You are on page 1of 7

Sosiologi Pelayanan:

Sikap teologis & aksi sosiologis pelayanan & hamba Tuhan GPdI
Pdm. Elia Tambunan, M.Pd - Mahasiswa S3 Univ. Islam Negeri “ Sunan
Kalijaga” Yogyakarta, 2009.

Dalam era post-modernisme ini, masyarakat adalah subjek dari


tindakannya sendiri. Sturktur masyarakat bukan lagi hanya kaum
terdidik, melainkan juga rakyat biasa. masyarakat merdeka, bebas dari
tekanan dan dominasi siapapun dalam melakukan praxis bersama-sama.
Ruang tanpa harus ada dominasi dan otoritarianisme absolutis dari
keyakinan-keyakinan agama. Masyarakat tidak mengalami religionphobia
atau
Pageketakutan
|1 yang menimbulkan kebencian terhadap agama lain. Meski demikian, tetap
berazaskan dengan kode etik organisasi, ad/art sebauh ikatan, komunitas, asosiasi dsb yang
biasanya berdasarkan norma-norma agama para anggotanya. Meski ada konsekuansi dekadensi
moral. Jika demikian, bagaimana pendekatan sosiologis pelayanan GPdI dalam setting sosial
seperti ini? Ini perlu dipertimbangka bersama secara seksama, meski tanpa melupakan
artikulasi dari nilai-nilai teologisnya kita.

Disini, saya merumuskan persoalannya secara akademik agar kita lebih berpikir kembali soal
fenomena dan realitas sosial serta implikasinya di masyarakat:1) bagaimana sikap teologis dan
aksi sosiologis kita dalam proses menjadi (on being) pelayan atau jemaat GPdI di dalam
masyarakat, 2) bagaimana sikap teologis dan aksi sosiologis kita dalam keterlibatan sosial (on
involving) di dalam perubahan sosial masyarakat Indonesia yang semakin terdidik, 3)
bagaimana sikap teologis dan aksi sosiologis kita dalam membawa keluar (on sharing)
pelayanan kita ke masyarakat Indonesia yang semakin sadar dan menuntut pluralitas dan
multikultural. Untuk itu, kita perlu memikirkan ulang pendekatan teks keagamaan kita secara
teologis dan reorintasi pelayanan kita secara sosiologis.

Permasalahan akademik disini perlu kita pahami dalam dua pendekatan yakni pendekatan
normatif teologis dan pendekatan sosiologisnya secara lebih cermat. Pendekatan ini
konsentrasi pada praxis kolektivitas religius sebagai mikrokosmos masyarakat dimana proses
dan pola sosial dapat diamati, (M.S. Northcott, 2005: 271) Pendekatan sosiologi menyelidiki
perilaku keagamaan untuk mempertanyakan dan memaknai keyakinan dan ritual keagamaan
apa yang terus bertahan dalam lingkungan kehidupan tertentu dan mengapa? Ini ingin melihat
secara langsung kaitan antara lingkungan personal atau konteks sosial tertentu dengan
keyakinan mengenai Tuhan. Ini juga ingin mengetahui pengaruh penjelasan keagamaan
mengenai penyimpangan dan kekacauan sosial ataupun penyakit sosial dan upaya-upaya sosial
untuk mengatasinya. Disinilah pendekatan sosiologis sangat diperlukan.

“Merombaknya”, bukan jadi tujuan tetapi, untuk memikirkan ulang sikap teologis dan aksi
sosiologis pelayanan dan pendeta GPdI yang didasari oleh Corps de Spiritnya yang
bersumber darinya dan tanggung jawab moral dan teologis kita sebagai hamba Allah di tengah
mayoritas, pluralitas dan multikulturalitas agama di seluruh Indonesia. Dengan pemahaman
seperti itu, artian sebenarnya peran sentral gereja dan agama tetap menguat hanya saluran atau
cara kerjanya lebih umum dan tetap memperhatikan kebutuhan individu dan kelompok agama
tertentu. Kini, kita (saya akan tetap mempertahankan kata “kita” yang artinya pendeta, pelayan,
aktivist gereja, dan jemaat Kristen yang ikut terlibat aktif dan aktor di dalammnya, termasuk
saya), sedang memasuki era “masyarakat post-sekular” yang di dalamnya sekularisasi harus
diinterpretasikan secara baru sebagai proses tindakan komunikatif (Habermas, 2009: 4), dan
saling belajar berkomunikasi antara pemikiran sekular dan pemikiran religius, antara agama
yang satu dengan yang lain .

Dalam setting sosial masyarakat rasionalist dan multikulturalist, saya melihat sebenarnya
masih ada celah kemerdekaan kebebasan hak individunya dalam menentukan pilihan
berTuhan, berAgama atau tidak. Rasionalitas dan multikulturalitas berdampak pada masyarakat
bebas menggunakan rasionya di dalam “ruang public.” (Habermas 2007: xv). Masyarakat
rasionalitas (Habermas, 2002: 148) maksudnya: 1) Masyarakat percaya dengan bebas terhadap
kekuatan akal budi manusianya. 2) Masyarakat menolak klaim kebenaran tradisi, dogma dan
otoritas di luar pemikiran rasionalnya yang tidak dapat begitu saja ditetapkan oleh otoritas
religius. 3) Masyarakat mengembangkan metode baru bagi ilmu, pengetahuan dan teknologi. 4)
Masyarakat mengarahkannya kepada ha-hal yang sekularis. Sekularisasi ialah suatu pandangan
dasar dan sikap hidup yang dengan tajam membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai
sesuatu yang duniawi saja. Sekularisme menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat
(Mendieta, 2002: 15). Lalu, masyarakat multikulturalitas saya maknai dengan mayoritas,
pluralitas dan multikulturalitas. Pertama, mayoritas disini dimaksudkan adalah nominal
anggota pemeluk kelompok non Kristen, dukungan politik dan regulasi hukum di daerah-daerah
mendominasi bahkan menindas yang lain. Setidaknya ini terlihat dari konflik politik sebenarnya
jika cermat diurai detail-demi detail, itu manifestasi politisasi keagaaman dalam kasus
pembakaran gereja. Dan, diberlakukannya otonomi daerah dan sekaligus otonomi regulasi
hukum Syariah Agama, di daerah-daerah Mayoritas Islam.

Kedua, pluralitas maksudnya disini dimaknai sebagai masyarakat bahkan “dunia yang terdiri
atas berbagai agama” (W.C. Smith, 2000: 46). Ketiga, multikulturalitas maksudnya disini adalah
partisipasi publik dengan saling memahami ada perbedaan dan telah saling berintegrasi dengan
hidup dan bekerja bersama dalam konteks egaliterianisme demokrasi dan bebas
berkewarganegaraan yang termanisfestasi dan terakomodasi dalam perbedaan serta kesamaan
dalam institusi masyarakat dan institusi politik. Masyarakat yang bebas dalam sharing
something in common, artinya membagikan suatu nilai-nilai keyakinan yang umum tanpa
tendensi apapun sebagai warganegara (Modood, 2007: 6). Keanekaragaman keagaman ini
menimbulkan persoalan manusia secara umum, karena ia mengacaukan masyarakat. Ini karena
tradisi-tradisi yang berbeda, yang berkembang secara terpisah dan menyendiri. Ia berbuat
demikian, karena agama dalam pengertian militansi dari aksi fanatisme atau fundamentalismen
sikap pemeluknya menjadi kekuatan yang mengerikan karena saling mendominasi dan berebut
pemeluk, bukan hanya secar eksternal agama, juga secara internal organisasi, jika internal
mikro sesama anggota jemaat gereja tertentu.

Bagaimana dengan GPdI hari ini. Saya menganalisisnya sebagai sebuah contoh kasus dilihat
dari beberapa butir pasal di AD/ARTnya yang tampak jelas. (karena lebih banyak saya ketahui
dibanding yang lain). Beberapa butir pasal saya gunakan sehingga menunjukkan sifat analisis
partikularis dari tulisan ini. Jika diamati dengan pendekatan interkoneksi dan intergatif antara
normatif teologis dan sosiologis, maka perlu direaktualisasi. Artinya dipikirkan ulang agar
lebih aktual, efektif sesuai dengan konteks lokal, stereotype daerah dan OTDAnya. Perlu
revitalisasi, artinya penguatan ulang dengan mendesain ulang (bukan meragukan iman dan
meragukan pendeta, organisasi dan pelayanannya) pendekatan pelayanannya dan cara
mengekspersikan nilai-nilai doktrin dan institusi keorganisasian dan keagamaan, di tengah
Mayoritas, Pluralitas dan Multikulturalitas Agama seperti penjelasan di atas.

Di dalam Bab Mukadimah AD&ART setidaknya, para pionir yang sangat berjasa dan harus
dihormati serta diteladani, oleh dorongan dari Roh Kudus-ini kita terima dengan iman saja-,
telah merumuskan saat itu, bahwa: “GPdI terpanggil mengamalkan Amanat Tuhan Yesus
Kristus untuk memberitakan Injil sepenuhnya yang termaktub dalam Alkitab yaitu: “Pergilah
ke seluruh dunia (baca: masyarakat yang tinggal di dalam dunia), beritakanlah Injil kepada
(baca: injililah) segala mahluk, siapa yang..., (Mrk 16:15-18), dan Karena itu pergilah (baca:
tindakan aktif berbuat sesuatu), jadikanlah semua bangsa muridKu (baca: “menerima Yesus”
yang umumnya masih kita fahami menjadi Kristen dari pendekatan teologis), dan baptislah...”
(Mat 28:19-20)”. Lalu, dalam Bab II Asas, Pasal 5 dirumuskan: “GPdI berasaskan pancasila
sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Tidak ada yang salah dengan ini sebagai AD&ART sebuah organisasi keagamaan dari
pendekatan normatif teologis dan memenuhi perintah berbuat sesuatu yang riil dari amanat
agung kedalam pelaksanaannya dari pendekatan sosiologis. Pendeta, pelayanan GPdI sedang
melaksanakannya.

Kemudian, dalam ART Bab I, Penginjilan, Pasal 1: GPdI dalam mencapai tujuannya (di AD, Bab
IV, Tujuan, Pasal 8: GPdI bertujuan mengamalkan amanat Tuhan Yesus Kristus yang termaktub
dalam Alkitab PL&PB demi keselamatan - dalam pendekatan normatif teologis- umat Manusia-
dalam pendekatan sosiologis-, melaksanakan kebaktian-kebaktian penginjilan di gedung-
gedung gereja, di kota-kota, di desa-desa, di kampung kampung, di dusun-dusun, di rumah-
rumah sakit, di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di asrama-asrama, di kompleks
perumahan (real estate, ruko, perkantoran), di lembaga-lembaga pemasyarakatan, di daerah
pemukiman, di daerah transmigrasi, diperkebunan, di panti-panti asuhan dan rumah-rumah
jompo, di daerah-daerah suku terasing, di perusahaan-perusahaan, ditempat lain dimana Injil
dapat diberitakan, dan mengadakan Kebaktian Kebangunan/Penyegaran Rohani dalam
gedung-gedung umum, di lapangan terbuka atau dalam kemah penginjilan, serta menyiarkan
berita Injil, memalui media massa, dan mengutus penginjilan-penginjil baik ke seluruh pelosok
Indonesia maupun ke luar negeri”.

Pendekatan interkoneksitas dan integratif antara Normatif Teologis dan Sosiologisnya dalam
hal revitalisasi dan reaktualisi pelayanan GPdI. Pertama, perlu kita pahami dengan benar
bahwa hanya dengan pendekatan normatif teologis seperti yang dirumuskan founding fathers
kita bahwa: “GPdI terpanggil mengamalkan Amanat Tuhan Yesus Kristus untuk
memberitakan Injil sepenuhnya yang termaktub dalam Alkitab yaitu: “Pergilah ke seluruh
dunia sasarannya tentulah masyarakat yang tinggal di dalamnya yang telah pasti kita hidup
bersama masyarakat yang mayoritas, bermasyarakat yang pulralistas dan multikultural.
Kemudian, beritakanlah Injil kepada yang dimaksudkan adalah injililah segala mahluk artinya
siapa saja masyarakat yang mayor, plural, dan multi ttersebut. Selanjutnya, jadikanlah semua
bangsa muridKu dalam hal ini cita-cita kita adalah semua masyarakat mayor, plural dan multi
akan “menerima Yesus” yang umumnya masih kita fahami menjadi Kristen dari pendekatan
normatif teologis.

Ini perlu dipikirkan ulang untuk menuntun kita dalam melayani, Jika ini diterapkan secara
mekanis, skripturalis akan menimbulkan konflik keagamaan yang mengarah kepada politisasi
keagamaan. Pendekatan normatif teologis terhadap teks Alkitab yang menuntun bagaimana kita
bersikap terhadap masyarakat. “Pendekatan Ini tanpa memperhatikan bentuk-bentuk atau
makna atau muatan kultural dari institusi sosial masyarakat dan agama lainnnya. Makna dan
muatan budaya dari institusi sosial dianggap tidak bermakna dan tidak diperhatikan”
(Baidhawy, 2001: xv), karena dengan sikap skrituralis yang demikian, masyarakat Kristenlah
yang benar karena ini hasil pemahaman dari Kitab Suci.

Pendekatan seperti itu luput mengamati keunikan masyarakat lokalnya. Masyarakat Indonesia
dengan pluralitas dan multikulturalitasnya memiliki sistem makna sehingga mereka saling
berinteraksi dan memiliki basis sosial dan lokasi sosial dengan cirinya partikularnya yang tentu
tidak sama lagi dalam anggapan zaman kolonialisasi. Masyarakat pluralitas dan
multikulturalitas dimana kita melayani, mereka hidup dalam dunia maknanya sendiri dan
dalam stigma dan dan perjuangan kelasnya sendiri, dimana mereka berproduksi dan juga
berjuang dalam proses perubahan sosial dan semakin menggunakan rasionalitasnya dan
semakin memperlihatkan betapa masyarakat memiliki kekuatan sosial kini, semakin dibuktikan
dalam kasus Pritasari dan kekuatan Social Networking Facebook dalam kasus Bibit-Chandra. Jika
kita terpaku dalam pendekatan pelayanan seperti ini, akan menimbulkan masalah.

Disisi lain, GPdI berasaskan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Apakah tampak masalah disini, jelas tidak. Ini
menunjukkan tingginya pengetahuan mereka saat itu dan betapa mereka memiliki social sense,
social sensitivity yang sangat peka. Ini membuktikan betapa mereka benar dilhami oleh Roh
Kudus. Saya akan membuatnya lebih jelas dalam pendekatan ini. Terpanggil mengamalkan
Amanat Agung (soal ini seluruh denominasi gereja menyadarinya dan untuk tujuan itulah gereja
eksist) untuk membawa jiwa-jiwa bagi Kristus seperti bahasa yang biasa kita ucapkan, itulah
tujuannya, kepada siapa? Kepada Kristus dan menjadi murid Akristus dan menjadi Kristen.

Jika mukadimah ini dilaksanakan dengan pendekatan normatif teologis, tindakan kita
memperjelas kita tidak menyadari posisi kita dibandingkan mayoritas, tindakan kita melawan
pengakuan kita terhadap pluralitas dan multikulturalitas. Dapat dikatakan bahwa pelayanan
kita menunjukkan identitas kita yang monolitas, bukan yang lainnya. Disisi lain, dengan
sensitifnya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, seharusnya kita
dengan melakukannya kita telah mengubah identitas kita yang monolitas menjadi pluralitas dan
multikultural. Apa tantangannya dari luar.

Jika kita menyadari posisi kita di bawah mayoritas, ini yang terjadi. Disisi lain, pemerintah
mayoritas seperti yang dijelaskan terus mempropagandakan “perlakuan adil dan sama di mata
hukum dan kebebasan beragama.” Apakah ini seindah kalimatnya, bukankah ada ideologi
dibaliknya? Mari kita berpikir ulang disini bahwa prinsip perlakuan mayoritas disini adalah
bermotif politik bertopeng sosiologis. Ini adalah gerakan penindasan dan pengabaian secara
sistematis, jika kata genocide (pembunuhan massal suatu suku, etnis dan agama tertentu)
terlalu seram. Perhatikan dengan seksama, prinsip kesamaan dihadapan hukum terkait dengan
ide keadilan, karena semua warga negara diperlakukan sama tanpa diskriminasi.

Tetapi, prinsip kesamaan ini sampai pada taraf tertentu bisa berbalik menjadi ketidak adilan,
jika kekhususan, kekhasan, keberlainan dari individu-individu, dan keminoritasan atau sebut
saja “diferensiasi” kelompok keagamaan akan diabaikan. Dengan diperlakukan sama, kelompok
minoritas justru tertindas dan terdiskriminasi karean kesamaan itu menguntungkan mayoritas.
Keadilan diartikan kesamaan oleh semua orang yang tidak senang memikirkan ulang, bahkan
kita suka dengannya. Tetapi kesamaan yang bermotif politik bertopeng sosiologis menjadi
memuncak pada penyamaan, mengeneralisasikan tanpa batas sebenarnya jika kita suka
memikirkan ulang sangat bertentangan dengan keadilan yang kita sukai bersama.

Seharusnya kita juga memikirkan keadilan dengan motif yang lain dan tidak bertopeng
sosiologis palsu yakni keadilan dalam sikap menghargai dan memperlakukannya sesuai dengan
eksistensinya. Kita sebaiknya pikir ulang, “Differensisasi tidak harus berakhir diskriminasi
karena mempersepsi perbedaan bisa juga membangun sikap adil, (F.B. Hardiman, 2003: ix),”
meskipun ditengah tekanan sosial, politik mayoritas. Dengan demikian yang terjadi adalah
bukan kebebasan beragama secara institusional tetapi lebih diarahkan kepada kebebasan
berkeyakinan di dalam hati dan diri sendiri, jika dilihat realitasnya dari perlaukan regulasi
hukum syariah dan biroktarisasi agama.

Kedua, saya memilih kasus yang lebih luas. Sadar atau tidak kita dan saya menganggap bahwa
seluruhnya Kristen, sedang melakukan hal yang sama. Saya sebut sama karena untuk
mengemban amanat agung yang menjadi missi utama kita. Contoh kasus yang lebih luas,
bangganya kita dengan “International Prayer Confrence”, “Indonesia Prayer Cofference” dengan
bulat tujuan meminta Tuhan untuk menobatkan, (dalam asumsi kita selalu menjadi Kristen,
setidaknya ini umum) nonKristen lewat doa-doa syafaat kita untuk keselamatan jiwa-jiwa. Saya
beri contoh yang lebih kongkrit. Hanya, itu bisa dipahami secara analogi berpikir dan paradigma
sosiologis bukan iman semata. Papua pun kini sedang berusaha menunjukkan dominasi dan
regulasi hukum berdasarkan normatif teologis agama, karena terus berjuang menetapkan
menjadi KOTA INJIL. Itu bagus dalam pendekatan normatif Teologis. Tetapi dari kacamata
pendekatan sosiologis, tindakan sosial masyarakat ini tidak memahami secara multikulturalis
sisi esensi teologisnya secara komprehensif. Itu dinobatkan menjadi KOTA INJIL secara spritual,
gaya di dalam hidup (esensi dan substansi) boleh saja, dan harus kita dukung. Namun, ini perlu
dikritisi lewat interdialog teologis, interdialog akademis, dan interdialog sosiologi-praxis.

Jika itu menjadi regulasi, legislasi dan diundang-undangkan dengan teks-teksnya agama atau
Injil-Alkitab karena dijadikan sebagai fondasi kota Injilnya- inipun upaya sengaja mencar-cari.
Setidaknya tidak ada dan belum ada materi dalam Alkitab yang telah diundangkan. Jika ada itu
hanya Hukum Taurat Yahudi, Yesuspun sudah menggenapkan itu. Pointnya, jika itu yang
diupayakan, berarti ada sisi lain, yang luput dipertimbangkan karena melihat pertimbangan
kepentingan masyarakat lokal. Itu akan meniadakan apa yang digenapkan Yesus, dan
MenJahudikan Undang-undang Otda Papua. Betul atau tidak ini yang perlu dilihat dari sisi
terbalik, bukan hanya sisi linear demi motiv tertentu. (soal Hukum Syariah Islam akan sangat
menarik di analisis dilain waktu),

Kita sudah puas sampai disini dan senang terlibat disini sebagi tuan rumah dan panitia disini.
Diperparah dengan kalimat yang lumrah kita dengar doa diskriminasi: “Tuhan buat perbedaan
antara umatMu dengan yang lain”, dan, semakin dimeriahkan dengan kampanye massal dengan
jargon-jargon Indonesia bagi Tuhan, Indonesia berdoa. Bahkan, ada yang lebih bersifat arogansi
dan fanatisme teologis normatif bersifat sukuisme misalnya: “Medan untuk Tuhan”, “Manado
Bagi Kemuliaan Tuhan”, “Kota Injil”, “Tanah Injil” dan masih banyak lagi yang tidak tertulis
disini. Secara pendekatan normatif teologis ini benar, hanya jika kita berpikir ulang dalam
pendekatan sosiologis, seharusnya kita malu kepada dan mulai mencari bentuk pendekatan dan
reorientasi serta reformulasi pelayanan kita.

Dari hal ini tampak jelas kompleksnya masalah mayoritas, pluralitas dan multikulturalitasnya
masyarakat agama di Indonesia. Dan kita menjadi bagian dari masalah ini. Bagaimana
menjelaskan dan menguraikan ini. Apa yang bisa kita analisis disini. Dengan pendekatannya
sebatas itu, artinya kita sedang tidak menghargai pluralitas dan multikultural. Mengapa?
Dengan melakukannya hasil dari kegiatan seperti ini adalah semua orang; di Indonesia, Medan,
Manado dll diharapkan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, intinya menjadi
Kristen.

Jika ini terjadi yang riil adalah monolisme atau monokulturalisme. Dengan demikan apakan
AD/ART salah? Kitab Suci salah, tergantung dari persfektif pendekatan mana melihatnya, saya
tidak menyatakan itu. Dengan mengikuti dari awal maksudnya jelas. Memang tidak salah juga
melayani masyarakat berdasarkan mengemban amanat agung dan untuk membawa jiwa bagi
Kristus dengan dasar kajian teks dan didorong olehnya, tetapi ini tidak atas dasar penyamaan
teks dan masyarakat sebagai aplikasi dari pemahaman terhadap teks keagamaan. Itu tidak
cukup dan tidak mendalam. Antara kehidupan sosial yang digambarkan teks di satu sisi, dan
lingkungan sosial darimana teks itu muncul adalah sisi yang tidak sama.

Inilah yang menyebabkan kecenderungan-kecenderungan orientalist dan filolog bahkan sarjana


awal Islam sendiri, yang memiliki banyak kelemahan. Mereka banyak memberikan hanya
seputar pendekatan grammatikal dan epistimologi yang sempit dalam mengkaji masyarakat dan
pengutamaan pada pendekatan grammatika dan etimologi dalam mengkaji bahasa teks sebagai
dokumen kunci dari masyarakat aslinya. Dan dalam pendekatan normatif teologis, politis dan
tertutup dalam kerangka pemahaman dan penafsirannya, (A. Abdullah, 2000: 59) sepertinya ini
didorong oleh pemahaman linear Kitab Suci dengan metode pendekatan kolonialisasi dan data-
data keagamaan yang memang dituntut dan dibutuhkan zaman itu, tetapi seharusnya itu
berhenti dan tidak lagi digunakan zaman ini.

Ketiga, perlunya pemahaman pendekatan sosiologis yang menuntun kita untuk melakukan
praxis (tindakan nyata, bekerja bersama, hidup bersama mewujudkan sesuatu tanpa dominasi)
Dalam pendekatan sosiologis melihat bahwa agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial.
Tuhan, ritual, nilai, hirarki keyakinan-keyakinan, dan perilaku religius adalah untuk
memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih hebat dalam
dunia sosial. Praktik-praktik keagamaan berkaitan dengan institusi, struktur, ideologi, kelas dan
perbedaan kelompok yang membentuk masyarakat.

Apa yang kita lakukan? Dalam uraian berikut, saya share apa yang sedikit telah dilakukan yang
saya sebut dengan “insider movements”. Aplikasi kongkritnya pada Natal tanggal 25
Desember 2009 lalu, di gereja perintisan GPdI Jemaat Tamansari-Yogyakarta. Saya melayani di
tengah masyarakat Kumuh di Pinggiran Kali Winongo
(Sungai di sisi Barat Malioboro), Yogyakarta. Saat itu,
saya mengundang Uztad berinisial Y tokoh NU (Nahdatul
Ulama) dan juga anak menantu dari seorang tokoh NU
dari Kabupaten Klaten, Ceper, Surakarta untuk khotbah
Natal di gereja. Dan saya juga mengajak tokoh dan
pejabat struktural di Muhammadiyah Kota Yogyakarta
dan juga Dosen di Universitas Islam “Ahmad Dahlan”
Yogyakarta yang berinisial Hj. HT, dan sorang tokoh
Wanita Islam seorang dosen di Universitas Islam Negeri Riau yang berinisisal RH untuk
menghadiri Natal bersama jemaat. Ustadz Y saya minta untuk menjelaskan “Bagaimana Isa-
Yesus di dalam Alquran”.

Dia menjelaskan selama 35 menit dilengkapi dengan bahasa Arab kentalnya. Meskipun
sebelumnya saya telah jelaskan ke jemaat persoalan Tokoh Islam yang akan khotbah Natal di
gereja, agar mereka memahami. Sebelumnya saya juga sudah membagikan undangan Natal
kepada 6 anak sekolah Minggu yang hingga kini tetap tetap beragama Islam, agar mengajak
orang tua mereka, yang menjelaskan bahwa yang
khotbah adalah ustadz dan tim Mahasiswa dan tokoh-
tokoh Islam dari program S3 doktor dari Universitas
“Sunan Kalijaga” Yogyakarta, Jurusan: Islamic Studies
dimana kami kuliah bersama. Terbukti benar bahwa 4
orang Islam tetangga gereja ditambah orang tua sekolah
minggu yang Islam ikut hadir malam itu, mendengarkan
Ustadznya sendiri menjelaskan ke telinganya: “Bahwa
saya berdasarkan Alquran secara akademik, mengakui
Isa-Yesus itu Juruselamat”. Dan semakin membuktikan
bahwa keadaan ibu RH yang tetap mengenakan Jilbab
malam itu semakin menarik dan menguatkan tetangga yang Islam itu untuk menghadiri natal.
Kisah ini berlanjut, setelah selesai Natal ketiga sahabat saya itu melakukan shalat Magrib
diantar oleh salah satu orang tua sekolah minggu yang beragama Katolik yang juga hadir malam
itu di masjid yang tidak jauh dari gereja. Sekembalinya dari Shalat Jemaat sedang makan
bersama yang makanannya dimasak sendiri-sendiri di rumah jemaat karena itu kebiasaaan
kami karena lebih Irit.

Dari kasus ini terlihat bahwa, untuk mengemban amanat agung, masih bisa dilakukan dengan
menggerakkan “orang dalam atau insiders untuk menggerakkan orang-orangnya sendiri”
mendengar, memahami dan mengakui Injil dan berita keselamatan. Tentu, itu mungkin akan
jauh lebih efektif lewat pendekatan sosiologis ditambah pendekatan struktural, seperti
terjadinya uztadz Islam khotbah Natal di gereja itu. Tentu lewat pendekatan seperti ini akan
mempu menganktualkan dan memvitalkan kembali pelayanan kita orang-orang GPdi. Yang
lebih membuktikan pendekatan ini, bahwa dalam khotbahnya ia mengakui sendiri di hadapan
sidang jemaat yang hadir waktu itu.

Pendekatan seperti itu, saya ulangi ketika Ibadah Paskah Jemaat pada saat Hari Paskah di
tahun 2009 yang lalu. Saya mengundang teman kuliah satu kelas saya, Ustadzt M dari Cirebon.
Ia merupakan anak dan orang dari Tokoh Pondok Pesantren dari Cirebon. Ia juga sekaligus
Dosen ilmu Tafsir di Fakultas Syariah di Universitas Islam Negeri “ Sunan Kalijaga” Yogyakarta.
Dia saya minta menjelaskan ke jemaat dan kemasyarakat yang juga berbondong-bondong hadir
dalam ibadah perayaan paskah kali itu Makna dan Nilai Domba dan Darah Paskah untuk
pengampunan dosa Umat Manusia. Ia menjelaskan dengan detail hanya darah domba paskan
itlah yang mampu menghapuskan segala jenis dosa. Itu secara simbolik. Namun, secara esensi
dalam tugas itulah Isa-Yesus menggenapkannya.

Inilah panggilan kita dengan menginterkoneksikan dan mengintegrasikan pendekatan normatif


teologis dan sosiologis dalam pelayanan di tengah masyarakat mayoritas, pluralitas dan
multikultural dengan dinamika di dalamnya. Bagimana sejatinya masyarakat itu sendiri
memaknai keberagamaannya Realitasnya kini, “Menggalang sikap saling pengertian, (atau yang
dikenal dengan toleransi tetapi saya maknai yang interkoneksi dan integasi antara sikap
teologis dan aksi sosiologis), antar suku, dan agama tertentu merupakan masalah rumit, karena
menyangkut prasangka stigmatisasi, streotifikasi, deformasi tata nilai kultural dan masih
banyak lagi. Tetapi langkah politis tertentu merupakan langkah yang penting untuk mulai
mengatasi masalah itu (Ibid., F.B. Hardiman, 2003: xx). Masalahnya darimanakah datangnya
pertolongan atau langkah politis yang dimaksud, yang akan dilakukan GPdI, karena pendetanya
dilarang berpolitik praktis. Bahkan, proses edukasi pengetahuan politik lewat khutbah,
ceramah, seminar, komsel, ibadah-ibadah lainnya, itu tidak pernah terdengar. Ironis memang,
meskipun tentulah “telah banyak pertimbangan” yang telah dilakukan terkait itu. (emboen,
21/11/2010).

You might also like