Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Fistula ani, fistula in ano, atau sering juga disebut fistula perinanal merupakan
sebuah hubungan yang abnormal antara epitel dari kanalis anal dan epidermis dari
kulit perianal. Hubungan ini berupa sebuah traktus yang terbentuk oleh jaringan
granulasi. Bukaan primernya terletak pada kanalis anal dan bukaan sekundernya
terletak pada kulit perianalis. Bukaan sekundernya dapat multipel yang berasal dari
satu bukaan primer saja. 1,2,3
Apabila tidak ditutup secara permanen dengan tindakan bedah, fistula akan
tetap terbuka sehingga dapat terinfeksi ulang dari anal atau rektum yang berakibat
terbentuknya pus terus menerus. Traktus yang terbentuk oleh abses, dapat juga
tidak berhubungan dengan anal atau rektum dan secara definisi disebut sebagai
sinus, bukan fistula.4
Fistula ani adalah bentuk kronik dari abses anorektal yang tidak sembuh
sehingga membentuk traktus akibat inflamasi. Akibat dari keterkaitan ini
dikatakanlah bahwa abses anorektal dan fistula ani menggambarkan stadium yang
berbeda dari suatu keadaan patologis yang berkelanjutan. Abses menggambarkan
fase inflamasi akut dan fistula proses kronik. 5,6
Fistula ani suatu kondisi yang telah tergambarkan sebelum mulainya sejarah
kedokteran. Pada sekitar tahun 430 sebelum masehi, Hipokrates mengemukakan
bahwa fistula ini disebabkan akibat kontusi dari seringnya berkuda atau mendayung.
Dia juga orang pertama yang menyarankan penggunaan seton untuk
penatalaksanaannya. Usaha mencari penanganan yang tepat telah tercatat dalam
buku-buku selama lebih dari 2000 tahun. Bahkan rumah sakit St.Mark di London,
dibangun khusus untuk menangani pasien-pasien dengan fistula ani dan kondisi
rektal lainnya. 7
Sejak jaman Hipokrates itu, sedikit yang berubah mengenai pengertian proses
penyakit ini. Pada 1976, dikemukakan klasifikasi fistula ani yang tetap digunakan
secara luas hingga saat ini. Dalam 30 tahun terakhir, banyak penulis telah
mempresentasikan teknik-teknik baru dan sejumlah kasus dalam usaha mengurangi
angka rekurens dan komplikasi inkontinensia. Walau dengan pengalaman lebih 2500
tahun, fistula ani tetap menjadi suatu penyakit bedah yang membingungkan. 3
1
Suatu hal yang perlu dimengerti bahwa fistula ani bukan kondisi yang
membahayakan jiwa pasien, namun lebih memberi penderitaan akibat pus yang
keluar atau saat defekasi. Dan hal ini juga berujung pada keadaan psikososial dari
penderita.2
ANATOMI
Kanalis anal merupakan bagian akhir dari usus besar dan rektum, yang berawal
dari diafragma pelvis yang melewati otot levator ani dan berakhir pada pinggiran
anal. Kanalis ini mempunyai panjang sekitar 4 cm. Dinding otot dari kanalis anal
merupakan kelanjutan dari lapisan otot sirkuler rektum yang kemudian menebal dan
membentuk sfingter internal. 5,8
Secara anatomis kanalis anal memanjang dari pinggiran anal sampai ke linea
dentata. Akan tetapi untuk alasan praktis, ahli bedah terkadang mendefinisikan
kanalis anal memanjang dari pinggiran anal sampai ke cincin anorektal. Cincin
anorektal sendiri teraba saat pemeriksaan rektal sekitar 1-1,5 cm di atas linea
dentata. 5,8
Pinggiran anal adalah pertemuan antara anoderm dan kulit perianal. Anoderm
merupakan epitel tersendiri yang kaya akan saraf tapi kurang dalam hal perangkat
kulit (folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat). Linea dentata atau
2
linea pectinata yang merupakan pertemuan mukokutaneus sebenarnya, terletak 1 –
1,5 di atas pinggiran anal. Terdapat zona transisional atau cloacogenik sebesar 6 –
12 mm di atas linea dentata, yang merupakan peralihan epitel skuamosa anoderm
menjadi kuboidal dan kemudian epitel kolumnar. 5,8
Kanalis anal dikelilingi oleh sebuah sfingter eksternal dan internal, yang
keduanya menjalankan mekanisme sfingter anal. Sfingter internal merupakan
kelanjutan dari bagian dalam otot polos sirkuler rektum. Juga merupakan otot
involunter dan normalnya berkontraksi saat istirahat. Bidang intersfingterik
menggambarkan kelanjutan fibrosa dari lapisan otot polos longitudinal rektum. 5,8
Sfingter eksternal merupakan otot volunter berlurik, yang terbagi menjadi tiga
putaran bentuk U (subkutaneus, superfisial, dan profunda) namun bekerja sebagai
satu kesatuan. Sfingter eksternal merupakan kelanjutan dari otot-otot levator dari
dasar pubis, khususnya otot puborectalis. Putaran paling atas terbentuk oleh otot
puborektalis, yang berasal dari pubis. Putaran di tengah terbentuk oleh otot sfingter
eksternal superfisial, yang berasal dari ujung coccyx atau ligamentum anococcygeal.
Putaran yang paling bawah tersusun oleh lapisan subkutaneus dari otot sfingter
eksternal. Otot puborektalis berasal dari pubis dan menyatu pada posterior dari
rektum. Normalnya sfingter berkontraksi menghasilkan penyudutan 80° dari sudut
pertemuan anorektal.5,8
Dari area setinggi cincin anorectal ke arah distal dan antara otot sfingter internal
dan eksternal, lapisan otot longitudinal rektum menyatu dengan serat dari levator
ani dan otot puborektalis yang kemudian membentuk otot longitudinal conjoined.
Serat-serat otot ini, yang dapat memotong bagian bawah dari sfingter eksternal
untuk kemudian masuk ke dalam kulit perianal dan mengerutkan pinggiran anal,
disebut sebagai corrugator cutis ani.5
3
EPIDEMIOLOGI
Angka prevalensi penyakit ini adalah 8,6 kasus tiap 100.000 populasi. Prevalensi
pada pria adalah 12,3 tiap 100.000 populasi. Pada wanita, berkisar 5,6 kasus tiap
100.000 populasi. Rasio antara pria dan wanita adalah 1,8:1, yang menggambarkan
lebih seringnya penyakit ini pada pria. Umur rata-rata dari penderita fistel ani adalah
38 tahun.3
ETIOLOGI
Fistula ani hampir selalu disebabkan oleh abses anorektal yang mendahului.
Kelenjar anal yang terletak pada linea dentata menyediakan jalan bagi organisme
patogen untuk mencapai ruang intersfingterik.6
Namun penyebab lainnya dapat berupa trauma, penyakit Crohn, fisura anal,
kanker, terapi radiasi, infeksi actinomycoses, tuberkulosis, dan chlamydial. 6
PATOFISIOLOGI
KLASIFIKASI
4
berasal dari traktus primer atau sekunder dari garis tengah posterior yang konsisten
dengan abses tapal kuda sebelumnya.3
Klasifikasi yang paling membantu namun tetap rumit dikemukakan oleh Parks et
al. Empat bentuk dasar dari fistula in ano digambarkan dalam klasifikasi ini, yang
berdasarkan pada hubungan antara fistula dan otot-otot sfingter.
1) Fistula intersfingterik
Fistula jenis ini diakibatkan oleh abses perianal. Traktus berjalan di dalam ruang
intersfingterik. Jenis juga merupakan tipe yang paling sering dengan kisaran 70%
dari semua fistula in ano. Pada fistula intersfingterik juga dapat didapatkan
sebuah traktus buntu yang tinggi dengan arah ke atas dari ruang intersfingterik
menuju ruang supralevator. Bukaan eksternalnya biasanya pada kulit perianal
yang dekat dengan pinggiran anal. 1,5,6
2) Fistula Transsfingterik
Merupakan fistula kedua yang tersering, mencakup 23% dari semua fistula yang
didapatkan. Umumnya hasil dari abses ischiorektal. Traktus fistula berjalan dari
ruang intersfingterik melewati sfingter eksternal, menuju ke dalam fossa
ischiorektal, dan kemudian berakhir pada kulit. Ketinggian traktus melewati
sfingter eksternal agak bervariasi. Fistula transsfingterik dapat melibatkan hampir
seluruh sfingter eksternal atau hanya bagian superfisialnya saja. Fistula jenis ini
juga dapat mempunyai traktus buntu yang tinggi dan dapat mencapai apeks dari
fossa ischiorectal atau dapat memanjang melalui otot levator ani dan ke dalam
pelvis. 1,5,6
5
Gambar 3. Fistula intersfingterik, fistula transfingterik, dan
fistula transfingterik yang memanjang ke atas
(dikutip dari kepustakaan no. 7)
3) Fistula Suprasfingterik
Fistula jenis ini diakibatkan oleh abses supralevator dan mencakup 5% dari semua
jenis fistula. Traktus berjalan di atas dari puborektalis setelah naik seperti abses
intersfingterik. Traktus kemudian berbelok ke arah bawah lateral menuju sfingter
eksternal dalam ruang ischioanal dan kulit perianal. Traktus buntu dapat juga
timbul pada jenis ini dan mengakibatkan pemanjangan bentuk tapal kuda. 1,5,6
4) Fistel Ekstrasfingterik
Merupakan jenis yang paling jarang dan hanya 2% dari semua fistula. Pada jenis
ini traktus terdapat di luar dari kompleks sfingter. Traktus berjalan dari rektum di
atas dari levator ani dan melewatinya untuk menuju ke kulit perianal via ruang
ischioanal. Fistul ini dapat terjadi akibat penetrasi benda asing pada rektum
disertai drainase melalui levator, akibat cedera penetrasi pada perineum, akibat
penyakit Crohn, atau kanker serta penatalaksanaannya. Akan tetapi, penyebab
yang paling sering mungkin akibat iatrogenik sekunder setelah pemeriksaan yang
terlalu berlebih saat operasi fistula. 1,5,6
6
Gambar 4. Fistula suprasfingterik, fistula ekstrasfingterik, dan fistula
tapal kuda (dikutip dari kepustakaan no.7)
MANIFESTASI KLINIK
Umumnya, gejala utama yang tersering adalah keluarnya pus seropuruluen yang
mengiritasi kulit di sekitarnya dan menyebabkan perasaan tidak enak. Terkadang
anamnesis mengatakan gejala ini sudah menahun. Abses perianal yang rekurens
menyarankan adanya fistula ani. Selama bukaannya cukup besar untuk pus keluar,
maka nyeri belum menjadi gejala. Tapi bila bukaan tersumbat maka nyeri akan
timbul meningkat hingga pus dapat keluar. Biasanya bukaan hanya soliter, terletak
3,5 – 4 cm dari anus, memberi gambaran elevasi kecil dengan jaringan granulasi
warna merah pada mulut lubang. Bila elevasi ditekan akan keluar pus. Pada fistula
sederhana atau superfisial, traktus dapat teraba sebagai jalinan yang keras. 5
DIAGNOSIS
Dengan keluhan yang beragam dan hampir serupa dengan beberapa penyakit
lain. Maka penegakan diagnosis fistula ani membutuhkan anamnesis yang terperinci,
pemeriksaan fisik yang mendetail, serta dengan bantuan pemeriksaan penunjang. 3
7
Dari anamnesis pasien dengan fistula ani, keluhan-keluhan yang sering adalah
pengeluaran pus dari lubang pantat, nyeri pada daerah pantat, bengkak,
perdarahan, diare, ekskoriasi kulit pantat, dan lubang yang terlihat di daerah dekat
lubang pantat. 3
Pemeriksaan fisik yang mendetail merupakan cara diagnosis yang paling penting
dan tepat pada fistula ani. Pemeriksa harus memeriksa keseluruhan perineum untuk
mencari bukaan eksternal yang akan tampak seperti sinus terbuka atau elevasi
jaringan granulasi. Pada rectal touche dapat ditemukan traktus fibrosa atau uliran di
bawah kulit. Pengeluaran pus secara spontan dapat terlihat atau terjadi saat
penekanan dengan jari tangan.3,5
8
Ada beberapa kelainan yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
fistula anal. Hidradenitis supuratif, yang dibedakan dengan adanya bukaan kulit
perianal yang multipel dan penampakan kulit sekitar seperti jaket kulit. Sinus
pilonidal dengan ekstensi perianal dan kista sebasea perianal yang terinfeksi juga
harus dipertimbangkan. Penting juga untuk menyingkirkan fistula yang berhubungan
dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Divertikulitis dari colon signmoid dengan
perforasi dan fistulasasi dari perineum serta Kanker rektal yang rendah, yang dapat
memberi gambaran fistula pada perineum. 6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium
Tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk penyakit ini.
Yang biasa dilakukan hanya pemeriksaan preoperatif sesuai umur dan
komorbiditas.3
- Pencitraan
Pemeriksaan radiologi bukanlah pemeriksaan rutin untuk evaluasi fistula.
Pemeriksaan dilakukan untuk membantu saat dari bukaan primer/internal sulit
diidentifikasi atau pada kasus fistulae rekuren atau fistulae multipel untuk
mengidentifikasi traktus sekunder atau bukaan primer yang terlewatkan. 3
Fistulografi dapat dilakukan dengan menginjeksi zat kontras melalui bukaan
internal yang kemudian diikuti dengan x-ray anteroposterior, lateral, dan oblik
untuk melihat jalannya traktus fistula. Prosedur ini mempunyai tingkat akurasi
16-48 % dan membutuhkan kemampuan untuk memvisualisasi bukaan internal.
Jaringan granulosa dan materi purulen di dalam traktus fistula seringkali
mengobstruksi aliran kontras menuju perpanjangan fistula sehingga dapat
memberikan gambaran yang salah. Yang lebih menambah kesulitan adalah tidak
adanya patokan anatomis dalam melihat fistula pada pemeriksaan ini. 1,3,6
9
berguna untuk mengidentifikasi abses-abses anorektal dengan letak dalam, tapi
jarang digunakan sebagai evaluasi preoperatif fistula ani. CT-scan mempunyai
resolusi yang kurang baik dalam memberi gambaran jaringan lunak sehingga sulit
memberikan gambaran fistula berkaitan dengan otot –otot levator dan sfingter
khususnya pada potongan aksial.1,3,6
USG endoanal dilakukan untuk menentukan hubungan antara traktus primer
dengan sfingter anal, untuk menentukan apakah fistula sederhana atau
kompleks dengan perpanjangan, dan untuk menentukan lokasi bukaan primer.
Transduser dimasukkan ke dalam kanalis analis kemudian hidrogen peroksida
dapat dimasukkan melalui bukaan eksternal. USG endo anal memberikan
gambaran yang baik dari daerah anal dan sangat akurat dalam mengidentifikasi
pengumpulan cairan dan traktus fistula. Akan tetapi identifikasi dari bukaan
internal masih sukar. Bahkan dengan penggunaan hidrogen peroksida yang
masih sering terasa agak sulit. Pada beberapa penelitian, pemeriksaan ini 50%
lebih baik dalam menemukan bukaan internal yang sulit daripada pemeriksaan
fisik saja. 1,3,6
MRI mempunyai resolusi jaringan yang bagus dan kapabilitas multiplanar
sehingga sangat akurat dalam mengidentifikasi bukaan internal dan traktus
fistula. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hasil MRI 80-90% mendekati
penemuan saat operasi. Hal ini membuat MRI menjadi pilihan utama dalam
mengidentifikasi fistulae yang kompleks. Walaupun terlihat lebih baik daripada
USG dalam mengevaluasi fistula ani, namun USG lebih murah dan dapat
digunakan saat operasi sedang berlangsung dalam kamar operasi. 1,3
PENATALAKSANAAN
Prinsip umum dalam penanganan bedah fistula ani adalah untuk menghilangkan
fistula, mencegah rekurens, dan untuk memelihara fungsi sfingter. Keberhasilan
biasanya ditentukan oleh identifikasi bukaan primer dan memotong otot dengan
jumlah yang paling minimal.6
10
methylene blue dapat mewarnai jaringan sekitarnya, namun mencairkannya
dengan saline atau hidrogen peroksida akan mengatasi masalah ini.
3. Mengikuti jaringan granulasi pada traktus fistula.
4. Memperhatikan lipatan kripta anal saat traksi dilakukan pada traktus. Hal ini
dapat berguna pada fistula sederhana namun kurang berhasil pada varian
yang kompleks.
Kesulitan dari penanganan fistula ani terlihat dari banyaknya teknik berbeda
yang berkembang. Teknik lay-open dengan pembelahan semua jaringan yang distal
dari traktus primer, merupakan cara yang paling efektif untuk menghilangkan fistula.
Namun efektifitasnya harus diseimbangkan dengan risiko inkontinensia ani yang
mengganggu. Teknik ini yang disebut juga sebagai fistulotomi ini mengandung risiko
yang sebanding dengan jumlah otot sfingter yang terkait dengan fistula. Maka
kriteria tunggal yang sangat penting dalam pemilihan penanganan bedah adalah
hubungan antara traktus fistula dan kompleks sfingter.1
11
untuk mengidentifikasi adanya traktus buntu yang tersembunyi atau adanya
pemanjangan. Bila ada, dilanjutkan dengan insisi untuk membuka. 6
Pada daerah yang rendah di anus, sfingter internal dan subkutaneus sfingter
eksternal dapat dibelah pada sudut yang tepat dari jaringan di atas tanpa
mengganggu kontinensia. Tapi hal ini tidak berlaku apabila fistulotomi dilakukan
anterior pada pasien wanita. Apabila lajur traktus terletak tinggi dari mekanisme
sfingter, maka pemasangan seton harus dilakukan.3
Seton dapat berupa benda asing apapun yang dapat dimasukkan ke dalam
fistula untuk mengelilingi otot sfingter. Materi yang sering digunakan adalah sutera
atau bahan lain yang tidak terserap, karet, kateter silastik. Seton dapat digunakan
secara tunggal, dikombinasikan dengan fistulotomi, atau digunakan secara bertahap.
Penggunaannya sangat berguna pada pasien dengan kondisi-kondisi berikut: 3
12
Gambar 9. Penggunaan seton (dikutip
dari kepustakaan no. 7)
Saat fistulotomi tidak tepat, sebagai contoh pada pasien wanita dengan fistula
anterior, pasien dengan inflammatory bowel disease, pada pasien dengan fistula
transfingterik dan suprasfingterik, begitu juga dengan pasien yang telah menjalani
operasi sfingter sebelumnya, dan fistula kompleks, maka penggunaan anorectal
advancement flap disarankan. Keuntungan dari teknik ini termasuk reduksi dari
waktu penyembuhan, reduksi dari rasa tidak nyaman, kurangnya deformitas dari
kanalis anal, dan kurangnya kerusakan tambahan pada otot sfingter karena tidak ada
otot yang dibelah. Setelah identifikasi, bukaan internal dieksisi. Kemudian bukaan
13
eksterna diperbesar untuk memudahkan drainase. Lipatan tebal dari mukosa rektal,
submukosa, dan sebagian sfingter interna diangkat. Bukaan internal yang tersisa
ditutup dengan jahitan mudah serap. Lipatan kemudian ditarik sampai 1 cm di
bawah bukaan internal. Ujung bukaan yang mengandung jaringan fistula dieksisi dan
lipatan dijahit dengan jahitan mudah serap sambil menjaga garis jahitan otot dan
mukosa tidak bertumpang tindih. Dasar dari lipatan harus dua kali lebar bagian atas
untuk menjaga aliran darah yang baik. Keberhasilan dilaporkan pada 90% pasien. 6
Setelah operasi pilihan dilakukan, pasien diberikan diet normal, obat pengumpul
feces, dan analgesik non codein. Pasien diberi instruksi sitz bath secara rutin untuk
menjaga higienitas perianal. Pasien dievaluasi dengan interval 2 minggu untuk
menjaga penyembuhan terjadi dari dalam traktus. Jaringan granulasi dapat
dikauterisasi dengan nitrat perak dan batang kapas digunakan untuk memeriksa
kedalaman agar penyembuhan yang secukupnya tetap jalan. Pada operasi
advancement flap, kateter foley dilepas sehari setelah operasi. Dan disarankan
untuk menjaga pasien dengan terapi intravena dan tanpa nutrisi oral untuk
menginjinkan penyembuhan yang adekuat dari flap.6
KOMPLIKASI
14
Komplikasi dapat terjadi langsung setelah operasi atau tertunda. Komplikasi
yang dapat langsung terjadi antara lain: 3
- Perdarahan
- Impaksi fecal
- Hemorrhoid
- Inkontinensia
Munculnya inkontinensia berkaitan dengan banyaknya otot sfingter yang
terpotong, khususnya pada pasien dengan fistula kompleks seperti letak
tinggi dan letak posterior. Drainase dari pemanjangan secara tidak sengaja
dapat merusak saraf-saraf kecil dan menimbulkan jaringan parut lebih
banyak. Apabila pinggiran fistulotomi tidak tepat, maka anus dapat tidak
rapat menutup, yang mengakibatkan bocornya gas dan feces. Risiko ini juga
meningkat seiring menua dan pada wanita. 3,6
- Rekurens
Terjadi akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukaan primer atau
mengidentifikasi pemanjangan fistula ke atas atau ke samping. Epitelisasi
dari bukaan interna dan eksterna lebih dipertimbangkan sebagai penyebab
persistennya fistula. Risiko ini juga meningkat seiring penuaan dan pada
wanita. 3,6
- Stenosis analis
Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis pada kanalis anal. 3,6
PROGNOSIS
Prognosis dari penyakit ini sangat baik setelah sumber infeksi dan fistula
teridentifikasi. Fistula akan menetap bila tidak didrainase dengan benar. Dengan
tindakan yang tepat dan mengikuti anjuran yang, maka prognosis dari fistula ani
baik. Komplikasi pun dapat terhindarkan.9
15
Pada pasien yang telah menjalani fistulotomi standar, dilaporkan angka
rekurensnya berkisar antara 0-18% dan angka inkontinensia antara 3-7%. Pasien
yang menjalani penggunaan seton, angka rekurensnya 0-17% dan angka
inkontinensia antara 0-17%. Sedangkan yang menjalani advancement flap, angka
rekurensnya berkisar antara 1-10% dan angka inkontinensia antara 6-8%. 3
16