Professional Documents
Culture Documents
Nama : Hasan
NPM : 534101078
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena
berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan.Dalam
makalah ini kami membahas “Hubungan Masyarakat dalam Ilmu Teknologi Informasi”, suatu
permasalahan yang selalu dialami bagi masyarakat yang menggunakan Teknologi pada
umumnya.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah Hubungan social
masyarakat yang sangat diperlukan dalam suatu harapan mendapatkan keamanan dalam
memanfaatkan teknologi informasi terutama yang menggunakan internet dan sekaligus
melakukan apa yang menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Ilmu Sosial
Dasar”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
HASAN
NPM :53410178
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah Istimewa Yogyakarta atau yang biasa disebot jogja ini meupakan salah
satu daerah yang berada didalam wilayah kenegaraan Republik Indonesia.
Meskipun berada di negara Indonesia DIY beda dengan daerah-daerah pada
umumnya di Indonesia. Perbedaan tersebut nanti akan kita bahas selanjutnya.
PEMBAHASAN
Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang
disebut dengan Koti/Kooti.Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa
kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan
pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung
hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI
sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas
kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun
belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti,
meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan
Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung
ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah
disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah
diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan
keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto
Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit
dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan
menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta,
Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan
terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno
mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September
1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk
dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga
dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX
mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh
lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX
mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit
tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi
yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh
berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya
pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung
risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa
meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk
mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
1. Kedudukan Yogyakarta
2. Kekuasaan Pemerintahan
3. Kedudukan kedua raja
4. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan)
5. Pemilihan Parlemen
6. Keuangan
7. Dewan Pertimbangan
8. Perubahan
9. Aturan Peralihan
10. Aturan Tambahan
Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan
Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan
pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan
Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota
Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya.
Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan eksekutif
tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu
adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah
ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua
raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden.
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai
ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk
pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah
pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum
diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan
Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab
sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota
Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat.
Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada
22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota
Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX,
menggantikan M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi
mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan
UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan
dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum maupun penjelasannya. Walaupun
demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan
daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang
menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan
Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada
Belanda. Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa
dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun
1950.
Pernyataan Presiden SBY bahwa Indonesia tidak mungkin menganut sistem monarki
terkait pembahasan RUU Keistimewaan DIY, menunjukkan keinginan pemerintah agar
Gubernur DIY dipilih langsung. Klausul utama itu juga yang diduga menjadi penyebab utama tak
kunjung dikirimnya draf RUU itu ke DPR. “Kalau itu sikapnya (SBY) begitu, pasti dia
menghendaki gubernur dipilih langsung. Maka keistimewaan Yogya selama ini akan diakhiri
oleh SBY,” kata Wakil Ketua Komisi II, Ganjar Pranowo, saat dihubungi detikcom, Sabtu
(27/11/2010).
Menurut Ganjar, penetapan Gubernur DIY seperti yang berlangsung sampai saat ini
adalah bagian dari kekhususan dan keragaman daerah, sebagaimana tertulis dalam pasal 18A
ayat 1 UUD 1945. Kekhususan dan keragaman ini juga yang melandasi diberlakukannya hukum
syariah di Aceh, otonomi khusus Papua, dan ditunjuknya Walikota di Provinsi DKI Jakarta.
“Nah, sekarang kalau soal DIY presiden mau seperti itu, mestinya presiden bilang tidak perlu
ada otsus Papua, Aceh harus pakai hukum nasional, DKI walikotanya dipilih langsung. Berani
nggak Presiden melakukan itu?” kata politikus PDI Perjuangan.
Ganjar mengatakan, jika yang dijadikan landasan presiden adalah pasal 18 ayat 4 UUD
bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, kenapa hal yang sama tidak dilakukan pada
Walikota DKI yang ditunjuk langsung.
“Justru presiden yang tidak memahahi konstitusionalitas dalam pasal 18A yang
mengatur keistimewaan dan kekhususan daerah,” kata Ganjar.
Menurut Ganjar, Presiden sebaiknya memanggil Sri Sultan Hamengkubowono X untuk
membicarakan RUU Keistimewaan DIY, khususnya soal klausul pemilihan langsung atau
penetapan itu. Hal ini penting untuk mempercepat penyelesaian UU Keistimewaan DIY, di
samping jabatan Sultan yang akan berakhir Oktober 2011.
“Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai
demokrasi,” kata Presiden SBY.
Penggarapan RUU Keistimewaan DIY molor dari jadwal yang seharusnya sudah rampung
dalam 100 hari pemerintahan SBY. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubowono X pernah
mengusulkan referendum terkait klausul Gubernur DIY ditetapkan atau dipilih langsung.
Referendum bisa jadi salah satu alternatif jika belum ada kata sepakat mengenai poin
substansial dalam pembahasan RUU Keistimewaan DIY itu
Efek panjang dari pernyataan presiden SBY mengenai “monarki” DIY yang
bertolakbelakang dengan negara demokrasi menimbulkan keresahan dan ketersinggungan
warga DIY. Bahkan niatan referendum pun mulai merebak. Pemerintah dan orang-orang dekat
presiden menyanggah bahwa terjadi kesalahpahaman dan salah tafsir masyarakat DIY terhadap
pernyataan presiden. Tentu saja, yang kita butuhkan bukan penjelasan dari orang-orang dekat
presiden, tetapi pernyataan oleh presiden SBY sendiri ,sehingga kesimpangsiuran dan
keresahan dapat diredakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia tidak luput dari perjuangan yang gigih oleh tiap-tiap daerah melawan
para penjajah. DIY yang merupakan daerah istimewa tidak patut di kecam jelek seperti yang
disampaikan oleh presiden. Karena ucapan tersebut telah membuat efek yang besar di
Indonesia khusus nya masyarakan DIY yang sebelumnya mengalami musibah
3.2 Saran.
Semoga ke depannya, para pejabat publik lebih memperhatikan kepada siapa ia
berbicara dan untuk apa ia mengeluarkan pendapatnya itu. Negara ini sementara dalam masa
pemulihan bencana, jangan lagi menambah penderitaan rakyat dengan bencana-bencana lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/02/%E2%80%9Cbencana%E2%80%9D-komunikasi-
pejabat-publik/
2. http://triatmono.wordpress.com/2010/12/03/memahami-peran-dan-keistimewaan-jogjakarta/
3. http://www.beranda-jiwa.info/sistem-monarki-dan-prospek-demokrasi-dalam-ruu-
keistimewaan-daerah-istimewa-yogyakarta/
4. http://info.solowebspace.com/ruu-keistimewaan-diy-pemilihan-gubernur-yogya.php