You are on page 1of 16

Daftar Isi

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

Bab II Faktor Psikososial Dalam Abnormalitas

2.1 Faktor Penyebab Abnormalitas

2.2 Perilaku Abnormal sebagai Produk Belajar

2.3 Perkembangan Psiko-Sosial Individu

2.4 Berbagai Gangguan Perilaku Ditinjau dari Faktor Psikososial

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Daftar Pustaka
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa mencurahkan


rahmat dan nikmatnya kepada kita semua, terutama nikmat iman dan
nikmat sehat. Shalawat serta salām semoga senantiasa terlimpahkan
ke hadirat Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabat, dan kita
semua selaku ummatnya hingga akhir zaman.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen atas segala arahannya hingga
kami mulai memahami lebih jauh tentang Faktor Psikososial dalam abnormalitas. Banyak
sekali manfaat yang kami peroleh dari mata kuliah ini sebagai bekal bagi kami dalam
usaha untuk mengembangkan diri, keluarga dan masyarakat. Serta tidak lupa untuk
rekan-rekan di jurusan Psikologi yang turut mendukung penyusunan makalah ini, kami
ucapkan terima kasih atas kerja samanya yang baik.

Kami tetap menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon saran dan kritik yang membangun
sebagai sarana pembelajaran bagi kami sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih
baik.

Bandung, 9 Maret 2009

Penyusun
Bab I

Pendahuluan

Membedakan antara normalitas dan abnormalitas tidaklah mudah. Menurut Prof.


Suprapti Sumarno Markam dalam Fausiah dan Widuri (2005) terdapat dua pendekatan
dalam membuat pedoman normalitas, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan
kualitatif. Pendekatan kuantitatif didasarkan pada patokan statistik dengan melihat pada
sering tidaknya sesuatu terjadi. Sedangkan pendekatan kualitatif lebih menegakkan
pedoman-pedoman normative yang berdasarkan observasi empirik pada tipe-tipe ideal
dan sering terkait pada faktor sosial kultural setempat (Fausiah & Widuri, 2005).

Saanin (1976) mengungkapkan tiga sudut pandang yang dapat dipergunakan


untuk meninjau masalah normal-abnormal, yaitu : (a) pandangan dari sudut patologi, (b)
pandangan dari sudut statistik, (c) pandangan dari sudut kebudayaan.

Sedangkan menurut Robert S. Feldman dalam bukunya Elements of Psychology


(1992) dan Essential of Understanding Psychology (2003), perilaku abnormal
didefinisikan berdasarkan kriteria berikut, yaitu :
1. Abnormalitas sebagai Penyimpangan dari Rata-rata
Dalam menggunakan pendekatan statistik, kita hanya mengobservasi perilaku
apa yang jarang dilakukan, yang dilabelkan abnormal oleh masyarakat atau budaya.
Masalahnya adalah perilaku yang meskipun jarang dilakukan, bukan berarti perilaku
tersebut abnormal. Contohnya, apabila biasanya orang makan cornflakes untuk
sarapan, tapi kamu memilih raisin bran, maka hal ini tidak bisa dikatakan abnormal.
2. Abnormalitas sebagai Penyimpangan dari yang Ideal
Suatu pendekatan alternatif mengenai abnormalitas dalam hubungannya dengan
suatu standar bagi sebagian besar orang adalah – yang ideal. Definisi dari pendekatan
ini mengenai perilaku abnormal adalah apabila perilaku tersebut telah cukup
menyimpang dari hal yang ideal atau standard budaya. Bagaimanapun, karena
masyarakat mempunyai sangat sedikit standar yang disetujui, dan standar yang
muncul juga cenderung berubah dari waktu ke waktu dan berbeda di setiap budaya.
3. Abnormalitas sebagai Perasaan dari Kegelisahan Pribadi
Dalam pendekatan ini, sesuatu dikatakan abnormal jika itu menimbulkan stress
pribadi, ketakutan/kecemasan, atau perasaan bersalah – atau apabila itu menyakiti
orang lain dalam berbagai cara.
4. Abnormalitas sebagai Ketidakmampuan untuk Berfungsi secara Efektif
Berdasarkan pandangan ini tentang abnormalitas, orang yang tidak dapat
berfungsi/bekerja dengan efektif dan beradaptasi dengan masyarakat adalah
abnormal. Contohnya, seorang pengangguran yang tidak punya rumah, hidup di
jalanan, ia akan dianggap tidak dapat berfungsi dengan efektif, maka perilakunya
akan anggap abnormal meskipun ia memilih hidup seperti itu. Ketidakmampuannya
untuk beradaptasi dengan tuntutan masayarakat-lah yang membuatnya “abnormal”
dalam sudut pandang pendekatan ini.
5. Abnormalitas sebagai Konsep yang Sah Berdasar Undang-undang
Menurut dewan juri yang mendengar kasusnya, pembunuh massal Jeffery
Dahmer sepenuhnya sadar ketika ia membunuh korbannya. Walaupun kita
mempertanyakan pandangan ini, tapi seperti inilah hukum menggambarkan perilaku
abnormal. Dalam sistem peradilan, pembeda antara perilaku normal dan abnormal
berdasar pada definisi gannguan jiwa (insanity), yang mana adalah sah menurut
undang-undang, tetapi bukan istilah psikologis.
Jadi definisi dari abnormalitas tidaklah sesederhana “abnormal = tidak normal”.
Karena, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa batas antara normal dan
abnormal itu sendiri jauh dari jelas. Tapi berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita tarik
kesimpulan definisi abnormal tidak dapat kita lihat hanya dari satu sudut pandang saja.
Ada beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan, yang mana masing-masing kriteria
tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Bab II

Faktor Psikososial Yang Mengakibatkan Abnormalitas


2.1 Faktor Penyebab Abnormalitas

Sebab-sebab perilaku abnormal dapat ditijau dari berbagai sudut, antara lain
berdasarkan tahap berfungsinya dan berdasarkan sumber asalnya (Baihaqi dkk., 2005).
Menurut tahap berfungsinya sebab-sebab perilaku abnormal dibedakan oleh Coleman,
Butcher, dan Carson (1980) sebagai dalam Baihaqi dkk. (2005) adalah berikut :

a. Penyebab primer (primary cause)

Adalah kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan jiwa atau
perilaku abnormal atau kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan tidak akan
muncul.

b. Penyebab yang menyiapkan (predisposing cause)

Adalah faktor yang menyebabkan seseorang rentan atau peka terhadap salah satu
bentuk gangguan jiwa, misalnya kondisi fisik (seseorang dengan penyakit menahun,
keturunan, atau kecacatan), genetik, intelegensia, kepribadian, dan keadaan sosial
ekonomi.

c. Penyebab Pencetus (precipitating cause)

Adalah tegangan-tegangan atau kejadian-kejadian traumatik yang langsung atau segera


menyebabkan gangguan jiwa atau mencetuskan gejala gangguan jiwa.

d. Penyebab yang menguatkan (reinforcing cause)

Adalah kondisi yang cenderung mempertahankan atau memperteguh tingkah laku


salah-suai (maladaptive) yang sudah terjadi.

e. Sirkulasi faktor-faktor Penyebab (multiple cause)

Adanya serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta saling mempengaruhi,


dalam kenyataannya bahwa gangguan perilaku jarang disebabkan oleh faktor tunggal.

Sedangkan berdasarkan sumber asalnya, sebab perilaku abnormal dikategorikan


menjadi tiga faktor, yaitu faktor biologis, faktor psikososial, dan faktor sosiokultural.
a. Faktor biologis

Adalah berbagai keadaan biologis atau jasmani yang dapat menghambat


perkembangan maupun fungsi pribadi atau individu dalam kehidupan sehari-hari,
biasanya bersifat menyeluruh artinya mempengaruhi seluruh aspek tingkah laku.
Contoh kasus adalah masalah kurang gizi, kelainan genetik, dan penyakit-penyakit
lain.

b. Faktor psikososial

Adalah perilaku abnormal yang diakibatkan oleh keadaan psikologis dan pengaruh
dari lingkungan sosial selama masa perkembangan individu. Contohnya adalah pola
asuh orangtua yang mengakibatkan tinbulnya gangguan perilaku pada seseorang ketika
dewasa. faktor psikososial ini akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.

c. Faktor sosiokultural

Meliputi keadaan objektif dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang dapat
berakibat timbulnya tekanan pada individu dan selanjutnya melahirkan berbagai
bentuk gangguan. Contohnya adalah bencana alam tsunami yang mengakibatkan
beberapa individu yang mengalaminya menjadi trauma.

2.2 Perilaku Abnormal sebagai Produk Belajar

Dalam pandangan behavioral, perkembangan kepribadian merupakan hasil


interaksi antara sumbangan genetis dan pengalaman kita. Behaviorisme kontemporer atau
behaviorisme radikal menekankan pada pentingnya kemungkinan three-term contingency
dan meniadakan hubungan yang sederhana antara stimulus dan respon. Teori ekstingsi
depresi muncul pada tahun 1970-an dengan P.M. Lewinsohn sebagai pelopornya. Kini
Lewinsohn menyatakan bahwa teori ekstingsi tidak lagi cocok untuk menangani depresi.
Lewinsohn dan koleganya mengemukakan teori lingkaran setan yang melibatkan banyak
komponen, dimana stres mengarahkan pada gangguan pola tingkah laku, mereduksi
penguat positif (teori ekstingsi), meningkatkan kewaspadaan diri dan kritisisme diri
(pemrosesan kognitif), perasaan putus asa, perilaku mengalah yang berlebihan yang
menimbulkan stres lebih parah, sehingga menyebabkan individu masuk kembali ke dalam
lingkaran setan tersebut.

Lebih kompleks lagi, pandangan behavioral radikal menekankan pada


keseluruhan sejarah hidup individu, daripada penyebab-penyebab yang sederhana.
Sebagai akibatnya, para behavioris menghindari istilah-istilah seperti “normal” dan
“abnormal”, karena kata-kata tersebut mengimplikasikan perbedaan yang absolut antara
sesuatu yang sehat dan sesuatu yang sakit. Dalam pandangan behavioral, tidak ada
satupun yang absolut; karena tingkah laku didefinisikan berdasarkan konteksnya. Para
behavioris cenderung menggunakan istilah “maladaptif” daripada abnormal.

Dalam aplikasi analisis abnormalitas psikologis, para behavioris mengakui bahwa


tidak semua abnormalitas merupakan hasil dari proses belajar saja, tapi belajar adalah
kontributor penting dalam terjadinya abnormalitas. Apapun penyebabnya, pembelajaran
kembali dapat membantu mengubah perilaku abnormal. Contohnya, tidak seorangpun
mengatakan bahwa penyebab utama keterbelakangan mental adalah kegagalan belajar,
tapi banyak orang-orang dengan keterbelakangan mental telah ditolong oleh para terapis
behavior.

2.3 Perkembangan Psiko-Sosial Individu

2.3.1 Keluarga

Lingkungan yang terdekat, yang paling awal dan yang terlama dialami seseorang
adalah lingkungan keluarga. Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang
paling esensial dalam sejarah perjalanan hidup manusia. Keluarga sebagai pranata sosial
pertama dan utama, mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-
nilai kehidupan yang dibutuhkan oleh anak yang sedang mencari makna kehidupannya.

Dengan kata lain, pranata keluarga adalah titik awal keberangkatan, sekaligus
sebagai modal awal perjalanan hidup anak yang kemudian dilengkapi dengan rambu-
rambu perjalanan yang digariskan pranata sosial lainnya di lingkungan pergaulan sehari-
hari.

Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik dapat
memicu timbulnya berbagai masalah kesehatan mental bagi anak.
Menurut Zakiah Daradjat dalam jurnal Pendidikan Keluarga Dalam Membentuk
Kesehatan Mental (2008), pengalaman-pengalaman yang dilalui anak ketika kecil,
termasuk perilaku orang tua dan sikap mereka terhadap anak mempunyai pengaruh yang
besar dalam kehidupan anak nantinya. Karena kepribadian terbentuk dari pengalaman
sejak kecil. Sebagaimana diterangkan Zakiah berikut ini:

Pengalaman-pengalaman yang dilalui anak ketika kecil, baik pengalaman


pahit ataupun yang menyenangkan, mempunyai pengaruh dalam kehidupan
nantinya. Karena kepribadian (kebiasaan, sikap dan pandangan hidup)
terbentuk dari pengalaman sejak kecil, terutama pada tahun-tahun pertama
kehidupan anak. Pengalaman itu termasuk pendidikan, perlakuan orang tua,
sikap orang tua terhadap anak atau sikap orang tua satu sama lain (ayah dan
ibu).
Selanjutnya Zakiah mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman pada tahun-tahun
pertama itulah yang menentukan kesehatan mental seseorang, bahagia atau tidaknya di
kemudian hari. Kesehatan mental mempunyai pengaruh atas keseluruhan hidup
seseorang, yaitu terhadap perasaan, pikiran, kelakuan dan kesehatannya.
Secara sosiopsikologi, fungsi keluarga antara lain adalah :
• Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya,
• Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis,
• Sumber kasih sayang dan penerimaan,
• Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota
masyarakat yang baik,
• Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial
dianggap tepat, dan lain sebagainya.
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga itu dapat
diklasifikasikan ke dalam fungsi biologis, ekonomis, edukasi, sosialisasi, proteksi,
rekreasi dan religius. Apabila dilihat dari sudut pandang agama, peran agama dianggap
memiliki peranan penting dalam penerapannya untuk menjadi landasan fundamental bagi
perkembangan tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera. Dan apabila terjadi erosi
nilai-nilai dalam agama dalam keluarga maka akan timbul malapetaka kemanusiaan.
Berikut adalah faktor-faktor penyebab munculnya abnormalitas yang berasal dari
lingkungan keluarga :
a. Trauma di masa kanak-kanak, deprivasi dini biologi maupun psikologik yang terjadi
pada waktu bayi, anak-anak, misalnya anak yang ditolak (rejected child).

b. Deprivasi parental, misalnya anak-anak yang kehilangan asuhan ibu di rumah sendiri,
terpisah dengan ibu atau ayah kandung, tinggal di asrama dan sebagainya.

c. Hubungan orang tua dengan anak yang patogenik. Menurut Coleman (1976:160) dan
Maramis (1994:140-141), bahwasanya keluarga pada masa kanak-kanak memegang
peranan penting dalam pembentukan kepribadian, kadang orang tua berbuat terlalu
banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada
kalanya orang tua berbuat terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, dan tidak
memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.Struktur keluarga yang
patogenik. Struktur keluarga inti, kecil, atau besar mempengaruhi terhadap
perkembangan jiwa anak, apalagi bila terjadi ketidaksesuaian perkawinan dan
problem rumahtangga yang berantakan.

Pola asuh atau sikap orangtua terhadap anak mempunyai beberapa pengaruh
dalam perkembangan kepribadian dan sifat anak sehingga kemungkinan menimbulkan
beberapa sikap (Maramis, 1994 : 138).

Pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak


Sikap Orang Tua
dan sifat atau sikap yang mungkin timbul
1 Melindungi anak Hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya tahu
secara berlebihan menuntut saja, kurang bertanggung jawab, lekas
karena berkecil hati, tidak tahan kekecewaan, ingin
memanjakannya menarik perhatian pada dirinya sendiri, cenderung
menolak peraturan dan minta dikecualikan.
2 Melindungi anak Kurang berani dalam pekerjaan, condong lekas
secara berlebihan menyerah. Bersikap pasif dan bergantung pada
karena sikap orang lain. Ingin menjadi “anak emas” dan
‘berkuasa’ dan ‘harus menerima saja segala perintah.
tunduk saja’
3 Penolakan anak (anak Merasa gelisah dan diasingkan. Bersikap melawan
tidak disukai) orang tua dan mencari bantuan kepada orang lain.
Tidak mampu memberi dan menerima kasih
sayang.
4 Menentukan norma- Menilai dirinya dan hal lain juga dengan norma
norma etika dan moral yang terlalu keras dan tinggi, sering kaku dan keras
yang terlalu tinggi dalam pergaulan. Cenederung menjadi sempurna
(perfeksionism) dengan cara yang berlebihan. Lekas
merasa bersalah, berdosa, dan tidak berarti.
5 Disiplin yang terlalu Menilai dan menuntut dirinya terlalu keras, agar
keras dapat meneruskan dan menyelesaikan sesuatu usah
dengan baik, diperlukannya sikap menghargai yang
tinggi dari luar.
6 Disiplin yang tak Sikap anak terhadap nilai dan norma pun tidak
teratur atau yang teratur, kurang tetap dalam menghadapi berbagai
bertentangan persoalan, didorong kesana kemari antara berbagai
nilai yang bertentangan.
7 Perselisihan antara Bergelisah hati terus-menerus, berkurangnya rasa
ayah-ibu (penikahan dirinya terjamin dan rasa disayangi (yang sangat
yang cedera) diperlukan oleh setiap anak). Cenderung
menafsirkan orang lain sebagai berbahaya, sehingga
bersikap bermusuhan dan agresif.
8 Perceraian Timbul perasaan dirinya terasing, gelisah dan
cemas. Rasa setianya berlawanan, berpindah-pindah
dari ibu ke ayah dan sebaliknya.
9 Persaingan yang Timbul sifat bermusuhan, merasa kurang aman,
kurang sehat di antara serta terancam terus-menerus. Kurang percaya pada
para saudaranya diri sendiri, tingkah lakunya menyerupai anak di
bawah umur.
10 Nilai-nilai yang buruk Anak mengambil alih dan nilai yang buruk itu.
atau yang tidak Timbul berbagai persoalan dan kesukaran, sehingga
bermoral sangat memungkinkan terjadinya pelanggaran
hukum.
11 Perfeksionisme dan Anak pun mengalami over prefeksionisme itu.
ambisi (cita-cita yang Demikian ia akan gagal dalam mengejar cita-cita
terlalu tinggi bagi si yang sudah melampaui batas kemampuannya,
anak) kemudian ia menjadi kecewa yang berlebihan,
merasa dirinya bersalah, berdosa dan tidak berarti
apa-apa lagi. Mudah timbul reaksi depresi (rasa
sedih yang terlalu keras dan terlalu lama).
12 Ayah dan ibu neurotik Anak condong mewarisi segala gangguan jiwa itu
(menderita gangguan yang dapat berupa kecemasan, keyakinan yang tak
jiwa) berdasarkan kenyataan atau prasangka. Semua ini
akan menghambat perkembangan kepribadian anak
itu.

2.3.2 Lingkungan Pergaulan

Individu pada umumnya banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan


kontak sosial dengan orang lain dalam hal ini bertujuan untuk mencapai kepuasannya
dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kontak
sosial paling sering individu tersebut lakukan dengan lingkungan yang paling dekat
dengannya dan yang paling sering ia temui, yaitu lingkungan tempat dirinya bergaul
dengan individu lain terutama yang sebaya dengan dirinya dengan alasan, memiliki
tujuan dan latar belakang yang serupa. Contohnya, setiap hari seseorang akan melakukan
aktivitas-aktivitas umum seperti sekolah dan bekerja yang membuatnya berada pada
suatu lingkungan tertentu dan berakhir pada aktivitasnya bergaul dengan individu-
individu dalam lingkungan tersebut, dalam hal ini teman sekolah dan rekan kerja. Salah
satu penyimpangan yang kemudian mungkin terjadi dalam interaksi yang terjadi secara
terus-menerus tersebut adalah terjadinya tindakan bullying. Menurut Ketua Yayasan
Semai Jiwa Amini (SEJIWA) Diena Haryana, secara sederhana bullying diartikan sebagai
penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga
korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.

2.3.3 Pasangan Hidup

Salah satu tugas perkembangan dewasa adalah membentuk suatu komitmen


dengan pasangan hidup atau membina rumah tangga. Pasangan hidup mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan psikososial. Dalam Hurlock (1980)
disebutkan bahwa kematian pasangan hidup adalah penyebab stress (stressor) yang paling
utama. Banyak terjadi kasus pasangan suami istri yang setelah ditinggal pasangan oleh
kematian atau perceraian mengalami stress dan berpengaruh terhadap kehidupan social
mereka.

Konflik dengan pasangan hidup juga dapat menimbulkan berbagai gangguan


seksual seperti disfungsi seksual. Menurut Davison dan Neale, 2001 yang dikutip dari
Fausiah dan Widuri (2005) seseorang yang mengalami disfungsi seksual dapat ditangani
dengan terapi pasangan karena seringkali menyertai kehidupan perkawinan yang buruk
atau masalah dengan pasangannya. Oleh karena itu dibutuhkan terapi yang juga
melibatkan keterampilan komunikasi non-seksual bagi masing-masing pasangan.

2.4 Berbagai Gangguan Perilaku Ditinjau dari Faktor Psikososial

2.3.1 Gangguan afektif

Gangguan afektif merupakan gangguan pada afeksi atau suasana hati (mood).
Orang yang terganggu ini dapat mengalami depresi atau manik yang parah atau yang
dapat berganti-ganti antara saat-saat depresi atau saat-saat manik. Pendekatan mengenai
gangguan afektif ditinjau dari teori belajar lebih memusatkan perhatian pada apa yang
sedang terjadi sekarang, terhadap hidup seseorang ketimbang pengalaman masa lalunya.
Di dalam teori belajar, terdapat dua pendekatan utama yang menyebabkan depresi.
Pendekatan pertama menekankan penguatan; yang lainya faktor kognitif.

Pendekatan penguatan (reinforcement approach) didasarkan pada asumsi bahwa


orang akan mengalami depresi jika lingkungan sosialnya sedikit sekali memberi
penguatan positif. Banyak peristiwa yang menyebabkan depresi, seperti kematian orang
yang disayangi, kesehatan yang rapuh, yang pada akhirnya menyebabkan pengurangan
penguatan.

Model depresi pengurangan penguatan


Depresi

Tingkat penguatan positif yang render.

Beberapa peristiwa yang


secara potensial memperkuat
yang berhubungan dengan ciri-ciri pribadi.

Sedikit penguatan yang ada pada lingkungan.

Perilaku dan keterampilan individu yang tidak begitu efektif.

Penguatan sosial untuk depresi.

Apabila orang mengalami depresi dan tidak aktif, sumber penguatan utama mereka
adalah simpati dan perhatian yang mereka terima dari keluarga dan teman-teman.
Perhatian ini pada mulanya menguatkan perilaku maladaptif (menangis, mengeluh,
membicarakan tentang bunuh diri). Tetapi karena berada di sekitar seseorang yang selalu
gundah sangat menjemukan, perilaku orang depresi akhirnya terasing dari teman-teman
dekat sekalipun; hal ini menyebabkan lebih berkurangnya penguatan dan meningkatkan
isolasi sosial dan kesedihan seseorang. Intinya tingkat penguatan positif yang rendah
makin mengurangi kegiatan individu dan ekspresi perilaku yang dapat dikuatkan.
2.3.2 Skisofrenia
Skisofrenia merupakan nama yang diberikan pada beberapa gangguan yang
ditandai dengan parahnya kekacauan kepribadian, distorsi realita, dan ketidakmampuan
untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Kadang-kadang gangguan ini berkembang
secara lamban sebagai proses yang sedikit demi sedikit meningkatkan perilaku
mengasingkan diri dan perilaku yang tidak wajar. Dilain hal skisofrenia terjadi secara
tiba-tiba, ditandai dengan adanya kerancuan yang intens dan kekacauan emosi; kasus-
kasus semacam ini biasanya timbul dengan segera yang disebabkan oleh adanya saat-saat
stres pada seseorang yang hidupnya cenderung menyendiri, suka bekerja sendiri, dan
merasa tidak aman.
Untuk memahami gangguan skisofrenia dapat ditinjau dari beberapa faktor, yang
diantaranya faktor sosial dan psikologis.
Penelitian tentang peran faktor sosial-psikologis sebagai sebab timbulnya
skisofrenia berfokus pada hubungan orangtua-anak dan pola komunikasi dalam keluarga.
Penelitian keluarga penderita skisofrenia mengidentifikasikan dua macam hubungan
keluarga yang tampaknya dapat menyebabkan gangguan tersebut. Pertama orangtua
sangat menarik batas dan tidak mau bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama;
masing-masing tidak menghargai dan mencoba mendominasi yang lain serta berlomba
memperoleh kesetiaan anak. Yang kedua, tidak terdapat perselisihan yang terbuka;
orangtua yang dominan menunjukan psikopatologi yang serius sehingga orangtua yang
satunya secara pasif menerima sebagai normal. kedua macam keluarga di atas
menggambarkan orangtua yang aneh, tidak dewasa, dan yang memanfaatkan anaknya
untuk memenuhi kebutuhan mereka dan dapat dengan mudah menyebabkan anak-anak
merasa bingung, terasing dan tidak yakin akan perasaan orang yang sebenarnya. Dalam
arti tertentu, anak akan tumbuh dan belajar menerima distorsi-distorsi realita orangtuanya
sebagai hal yang normal.
Pengamatan interaksi pada keluarga skisofrenik menunjukan bahwa masalah-
masalah dalam komunikasi merupakan bagian penting dari penyimpangan orangtua.
Mereka seringkali tidak dapat memusatkan perhatianya dan mengkomunikasikan pesan
yang bertalian secara logis kepada pendengarnya.

2.4.3 Gangguan kecemasan


Kecemasan dianggap abnormal jika terjadi dalam situasi yang oleh kebanyakan
orang dapat diatasi dengan mudah. Gangguan kecemasan mencakup sekelompok
gangguan, dimana rasa cemas merupakan gejala utama (kecemasan merata dan gangguan
panik) atau kecemasan dialami jika individu berupaya mengendalikan perilaku
maladaptif tertentu (gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan fobia).

Menurut teori belajar sosial, kecemasan lebih ditimbulkan oleh peristiwa eksternal
tertentu ketimbang oleh konflik internal. Seorang yang menderita kecemasan merata
merasa bahwa dia tidak dapat mengendalikan situasi kehidupan yang bermacam-macam
sehingga perasaan kecemasan hampir selalu ada. Fobia dianggap sebagai respon
penghindaran yang dapat dipelajari secara langsung (melalui pengalaman yang
menakutkan) atau secara tidak langsung dengan mengamati respon yang menakutkan
pada orang lain. Perilaku obsesif-kompulsif tetap ada karena hal ini dikaitkan dengan
pengurangan kecemasan. Misalnya, seorang yang terganggu oleh pikiran takut pada
kuman atau penularan penyakit dapat beranggapan bahwa mencuci tangan sedikit-sedikit
akan melegakan rasa takutnya. Oleh karena itu, cuci tangan dapat diasosiasikan dengan
pengurangan kecemasan dan sedikit demi sedikit menjadi respon yang ritual jika orang
tersebut merasa cemas.

Bab III

Penutup

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Daftar Pustaka

Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E., dan Bem, D.J. t.t. Pengantar Psikologi, Edisi
Kesebelas, Jilid 2. Interaksara. Batam.

Baihaqi, MIF., Sunardi, Akhlan, R.N.R., Heryati, E. 2005. Psikitari (Konsep Dasar dan
Gangguan-gangguan). PT. Refika Aditama. Bandung.
Fausiah, Fitri & Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. UI Press :
Jakarta.

Feldman, Robert S. 1992. Elements of Psychology, International Edition. McGraw-Hill,


Inc. United States of America.

Feldman, Robert S. 2003. Essential of Understanding Psychology, Fifth Edition.


McGraw-Hill, Inc. New York.

Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Erlangga : Jakarta.

You might also like