Professional Documents
Culture Documents
Faktor Psikososial
Faktor Psikososial
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
Kata Pengantar
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen atas segala arahannya hingga
kami mulai memahami lebih jauh tentang Faktor Psikososial dalam abnormalitas. Banyak
sekali manfaat yang kami peroleh dari mata kuliah ini sebagai bekal bagi kami dalam
usaha untuk mengembangkan diri, keluarga dan masyarakat. Serta tidak lupa untuk
rekan-rekan di jurusan Psikologi yang turut mendukung penyusunan makalah ini, kami
ucapkan terima kasih atas kerja samanya yang baik.
Kami tetap menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon saran dan kritik yang membangun
sebagai sarana pembelajaran bagi kami sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih
baik.
Penyusun
Bab I
Pendahuluan
Bab II
Sebab-sebab perilaku abnormal dapat ditijau dari berbagai sudut, antara lain
berdasarkan tahap berfungsinya dan berdasarkan sumber asalnya (Baihaqi dkk., 2005).
Menurut tahap berfungsinya sebab-sebab perilaku abnormal dibedakan oleh Coleman,
Butcher, dan Carson (1980) sebagai dalam Baihaqi dkk. (2005) adalah berikut :
Adalah kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan jiwa atau
perilaku abnormal atau kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan tidak akan
muncul.
Adalah faktor yang menyebabkan seseorang rentan atau peka terhadap salah satu
bentuk gangguan jiwa, misalnya kondisi fisik (seseorang dengan penyakit menahun,
keturunan, atau kecacatan), genetik, intelegensia, kepribadian, dan keadaan sosial
ekonomi.
b. Faktor psikososial
Adalah perilaku abnormal yang diakibatkan oleh keadaan psikologis dan pengaruh
dari lingkungan sosial selama masa perkembangan individu. Contohnya adalah pola
asuh orangtua yang mengakibatkan tinbulnya gangguan perilaku pada seseorang ketika
dewasa. faktor psikososial ini akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.
c. Faktor sosiokultural
Meliputi keadaan objektif dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang dapat
berakibat timbulnya tekanan pada individu dan selanjutnya melahirkan berbagai
bentuk gangguan. Contohnya adalah bencana alam tsunami yang mengakibatkan
beberapa individu yang mengalaminya menjadi trauma.
2.3.1 Keluarga
Lingkungan yang terdekat, yang paling awal dan yang terlama dialami seseorang
adalah lingkungan keluarga. Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang
paling esensial dalam sejarah perjalanan hidup manusia. Keluarga sebagai pranata sosial
pertama dan utama, mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-
nilai kehidupan yang dibutuhkan oleh anak yang sedang mencari makna kehidupannya.
Dengan kata lain, pranata keluarga adalah titik awal keberangkatan, sekaligus
sebagai modal awal perjalanan hidup anak yang kemudian dilengkapi dengan rambu-
rambu perjalanan yang digariskan pranata sosial lainnya di lingkungan pergaulan sehari-
hari.
Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik dapat
memicu timbulnya berbagai masalah kesehatan mental bagi anak.
Menurut Zakiah Daradjat dalam jurnal Pendidikan Keluarga Dalam Membentuk
Kesehatan Mental (2008), pengalaman-pengalaman yang dilalui anak ketika kecil,
termasuk perilaku orang tua dan sikap mereka terhadap anak mempunyai pengaruh yang
besar dalam kehidupan anak nantinya. Karena kepribadian terbentuk dari pengalaman
sejak kecil. Sebagaimana diterangkan Zakiah berikut ini:
b. Deprivasi parental, misalnya anak-anak yang kehilangan asuhan ibu di rumah sendiri,
terpisah dengan ibu atau ayah kandung, tinggal di asrama dan sebagainya.
c. Hubungan orang tua dengan anak yang patogenik. Menurut Coleman (1976:160) dan
Maramis (1994:140-141), bahwasanya keluarga pada masa kanak-kanak memegang
peranan penting dalam pembentukan kepribadian, kadang orang tua berbuat terlalu
banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada
kalanya orang tua berbuat terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, dan tidak
memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.Struktur keluarga yang
patogenik. Struktur keluarga inti, kecil, atau besar mempengaruhi terhadap
perkembangan jiwa anak, apalagi bila terjadi ketidaksesuaian perkawinan dan
problem rumahtangga yang berantakan.
Pola asuh atau sikap orangtua terhadap anak mempunyai beberapa pengaruh
dalam perkembangan kepribadian dan sifat anak sehingga kemungkinan menimbulkan
beberapa sikap (Maramis, 1994 : 138).
Gangguan afektif merupakan gangguan pada afeksi atau suasana hati (mood).
Orang yang terganggu ini dapat mengalami depresi atau manik yang parah atau yang
dapat berganti-ganti antara saat-saat depresi atau saat-saat manik. Pendekatan mengenai
gangguan afektif ditinjau dari teori belajar lebih memusatkan perhatian pada apa yang
sedang terjadi sekarang, terhadap hidup seseorang ketimbang pengalaman masa lalunya.
Di dalam teori belajar, terdapat dua pendekatan utama yang menyebabkan depresi.
Pendekatan pertama menekankan penguatan; yang lainya faktor kognitif.
Apabila orang mengalami depresi dan tidak aktif, sumber penguatan utama mereka
adalah simpati dan perhatian yang mereka terima dari keluarga dan teman-teman.
Perhatian ini pada mulanya menguatkan perilaku maladaptif (menangis, mengeluh,
membicarakan tentang bunuh diri). Tetapi karena berada di sekitar seseorang yang selalu
gundah sangat menjemukan, perilaku orang depresi akhirnya terasing dari teman-teman
dekat sekalipun; hal ini menyebabkan lebih berkurangnya penguatan dan meningkatkan
isolasi sosial dan kesedihan seseorang. Intinya tingkat penguatan positif yang rendah
makin mengurangi kegiatan individu dan ekspresi perilaku yang dapat dikuatkan.
2.3.2 Skisofrenia
Skisofrenia merupakan nama yang diberikan pada beberapa gangguan yang
ditandai dengan parahnya kekacauan kepribadian, distorsi realita, dan ketidakmampuan
untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Kadang-kadang gangguan ini berkembang
secara lamban sebagai proses yang sedikit demi sedikit meningkatkan perilaku
mengasingkan diri dan perilaku yang tidak wajar. Dilain hal skisofrenia terjadi secara
tiba-tiba, ditandai dengan adanya kerancuan yang intens dan kekacauan emosi; kasus-
kasus semacam ini biasanya timbul dengan segera yang disebabkan oleh adanya saat-saat
stres pada seseorang yang hidupnya cenderung menyendiri, suka bekerja sendiri, dan
merasa tidak aman.
Untuk memahami gangguan skisofrenia dapat ditinjau dari beberapa faktor, yang
diantaranya faktor sosial dan psikologis.
Penelitian tentang peran faktor sosial-psikologis sebagai sebab timbulnya
skisofrenia berfokus pada hubungan orangtua-anak dan pola komunikasi dalam keluarga.
Penelitian keluarga penderita skisofrenia mengidentifikasikan dua macam hubungan
keluarga yang tampaknya dapat menyebabkan gangguan tersebut. Pertama orangtua
sangat menarik batas dan tidak mau bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama;
masing-masing tidak menghargai dan mencoba mendominasi yang lain serta berlomba
memperoleh kesetiaan anak. Yang kedua, tidak terdapat perselisihan yang terbuka;
orangtua yang dominan menunjukan psikopatologi yang serius sehingga orangtua yang
satunya secara pasif menerima sebagai normal. kedua macam keluarga di atas
menggambarkan orangtua yang aneh, tidak dewasa, dan yang memanfaatkan anaknya
untuk memenuhi kebutuhan mereka dan dapat dengan mudah menyebabkan anak-anak
merasa bingung, terasing dan tidak yakin akan perasaan orang yang sebenarnya. Dalam
arti tertentu, anak akan tumbuh dan belajar menerima distorsi-distorsi realita orangtuanya
sebagai hal yang normal.
Pengamatan interaksi pada keluarga skisofrenik menunjukan bahwa masalah-
masalah dalam komunikasi merupakan bagian penting dari penyimpangan orangtua.
Mereka seringkali tidak dapat memusatkan perhatianya dan mengkomunikasikan pesan
yang bertalian secara logis kepada pendengarnya.
Menurut teori belajar sosial, kecemasan lebih ditimbulkan oleh peristiwa eksternal
tertentu ketimbang oleh konflik internal. Seorang yang menderita kecemasan merata
merasa bahwa dia tidak dapat mengendalikan situasi kehidupan yang bermacam-macam
sehingga perasaan kecemasan hampir selalu ada. Fobia dianggap sebagai respon
penghindaran yang dapat dipelajari secara langsung (melalui pengalaman yang
menakutkan) atau secara tidak langsung dengan mengamati respon yang menakutkan
pada orang lain. Perilaku obsesif-kompulsif tetap ada karena hal ini dikaitkan dengan
pengurangan kecemasan. Misalnya, seorang yang terganggu oleh pikiran takut pada
kuman atau penularan penyakit dapat beranggapan bahwa mencuci tangan sedikit-sedikit
akan melegakan rasa takutnya. Oleh karena itu, cuci tangan dapat diasosiasikan dengan
pengurangan kecemasan dan sedikit demi sedikit menjadi respon yang ritual jika orang
tersebut merasa cemas.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E., dan Bem, D.J. t.t. Pengantar Psikologi, Edisi
Kesebelas, Jilid 2. Interaksara. Batam.
Baihaqi, MIF., Sunardi, Akhlan, R.N.R., Heryati, E. 2005. Psikitari (Konsep Dasar dan
Gangguan-gangguan). PT. Refika Aditama. Bandung.
Fausiah, Fitri & Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. UI Press :
Jakarta.