You are on page 1of 67

“Kerajaan Islam di Indonesia”

Oleh :
 Abdul Haris Manggala Putra
 Dini Adlina Salman
 Muhammad Iqbal
 Ridhatul Amalia C.A
 Riza Wulandari Azkha
 Tyara Debi Arisha

TP 2009/2010
SMAN 1 BUKITTINGGI
Kerajaan Islam di Pulau Sumatera
Kesultanan Perlak (Abad ke-9 - abad ke-13)

Peta kerajaan Islam Peureulak dan Pasai.

Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar


wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan
tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak,
jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal
dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak
berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-
kapal yang antara lain berasal dari Arabdan Persia. Hal ini membuat berkembangnya
masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan
campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.

Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera
dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H
atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin
Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan
makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.

Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi,
Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari
pelayaran dari Jawa.  Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-
chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri
Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad
kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di
negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.

Perkembangan dan pergolakan

Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang
beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang
mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota
kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri
Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah,
aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M),
terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya
tak ada sultan.

Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed
Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi
lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni
sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.

Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin
Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun
antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi
dua bagian:

Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)

Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan
Berdaulat (986 – 1023)

Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak


dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga
tahun 1006.

Penggabungan dengan Samudera Pasai

Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan
Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan
dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:

Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad


Shah (Parameswara).

Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.

Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan
Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan
Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan
Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.
Daftar Sultan Perlak

Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul
Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah
Perlak.

1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840 – 864)


2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864 – 888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888 – 913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915 – 918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928 – 932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932 – 956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956 – 983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat [5] (986 – 1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023 – 1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059 – 1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078 – 1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109 – 1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135 – 1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160 – 1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173 – 1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200 – 1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat
(1230 – 1267)
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292)

Kesultanan Samudera Pasai (Abad ke-13 - abad ke-16)


Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera
Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang
lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh Marah
Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir dengan dikuasainya
Pasai oleh Portugis pada tahun 1521. Raja pertama bernama Sultan Malik as-Saleh yang
wafat pada tahun 696 H atau 1297 M, kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh
Sultan Malik at-Thahir.

Kesultanan Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan


ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah di
Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah bercerita bahwa Sultan Malik az-Zahir di
negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh keramahan. Menurut Ibn Batuthah,
penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi`i.
Belum begitu banyak bukti dan berita tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai
bahan kajian sejarah.

Kesultanan Malaka (Abad ke-14 – abad ke-17)

Kesultanan Melaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan yang didirikan


oleh Parameswara, seorang putra Melayu berketurunan Sriwijaya.

Parameswara merupakan turunan ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara
Sri Tri Buana (Sang Nila Utama), seorang penerus raja Sriwijaya. Sang Nila Utama mendirikan
Singapura Lama dan berkuasa selama 48 tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya
Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386) yang kemudian diteruskan oleh cucunya,
Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399). Pada tahun 1401, Parameswara putra dari Seri
Rana Wira Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah mendapat penyerangan dari Majapahit.

Ibu kota kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada Selat Malaka. Kesultanan ini
berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia
Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Malaka runtuh setelah ibukotanya direbut
oleh Portugis pada tahun 1511.

Kejayaan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka di sebabkan oleh beberapa faktor penting
yaitu, Parameswaratelah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan
negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada tahun 1403. Salah
seorang dari sultan Malaka telah menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama
Putri Hang Li Po. Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat
kepada Malaka. Malaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan pemegang
kekuasaan terbesar di dunia pada masa itu untuk menghindari serangan Siam.

Sejarah

Parameswara pada awalnya menjadi raja di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini


kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya pinda lebih ke
utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah tinggal di ibukota baru
di Melaka pada 1403, tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai
balasan upeti yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan
pada kerajaan baru tersebut. 

Parameswara kemudian menganut agama Islam setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari


kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara
masih berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim. Pada 1414
Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.

Megat Iskandar Syah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah.
Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak
menganut agama Islam, dan mengambil gelar Seri Parameswara Dewa Syah. Namun masa
pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara
seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.

Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung


Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini memancing kemarahan Siam
yang menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam.
Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan.

Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur
Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah
sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk. Dengan demikian Melaka
mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.

Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh
putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan
digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.

Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut
diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai
pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah
melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis
membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia
wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak,
sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru yaitu Johor.

Daftar raja-raja Malaka

1. Parameswara (1402-1414)
2. Megat Iskandar Syah (1414-1424)
3. Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
4. Seri Parameswara Dewa Syah(1444-1445)
5. Sultan Mudzaffar Syah (1445-1459)
6. Sultan Mansur Syah (1459-1477)
7. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1488)
8. Sultan Mahmud Syah (1488-1528)

Kesultanan Aceh (Abad ke-16 – 1903)


Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang
pada tahun 1360ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14.
Kesultanan Aceh terletak di utara pulauSumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda
Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan
pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam
sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya
dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang
imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik,
mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Sejarah

Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Di awal-


awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga
mencakup Daya, Pedir, Pasai, Deli dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah
digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa
hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah
al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.

Masa kejayaan

Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar


Muda (1607 - 1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul
mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand
Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas
pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah
Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan
semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh
melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari
500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas
dominasi Aceh atasSelat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah
berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal
dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.

Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan
beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang
masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U
Adyan,Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin
Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam
bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.

Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada
tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah
makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai
dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta
Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya
perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.

Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada


Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara
Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga
berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan
terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-
pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha
untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun
Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya
jatuh dan digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda. Pada tahun
1942, pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang. Pada tahun
1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di
ibukota Hindia Timur Belanda (Indonesia) segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik
indonesia atas ajakan dan bujukan dariSoekarno kepada pemimpin Aceh Tengku
Muhammad Daud Beureueh saat itu.

Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26
Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil
merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun1883, namun lagi-lagi
gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal
merebut Aceh.

Tuanku Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, sultan Aceh yang terakhir.

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah


berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian
memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada
para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes
Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama
letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.

Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda pada


tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh
Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir
seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Kerajaan Melayu Jambi


Dharmasraya merupakan nama ibukota dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatera, nama ini
muncul seiring dengan melemahnya kerajaan Sriwijaya setelah serangan Rajendra
Coladewa raja Chola dari Koromandel pada tahun 1025.

Awal Mula

Munculnya Wangsa Mauli

Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola telah


mengakhiri kekuasaanWangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya.
Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa
Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti
Grahi tahun 1183 di selatanThailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat
Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati
Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.
Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang
Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman Arca Amoghapasa dari atasannya,
yaitu Kertanagara raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan
di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibukota dari negeri bhūmi mālayu. Dengan


demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri
kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun
bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan
jelas.

Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah
mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah
Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka.
Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan
Cina disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai
bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang)
yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari


bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali
Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas
apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum
dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua
daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri


San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja),Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya
atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-
ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai
timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun,
daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-
t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li(Lamuri,
daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan
demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya,
Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an identik dengan Sriwijaya.


Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih
tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara
umum. Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan
bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah
kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di
atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang
sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan
utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong(Palembang).

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi
tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan
Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan
surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227
tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan pengiriman
utusan selanjutnya tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-
yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya,
melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut
merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya
sudah berakhir.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina
untuk menyebut Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu
adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu
zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah
San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah
Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365sama sekali tidak pernah menyebut
adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton menyebutkan pada tahun


1275, Kertanagara mengirimkan utusan dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan
nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang,
kemudian ditahun 1286 Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk
mengantarkan Arca Amoghapasa yang kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco di
Dharmasraya ibukota bhumi malayu sebagai hadiah dari kerajaanSinghasari dan tim ini
kembali ke pulau Jawa pada tahun 1293 sekaligus membawa dua orang putri dari Kerajaan
Melayu yakni bernama Dara Petak dan Dara Jingga. Kemudian Dara Petak dinikahkan oleh
Raja Raden Wijaya yang telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan
ini melahirkanJayanagara, raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahkan
dengan sira alaki dewa ( orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuhan
Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman dan kelak menjadi
raja Pagaruyung.

Penaklukan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Negeri Melayu sebagai salah


satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit. Namun interpretasi isi yang
menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti
ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini. Pada tahun 1339
Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus melakukan
beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung
Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati
Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343.
Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.

Dari Dharmasraya ke Malayapura

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada


tahun 1347 tahun masehi atau 1267 tahun saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya
sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama
Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura dan
kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya dan memindahkan
ibukotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalaman Minang (Pagaruyung atau Suruaso).
Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa
nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Bangsa
Mauli  penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah
seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya,
raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh
keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Walaupun ibukota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, di


Dharmasraya tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya tetapi statusnya berubah
menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung
Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman.

Daftar Raja Dharmasraya


Berikut ini daftar nama raja Dharmasraya:

Tahun Nama raja atau Ibu kota / Prasasti, catatan pengiriman


(Maseh gelar pusat pemerintahan utusan ke Tiongkok serta
i) peristiwa
1183 Srimat Dharmasraya Prasasti Grahi tahun 1183 di
Trailokyaraja selatan Thailand, perintah
Maulibhusana kepada bupati Grahi yang
Warmadewa bernama Mahasenapati
Galanai supaya membuat arca
Buddha seberat 1 bhara 2 tula
dengan nilai emas 10 tamlin.
1286 Srimat Dharmasraya Prasasti Padang
Tribhuwanaraja Roco tahun 1286 di Siguntur (K
Mauli ab. Dharmasraya sekarang),
Warmadewa pengiriman Arca
Amoghapasa sebagai hadiah
Raja Singhasari kepada Raja
Dharmasraya.
1300 Akarendrawarma Dharmasraya atau Prasasti Suruaso di (Kab. Tanah
n Pagaruyung atau Surua Datar sekarang), dimana
so Adityawarman menyelesaikan
pembangunan selokan yang
dibuat oleh raja sebelumnya
yaitu Akarendrawarman.
1347 Srimat Sri Pagaruyung atau Memindahkan pemerintahan
Udayadityawarm Suruaso ke Pagaruyung atau Suruaso,
an Manuskrip pada Arca
Pratapaparakram Amoghapasa bertarikh 1347 di
a Rajendra (Kab. Dharmasraya
Maulimali sekarang), Prasasti
Warmadewa Suruaso dan Prasasti Kuburajo

Kesultanan Johor
Kesultanan Johor yang kadang-kadang disebut juga sebagai Johor-Riau atau Johor-Riau-
Lingga adalah kerajaan yang didirikan pada tahun 1528 oleh Sultan Alauddin Riayat Syah,
putra sultan terakhir Melaka, Mahmud Syah. Sebelumnya daerah Johor-Riau merupakan
bagian dari Kesultanan Melaka yang runtuh akibat serangan Portugis pada 1511.

Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup


wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah
diSumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.

Sebagai balas jasa atas bantuan merebut tahta Johor Sultan Hussein


Syah mengizinkan Britania pada 1819 untuk mendirikan pemukiman di Singapura. Dengan
ditandatanganinya Traktat London tahun 1824 Kesultanan Johor-Riau dibagi dua menjadi
Kesultanan Johor, dan Kesultanan Riau-Lingga. Pada tahun yang sama Singapura
sepenuhnya berada di bawah kendali Britania. Riau-Lingga dihapuskan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1911.

Pada tahun 1914, Sultan Ibrahim, dipaksa untuk menerima kehadiran Residen Britania.
Dengan demikian Johor efektif menjadi koloni Mahkota Britania.

Johor menjadi salah satu negara bagian Malaysia ketika negara itu didirikan pada 1963.

Perang Segi Tiga

Sultan Alauddin Riayat Syah membangun sebuah kota di Johor Lama yang terletak di tebing
Sungai Johor dan dari situ dia melancarkan serangan terhadap Portugis di Melaka. Baginda
senantiasa bekerjasama dengan saudaranya di Perak dan juga dengan Sultan Pahang untuk
merebut Malaka kembali.

Pada masa yang sama, di sebelah utara Sumatera, Kerajaan Aceh mulai mengembangkan


pengaruhnya untuk menguasai Selat Melaka. Selepas kejatuhan Malaka kepada Portugis
yang beragama Nasrani, pedagang-pedagang Muslim mula menjauhkan diri dari Malaka dan
singgah di Aceh. Melihat keadaan itu Portugis merasa tersaingi karena hasil perdagangannya
semakin berkurang.

Portugis dan Johor senantiasa berperang yang menyebabkan Aceh melancarkan serangan
terhadap kedua kekuatan itu. Kebangkitan Aceh di Selat Melaka mengakibatkan Johor dan
Portugis berdamai dan bekerjasama melemahkan Aceh. Tetapi setelah Aceh menjadi lemah,
Johor dan Portugis kembali berperang.

Belanda di Melaka

Pada abad ke-17, Belanda tiba di Asia Tenggara. Belanda bukanlah sekutu atau kawan
Portugis dan hal ini menyebabkan Belanda bersekutu dengan Johor untuk memerangi
Portugis di Malaka. Akhirnya pada tahun 1641, Belanda dan Johor berhasil mengalahkan
Portugis. Melaka kemudian menjadi milik Belanda sehingga Perjanjian Inggeris-Belanda
1824 ditandatangani.

Perang Johor-Jambi

Pada waktu Perang Segi Tiga, Jambi yang berada di bawah kekuasaan Johor menjadi
tumpuan ekonomi dan politik. Pada tahun 1666, Jambi mencoba melepaskan diri dari
kekuasaan Johor dan di antara tahun 1666 hingga tahun 1673 terjadi peperangan antara
Johor dan Jambi. Ibu kota Johor, Batu Sawar dihancurkan oleh tentara Jambi. Hal ini
menyebabkan ibu kota Johor berpindah-randah.
Pada tahun 1679, Laksamana Tun Abdul Jamil menyewa pasukan upahan Bugis untuk
bersama-sama dengan pasukan Johor menyerang Jambi. Tidak lama kemudian Jambi pun
berakhir.

Krisis antara Johor dan Jambi bermula disaat kedua belah pihak berselisih paham mengenai
perebutan kawasan yang bernama Tungkal. Pada masa ini Johor diperintah oleh Sultan
Abdul Jalil Syah III dan pemerintahan lebih banyak dimainkan oleh Raja Muda. Dalam usaha
untuk mendapatkan Tungkal dari tangan orang Jambi, orang Johor telah menghasut
penduduk Tungkal untuk memberontak. Hal ini menimbulkan kemarahan Pemerintah Jambi.
Namun kekuatan Johor yang disegani pemerintah Jambi pada waktu itu menyebabkan Jambi
memilih untuk berdamai. Ketegangan antara Johor dan Jambi dapat diredakan karena
perkawinan antara Raja Muda Johor dengan Puteri Sultan Jambi pada tahun 1659.

Namun persengketaan antara Johor dan Jambi kembali meletus dikarenakan tindakan
kedua-dua pihak yang saling menghina kedaulatan kerajaan masing-masing. Johor kembali
berperang dengan membawa 7 buah kapal untuk menyerang perkampungan nelayan Jambi
pada bulan Mei 1667. Kegiatan perdagangan semakin merosot akibat perperangan yang
terjadi karena tidak ada jaminan keselamatan kepada pedagang untuk menjalankan
perdagangan di kawasan bergolak ini. Hal ini menyebabkan kerugian ekonomi kepada Johor.
Puncak peristiwa peperangan ini terjadi saat Pengeran Dipati Anum mengetuai sebuah
angkatan perang untuk menyerang dan memusnahkan Johor secara mengejutkan pada 4
April 1673. Serangan ini telah melumpuhkan sistem pemerintahan kerajaan Johor. Dalam
usaha menyelamatkan diri, Raja Muda bersama seluruh penduduk Johor telah lari
bersembunyi di dalam hutan. Bendahara Johor ditawan dan dibawa pulang ke Jambi.

Sultan Abdul Jalil Syah III juga melarikan diri ke Pahang. Baginda akhirnya meninggal dunia di
sana pada 22 November 1677. Perperangan yang menyebabkan kekalahan kerajaan Johor
ini telah mengakibatkan kerugian yang besar kepada Johor kerana Jambi telah bertindak
merampas semua barang berharga milik kerajaan Johor termasuk 4 tan emas, sebagian
besar senjata api yang merupakan simbol kemegahan dan kekuatan Johor. Kehilangan
senjata api dan tentara dalam jumlah besar menyebabkan kerajaan Johor tidak dapat
berbuat apa-apa, dan hal ini secara tidak langsung meruntuhkan kerajaan Johor.

Pengaruh Bugis dan Minangkabau

Sultan Mahmud Syah II wafat pada tahun 1699 tanpa meninggalkan harta warisan. Melihat
keadaan itu, Bendahara Abdul Jalil melantik dirinya sebagai sultan baru yang bergelar Sultan
Abdul Jalil Riayat Syah IV. Tetapi timbul ketidakpuasan di kalangan pembesar-pembesar lain
atas perlantikan itu.
Orang Bugis yang memainkan peranan penting sewaktu Perang Johor-Jambi mempunyai
pengaruh yang kuat di Johor. Selain daripada orang Bugis, orang Minangkabau juga
mempunyai pengaruh yang kuat. Orang Bugis dan Minangkabau percaya dengan kematian
Sultan Mahmud II, mereka dapat mengembangkan pengaruh mereka di Johor. Di kalangan
orang Minangkabau terdapat seorang putra dari Siak yaitu Raja Kecil yang mengaku dirinya
sebagai pewaris tunggal Sultan Mahmud II. Raja Kecil menjanjikan kepada orang Bugis
bahwa apabila mereka menolongnya menaiki tahta kerajaan, dia akan melantik ketua orang-
orang Bugis sebagai Yam Tuan Muda Johor. Pada waktu itu orang-orang Bugis telah pergi
ke Selangor untuk mengumpulkan orang-orangnya sebelum melancarkan serangan. Namun
pada tahun 1717, Raja Kecil dan pasukan Minangkabau dari Siak telah menyerang Johor
terlebih dahulu setelah terlalu lama menunggu kedatangan orang-orang Bugis. Pada 21
Maret 1718, Raja Kecil telah menawan Panchor. Raja Kecil melantik dirinya sebagai Yang
Dipertuan Johor dan bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I. Setelah Raja Kecil berhasil
menduduki tahta Johor, orang-orang Bugis datang menuntut janji untuk dilantik sebagai
Yam Tuan Muda. Permintaan ini tidak dipenuhi Raja Kecil karena orang-orang Bugis tidak
memberikan bantuan sebagaimana yang diminta oleh Raja Kecil.

Tidak puas dengan pelantikan Raja Kecil, bekas Bendahara Abdul Jalil meminta Daeng
Parani, pemimpin orang Bugis, untuk menolongnya mendapatkan tahta. Permintaan ini
disetujui orang-orang Bugis karena mereka juga kecewa tidak dapat menuntut jabatan Yam
Tuan Muda. Pada tahun 1722, Raja Kecil terpaksa meletakkan tahta karena pengaruh Bugis.
Anak Bendahara Abdul Jalil kemudiannya dilantik menjadi sultan dengan gelar Sultan
Sulaiman Badrul Alam Shah. Tetapi Sultan Sulaiman hanyalah seorang sultan boneka yang
tidak mempunyai kekuasaan karena Daeng Merewah yang memegang kuasa sebagai
Yamtuan Muda.

Raja-raja Johor

Raja-raja Kesultanan Johor-Riau (1528-1824)

1. 1528-1564: Sultan Alauddin Riayat Syah II (Raja Ali/Raja Alauddin)


2. 1564-1570: Sultan Muzaffar Syah II (Raja Muzafar/Radin Bahar)
3. 1570-1571: Sultan Abd. Jalil Syah I (Raja Abdul Jalil)
4. 1570/71-1597: Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (Raja Umar)
5. 1597-1615: Sultan Alauddin Riayat Syah III (Raja Mansur)
6. 1615-1623: Sultan Abdullah Ma'ayat Syah (Raja Mansur)
7. 1623-1677: Sultan Abdul Jalil Syah III (Raja Bujang)
8. 1677-1685: Sultan Ibrahim Syah (Raja Ibrahim/Putera Raja Bajau)
9. 1685-1699: Sultan Mahmud Syah II (Raja Mahmud)
10. 1699-1720: Sultan Abdul Jalil IV (Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil)
11. 1718-1722: Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor)
12. 1722-1760: Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (Raja Sulaiman/Yang DiPertuan Besar
Johor-Riau)
13. 1760-1761: Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah
14. 1761: Sultan Ahmad Riayat Syah
15. 1761-1812: Sultan Mahmud Syah III (Raja Mahmud)
16. 1812-1819: Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah (Tengku Abdul Rahman)

Raja-raja Kesultanan Johor (1824-sekarang)

1. 1819-1835: Sultan Hussain Shah (Tengku Husin/Tengku Long)


2. 1835-1877: Sultan Ali (Tengku Ali; tidak diakui oleh Inggris)
3. 1855-1862: Raja Temenggung Tun Daeng Ibrahim (Seri Maharaja Johor)
4. 1862-1895: Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim (Temenggung Che Wan Abu
Bakar/Ungku Abu Bakar)
5. 1895-1959: Sultan Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar
6. 1959-1981: Sultan Ismail ibni Sultan Ibrahim
7. 1981-2010: Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj
8. 2010 - sekarang : Sultan Ibrahim Ismail ibni Almarhum Sultan Iskandar

Kerajaan Islam di Pulau Jawa


Kesultanan Demak (1500 – 1550)
Kesultanan Demak adalah kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden
Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan
keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor
penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak
tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan
kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak
beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan
bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh
para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari
dari laut dan dinamakan Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah
menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana kadang-kadang
dikenal sebagai "Demak Bintara". Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan
ke Prawata (dibaca "Prawoto").

Cikal-bakal

Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-
kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada
masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng
Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng
Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.

Di bawah Pati Unus

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah


menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya,
Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan
adanya Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu
waktu.

Di bawah Sultan Trenggana

Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di
bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti
merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat
di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545),
dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima
perang Demak waktu itu adalahFatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi
menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah
pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.

Kemunduran

Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan
Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya
terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya "dihabisi" oleh
suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian
menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri
adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.

Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak


angkat Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan kePajang, dan di sana ia
mendirikan Kesultanan Pajang.

Kesultanan Banten (1524 – 1813)


Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah
barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon dibantu pasukan Demak
menduduki pelabuhan Banten, salah satu dari pelabuhan kerajaan Sunda, dan mendirikan
Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Cirebon dan Demak. Menurut sumber Portugis,
sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan utama Kerajaan Sunda selain
pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.

Sejarah

Anak dari Sunan Gunung Jati atau Fatahillah (Faletehan) yaitu Maulana Hasanudin menikah
dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang
pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu
Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara. Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana
Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kesultanan Banten daripada
anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad
masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kesultanan Banten. Perang ini
dimenangkan oleh Kesultanan Banten karena dibantu oleh para ulama.

Puncak kejayaan

Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fath Abdul
Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten
telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah
kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan
serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa
tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Masa kekuasaan Sultan Haji

Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung
diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint
Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian
dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

Penghapusan kesultanan

Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun


itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta olehThomas Stamford
Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-
Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten

1. Sunan Gunung Jati


2. Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
3. Maulana Yusuf 1570 - 1580
4. Maulana Muhammad 1585 - 1590
5. Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605
6. Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
7. Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
8. Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
9. Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
10. Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
11. Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
12. Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
13. Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
14. Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
15. Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
16. Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
17. Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
18. Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
19. Aliyuddin II (1803-1808)
20. Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
21. Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
22. Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

Kesultanan Pajang (1568 – 1618)


Kesultanan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai
kelanjutan Kesultanan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas
fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta dan
Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.

Asal-usul

Sesungguhnya nama negeri Pajang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit.


Menurut Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, ada seorang adik perempuan Hayam
Wuruk (raja Majapahit saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i
Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Nama aslinya adalah Dyah Nertaja, yang merupakan ibu
dari Wikramawardhana, raja Majapahit selanjutnya.

Dalam naskah-naskah babad, negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita


Rakyat yang sudah melegenda menyebut Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah
dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini
dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.

Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad), nama Pengging


muncul kembali. Dikisahkan putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik
Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama
Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.

Atas jasanya itu, Jaka Sengara diangkat Brawijaya sebagai bupati Pengging dan dinikahkan
dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelarAndayaningrat.

Kesultanan Pajang

Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya


perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama
Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah
bawahan Kesultanan Demak.

Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak


memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru
mengabdi ke Demak.

Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai


menantu Sultan Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. Wilayah Pajang
saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir
(daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta, namun kemudian


tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah
itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal.

Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara putri Sultan Trenggana), Hadiwijaya dan


para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris
takhta Kesultanan Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.

Perkembangan

Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Kesultanan Pajang hanya meliputi sebagian Jawa
Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak
kematian Sultan Trenggana.

Pada tahun 1568 Sultan Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri


Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui
kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan
putri Sultan Hadiwijaya.

Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang


bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai
menantu Sultan Hadiwijaya.

Peran Wali Songo

Pada zaman Kesultanan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan


ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode
tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.

Sepeninggal Sultan Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan


terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Sultan Trenggana.

Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan dalam
pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapenbertindak sebagai
pelantik Hadiwijaya sebagai sultan. Ia juga menjadi mediator pertemuan Sultan
Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga
pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Sultan Hadiwijaya atas
tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang.

Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus.


Sepeninggal Sultan Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari
jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri.

Mungkin yang dimaksud dengan Sunan Kudus dalam naskah babad adalah Panembahan


Kudus, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550.

Pemberontakan Mataram

Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Sultan Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu


menumpas Arya Penangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya
Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.

Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng


Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal
ini disebabkan karena Sultan Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa
di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.

Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng


Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya membunuh Arya
Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram semakin hari semakin maju dan
berkembang.
Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya membela adik
iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarangoleh Sultan
Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan Pajang jumlahnya
lebih besar.

Keruntuhan

Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan
antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja
selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.

Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam


terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran
Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.

Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang.


Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namunPangeran
Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya


Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawakemudian menjadi
raja Pajang yang ketiga.

Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang


menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahanMataram. Yang
menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.

Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama


bergelar Panembahan Senopati.

Daftar Raja Pajang

1. Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya


2. Arya Pangiri bergelar Sultan Ngawantipura
3. Pangeran Benawa bergelar Sultan Prabuwijaya

Kesultanan Mataram (1586 – 1755)


Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830,
setelah Perang Diponegoro. Pada peta ini terlihat bahwaKasunanan Surakarta memiliki
banyak enklave di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan wilayah Belanda. Mangkunagaran
juga memiliki sebuah enklave di Yogyakarta. Di kemudian hari enklave-enklave ini dihapus.

Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya,


keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja
Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat
menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan beberapa
jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem
persawahan di Karawang.

Masa awal

Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan


gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini,
mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang
terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang.
Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian
dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan
diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.

Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena


kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan
Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyakyang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak.
Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang
bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf
sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.

Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih
dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari
pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira
gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton
ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta"). Akibat terjadi gesekan
dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia,
Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat
dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan
di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelarAmangkurat (Amangkurat I).

Terpecahnya Mataram

Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu,
ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang
Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan
pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin
oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat
di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya,
Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana
banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton
dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang
lama dianggap telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I


(1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger)
sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan
internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap
di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta danKasunanan
Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian
Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar,
Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah.
Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.

Peristiwa Penting

• 1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang


Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
• 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
• 1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra
Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring
Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
• 1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda
diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
• 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar
"Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama"
artinya Panglima Perang dan UlamaPengatur Kehidupan Beragama.
• 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang
bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan
Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
• 1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo
Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas
Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma
atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau
menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau
menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
• 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
• 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang
dimanfaatkan oleh VOC.
• 1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I
mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan.
Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah
dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
• 1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
• 1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
• 1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan
Amangkurat III.
• 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku
Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk
pemerintahan pengasingan.
• 1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai
wafatnya pada 1734.
• 1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan
gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II
(1719-1723).
• 1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang
bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
• 1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada
dalam pengasingan.
• 1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan
pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat
(menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi
hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai
imbalan atas bantuan VOC.
• 1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian
Bengawan Beton.
• 1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang
dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P.
Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih
dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan
besar dan satu kerajaan kecil.
• 1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan
kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat
ditundukkan sepenuhnya pada
• 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai
Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff
mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
• 1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi
Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan
Mangkubumi-RM Said.
• 1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23
September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III
meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain
selain meratifikasi nota yang sama.
• 1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian
Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan
Surakartadan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran
Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang
Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman
Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I.
• 1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa
atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan
Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara
Senopati Ing Ayudha".
• 1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
• 1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
• 1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
• 1799 - Voc dibubarkan
• 1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari
Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
• 1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan
Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal
yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen
Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan
Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai
oleh Hindia Belanda.

Kesultanan Cirebon (Abad ke-16)


Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15
dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran
antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara
kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Sejarah

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah


Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah
sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang
menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran),
karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal
atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan
terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa
Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di
kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh
menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang
saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan
membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun
Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai
menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu
adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-
alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi
penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)

Pangeran Cakrabuana (…. –1479)

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa).
Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian
Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim
dan Raden Sangara.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota
Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh
Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran
adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan
oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.

Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana
Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap
sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut
Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton
Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Sunan Gunung Jati (1479-1568)


Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang
dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-
1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar
Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan
bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep
Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai
pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama
Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan,Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan
Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati
Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon
meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

Fatahillah (1568-1570)

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton
yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat
oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah
Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan
Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua
tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam
Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Panembahan Ratu I (1570-1649)

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran
Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan
Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

Panembahan Ratu II (1649-1677)

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim,
karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama
gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula
dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan


kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab
Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan
Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh
mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten
adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya
Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran
Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan


Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja
Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun
Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di
Imogiri.

Terpecahnya Kesultanan Cirebon

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng
Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan
Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan
pasukan dan kapal perang untuk membantuTrunojoyo, yang saat itu sedang memerangi
Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan
Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk
kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.

Perpecahan I (1677)

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon,
dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan
para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya
adalah:

• Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
• Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin (1677-1723)
• Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul
Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya
ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon
di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat,
dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan
melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri,
akan tetapi berdiri sebagaikaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual
keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677
berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan
takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu
atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai
pejabat sementara.

Perpecahan II (1807)

Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah
seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun
kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-JendralHindia Belanda yang
mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807
dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan,
cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa
lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta
Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom
Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

Masa kolonial dan kemerdekaan

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur
dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton
Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun
1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi
dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas
1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No.
370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan
Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif
masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

Perkembangan terakhir

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari
pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang
ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di
wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan
perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton
Nusantara (FKN).

Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting
karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman
sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton
Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara
Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk
pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan
menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.

Kerajaan Islam di Maluku


Kesultanan Ternate (1257 - … )

Ngara Lamo, gerbang Istana Sultan Ternate di tahun 1930-an

Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti


nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah
satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257.
Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13
hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16
berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya
membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan
kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.

Asal Usul

Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal
merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang
masing - masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama –
tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru
mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya
pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang
semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas
prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu
organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.

Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja)
pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di
kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai
sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan
orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota
Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada
kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate
berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi
kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Organisasi kerajaan

Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk
kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan
abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam
diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan
gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.

Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala


Rahasebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan
yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu,
masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola,
Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan
ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan.
Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua
Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangajidll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur organisasi
kesultanan Ternate.

Moloku Kie Raha

Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki pengaruh.
Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate
memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku
Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar
kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai musuh
bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarut –
larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-
1331) mengundang raja – raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah
membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau
Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah
penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri
4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat
Gunung Maluku).

Kedatangan Islam

Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya
Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate
telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate
kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun
kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya
dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad
ke-15.

Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui
memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum
adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal
Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui
sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan
sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian
diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan
madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam
dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan
Bualawa" (Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugal dan perang saudara

Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang,


rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang
diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Di
masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico
Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di
Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugal diizinkan
mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk berdagang
melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku.
Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat
meninggalkan pewaris - pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila
dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila
yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni
salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu
Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi
dirinya sendiri. Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya
hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran
Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru
dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan
dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat
pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketikaSultan Tabariji mulai menunjukkan sikap
bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India. Disana ia dipaksa Portugal untuk
menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan
Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).

Pengusiran Portugal

Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan
bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga
menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak
masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan
pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan
kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung
sepak terjang Portugal di Nusantara.

Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal.
Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong
kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa
dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus
mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala
bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun. Secara licik Gubernur
Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan
akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan
Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan
seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-
1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah
peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya
tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-
putera nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate
mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian
barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara
hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72
pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci
nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan
islam terbesar di Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah
barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14
dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka
adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat.

Kedatangan Belanda

Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan
Portugal tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate.
Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun
menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal bahkan sultan
Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan
yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya
sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara
perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani
kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Di
tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng
pertama mereka di nusantara.

Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate
menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah
pangeran Hidayat (15?? - 1624), Raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja
Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia
mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah – rempah
kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate

Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan – sultan Ternate semakin
kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat
perintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut
menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4
pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.

Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot
Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan pala di
seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat
mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu,
puluhan ribu pasukan gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai
kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu
dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon,
pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau
akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot
untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga diantara pemberontak yang utama adalah trio
pangeran Saidi, Majira dan Kalumata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau
panglima tertinggi pasukan Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara
pangeran Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin
pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung dengan raja
Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan
Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan
Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi
cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara
pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam
pengasingan.

Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 –


1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda yang semena - mena. Ia kemudian
menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya
untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah – daerah strategis yang bisa
diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai
perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo.
Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya
menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa
Ternate sebagai negara berdaulat.

Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap
berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang
terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya
secara diam – diam. Yang terakhir tahun 1914 SultanHaji Muhammad Usman Syah (1896-
1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di
wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat
Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan
kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur
Belanda Agerbeek, markas mereka diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer
serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil
dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad
Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan
keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan Haji
Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau
dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan
Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan
pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul
keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan Ternate namun niat itu
urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan
baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.

Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap
bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate
ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang dinobatkan
tahun 1986.

Warisan Ternate

Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan
abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih
terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam
kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan
Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.

Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki peran yang besar dalam
upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan
bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang
diperkenalkan pertama kali oleh sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua
kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat Ternate
dibawah sultan Baabullah dalam mengusir Portugal tahun 1575 merupakan kemenangan
pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum Buya
Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat
atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan
sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen
seperti halnya Filipina.

Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat
Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah
pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks
bahasa - bahasa Austronesia dan Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate
memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur
Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate.
Bahasa Melayu – Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi
Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang
berbeda – beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan Ternate Abu
Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 yang saat ini masih
tersimpan di museum Lisabon – Portugal.

Kesultanan Tidore (1110 – 1947)


Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku
Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16sampai abad ke-18),
kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak
pulau-pulau di pesisir Papua barat.

Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk


mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu denganPortugis.
Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak
Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas1494, Tidore menjadi salah
kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan
Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap
wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.

Kesultanan Bacan

Sultan Bacan bersama gubernur Maluku Tn. van Sandick (tahun 1924)

Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku.


Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada
tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua.
Banyak kepala suku di wilayah Waigeo,Misool dan beberapa daerah lain yang berada di
bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.
Kerajaan Tanah Hitu (1470 – 1682)
Kerajaan Tanah Hitu adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon, Maluku.
Kerajaan ini memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang
bergelar Upu Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan oleh Empat
Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu
pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat
penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para pahlawan pada zamannya.
Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya
yang tidak tertulis didalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan
ini berdiri sebelum kedatangan imprialisme barat ke wilayah Nusantara.

Sejarah

Hubungan dengan kerajaan lain

Kerajaan ini memiliki hubungan erat dengan barbagai kerajaan Islam di Pulau
Jawa seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan Banten, Sunan Giri di Jawa Timur danKesultanan
Gowa di Makassar seperti dikisahkan oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu, begitu pula
hubungan antara sesama kerajaan Islam di Maluku (Al Jazirah Al Muluk; semenanjung raja-
raja) seperti Kerajaan Huamual (Seram Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kesultanan
Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kerajaan Makian.

Empat Perdana Hitu

Etimologi

Kata Perdana adalah asal kata dari Bahasa Sansekerta artinya Pertama. Empat Perdana


adalah empat kelompok yang pertama datang di Tanah Hitu, pemimpin dari Empat
kelompok dalam bahasa Hitu disebut Hitu Upu Hata atau Empat Perdana Tanah Hitu.

Awal Mula Kedatangan

Kedatangan Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai
penduduk asli Pulau Ambon. Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam
di Maluku. Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang
di tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi seperti Imam
Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan Valentijn.

Orang Alifuru
Orang Alifuru adalah sebutan untuk sub Ras Melanesia yang pertama mendiami Pulau
Seram dan menyebar ke Pulau-Pulau lain di Maluku, adapun Alifuru berasal dari kata Alif
dan kata Uru, Kata Alif adalah Abjad Arab yang pertama sedangkan kata Uru’ berasal dari
Bahasa Tana yang artinya Orang maka Alifuru artinya Orang Pertama.

Periode kedatangan Empat Perdana Hitu

Kedatangan Empat Perdana itu ke Tanah Hitu secara periodik :

1. Pendatang Pertama adalah Pattisilang Binaur dari Gunung Binaya (Seram Barat)
kemudian ke Nunusaku dari Nunusaku ke Tanah Hitu, tahun kedatangannya tidak
tertulis.
Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan
negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur
disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
2. Pendatang Kedua adalah Kiyai Daud dan Kiyai Turi disebut juga Pattikawa dan Pattituri
dengan saudara Perempuannya bernama Nyai Mas.
• Menurut silsilah Turunan Raja Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas
adalah anak dari :
Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin
Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di
Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu
pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam
Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang
datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya
orang kuat atau orang perkasa dari Tuban.
Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal
leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada
Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah
Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa
beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal
untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau
singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita
Huseka’a (Labuhan Huseka’a).
• Disana mereka temukan Keramat atau Kuburan beliau, tempatnya diatas batu
karang. Tempat itu bernama Hatu Kursi atau Batu Kadera (Kira-Kira 1 Km dari Negeri
Hitu). Peristiwa kedatangan beliau tidak ada yang mencatat, hanya berdasarkan
cerita turun – temurun.
• Perdana Tanah Hitu Tiba di Tanah Hitu yaitu di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a)
pada tahun 1440 pada malam hari, dalam bahasa Hitu Kuno disebut Hasamete
artinya hitam gelap gulita sesuai warna alam pada malam hari.
• Mereka tinggal disuatu tempat yang diberi nama sama dengan asal Ibu mereka yaitu
Tuban / Ama Tupan (Negeri Tuban) yakni Dusun Ama Tupan/Aman Tupan sekarang
kira-kira lima ratus meter di belakang Negeri Hitu, kemudian mendirikan negerinya
di Pesisir Pantai yang bernama Wapaliti di Muara Sungai Wai Paliti.
• Perdana Pattikawa disebut juga Perdana Tanah Hitu atau Perdana Mulai artinya
orang yang pertama mendirikan negerinya di Pesisir pantai, nama negeri tersebut
menjadi nama soa atau Ruma Tau yaitu Wapaliti dengan marganya Pelu.
3. Kemudian datang lagi Jamilu dari Kerajaan Jailolo . Tiba di Tanah Hitu pada
Tahun 1465 pada waktu magrib dalam bahasa Hitu Kuno disebut Kasumba Muda atau
warna merah (warna bunga) sesuai dengan corak warna langit waktu magrib.
Mendirikan negerinya bernama Laten, kemudian nama negeri tersebut menjadi nama
marganya yaitu Lating. Jamilu disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi,
Nustapi artinya Pendamai, karena dia dapat mendamaikan permusuhan antara Perdana
Tanah Hitu dengan Perdana Totohatu, kata Nustapi asal kata dari Nusatau, dia juga
digelari Kapitan Hitu I.
4. Sebagai Pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur) tiba di
Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Sholat) sore hari dalam
bahasa Hitu kuno disebut Halo Pa’u artinya Kuning sesuai corak warna langit pada
waktu Ashar (waktu salat).
Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu
marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke
Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang akan menjadi dasar
pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.

Penggabungan Empat Perdana Hitu

Oleh karena banyaknya pedagang-pegadang dari Arab, Persia, Jawa, Melayu dan Tiongkok
berdagang mencari rempah-rempah di Tanah Hitu dan banyaknya pendatang – pendatang
dari Ternate, Jalilolo, Obi, Makian dan Seram ingin berdomisili di Tanah Hitu, maka atas
gagasan Perdana Tanah Hitu, ke Empat Perdana itu bergabung untuk membentuk suatu
organisasi politik yang kuat yaitu satu Kerajaan.

Kemudian Empat Perdana itu mendirikan negeri yang letaknya kira-kira satu kilo meter dari
Negeri Hitu (sekarang menjadi dusun Ama Hitu/Aman Hitu) disitulah awal berdirinya Negeri
Hitu yang menjadi Pusat kegiatan kerajaan Tanah Hitu, bekasnya sampai sekarang adalah
Pondasi Mesjid. Mesjid tersebut adalah mesjid pertama di Tanah Hitu, mesjid itu
bernama Masjid Pangkat Tujuh karena struktur pondasinya tujuh lapis. Setelah itu Empat
Perdana mengadakan pertemuan yang di sebut TATALO GURU (red: duduk guru)artinya
kedudukan adat atas petunjuk UPUHATALA (ALLAH TA’ALA-- metafor bahasa dari dewa
agama Kakehang yaitu agama pribumi bangsa seram), mereka bermusyawara untuk
mengangkat pemimpin mereka, maka dipililah salah seorang anak muda yang cerdas dari
keturunan Empat Perdana yaitu anak dari Pattituri adik kandung Perdana Pattikawa atau
Perdana Tanah Hitu yang bernama Zainal Abidin dengan Pangkatnya Abubakar Na Sidiq
sebagai Raja Kerajaan Tanah Hitu yang pertama yang bergelar Upu Latu Sitania pada
tahun 1470.

Latu Sitania terdiri dari dua kata yaitu Latu dan Sitania,dalam bahasa Hitu Kuno Latu artinya
Raja dan Sitania adalah pembendaharaan dari kata Ile Isainyia artinya dia sendiri, maka Latu
Sitania artinya Dia sendiri seorang Raja di Tanah Hitu, dalam bahasa Indonesia modern
artinya Raja Penguasa Tunggal, sedangkan pada versi dari Hikayat Tanah Hitu karya Imam
Ridzali: latu berarti raja dan Sitania ( tanya,ite panyia) berarti tempat mencari faedah baik
dan buruk berraja.

Tujuh Negeri di Tanah Hitu

Sesudah terbentuk Negeri Hitu sebagai pusat Kerajaan Tanah Hitu kemudian datang lagi tiga
clan Alifuru untuk bergabung, diantarannya Tomu, Hunut dan Masapal. Negeri Hitu yang
mulanya hanya merupakan gabungan empat negeri, kini menjadi gabungan dari tujuh
negeri. Ketujuh negeri ini terhimpun dalam satu tatanan adat atau satu Uli (Persekutuan)
yang disebut Uli Halawan (Persekutuan Emas), dimana Uli Halawan merupakan tingkatan Uli
yang paling tinggi dari keenam Uli Hitu (Persekutuan Hitu). Pemimpin Ketujuh negeri dalam
Uli Halawan disebut Tujuh Panggawa atau Upu Yitu. (sebutan kehormatan).

Gabungan Tujuh Negeri menjadi Negeri Hitu diantaranya :

1. Negeri Soupele
2. Negeri Wapaliti
3. Negeri Laten
4. Negeri Olong
5. Negeri Tomu
6. Negeri Hunut
7. Negeri Masapal

Sastra Bertutur

Kapatah Tanah Hitu dari Uli Halawan dalam bahasa Hitu : Upu Lihalawan-e Sopo Himi - o
Hitu Upu-a Hata Tomu-a Upu-a Telu Nusa Hu’ul Amana Lima Laina Malono Lima Pattiluhu
Mata Ena Artinya Tuan Emas Yang di Junjung (Raja Tanah Hitu) Hitu Empat Perdana Tomu
Tiga Tuan (Tiga Pemimpin Ken Tomu) Kampung Alifuru Lima Negeri Lima Keluarga dari
Hoamual (Waliulu, Wail, Ruhunussa, Nunlehu, Totowalat)
Pada pemerintahan Raja Mateuna’ Negeri Hitu sebagai pusat kegiatan Kerjaan Tanah Hitu di
Pindahkan ke Pesisir Pantai pada awal abad XV masehi kini Negeri Hitu sekarang, Raja
Mateuna’ adalah Raja Kerajaan Tanah Hitu yang ke lima dan juga merupakan raja yang
terakhir pada pusat kegiatan Kerajaan Tanah Hitu yang pertama sekarang menjadi dusun
Ama Hitu letaknya kira-kira satu kilo meter dari negeri Hitu sekarang, beliau meninggal
dunia pada 29 Juni 1634. Pada masa Raja Mateuna’ terjadi kontak pertama antara Portugis
dengan Kerajaan Tanah Hitu, perlawanan fisik pada Perang Hitu- I Pada tahun 1520-1605 di
pimpin oleh Tubanbessy-I, yaitu Kapitan Sepamole, dan akhirnya Portugis angkat kaki dari
Tanah Hitu dan kemudian mendirikan Benteng Kota Laha di Teluk Ambon (Jazirah Lei timur)
pada tahun 1575 dan mulai mengkristenkan Jazirah Lei Timur. Raja Mateuna meninggalkan
dua Putra yaitu Silimual dan Hunilamu, sedangkan istrinya berasal dari Halong dan Ibunya
berasal dari Negeri Soya Jazirah Leitimur (Hitu Selatan), beliau digantikan oleh Putranya
yang ke dua yaitu Hunilamu menjadi Latu Sitania yang ke Enam (1637–1682). Sedangkan
Putranya pertamanya Silimual ke Kerajaan Houamual (Seram Barat) berdomisili disana dan
menjadi Kapitan Huamual, memimpin Perang melawan Belanda pada tahun 1625-1656
dikenal dengan Perang Hoamual dan seluruh keturunannya berdomisili disana sampai
sekarang menjadi orang asli Negeri Luhu (Seram Barat) bermarga Silehu. Sesudah perginya
Portugis Belanda makin mengembangkan pengaruhnya dan mendirikan Benteng pertahanan
di Tanah Hitu bagian barat di pesisir pantai kaki gunung wawane, maka Raja Hunilamu
memerintahkan ketiga Perdananya mendirikan negeri baru untuk berdampingan dengan
Belanda (Benteng Amsterdam), agar bisa membendung pengaruh Belanda di Tanah Hitu,
Negeri itu dalam bahasa Hitu bernama Hitu Helo artinya Hitu Baru, karena makin
berkembangnya pangaruh dialek bahasa, akhirnya kata Helo menjadi Hila yaitu Negeri Hila
sekarang dan negeri asal mereka Negeri Hitu berganti nama menjadi Negeri Hitu yang Lama.
Belanda tiba di Tanah Hitu pada tahun 1599 dan kemudian mendirikan kongsi dagang
bernama V.O.C pada tahun 1602 sejak itulah terjadi perlawanan antara Belanda dengan
Kerjaan Tanah Hitu, karena mendirikan monopoli dagang tersebut, puncaknya terjadi
Perang Hitu – II atau Perang Wawane yang dipimpin oleh Kapitan Pattiwane anaknya
Perdana Jamilu dan Tubanbesi-2, yaitu Kapitan Tahalele tahun 1634 -1643 dan Kemudian
perlawanan Terakhir yaitu perang Kapahaha 1643 - 1646 yang dipimpin oleh Kapitan
Talukabesi (Muhammad Uwen) dan Imam Ridjali setelah Kapitan Tahalele menghilang,
berakhirnya Perang Kapahaha ini Belanda dapat menguasi Jazirah Lei Hitu. Belanda
melakukan perubahan besar-besaran dalam struktur pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu
yaitu mengangkat Orang Kaya menjadi raja dari setiap Uli sebagai raja tandingan dari
Kerajaan Tanah Hitu. Hitu yang lama sebagai pusat kegiatan pemerintahan Kerajaan Tanah
Hitu di bagi menjadi dua administrasi yaitu Hitulama dengan Hitumessing dengan politik
pecah belah inilah (devidet et impera) Belanda benar-benar menghancurkan pemerintah
Kerajaan Tanah Hitu sampai akar-akarnya.

Negeri – Negeri di Jazirah Lei Hitu yang tidak termasuk di dalam Uli Hitu berarti negeri-
negeri tersebut adalah negeri – negeri baru atau negeri-negeri yang belum ada pada zaman
kekuasaan Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682).Ketujuh Uli diantaranya :
1. Uli Halawang terdiri dari dua negeri yaitu:
o Negeri Hitu
o Negeri Hila
o Central Ulinya di Negeri Hitu
2. Uli Solemata (Wakane) terdiri dari tiga negeri yaitu:
o Negeri Tial
o Negeri Suli
o Negeri Tulehu
o Central Ulinya di Negeri Tulehu
3. Uli Sailesi terdiri dari empat negeri yaitu:
o Negeri Mamala
o Negeri Morela
o Negeri Liang
o Negeri Wai
o Central Ulinya di Negeri Mamala
4. Uli Hatu Nuku terdiri dari satu negeri yaitu :
o Negeri Kaitetu
o Central Ulinya di Kaitetu
5. Uli Lisawane terdiri dari satu negeri yaitu :
o Negeri Wakal
o Central Ulinya di Wakal
6. Uli Yala terdiri dari tiga negeri yaitu :
o Negeri Seith
o Negeri Ureng
o Negeri Allang
o Central Ulinya di Seith
7. Uli Lau Hena Helu terdiri dari satu negeri yaitu :
o Negeri Lima
o Central Ulinya di Negeri Lima

Silsilah Upu Latu Sitania Kerjaan Tanah Hitu :

1. ZAINAL ABIDIN (ABUBAKAR NASIDIQ)


2. MAULANA IMAM ALI MAHDUM IBRAHIM
3. PATTILAIN
4. POPO EHU’
5. MATEUNA
6. HUNILAMU (1637 – 1682)

Kerajaan Islam di Sulawesi


Kesultanan Gowa (Abad ke-16 – 1667)

Istana Sultan Gowa (1890)

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerahSulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir baratSulawesi. Wilayah kerajaan ini
sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya.
Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu
melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669)
terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satuwangsa Suku
Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena
pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone
memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah
dilakukannya di abad ke-17.

Sejarah

Sejarah awal

Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan
nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa:
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui
berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk
membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung
sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang
mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan
saudaranya

Abad ke-16

Tumapa'risi' Kallonna

Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa
ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang
penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil".
Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna
mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi
sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian
merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba
membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah
perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem
pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai
kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa
pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan
banyak.

Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara
tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian
berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-
kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang,
serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh
Tunipalangga.

Tunipalangga

Tunipalangga dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam


Kronik (Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah:

Menaklukkan dan menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru,


Soppeng, berbagai negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri,
Panaikang, Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di
selatan.

1. Orang pertama kali yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke
Gowa.
2. Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
3. Menciptakan jabatan Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan,
sehingga Syahbandar leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar.
4. Menetapkan sistem resmi ukuran berat dan pengukuran
5. Pertama kali memasang meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar.
6. Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur
emas dengan logam lain, dan membuat batu bata.
7. Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan
Sombaopu.
8. Penguasa pertama yang didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda
Bonang untuk meminta tempat tinggal di Makassar.
9. Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak
(batakang), dan membuat peluru Palembang.
10. Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.
11. Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber,
kaya dan sangat berani.

Raja-raja Kesultanan Gowa

1. Tumanurunga (+ 1300)
2. Tumassalangga Baraya
3. Puang Loe Lembang
4. I Tuniatabanri
5. Karampang ri Gowa
6. Tunatangka Lopi (+ 1400)
7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
10. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna
(Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa
Gowa pertama yang memeluk agamaIslam.)
15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri
Papang Batuna
(Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6
November 1653)
16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin
Tuminanga ri Balla'pangkana
(Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat
pada 12 Juni 1670)
17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'
(Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7
Mei 1681)
18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara
(Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15
Agustus 1681)
19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri
Lakiyung. (1677-1709)
20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
22. I Manrabbia Sultan Najamuddin
23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya
pada tahun 1735)
24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging
(1770-1778)
29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-
1825)
31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri
Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna
(1893- wafat 18 Mei 1895)
34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri
Bundu'na
(Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5
Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19
Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13
April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25
Desember 1906.)
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur
Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin
(1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.

Kesultanan Buton (1332 – 1911)


Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton Propinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara
Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton
dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton.
Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam
Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Sejarah awal

Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara Kartagama.
Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima
agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar
tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton,
yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola
dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian,
dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang
dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.

Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian
pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel
ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan
kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di
Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua
penduduknya beragama Islam.

Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai
orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya
dapat dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah
bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa
Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau
Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti
orang Bugis juga.

Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan
menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga
perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Raja Buton masuk Islam

Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan
Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang
diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor.
Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani
sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke
Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu
atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.

Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam
Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh
Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton.
Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk
Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada
tahun 948 H/1538 M.

Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada


sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke
Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama,
bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin.
Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.

Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama
memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari
Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama,
dinamakan Sultan Murhum.

Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di


Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton,
yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya
adalah sebagai berikut:

1. Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
2. Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
3. Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M
bersama guru beliau yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman
beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekali gus melantik
Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.

Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai
Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama
memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam
bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga
Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538
Miladiyah.

Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan
oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M),
bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan
Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai
aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M
dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.

Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa
``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu
bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan
Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu
dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton
yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung
bernama Kampung Parit Murhum.

Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan
Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab.
Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara
Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.

Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada
hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton
sembahyang Jumaat di Ternate.

Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam
mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam
Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat
diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf
daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.

Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan
Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan
Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga
digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan
tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.

KEPERCAYAAN REINKARNASI *

Satu hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah
kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di
desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran
Islam sebagaimana disebarkan di pusat. Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang
teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni: 1. Yinda Yindamo
Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo
Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu
somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo
Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian
upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang
Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan
pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat
pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang
mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.

A. Asal-Usul Kepercayaan pada Reinkarnasi

Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi
merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang
lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan
dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan
ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam
keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau
yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan
Neoplatonisme.

Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang
mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang dapat
menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin pra-Hindu).
Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh Hindu sebelum
pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan kerajaan Jawa-Hindu;
Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan reinkarnasi terkandung dalam
sufisme yang dibawa ke Buton.

Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa
kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia
menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya,
“ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan
Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada
Hindu, namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli
sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).

Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat
diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit.
Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang
menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae.
Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar
sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari
1977, I:46).

Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat,
Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga
dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai
kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit.
Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari
perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di bawah
penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.

Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang
reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76),
“Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang
mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang
meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju
kelahiran.
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa
makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini
bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan
kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama,
walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi
tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin
diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja
meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.

Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis
padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh
sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.

Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang
ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16
dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa
sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan
kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.

B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi

b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi

Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang
mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut
motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini
masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang
yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan
memanjatkan doa yang tepat.

Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada
suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa
arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk
kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam
keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan
Kebudayaan Buton: 1984}

Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi
sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal
ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa,
pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa
arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika
tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak
ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut
“ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar
keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.

Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan
surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat
tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan
(Kawasana Ompu).

Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula
(surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang
keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat
meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil
menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).

Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah
tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu
lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.

Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh
alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah
Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615)
dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh
gagasan reinkarnasi diatas). Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat
(wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan wewenang
Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama tersebut. Alam
kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam
keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah.
Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang
menikah harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang
tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta
kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke
alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam
kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani),
yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam.
Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua
harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam
pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang
menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam
insan atau alam manusia dicapai.

Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk
kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka
panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam insan”. Ini
merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-
Islam).

Ada juga pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara
untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan
keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam
perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian mayat.

Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu
arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari,
tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam
periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh
mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh.
Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang
masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama
dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah
seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk
kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai
berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo
aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus dua puluh
hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.

Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir
sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari
kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan
hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak
bersih. Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan
sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah
penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan
lupa pada asal-usul.

Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini
penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang
benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.

Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat.
Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (salat) secara teratur, karena bila sudah
dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi
Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari
soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan
(opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah
mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat
dilakuakan oleh orang biasa.
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan
berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat
dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama)
atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang
hidup buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga
dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan
bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih
penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.

Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat
mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan
seekor babi.

b.2. Berubah menjadi binatang

Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan
Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup
buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang
terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan
Zahari 1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).

Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada
suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia
Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik
saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh
sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul
berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi
buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan
(opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah
begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat
berbuat apa saja yang disukainya.

b.3. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak

Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada
siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka
dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat
hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri
dan mengakui sebagai miliknya.

Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada
dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta
berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain

c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam

Informan yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada
reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang
kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok
dengan Islam.

Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa
kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna
menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk
mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum
melalui amal shaleh sangat menentukan.

Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak
bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya
menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua
keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia
mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.

Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-
Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah salat. Disitu dinyatakan”
Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari
mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari,
wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita
min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955,
I:76).

Antara ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada
hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada
bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab
nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa
Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-
menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.

Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya
Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah
yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam
kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata
berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu
masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa
mengatur segala-galanya.
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah
menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa Nganganaumala,
Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks atau ayat yang
menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an
ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam
kehidupan bukan mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal
tersebut.

Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi.
Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari perselisihan
pendapat

c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur

Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan
mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara
muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau
mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian
dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke
makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah
tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke
kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi
mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan
hubungan yang masuk akal.

Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana


pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak
menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah
tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah
dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali
melalui lebih dari sepuluh cucu.

Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl:
“Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan
dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit
atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis
dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat
mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit
saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan
hal itu sedikti malah tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)

Kesultanan Bone (Abad ke-17)


Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Kesultanan Bugis, merupakan kesultanan
yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi
Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.

Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh
Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol
Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi
dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan
Napoleon Bonaparte.

Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap


Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam
perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di
Bone, para raja bergelar Arumponé.

Daftar Arumpone Bone

1. Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424)


2. La Umassa Petta Panré Bessié [To' Mulaiyé Panreng] (1424-1441)
3. La Saliyu Karampéluwa/Karaéng Pélua'? [Pasadowakki] (1441-1470)
4. We Ban-ri Gau Daéng Marawa Arung Majang Makaleppié Bisu-ri Lalengpili Petta-ri La
Welareng [Malajangngé ri Cina] (1470-1490)
5. La Tenri Sukki Mappajungngé (1490-1517)
6. La Uliyo/Wuliyo Boté'é [Matinroé-ri Itterung] (1517-1542)
7. La Tenri Rawe Bongkangngé [Matinroé-ri Gucinna] (1542-1584)
8. La Icca'/La Inca' [Matinroé-ri Adénénna] (1584-1595)
9. La Pattawe [Matinroé-ri Bettung] (15xx - 1590)
10. We Tenrituppu [Matinroé ri Sidénréng] (1590-1607)
11. La Tenrirua [Matinroé ri Bantaéng] (1607-1608)
12. La Tenripalé [Matinroé ri Tallo] (1608-1626)
13. La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1626-1643)
14. Tobala', Arung Tanété Riawang, dijadikan regent oleh Gowa (1643-1660)
15. La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1667-1672)
16. La Tenritatta Matinroé ri Bontoala' (Arung Palakka) Petta Malampe'é Gemme'na
Daéng Sérang (1672-1696)
17. La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri
Nagauléng (1696-1714)
18. Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiyat ud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1714-1715) (masa
jabatan pertama)
19. La Padassajati/Padang Sajati To' Apaware Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum
Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Béula] (1715-1720)
20. Bata-ri Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1715) (masa
jabatan kedua)
21. La Pareppa To' Aparapu Sappéwali Daéng Bonto Madanrang Karaéng Anamonjang
Paduka Sri Sultan Shahab ud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din
(1720-1721). Ia menjadi Sultan Gowa [Tumamenanga-ri Sompaopu], Arumpone
Bone, dan Datu Soppeng.
22. I-Mappaurangi Karaéng Kanjilo Paduka Sri Sultan Siraj ud-din ibni al-Marhum Sultan
'Abdu'l Kadir (1721-1724). Menjadi Sultan Gowa dengan gelar Tuammenang-ri-Pasi
dan Sultan Tallo dengan gelar Tomamaliang-ri Gaukana.
23. La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu Karaéng Biséi Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah
Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Tuammenang-ri Biséi] (1724)
24. Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1724-1738) (masa
jabatan ketiga)
25. I-Danraja Siti Nafisah Karaéng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
26. Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1741-1749) (masa
jabatan keempat)
27. La Temmassogé Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq
Jalal ud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé ri-Malimongang]
(1749-1775)
28. La Tenri Tappu To' Appaliweng Arung Timurung Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh
Shams ud-din [Matinroé-ri-Rompégading] (1775-1812)
29. La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin
[Matinroé-ri Laleng-bata] (1812-1823)
30. I-Manéng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din [Matinroé-ri Kassi] (1823-
1835)
31. La Mappaséling Paduka Sri Sultan Adam Nazim ud-din [Matinroé-ri Salassana] (1835-
1845)
32. La Parénréngi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhi ud-din [Matinroé-ri Aja-bénténg]
(1845-1858)
33. La Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)???
34. La Singkeru Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [Matinroé-ri Lalambata] (1860-
1871)
35. I-Banri Gau Paduka Sri Sultana Fatima [Matinroé-ri Bola Mapparé'na] (1871-1895)
36. La Pawawoi Karaéng Sigéri [Matinroé-ri Bandung] (1895-1905)
37. Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri
Sultan Husain (1931-1946) (masa jabatan pertama)
38. Andi Pabénténg Daéng Palawa [Matinroé-ri Matuju] (1946-1950)
39. Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri
Sultan Husain [Matinroé-ri Gowa] (1950-1960) (masa jabatan kedua diangkat oleh
belanda)

Kerajaan Islam di Kalimantan


Kesultanan Paser (1516)
Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas) adalah sebuah kerajaan
yang berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang
dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas
meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah denganKabupaten Penajam Paser
Utara, Balikpapan dan sebagian wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.

Sejarah

Kerajaan Sadurangas

Tentang terbentuknya awal kerajaan Paser, Haji Aji Abdoel Rasyid dan kawan-kawan yang
ditulis oleh M.Irfan lqbal, et.al. Dalam bukunya yang berjudul “Budaya dan Sejarah Kerajaan
Paser” mengatakan terbentuknya Kerajaan Paser pada tanggal 2 Safar tahun 9 Hijriyah atau
tahun 630 Masehi. Pada saat Putri Petong berusia 22 tahun dilantik atau dinobatkan
menjadi ratu (ratu pertama kerajaan Paser) yang semula kerajaan Padang Bertinti menjadi
kerajaan Sadurengas. Namun, dalam versi Pemerintah Kabupaten Paser, Kerajaan
Sadurangas didirikan pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1516.

Sebelum Putri Petong menikah dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Putri Petong diyakini
menganut kepercayaan animisme atau suatu kepercayaan yang memuja roh-roh halus dan
dewa-dewa. Roh-roh halus atau dewa-dewa diyakini bisa membantu sewaktu-waktu
diperlukan, untuk memanggil roh-roh halus tersebut dibutuhkan sebuah bangunan
berbentuk rumah yang dinamakan Panti, di dalam panti tersebut diberi sesajen kue-kue
yang dibuat berbentuk patung-patung dari tepung beras menyerupai roh yang akan
dipanggil. Putri Petong setelah bersuamikan Abu Mansyur Indra Jaya, setahun kemudian
Putri Petong melahirkan anak yang pertama seorang lelaki yang diberi nama Aji Mas Nata
Pangeran Berlindung bin Abu Mansyur Indra Jaya. Tiga tahun kemudian Putri Petong
melahirkan lagi seorang anak perempuan, yang diberi nama Aji Putri Mitir binti Abu
Mansyur Indra Jaya dan enam tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang lelaki
yang diberi nama Aji Mas Pati Indra bin Abu Mansyur Indra Jaya.

Islamisasi

Islamisasi di Kerajaan Paser melalui beberapa jalur, antara lain :


1. Jalur perkawinan-perkawinan dilakukan oleh Abu Mansyur Indra Jaya dengan Putri
Petong, dari Kerajaan Paser raja komunitas Paser. Begitu juga perkawinan Sayyid
Ahmad Khairuddin yang kawin dengan Aji Mitir anak Putri Petong dengan Abu Mansyur
Indra Jaya.
2. Jalur perdagangan sungai Kendilo merupakan sungai besar pada jaman mereka, yang
selalu dilalui para pedagang dari berbagai daerah Nusantara, termasuk pedagang dari
Arab. Interaksi antara masyarakat Kerajaan Paser dengan para pedagang muslim
menyebabkan sebagian masyarakat penduduk tertarik untuk memeluk agarna Islam.
3. Dalam sebuah cerita rakyat, Putri Petong sebelum kawin dengan Abu Mansyur Indra
Jaya, sudah beberapa kali kawin, akan tetapi jika akan berhubungan badan dengan
lelaki, jika tidak lari dari peraduan atau mati. Hal ini disebabkan sari bambu yang
melekat pada Putri Petong. Kawinlah dengan Abu Mansyur Indra Jaya yang dapat
menyembuhkan penyakit tersebut

Daerah Paser saat kedatangan Islam, banyak diketahui dari berbagai tulisan, diantaranya
berdasarkan kitab yang ditulis Aji Aqub tahun 1350 Hijriyah atau tahun 1920 Masehi yang
berjudul "Palayaran mencari raja tanah Paser" Sumber lain dari tulisan A.S Assegaf dengan
judul "Sejarah kerajaan Kutai dan Kesultanan Paser" tanpa tahun. Sumber yang lain dapat
ditelusuri dari sumber-sumber Belanda, diantaranya oleh S.C Knappert dengan judul
"Tijdschrift voor ned Indie 1883" Sedangkan yang memuat legenda Putri Petong ditulis oleh
III Nieuwkuyk dalam Versi Reide opstillen ove Boneo, Velome 9 kerajaan Paser juga
disinggung dalam tulisan J.Zwager dengan judul "Tijdschrift voor Nederlan Indie. Seri
4, 1866.

Versi Hikayat Banjar

1. Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, Pasir salah satu daerah


taklukan Gajah Mada dari Majapahit.
2. Menurut Salasilah Kutai, seorang putera dari Maharaja Sakti bin Aji Batara Agung
Paduka Nira menjadi raja muda di Pasir. Putera dari raja muda tersebut yang
bernama Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya kemudian dilantik menjadi Raja Kutai
Kartanegara V menggantikan Raja Kutai Kertanegara IV Aji Raja Mandarsyah.
3. Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis tahun 1663, sejak masa
kekuasaan Rahadyan Putra/Raden Suryacipta yang bergelar Maharaja Suryanata(=
Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa), pangeran dari Majapahit yang menjadi raja ke-
2 Negara Dipa (= Banjar kuno) pada zaman Hindu, orang besar (penguasa) Pasir sudah
menjadi taklukannya. Pasir dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah
yang di atas angin (= negeri di sebelah timur atau utara) yang takluk/menyerahkan
upeti kepada Maharaja Suryanata hingga masa Maharaja Sukarama, selanjutnya sampai
masa Sultan Suriansyah.
4. 1636, Pasir kembali ditaklukan atas bantuan VOC sesuai Perjanjian 4 September 1635,
antara Sultan Banjar dengan VOC.
5. Penguasa/orang besar/adipati Pasir, Aji Tunggul menjadi bawahan Sultan
Banjar, Mustainbillah yang berkuasa tahun 1595-1642. Ketika itu keraton Kesultanan
Banjar telah dipindahkan dari Banjarmasin ke daerah Batang Banyu karena sebelumnya
pada tahun 1612 diserang VOC, tatkala itu Marhum Panembahan (= Mustainbillah)
menyuruh Kiai Lurah Cucuk membawa sebuah perahu beserta awak perahu empat
puluh orang untuk menjemput Aji Tunggul dengan anak-isteri serta keluarganya. Ketika
tiba di keraton Banjar waktu itu berada di daerah Batang Banyu, Aji Ratna puteri Aji
Tunggul dinikahkan denganDipati Ngganding (adipati Kotawaringin) kemudian
memperoleh dua anak, Andin Juluk dan Andin Hayu. Kemudian Kemudian Andin Juluk
menikahiPangeran Dipati Anta-Kasuma putera Sultan Mustainbillah dengan permaisuri
Ratu Agung yaitu yang kelak menjabat adipati/raja Kotawaringin menggantikan Dipati
Ngganding. Pasangan Anta-Kasuma dan Andin Juluk ini memperoleh empat anak : Putri
Gelang, Raden Tuan, Raden Pamadi dan Raden Nating. Sedangkan Andin Hayu
menikahi Pangeran Dipati Tapasena putera Sultan Mustainbillah dari selir orang Jawa,
kemudian memperoleh anak Pangeran Aria Wiraraja dan Putri Samut.
6. Perkawinan seorang puteri dari Aria Manau (Aji Tunggul), Sri Sukma Dewi yang
bergelar Putri Betung dengan Abu Mansyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi
agama Islam dari Giri) yang dikaruniai empat orang anak, yaitu :
o Aji Mas Pati Indra
o Aji Putri Mitir
o Aji Mas Anom Indra
o Aji Putri Ratna Beranak
7. Beberapa tahun kemudian setelah pernikahan Aji Ratna dan Dipati Ngganding di negeri
Banjar, seorang cucu Aji Tunggul yaitu Raden Aria Mandalika (= Aji Mas Pati Indra?)
putera dari priyayi dari Giri yang menikah dengan puteri dari Aji Tunggul datang
berkunjung ke Kesultanan Banjar ketika keraton berada di Martapura, kemudian Raden
Aria Mandalika oleh Sultan Mustainbillah dinikahkan dengan cucunya Putri
Limbuk/Dayang Limbuk puteri dari swargi Pangeran Dipati Antasari. Dengan adanya
perkawinan ini maka Aji Tunggul tidak lagi diharuskan mengantarkan upeti tiap-tiap
tahun seperti zaman dahulu kala, karena upeti tersebut sudah diberikan kepada Putri
Limbuk/Dayang Limbuk, kecuali hanya jika ada suruhan dari Marhum Panembahan
untuk memintanya atau mengambilnya. Dengan demikian, Pasir mendapat
pembebasan pembayaran upeti, bahkan kemungkinan Raden Aria Mandalika menjadi
raja muda di Pasir sebagai perwakilan Kesultanan Banjar. Pasangan Aria Mandalika dan
Putri Limbuk ini memperoleh anak bernama Raden Kakatang. Setahun setelah kelahiran
Raden Kakatang, Sultan Mustainbillah kemudian mangkat. Dengan demikian maka
penguasa Pasir kemungkinan masih termasuk trah Sultan Banjar IV Marhum
Panembahan, Raja Kutai Kartanegara II Aji Batara Agung Paduka Nira dan bangsawan
dari Giri.
8. Kemudian Sultan Mustain Billah menyuruh Kiai Martasura ke Makassar (= Gowa) untuk
menjalin hubungan bilateral kedua negara pada masa I Mangadacinna Daeng Sitaba
Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid
Raja Gowa 1638-1654, ia meminjam Pasir kepada Marhum Panembahan sebagai
tempat berdagang. Sejak itu Pasir dan wilayah ring terluar tidak lagi mengirim upeti ke
Banjar. Peristiwa pada abad ke-17 ini menunjukkan pengakuan Makassar (Gowa-Tallo)
mengenai kekuasaan Kesultanan Banjar terhadap daerah di sepanjang tenggara dan
timur pulau Kalimantan. Pada masa itu Sultan Makassar terfokus untuk menaklukkan
kerajaan-kerajaan di kawasan timur Nusantara hingga diberlakukannya Perjanjian
Bungaya. Pada abad ke-18 Raja Bugis-Wajo, La Madukelleng menawan daerah Kutai,
Pasir, Pagatan dan menyerang Banjarmasin tetapi berhasil dipatahkan.
9. 1765, VOC membantu Sultan Banjar Tamjidullah I untuk menaklukan Pasir kembali
untuk memungut upeti.
10. 1787, Pasir sebagai salah satu vazal Banjarmasin yang diserahkan Sultan Banjar
Tahmidullah II kepada VOC dalam Traktat 13 Agustus 1787 ketika Banjar [beserta
Kalimantan] menjadi tanah yang dipinjam dari VOC atau sebagai
daerah protektorat VOC.
11. 1797, Kedaulatan atas Pasir [dan Pulau Laut] diserahkan kembali oleh VOC
kepada Sultan Banjar Tahmidullah II. Belanda kemudian digantikan oleh kolonial Inggris.
12. 1817, Pasir diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak
Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari
Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt. Hal ini terjadi
setelah Belanda masuk kembali ke Kalimantan menggantikan Inggris.
13. 1823, Pasir menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan
Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari
Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.
14. 1826, Pasir ditegaskan kembali menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda menurut
Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar dengan Hindia Belanda yang
ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826H.
15. 1906-1918, masa perjuangan rakyat Pasir melawan pemerintahan kolonial Hindia
Belanda.
16. Hingga 1959, Wilayah Pasir berstatus kawedanan di dalam wilayah Provinsi Kalimantan
Selatan.

Penguasa Pasir

Nama Penguasa Gelar Tahun Berkuasa


Putri Di Dalam Petung 1516-xxxx
Aji Tunggul xxxx–1607
Aji Mas Anom Indra bin Aji Mas 1607–1644
Pati Indra
Aji Anom Singa Amulana bin Aji 1644–1667
Mas Anom Indra
Aji Perdana bin Aji Anom Singa Penambahan Sulaiman 1667–1680
Maulana
Aji Duwo bin Aji Mas Anom Penambahan Adam 1680–1705
Singa Maulana
Aji Geger bin Aji Anom Singa Sultan Aji Muhammad 1703–1738
Maulana Alamsyah (Sultan Pasir I)
Aji Negara bin Sultan Aji Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan 1738–1768
Muhammad Alamsyah Pasir II)
Aji Dipati bin Panembahan Sultan Dipati Anom 1768–1799
Adam Alamsyah (Sultan Pasir III)
Aji Panji bin Ratu Agung Sultan Sulaiman Alamsyah (Sultan 1799–1811
Pasir IV)
Aji Sembilan bin Aji Muhammad Sultan Ibrahim Alamsyah 1811–1815
Alamsyah
Aji Karang bin Sultan Sulaiman Mahmud Han Alamsyah 1815–1843
Alamsyah
Aji Adil bin Sultan Sulaiman Sultan Adam Alamsyah 1843–1853
Alamsyah
Aji Tenggara bin Aji Kimas Sultan Sepuh II Alamsyah 1853–1875
Aji Timur Balam Sultan Abdurahman Alamsyah 1875–1890
Sultan Muhammad Ali Alamsyah 1880–1897
Pangeran Nata bin Pangeran Sultan Sulaiman Alamsyah 1897–1898
Dipati Sulaiman
Pangeran Ratu bin Sultan Adam Sultan Ratu Raja Besar Alamsyah 1898–1900
Alamsyah
Pengeran Mangku Jaya Kesuma Sultan Ibrahim Khaliluddin[11] 1900–1906

You might also like