You are on page 1of 19

Standar Nasional Pendidikan : Dari Layanan Public Menjadi Industri Jasa

Oleh Rum Rosyid


Pengalaman Sejarah Upaya pembakuan standar pendidikan sudah dilakukan sejak zaman
kolonial Belanda. Melalui Ordonansi Guru (1905), seseorang yang mengajar agama pun
harus memperoleh izin bupati. Dua puluh tahun kemudian, peraturan itu diperlunak
dengan cukup memberitahu maksud pengajaran, daftar murid, dan kurikulum. Pada
kesempatan lain, seorang anggota Volkskraad berkebangsaan Belanda, Meyer Rannef,
pada 22 Juni 1927 berpidato dan menyatakan, sistem pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan ekonomi adalah sistem yang memperkuat kehidupan bisnis, sebagai bengkel
latihan bagi tenaga kerja pribumi yang bisa langsung dimasukkan ke dalam sistem
industri Belanda. Satu hal yang tidak dipersoalkan saat itu adalah, sesuaikah dengan
kebutuhan ekonomi.

Namun pada September 1932, muncul peraturan lebih keras lagi. Yaitu semua sekolah
yang tidak didirikan oleh pemerintah atau memperoleh subsidi pemerintah, diharuskan
minta izin terlebih dulu (Staatsblad 1932 No. 494). Syaratnya pun berat. Guru-gurunya
harus lulusan sekolah negeri / sekolah bersubsidi, sesuatu yang tak gampang dipenuhi
pada masa itu. Maka seluruh elemen pergerakan nasional meradang. Ki Hadjar
Dewantara secara terbuka mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal yang
menyatakan akan mengorganisir perlawanan terhadap ordonansi itu. Bung Hatta menyeru
agar semua organisasi melakukan aksi massa mendukung Ki Hadjar. Budi Utomo
mengancam akan menarik wakil-wakilnya dari Volkskraad.

Di Yogya, PPKI bersama Muhammadiyah dan Taman Siswa menggelar rapat raksasa
yang dihadiri 10.000 orang lebih, untuk menentang hal yang sama. Dalam waktu lima
bulan, ribuan rapat protes diorganisir di seluruh Jawa dan Sumatera, hingga John
Ingelson menulis, belum ada isu yang begitu mempersatukan pergerakan nasional seperti
ordonansi itu. Akhirnya Gubernur Jenderal De Jonge menyerah: ordonansi itu dibekukan
pada Februari 1933, hanya lima bulan setelah dinyatakan berlaku.

Kini, sekitar 3/4 abad kemudian, perdebatan yang hampir sama masih berlangsung di
negeri yang berusia menjelang 63 tahun itu. Di tengah derasnya arus globalisasi, kita
masih berputar-putar dan berdebat soal penyusunan kurikulum pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan industri (link and match), membuat pembakuan
standar kelulusan peserta didik, otonomisasi lembaga pendidikan, sertifikasi, dan lain-
lain. Selama ini usaha peningkatan mutu masih fokus pada input dan proses, misalnya
pada awal kemerdekaaan pendidikan difokuskan pada pembinaan karakter bangsa
(nasionalisme); pada tahun 1970-an hingga tahun 1990-an pendidikan difokuskan pada
pemerataan pendidikan dengan diperbanyaknya akses pendidkan bagi anak-anak
diseluruh pelosok tanah air, dan mulai era reformasi-pendidikan difokuskan pada
peningkatan mutu lulusan.

Usaha pemerintah saat ini adalah melakukan reformasi pendidikan berdasarkan standar
dengan dibentuknya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dengan reformasi ini
fokus peningkatan mutu tidak saja pada input dan proses tapi juga mutu lulusannya (atau
output). Produk undang-undang yang mendukung kebijakan ini adalah Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.

Di tengah pedebatan tentang berbagai teknis penyelenggaraan pendidikan, terkadang kita


lupa bertanya, untuk siapa sebenarnya pendidikan itu diselenggarakan. Untuk apa
sebenarnya sebuah sekolah atau universitas didirikan. Kepada siapa lulusan yang siap
pakai dan marketable itu akan dijual. Maka pernyataan Mochtar Buchori di atas menjadi
terasa sangat relevan. Tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang dirumuskan
para founding father dalam UUD 1945 sepertinya belum mampu diterjemahkan dalam
sistem pendidikan kita. Sering muncul tuduhan, pendidikan yang dilaksanakan tidak
sejalan (bahkan bertentangan) dengan UUD1945.

Pendidikan berdasarkan standar ini mendasarkan pada kurikulum, pengajaran, dan


penilaian belajar peserta didik pada standar nasional (dengan harapan pada saatnya nanti
standar dunia). Di masa lalu harapan terhadap pencapaian hasil pada peserta didik yang
berasal dari keluarga miskin dan pedalaman terkadang lebih rendah dibandingkan peserta
didik yang berasal dari kalangan lain. Hal ini ditunjang oleh kondisi demografis
Indonesia yang sangat luas dan beragam. Sehingga kesenjangan pendidikan pun sangat
terasa. Saat ini pendidikan berdasarkan standar dilihat sebagai jalan tengah untuk
pemenuhan persamaan hak bagi setiap peserta didik untuk menjadi bagian dari sistem
pendidikan nasional dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi
yang maksimal.

Dalam dokumen pembentukan BSNP disebutkan misinya adalah mengembangkan,


memantau pelaksanaan dan mengevaluasi pelaksanaan standar nasional pendidikan.
Lebih detil BSNP bertugas membantu Menteri Pendidikan Nasional, dengan kewenangan
(a) mengembangkan Standar Nasional Pendidikan; (b) menyelenggarakan Ujian
Nasional; (c) memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemda dalam penjaminan
dan pengendalian mutu pendidikan; (d) merumuskan kriteria kelulusan pada satuan
pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah; dan (e) menilai kelayakan isi,
bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran. Ada dua standar yang sangat
mendasar peranannya dalam usaha peningkatan mutu pendidikan.

Standar Isi
Merujuk pada namanya maka standari isi berisi berbagai pengetahuan dan keahlian (atau
kompetensi) peserta didik yang seharusnya dapat kuasai dalam berbagai mata pelajaran.
Atau dengan kalimat sederhana adalah “apa yang seharusnya peserta didik tahu dan
mampu lakukan”. Standar isi dibagi kedalam berbagai tolak ukur yang biasa dikenal
sebagai indikator, yaitu hal-hal spesifik tentang apa yang seharusnya dimengerti dan
dilakukan oleh peserta didik pada berbagai tingkat kelas dan perkembangan tertentu. Dan
dalam penyusunannya mengacu pada standar kompetensi tertentu yang diharapkan
dicapai oleh peserta didik. Misalnya diakhir kelas I semester 1 SD untuk mata pelajaran
Bahasa Indonesia diharapkan peserta didik mencapai penguasaan salah satu standar
kompetensi “mendengarkan: memahami bunyi bahasa, perintah, dan dongeng yang
dilisankan.”
Standar Kompetensi Lulusan
Standari ini lebih dikenal dengan singkatan SKL berisi kualifikasi kemampuan lulusan
yang meliputi aspek sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Dengan meningkatkan standar
yang merefleksikan pengetahuan kemampuan dan perilaku peserta didik seharusnya
kembangkan di berbagai mata pelajaran. Sehingga peran dari para ahli dibidang
pendidikan dan asosiasi profesional mempunyai ekpektasi kompetensi yang lebih spesifik
berdasarkan tingkat kelas, dibuat tingkat pencapaian dan tingkat penguasaan sebagai
standar yang direkomendasikan dan juga segala kegiatan kelas yang berkaitan dengan
standar.

Kelebihan dari kedua standar tersebut buat para pendidik, orang tua, dan masyarakat yang
berkepentingan adalah (1) sebagai pedoman dalam mengembangkan kurikulum dan
penilaian peserta didik bagi sekolah-sekolah; (2) untuk mengembangkan sasaran dan
tujuan unit-unit pembelajaran, melakukan evaluasi pengajaran dan mengembangkan ide-
ide untuk kegiatan instruksional dan penilaain kelas bagi pendidik (guru-guru); dan (3)
dapat digunakan sebagai standar untuk menilai kualitas pendidikan di sekolah tempat
anak mereka belajar dan memantau tingkat pencapaian anak-anak mereka bagi orang tua
dan masyarakat.

Paradox Pencerdasan
Apa yang dikatakan sebagai pendidikan dinilai sekadar pengajaran. Yang dikatakan
pencerdasan, malah sering dituding sebagai pembodohan. Para lulusan yang
dihasilkannya tak lebih sebagai sarjana tukang. Mereka hanya kaya hafalan, tapi miskin
penalaran. Pendidikan kita tidak mencerdaskan, tidak membentuk manusia berkarakter.
Dalam UU Sisdiknas 20/2003 sebenarnya sudah tergambar jelas tentang arah pendidikan
nasional di Indonesia yang memiliki kecenderungan terkoneksi dengan sistem Globalisasi
alias kapitalisme. Hal itu dapat dilihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas yang
berbunyi :“Masyarakat berkewajiban memberi dukungan sumber daya dalam
penyelengaraan pendidikan”. Lalu dikuatkan dengan Pasal 12 ayat (b) “yang memberikan
kepada peserta didik untuk menangung biaya penyelengaraan pendidikan”. Beberapa
pasal dan ayat yang tertuang dalam UU Sisdiknas 20/2003, sangatlah aneh dan
bertentangan 180 derajat dengan amandemen UUD 1945 pasal 31 (2) : “Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”,
kemudian dipertegas pada ayat 4, “Negara memprioritaskan angaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD”. Namun kita haruslah melihat dalam
prakteknya angaran pendidikan secara keseluruhan hanyalah 10,3%-11,8 dari RAPBN
2007 atau sekitar 51,3 trilyun dari total anggaran belanja nasional yang berjumlah 746,5
trilyun, tentu angka tersebut sangatlah jauh dari prosentase yang telah ditetapkan sebesar
20% untuk angaran pendidikan.

Terkait tentang UU Sisdiknas ini, pada Bab IX Standar Nasional Pendidikan, pasal 35 (3)
“Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan
pencapaian secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan “. Salah satu bentuk implementasinya berupa pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) dalam bentuk tes pilihan ganda. Tentang UN ini ada polemik bahwa
UN hanya berfungsi sebagai masukan bagi pemerintah dalam rangka pemetaan mutu
pendidikan, namun kenyataannya sebagai standar penentuan lulus tidaknya seorang siswa
pada satuan pendidikan tertentu. Bagi siswa yang tidak lulus akan ada ujian paket A
untuk SD, paket B untuk SMP dan paket C untuk SMA/SMK.

Pemberlakuan ujian paket ini hanyalah proforma untuk meluluskan siswa yang tidak
lulus UN. Kredibilitas pelaksanaan ujian paket ini pun cukup diragukan. Tahun pelajaran
2007/2008 ujian paket C untuk SMK bahannya sama dengan SMA padahal mata
pelajarannya berbeda. Dengan pelaksanaan ujian-ujian paket ini terkesan di kalangan
para siswa bahwa biar tidak lulus UN pun nanti akan lulus pada ujian paket yang legalitas
ijazahnya sama dengan ijazah lulus UN. Lulusan ujian paket dapat melanjutkan kuliah ke
perguruan tinggi.

Pada saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN) SLTA 2008, banyak siswa takut tidak lulus
karena merasa tak mampu mengerjakan soal-soal, terutama untuk mata pelajaran
matematika. Bagaimana kehebohan dalam pengumuman kelulusan nanti. Pemandangan
serupa agaknya juga terjadi dalam pelaksanaan UN SLTP, awal pekan, serta UN SD
pada 13-15 Mei 2008. Bagaimana pun, kekhawatiran itu masih membayangi. Tahun 2007
lalu ada seorang pelajar di Kalimantan Timur yang bunuh diri karena tidak lulus.
Sejumlah siswa lainnya mencoba melakukan hal yang sama. Ada juga yang mogok
makan, coba membakar sekolah, histeris, unjukrasa, dan sebagainya.

Inilah tragedi pendidikan memilukan yang rasanya akan terus berulang. Ia bagaikan teror
yang selalu hadir tiap tahun. Ironisnya, UN tahun 2009 diselenggarakan pada saat
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang memenangkan gugatan warga kepada pemerintah. Putusan pengadilan
memerintahkan pada pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru dan kelengkapan
sarana-prasarana sekolah, sebelum melaksanakan UN. Di sisi lain, pemerintah justru akan
menggugat dan memidanakan sejumlah warga negara (guru dan kepala sekolah) yang
dituduh telah berbuat curang dalam pelaksanaan ujian nasional.

Kerumitan dan kebingungan agaknya selalu menyertai setiap pembahasan mengenai


pendidikan di negeri ini. Harapan yang melambung akan masa depan, tuntutan
pragmatisme masa kini, serta beban pelestarian nilai-nilai kesejarahan bangsa, menjadi
jalinan masalah yang begitu kompleks. Kebijakan pendidikan pun seakan terombang-
ambing dalam tarik-menarik berbagai kepentingan tersebut.

Standar kelulusan UN pun ditentukan secara sepihak oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) tanpa mempertimbangan kondisi lapangan sehingga terjadilah
penyimpangan-penyimpangan UN seperti yang terjadi pada UN SMA/SMK pada tahun
ini. Kelulusan pada satuan pendidikan pun hanyalah ditentukan oleh mata pelajaran UN.
Mata pelajaran US seperti agama, KWN, dll hanyalah sebagai pelengkap penyerta.
Dalam konteks ini pernah ada komentar bahwa Inul yang terkenal dengan goyang
dangdutnya dapat hidup lebih mewah dengan bakat seninya, bukan karena lulus UN
Matematika.
Pendidikan sebagai layanan public meski selalu di kawal agar sesuai dengan harapan
semua pihak. Dengan demikian UN sebagai alat ukur layanan public perlu dipertanyakan.
Karena yang menikmati layanan public masyarakat, oleh karena itu risiko kelalaian
pemerintah dan aparatnya mestinya tidak ditimpakan kepada stakeholder. Lima Strategi
untuk mengawal layanan publik, yaitu (1) menciptakan sistem standar layanan; (2)
menerapkan Hight-Technology; (3) memberdayakan potensi insan pers; (4)
meningkatkan peran lembaga swadaya masyarakat; dan (5) mengembangkan sistem
pendidikan kepedulian. Adapun operasional setiap strategi adalah sebagai berikut.

1) Menciptakan Sistem Standar Layanan


Setiap institusi publik harus didorong untuk menerapkan sistem standar layanan,
misalnya menggunakan ISO. Sistem ini menuntut setiap pelaksana menerapkan standar
dan prosedur yang telah ditetapkan. Pemerintah harus memiliki jaminan layanan publik
yang bersifat universal. Apabila hal ini belum dapat dilaksanakan, maka lembaga layanan
publik harus dapat menciptakan standar layanan secara mandiri namun harus dibantu oleh
akademisi atau perguruan tinggi. Namun demikian, sangat diperlukan pelaksanaan
monitoring dan evaluasi dari pihak independen yang objektif.

2) Menerapkan Hight Technology


Kelemahan mendasar dari layanan adalah penerapan teknologi dan informasi. Oleh
karena itu, pemerintah harus didorong menggunakan fungsi teknologi tingkat tinggi
dalam menjalankan aktivitasnya. Penerapan teknologi tingkat tinggi memberi
kemungkinan kepada pihak lain untuk melakukan kontrol terhadap suatu kegiatan yang
dijalankan, termasuk layanan publik. Pemerintah pusat hingga daerah (kabupaten/kota)
harus didorong untuk menerapkan hight technology sehingga kelemahan yang dimiliki
SDM pemroses data dapat teratasi.

3) Memberdayakan Potensi Insan Pers


Pihak yang selama ini memiliki ruang publik yang sangat leluasa adalah pers. Melalui
suatu pemberitaan akan banyak orang mengetahui suatu informasi yang terjadi dalam
waktu singkat. Pers memiliki kode etik dan memiliki kebebasan dalam mengungkapkan
suatu kebenaran atau fakta apa adanya. Profesionalisasi insan pers merupakan kekuatan
yang sangat besar dalam mengontrol layanan publik yang dilakukan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya-upaya agar insan pers berdaya, memiliki jiwa
patriotis, objektif, dan profesional dalam memberitakan layanan publik.

4) Meningkatkan Peran Lembaga Swadaya Masyarakat


Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki konstribusi yang tidak sedikit dalam
memajukan bangsa ini. Banyak penggiat LSM yang memiliki nurani dan memiliki jiwa
patriotis dalam memajukan bangsa. Para penggiat LSM melakukan aktivitas secara tanpa
pamrih, kecuali untuk kepentingan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, sangat
diperlukan peningkatan peran LSM dalam pengawasan terhadap pemerintah khususnya
dalam memformulasikan dan mengimplementasikan layanan publik.

5) Mengembangkan Sistem Pendidikan Kepedulian


Dunia pendidikan kita saat ini telah menuju pada perbaikan yang sangat
menggembirakan. Jika negara tetangga telah menetapkan anggaran pendidikan minimal
20% itu sejak tahun 1979 maka Indonesia sejak tahun 2009 telah menetapkan anggaran
pendidikan sebesar 20%. Sejak tahun 2000 dilakukan penataan pengelolaan pendidikan di
Indonesia menuju ke arah yang lebih baik. Dalam konteks pengawasan implementasi
kebijakan publik, tampaknya perlu dilakukan pengembangan sistem pendidikan
kepedulian. Para siswa perlu dibekali pendidikan kepedulian, kebangsaan, dan wawasan
cinta tanah air secara mantap. Arah pendidikan pun bukan pada pencapaian nilai,
melainkan pada penerapan nilai-nilai kepedulian.

Konsep dasar pemerintahan adalah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi harapan
dan kebutuhan rakyat. Upaya-upaya tersebut berkaitan dengan manajemen dan politik
yang diterapkan oleh kepala pemerintahan. Pendekatan manajemen dijalankan agar
implementasi itu berlangsung secara sistematis. Pendekatan politik digunakan untuk
menciptakan dukungan yang lebih banyak dari wakil-wakil rakyat terhadap suatu
kebijakan yang diperuntukan bagi rakyat. Perpaduan keduanya merupakan sebuah “seni”
dalam memimpin suatu organisasi.

Apabila kita cermati kebijakan publik merupakan keniscayaan pemerintahan yang dipilih
secara langsung oleh rakyat. Pemerintah menghimpun sumber daya finansial dari pajak
yang berhubungan dengan kepentingan dan aktivitas rakyat. Oleh karena rakyat
memberikan kepercayaan kepada pemerintah untuk memamaj pemerintahan maka ia
harus menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat.

Masih banyak hal yang dapat kita lakukan dalam mengawal formulasi dan implementasi
kebijakan publik saat ini. Kata kuncinya adalah bahwa setiap komponen bangsa ini harus
menunjukkan jati diri atau “karakter” sebagai bangsa yang besar, maju, dan peduli. Selain
itu, berbagai upaya harus ditempuh dan dilakukan dalam rangka membangun bangsa
Indonesia ke arah yang lebih baik. Pandangan-pandangan konvensional tentang warga
negara harus segera ditinggalkan dan diubah dengan pandangan yang konstruktif.
Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah dan peduli. Oleh karena itu, setiap
komponen bangsa ini harus dapat menjalankan perannya masing-masing, sekalipun
perannya kecil. Setiap komponen bangsa harus bersama-sama menjelmakan sebuah
perubahan yang sangat diidamkan setiap orang. Setiap komponen bangsa Indonesia harus
memiliki kepedulian untuk memajukan bangsa ini dan mengakselerasi pembangunan agar
dapat melakukan lompatan positif agar bangsa ini semakin maju.

Era Kapitalisasi Pendidikan : Aktifitas Rekreatif dan Entertainment


Di era baru kapitalisasi pendidikan nasional, semua aktifitas politik yang progresif dari
mahasiswa akan tergantikan dengan aktifitas-aktifitas kemahasiswaan hanya semata-mata
hanya bersifat rekreatif dan entertainment semata yang sudah barang tentu adalah
langkah dari kaum pemodal untuk mengiklankan daganganya, misalnya program Class
Music on Campus, sebuah acara musik di yang di salah satu televisi nasional yang
disponsori perusahaan rokok. belum lagi acara entertainment yang lain yang sering
mampir di kampus-kampus tempat kita belajar dan berjuang. Inilah contoh-contoh
kongkrit depolitisasi secara sistematis oleh kapitalisme yang sudah mengalir deras dalam
ranah pendidikan nasional, atas situasi yang kapitalistik itulah nanti mempengaruhi,
bahkan tidak jarang menjadi segi yang menentukan munculnya sikap pragmatisme dan
oportunisme dari massa mahasiswa.

Kuatnya arus globalisasi saat ini, misalnya, menuntut perubahan kebijakan pendidikan.
Maka muncullah peraturan tentang Badan Hukum Pendidikan, standarisasi pendidikan
nasional, sertifikasi dosen guru, dan sebagainya. Namun kontroversi, perdebatan, aksi
protes, bahkan demonstrasi senantiasa menyertainya. Terlepas dari pro dan kontra
tentang arus yang dimotori negara-negara maju itu, globalisasi telah menjadi bagian
kehidupan sehari-hari kita. Menolak globalisasi ibarat gerakan menggantang asap. Tetapi
menelan mentah-mentah bisa jadi menggadaikan masa depan kita. Inilah dilema yang
juga dihadapi dunia pendidikan. Beban Kesejarahan Pakar pendidikan Mochtar Buchori
pernah mengatakan, kebingungan yang kita alami ini disebabkan oleh belum jelasnya
landasan filsafat pendidikan kita. Akibatnya kita terombang-ambing oleh pendekatan
kekuasaan.

Beberapa kasus diatas adalah sebagian kecil dari amburadulnya pendidikan nasional yang
semakin pro pasar alias komersil, mahal dan tidak pernah memihak rakyat. Beginilah
skenario episode baru penindasan di dunia pendidikan dengan lakon utamanya adalah
Kapitalisme, sehingga membuat mahasiwa semakin dijauhkan dari peran sosialnya dalam
mengabdi pada kekuatan massa rakyat buruh dan kaum tani, peredaman aktivitas politik
terhadap mahasiswa sehingga kongkrit pada giliranya nanti terjadi pelarangan terhadap
mahasiswa untuk berekspresi, berserikat bersama organisasi yang progesif, serta
mengeluarkan pendapat, kritik sebagai pertanda dari adanya demokrasi di lingkungan
kampus akan hilang dari pusaran dunia pendidikan nasional (khususnya perguruan
tinggi).
Fenomena Globalisasi, sebenarnya jauh-jauh hari pada awal abad 20 sudah dilihat V.I
Lenin yang mengistilahkanya dengan Imperialisme atau perkembangan tertinggi dari
Imperialisme. Yakni sebuah ciri dari perkembangan ekonomi Internasional yang ditandai
dengan penyatuan capital Industri dan capital Bank dalam kapital finans, pembagian
wilayah pasar dunia antar kapitalis, monopoli dan penguasaan atas pasar.

Senada dengan yang dianalisis Lenin dalam memandang Globalisasi, menurut Stiglitz
(2003), merupakan hubungan yang tidak setara antarnegara, lembaga, dan aktornya.
Karena itu, hubungan antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara
yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Disadari maupun tidak, sistem
ekonomi kapitalisme sudah berkembang dan merayap pada semua aspek kehidupan
kemasyarakatan di Indonesia, telah menjadi factor dasar material pembentuk hampir
seluruh orientasi kebijakan Negara di bidang sosial, ekonomi, politik, tanpa terkecuali
bidang pendidikan.

Lebih jauh dalam dunia pendidikan nasional yang berkembang pada era perdagangan
bebas saat ini semakin perlu untuk pahami. Karena, semua negara anggota WTO yang
sudah menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur
liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa antara lain: layanan kesehatan, teknologi
informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan, serta jasa-jasa lainnya akan terus
“Ditekan” agar secepatnya melaksanakan kesepakatan yang diambil dalam berbagai
macam konferensi dan perundingan tingkat tinggi yang mengatur masalah perdagangan
bebas barang dan jasa tersebut.

Konsekuensi dari komitmen Indonesia dalam WTO, yang juga diikuti dengan kesertaan
dalam menandatangani GATS (kesepakatan WTO berkaitan dengan perdagangan barang
dan jasa), AFAS (ASEAN Framework on Services) serta Deklarasi Bogor 1994/APEC
dan agenda Aksi Osaka. Semua perundingan internasional itu sebagai produk pendukung
liberalisasi pasar yang dikembangkan WTO. Itu artinya Indonesia juga harus mengikat
diri untuk ikut pada putaran-putaran lanjutan yang mendorong Negara peserta untuk
membuka pasar domestiknya secara lebih lebar dan lebih cepat supaya mudah diakses
pelaku industri dari negara lain, dan pada akhirnya menghapus semua hambatan
perdagangan barang dan jasa. Sejak Indonesia menjadi anggota WTO, secara otomatis
semua hasil perjanjian yang berhubungan dengan perdagangan multilateral, diratifikasi
menjadi UU No 7/1994 sebagai sebagai prasyaratanya agar lalu lintas perdagangan
barang dan jasa dari Indonesia bisa bersaing dan diterima di pasar bebas.

Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related
intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait
dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO
adalah semua komoditas jasa, tanpa terkecuali bidang pendidikan. Dari kondisi diatas,
kita bisa melihat bersama begitu besarnya kepentingan para pemodal asing terhadap
dunia pendidikan nasional baik secara langsung maupun tidak langsung, karena dunia
pendidikan merupakan ladang bisnis sangat yang sangat menjanjikan di kemudian hari.

Persolan substansi dalam setiap pendidikan apapun bentuknya adalah untuk memajukan
tingkat kebudayaan manusia sehingga bisa membangun sebuah peradaban manusia yang
lebih maju. Namun dalam praktek pendidikan nasional yang berkembang di iklim
kapitalisme yang monopolistik ternyata membuat masyarakat menterjemahkan Pertama,
hanya soal kemampuan ekonomi peserta didik dalam segi pembiayaan saja arti siapa
yang sanggup membayar mahal ia yang akan mendapat “pendidikan berkualitas” jelas hal
tersebut sangatlah diskriminatif alias tidak demokratis akhirnya situasi itu mendasari
kemunculan watak pragmatis (Untung Rugi) perserta didik, disinilah ketidak-ilmiahan
sistem pendidikan nasional saat ini. Kedua, bagaimanapun juga kaum kapitalis tidak akan
pernah rela untuk melakukan alih tekhnologi kepada negeri-negeri yang menjadi sasaran
pasarnya, sehingga banyak kasus terjadi hegemoni dan dominasi mereka bisa bertahan
tak “tergoyahkan”, ia akan memperoleh pendidikan yang berkualitas. Atas hal tersebut
kita bisa melakukan riset lebih mendalam atas kualitas para sarjana di Indonesia yang
bisa menghasilkan penemuan-penemuan di bidang sains dan tekhnologi yang betul-betul
berguna bagi massa rakyat di Indonesia.

Desentralisasi Pendidikan : Agenda Demokratisasi


Desentralisasi pendidikan yang satu paket dengan otonomi daerah sebagai kebijakan
yang dikeluarkan pascareformasi dengan agenda politik demokratisasi. Demokrasi
sebagai anak dari liberalisme dalam konsepsi politik melahirkan kebijakan desentralisasi
pengelolaan pemerintahan yang juga berimbas dengan kebijakan desentralisasi
pengelolaan pendidikan. Pada dasarnya kebijakan ini bertujuan untuk memberikan
kewenangan untuk mengelola secara mandiri bagi daerah dan satuan pendidikan masing-
masing. (Yayat Hidayat, 13/1/2009). Kebijakan ini menuai masalah, terutama ketika
pemerintah ngotot memberlakukan ujian nasional (UN) dengan acuan standar nasional,
padahal di sisi lain pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang memberikan kebebasan pada masing-masing daerah dan
institusi pendidikan untuk memberikan proses pembelajaran optimal namun
menyesuaikan dengan kemampuan dan lokal.

Akhirnya, timbul protes ketika dilaksanakan UN yang mengacu pada standar nasional
yang belum tentu sesuai dengan standar lokal masing-masing daerah dan satuan
pendidikan. Terjadi semacam ketidakadilan dan kerancuan paradigmatik di mana masing-
masing satuan pendidikan diberi kebebasan menyusun proses pembelajaran sesuai
dengan kekhasan, potensi, dan kemampuan yang ada tanpa menafikan upaya untuk terus
meningkatkan kualitas pendidikan, namun di sisi lain kebebasan tersebut dirampas oleh
adanya standarisasi nasional UN sebagai penentu kelulusan siswa. Standar inilah yang
seringkali tidak dapat dijangkau oleh satuan pendidikan di daerah yang relatif
terbelakang. Pelaksanaan UN ini pun pada akhirnya berakibat pada banyak kecurangan-
kecurangan dalam pelaksanaannya.

Manusia Indonesia cerdas, merupakan proses yang bersifat kemanusiaan, sehingga tujuan
pendidikan tidak hanya diukur dari kemampuan SDM, tetap harus berkemampuan
kepribadian dan moral kemanusian untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Tilaar
memberikan contoh, Depdiknas melaksanakan kebijakan ujian nasional untuk tiga mata
pelajaran yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika bagi siswa SMP dan
SMA adalah bertentangan dengan UU No. 20/2003 karena lembaga pertama yang berhak
menguji siswa adalah guru dan sekolah. (Kapanlagi.com, 18 Juni 2006).
"Pelaksanaan ujian nasional untuk tiga mata pelajaran itu mungkin bertujuan melahirkan
SDM Indonesia agar bersaing di era global, sedangkan mata pelajaran untuk mewujudkan
nilai moral, kebangsaan dan patriotisme tidak diujikan secata nasional, seperti Sejarah
Nasional dan Geografi," katanya.

Saat ini wajah pendidikan Indonesia begitu buram, masalah penetapan standarisasi yang
memiliki keinginan yang baik, untuk menghindari kesenjangan kualitas pendidikan di
wilayah yg begitu luas ini, yaitu penyelenggarakan UN di seluruh wilayah Indonesia
harus berakhir di MA, miriplah ketika di jepang juga pernah terjadi penolakan besar-
besaran dengan cara sentralistik yang mengakibatkan banyak sekolah dihancurkan.
Hanya saja kita bisa lihat betapa tidak siapnya pemerintah dengan sebuah blue print,
rencana kerja untuk faktor yg paling krusial bagi pembangunan di Negeri ini…
menyiapkan pendidikan yang baik bagi rakyat.

Sementara itu, Ketua Umum DPP PIKI Cornelius Ronowidjojo mengatakan paradigma
pendidikan yang hanya bertujuan meningkatkan kemampuan SDM untuk memenuhi
lapangan kerja, hanya akan menghasilkan lulusan yang bersikap pragmatisme dan
"hedonisme". Dia mengusulkan, agar paradigma pendidikan dikembalikan sebagai
bagian dari tujuan mewujudkan masyarakat sejahtera dengan memberikan muatan
pendidikan budi pekerti dan nilai kebangsaan sehingga pendidikan menghasilkan
manusia yang cerdik dan pandai, serta berbudi pekerti luhur, berjiwa kebangsaan dan
memiliki jatidiri Indonesia. (Kapanlagi.com, 18 Juni 2006).

Semua kebijakan (ujian paket) maupun penyimpangan ini tujuannya untuk memudahkan
siswa lulus dan memperoleh ijazah. Sebelum era-reformasi, siswa yang lulus akan segera
memproses ijasahnya untuk bisa dibawa dan digunakan, baik untuk melanjutkan
sekolahnya maupun untuk dijadikan syarat mencari pekerjaan. Namun apa yang terjadi
sekarang..? Setelah dinyatakan lulus, siswa dihadapkan kepada proses menunggu ijasah
yang begitu lama dan tak tentu kapan Izasah tersebut dapat diterima. Untuk tahun ajaran
2005-2006, blanko ijasah baru diterima oleh sekolah setelah lebih dari sebulan dari
semenjak siswa dinyatakan lulus, sehingga tak heran jika di setiap sekolah masih banyak
tumpukan ijasah yang belum diambil oleh pemiliknya, dengan alasan, siswa tersebut
sudah berada di luar kota dan belum membutuhkan ijasah tersebut. “Inilah kejadian yang
belum pernah terjadi selama bangsa ini berdiri...” Bahkan Buku Raport untuk tahun
ajaran 2006-2007, sampai saat ini belum tentu rimbanya. Ini juga belum pernah terjadi
selama bangsa ini berdiri.
Hal-hal ini merupakan sebuah sistem yang pragmatik sensasional yang berbeda dengan
esensi pragmatik itu sendiri. Pragmatik sensasional ini memberi kesan kepada khalayak
bahwa untuk lulus dan mendapat ijazah bagi para siswa sekarang ini tidaklah sulit. Tidak
lulus UN ada ujian paket. Dengan demikian semangat juang (belajar) siswa pun
berkurang. Hal ini karena sistemnya mempermudah untuk mencapai tujuan. Para guru
dengan serba keterbatasan sarana prasarana berusaha secara optimal namun respons para
siswa rendah, hasilnya pun rendah.

Peningkatan Mutu Pendidikan dengan Ujian Nasional


Dalam logika pemerintah, ujian nasional adalah suatu cara yang mesti ditempuh untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan memang telah
dicanangkan sebagai target bagi pemerintah dan tercantum dalam RPJM. Untuk
mengadakan ujian nasional ini pemerintah merencanakan diadakan dua kali, yaitu pada
bulan Mei dan Juni 2005. Berdasar kesepakatan antara komisi X dengan Depdiknas
anggaran pelaksanaan sebesar Rp 249 milyar baru akan terbit setelah PP Standar
Nasional Pendidikan disyahkan.

Setelah PP no 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan diterbitkan ujian


nasionalpun diadakan sesuai rencana pemerintah. Pihak pemerintah mengklaim bahwa
keputusannya ini diambil setelah didukung oleh serentetan studi yang dilakukan oleh
Depdiknas (Kompas, senin 31 Januari 2005).

Sebenarnya PP Standar Pendidikan Nasional ini menuai reaksi keras publik karena
dituduh dibuat secara tergesa-gesa dengan maksud menjadi alat pengesah dari kebijakan
pemerintah yang lain yaitu pelaksanaan ujian nasional. Pengadaan ujian nasional yang
dilakukan secara tergesa-gesa ini dikritisi oleh masyarakat karena berbagai alasan di
bawah ini;
Ketidaksiapan Murid. Ujian nasional dilaksanakan secara tiba-tiba membuat siswa tidak
siap. Hal inipun cukup merepotkan guru, mereka kesulitan menjelaskan standar nilai
kelulusan kepada siswa. Akibatnya mereka pun tidak tahu sejauh mana materi yang akan
diberikan kepada siswa untuk persiapan ujian nasional. Pasalnya, standar nilai kelulusan
akan ditentukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan yang pembentukannyapun baru
saja dilakukan dan belum efektif bekerja. Kenyataan ini sangat meresahkan baik siswa,
guru, maupun orang tua siswa.

Ujian Nasional diskriminatif terhadap sekolah pinggiran. Sekolah pinggiran----seperti


yang berada di daerah terpencil, daerah bencana, daerah konflik, dan daerah miskin--- tak
memiliki kualitas yang sama dengan sekolah-sekolah di daerah lain. Oleh karena itu ujian
nasional yang diadakan secara tergesa-gesa tak memberi kesempatan kepada mereka
untuk menyiapkan diri secara lebih baik. Akibatnya ujian nasional cenderung
diskriminatif terhadap mereka, jika dibanding dengan siswa dari daerah-daerah yang
normal.

Ujian nasional cenderung memberatkan orang tua siswa. Menurut pengamatan Kompas,
biaya yang dikeluarkan oleh siswa menghadapi ujian nasional cenderung bertambah
besar. Kenaikan biaya itu akibat biaya tak langsung untuk persiapan ujian nasional seperti
biaya pengayaan materi mulai dari tambahan biaya pengajar dan tambahan materi dari
buku-buku atau foto copy dan try out.

Memakai porsi anggaran pendidikan Depdiknas. Ujian nasional tidaklah murah, untuk
menyelenggarakannya akan menelan anggaran Depdiknas yang dialokasikan dari APBN.
Sebagai perbandingan, Ujian Akhir Nasional (UAN) 2004 misalnya menghabiskan
anggaran sekitar Rp 300 milyar. Karena itu tak salah bila ada yang mengkritik bahwa
penyelenggaran ujian nasional hanyalah pemborosan anggaran. Di tengah bertumpuknya
persoalan pendidikan, pemborosan anggaran sangatlah tidak tepat.

Peningkatan mutu pendidikan dan standaridisasi pendidikan tidaklah mudah. Seharusnya


yang dilakukan oleh pemerintah adalah justru pemikiran segar guna meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia yang membutuhkan strategi bertahap dan tanpa penyeragaman.
Sekolah-sekolah yang kurang berkualitas atau di daerah-daerah terpencil dapat dipacu
dahulu dengan berbagai bantuan untuk peningkatan kualitas, baik dari segi prasarana dan
tenaga pengajar, sampai akhirnya siap dilakukan standarisasi yang sesungguhnya.

Gino Vanollie, sekretaris umum Forum Martabat Guru Indonesia, berpendapat daripada
langsung mengadakan ujian nasional seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan
evaluasi apakah pemenuhan standar pelayanan minimum pendidikan sudah dilaksanakan
di sekolah-sekolah, mulai dari program hingga kualitas guru. Sebab bila belum maka
ujian nasional hanyalah akan melakukan diskriminasi terhadap daerah-daerah yang
kurang memiliki akses terhadap pendidikan.

Mencanangkan Guru sebagai Profesi


Karena penasaran kenapa sedikit sekali lulusan SMA yang berhasil lolos seleksi
program-program studi eksak, Dinas Pendidikan NTT mengadakan tes untuk para guru
SMA. Dalam tes tersebut, para guru diminta mengerjakan soal-soal matematika, fisika,
dan kimia yang diambil dari soal-soal ujian masuk perguruan tinggi. Hasilnya sangat
mengejutkan, ternyata para guru hanya mendapat nilai rata-rata 4,0. Kasus di propinsi
NTT ini menunjukkan betapa rendah kualitas guru di Indonesia.

Pemerintah SBY-Kalla, sebagaimana disebut dalam RPJM, menyadari bahwa mutu guru
merupakan salah satu penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu
sebabnya adalah dalam kebijakan-kebijakan sebelumnya seringkali guru diangkat dengan
mekanisme crash program. Guru-guru diangkat bukan dari lulusan pendidikan guru
namun hanya melalui training singkat.

Untuk meningkatkan mutu guru, Mendiknas mencanangkan program peningkatan


kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik dalam program 100 hari pertama
kabinetnya. Sebagai tindak lanjut dari program ini maka pada tanggal 2 Desember 2005
lalu, pada peringatan hari guru nasional, Mendiknas mencanangkan guru sebagai profesi.

Peningkatan status guru dari pekerja menjadi profesi harus diikuti pendidikan khusus
yang dapat meningkatkan kualitas mereka. Menurut Menteri, peningkatan kualitas guru
itu sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Kompas, Jum’at 28
Januari 2005).

Kebijakan peningkatan profesionalisme guru tak cukup berhenti sampai di sini. Untuk ini
pemerintahan SBY telah merancang RUU tentang guru. Pemerintahpun telah
mempersiapkan lembaga utama yang mengurusi profesi guru, yakni Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan yang saat ini dijabat oleh Fasli Jalal.

Pasal 12 (1) RUU guru versi penyempurnaan 9 November 2004 disebutkan bahwa gaji
guru pegawai negeri sipil (PNS) ditetapkan lebih tinggi dari pada gaji PNS lain, yang
besarannya diatur tersendiri dengan peraturan pemerintah. Ayat (2) pasal yang sama
menyebutkan bahwa gaji guru non-PNS ditetapkan oleh penyelenggara satuan pendidikan
dengan mengacu kepada besaran gaji guru PNS tersebut.

Menurut Mohammad Surya, Ketua Pengurus Besar PGRI, RUU tersebut ingin
melindungi hak guru yang selama ini terabaikan. Alasannya, ”kalau tidak ada landasan
hukumnya, kesejahteraan para guru tidak akan meningkat dan akan terus berdampak pada
kualitas pendidikan di Indonesia”.

Mendukung hak-hak guru adalah langkah maju dalam kebijakan pendidikan. Sebab
kebijakan ini seiring dengan tuntutan peran profesional guru. Hanya saja persoalan
profesionalisme guru tak akan selesai semata dengan memberikan sebuah Dirjen yang
mengurusi peningkatan mutu guru. Pasalnya peningkatan mutu guru bukanlah persoalan
birokrasi dan manajemen semata.

Demikian juga kualitas pendidikan dasar di Indonesia tak cukup dilakukan hanya dengan
peningkatan kesejahteraan PNS. Pasalnya, saat ini ribuan sekolah masih sangat
tergantung pada jutaan guru bantu dan guru honorer bergaji sangat rendah. Di bawah ini
adalah data guru bantu di setiap propinsi di Indonesia.
Tabel. Data Sebaran Guru Bantu Menurut Jenjang Pendidikan
di Tiap Propinsi tahun 2003
No Propinsi Jenis/Jenjang Sekolah Total
SD SMP
1 DKI Jakarta 925 1.071 1.996
2 Jawa Barat 17.448 4.586 22.034
3 Jawa Tengah 9.563 6.779 16.342
4 D.I.Yogyakarta 669 381 1.050
5 Jawa Timur 8.498 5.098 13.596
6 Nangroe Aceh 1.425 1.410 2.835
7 Sumatera Utara 7.067 2.357 9.424
8 Sumatera Barat 3.666 1.297 4.963
9 Riau 2.594 1.171 3.765
10 Jambi 1.555 671 2.226
11 Sumatera Selatan 3.763 2.127 5.890
12 Lampung 2.233 1208 3.441
13 Kalimantan Barat 2.302 849 3.151
14 Kalimantan Tengah 1.547 920 2.467
15 Kalimantan Selatan 1.659 1.009 2.668
16 Kalimantan Timur 1.016 539 1.555
17 Sulawesi Utara 307 250 557
18 Sulawesi Tengah 2.285 1.288 3.573
19 Sulawesi Selatan 4.735 1.693 6.428
20 Sulawesi Tenggara 1.220 667 1.887
21 Maluku 3.202 394 3.596
22 Bali 1.164 486 1.650
23 NTB 1.404 711 2.115
24 NTT 2.722 884 3.606
25 Papua 1.640 615 2.255
26 Bengkulu 471 331 802
27 Maluku Utara 283 227 510
28 Banten 10.430 3.313 13.743
29 Bangka-Belitung 816 194 1.010
30 Gorontalo 648 175 823
Total 13.597 42.701 56.298
Diolah dari data Balitbang Depdiknas 2003

Melihat bahwa jumlah guru bantu tingkat SD dan SMP yang demikian banyak,
sesungguhnya pendidikan di Indonesia bergantung terhadap mereka. Apabila seluruh
guru bantu yang ada menarik diri dari mengajar proses belajar mengajar di sekolah akan
terganggu. Oleh karena itu, pemerintah tak cukup hanya memperhatikan kesejahteraan
guru PNS. Guru bantu juga patut mendapatkan penngkatan kesejahteraan karena mereka
memiliki fungsi yang sama dengan guru PNS.
Profesionalitas Guru : Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru ini untuk mengesahkan gurunya profesional walaupun hasil UN siswa
jauh dari standar kelulusan. Apa relevansinya profesionalitas guru dengan hasil
kinerjanya yang demikian. Lalu apakah semua guru dari SD sampai sekolah menengah
sudah berijazah S1. Guru yang sekarang tidak berijazah S1 dulu dengan sistem yang ada
mereka pun lulus tes dan diangkat menjadi guru.
Persoalan idealisme dan pragmatisme pendidikan efeknya menyeluruh ke dalam semua
dimensi kehidupan sosial, termasuk sistem pendidikan kita. Sebenarnya, hal itu telah
''dimanfaatkan'' dan ''dikondisikan'' oleh skenario sistem tersebut, di mana ia menjerat
dunia hari ini: kapitalisme global. Ketika berbicara soal ''adanya sesuatu itu karena
didesain sedemikian rupa'', maka yang perlu dicermati lebih dalam lagi jika kita berbicara
tentang berkualitas atau tidaknya out-put pendidikan itu adalah keterpaksaan yang nyata
hari ini untuk kebutuhan yang instan. Lalu, persoalan kualitas tidak terfokus lagi pada
perdebatan antara sekolah/universitas negeri-swasta, akan tetapi lebih terfokus pada
faktor-faktor apa saja yang bisa mendongkrak kualitas itu dan bagaimana cara melakukan
pendobrakan itu.
Titik persoalannya pada kecenderungan sebagian masyarakat saat ini untuk berbuat
demikian lantaran dipaksa oleh sebuah aturan dan sistem yang selalu mengukur kualitas
itu dengan ijazah. Ini adalah masalah nilai dan sistem pendidikan kita yang bobrok dan
bukan institusinya. Pemalsuan ijazah hanyalah ekses dan imbas dari nilai dan sistem
negara kita yang didikte oleh sistem yang lebih besar dan kuat, termasuk sistem
pendidikan yang cenderung menciptakan tukang-tukang.
Dapat dianalogikan pendidikan seperti seekor burung merpati yang mau terbang tinggi
(mutu tinggi), namun hanya terbang dengan sebelah sayap (usaha guru). Sedangkan
sebelah sayap (siswa) patah (semangat belajar/semangat juang menurun). Bila mutu
rendah guru dicercah tidak berkualitas, kompetensi rendah, dll. Terpaut dengan
kompetensi dan profesionalitas guru ini pun agak aneh. Cukup dengan portofolio
(rekayasa) dan berijazah S1 dianggap sudah profesional dengan imbalan uang per bulan
satu kali besar gaji. Tes kompetensi, hasil kinerja lapangan, hasil penilaian masyarakat,
penilaian kepala sekolah atau instansi lapangan yang lebih dekat dan tahu kinerja guru
sama sekali tidak menjadi faktor pertimbangan.

Selain imbauan moral untuk aparat pemerintah, perlu ditambah lagi bahwa paradigma
masyarakat tentang pendidikan dan hegemoni kapital dalam dunia pendidikan sudah
saatnya didobrak. Perlu dilakukan sebuah terobosan untuk menggembosi kemapanan itu.
Kata kuncinya ialah penyadaran. Program penyadaran bisa bervariasi bentuk dan
wujudnya dalam pelaksanaan. Hal itu bisa dikembalikan kepada masyarakat.
Penyadaran kepada masyarakat harus diberikan, bahwa pendidikan itu tidak melulu
formalitas seperti jenjang-jenjang yang ditempuh: SD, SMP, SMA dan universitas, dan
pengetahuan itu sendiri tidak melulu berasal dari bangku sekolah. Pengetahuan dan
kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh kurikulum-kurikulum baku dari pemerintah
yang selalu mengejar pendiktean kebutuhan bursa pasar kerja. Untuk mendobrak
hegemoni institusi formal, sedini mungkin harus disosialisasikan ide-ide penyadaran
tentang hakikat sekolah dan kaitannya dengan pengetahuan.
Tidak semudah yang dibayangkan oleh perumus regulasi yang berkapasitas sarjana agar
para guru SD SMP, SMA di seluruh pelosak tanah air harus belajar kembali untuk
mendapat ijazah S1 sesuai dengan tuntutan serifikasi. Bagi guru yang di kota yang ada
perguruan tinggi bisa saja ada kemungkinan, namun bagi mereka yang jauh dari kota atau
berada di daerah terisolasi kesulitannya pun tersendiri. Ada guru yang lulus sertifikasi
dengan cara murahan di atas sudah mendapat tunjangan, guru yang belum hanyalah
berharap cemas. Inilah sebuah sistem yang diskriminatif.

Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall
Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and
practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia


Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

You might also like