bercorak lokal dan nasional, kepada lingkungan yang bersifat
internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan
komputer orang memasuki lingkungan informasi dunia. Peran media elektronik yang
demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara
tradisional seperti yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah dan sebagainya. Komputer
dapat menjadi teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat, juga
sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera terhadap pertanyaan-pertanyaan
eksistensial dan mendasar.
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada
kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan
hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan
menjadi kebijakan dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki oleh masyarakat modern.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus
menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia
pendidikan, baik dari kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana dan
prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus
dijawab oleh dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam. Hal ini perlu dilakukan jika
dunia pendidikan Islam ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu
perjalanan umat manusia.
Disitulah kita semua pada masa yang akan datang melihat kenyataan kongkrit dengan
gamblang bahwa sesungguhnya wajah dunia pendidikan nasional di era globalisasi
dengan pasar bebasnya yang meminggirkan nilai kemanusian yang hakiki. Sekali lagi kita
tidak bisa menutup mata bahwa atas fakta yang menunjukkan bahwa angka kemiskinan
dan penganguran mencapai lebih kurang 40 Juta Jiwa, sebuah angka yang cukup
fenomenal, kondisi itu berpeluang memunculkan kebodohan. Betapa tidak, saat ini biaya
pendidikan di Indonesia tidak pernah gratis alias sangat mahal dan otomatis semakin
memberatkan beban hidup rakyat Indonesia yang mayoritas berpendapatan rata-rata 800
ribu/bulan atau sekitar 345 US Dollar dari total pendapatan perkapita rakyat Indonesia
atau lebih tinggi satu tingkat dari Zimbabwe.
Fenomena keburukan yang terjadi saat ini bukan saja masalah Ujian Nasional, namun
yang terjadi juga adalah biaya sekolah dari tahun ketahun yang semakin meningkat. Saya
sendiri sebagai generasi menyadari adanya lonjakan tingginya uang sekolah dari tahun ke
tahun. Padahal berbagai janji manis seperti adanya dana BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) akan membantu meringankan biaya sekolah, bahkan ada juga yang mengatakan
dengan adanya dana bos maka pendidikan alhasil akan gratis. Apakah pendidikan saat ini
di Indonesia gratis? Jangan mimpi pendidikan mau gratis. Realisasi dana pendidikan yang
dialokasikan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada pasalnya yang ke 49 bahwa 20% dari APBN dialokasikan untuk
pendidikan. Namun dalam praktek pendidikan nasional yang berkembang di iklim
kapitalisme yang monopolistik ternyata membuat masyarakat menerjemahkan Pertama,
hanya soal kemampuan ekonomi peserta didik dalam segi pembiayaan saja artinya siapa
yang sanggup membayar mahal ia yang akan mendapat “pendidikan berkualitas”.
Jelas hal tersebut sangatlah diskriminatif alias tidak demokratis akhirnya situasi itu
mendasari kemunculan watak pragmatis perserta didik, disinilah ketidak-ilmiahan sistem
pendidikan nasional saat ini. Kedua, bagaimanapun juga kaum kapitalis tidak akan
pernah rela untuk melakukan alih tekhnologi kepada negeri-negeri yang menjadi sasaran
pasarnya, sehingga banyak kasus terjadi hegemoni dan dominasi mereka bisa bertahan
tak “tergoyahkan”, ia akan memperoleh pendidikan yang berkualitas. Atas hal tersebut
kita bisa melakukan riset lebih mendalam atas kualitas para sarjana di Indonesia yang
bisa menghasilkan penemuan-penemuan di bidang sains dan tekhnologi yang betul-betul
berguna bagi massa rakyat di Indonesia.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.
Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.