You are on page 1of 5

MAKALAH AGRIBISNIS NON PANGAN

MK. AGRIBISNIS NON PANGAN


“Analisis Kelayakan Bisnis Komoditas Sorgum Sebagai Energi Alternatif dalam
Aspek Produksi, Keuangan, Manajemen, dan Sosial Budaya”

Oleh :
Kelompok 16
Novan Mushaf Rivai (G44080031), Syifa Maulia (H34080024), Mariana Pitta
(H34080068), Alvino Maryandani (H34080087), Dwi Endah Wahyuni (H34080154)

Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,


Institut Pertanian Bogor
2010

Dosen Praktikum : : Nilai


Hari/Tanggal : : Sabtu, 5 Mei 2010
Ruang : : RK. 4 AGB 202
:

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sorgum merupakan komoditas biji-bijian penting keempat setelah
gandum, padi dan jagung. Komoditas sorgum berasal dari benua afrika. Di sini
sorgum dikenal dengan nama surgo, millet, durra dan kafir dengan varietas
cokelat (merah) dan putih.  Komoditas ini mulai mendunia  sejak akhir tahun
1980an. Belanda membawa sorgum ke Indonesia tahun 1925. Di Jawa, sorgum
dikenal dengan nama cantel, otek dan jagung cantrik. Meskipun sudah masuk ke
Indonesia sejak jaman pemerintah kolonial, namun sorgum baru mulai
berkembang baik sekitar tahun 1970an. Sebab, ketika tahun 1960an Indonesia
kekurangan pangan (beras), maka pemerintah mulai agak serius
mengembangkan komoditas ini. Hasilnya baru bisa kelihatan sekitar tahun
1970an, dengan dikenalnya varietas-varietas unggul. Baik yang berkulit cokelat
maupun putih.
Sorgum  (Sorghum bicolor, Andropogon sorghum, Holchus sorghum, dan
Sorghum vulgare) termasuk keluarga rumput-rumputan seperti halnya padi,
jagung, gandum dan tebu. Batang sorgum beruas-ruas mirip tebu, namun
berukuran lebih kecil dengan diameter 2 cm. Tinggi tanaman varietas lama,
bisa mencapai 2,5 m. Namun varietas-varietas baru yang lebih unggul, hanya
bisa setinggi 1,5m. Daun sorgum berbentuk pita, mirip dengan daun jagung
maupun daun tebu. Malai tumbuh pada ujung tanaman seperti halnya padi. Biji
sorgum juga terdapat dalam kulit biji yang keras (sekam), lebih keras dari
sekam padi. Sorgum bisa dibudidayakan di kawasan beriklim tropis, munson,
sabana, gurun sampai ke kawasan sub tropis.
Biasanya sorgum ini diolah menjadi tepung untuk pembuatan roti, kue,
dan bubur. Di Indonesia, sorgum dimasak untuk campuran beras, atau dikukus
sebagai nasi sorgum. Potensi sorgum untuk industri pakan ternak (pengganti
jagung) juga cukup tinggi. Dalam industri playwood dan kertas, sorgum
berpotensi menggantikan terigu sebagai bahan perekat (lem). Namun selama ini
penggunaan sorgum yang paling banyak adalah untuk industri minuman. Baik
minuman tak beralkohol (softdrink), beralkohol rendah (bir) maupun beralkohol
tinggi (wisky/arak).

I.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah menganalisis kelayakan bisnis dari
komoditas sorgum dan memenuhi tugas mata kulih agribisnis non pangan.

I.3 Manfaat Penulisan


 Secara teoritis, dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong
studi kelayakan bisnis agribisnis non pangan, khususnya yang terkait
dengan komoditas sorgum.
 Secara praktis dapat memberikan pemahaman yang berarti bagi
mahasiswa pertanian, khususnya dalam memahami kegunaan, prospek,
seta kelayakan bisnis dari komoditas sorgum.

PEMBAHASAN
II.1 Aspek Teknik Produksi
Sorgum bisa dibudidayakan di kawasan beriklim tropis, munson, sabana,
gurun sampai ke kawasan sub tropis. Di Indonesia, sorgum bisa dikembangkan
mulai dari dataran rendah sampai dengan ketinggian sekitar 700 m. dpl. Salah
satu kelebihan sorgum dibanding dengan padi dan jagung adalah, ia tahan
kekeringan. Hingga komoditas ini cocok untuk dikembangkan di kawasan
pantura Jabar/Jateng, Jatim, Bali Utara, NTB, NTT dan Sulsel serta Sultra.
Kawasan-kawasan tersebut selama ini dikenal dengan iklimnya  yang sangat
kering.
Tanaman sorgum memiliki potensi yang hampir semua komponen
biomasa dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri. Industri yang
utamanya adalah industri bioetanol, dalam proposal ini kapasitas produksi yang
diusulkan adalah 1,000 liter/hari atau 324.000 liter/tahun.
Bahan baku yang digunakan adalah nira dari batang sorgum.
Produktifitas rata-rata batang tanaman sorgum berkisar antara 30 – 50
ton/hektar, biji 4 – 5 ton /hektar dan daun 20 – 40 ton/hektar. Sedangkan
untuk pembuatan 1 liter bioetanol membutuhkan 22 – 25 kg batang sorgum.
Pada umur 2 – 3 bulan dilakukan pengletekan daun (defoliasi) dengan
menyisakan 7 – 10 daun segar pada setiap batangnya. Panen batang dilakukan
pada saat kemasakan optimal, pada umumnya terjadi pada umur 16 – 18 minggu
(112 – 126 hari), sedangkan biji umumnya matang pada umur 90 – 100 hari. Oleh
karena itu biji dipanen terlebih dahulu. Luas kebun sorgum yang dibutuhkan
untuk mendukung pasokan bahan baku secara kontinyu adalah seluas 98,8
hektar.
Keberadaan kebun sorgum tersebut selain dapat mendukung pasokkan
bahan baku pabrik bioetanol yang berupa batang sorgum juga dapat mendukung
industri yang lainnya. Biji sorgum yang dihasilkan diproses jadi tepung sorgum
yang dapat dimanfaatkan untuk subtitusi gandum pada industri mie atau
makanan lainnya. Daun dan ampas tepung sorgum yang berupa dedak atau
menir dapat diolah sebagai pakan ternak untuk penggemukan sapi. Pakan
ternak tersebut cukup untuk memelihara 352 ekor/4 bulan atau 1.056
ekor/tahun. Ampas batang sorgum (baggase) seratnya dapat dijadikan sebagai
bahan baku pulp pada pabrik kertas.

Gambar 2. Skema AgroIndusti Bioetanol berbasis sorgum yang dikelola


secara terpadu dan berkelanjutan

Kendala utama pengembagan sorgum di masyarakat adalah, sulitnya


mengolah malai dan gabah menjadi "beras sorgum". Upaya perontokan dan
penumbukan secara tradisional, maupun dengan mesin penggiling padi,
menghasilkan beras sorgum yang masih belum bersih dari kulit. Akibatnya,
apabila dilakukan penepungan, kulit biji akan terikut. Mutu tepung demikian
sangat jelek karena kalau dimasak akan menghasilkan rasa pahit atau sepet
akibat masih terikutnya zat tanin pada kulit biji. Akhir-akhir ini sudah
ditemukan varietas sorgum yang kulit bijinya mudah mengelupas, selain telah
ditemukan pula teknologi penyosohan hingga bisa diperoleh mutu beras sorgum 
yang lebih baik. Salah satu teknik penyosohan yang sekarang banyak digunakan
petani adalah abrasive mill, yakni alat penyosoh biasa, namun silindernya
berupa gerinda. Dengan teknik ini kulit ari biji sorgum yang terkenal keras dan
kuat dapan dikikis hingga bisa diperoleh beras sorgum yang benr-benar bersih.
Agar waktu proses penggilingan biji sorgum tidak hancur, maka tingkat
kekeringan biji harus mencapai kadar air antara 10 sampai 12 %. Pada beras dan
jagung, kadar air ini cukup antara 14 sampai 15 %.

II.2 Aspek Manajemen

II.3 Aspek Keuangan


Sorgum yang dikembangkan di Indonesia, umumnya tipe biji untuk bahan
pangan manusia. Bukan untuk pakan ternak dan lem maupun untuk industri
minuman. Sorgum biji sebagai bahan pangan manusia, masih bisa dibedakan
menjadi tipe beras biasa (non waxy) dan tipe ketan (waxy). Dua tipe ini sama-
sama dikembangkan masyarakat untuk tujuan bahan pangan. Pengembangan
sorgum biji untuk bahan pangan ini, di satu pihak sangat positif sebab
masyarakat telah mampu mengatasi ketergantungan mereka terhadap beras
dan gandum (berupa mie dan roti). Namun di lain pihak, penanaman sorgum
biji untuk bahan pangan ini cenderung memperkokoh pola pertanian subsisten.
Artinya, para petani membudidayakan satu komoditas, karena mampu
mengkonsumsi sendiri komoditas tersebut. Hingga hasil rata-rata hanya 1 ton
per hektar per musim tanam seperti yang selama ini mereka alami pun, mereka
terima dengan wajar. Padahal, dengan harga biji sorgum (gabah) di bawah
harga jagung pipil, dengan hasil 1 ton per hektar per musim tanam, dengan
biaya olah tanah dll. yang mirip dengan jagung, maka petani sangat dirugikan.
Sebab biaya olah lahan, benih, penanaman, pemanenan dan perontokan, pasti
sudah di atas Rp 1.000.000,- per hektar per musim tanam. Dengan harga gabah
sorgum sama dengan jagung pipil Rp 800,- per kg. pun, pendapatan kotor
petani dari 1 ton hasil hanyalah Rp 800.000,- Hingga sebenarnya petani
mengalami kerugian paling sedikit Rp 200.000,- per hektar per musim tanam.
Dari data tersebut, dapat dilihat secara finansial sebenarnya mereka
tidak mengalami kerugian apapun. Benih merupakan hasil panen terdahulu,
tenaga kerja merupakan tenaga mereka sendiri dan hasilnya pun mereka
konsumsi sendiri, minimal dipasarkan di lingkungan dekat mereka. Padahal,
pola pengadaan pangan demikian secara ekonomis merugikan para petani
tersebut, juga merugikan perekonomian nasional. Sebab dengan pola budidaya
yang ada, dengan perubahan benih dan tambahan modal untuk pupuk, para
petani tersebut dapat menghasilkan biji sorgum untuk substitusi gandum,
industri pakan ternak, lem dan industri minuman.
Dengan segala kelebihan di atas, penggunaan bioetanol agaknya kian
mendesak. Bukan hanya karena industri itu menjadi lokomotif pengembangan
ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, juga lantaran harga
minyak bumi yang diperkirakan melambung hingga US$100 per barel (1 barel =
117,35 liter) pada tahun mendatang. Itulah sebabnya, Johan Bukit produsen
bioetanol memperkirakan, ‘Siapa pun presiden terpilih, pada 2009 sulit
mempertahankan subsidi bahan bakar’.
Kondisi itu mendorong banyak investor membenamkan modal untuk
membangun kilang hijau alias energi terbarukan. Johan Arnold Manonutu,
misalnya, menjalin kemitraan dengan masyarakat Minahasa Selatan, Sulawesi
Utara. Anak tunggal mantan Menteri Penerangan zaman Bung Karno itu
menggelontorkan dana jutaan rupiah untuk membeli 5 unit mesin produksi
bioetanol berkapasitas masing-masing 200 l/hari.
Mesin-mesin itu ‘dipinjamkan’ kepada warga Desa Menara, Kecamatan
Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan. Satu unit mesin dikelola 3 orang.
Johan menampung hasil produksi mereka yang mencapai 1.000 liter sehari,
dengan harga Rp6.000 per liter. ‘Harga itu jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan harga cap tikus yang hanya Rp300 per liter,’ ujarnya. Cap tikus yang ia
maksud adalah sulingan nira aren berkadar etanol 35% yang lazim digunakan
untuk bahan minuman keras. Johan memasarkan etanol itu ke beberapa
rumahsakit untuk sterilisasi. Dengan harga jual Rp16.000-Rp17.000 per liter,
omzetnya Rp16-juta-Rp17-juta per hari. Edy Darmawan dari PT Indo Acidatama
berencana membangun pabrik pengolahan berkapasitas 50-juta liter per tahun
di Lampung. Begitu juga Sugar Group Company (SGC), pemilik 3 pabrik gula
raksasa yang mendirikan pabrik berkapasitas sama di Lampung Tengah. Mereka
mengendus peluang besar dengan membangun kilang hijau yang ramah
lingkungan.
ANALISA EKONOMI
Harga Pokok Produksi
Bioetanol : Rp 3.560/ltr
Harga Jual
Bioetanol : Rp 6.000/ltr

Revenu / Cost Ratio (R/C) 1,69


Internal Rate of Return (IRR) 27%
Pay Back Periode (PBP) 3,04 tahun

II.4 Aspek Sosial Budaya

You might also like