Professional Documents
Culture Documents
Dasar
Perkembangan Bahasa
Bahasa telah berkembang sejak anak berusia 4 – 5 bulan. Orang tua yang bijak selalu
membimbing anaknya untuk belajar berbicara mulai dari yang sederhana sampai anak memiliki
keterampilan berkomunikasi dengan mempergunakan bahasa. Oleh karena itu bahasa
berkembang setahap demi setahap sesuai dengan pertumbuhan organ pada anak dan kesediaan
orang tua membimbing anaknya.
Fungsi dan tujuan berbicara antara lain: (a) sebagai pemuas kebutuhan, (b) sebagai alat untuk
menarik orang lain, (c) sebagai alat untuk membina hubungan sosial, (d) sebagai alat untuk
mengevaluasi diri sendiri, (e) untuk dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan orang lain, (f)
untuk mempengaruhi perilaku orang lain.
Potensi anak berbicara didukung oleh beberapa hal. Yaitu: (a) kematangan alat berbicara, (b)
kesiapan mental, (c) adanya model yang baik untuk dicontoh oleh anak, (d) kesempatan berlatih,
(e) motivasi untuk belajar dan berlatih dan (f) bimbingan dari orang tua.
Di samping adanya berbagai dukungan tersebut juga terdapat gangguan perkembangan berbicara
bagi anak, yaitu: (a) anak cengeng, (b) anak sulit memahami isi pembicaraan orang lain.
Usia sekolah yang berada antara rentang umur 5 – 12 tahun merupakan tahap
perkembangan anak yang melibatkan aspek sekolah dalam kehidupannya. Para orangtua
berkeyakinan bahwa tugas orangtua adalah bekerja dan mengasuh, sementara tugas anak pada
rentang usia tersebut difokuskan untuk BELAJAR. Pengertian belajar di sini adalah dikaitkan
dengan tugas mereka sebagai murid sekolah.
Di beberapa ceramah untuk orangtua, kerap dicoba dilontarkan sebuah pertanyaan kepada
mereka ”Apa yang Bapak/Ibu maksud sebagai belajar?”. Hampir 90% orangtua sepakat bahwa
belajar adalah mengerjakan PR. Itulah kenyataan di Jakarta bahwa orangtua dipusingkan dengan
pekerjaan rumah atau PR anaknya saat pulang dari kantor. Ketika kita mengaitkan belajar dengan
membuat PR maka secara sengaja atau tidak kita telah terlalu menyederhanakan arti kata
BELAJAR.
Sebagian orangtua masih memandang belajar sebagai proses perolehan pengetahuan yang pasif
dengan materi yang terstruktur dan hasil belajar yang dapat diramalkan. Biasanya jika menjelang
musim ulangan, orangtua sibuk mencari aneka soal-soal ulangan tahun sebelumnya. Bahkan ada
yang namanya ’gang soal’ yaitu sekumpulan orangtua pemburu soal-soal ulangan. Dari sudut
pandang orangtua hal itu bisa dimengerti karena materi pelajaran yang luar biasa padat
menyebabkan kita mudah panik. Kekhawatiran yang muncul dari orangtua adalah ”Apakah anak
saya bisa naik kelas ya?” ”Duh…. soal ulangan kerap tidak ada yang di buku.” ”Satu hari 3
ulangan, bagaimana belajarnya?!” Jadilah profesi orangtua bertambah menjadi pemburu soal.
Dalam memegang teguh keyakinan belajar sebagai proses yang pasif, kita menjadi lebih heboh
ketika anak menjelang ulangan atau ujian.
Kepanikan orangtua terhadap pendidikan anak juga menjadi semakin besar dengan kurikulum
pendidikan kita yang ’moody’. Para desainer pendidikan boleh saja bosan dan ingin selalu
memperbaru kurikulum, tetapi apa iya sudah mengukur dampak dari ’sikap bosannya’ terhadap
pelaku pendidikan seperti guru dan sekolah? Dampaknya, yang kena anak-anak kita juga.
Rasanya tidak akan ada habisnya jika kita menghujat para pembuat kurikulum. Nah, lebih baik
kita banting kemudi dan meyakini pandangan Stephen Covey si pencetus ”7 Habits of Highly
Effective People” yang mengatakan daripada kita pusing dengan hal-hal yang sulit diubah,
mulailah inisiatif perubahan dari diri kita sendiri. Apa yang bisa kita lakukan untuk anak kita
agar proses belajarnya dapat lebih baik?
Kembali ke fokus pembahasan pada anak usia sekolah, pikiran kita tergelitik ”Apa iya mereka
akan dijejali pengetahuan yang semakin lama semakin banyak jumlahnya dan tidak terbendung
lagi? Bukankah belajar tidak akan asyik jika kegembiraan dalam belajar tidak melihat pada
proses belajar itu sendiri?”
Learning [is] that reflective activity which enables the learner to draw upon previous experience
to understand and evaluate the present, so as to shape future action and formulate new
knowledge.
Dari definisi tersebut dapat ditarik pengertian bahwa belajar adalah proses yang aktif untuk
memahami hal-hal baru dengan pengetahuan yang kita miliki. Di sini terjadi penyesuaian dari
pengetahuan yang sudah kita miliki dengan pengetahuan baru. Dengan kata lain, ada tahap check
and re-check terhadap informasi tersebut, apakah pengetahuan yang kita miliki masih relevan
atau kita harus memperbaru pengetahuan kita.
Kalau pengertian belajar seharusnya seperti di atas, lalu proses seperti apa yang harus dilalui
seorang anak dalam belajar? Schunk dan Zimmerman (2001) memperkenalkan konsep ’SELF-
REGULATED LEARNING’. Siswa yang diasumsikan termasuk kategori ’self-regulated’ adalah
siswa yang aktif dalam proses belajarnya, baik secara metakognitif, motivasi, maupun perilaku.
Mereka menghasilkan gagasan, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan belajarnya. Secara
metakognitif mereka bisa memiliki strategi tertentu yang efektif dalam memproses informasi.
Sedangkan motivasi berbicara tentang semangat belajar yang sifatnya internal. Adapun perilaku,
ditampilkannya adalah dalam bentuk tindakan nyata dalam belajar.
Apakah setelah belajar lalu anak selesai begitu saja? Dalam proses belajar tersebut ada pula loop
yaitu proses monitoring terhadap keefektifan strategi yang telah diterapkan. Kesadaran anak
memilih dan menggunakan strategi belajar tertentu akan membedakan anak yang belajar benar
dan anak yang belajar sekedarnya. Anak yang berusaha memahami materi bacaan dengan
mencari kata kunci, lalu membuat flowchart sebagai ringkasan, dan kemudian menceritakan
ulang isi suatu materi bacaan dengan pengertiannya sendiri akan berbeda jauh penguasaan
materinya dengan anak yang hanya menggunakan cara menghafal saja.
Nah, bisakah kita mengajak anak kita menjadi ’self-regulated’? Tentu saja bisa, berikut adalah
tips sederhana yang dapat dilakukan oleh orangtua agar anaknya senang belajar.
Sebagai orangtua, jadilah model atau tokoh panutan terhadap standar perilaku yang diharapkan.
Dari anak kita mulai berbicara, ajak mereka untuk melihat apa yang menjadi dasar berpikirnya.
Misalnya, ”Kamu suka mobil ya, bagian mana atau apanya yang kamu suka?” Mengajukan
pertanyaan yang sifatnya terbuka melatih anak untuk menyadari pikiran dan tindakannya.
Ketika anak duduk di SD, mereka membutuhkan model dari orangtua dalam belajar. Pada tahap
persiapan, dorong dan pujilah usaha anak untuk mencari buku, melihat kelengkapan alat tulis,
dan materi yang terkait. Peran reinforcement (penguat) akan membantu pembentukan perilaku
tersebut. Contoh penguat yang cukup manjur adalah pujian seperti ”Kakak hebat ya sudah bisa
mengambil sendiri buku yang akan dipelajari sesuai dengan jadual hari ini”. Pemberian checklist
akan membantu anak melihat proses tersebut sudah dilalui dengan tepat.
Dalam proses belajar, kita perlu ada di dekat anak pada waktu awal-awal sekolah. Kita mau
membentuk perilaku anak, jadi kita pun perlu hadir mendampingi. Dalam membaca materi
bacaan, dukung anak untuk membaca dengan tempo yang lambat sesuai dengan tanda baca.
Jelaskan kepada anak pentingnya memahami pokok dari cerita dari setiap paragraf. Lalu berikan
anak kesempatan untuk mencari kata kunci.
Perhatikan channel belajar anak. Anak yang visual akan sangat senang membuat ringkasan yang
bisa nyaman dilihat secara visual, misalnya dengan mindmapping atau membuat flowchart.
Sementara itu, anak yang auditory akan terbantu belajarnya dengan cara mencoba menceritakan
ulang apa yang ia pelajari. Anak yang kinestetik lebih mudah memahami dengan memperagakan.
Apapun channel belajar anak, semakin banyak kita memanfaatkan media belajarnya maka anak
semakin paham.
Pada saat anak tidak mengerti, maka kita tidak perlu segera memberitahu jawabannya.
Pancing dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka tanpa memberikan penilaian. Lalu ketika selesai
belajar, minta anak mengecek pemahamannya dengan menceritakan ringkasan materi yang
kemudian dilanjutkan dengan menjawab pertanyaan secara mandiri.
1. Alangkah baiknya jika langkah-langkah belajar juga dibuat checklist sehingga akan membantu
anak mengecek proses yang telah dilaluinya.
2. Bukalah akses informasi anak kepada referensi. Sediakan buku yang memadai, ataupun
referensi seperti kamus atau ensiklopedia, termasuk pula internet.
3. Perbanyak berdiskusi dengan anak selama belajar. Proses diskusi akan melatih anak mengasah
dasar berpikir dan sistematika berpikir. Suasana diskusi harus dibuat demokratis sehingga anak
tidak takut opininya akan disalahkan.
4. Berikan kesempatan kepada anak untuk menjadi mandiri dalam penyelesaian tugas-tugas
sekolah baik tugas individual maupun kelompok. Ketika anak ditugaskan untuk mencari
informasi tentang tugas seorang dokter maka berikan kesempatan bagi anak untuk
mewawancarai salah seorang dokter lalu menuliskan resume dari wawancara. Kemudian barulah
anak diminta mengaitkan tinjauan buku teks dengan hasil wawancaranya.
5. Belajar bisa dimana saja. Artinya rasa ingin tahu anak tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Pada saat anak tertarik dengan informasi tertentu, itulah saat yang tepat untuk membangun rasa
ingin tahu dengan mencari pengetahuan yang lebih dalam dan mendiskusikannya dengan
orangtua. Misalnya ketika kita sedang ke mall lalu anak tertarik dengan tempat parkir yang
melingkar maka setiba di rumah topik tersebut dapat dijadikan bahan diskusi yang disertai
dengan mencari informasi tentang konstruksi bangunan.
Dengan belajar model ’self-regulated’ maka kegiatan belajar yang serba rapi teratur dalam arti
harus duduk manis dan diam mengerjakan soal menjadi bergeser. Dalam proses belajar yang
interaktif antara anak dengan materi pelajarannya maka suasananya lebih fun. Kakak dan adik
dapat dilibatkan juga dalam diskusi sehingga proses diskusi menjadi lebih kaya. Hasilnya,
pengetahuan anak jadi lebih mendalam dan anak akan senang belajar. Yang penting, proses
tersebut sudah dibiasakan sejak kecil dengan waktu belajar yang sedikit demi sedikit bertambah.
Hitung-hitung sekalian menerapkan ”diet TV”. Daripada anak menonton acara TV yang tidak
mendidik, atau menjadi pembelajar pasif dari program-program edukasi anak yang pun
jumlahnya masih sangat minim, mengapa tidak kita buat suasana belajar yang menjadikan anak
sebagai pemeran utama dalam proses belajarnya sendiri?
Self-regulated learning juga membuat anak senang belajar tanpa harus diimingi-imingi hadiah
seperti ”Kalau bisa menghafal kali-kalian sampai sepuluh, nanti diberi coklat”. Self-regulated
learning tidak mengenal reward semacam itu. Mengapa tidak ada reward? Ya karena reward-nya
didapat dari kepuasan diri sendiri. Ketika anak sudah memahami suatu materi dapat kita rayakan
dengan toss bersama dan ekspresi kegembiraan ”Kita berhasil!!”. Akhirnya, pemahaman materi
menjadi reward bagi proses belajar itu sendiri. Bukankah memang begitu semestinya yang
namanya belajar?
Anak usia sekolah sedang mengalami: (1) Perkembangan fisik. Fisik anak usia sekolah lebih
kuat dibandingkan usia dibawahnya, sehingga aktivitas fisiknya tampak lebih menonjol dan
mempunyai kemampuan motorik/bermain ; (2) Perkembangan mental. Anak mempunyai minat
terhadap tugas-tugas sekolah seperti membaca, menulis, berhitung dan menggambar. Mereka
senang bertanya kepada orang lain (guru atau orang tua) dimana mereka sedang mengeksplorasi
apa yang dilihat dan dirasakan; (3) Perkembangan emosi. Anak pada usia ini sudah mampu
mengendalikan emosi. Anak sudah dapat mengendalikan emosi di lingkungannya tetapi di luar
rumah kadang masih kurang; (4) Perkembangan sosial. Anak sedang mempelajari cara
bersosialisasi pada peran social di masyarakat.
Anak sekolah sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan seorang anak oleh
karena itu diperlukan asupan makanan yang mengandung gizi seimbang, agar proses tersebut
tidak terganggu. Pada masa sekolah selain peran orang tua, kesadaran anak sekolah juga
diperlukan karena mereka sudah mampu memilih makanan mana yang dia sukai. Status gizi baik
atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara
efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan
kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2002).
Fase usia sekolah membutuhkan asupan makanan yang bergizi untuk menunjang masa
pertumbuhan dan perkembangannya. Kebutuhan tubuh akan energi jauh lebih besar dibandingkan
usia sebelumnya, karena anak sekolah lebih banyak melakukan aktivitas fisik seperti bermain,
berolahraga atau membantu orangtuanya. Memasuki usia 10-12 tahun, anak semakin
membutuhkan energi dan zat gizi yang lebih besar dibanding anak yang berusia di bawahnya.
Pada usia ini pemberian makanan untuk anak laki-laki dan perempuan mulai dibedakan.
Gizi menjadi masalah yang penting bagi anak sekolah, karena gizi bisa mencerdaskan anak.
Anak yang kekurangan gizi mudah mengantuk dan kurang bergairah yang dapat menganggu
proses belajar di sekolah dan menurun prestasi belajarnya, daya pikir anak juga akan kurang,
karena pertumbuhan otaknya tidak optimal. Orang tua perlu memerikan perhatian pada anak usia
sekolah, karena pada umumnya mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan di luar rumah
sehingga cenderung melupakan waktu makan termasuk kebiasaan makan pagi. Makan pagi yang
cukup akan memenuhi kebutuhan energi selama belajar di sekolah, sekaligus mencegah
penurunan kadar gula darah yang berakibat pada terganggunnya konsentrasi anak dalam
menerima pelajaran di sekolah.
Pola asupan makanan yang tidak seimbang pada anak usia sekolah dalam jangka waktu yang
lama akan menyebabkan kurangnya gizi dalam tubuh. Anak usia sekolah sangat memerlukan
asupan makanan yang seimbang untuk menunjang tumbuh kembangnya. Anak sekolah perlu
mendapat asupan gizi yang seimbang, sehingga akan tumbuh sesuai perkembangan usianya dan
ada kesesuaian antara BB/umur, TB/umur dan BB/TB. Pola asupan makanan dan pengaturan
makanan untuk anak usia sekolah sangat penting dilakukan.
Diet seimbang anak usia sekolah yang baik adalah rendah lemak, tinggi kalsium dan adekuat
tapi kalorinya tidak berlebihan. Syarat pemberian makanan bagi anak antara lain : (1) memenuhi
kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan umurnya; (2) susunan hidangan
disesuaikan dengan pola menu seimbang; (3) bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya
terima, toleransi dan keadaan faali anak; (4) memperhatikan kebersihan perorangan/anak dan
lingkungan.
Satu permasalahan gizi yang dapat muncul sebagai akibat rendahnya kualitas makanan yang
dikonsumsi adalah stunting pada anak. Stunted (short stature) atau yang disebut tinggi badan per
panjang badan terhadap umur yang rendah digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik yang
menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama. “Ada yang menetapkan
short stature, yaitu apabila panjang badan atau tinggi badan menurut umur sesuai dengan jenis
kelamin anak kurang dari 5 percentile standar,” ujar Prof. Hamam Hadi, M.S., Sc.D., Sp.GK,
Ketua Program Studi Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran (FK)-UGM, di sela-sela persiapan
Seminar Nasional Optimalisasi Potensi Anak Stunted di Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Hamam Hadi didampingi oleh beberapa panitia lain, yakni Dr. dr.
Radjiman, Toto Sudargo, S.K.M., M.Kes., dan R. Dwi Budiningsari, S.P., M.Kes.
Anak yang pendek dapat disebabkan oleh asupan gizi yang buruk atau menderita penyakit infeksi
berulang. Di Indonesia, lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong
pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis.
Sayangnya, penurunan jumlah anak yang mengalami stunted ini tidak terlalu signifikan setiap
tahunnya. “Sebagai gambaran saja, untuk anak gizi kurang, tahun 2007 ada 18,4% dan tahun
2010, 17,9%, sedangkan yang stunting tahun 2007, 36,8%, dan tahun 2010 ini turun sedikit
menjadi 35,6%,” terangnya.
Stunted merupakan manifestasi sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita serta tidak adanya pencapaian perbaikan
pertumbuhan yang sempurna pada masa berikutnya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada usia
sekolah banyak ditemukan anak yang kurang gizi. Anak yang menderita stunting berat
berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada fungsi kognitifnya.
Di Indonesia, dalam pandangan Hamam, anak balita yang mengalami stunted ini relatif tinggi
dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Saat ini, India tercatat masih sebagai negara
yang anak balitanya cukup tinggi mengalami stunted ini. Diakui Hamam, secara nasional angka
penderita stunted secara nasional turun, tetapi di beberapa daerah justru mengalami peningkatan.
“Di NTT, misalnya, di tahun 2007 mencapai 46,7%. Namun, tahun ini naik menjadi 61,4%. Ini
menunjukkan pemerintah sebenarnya masih punya pekerjaan berat untuk segera mengatasi
persoalan ini,” ujar Hamam.
Dari tahun ke tahun, permasalahan gizi di Indonesia memang tidak akan selesai penanganannya
jika dilakukan secara parsial. Kemiskinan dan kelaparan telah menjadi salah satu agenda utama
yang menjadi perhatian dunia saat ini, sebagaimana dikemukakan dalam kesepakatan global
Millenium Development Goals (MDGs). MDG’s pada poin pertama menyebutkan di tahun 2015
setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990.
“Selain itu, dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDG’s adalah
menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dan menurunnya jumlah penduduk dengan
defisit energi,” pungkas Hamam.
Seminar yang akan menghadirkan para ahli bidang gizi dan kesehatan tersebut akan melibatkan,
antara lain, para petugas kesehatan di puskesmas dan rumah sakit, dosen bidang kedokteran dan
kesehatan, pemerhati gizi, dan mahasiswa.
Para orang tua dewasa ini kurang menyadari arti penting suatu nutrisi dan gizi anak usia sekolah
bahwa
umumnya mereka tidak paham atau memang masa bodoh atau kemungkinan pula karena faktor
ekonomi
sehingga mengabaikan kedua faktor tersebut (nutrisi dan gizi anak).
Padahal nutrisi dan gizi adalah sangat menentukan untuk tumbuh kembangnya pertumbuhan
anak-anak kita di kemudian hari secara optimal. Nutrisi anak tidak boleh hingga usia 5 tahun
tetapi terus dilanjutkan
pada usia sekolah sampai 18 tahun.
Pada kesempatan yang berbeda , dr Fiastuti witjaksono MS,spGK, mengatakan pola makan anak
akan mempengaruhi pola makannya hingga dewasa kelak."Bila waktu kecil dibiasakan makanan
yang tidak
sehat, maka pada usia dewasa akan menolak makanan yang sehat", katanya.
Karena itu, peranan orang tua sangat penting untuk mengarahkan pola makan sang anak untuk
memperoleh pola makan yang kaya nutrisi.Misalnya menyediakan variasi menu yang sehat,
membawakan bekal makanan sekolah, membiasakan untuk makan bersama keluarga.
Para ahli mengatakan, mengontrol pola makan anak bisa dengan kebiasaan makan bersama
keluarga,
Kebiasaan makan bersama makan keluarga tidak hanya mengisi perut lapar, tetapi juga sarana
orang tua
untuk memberi pengajaran tentang gizi dan disiplin.
Untuk anak-anak usia sekolah, dr.Samuel menyarankan orang tua untuk menyediakan makanan
yang
mengandung energi, seperti lemak, karbohidrat, protein, serta vitamin.Tanpa vitamin, makanan
yang diasup tidak optimal oleh tubuh dimana zat-zat tersebut sangat membantu dalam proses
pembentukan otot, tulang ,sel-sel organ, serta membantu penghantaran informasi di otak. Jangan
lupa untuk melengkapi
kebutuhan makronutrien dan mikronutrien anak usia sekolah yaitu, susu. Susu merupakan
makanan yang
digemari anak sejak bayi dan mudah dicerna serta zat yang sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan tulang
dan otot untuk melanjutkan tumbuh kembang anak hingga usia 18 tahun.
Tim dari Pusat Intelegensia Kesehatan saat melakukan skrining kemampuan dasar untuk anak
usia sekolah pada siswa SDN Kembangan Utara 01 pagi.
Bidang Penanggulangan Masalah Intelegensia Kesehatan Kementerian Kesehatan RI melakukan
kegiatan skrining kemampuan dasar untuk anak usia sekolah pada Sabtu (12/6) di gedung CNI
Creative Centre, Puri Indah, Jakarta Barat. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian
kegiatan “Mind Map Extravaganza ’10-The Colour of Jakarta”. Skrining dasar ini melibatkan 127
anak usia sekolah yang terdiri dari 62 anak sekolah dasar negeri di wilayah Puri Kembangan
Jakarta Barat dan 65 anak jalanan yang berasal dari daerah Depok Jawa Barat
Kepala Bidang Penanggulangan Masalah Intelegensia Kesehatan, dr. Adre Mayza, Sp.S (K)
mengatakan bahwa tujuan kegiatan ini untuk melihat potensi belajar pada anak lewat skrining
kemampuan dasar untuk anak usia sekolah (6-12 tahun). Selain itu, Dr.drg. Tiurmina Tarigan,
MARS dan dr.Eni Dwijayanti dari Bidang Penanggulangan Masalah Intelegensia Kesehatan
mengatakan bahwa pengujian ini juga dilakukan oleh tim Pusat Intelegensia Kesehatan di
beberapa wilayah di Indonesia dengan responden berbagai etnis, tingkatan anak usia sekolah,
strata sosial dan ekonom. Dari kegiatan ini dapat dilihat sejauh mana lingkungan dapat
mempengaruhi kemampuan intelegensia anak.
Dikegiatan ini tim dari Pusat Intelegensia Kesehatan melakukan dua macam penilaian yaitu
penilaian motorik kasar dan motorik halus. Kemampuan Motorik kasar yang dinilai terdiri dari
sistem keseimbangan tubuh dan sistem koordinasi tubuh.
Dalam pelaksanaannya, anak-anak dibagi ke dalam kelompok yang terdiri dari 10 anak,
kemudian tim dari Pusat Intelegensia Kesehatan menilai kemampuan dari masing-masing anak
tersebut. Saat menilai sistem keseimbangan tubuh, anak-anak diminta untuk mengangkat satu
kaki dengan mata terbuka, mengangkat satu kaki dengan mata tertutup dan melompat ke depan
dengan satu kaki bergantian.
Selain itu anak-anak juga diminta melompat dan memindahkan keset ke depan, melempar dan
menangkap bola dan memantulkan bola ke lantai, ini bertujuan untuk menilai sistem koordinasi
tubuh. Sedangkan untuk motorik kasar kemampuan yang dinilai adalah pengenalan posisi tubuh
dan daya tangkap auditif. Anak-anak diminta untuk mendengarkan suara-suara tertentu seperti
binatang, mobil dan diminta menebak suara apa yang ada dalam film tersebut. Untuk pengenalan
posisi tubuh peserta diminta untuk menggambar orang dan mewarnai gambar yang mereka buat.
Dari hasil skrining dasar potensi belajar anak diperoleh perbedaan kemampuan dalam hal motorik
kasar antar anak jalanan (street smart) dan anak sekolah (school smart). Anak jalanan memiliki
motorik kasar yang lebih baik dibandingkan dengan anak sekolah. Dalam hal motorik halus anak
jalanan juga lebih baik dibandingkan dengan anak sekolah. Hal ini dikarenakan eksplorasi
lingkungan pada diri anak jalanan lebih tinggi dibandingkan dengan anak sekolah. Anak jalanan
yang mengikuti kegiatan ini berusia 6-12 tahun yang biasa mangkal di terminal Depok Baru.
Mereka tidak mengikuti sekolah formal tapi kejar paket A di bawah asuhan yayasan Bina Insan
Mandiri.
Hasil pengujian ini tidak hanya bersifat informatif saja, namun diharapkan mampu membantu
penanggulangan dan pembinaan anak-anak jalanan, masalah kenakalan anak&remaja, atau anak-
anak yang selama ini terpinggirkan karena status sosial dan ekonominya.
Pertumbuhan tinggi badan +5 cm pertahun, tinggi badan rata-rata 116 cm-150 cm.Penambaha
berat badan + 2-4 kg pertahun denga berat ata-rata 21-40 kg.Berat badan bertambah karena
memanjangnya tulang dan terbentuknya jarigan otot. Mampu berdiri tegak dengan gerakan lebih
sempurna.
Proporsi tubuh terlihat lebih langsing dan panjang karena pertumbuhan kaki da lengan lebih
cepat dan lebih pajang daripada pertambahan panjang badan. Pajang badan aka lebi memanang
pada usia 9 tahun. Lingkar pinggang akan tampak mengecl arena pertambahan tinggi.
Fungsi tubuh lebih baik dan lebih spesifik.
Jaringan otot yang sudah terbetuk menguat tapi masih bias rusak jika overuse.
Lingkar kepala mengecil sebagai indicator kematangan.
Perubahan facial :Gigi susu mulai tanggal,memilki 10-11 gigi permanen pada usia 8 tahun dan
kira-kira 26 gigi permane saat usia 12 tahun. Pertumbuhan otak tengkorak lebih melambat. Ugly
Ducking Stage: gigi tampak terlalu besar bagi wajah.
Proses osifikasi terus terjadi tapi tidak diikuti dengan mineralisasi sehingga tulan menjadi
rapuh (peka terhadap tekanan maupun tarikan ) untuk itu postur tubuh harus tetap dijaga : contoh
tidak membawa beban terlalu berat, tdak memakai sepatu yang terlalu kecil, dan posisi duduk
harus tegak.
Temperame anak mulai berubah karena pengaruh lingkungan, pengalaman dan motivasi dari
orang sekitarnya. Untuk itu sangat diperlukan peran orang tua dan guru untuk membentuk
tmeperamen anak yang positif.
Identity : sesuatu tidak ditambah atau dikurangi hanya bentuknya saja yang berubah. Contohnya
ada 2 kue bolu, satu berbentuk kotak dan satu berbentuk bulat. Disiini anak sudah memahami
kedua kue itu sama-sama bolu.
Reciprocity.
Ketrampilan klasifikasi :
Kemampuan mengelompokkan sesuatu sesuai dengan sifat.
Dapat mengatur obyek sesuatu sesuai skala dimensi ukuran berat dan warna.
Mulai dapat membagi.
Ketampilan kombinasi :
Memiliki keampuan memanipulasi angka.
Mempelajari penjumlahan pengurangan dan pembagian.
Belajar tentang waktu, hubungan waktu tampat dan orang.
Toddler dan preschool hanya dapat mengartikan dan melaksanakan perintah tetapi tidak bias
menceritakan kembali proses ecara verbal. Sedangkan anak usia seklah sudah dapat
mengartikulasi proses tersebut dan mengulang kembali.
PERKEMBANAGAN BAHASA :
Anak usia sekolah mulai menguasi berbagai ketrampilan linguistic. Anak usia SD mulai belajar
tentang tata bahasa yang benar dan lebih kompleks sehingga mereka bisa membenarkan jika ada-
ada hal-hal yang salah. Kemmampuan kata-kata juga dimiliki pada anak usia sekolah termasuk
kata sifat, kata keterangan, kata penghhubung, kata depan dan kata abstrak.
Mempunyai kemampuan memakai kalimat majemuk dan gabungan.
Metlinguistik awareness :memiliki kemmapuan untuk berpikir tentang
bahasa.dan berpendapat.
Mulai mengerti tentang perubahan makna dan bahasa/peribahasa.
PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL (Tahap laten)
Karakteristik perkembangan berdasarkan usia :
Pada usia 7 tahun :
Minat seks menrun da kurang eksplorasi, perhatian kepada lawan jenis meningkat dimulai dari
perasaan cinta terhadapa anaklaki-laki atau sebaliknya.
Pada usia 8 tahun :
Perhatian skesual meningakt, suka mengintip, menceritakan lelucon cabul, ingnmenambah
informasi seksual tentang kelahiran dan hubungan seksual da anak perempuan mengalami
peningkata perhatian tentang menstruasi
Pada usia 9 tahun
Lebi suka berdiskusi degna teman sebaya tentang topic seksual, memisahkan
jenis kelamin dalam permainan aktifitas.
Pada usia 10 tahun :
Minat terhaadp tubuh dan penampilan meningkat, banyak anak mulai
berkencan dan berhubunga denga lawa jenis dalam aktifitas kelompok.
Pada usia 11-13 tahun :
Khawatir tentenag penampilannya, tekaann social agar tetap langsinga dan
menarik merupakan sumber stress.
1. Krisis perkembangan membuktikan makin banyaknya
laporan tentang masalah seksual pra emaja yang dimulai usia 10 tahun.
2. Mekanisme koping yang umum dimiliki anak : mengigit kuku, ketergantungan ketrampilan,
pemecahan permasalahan bertambah, humor, fantasi, dan identifikasi.
3. Adanya rasa bersalah dengan konsekuensi emosi berkaitan dengan seks play tergantung pada
bagaimana pendangan orang tua tehadap perilaku tersebut (Lavine 1992).
Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam pendidikan anak tentang aturan dan orma dalam
mempengaruhi perilkau spesifik kelamin pendidikan seksual :
Pertanyaan anak harus segara dijawa denga jujur sesuai tingkat pemahaman anak.
Saat yang tepat untuk pnedidk kesehatan dan sebaikknya diberikan sesai dengan pengalaman
hidup.p masaih lebih nyaman bila antar laki-laki dan perempuan dipisah saat bermain.
Informasi tentang kematangan jenis kelamin sebaiknya diberikan lebih
konkrit karena sangat bermanfaat jika menstruasi tiba di dalam kelas. Keingintahuan anak
tentang perbedaan laki-laki dan perempuan terjadi pada usia ini walaupun anak teta
Peran perawat dalam pendidikan seskual : Mengkaji pengetahuan orang tua tentang seksualitas.
Memberikan informasi kepada keluarga dan anak sebagai orang yang salah mengerti tentang
seksualitas, termasuk kebiasaan dan konsep yang salah mengenai seks dan proses reproduksi.
Menginformasikan perilaku seks normal dan keingintahuan anak tentang seks
sebagai bagian dari informasi perkembangan. Mengirim informasi tentang perilaku seks yang
abnormal dan cara mengatasinya.
PERKEMBANGAN SOSIAL
Anak meras nyaman bila bersama orang tua dan keluarga, meras lebih percaya diri, emosi
berkurang dan lebih dapat melihat segala sesuatu secara realistik. Energinya banyak digunakan
untuk mengeksplorais lingkungan dan keluarganya untuk meningkatkan hubungan interpersonal,
untuk meningkatkan pemahamannya dan memuaskan keingintahuan tentang dunia.
Pengaruh teman sebaya dapat mendorong mereka untuk lebih mandiri. Dorongan dari peer group
memberikan rasa man pada mereka untuk mendukung perkembangan mandirinya.
Perbedaan jenis kelamin, kemaskulinan dan kefemininan mulai berperan dalam hubungan sosial.
Anak laki-laki bermain dngan anak laki-laki . Anak perembpuan bermain dengan anak
perempuan. Pada akhir usia sekolah perbedaan itu semakin nyata.
Middle childhood merupakan periode laten dimana merupakan masa tenang antara fase oedipal
dengan fae erotism pada ermaja. Sense of insutry dapat berkemang bila didukaung motivasi dari
dalam dan luar.
Instrinsik :