You are on page 1of 14

Pragmatisme Pendidikan di Indonesia

Oleh Rum Rosyid


Menurut aliran ini hakikat dari realitas adalah segala sesuatu yang dialami oleh manusia.
Ia berpendapat bahwa inti dari realitas adalah pengalaman yang dialami manusia. Ini
yang kemudian menjadi penyebab bahwa pragmatisme lebih memperhatikan hal yang
bersifat keaktualan sehingga berimplikasi pada penentuan nilai dan kebenaran. Dengan
demikian nilai dan kebenaran dapat ditentukan dengan melihat realitas yang terjadi di
lapangan dan tidak lagi melihat faktor – faktor lain semisal dosa atau tidak.
Hal ini senada dengan apa yang dikataka James, “Dunia nyata adalah dunia pengalaman
manusia.”
Apa fokus pendidikan kita sekarang. Secara umum, alam menjadi titik sentral
pendidikan; alam menjadi tujuan. Manusia menjadi "budak" dari alam; ilmu, teknologi
dan dan hal-hal yang bersifat pragmatis mengambil tempat paling penting. Pendidikan
yang berpusat pada manusia semakin tersingkir. Ini tidak lepas dari sosok yang paling
berpengaruh dalam dunia pendidikan, John Dewey. Ia tokoh pendidikan Amerika Serikat
pada awal dan pertengahan abad ke-20 dan menggulirkan konsep pragmatisme. Dewey
mengatakan bahwa pendidikan adalah penyesuaian pribadi yang bertumbuh terhadap
lingkungannya (education is " adjusment of the growing personality to its environment).
Ia membuat lingkungan menjadi pusat pendidikan. Bagi Dewey, manusia itu harus
disesuaikan terhadap lingkungannya tanpa menyebut defenisi "lingkungan"
(environment) secara jelas."

Pandangan klasik melihat pendidikan sebagai alat reproduksi kelas sosial-ekonomi


masyarakat (London, 2002; Fernandes, 1988; Labaree, 1986). Seseorang memasuki jenis
sekolah sesuai derajat sosial-ekonomi orangtua untuk memegang posisi tertentu dalam
struktur kelas masyarakat tempat asalnya. Pendidikan sebagai alat reproduksi kelas
membuka peluang mobilitas sosial vertikal. Namun, sistem demikian tidak mendobrak
struktur sosial yang menjadi akar penyebab timbulnya kelas-kelas masyarakat.

Pemikiran postmodern merombak pandangan itu. Melalui kajian radikal tentang aspek-
aspek hubungan kekuasaan dalam pendidikan, para pedagog dan filsuf pendidikan
kontemporer, seperti Caughlan (2005), Schutz (2004), Giroux (2000, 1981, 1980), dan
Mangunwijaya (1999), menegaskan pentingnya pedagogi kritis dan transformatif.
Pendidikan ditantang melahirkan insan-insan unggul yang mampu membarui struktur
sosial masyarakat agar lebih adil, terbuka, dan partisipatif. Dalam konteks ini,
kemunculan pemimpin baru tidak memerlukan wacana karena pada dasarnya insan-insan
hasil pendidikan kritis-transformatif memiliki kualitas kepemimpinan. Pemimpin menjadi
sosok utama kumpulan insan unggul yang sama-sama bervisi menciptakan struktur sosial
baru.

Pragmatisme yang merupakan salah satu aliran yang berpangkal pada empirisme,
meskipun terdapat pengaruh idealisme jerman (hegel). John Dewey salah seorang tokoh
Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John
Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James.
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau
tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti
aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang
menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa
kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis
dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu
teori itu benar kalau berfungsi (if it works). Dengan demikian Pragmatisme dapat
dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth).

Pragmatisme Pendidikan di Indonesia


Mengapa pendidikan Indonesia mulai jatuh dalam pragmatisme. Untuk menjawabnya,
diperlukan refleksi atas realitas sejarah dunia pendidikan Indonesia. Dalam hal ini, orde
baru mempunyai peranan yang signifikan karena selama 32 tahun, sejak kejatuhan orde
lama, orde baru menguasai seluruh aspek hidup bangsa Indonesia, termasuk dunia
pendidikan. Sebenarnya, hanya terdapat satu sebab utama yang melatarbelakangi hal itu.
Semuanya bermula dari tujuan pembangunan yang menjadi ambisi orde baru, yaitu
keberhasilan sektor ekonomi. Dunia ekonomi dianggap sebagai faktor yang urgen dan
menempati posisi poros dalam memajukan Negara.

Para ahli pendidikan negeri ini menyelipkan pikiran John Dewey dalam Undang-undang
No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional; lebih jelas itu diselipkan dalam
pasal 15. Pada pasal ini tertulis, "Pendidikan menengah diselenggarakan untuk
melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik
dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan
kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pada Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, warna pragmatism masih kental
sekalipun di dalam undang-undang itu tidak begitu vulgar dinyatakan. Namun, dalam
praktek sehari-hari, pikiran John Deweylah yang dominan.

Pendidikan bukan sekolah, education is not schooling. Proses pendidikan dimulai bahkan
sejak sebelum manusia dilahirkan kemuka bumi. Bayi yang sudah mulai bernyawa dalam
kandungan ibunya sebenarnya sudah dapat mengenyam pendidikan, termasuk
diantaranya IQ, EQ, dan SQ. Di beberapa negara Eropa seperti Swedia dan Denmark,
pasangan yang belum menikah dan suami yang memiliki istri dengan usia kandungan
mencapai 3-5 bulan memiliki kewajiban untuk mengikuti training prenatal education
yang telah diatur dalam kebijakan pemerintah. Betapa pemerintah di negara-negara
tersebut begitu memperhatikan pendidikan bahkan sejak manusia tersebut belum
dilahirkan ke muka bumi. Bandingkan dengan negara Indonesia yang kasus kematian ibu
dan bayi serta kekurangan gizi balitanya masih cukup ramai mewarnai media cetak dan
elektronik, tentunya membuat ironi yang sangat signifikan. Sebab itulah, sudah
seharusnya dijalankan penyuluhan melalui berbagai lembaga kemasyarakatan dan
instansi pemerintah terkait untuk memberikan pendidikan bagi calon ibu untuk merawat
bayi dalam kandungannya. Pendidikan informal tersebut kemudian juga harus dilanjutkan
dengan pendidikan untuk merawat bayi hingga usia anak-anak, kemudian beranjak
remaja, hingga mereka siap untuk mandiri. Inilah yang disebut dengan pendidikan
berbasis keluarga, sebagai salah satu unsur dalam Tri Pusat-nya Ki Hajar Dewantara.
Manusia adalah mahluk yang paling penting dari seluruh yang dicipta; manusia
seharusnya menjadi fokus pendidikan. Ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan masih
seiring dengan pandangan-pandangan agama yang datang dari Timur, yang dianggap
merupakan pandangan yang cukup mewakili semua pandangan agama-agama
monoteisme tentang penciptaan alam semesta dan manusia. Berkat semangat juang yang
tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu
“diredam” untuk sebuah tujuan ideal yang tertuang dalam UU Republik Indonesia No 20
Tahun 2003, yaitu “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.

Dalam pandangan Timur, segala sesuatu di alam semesta dan manusia dicipta. Tuhan
mencipta ruang dan waktu sebagai wadah segala sesuatu yang dicipta. Ia mencipta terang,
cakrawala, laut, darat, semua jenis tumbuh-tumbuhan, matahari, bulan, bintang, semua
mahluk hidup di laut seperti ikan, dan di darat, dan segala jenis burung di udara. Dan
terakhir, Ia mencipta manusia. Mengikuti logika ketimuran, Tuhan menjadi sentral atau
pusat dalam alam semesta; manusia menjadi mahkota dari seluruh ciptaan. Segala sesuatu
yang ia butuhkan disediakan sebelum mereka eksis di bumi. Bahkan mereka ditempatkan
di taman yang indah; Firdaus namanya. Jadi, pasangan suami-isteri itu tidak susah
mencari kebutuhan hidupnya.

Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijaksanaan politik pemerintah
Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde
Reformasi. Pendidikan Indonesia masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan
berideologi materilisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian ini memang
secara teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak
dapat dibantah lagi. Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah
merunyak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia. Sendi-sendi yang dimasuki bukan
hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan
tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-
hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut.

Dalam masalah kurikulum pendidikan misalnya diarahkan kepada kurikulum yang


memberikan bekal kepada peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang
menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut dibuat sedemikian rupa dan
untuk mengikutinya harus mengeluarkan uang sangat sangat besar. Jika dalam proses
memperolehnya haru mengeluarkan dana yang besar, maka dapat dibayangkan setelah
memperoleh pengetahuan tersebut. Peserta didik yang telah selesai akan menggunakan
pengetahuan tersebut paling untuk mengembalikan modal dan tentu berupaya untuk
mendapatkan untung sebesar-besarnya.

Karena memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi di masa
depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik
keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan prinsip ekonomi yang diajarkan di
sekolah menengah adalah keluarkan modal sedikit mungkin dan hasilkan keuntungan
sebesar-besarnya. Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah dijadikan
atau telah diselwengkan tujuannya hany auntuk mendapatkan pekerjaan. Sedangkan
untuk menjadikan manusia yang utuh bukan hanya dimarjinalkan, akan tetapi memang
dimatikan karena prinsip ekonomi tidak mengenal nilai-nilai spiritual, moralitas,
kebersamaan.

Dalam aspek pendidik misalnya banyak sekali praktek dan perilaku pendidik yang
menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan
kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan
pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Modusnya adalah dengan memberikan nilai
rendah pada program regular, kemudian akan diberikan nilai agak tinggi atau bahkan
tinggi pada program khusus dimana peserta didik jug amembayar dengan biaya khusus.
Praktik dan moud operansi yang demikian ini bukan hanya menjadi realitas, akan tetapoi
sudah menjadi penyakit kronis dalam dunia pendidikan, bahkan pendidikan Islam sendiri.
Praktik yang demikian akan menjadi hilang ketika nilai-nilai moralitas benar-benar
terpancar dalam sistem pendidikan.

Nilai-nilai moralitas yang diberikan kepada peserta didik selama ini hanyalah teori-teori
yang tidak pernah dibuktikan dalam praktik kehidupan. Meskipun itu dalam praktik
pendidikan itu sendiri. Praktik pelanggaran moralitas tinggi justru sudah diajarkan oleh
para pendidik kepada peserta didik dengan berbagai praktik dan modus operandi dalam
proses pengajaran dan ujian, salah satunya adalah modus di atas.

Aspek peserta didik merupakan korban dari sistem dan proses pendidikan yang ada. Jika
sistem pendidikan nasional telah mengalami reduksi makna dari pendidikan menjadi
sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowledges), maka pada saat itulah
peserta didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam
kehidupannya kelak. Peserta didik yang sudah berpengalaman, misalnya mahasiswa S1
atau S2 dan bahkan S3 yang telah memahami praktik-praktik demikian ini dan tidak mau
memperhatikan nilai-nilai moralitas, tetapi akan melakukan praktik-praktik asal bisa
lulus dan selesai. Bahkan ada yang lebih tragis lagi yaitu asal dapat gelar, sehingga
muncul pasar gelar di Indonesia yang beberapa tahun sebelum ini sangat marak dijajakan
baik lewat media massa maupun media elektronik.

Para guru adalah pioner dalam pelaksanaan pendidikan. Sekolah melalui proses
mengajar, seharusnya berperan besar dalam proses ini. Kenyataannya, institusi tersebut
tidak mempunyai pilihan lagi selain menunggu instruksi dari pusat. Para pendidik ini
berada dalam kontrol ketat pelaksanaan kurikulum. Pendidik tidak lagi mempunyai cukup
kebebasan untuk menyampaikan informasi, karena kurikulum itu sendiri sudah
merupakan suatu bagian dari penyebarluasan ideologi pragmatisme sosial dan politik.
Tanpa kebebasan, guru tidak mungkin menciptakan iklim mengajar yang sekaligus
bersifat mendidik. Jika setiap jawaban sudah baku menurut acuan dari “atas”, sukarlah
bagi guru untuk menghadirkan sekolah sebagai ruang aman bagi anak agar ia merasa
diterima sebagai orang yang mengemukakan pikiran-pikiran dengan bebas. Tidak mudah
guru membentuk anak-anak yang berani bertanya tanpa takut salah.

Guru sendiri juga menjadi orang yang takut salah jika menyimpang dari petunjuk yang
sudah baku. Pendidikan tidak dapat lepas dari suatu proses politis yang membawa
perubahan-perubahan substansial atau paling tidak, persepsi tentang perubahan-
perubahan-dalam kekuasaan. Masalah pendidikan misalnya, tentu sangat penting bagi
pembangunan ekonomi, sebab sistem pendidikan adalah wahana pendukung pengaruh-
pengaruh politis dalam menjalankan program pemerintah. Dalam hal ini, berhasil -
tidaknya sistem pendidikan itu seringkali ditentukan oleh alasan politis daripada
rancangan teknis.

Pendidikan memang tidak bebas nilai dan tidak juga bebas budaya. Pendidikan formal
menjadi bagian yang sangat politis karena pendidikan bukan saja melibatkan semua
lapisan birokrasi pemerintah, tetapi berpengaruh dalam pembentukan karakter dan sikap
anak didik itu sendiri. Demikian juga sistem pendidikan nasional merupakan pilihan
ideologis masyarakat, bangsa, dan justeru karena itu pendidikan adalah persoalan
masyarakat. Salah satu kendala bagi pihak-pihak yang terlibat dan berusaha keras untuk
memperbaiki mutu pendidikan adalah apakah semua pihak yang ikut dalam urun debat
benar-benar memperoleh informasi lengkap. Hal ini hanya sebagai upaya konkrit untuk
memperkaya dialog yang berlangsung tentang sistem pendidikan nasional yang ideal,
berkualitas dan mampu menjawab tuntutan jaman.

Jual beli nilai, jual beli gelar, dan jual beli karya ilmiah adalah satu hal yang
menunjukkan betapa rendah mental dan moralitas para peserta didik. Fenomena di atas
merupakan realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan yang ideologinya telah mengarah
kepada ideologi materialisme-kapitalis. Materialisasi aspek manajemen pendidikan dapat
dilihat pada praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik,
peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus dimana mereka berada dan
ikut andil di dalamnya. Kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi tolok ukur
majunya sebuah lembaga pendidikan. Jika orientasi kemegahan gedung kampus dan
sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi
pendidikannya.

Orientasi manajemen pendidikannya adalah pada kemegahan gedung secara fisikal,


sementara kemegahan spiritual dan moral; termarjinalkan atau bahkan sama sekali
ditiadakan. Semua pihak yang ada di dalamnya akan merasa bangga dan menganggap
orang lain yang tidak berada di situ sebagai masyarakat pendidikan kelas rendah.
Manajemen pendidikan yang hanya mengarah pada kemegahan gedung kampus pada
gilirannya akan ditundukkan atau dikalahkan oleh insitusi pendidikan lainnya yang
memiliki modal yang luar biasa besarnya. Jadi pada dasarnya lembaga pendidikan atau
dengan kata lain manajemen pendidikannya dimaksudkjan untuk berkompetisi. Dan
kompetisi inilah yang menjadi darah dan energi bagi penyelenggaraan pendidikannya.

Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan hanya diukur dengan megahnya gedung,


mahalnya SPP, banyaknya peminat, dan alumninya banyak yang menduduki jabatan
tinggi. Inilah manajemen pendidikan di Indonesia saat ini. Materialisasi pada aspek
lingkungan pendidikan merupakan fenomena yang sangat jelas. Lingkungan pendidikan
di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata
lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat Indonesia sejak memasuki era
modernisasi telah mengalami pergeseran yang luar biasa. Pergeseran tersebut mencakup
pergeseran orientasi kehidupan, pergeseran budaya, pergeseran gaya hidup, pergeseran
pandangan hidup, pergeseran pertilaku politik, pergeseran perilaku ekonomi, dan
pergeseran terhadap ajaran agama.

Pergeseran-pergeseran tersebut muaranya adalah disebabkan oleh adanya modernisasi


yang terus "dibombardirkan" kepada masyarakat, baik melalui jalur pendidikan, jalur
media massa, dan jalur birokrasi. Modernisasi pada intinya adalah upaya rasionalisasi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, dari yang pada mulanya kental akan nuansa
religius, nuansa sakralitas, dan nuansa spiritual bahkan nuansa transendental menjadi
tidak bernuansa sama sekali kecuali nuansa rasionalitas, nuansa obyektivitas, dan nuansa
realitas-empiris.

Masyarakat yang telah bergeser pandangan hidupnya menjadi sebagaimana dikemukakan


di atas, menganggap pendidikan sebagai investasi dan ketika selesai akan mendapatkan
keuntungan lebih besar adalah sangat wajar. Semua ini pada dasarnya adalah materialsasi
lingkungan pendidikan di Indonesia. Materialisasi tujuan pendidikan merupakan landasan
awal bagi proses materialisasi seluruh aspek di atas. Tujuan di manapun dia berada
merupakan muara akhir dari semua proses yang ada sebelumnya, termasuk di sini adalah
dalam proses pendidikan. Tujuan pendidikan yang dimaterialisasikan adalah upaya
mencapai tujuan pendidikan nasional maupun pendidikan Islam dengan asumsi dapat
diukur secara kuantitatif dan dapat dilihat hasilnya secara nyata. Tujuan-tujuan
pendidikan yang telah mengalami materialisasi dapat dilihat pada tujuan para pendidik.
Misalnya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi
pengacara, berapa yang telah menjadi pejabat tinggi, berapa alumni yang telah menjadi
anggota dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki jabatan apapun
akan dapat diprediksikan penghasilan mereka. Setelah diketahui pendapatan para alumni,
maka dapat diketahui keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.

Sangat jarang atau bahkan tidak ada berapa alumni yang telah menjadi manusia bermoral,
berapa alumni yang telah memberikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya
persaudaraan, berapa alumni yang telah mampu memberikan pelayanan gratis kepada
masyarakat tanpa pamrih apapun, berapa alumni yang telah benar-benar melaksanakan
tujuan pendidikan yaitu menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya di sini berarti
secara jasmani dan ruhani, secara material dan spiritual, dan secara fisik dan mental, serta
secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata. Jarang sekali atau
bahkan tidak ada sensus keberhasilan pendidikan yang mengukur kesuskesannya dengan
ranah yang demikian ini.

Nilai utama dari pandangan ini adalah argumen teoritis yang kokoh berbenturan dengan
realitas yang kurang menarik. Sementara potensi yang dimiliki bisa saja sangat besar
seperti kesepakatan ideologis Pancasila diantara beragam pluralitas masyarakat
Indonesia, upaya untuk mewujudkan potensi secara operasional teoritis itu saja bukan
soal yang mudah. Namun yang tetap penting ialah adanya sikap menumbuhkembangkan
konsensus semua pihak terkait sebagai hal yang positif, termasuk para pengambil
kebijakan di bidang pendidikan.
Pendidikan melibatkan bukan hanya unsur pendidikan itu sendiri, tetapi pihak-pihak lain.
Namun, karena pendidikan secara inheren adalah politis. Maka, semua upaya untuk
mengubah cara-cara sistem itu terorganisasikan, tidak bisa tidak, merupakan kegiatan
politis. Artinya diperlukan peran pemerintah dalam ikut mengembangkan potensi
masyarakat. Adanya pertimbangan politis inilah yang menjadi penting, karena akan
terlihat kesediaan untuk mengutamakan kepentingan kelompoklah yang ternyata menjadi
kata kunci. Untuk berhasilnya pendidikan, maka harus ada komitmen bersama dari semua
pihak yang telibat dan terpengaruh oleh proses tersebut. Sehingga, di bidang pendidikan
pun perlu dibangun suatu konsensus untuk informasi. Konsensus itu tidak hanya berlaku
bagi para pemegang kekuasaan, tetapi juga untuk melibatkan banyak pihak yang akan
ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan pendidikan.

Dua Sifat Pragmatisme


Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang
mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga
aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu
sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap
diuji dengan perdebatan. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya
ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan
yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. Yang lebih menarik lagi
adalah pragmatisme menjadikan konsekuensi – konsekuensi praktis sebagai standar untuk
menentukan nilai dan kebenaran.

Dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir
induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki
sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha
mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir
Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang
menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta
partikular. Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap
pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah.

Kritik terhadap Pendekatan Ideologis


Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi
sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik
segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali
tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan
suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi
masyarakat.
Ketika menghadapi tantangan-tantangan modernisasi dan polarisasi ideologi dunia,
terutama didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dunia
pendidikan tidak terlepas dari tantangan yang menuntut jawaban segera. Secara garis
besar tantangan-tantangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :
a.Terdapat kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai yang
sudah ada (agama). Standar-standar kehidupan dilaksanakan oleh kekuatan-kekuatan
yang berpijak pada materialisme dan sekularisme. Dan inilah titik sentral masalah
modernisasi yang menjadi akar timbulnya masalah-masalah di semua aspek kehidupan
manusia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik.
b. Adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern yang berupa pemusatan
pengetahuan teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia pada ilmu
pengetahuan dan informasi sebagai sumber strategis pembaharuan. Tidak terpenuhinya
kebutuhan ini akan menimbulkan depersonalisasi dan keterasingan dalam dunia modern

Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu
bekerja. Ini berarti pragmatisme dapat digolongkan ke dalam pembahasan tentang makna
kebenaran atau theory of thurth. Hal ini dapat kita lihat dalam buku William James yang
berjudul The Meaning of Thurth. Menurut James kebenaran adalah sesuatu yang terjadi
pada ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak.
Dengan demikian kebenaran adalah sesuatu yang bersifat relatif. Hal ini dapat dijelaskan
melalui sebuah contoh. Misalnya ketika kita menemukan sebuah teori maka kebenaran
teori masih bersifat relatif sebelum kita membuktikan sendiri kebenaran dari teori itu.

Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas
sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic
theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying
being described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis
tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku
[works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan
berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).

Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James
kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate,
and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James
adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita
periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian). Untuk membedakan
dengan dua pendahulunya tersebut,

Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya


sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan
pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya
sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama.
Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.
Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both
knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in
experienced existence.
Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism,
operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut
aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen
untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia. Di dalam filsafat John
Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman,
yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan
(habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali
lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut
memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan
masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.

Prinsip Pemecahan Masalah


John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika
James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu,
maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan
intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey
menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak
menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia
pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang
mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
1. Merasakan adanya masalah.
2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
5. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan
eksperimen/pengujian.

Meskipun berbeda-beda penekanannya, pragmatisme menganut garis yang sama, yakni


kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah pragmatisme
berkhotbah dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi
hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan
manusia. Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu
gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada,
mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga
keraguan dan keresahan tersebut hilang. Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi
negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan
peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi
tentang dasar pertanggung jawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah
tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap
perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang
berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.

Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian


yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap
yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang
praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan
materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak
dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi
berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia


Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

You might also like