You are on page 1of 7

Cinta dalam Islam

Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah
mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya.
Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung
dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di
atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas
pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu
mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya
itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di
telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari
perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih
berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi
semerbak.

Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya


Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece
bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang
mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair.
"Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut,
mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi
yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."

Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung
menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai
manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai
seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah
lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya
itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati?
Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri
ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya
Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya
menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah


majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta
manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta
kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada
sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya
adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia
ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah."

Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan
garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman
melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan
porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada
Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada
selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang


bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan
tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada
Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan
firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang
mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan
harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai
pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24). Subhanallah!

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan


sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta
seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah,
membaca Al Qur'an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan
mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya
melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa
berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk
berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud.
Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa
didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru
mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai
sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa
sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela
agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan
tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada
setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu
timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala
membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi,
qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya,
hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang
sempurna... Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta
memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia
keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta
dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu
seperti kasus sahabat saya tadi.
Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya.
Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya.
Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti
syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh
rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...

Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana


seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan
cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini
diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama
sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya
Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon,
akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah." Wallahua'lam
bish-showab.

31

KEINDAHAN AKHLAK ISLAM


Posted by drkuzaki , on December 31, 2007 at 12:47 PM
Category: AKHLAK

Islam adalah al-Din yang serba lengkap dan menyeluruh dalam pelbagai lapangan hidup
iaitu aspek aqidah, syariah dan akhlak. Rasulullah telah menerima daripada Allah satu
risalah lengkap tersebut melalui wahyu al-Quran al-Karim yang merupakan sumber
rujukan utama Islam . Kemudian, Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikannya
kepada seluruh umat manusia di samping mempraktikkan ajaran-ajaran Islam yang
terkandung di dalam al-Quran itu. Akhirnya, Islam diwarisi secara turun temurun dari
satu generasi kepada satu generasi yang lain sebagaimana asalnya tanpa sebarang
keraguan dan syak wasangka.

Salah satu daripada paksi utama yang menegakkan binaan Islam ialah akhlak. Akhlak
dalam Islam mempunyai kedudukan yang istimewa di mana al-Quran telah memuji
kemuliaan akhlak yang dipamerkan Rasulullah sebagaimana firman Allah maksudnya:
Dan sesungguhnya engkau mempunyai akhlak yang sangat-sangat mulia. (Surah al-
Qalam, ayat 4)

Ditambah lagi, Rasulullah telah menetapkan tujuan utama kebangkitannya


mendukung agenda perjuangan risalah Islam adalah untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlak terpuji sebagaimana sabdanya yang bermaksud : Sesungguhnya aku diutuskan
untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak yang terpuji. (Hadis riwayat Imam Malik)
Dalam erti kata lain, akhlak Islam tidak dapat dipisahkan dalam setiap gerak geri
kehidupan manusia tidak kira sama ada dalam hubungannya dengan Allah mahupun
hubungannya sesama manusia, malah ia merupakan antara hikmah yang paling utama di
sebalik pensyariatan sesuatu ibadat dalam Islam.

Sebagai contohnya, solat fardu yang diwajibkan Allah telah dijelaskan hikmahnya
di sebalik pensyariatan mendirikan solat sebagaimana firman Allah maksudnya: Dan
dirikanlah solat (dengan tekun), sesungguhnya solat itu mencegah dari perbuatan yang
keji dan mungkar. (Surah al-Ankabut, ayat 45)

Begitu juga hikmah amalan zakat melalui firman Allah yang bermaksud: Ambillah
(sebahagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat) supaya dengannya kamu
membersihkan mereka (dari dosa) dan mensucikan mereka (dari akhlak yang buruk); dan
doakanlah untuk mereka kerana sesungguhnya doamu itu menjadi ketenteraman bagi
mereka. Dan (ingatlah) Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Surah al-
Taubah, ayat 103)

Ringkasnya, ruang lingkup akhlak dalam Islam adalah mencakupi seluruh


kehidupan kerana akhlak merupakan simbol kepada amalan kerja dan perlakuan di dalam
hidup. Justeru amalan menolong orang lain adalah akhlak, kerja untuk menyara dirinya
dan ahli keluarganya juga adalah akhlak, beriman kepada Allah dan menyembah-Nya
adalah akhlak. Pendek kata, kesemuanya itu termasuk dalam erti kata kebajikan
sebagaimana firman Allah maksudnya: Bukanlah perkara kebajikan itu hanya kamu
menghadapkan muka ke arah timur dan barat tetapi kebajikan itu ialah beriman seseorang
kepada Allah, hari akhirat, segala malaikat, segala kitab, sekalian nabi; dan mendermanya
seseorang akan hartanya -sedang dia menyayanginya- kepada kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, kepada orang yang
meminta dan untuk memerdekakan hamba-hamba abdi; dan mengerjanya seseorang akan
solat serta mengeluarkan zakat; dan perbuatan orang-orang yang menyempurnakan
janjinya apabila mereka membuat perjanjian dan ketabahan orang-orang yang sabar
dalam masa kesempitan dan dalam masa kesakitan dan juga dalam masa bertempur dalam
perjuangan perang Sabil. (Orang-orang yang demikian sifatnya), mereka itulah orang-
orang yang benar (beriman dan mengerjakan kebajikan), dan mereka itulah juga orang-
orang yang bertakwa. (Surah al-Baqarah, ayat 177)

Selanjutnya, sesuatu amalan kebajikan tidak diambil kira kecuali dengan asas iman dan
ibadat. Kebajikan itu ialah akhlak dan akhlak itu adalah kebajikan. Amalan kebajikan
sama ada untuk maslahah individu mahupun untuk maslahah ramai termasuk
dalam maksud akhlak. Begitu juga muamalah yang baik dengan makhluk lain termasuk
dalam pengertian akhlak. Manakala, amalan menyakiti makhluk lain adalah amalan tidak
berakhlak. Sabar mendepani kesulitan hidup dan segala musibah yang menimpa adalah
termasuk dalam akhlak.

Dalam erti kata lain, akhlak yang baik ialah tabiat atau perangai yang lahir pada diri
seseorang seperti lemah lembut, pemurah, sabar dan sebagainya, tetapi harus diingat
bahawa orang yang kelihatan baik perangainya belum tentu dia berakhlak. Ini kerana
akhlak itu merupakan buah daripada amal ibadat yang didorong oleh iman. Iman itu
kekuatan yang menguatkan jiwa dan juga pendidikan yang menjadikan manusia
berakhlak terbilang dan berpekerti luhur.

Ini berbeza dengan etika yang merupakan peraturan dan disiplin yang perlu dipatuhi oleh
seseorang manusia dalam waktu tertentu. Oleh sebab itu, seorang pekerja terpaksa patuh
dengan etika kerja di tempat kerjanya. Selepas waktu kerja, dia bebas daripada peraturan
tersebut. Akhlak yang baik pula merupakan sifat yang baik lahir daripada amal ibadat dan
didorong oleh iman yang berlangsung selama hayat manusia demi mengharapkan
keredaan Ilahi.

Justeru, untuk berakhlak baik merupakan satu perkara yang sukar bagi sebahagian
manusia. Oleh sebab itu, seorang Muslim dituntut melakukan Mujahadah al-Nafs iaitu
melawan hawa nafsu dan Tazkiah al-Nafs iaitu membersihkan diri daripada sifat-sifat
yang keji seperti hasad dengki, buruk sangka, sombong, bakhil dan sebagainya. Hasil
daripada gilapan iman yang sempurna, akan terhasillah akhlak yang mulia dan indah.

Perlu ditegaskan bahawa akhlak Islam bukan hanya sekadar dipraktikkan dalam
lingkungan sesama Islam, bahkan hendaklah dipamerkan keindahan akhlak Islam kepada
bukan Islam agar mereka sama-sama menghayati keindahan Islam mudah-mudahan hati
mereka kelak akan terbuka untuk menerima Islam sebagai cara hidup mereka. Lebih dari
itu, Islam tidak pernah melarang untuk berbuat baik atau berakhlak mulia kepada bukan
Islam, terutamanya dalam perkara yang berkaitan dengan kebajikan dan maslahah umat.
Ini ditegaskan Allah lewat firman-Nya yang bermaksud: Allah tidak melarang kamu
daripada berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu
kerana agama (kamu) dan tidak mengeluarkan kamu dari kampung halaman kamu,
sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil. (Surah al-Mumtahinah,
ayat

Amal sholeh

Demikianlah skop akhlak Islam yang cukup menyeluruh dalam segenap aspek kehidupan
ummah sejagat. Hanya akhlak Islam sahaja penyelesaian ampuh bagi segala krisis dan
kemelut sosial yang melanda umat Islam dewasa ini. Akhlak Islam merupakan hasil amal
ibadat yang berterusan di samping kemantapan iman yang bertapak kukuh dalam jiwa
sanubari.

Allah swt telah menjadikan dunia sebagai tempat beramal sedangkan akherat adalah
tempat balasan. Di dunia inilah setiap manusia dituntut untuk mengumpulkan sebanyak-
banyaknya pahala dengan berbagai amal kebaikan yang diperintahkan Allah swt untuk
kemudian mendapatkan pembalasan dari-Nya di akherat.

Sebagaimana layaknya suatu kesuksesan maka tidaklah didapat tanpa adanya perjuangan
dan pengobanan demikian halnya dengan surga sebagai simbol kesuksesan seorang
hamba yang didalamnya penuh dengan kenikmatan tidaklah diberikan Allah kecuali
kepada orang-orang yang telah membuktikan pengorbanannya selama hidup di dunia
dengan selalu mengerjakan amal-amal kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang tidak
mudah diperdaya oleh keelokan dan hijaunya dunia akan tetapi mereka adalah orang-
orang yang bisa memperlakukan dunia hanya sebatas ladang mengumpulkan amal-amal
kebaikan.
Firman Allah swt ;

ً ‫عَم‬
‫ل‬ َ ‫ن‬
ُ‫س‬َ‫ح‬
ْ ‫ض ِزيَنًة ّلَها ِلَنْبُلَوُهْم َأّيُهْم َأ‬
ِ ‫لْر‬
َْ ‫عَلى ا‬
َ ‫جَعْلَنا َما‬
َ ‫ِإّنا‬

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan
baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik
perbuatannya.” (QS. Al Kahfi : 7)

Imam Al Qurthubi mengatakan bahwa makna ayat diatas bisa dilihat pada sabda
Rasulullah saw, ”Sesungguhnya dunia itu hijau lagi manis. Dan Allah telah menjadikan
kalian sebagai khalifah didalamnya dan Dia swt melihat apa yang kalian kerjakan.” Dan
sabdanya saw yang lain, ”Sesungguhnya yang paling aku takutkan terhadap kalian adalah
apa yang Allah keluarkan bagi kalian berupa kembang dunia.’ Ada yang bertanya,’Apa
itu kembang dunia? Beliau saw menjawab,’kenikmatan bumi.” Dikeluarkan oleh Muslim
dan yang lainnya dari Hadits Abi Said al Khudri. Artinya bahwa dunia adalah nikmat
dirasakan dan mengagumkan pandangan seperti buah-buahan yang lezat dan
mengangumkan orang yang melihat maka itu Allah swt menjadikannya sebagai ujian
bagi hamba-hamba-Nya untuk melihat siapa-siapa yang paling baik amalnya dari mereka
tidak ada celah bagi hamba-hamba-Nya untuk membenci perhiasan Allah kecuali yang
telah mendapatkan pertolongan-Nya.

Untuk itu Umar mengatakan—sebagaimana disebutkan Bukhori—, ”Wahai Allah


sesungguhnya kami tidak sanggup kecuali menyenangi apa yang telah Engkau telah hiasi
buat kami. Wahai Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu agar aku
menafkahkannya sesuai dengan haknya.” Maka dia pun berdoa kepada Allah agar Dia
swt membantunya agar bisa menafkahkannya sesuai dengan haknya. Inilah makna
sabdanya saw.”Barangsiapa mengambilnya dengan kebaikan jiwa maka orang itu
diberkahi didalamnya dan barangsiapa yang mengambilnya dengan kepongkahan maka ia
seperti orang yang makan namun tidak (pernah) kenyang.”

Demikianlah kebanyakan orang di dunia yang tidak pernah merasa puas dengan apa-apa
yang didapatnya akan tetapi keinginan kuatnya adalah mengumpulkan semuanya. Hal itu
dikarenakan ia tidak memahami tentang Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya bersama
dunia adalah fitnah dan kebanyakan mereka tidak selamat dan sungguh telah menang
orang-orang selamat dan diberikan rezeki yang cukup dan merasa puas dengan apa yang
diberikan Allah swt. (al Jam’i Li Ahkamil Qur;an jilid V hal 679 – 680)

Allah swt tidaklah semata-mata menginginkan banyaknya amal yang dilakukan seorang
hamba akan tetapi baiknya amal itu dilakukan. Allah tidak semata-meta melihat jumlah
rakaat yang telah dilakukan seseorang didalam shalat-shalatnya akan tetapi nilai dan
kualitas dari shalat-shalat yang dilakukannya.

Dalam hal ini Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah swt tidak mengatakan yang lebih
banyak amalnya akan tetapi yang lebih baik amalnya. Dan tidaklah amal menjadi baik
sehingga dilakukan dengan ikhlas karena Allah swt dan diatas syariat Rasulullah saw.
Dan kapan pun suatu amal kehilangan salah satu dari kedua syarat itu maka amal itu batal
dan terhapus (pahalanya) (Tafsir Ibnu Katsir juz IV hal 308)

Senada dengan yang diungkapkan Ibnu Katsir tentang amal yang paling baik adalah yang
diungkapkan oleh Fudhail bin Ayyadh bahwa amal yang paling baik adalah yang paling
ikhlas dan paling benar. Orang-orang bertanya kepadanya,”Wahai Abu Ali apa yang
paling ikhlas dan yang paling baik?’ Fudhail menjawab,”Sesungguhnya suatu amal yang
dilakukan dengan keikhlasan akan tetapi tidak benar maka tidaklah diterima dan apabila
ia dilakukan dengan benar akan tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, sehingga amal itu
dilakukan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas adalah semata-mata dikerjakan karena Allah
swt dan benar adalah sesuai dengan sunnah Nabi.” Kemudian dia membaca firman Allah

‫حًدا‬
َ ‫ك ِبِعَباَدِة َرّبِه َأ‬
ْ ‫شِر‬
ْ ‫ل ُي‬
َ ‫حا َو‬
ً ‫صاِل‬
َ ‫ل‬
ً ‫عَم‬
َ ‫ل‬
ْ ‫جو ِلَقاء َرّبِه َفلَْيْعَم‬
ُ ‫ن َيْر‬
َ ‫َفَمن َكا‬

Artinya : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia


mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al Kahfi : 110) –(Madarijus Salikin juz II hal 89 –
90)

Dengan demikian suatu amal dikatakan baik adalah ketika amal tersebut dilakukan
dengan penuh keikhlasan semata-mata karena Allah swt dan sesuai dengan sunnah
Rasulullah saw.

You might also like