You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Estetika dapat dijumpai dimana saja sepanjang perjalanan kehidupan kita.


Dalam pembelajaran seni & desain, estetika dijumpai di berbagai kajian pembelajaran.
Estetika adalah roh benda dan atau kejadian yang kasad indera, dan adalah roh seni.
Estetika sulit dipahami oleh masyarakat umum dan manfaatnya pun tidak begitu praktis.
Selain itu, dalam mencari jawaban mengenai problema-problema yang menyangkut
estetika, tidak banyak orang yang melibatkan diri. Namun kajian mengenai estetika
sebenarnya sangat diperlukan oleh manusia, terlebih oleh mahasiswa. Karena itu estetika
perlu difahami oleh para mahasiswa, utamanya mahasiswa seni dan desain.

Estetika erat kaitannya dengan sebuah pengamatan dan interpretasi manusia


terhadap suatu obyek estetik. Obyek yang dapat diamati, memiliki bentuk tertentu dan
keindahan. Sedangkan pengamat itu sendiri, memiliki perasaan tertentu, seperti rasa
indah. Berbagai intepretasi terhadap obyek estetik erat kaitannya dengan pengalaman
estetik pengamatnya. Karena perbedaan pengalaman estetiklah yang menentukan
perbedaan cara pandang setiap pengamat terhadap obyek estetik tersebut. Kita mengenal
tiga tipe pengalaman (pengalaman pengamat atau subyek) antara lain, menyikapi alam
atau seni yang berdasarkan sikap estetik yang dimilki subyek secara naluriah,
mengapresiasi karya seni berdasar tindak lanjut dari pemahama subyek terhadap konsep
seni, dan metakritik karya seni berdasar tindak lanjut dari pemahaman terhadap konsep
kritik. Sedangkan pengalaman estetik yang dipelopori oleh Munro adalah didefinisikan,
yaitu pengalaman estetik adalah cara merespon stimulus lewat pengamatan inderawi
dengan melibatkan (asosiasi, pemahaman,imajinasi) atau emosi. Dan di-jelaskan yaitu
pengalaman etetik merupakan proses kejiwaan dalam diri pengamat/subyek yg
berinteraksi dengan obyek estetika.

Tiga basis pengalaman estetik, yaitu berbasis sikap estetik dimana subyek merespon
obyek estetika dengan melibatkan emosi, berbasis pemahaman konsep seni dimana
subyek merespon obyek estetika dengan melibatkan asosiasi, pemahaman & imajinasi,
serta berbasis konsep kritik dimana subyek merespon obyek estetik dengan melibatkan
asosiasi, pemahaman & imajinasi, membuat saya menjatuhkan pilihan pengalaman estetik
1
saya pada lukisan Basuki Abdullah yang berjudul “Kakak dan Adik”. Karena menurut
saya, lukisan tersebut merupakan salah satu pengalaman yang dapat memenuhi tiga basis
dalam pengalaman estetik, sehingga tidak dikatakan sebagai pengalaman umum yang
bersikap praktis, interogatif, serta fantastik semata. Untuk itulah penulis mengangkat
Lukisan “Kakak dan Adik” sebagai obyek dalam karya ilmiah yang berkenaan dengan
respon estetik ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Beberapa rumusan masalah dalam penyusunan karya ilmiah ini, antara lain :
1. Bagaimana pengalaman estetik yang berbasis sikap estetik dalam lukisan “Kakak dan
Adik” ?

2. Bagaimana pengalaman estetik yang berbasis konsep dalam lukisan “Kakak dan
Adik”?

3. Bagaimana pengalaman estetik yang berbasis konsep kritik dalam lukisan “Kakak dan
Adik” ?

C. TUJUAN

Adapun tujuan dalam penyusunan karya tulis ini, antara lain :

1. Memberikan penjelasan basis sikap estetik dalam lukisan “Kakak dan Adik” sebagai
suatu pengalaman estetik

2. Menjelaskan Bagaimana pengalaman estetik yang berbasis konsep dalam lukisan


“Kakak dan Adik”

3. Memberikan uraian mengenai pengalaman estetik yang berbasis konsep kritik dalam
lukisan “Kakak dan Adik”

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengalaman estetik yang berbasis sikap estetik dalam lukisan “Kakak dan Adik”
Letika penulis sedang membuka situs-situs seni, saat itulah penulis menemukan
lukisan yang memikat hati penulis. Suasana yang sunyi, saat siang hari yang mendung,
semakin mendukung perasaan penulis untuk menikmati lukisan tersebut. Lukisan yang
bejudul Adik dan Kakak ini menggambarkan seorang kakak yang msedang menggendong
adik laki-lakinya. Dalam lukisan tersebut, mereka berdua memiliki tatapan kosong, dengan
kondisi yang terlihat kelelahan.
AC yang menyala dengan suhu rendahdan sedikitnya orang-orang di warnet,
membuat penulis semakin terbawa dalam suasana yang tertuang di lukisan tersebut. Hari
libur memang sangat jarang sekali mendapati warnet sesepi saat itu. Waktu itu liburan hari
kedua, ketika pikiran masih hangat dengan ujian-ujian akhir semester gasal di tahun ke-duaku
saat SMA. Penulis berpikir untuk bermain internet sebagai obat kepenatan dan pengisi waktu
kosong. Saat hanya sekedar iseng-iseng untuk menambah koleksi gambar, saat itulah penulis
menemukan lukisan karya Basuki Abdullah tersebut.
Lukisan indah yang terlihat sunyi itu tidak saja hanya cocok dengan suasana saat itu,
namun terasa menggambarkan sebagian dari jiwa penulis. Ada kaitan yang erat

B. RITUAL-RITUAL DI BULAN SURO

1) PERINGATAN 1 SURO

3
Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti
pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam
pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1
Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai
ritual sebagai bentuk introspeksi diri. Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya
melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran
(perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk
bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam
keramat.

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap
sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur,
dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan
masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa
nafsu.
Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa,
diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai
pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin
oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan
kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan
berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka,
kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen
dan Wonogiri.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1


Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh
ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak
diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal
dengan istilah “Tapa Mbisu Mubeng Beteng”. Tidak sedikit warga yang melakukan ritual
Mubeng Beteng, hingga memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton dan jalan protokol.
Dengan Tapa Bisu, atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.
Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang
dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Kungkum atau
berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang
menurut banyak cerita masih mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta. Yang paling
4
mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis
tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai
Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.

Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta,
Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik tersendiri di
malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa.
Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo
memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi ini. Hal ini yang menarik perhatian
saya untuk berkunjung kesana di malam satu Suro. Namun, perkiraan saya salah. Labuhan
dilangsungkan pada pagi hari tanggal 15 Suro. Hal ini yang saya dapat dari penuturan
warga sekitar.

Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama


pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya
disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis.
Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang kembang,
makanan, dan berbagai jasa lainnya. Tukang obat tradisional, pijat tradisional dan -kalau
saya tidak salah mengartikan- “wanita pendamping” tampak bertebaran menjadi
konsekuensi atas berjubelnya pengunjung.

Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk juga ikut meramaikan malam 1 Suro.
Tradisi dan warisan budaya jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting, khususnya
adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai selatan dengan segala
macam pernak-pernik mistisnya. Dijubeli ratusan pengunjung yang berbaur dengan
pedagang dan hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan bermotor tidak mengurangi
khidmatnya pagelaran wayang malam itu.

Adapun yang menjalankan ritual malam 1 Suro di Cepuri Parangkusumo.


Cepuri Parangkusumo merupakan area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan.
Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng
Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk.
Kembang, dupa dan sesaji menjadi obyek yang tidak lepas dari tempat keramat macam ini.
Apalagi di malam satu Suro, tidak sedikit peziarah yang datang dan berdoa di tempat ini,
ditemani aroma dupa dan bunga yang menusuk hidung.

5
Puro Pakualaman juga tak kalah ramai oleh pengunjung yang melakukan ritual
malam 1 Suro. Pagelaran wayang kulit semalam suntuk banyak diselenggarakan warga di
pelosok kota. Begitu pula di kawasan Puro Pakualaman Yogyakarta. Kraton “Kedua” di
kawasan Yogyakarta ini pun dihadiri warga yang ingin menghabiskan malam satu Suro
dengan tradisi tahunannya. Berbeda dengan kawasan pesisir Parangkusumo, di Puro
Pakualaman ini, warga yang hadir hanya ditampung secara “resmi” dengan sebuah tenda.
Selebihnya warung dan pedagang kaki lima yang biasa mangkal di halaman Kraton pun
tak lepas menjadi tempat warga menikmati sajian wayang kulit.Bahkan, warga yang
datang dengan kendaraan roda dua pun enggan beranjak dari atas sepeda motornya, dan
terlihat sangat menikmati sajian wayang kulit semalam suntuk. Begitu pula dengan
penarik becak. Masih duduk di atas sadel tempatnya mengayuh kendaraan roda tiga ini.
Bahkan kursi penumpangnya pun dijadikan tempat nyaman rekan penarik becak lainnya
untuk duduk berselimut sarung dan menikmati malam panjang itu.

Selain di tempat-tempat yang dikeramatkan tersebut, ritual 1 Suro juga


diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih
banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan
tirakatan atau selamatan.

Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan
bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun
memang diperlukan agar lebih mawas diri. Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan
semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk
introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang
diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.

2) RITUAL DI LUAR PERINGATAN 1 SURO

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling
(ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana
kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus
terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika
kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro.

6
Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak
selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.

Selain beberapa pantangan, di sepanjang bulan ini juga terdapat ritual-ritual di


luar peringatan 1 Suro. Warga banyak melakukan selamatan dan ritual kusus baik yang
bersifat umum seperti Merdi Bumi, palakia, kenduren suran,dll. Yang bersifa pribadi
contohnya selametan batur, megeng ( puasa ngebleng ), selametan profesi ( dagang,
dukun, dll ), dan yang sering kita jumpai yaitu pembuatan jenang Suro.

a) Merdi Bumi

Merdi Bumi atau ruwat bumiatau sedekah bumi adalah ruwatan dengan
mengadakan pagelaran wayang kulit dengan lakon kusus dan tidak memakai kelir
sebagaimana biasanya tetapi memakai jarit ( kain ) dan blencong dari minyak kelapa.
Lakon yang di bawakan yaitu ” Sri Mulih” atau ” Watugunung”. Tujuan dari Ruwatan
ini adalah meminta keselamatan desa seisinya. Di walulawang ritual ini wajib di
laksanakan setiap bulan suro dan biasanya di hari Jum’at Kliwon. Konon kalau tidak
diadakan akan terjadi hal – hal atau bencana di tahun itu. Dalam Lakon Sri mulis atau
tumuruning wiji di ceritakan turunnya Dewi Sri, dan hama – hama tanaman, sedangkan
dalam lakon Watugunung yaitu membeberkan terjadinya Wuku yang jumlahnya 30.
b) Palakia
Palakia adalah selametan yang di adakan diperbatasan desa, di pertigaan jalan,
atau tempat umum lainnya. Palakia biasanya diadakan oleh warga di lingkungannya
yang bertujuan untuk meminta keselamatan jiwa, dan binatang piaraannya dari indang
danyang yang lewat di desa tersebut.
c) Jenang Suro
Jenang Suro yang sepintas mirip dengan bubur Jakarta ini, dibuat hanya
khusus pada bulan suro, tetapi tidak diseragamkan tanggal pembuatannya. Jenang Suro
terbuat dari beras, diberi kuah kare, ditaburi irisan dadar telor, kacang tanah goreng,
irisan kelapa goreng, daun sledri dan cabe merah sebagai penghias. Selamatan digelar
tanpa mengundang tetangga, atau diacarakan secara khusus. Niat dilafalkan dalam hati,
kemudian setelah jenang selesai dimasak dan ditata penampilan. Selanjutnya akan
diantar ke sanak saudara, tetangga, masing-masing satu piring. Selain menggelar
sendiri, keluarga Using juga akan menerima balasan dari tetangga yang akan menggelar
selamatan secara khusus pada hari berikutnya, pada hari yang sama atau hari
7
sebelumnya. Acara ini, tidak diumumkan secara khusus melalu masjid, namun lebih
kepada kesadaran invidu. Mereka tanpa dikomando, selalu menyisihkan beras dan uang
untuk meneruskan tradisi membuat Jenang Suro, yang merupakan tradisi turunan wali
snaga itu. Bila dalam satu hari ada lebih dari satu warga yang menggelar selamatan
Jenang Suro, maka akan terjadi saling tukar Jenang Suro. Tidak ada istilah, karena ini
sudah menggelar selamatan, terus tidak mendapatkan dari tetangga yang menggelar.

Namun yang jelas, acara selamatan Jenang Suro dilakukan selama sebulan
penuh, tanpa terpaku pada tanggal tertentu. Secara fisik, bentuk Jenang Suro seperti
yang disiratkan dalam tulisan di atas. Ada warna putih dari bubur beras, ada warga
merah dari hiasan cabe merah. Sedangkan kuahnya warga kuning, yaitu kuah kare
berbahan kunyit. Menariknya, saat mengantar dengan piring. Penerima tingga menarik
daun pisang yang dibentuk bular sebagai alas, kemudian dipindah ke piringnya sendiri.
Kiranya menjadi pekerjaan kita bersama, untuk mengungkap makna tradisi dari
selamatan Jenang Suro. Agar kita juga bisa menjelaskan kepada generai muda, bahwa
yang dilakukan orang tuanya itu ada maknanya. Baik yang tersurat, maupun tersirat
(simbolis).

C. REFLEKSI RITUAL TBULAN SURO DI DALAM KEHIDUPAN SAAT INI

Kehidupan saat ini sedang gencar-gencarnya untuk memperkaya kecanggihan


teknologi. Keadaan seperti ini tentu akan menggeser tradisi-tradisi turun temurun yang
dianggap tidak relevan dengan kemajuan teknologi. Rasionalitas terus dikembangkan dan
tradisi leluhur yang dianggap mitos kian diabaikan, tak peduli meskipun budaya bangsa jadi
taruhannya. Banyak masyarakat yang tidak mengenal tradisi Jawa, terutama ritual-ritual di
bulan Suro. Jangankan ritual di bulan Suro, penaggalan Jawa pun pasti banyak yang kurang
begitu paham. Di daerah saya, tepatnya di Lumajang, hanya jenang suro saja sebagai tradisi
jawa yang tetap eksis di saat bulan Suro. Selain penyelenggaranya yang lambat laun semakin
menipis, pembuatan jenang suro pun yang tanpa disertai pemahaman latar belakang
pembuatannya juga kian memperparah keselamatan tradisi budaya leluhur kita.

Di keluarga saya pun ritual memandikan benda pusaka juga tak dilakukan,
meskipun keris yang terbungkus kain putih itu masih berada di dalam rumah. Teguran
melalui mimpi memang pernah terjadi, namun ayah tetap tidak melakukan ritual tersebut.
8
Tentu saja, karena alasan agama. Namun buktinya, Alhamdulillah sejauh ini tidak ada
musibah parah seperti yang dikatakan orang-orang. Yang kami lakukan adalah tetap
menghormati, menyimpan keris tersebut dengan baik-baik. Tak hanya keris, beberapa tradisi
warisan leluhur yang masih sempat kami pertahankan juga sedikit kami benahi niatnya, hal
itu semata-mata agar tetap menghormati tradisi-tradisi tersebut, namun tetap sejalan dengan
ajaran yang kami anut.

Namun beberapa desa di Lumajang tetap melakukan peringatan 1 Suro dengan


ritual-ritual tertentu, semisal pemberian sesaji berupa kepala sapi di gunung atau di pantai
selatan, tanggapan (pertunjukan), selamatan desa, ruwatan, dll. Di masing-masing desa
berbeda, tergantung kepercayaan mereka untuk memperingati suroan.

Seperti itulah, kalau tidak di desa-desa, peringatan Suro hanya eksis dilakukan di
sentra-sentra yang mengandung unsur sakral yang sangat tinggi, seprti keratin, pesarean,
petilasan, tempat-tempat semedi, dll. Akaupun di kota-kota besar tetap adaritual-ritual
tersebut, pasti sudah sangat langka dan nilai budayanya pun sudah sedikit menurun.

9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung
(1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun
Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung
menggunakan sistem kalender Hijriah. Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah
Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan
1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap
sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan
introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan
masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa
nafsu. Pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak
disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan
(tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian
orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung, tepi laut,
pohon besar, atau di makam keramat.

Kalau tidak di desa-desa, peringatan Suro hanya eksis dilakukan di sentra-sentra


yang mengandung unsur sakral yang sangat tinggi, seprti keratin, pesarean, petilasan, tempat-
tempat semedi, dll. Akaupun di kota-kota besar tetap adaritual-ritual tersebut, pasti sudah
sangat langka dan nilai budayanya pun sudah sedikit menurun.

10
DAFTAR PUSTAKA

http:// almanhaj.or.id/content/2036/slash/0
http://antarajatim.com/lihat/berita/15976/Makam-Sunan-Drajat-dan-Sunan-Bonang-Pun-
Libur
http://bantulbiz.com/id/berita_baca/idb-22.html
http://blesak.wordpress.com/2009/01/08/sejarah-terbentuknya-desa-tegalgubug/
http://cahandong.org/2007/01/22/malam-satu-suro-parangkusumo-dan-puro-pakualaman.html
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--trieriyani-
1740
http://forumbebas.com/printthread.php?tid=17448
http://gareng88.wordpress.com/2009/01/08/keunikan-di-bulan-suro/
http://hansen.laros.or.id/jenang-suro-tradisi-menyambut-1-muharram/
http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/upacara-selamatansyukuran-untuk-diri-pribadi
http://kapanlagi.com/h/malam-1-surotina-astari-mawas-diri.html
http://kaskus.us/showthread.php?t=1398949&page=6
http://muhsinlabib.wordpress.com/2008/01/15/tanggal-merah/
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/06/24/16561762/pegang.keris.sunan.giri.prabowo.
bakal.jadi.wapres
http://news.okezone.com/read/2009/12/19/340/286515/mengenang-sejarah-cirebon-lewat-
malam-1-suro
http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.singapore/2008-01/msg01410.html
http://re-y.blogspot.com/2009/01/1-suro.html
http://tongkronganku.blogspot.com/2008/02/budaya-selamatan.html
http://zhevyklat.blogspot.com/2009/12/malam-1-suro.html

11

You might also like