You are on page 1of 116

Vol. 18/XXII/November 2010 io.ppijepang.

org

PPI JEPANG
ISSN 2085-871X

KECERDASAN SOLUSI HIDUP

Manajemen Bencana

Tsunami Mentawai Banjir Khusus


Analisis Kejadian dan Proses, Karakteristik dan Sepuluh Esai Terbaik
Proyeksi Kesiapsiagaan Upaya Mengatasinya Kompetisi Esai PPIJ 2010
6 14 86
Vol. 18/XXII/November 2010

Editori@l
Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam 1
Cahyo Budiman (Editor)

Topik Utama
Tsunami Mentawai 2010: Analisis Kejadian dan Proyeksi Kesiapsiagaan di Masa 6
Depan
Abdul Muhari, Fumihiko Imamura, Subandono Diposaptono

Banjir: Proses, Karakteristik,


Karakteristik, dan Upaya Mengatasinya 14
Mohammad Farid

Two-
Two-dimensional Cellular Automata Approach for Disaster Spreading 19
Ahmad Basuki, Kohei Arai

Cellular Automata for Micro Traffic Modeling and Simulation 27


Tri Harsono,
Harsono Kohei Arai

Stres dan Penyakit Kardiovaskuler pada Korban Bencana Alam: Insiden, 35


Patofisiologi, dan Penanganan
Udin Bahrudin, Sulistiyati B. Utami

Nasional
Effects of Land Use Planning in PERPRES 54/2008 on River Discharges 44
Miga Magenika Julian, Fumihiko Nishio, Poerbandono, Philip J. Ward

Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha 49


Mustamin Rahim

Iptek dan Inovasi


Internet-
Internet-based Lecture on Satellite Imagery Processing and Geographic 57
Information System using Open Source Softwares
Fatwa Ramdani

Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa untuk Pengeringan Rosela 61


(Hibiscus sabdariffa)
Dyah Wulandani,
Wulanda Leopold Oscar Nelwan, I Made Dewa Subrata, Edi Sutoyo,
Guyup Mahardhika
Mahard

Kesehatan
Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati: Menuju Pengobatan Regeneratif 67
Liver yang Efektif
Gana
na Adyaksa

Catatan Riset
Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium pada Bahan Bakar 75
Bekas Reaktor Berpendingin Air Ringan (LWR)
Sidik Permana,
Permana Azizul Khakim, Deby Mardiansyah
Determination of Arsenic in Coal Fly Ash by Graphite Furnace atomic Absorption 82
Spectroscopy for Direct Solid Sampling System
Sri Hastuti,
Hastuti Shinji Kambara

Khusus: 10 Esai Terbaik PPIJ


A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and Societal Demands 86
Arief Yudhanto | First Prize

Improvement of Waste Management in Indonesia 89


Bayu Prabowo | Second Prize

Towards Knowledge-
Knowledge-Driven Nation: An Open Letter to Minister of Research and 92
Technology of Indonesia
Radyum Ikono | Third Prize

Small, Blue and Beautiful:


Beautiful: A Dream for A Better Indonesia without Endangering 94
the Environment
Himawan Tri Bayu Murti P.

Dealing with the Obstacles in Establishing a Good Participatory Development in 96


Indonesia
Novri Susan

Entrepreneurship for Better Indonesia 98


Batari Saraswati

Innovate or Pirate: Enforcing Intellectual Property Rights among Uncertain 100


Worlds,
Worlds, Case Study of Indonesia
Lutfah Ariana

Can the Economy Grow without Hampering the Environment? 102


Ibnu Susanto

Waste Management and Waste-


Waste-to-
to-Energy:
Energy: Priorities to Overcome Sanitary 105
Problems in Indonesia
Aretha Aprilia

Towards a Country without Unemployment: The Role of Entrepreneurship 107


Mukhamad Najib

Redaksi
Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi 109

Dewan Editor Inovasi 112


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 EDITORIAL

Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam


Cahyo Budiman
Editor Inovasi Online

Tiga bencana besar menerpa negara kita dalam interval waktu yang relatif pendek. Mulai dari
Wasior yang disapu bersih banjir bandang di awal Oktober 2010. Tidak kurang dari 100 orang
1
dinyatakan meninggal dan hampir 500 orang hingga kini dinyatakan hilang terseret banjir.
Belum selesai kisah Wasior, perhatian kita dipaksa dialihkan ke sisi barat negeri ini: Mentawai.
Tsunami yang dipicu gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter (SR) meluluh-lantakkan pulau kecil
ini di malam 25 Oktober 2010. Lebih dari 400 orang dinyatakan tewas dan 500 orang sampai
2
sekarang belum diketahui keberadannya.

Selesai? Rupanya belum!

Gunung Merapi yang terkenal paling aktif di Indonesia pun tidak mau ketinggalan “bermain-
main”. Erupsi (pertama) terjadi hanya berselang sehari pasca bencana di Mentawai disusul
kemudian erupsi terbesar sepanjang 100 tahun terakhir di awal November 2010.3 Hampir 500
penduduk di sekitar Merapi tewas akibat bencana ini, belum lagi kerugian materi lainnya yang
jumlahnya tentu sangatlah besar. Desa-desa di punggung Merapi yang porak poranda diterjang
awan panas (wedhus gembel) dan berselimut debu vulkanik laksana kota hantu dalam film-film
horor (Gambar 1). Sungguh satu potret yang begitu mengerikan dan menyedihkan.

Gambar 1. Suasana desa di kaki gunung Merapi (foto oleh Fikri Muftih Akbar, Jakarta)

Rentetan bencana di atas setidaknya makin menyodorkan tumpukan bukti kepada kita bahwa
4
Indonesia termasuk negara (paling) rawan bencana alam. Lokasinya yang dikepung oleh
lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik membuat Indonesia menjadi sasaran empuk bagi
bencana gempa bumi berikut “bonusnya”, gelombang tsunami.5 Kondisi ini diperparah dengan
posisi Indonesia yang berada di jalur The Pacific Ring of Fire (cincin api pasifik) yang terkenal
sebagai jalur rangkaian gunung api paling aktif di dunia. Tidak kurang dari 240 buah gunung
berapi berada di Indonesia dimana 70 diantaranya terkategori aktif dan siap menebar bahaya
6
kapanpun bagi masyarakat sekitarnya.

Kondisi faktual ini setidaknya membangun kesadaran kolektif bangsa ini tentang perlunya
sebuah manajemen penanganan bencana yang apik untuk mengurangi jumlah korban yang
jatuh saat bencana itu datang. Di titik inilah, peranan ilmu pengetahuan menjadi penting dalam
membangun landasan logis penyusunan manajemen bencana alam di negeri kita (scientific-
based disaster management). Relasi ilmu pengetahuan dan bencana alam inilah yang
kemudian menjadi sebuah catatan tersendiri yang perlu kita renungkan sebagai bagian dari
solusi hujan bencana di Indonesia. Karena tidak bisa dipungkiri, ilmu pengetahuan punya
peranan vital dalam memprediksi, menanggulangi dan merehabilitasi wilayah yang terkena
bencana alam.

Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 1
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 EDITORIAL

Menyadari posisi vital ilmu pengetahuan tersebut, “Manajemen Bencana” menjadi tema yang
diusung Inovasi Online edisi ke-18 ini. Kajian bencana alam yang terjadi di Indonesia secara
ilmiah diulas oleh beberapa penulis dalam edisi ini dirangkai dengan ide-ide bernas mereka
dalam upaya menanggulangi bencana serupa di masa mendatang. Edisi ini diharapkan menjadi
bagian dari proses desiminasi kajian dan ide-ide tersebut yang penting dalam upaya menata
ulang kembali relasi ilmu pengetahuan dan bencana alam.

Sorotan relasi kedua hal ini menjadi penting karena adanya kendala di berbagai titik. Rentetan
peristiwa bencana alam yang baru saja menimpa negeri ini sangat jelas menunjukkan kendala-
kendala tersebut. Setidaknya, ada dua kendala besar yang perlu dibenahi bersama dalam
menata ulang relasi ilmu pengetahuan dan bencana alam.

Pertama, relasi antara local dan expert knowledge. Local knowledge merupakan pengetahuan
yang melekat di masyarakat sekitar lokasi bencana yang terbangun atas dasar pengalaman
mereka. Ini yang disebut oleh Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, dengan “niteni”.
Sebaliknya, expert knowledge dibangun atas dasar serangkaian aktivitas riset yang dilakukan
oleh para pakar (ilmuwan). Relasi ideal keduanya tentu saja seharusnya simetris, dimana local
knowledge bisa menjadi referensi bagi para pakar untuk menyimpulkan kondisi dan
penanganan suatu bencana, begitupun sebaliknya. Resultan antara local dan expert knowledge
inilah yang kemudian bisa dijadikan pijakan penyusunan manajemen bencana alam di
Indonesia.

Sayangnya, dari rentetan bencana alam yang baru saja terjadi di negara kita sangat terang-
benderang menunjukkan bahwa hubungan keduanya berada pada posisi asimetris.
Meninggalnya (sekitar) 26 orang di Cangkringan, Yogyakarta pada saat gelombang pertama
7
dari erupsi Merapi tidak bisa dipungkiri merupakan bukti hubungan asimetris tersebut.
Masyarakat lebih cenderung mempercayai local knowledge mereka sendiri, dan
membenturkannya dengan argumen ilmiah dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
(PVMBG) tentang zona aman wilayah disekitar Merapi.

Hal serupa terjadi ketika gelombang tsunami menerpa Mentawai, bahkan dalam kondisi yang
lebih parah. Local knowledge masyarakat Mentawai tidak memadai untuk bisa mendeteksi dan
mengenali gejala alam menjelang tsunami menerjang. Hal ini diperparah dengan kurangnya
expert knowledge yang bisa memprediksi tsunami itu terjadi secara presisi. Bahkan beredar
kabar tentang kegagalan sistem peringatan dini gelombang tsunami (Tsunami Early Warning
System/TWES) di sekitar Mentawai yang vital dalam memberikan peringatan dini bagi
masyarakat setempat tentang bahaya Mentawai.8

Artikel Abdul Muhari dalam Inovasi Online edisi ke-18 ini secara lugas membahas ketimpangan
9
dua “knowledge” tersebut. Tulisan itu mengingatkan bahwa berharap semata hanya pada
kearifan lokal atau local knowledge masyarakat Mentawai bukan hal yang tepat. Sebaliknya,
mengandalkan keakuratan sistem peringatan dini tsunami juga hal yang sangat beresiko karena
waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan peringatan sampai pada perintah evakuasi akan
memakan waktu lebih banyak ketimbang waktu yang tersisa untuk evakuasi itu sendiri.
Diperlukan suatu sistem yang memadukan keduanya, dimana kebiasaan merespon gejala
tsunami terus digalakkan dengan (misalnya) berlari ke tempat tinggi, sementara di lain pihak
perlu terus dilakukan peningkatan efisiensi peringatan dini tsunami. Ini satu contoh saja
bagaimana mensimetriskan hubungan antara local dan expert knowledges dalam
penanggulangan bencana alam.

Sejatinya bukan sekedar edisi kali ini saja Inovasi Online mengangkat kajian ilmiah tentang
bencana tsunami di Indonesia dalam kerangka mengembangkan expert knowledge bagi
penanganan bencana di masa mendatang. Tulisan Sudarmono di Edisi ke-3, Maret 2005 (3
bulan pasca gempa dan tsunami besar di Nanggroe Aceh Darusalam dan sekitarnya)
membangun kesadaran kita tentang pentingnya hutan bakau (mangrove) atau tumbuhan pantai
10
lainnya yang bisa menjadi ‘benteng’ alami di wilayah-wilayah rawan tsunami. Faktanya
memang, local knowledge masyarakat pantai belum sepenuhnya menyadari potensi besar

Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 2
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 EDITORIAL

tanaman tersebut dalam menyelamatkan jiwa penduduk sekitar. Di Edisi yang sama, secara
komprehensif, Sutowijoyo menuliskan rangkaian sistem terpadu dalam menanggulangi bencana
tsunami (tsunami prevention system) yang terdiri dari: peramalan, peringatan, evakuasi,
pendidikan masyarakat, latihan, kebiasaan untuk selalu waspada terhadap bencana dan
kesigapan pasca bencana.11

Sistem yang komprehensif ini tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ditopang dengan pola
koordinasi yang tertara rapi. Dan harus diakui, “koordinasi” adalah masalah krusial yang tidak
bisa dilepaskan dalam manajemen penanganan bencana di Indonesia. Bukankah Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dibangun karena kesadaran lemahnya koordinasi
dan kompleksnya birokrasi antar unit terkait dalam pengembangan bencana alam? Dalam
konteks ini, tidak bisa dipungkiri, Jepang adalah negara yang patut kita tiru. Disinilah tulisan
Dahlan Nariman dalam edisi yang sama menjadi sangat menarik ketika memaparkan dengan
begitu gamblang pengembangan sistem informasi peringatan bahaya tsunami yang dibangun
12
oleh Pemerintah Jepang. Sistem tersebut menjadi penting karena merupakan “motor” bagi
berjalannya koordinasi antar instansi terkait dalam proses penanggulangan bencana.

Dalam konteks banjir, artikel Ahmad Basuki di edisi ini menyodorkan teknik prediksi penyebaran
suatu bencana banjir dan memetakan daerah berbahaya yang penting dalam proses evakuasi
dan penanggulangan bencana tersebut.13 Hal ini dilengkapi dengan tulisan Muhammad Farid
dari Disaster Control Research Centre, Tohoku University dengan menyodorkan usaha-usaha
yang diperlukan dalam proses mitigasi bencana baik yang bersifat struktural maupun non
14
struktural.

Dalam medan tertentu, banjir dan longsor menjadi ‘bencana kembar’ yang kerap datang secara
bersamaan. Bencana banjir dan longsor di berbagai daerah di tanah air April 2010 lalu
membuktikan kekejaman “dwi tunggal” itu yang tidak hanya menelan kerugian materi tapi juga
15
menyebabkan banyaknya korban jiwa melayang. Local knowledge masyarakat setempat tentu
tidak sepenuhnya seragam dalam menyikapi bencana tersebut, apalagi dinamika cuaca yang
begitu fluktuatif menyebabkan perlunya penyesuaian local knowledge mereka. Daerah yang
dulu mereka anggap aman, belum tentu saat ini bebas dari terjangan banjir. Pun, batasan-
batasan pembukaan lahan atau hutan yang saat ini (jangan-jangan) hanya mematok pada
standar “asumsi” saja, perlu digeser dengan memadukan expert knowledge yang saat ini terus
dikembangkan. Inovasi Online edisi ke-8, November 2006 pernah mengupas bencana longsor
ini lewat tulisan Agus Setyawan yang mengingatkan kita bahwa Indonesia “berbakat” untuk
terkena longsor karena kondisi alamnya yang begitu menunjang. Untuk itu, perlu ada
pendampingan untuk mengembangkan local knowledge masyarakat setempat dalam mengenai
tipologi lereng yang rawan longsor, gejala awal longsor, serta upaya antisipasi dini yang harus
dilakukan. Expert knowledge kemudian menyempurnakannya lewat manajemen mitigasi
gerakan tanah, baik skala lokal maupun regional melalui pengembangan teknologi informasi
16
yang baik.

Tulisan-tulisan tersebut setidaknya merepresentasikan sebagian dari akumulasi expert


knowledge dalam penanganan bencana alam di negara kita. Tinggal kemudian
mensinkronisasikannya dengan local knowledge yang ada di masyarakat sekitar sehingga
korban yang berjatuhan saat bencana menerjang bisa kita reduksi seminimal mungkin.

Kedua, political willingness dalam membangun scientific-based disaster management. Tidak


bisa dipungkiri bahwa otoritas politik merupakan penentu akhir bagaimana sebuah manajemen
bencana dibangun dan dilaksanakan. Disinilah posisi ilmu pengetahuan terhadap bencana
alam ditentukan pada akhirnya. Sayangnya, dari fakta yang terlihat ilmu pengetahuan belum
sepenuhnya digunakan dalam penyusunan manajemen bencana alam. Tindakan reaktif lebih
kentara terlihat pada saat bencana tersebut muncul.

Kita bisa menarik contoh dari kasus pengadaan dan pemanfaatan peta rawan bencana di
berbagai daerah. Kompas edisi 19 November 2010 menyebutkan banyak sekali pemerintah

Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 3
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 EDITORIAL

daerah di lokasi rawan bencana yang mengabaikan peta rawan bencana.17 Padahal tentu saja
peta tersebut disusun oleh para pakar yang diarahkan untuk mereduksi jumlah korban yang
berjatuhan. Pengabaian peta ini jelas berimplikasi pada banyaknya korban jiwa yang jatuh
akibat bencana alam. Urgensi penggunaan dan membudayakan peta rawan bencana ini juga
disampaikan oleh I Made Andi Arsana, staf Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada.18 Dalam
konteks erupsi Merapi, beliau menuturkan bahwa peta menjadi sangat krusial karena
memberikan panduan tentang jarak aman dari amukan lahar dan awan panas. Dalam kondisi
seperti itu tentu saja jarak menjadi penting untuk bisa diukur secara tepat, bukan sekedar
diperkirakan. Dalam konteks yang lebih luas, peta pun bisa menentukan kebijakan pemegang
kekuasaan untuk menetukan wilayah yang perlu dievakuasi dan wilayah yang bisa dijadikan
tempat penampungan pengungsi.

Abainya otoritas politik dalam memperhatikan ilmu pengetahuan juga terlihat dalam penyikapan
hasil analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Bencana banjir yang melanda baik di
Jakarta, Wasior, atau bahkan di daerah lainnya tidak lepas dari adanya “pelanggaran” terhadap
batas-batas keseimbangan lingkungan di daerah tersebut. Banjir yang tiba-tiba menerjang
Wasior tidak bisa hanya menempatkan fakor cuaca sebagai penyebab utama saja. Perlu diakui
bahwa eksplorasi alam di daerah tersebut pun bisa jadi merupakan pemicu dari bencana yang
telah menewaskan ratusan orang tersebut.

Perlu upaya yang serius dalam melaksanakan secara konsisten atau bahkan mengkaji ulang
hasil AMDAL dalam pengembangan suatu wilayah atau eksplorasi sumber daya alam di suatu
wilayah tertentu. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kalimantan Tengah dalam
mengkaji ulang AMDAL usaha perkebunan sawit tahun 2008, yang ditengarai merusak wilayah
resapan air di wilayah tersebut, perlu kita apresiasi.19

Dengan kemauan politik yang kuat dalam mengedepankan ilmu pengetahuan sebagai pondasi
penyusunan manajemen bencana alam, maka pemerintah pun perlu secara konsisten
mendukung berbagai aktivitas riset terkait termasuk melengkapi dan merevitalisasi segala
instrumen yang dibutuhkan di dalamnya. Kegagalan sistem peringatan dini gelombang tsunami
di Mentawai perlu menjadi catatan penting dalam upaya revitalisasi berbagai instrumen mitigasi
bencana alam karena menyangkut nyawa masyarakat banyak di negeri ini.

Kita tentu tepat bersyukur dengan lahirnya Undang-undang No 24/2007 tentang


Penanggulangan Bencana (UUPB) bisa tersusun dan disahkan sebagai bagian instrumen
politik dalam manajemen penanggulangan bencana alam. Meski begitu lambat (3 tahun pasca
tsunami Aceh, atau hampir setahun pasca bencana gempa Yogyakarta), tapi perlu kita
apresiasi itikad baik otoritas politik negeri kita. Tapi tentu saja, hal ini belumlah cukup mengingat
kompleksitas bencana alam di Indonesia. Inovasi Online secara tegas menyoroti hal ini lewat
tulisan Heru Susetyo di Inovasi Online edisi 8, November 2006 lalu.20 Berkaca pada Pemerintah
Jepang yang begitu tanggap dan waspada lewat “berlapisnya” kebijakan penanggulangan
bencana alam yang mereka bentuk, tentu saja Indonesia masih jauh tertinggal. Indonesia perlu
membangun kebijakan berlapis yang serupa, mulai dari mengamandemen undang-undang
terkait di sektor lain (kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan, sumber daya air, dan lain-
lain), supaya selaras dengan semangat penanggulangan bencana. Ataupun membuat undang-
undang baru di wilayah yang belum banyak dijangkau selama ini. Jepang misalnya, memiliki UU
tentang sungai, tentang banjir, tentang polusi di laut, tanah longsor, hingga penanggulangan
bahaya nuklir. Jangan lupakan juga bahwa kita pun memerlukan ratifikasi konvensi tentang
status pengungsi 1951 (Convention Relating to The Status of Refugees) karena tidak mustahil
(misalnya) korban tsunami terseret ombak hingga masuk wilayah internasional atau wilayah
negara lain. Pembenahan-pembahan di wilayah kebijakan ini, tentu erat kaitannya dengan
politicall willingness para pemegang kebijakan.

Pada akhirnya kita berharap pembenahan dua faktor tersebut bisa merevitalisasi peranan ilmu
pengetahuan dalam penanggulangan bencana alam di Indonesia. Kita tentu bermimpi negeri
kita memiliki sebuah sistem dan manajemen bencana alam yang apik dan disusun berdasarkan

Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 4
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 EDITORIAL

kajian yang mendalam. Pada akhirnya, warga negara Indonesia seluruhnya bisa tetap merasa
aman meski tinggal di negara yang konon rawan akan bencana.

Referensi

1. Poskota. 123 Warga Meninggal, 147 Hilang di Wasior. URL: http://www.poskota.co.id/berita-


terkini/2010/10/11/123-warga-meninggal-147-hilang-di-wasior. Diakses tanggal 21 November 2010.
2. Nias Online. Korban Tsunami di Mentawai Lebih dari 400 orang. URL:
http://niasonline.net/2010/10/30/korban-tsunami-di-mentawai-lebih-dari-400-orang/. Diakses tanggal
21 November 2010.
3. Tempo Interaktif. Letusan Merapi Terbesar dalam 100 Tahun Terakhir. URL:
http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/05/brk,20101105-289637,id.html. Diakses tanggal 21
November 2010.
4. Sigap Bencana & Bansos. URL: Indonesia Peringkat Pertama Paling Rawan Bencana Alam, Disusul
Bangladesh dan Iran. http://www.sigapbencana-bansos.info/berita/886-indonesia-peringkat-pertama-
paling-rawan-bencana-alam-disusul-bangladesh-dan-iran.html. Diakses tanggal 21 November 2010.
5. RRI Bandung. Indonesia Merupakan Pertemuan 3 Lempeng Besar Dunia. URL:
http://www.rribandung.info/index.php?option=com_content&task=view&id=2790&Itemid=46. Diakses
tanggal 21 November 2010.
6. Warta.com. Rangkaian Gunung Berapi Aktif di Indonesia. URL: www.warta.com/berita.../rangkaian-
gunung-api-aktif-di-indonesia.html. Diakses tanggal 21 November 2010.
7. Koran Pagi. Korban Gunung Merapi 26 Tewas Termasuk Mbah Maridjan dan Wartawan. URL:
http://www.koranpagionline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=808:korban-
gunung-merapi-26-tewas-termasuk-mbah-maridjan-dan-wartawan&catid=83:sosial&Itemid=491.
Diakses tanggal 21 November 2010.
8. Kompas. Sistem Peringatan Dini Tidak Memadai. URL:
http://sains.kompas.com/read/2010/10/28/09425938/Sistem.Peringatan.Dini.Tidak.Memadai. Diakses
tanggal 21 November 2010.
9. Muhari A, Imamura F, Diposaptono S. Tsunami Mentawai 2010: Analisis Kejadian dan Proyeksi
Kesiapsiagaan di Masa Depan. Inovasi Online. 2010; 18:6 -13.
10. Sudarmono. Tsunami dan Penghijauan Kawasan Pantai Rawan Tsunami. Inovasi Online. 2005; 3: 11-
14.
11. Sutowijoyo AP. Tsunami, Karakteristiknya dan Pencegahannya. Inovasi Online. 2005; 3: 7-10.
12. Nariman D. Sistem Informasi Peringatan Bahaya Tsunami di Jepang. Inovasi Online. 2005; 3: 2-6.
13. Basuki K, Arai K. Two Dimensional Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. Inovasi
Online. 2010; 18:19 -26.
14. Farid M. Banjir: Proses, Karakteristik, dan Upaya Mengatasinya. Inovasi Online. 2010; 18:14-18.
15. Bataviase.co.id. Banjir dan Longsor di Berbagai Daerah Telan Korban.
http://bataviase.co.id/node/189533
16. Setyawan A, Wilopo W dan Suparno S. 2006. Mengenal Bencana Alam Tanah Longsor dan
Mitigasinya. Inovasi edisi 8. November 2006.
17. Arsana IM. 21010. Memetakan Bencana dan Membudayakan Peta. Detik.com. URL:
http://us.detiknews.com/read/2010/11/15/175016/1494927/103/memetakan-bencana-dan-
membudayakan-peta. Diakses tanggal 21 November 2010.
18. Kompas. Wah Peta Rawan Bencana Dicuekin. URL:
http://nasional.kompas.com/read/2010/11/19/21100887/Wah....Peta.Rawan.Bencana.Dicuekin.
Diakses tanggal 21 November 2010.
19. Antara Newas. Kalteng Revisi Amdal Perkebunan Penyebab Banjir. URL:
http://www.antaranews.com/view/?i=1220471223&c=NAS&s=. Diakses tanggal 21 November 2010.
20. Susetyo H. Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif. Inovasi Online. 2006; 8:33-
37.

Budiman. Editorial: Menata Kembali Relasi Ilmu Pengetahuan dan Bencana Alam. 5
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Tsunami Mentawai 2010: Analisis Kejadian dan Proyeksi Kesiapsiagaan di


Masa Depan

Abdul Muhari,1* Fumihiko Imamura,1 Subandono Diposaptono2**


1
Tsunami Engineering Laboratory, Disaster Control Research Center, Tohoku University, Japan
2
Direktorat Pesisir dan Lautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Republik Indonesia
Email: *aam@tsunami2.civil.tohoku.ac.jp, **subandono.diposaptono@yahoo.com

Abstrak

Ibarat bahaya laten yang selalu mengintai, tsunami kembali menyerang kawasan pesisir
Indonesia. Dibangkitkan oleh gempa dengan Magnitude 7.7 di lepas pantai sebelah barat
Kepulauan Mentawai, masyarakat yang tidak mengira bahwa gempa ini akan membawa
tsunami dihantam oleh serangkaian gelombang dengan ketinggian rata-rata 5 m. Waktu
datang tsunami yang begitu cepat yaitu 14 sampai 18 menit setelah gempa menyebabkan
tidak tersedianya waktu yang cukup untuk melakukan evakuasi. Selain itu faktor kurangnya
infrastruktur evakuasi dan pengetahuan masyakarakat akan tsunami membawa malapetaka
yang akhirnya kembali merenggut korban jiwa dan harta.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Senin, 25 Oktober 2010, gempa dengan Magnitude 7.7 (USGS, 2010) mengguncang sebagian
besar kawasan pantai Sumatra Barat sampai Bengkulu. Menurut keterangan penduduk di Pulau
Pagai Utara, goncangan yang diakibatkan oleh gempa yang berpusat di 180 km selatan Kota
Padang ini lebih lemah dibandingkan dengan gempa pada tahun 2007 yang berpusat di lepas
pantai Kota Bengkulu. Permasalahannya adalah gempa ini kemudian membangkitkan tsunami
yang meluluhlantakkan hampir seluruh kampung di kawasan pesisir barat Pulau Sipora bagian
selatan, Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) per-tanggal 9 November 2010 menyebutkan bahwa korban meninggal akibat
bencana tsunami tercatat 448 orang, dengan menyisakan 7328 orang yang sampai sekarang
masih bertahan di pengungsian.

Bencana ini mengundang keprihatinan yang mendalam sekaligus pertanyaan krusial yang harus
segera ditemukan jawabannya, kenapa begitu banyak korban di Mentawai padahal gempa yang
membangkitkan tsunami masih tergolong gempa dengan kekuatan sedang (moderate)? Apa
yang menyebabkan kerusakan berskala besar (massive) pada vegetasi pesisir di sebelah barat
Pulau Pagai Utara dan Selatan, sehingga tidak mampu melindungi pemukiman yang berada di
belakangnya? Bagaimana relevansi efektivitas sistem peringatan dini jika melihat kejadian di
Mentawai? Tulisan ini memberikan analisis awal mengenai mekanisme pembangkitan dan
penjalaran gelombang tsunami hingga menghantam Kepulauan Mentawai, dengan tujuan
memberikan pemahaman akan fenomena yang terjadi dan upaya yang harus dilakukan agar
bencana serupa tidak terjadi di masa depan.

2. Gempa dan tsunami Mentawai tahun 2010

Gempa Mentawai terjadi di Barat Daya Pulau Pagai Selatan yang merupakan titik temu dari zona
patahan akibat gempa tahun 1797 dan gempa tahun 1833 (Natawidjaja dkk., 2006). Setelah
lebih kurang 200 tahun mengumpulkan energi, daerah ini memulai kembali aktivitasnya pada
tahun 2000 dengan melepaskan setidaknya 35% dari total moment yang terkumpul di zona
patahan akibat gempa tahun 1833 (Abercrombie dkk., 2003). Selanjutnya pada tahun 2007 di
segmen yang sama, dilepaskan lebih kurang 25% dari total moment yang tersisa (Konca dkk.,

Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 6


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

2008) oleh gempa dengan Magnitude 8.5 (gempa utama) dan Magnitude 7.9 (gempa susulan).
Setelah itu relatif tidak ada gempa yang secara signifikan mengurangi energi baik di zona gempa
1833, apalagi di zona gempa 1797. Perkiraan akumulasi energi yang tersimpan di celah seismik
ini sebelum gempa Mentawai 2010 menurut Natawidjaja dkk. (2009) berpotensi menghasilkan
gempa dengan Magnitudo 8.8 – 8.9. Gambar 1 mengilustrasikan sejarah kejadian gempa dan
potensi energi yang masih tersimpan sebelum terjadinya gempa Mentawai.

Gambar 1. Sejarah kejadian gempa di kawasan barat Pulau Sumatra

Tanda bintang merupakan pusat gempa tahun 2010. Garis putih putus-putus merupakan sejarah
patahan ditandai dengan abjad miring (dari Natawidjaja dkk., 2006). Daerah dengan warna
merah transparan merupakan zona patahan akibat gempa dalam sepuluh tahun terakhir (dari
Sieh dkk., 2008). Daerah dengan warna kuning sampai merah menunjukkan daerah
penumpukan energi yang belum terlepas (dari Natawidjaja dkk., 2009).

2.1. Mekanisme pembangkitan tsunami

Agar dapat memodelkan proses pembangkitan tsunami, dibutuhkan data parameter gempa yang
biasanya diberikan oleh institusi yang bergerak di bidang riset kegempaan seperti USGS,
Harvard University (Global CMT) dan Tokyo University (Earthquake Research Institute/ERI).

Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 7


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Pada beberapa hari pertama akan terdapat perbedaan parameter gempa seperti Magnitude,
kedalaman pusat gempa dan parameter lain bergantung pada metodologi dan sumber data yang
dimiliki masing-masing institusi. Beberapa hari berikutnya bahkan sampai beberapa bulan
setelah gempa, parameter-parameter ini akan terus direvisi sesuai dengan perkembangan data
yang didapat setelah gempa.

Dalam tulisan ini, parameter gempa yang digunakan adalah data dari Harvard University (Global
CMT) karena pada saat analisis dilakukan tidak mengalami perubahan (updating) sehingga
proses perhitungan tidak terganggu dengan perubahan data dasar dari waktu ke waktu.
Analisis moment tensor yang dilakukan oleh Harvard University (Global CMT, 2010)
memberikan informasi bahwa gempa terjadi pada kedalaman 12 km, bidang patahan
membentuk sudut 319 jika ditarik dari utara searah jarum jam (strike). Bidang ini bergerak 98
derajat terhadap sumbu horizontal yang sejajar garis pertemuan lempeng (rake), dengan total
27
moment 6.6 x 10 dyne/cm. Dari informasi tersebut, menggunakan hubungan dari Wells dan
Coppersmith (1994) dapat dibuat pendekatan parameter pembangkitan tsunami seperti yang
diberikan oleh Tabel 1.

Tabel 1. Parameter pembangkitan tsunami Mentawai

Dimensi sumber
Kekuatan Kedalaman pusat
tsunami (km) Rake (°) Dip (°) Strike (°) Slip (m)
gempa (Mw) Gempa (km)
Panjang Lebar
95 50 7.8 12 98 7 319 5

Hasil model pembangkitan tsunami ini merupakan bentuk awal gangguan di permukaan air
akibat gempa yang akan menjalar sebagai gelombang tsunami (Gambar 2). Model ini
memperlihatkan bahwa posisi daerah pembangkitan tsunami Mentawai berhadapan langsung
dengan bagian barat Pulau Pagai Utara dan Selatan. Hasil ini selanjutnya dimodelkan dengan
model penjalaran gelombang tsunami menggunakan dua metode, metode pertama untuk skala
model besar menggunakan teori gelombang panjang linear, sedangkan untuk area kecil di
sekitar Pulau Pagai Utara dan Selatan dimodelkan dengan teori gelombang perairan dangkal
non-linear.

Gambar 2. Daerah pembangkitan tsunami Mentawai dalam bentuk kontur muka air. Titik kuning
merupakan distribusi gempa susulan sampai hari ketiga setelah gempa utama.

2.2. Penjalaran gelombang tsunami

Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 8


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Di daerah pembangkitan tsunami yaitu daerah laut dalam, digunakan teori gelombang panjang
linear dalam koordinat bola dalam model TUNAMI-F1 (Tohoku University Numerical Analisis
Model for Investigation of Far-field tsunami, 1). Sedangkan di kawasan perairan dangkal
digunakan teori gelombang perairan dangkal non-linear dalam model TUNAMI-N2 (Tohoku
University Numerical Analisis Model for Investigation of Near-field tsunami, 2).

Setelah melakukan pemodelan, verifikasi hasil model agar bisa dijadikan acuan sangat penting.
Untuk kasus tsunami, data yang dapat digunakan sebagai verifikasi model adalah data
pengukuran pasang surut di pantai dan/atau dengan data buoy tsunami (alat pendeteksi tsunami
yang dipasang di tengah laut). Selanjutnya setelah tersedia data hasil pengukuran tinggi tsunami
dari lapangan atau di tempat kejadian, data tersebut juga digunakan untuk memverifikasi model
penjalaran dan inundasi tsunami. Dalam tulisan ini, data yang digunakan untuk memverifikasi
model besar adalah data dari alat pengukur pasang surut yang bertempat di Teluk Bayur,
Padang, Sumatra Barat.

Domain model besar, hasil pemodelan dan verifikasinya dengan data pasang surut dapat dilihat
pada Gambar 3. Pada gambar diatas, garis merah di kurva verifikasi merupakan hasil model,
sedangkan garis hitam merupakan data ketinggian tsunami yang tercatat di alat pengukur
pasang surut. Dari hasil verifikasi yang cukup baik, menggunakan sumber tsunami yang sama
selanjutnya dilakukan pemodelan dengan domain yang lebih kecil untuk analisis lebih detil.
Domain ini menggunakan data batimetri dari DISHIDROS TNI-AL untuk kawasan Mentawai dan
data SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) untuk topografi dengan resolusi spasial sekitar
90 m. Hasil perhitungan kemudian diverifikasi ulang dengan menggunakan data hasil
pengukuran lapangan.

Gambar 3. Domain (atas), hasil model dan verifikasinya (bawah) dengan data pasang surut di Teluk
Bayur, Padang.
Data investigasi lapangan yang digunakan dalam tulisan ini adalah hasil survei yang dilakukan
oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tanggal 5 November sampai 9 November

Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 9


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

2010. Tim yang bekerja sama dengan Port and Airport Research Institute (PARI) Jepang,
Saitama University serta National Institute of Land, Infrastructures and Maritime (NILIM) Jepang
ini mengukur tinggi aktual tsunami di Pulau Pagai Utara dan Selatan. Hasil kerja tim ini kemudian
digabungkan dengan hasil investigasi tim lainnya di bawah kerjasama Japan International
Cooperation Agency (JICA) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hasil
verifikasi model tsunami dengan data lapangan ini dapat dilihat pada Gambar 4. Seperti halnya
hasil verifikasi dengan data pasang surut, verifikasi hasil model dengan data lapangan juga
menunjukkan keserasian yang cukup baik, artinya hasil pemodelan ini bisa dijadikan acuan
untuk analisa lebih lanjut.

Gambar 4. Verifikasi hasil model dengan data hasil pengukuran lapangan. (Kolom-bar kuning merupakan
hasil pengukuran lapangan dari tim JST-JICA, sedangkan kolom-bar merah merupakan hasil pengukuran
lapangan dari KKP – PARI)

2.3. Dampak kehancuran akibat tsunami

Hasil model pada Gambar 4 juga memperlihatkan bahwa bagian barat Pulau Pagai Utara dan
Selatan yang merupakan daerah dengan tingkat kerusakan terparah dihantam oleh gelombang
dengan ketinggian rata-rata lebih dari 5 m. Dengan bantuan citra satelit dan grafik time series
gelombang tsunami di beberapa tempat (Gambar 5), terlihat bahwa gelombang tsunami
menghantam bibir pantai berulangkali dengan ketinggian yang hampir sama, sehingga
mengakibatkan kehancuran fatal bagi apapun yang berada di pinggir pantai. Morfologi pantai
yang berlekuk (formasi teluk) berperan besar dalam amplifikasi tinggi gelombang sehingga
energi yang menghantam kawasan pantai menjadi lebih besar. Hal lain yang dapat dilihat dari

Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 10


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Gambar 5 adalah waktu tiba gelombang tsunami yang sangat singkat. Gelombang tsunami
menyapu pantai hanya 14 sampai 18 menit setelah gempa terjadi, sehingga tidak tersedia waktu
yang cukup bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri jika tidak segera bergerak setelah
gempa terjadi.

Gambar 5. Perhitungan waktu datang dan ketinggian gelombang tsunami beserta citra satelit yang
memperlihatkan kehancuran akibat tsunami di beberapa tempat di bagian selatan Pulau Pagai Utara (Citra
satelit dari CRISP-NUS)

3. Proyeksi mitigasi di masa depan

Kejadian tsunami di Mentawai menyisakan satu tugas besar bagi kita semua, mengingat energi
yang tersisa di celah seismik khususnya di bagian utara Mentawai masih sangat besar. Perlu
dipikirkan langkah-langkah mitigasi untuk mencegah kerusakan serupa di masa depan. Selain
Pulau Siberut dan Sipora yang berhadapan langsung dengan daerah sumber gempa (Gambar 1),
dampak tsunami juga akan dialami kota-kota seperti Padang, Pariaman dan Painan. Walaupun
sudah cukup banyak kegiatan kesiapsiagaan berbasiskan masyarakat yang dilakukan, integrasi
dari keseluruhan kegiatan tersebut menjadi suatu budaya siaga bencana masih patut untuk
dipertajam.

Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 11


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Khusus untuk daerah Kepulauan Mentawai, seperti yang telah disebutkan bahwa waktu tiba
gelombang tsunami sangat singkat (14 – 18 menit). Dengan kondisi seperti ini, berpatokan pada
sistem peringatan dini tsunami nasional akan sangat berisiko, karena waktu yang dibutuhkan
untuk mengeluarkan peringatan sampai pada perintah evakuasi akan memakan waktu lebih
banyak ketimbang waktu yang tersisa untuk evakuasi itu sendiri. Berharap pada kearifan lokal
seperti yang dimiliki oleh masyarakat di Pulau Simeulue dengan ‘smong’-nya juga tidak bisa
diterapkan dalam waktu singkat karena adanya perbedaan budaya. Masyarakat Mentawai pada
dasarnya adalah masyarakat peladang dan peramu yang tinggal lebih jauh ke darat dan bukan
suku pesisir yang tinggal di pinggir pantai. Selain itu smong membudaya di Simeulue setelah
kejadian tsunami 1907, dimana masih ada generasi sekarang di Pulau Simeulue yang menerima
langsung cerita keganasan tsunami dari saksi hidup yang mengalaminya. Sedangkan tsunami
terakhir kali menghantam Mentawai pada tahun 1833 sehingga mungkin sejarah kejadian
tsunami di daerah ini tidak sampai diturunkan pada generasi sekarang. Untuk itu pendidikan
kesiapsiagaan yang berkesinambungan tidak hanya di Mentawai melainkan juga di seluruh
pulau-pulau kecil yang rawan tsunami merupakan jalan terbaik.

4. Kesimpulan

Analisis kejadian tsunami Mentawai menggunakan simulasi numerik linear maupun non-linear
memperlihatkan hasil verifikasi yang baik dengan data pasang surut dan data hasil pengukuran
tinggi tsunami aktual di lapangan.

Kehancuran massive di kawasan pesisir serta korban jiwa yang relatif besar terjadi di daerah
dengan ketinggian tsunami dari 5 – 8m, dan dihantam setidaknya enam kali dengan ketinggian
yang hampir sama.

Waktu tiba gelombang tsunami di bagian barat Pulau Pagai Utara dan Selatan hanya 14 – 18
menit. Dengan waktu tiba yang sangat singkat ini sulit jika mengandalkan sistem peringatan dini
berbasis teknologi. Hal itu dikarenakan konfirmasi terjadi atau tidaknya tsunami bergantung pada
buoy dan/atau alat pengukur pasang surut yang jumlahnya tidak sebanding dengan luas wilayah
yang rawan tsunami. Ini menyebabkan kejadian tsunami di pulau-pulau kecil yang terletak di
antara zona sumber tsunami dan buoy, atau zona sumber tsunami dan alat pengukur pasang
surut di pantai akan sulit terdeteksi. Ini yang menjadi alasan kenapa tsunami di Mentawai baru
diketahui beberapa jam setelah kejadian. Mengharapkan konfirmasi dari pemerintah setempat
apakah terjadi tsunami atau tidak berarti sudah menghilangkan makna dari peringatan dini itu
sendiri, karena ketika konfimasi diberikan berarti tsunami sudah menghantam daerah yang
bersangkutan. Untuk itu kebiasan untuk merespon gempa dengan berlari ke tempat tinggi
segera setelah gempa merupakan jalan terbaik dan perlu dibudayakan.

Tsunami Mentawai memberikan pelajaran baru bahwa tidak semua vegetasi pantai mampu
melindungi manusia dari terjangan tsunami. Walaupun relatif rapat, vegetasi pantai yang
didominasi oleh pohon kelapa di Pagai Utara dan Selatan tidak mampu secara signifikan
mengurangi energi tsunami sehingga tetap meluluhlantakkan pemukiman dibelakangnya.

Referensi

1. Abercrombie, R., Antolik, M., and Ekstrom, G. 2003. The June 2000 Mw 7.9 earthquake south of
Sumatra; Deformation in the India-Australia plate. Journal of Geophysical Research, 108(B1), 2018.
doi:10.1029/2001JB000674.
2. Global CMT. 2010. URL : http://www.globalcmt.org/CMTsearch.html. Diakses pada 27 Oktober 2010.
3. Konca, O., Avouac, J. P., Sladen, A., Meltzner, A. J., Sieh, K., Fang, P., Li, Z., Galetzka, J., Genrich, J.,
Chlieh, M., Natawidjaja, D. H., Bock, Y., Fielding, E. J., Ji, C., and Helmberger, D. V. 2008. Partial
rupture of the locked patch of the Sumatra megathrust during the 2007 earthquake sequence. Nature
456: 631–635.
4. Natawidjaja, D. H., Sieh, K, Chlieh, M., Galetzka, J., Suwargadi, B. W., Cheng, H., Edwards, R. L.,
Avouac, J. P., and Ward, S. N. 2006. Source parameters of the great Sumatran megathrust
earthquakes of 1797 and 1833 inferred from coral microatolls. Journal of Geophys Res. Solid Earth,
111, B06403. doi: 10.1029/2005 JB004025.

Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 12


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

5. Natawidjaja, D. H., Sieh, K, Kongko, W., Muhari, A., Prasetya, G., Meilano, I., Latief, H., and Chlieh, M.
2009. Scenario for future megathrust tsunami event in the Sumatran subduction zone,” Proc. AOGS
meeting, Singapore, 2009. (CD-ROM).
6. USGS, 2010, URL : http://earthquake.usgs.gov/. Diakses pada 27 Oktober 2010.
7. Sieh, K., Natawidjaja, D. H., Meltzner, A. J., Shen, C. C., Cheng, H., Li, K. S., Suwargadi, B. W.,
Galetzka, J., Phillibosian, Belle., Edwards, R. L. 2008. Earthquake Supercycle Inferred from
Sea-Level Change Recorded in the Coral of West Sumatra. Science, 322, 1674–1677
8. Donald. L. Wells and Coppersmith, K.J. 1994. New empirical relationship among Magnitude, Rupture
Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface Displacement. BSSA, 84, 974 – 1002.

Muhari, Imamura, Diposaptono. Tsunami Mentawai 2010 13


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Banjir: Proses, Karakteristik, dan Upaya Mengatasinya

Mohammad Farid
Disaster Control Research Centre, Tohoku University
Email: mfarid@potential1.civil.tohoku.ac.jp

Abstrak

Berdasarkan data periode 1975-2001 yang dihimpun Centre for Research on Epidemiology
of Disasters (CRED), salah satu bencana alam yang sering terjadi di negara Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, adalah banjir. Apabila mengadopsi dari ensiklopedia bebas (wikipedia),
banjir dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa di mana air menggenangi daratan/lahan
yang semestinya kering sehingga menimbulkan kerugian fisik dan berdampak pada bidang
sosial dan ekonomi. Kategori banjir sendiri dapat dikelompokkan berdasarkan mekanisme
terjadinya yaitu banjir biasa (regular) dan banjir tidak biasa (irregular) dan berdasarkan
posisi sumber banjir yaitu banjir lokal dan banjir bandang (flash flood) (Kusuma, 2006).
Terkait dengan proses yang ada di alam, banjir tidak terlepas dari siklus hidrologi.
Gangguan pada siklus hidrologi akibat intervensi dari manusia dapat menimbulkan banjir.
Kajian banjir dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis probabilitas dan analisis
hidrograf. Indeks banjir berupa kedalaman, durasi, dan luas genangan merupakan
parameter yang digunakan untuk menentukan potensi banjir di suatu daerah (Kusuma,
2006). Sebagai upaya dalam mengatasi banjir, dilakukan mitigasi banjir yaitu usaha yang
dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan banjir meliputi usaha struktural dan usaha
non-struktural (Rahayu, 2008). Dalam memaksimalkan mitigasi banjir diperlukan hubungan
dan kerjasama yang baik dari semua elemen yang terkait yaitu pemerintah, masyarakat, dan
institusi pendukung.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di berbagai negara terutama di
negara berkembang. Seperti disajikan dalam Gambar 1 yang memperlihatkan sebaran bencana
alam di Asia Tenggara dalam periode 1975 – 2001, banjir termasuk yang dominan. Di
Indonesia sendiri, tercatat 104 kejadian banjir dalam periode 1980-2008 (Gambar 2). Angka ini
adalah yang terbesar apabila dibandingkan dengan frekuensi bencana alam-bencana alam
lainnya.

Gambar 1. Peta sebaran bencana alam di Asia Tenggara (1975-2001) (Sumber: http://www.cred.be)

Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 14


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Gambar 2. Kejadian bencana alam di Indonesia (1980-2008) (Sumber: http://www.preventionweb.net)

Berdasarkan definisi dari Multilingual Technical Dictionary on Irrigation and Drainage yang
dikeluarkan oleh International Commission on Irrigation & Drainage (ICID), pengertian banjir
dapat diberi batasan sebagai laju aliran di sungai yang relatif lebih tinggi dari biasanya;
genangan yang terjadi di dataran rendah; kenaikan, penambahan, dan melimpasnya air yang
tidak biasanya terjadi di daratan. Secara umum, mengadopsi dari ensiklopedia bebas
(wikipedia), banjir diartikan sebagai suatu peristiwa di mana air menggenangi daratan/lahan
yang semestinya kering sehingga menimbulkan kerugian fisik dan berdampak pada bidang
sosial dan ekonomi.

Tulisan ini membahas gambaran mengenai banjir dari sisi proses alamiah dan karakteristiknya.
Selain itu juga akan dipaparkan solusi-solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi banjir.

2. Klasifikasi banjir

Banjir dapat dikategorikan berdasarkan mekanisme terjadinya dan berdasarkan posisi dari
sumber banjir terhadap daerah yang digenanginya (Kusuma, 2006). Berdasarkan mekanisme
terjadinya, banjir dapat dibedakan menjadi banjir biasa (regular) dan banjir tidak biasa
(irregular). Banjir regular terjadi akibat jumlah limpasan yang sangat banyak sehingga
melampaui kapasitas dari pembuangan air yang ada (existing drainage). Banjir irregular terjadi
akibat tsunami, gelombang pasang, atau keruntuhan dam (dam break).

Berdasarkan posisi sumber banjir terhadap daerah yang digenanginya, banjir dapat dibedakan
menjadi banjir lokal dan banjir bandang (flash flood). Banjir lokal didefinisikan sebagai banjir
yang diakibatkan oleh hujan lokal sedangkan banjir bandang dapat diartikan banjir yang
diakibatkan oleh propagasi limpasan dari daerah hulu pada suatu daerah tangkapan.

Umumnya di Indonesia, dilihat dari mekanisme terjadinya, banjir yang terjadi seringkali banjir
regular seperti yang terjadi pada akhir bulan Oktober 2010 di Jakarta. Akan tetapi tidak
menutup kemungkinan terjadi banjir irregular, contohnya bencana banjir pada akhir bulan Maret
2009 di Situ Gintung akibat keruntuhan dam dan banjir akibat gelombang pasang pada tahun
2007 di Jakarta. Sedangkan berdasarkan posisi sumber banjir terhadap daerah yang
digenanginya, banjir di Indonesia termasuk dalam kedua-duanya baik itu banjir lokal maupun
banjir bandang. Sebagai contoh banjir lokal adalah banjir yang sering terjadi di kota-kota besar
di Indonesia termasuk juga di Jakarta. Sedangkan banjir Wasior di Papua Barat pada bulan
Oktober 2010 merupakan salah satu contoh bencana banjir yang termasuk banjir bandang.

Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 15


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

3. Gangguan siklus hidrologi

Pembahasan mengenai banjir sendiri tidak bisa terlepas dari siklus hidrologi (Gambar 3).
Definisi siklus hidrologi yaitu skema yang menggambarkan proses kesetimbangan perubahan
fasa air dan pergerakan massa air dari laut, darat, dan atmosfer.

Hujan yang turun jatuh dan tertahan pada permukaan tumbuh-tumbuhan (canopy). Proses
tertahannya air hujan ini disebut intersepsi. Setelah mengalami intersepsi, hujan jatuh ke
daratan. Di daratan, sebagian air hujan akan terserap oleh tanah (infiltrasi). Pergerakan air di
dalam tanah (perkolasi) terdistribusi mengisi lapisan akuifer dan mengalir ke tempat lebih
rendah sebagai interflow yang kemudian keluar ke permukaan. Air dari proses infiltrasi juga
mengalami penguapan (evaporasi) untuk kembali ke atmosfer. Evaporasi terjadi dari air yang
berada pada tanah lapisan atas dan juga dari air di dalam tanah yang diserap tumbuhan
(transpirasi). Air hujan yang tidak mengalami infiltrasi mengalir sebagai limpasan di atas
permukaan (surface runoff), sebagian yang jatuh pada permukaan datar/cekungan akan
membentuk tampungan (retensi), sedangkan sebagian lainnya menuju ke daerah yang lebih
rendah dan jatuh ke saluran. Air yang berada di tampungan, saluran, dan laut juga akan
mengalami evaporasi. Proses evaporasi dilanjutkan dengan proses pendinginan uap air
(kondensasi) sehingga mengalami sublimasi kembali menjadi butiran hujan yang selanjutnya
kembali turun mengulang proses yang sama seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Gambar 3. Siklus hidrologi (Sumber: unep.or.jp)

Intervensi yang dilakukan oleh manusia menyebabkan terjadinya gangguan pada siklus
hidrologi sehingga akan menimbulkan dampak terjadinya banjir. Sebagai contoh intervensi
manusia adalah perubahan tutupan lahan (land cover) dari daerah hijau menjadi daerah
perkotaan yang sering didefinisikan urbanisasi. Lahan yang tadinya berupa hutan ataupun
tanah kosong dan berpotensi sebagai daerah resapan air tergantikan oleh bangunan.
Perubahan ini akan mempengaruhi sebagian besar komponen yang ada di dalam siklus
hidrologi. Air hujan yang turun langsung menuju ke permukaan sebagai dampak tidak adanya
tumbuhan atau pohon yang berperan dalam proses intersepsi. Pada permukaan tanah yang
berubah menjadi daerah perkotaan, proses infiltrasi berkurang bahkan tidak ada sama sekali.
Gangguan pada komponen intersepsi dan infiltrasi ini mengakibatkan jumlah limpasan

Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 16


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

permukaan meningkat. Pada kasus curah hujan yang sangat tinggi, jumlah limpasan ini
seringkali tidak terakomodir oleh sungai atau saluran yang mempunyai kapasitas yang terbatas
sehingga mengakibatkan terjadinya banjir.

4. Tinjauan ilmiah banjir

Dalam melakukan kajian terhadap banjir, umumnya digunakan pendekatan dengan


menggunakan analisis probabilitias untuk mendapatkan periode ulang debit ekstrim atau biasa
disebut debit banjir. Debit banjir adalah besaran debit yang diperlukan untuk memperhitungkan
tingkat keamanan bangunan pengendali banjir. Tinggi rendahnya tingkat keamanan ditunjukkan
dengan besar kecilnya periode ulang yang digunakan. Oleh karenanya, debit banjir merupakan
parameter penting dalam kriteria perencanaan bangunan pengendali banjir dan sistem drainase.

Seringkali terjadi salah pengertian terhadap debit banjir. Misalnya suatu bangunan pengendali
direncanakan berdasarkan debit banjir dengan periode ulang 25 tahun diartikan bangunan
pengendali tersebut dapat mengatasi besaran debit banjir yang terjadi 25 tahun sekali. Definisi
sebenarnya dari debit banjir dengan periode ulang 25 tahun adalah debit banjir yang
kemungkinan terjadinya dalam setiap tahun sebesar 1/25. Jadi kemungkinan bangunan
pengendali tersebut menerima debit yang sama atau lebih dari yang direncanakan adalah
sebesar 4% (Siswoko, 2003).

Selain pendekatan analisis probabilitas, kajian banjir juga melibatkan analisis terhadap
hidrograf banjir dan kapasitas existing drainage. Semakin besar volume hidrograf maka
semakin besar pula banjir yang terjadi. Parameter debit puncak pada hidrograf banjir
menunjukkan kedalaman dan luas genangan maksimum yang terjadi. Banyak kasus banjir yang
terjadi di Indonesia disebabkan existing drainage tidak mampu menahan debit banjir yang
terjadi sehingga dalam kaitannya dengan hidrograf banjir, diperlukan suatu upaya untuk
memotong debit puncak agar beban banjir dapat dilayani oleh existing drainage.

Untuk menentukan potensi banjir terkait dengan besar kecilnya dampak yang ditimbulkan,
parameter yang biasa digunakan adalah indeks banjir meliputi kedalaman, durasi, dan luas
genangan (Kusuma, 2006). Analisis terhadap indeks banjir selanjutnya diperlukan dalam
mengestimasi banyaknya korban dan kerusakan infrastruktur serta pemilihan lokasi evakuasi
yang aman dari genangan.
.
5. Mitigasi banjir

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai debit banjir yang menjadi kriteria
perencanaan suatu bangunan pengendali banjir ataupun sistem drainase, dapat kita simpulkan
bahwa suatu daerah tidak akan bisa dikatakan bebas dari banjir karena kemungkinan terjadi
debit yang sama atau bahkan melampui debit rencana akan selalu ada dalam setiap tahunnya.
Karenanya usaha yang bisa dilakukan dalam mengatasi banjir adalah meminimalkan dampak
yang ditimbulkan oleh banjir atau yang lebih dikenal sebagai mitigasi.

Usaha-usaha yang dilakukan di dalam mitigasi banjir meliputi usaha struktural dan usaha non-
struktural (Rahayu, 2008). Usaha struktural terkait dengan pembangunan maupun
pemeliharaan sarana dan prasarana fisik dari bangunan pengendali banjir seperti saluran,
pompa, dan pintu air. Sedangkan yang termasuk usaha non-struktural dalam mitigasi banjir
biasanya menyangkut kebijakan seperti pengendalian tata ruang, peningkatan kesadaran
masyarakat, dan sistem peringatan dini.

Dalam usaha mengurangi dampak yang ditimbulkan banjir, seringkali penanganan masalah
banjir ditekankan pada usaha struktural dan dibebankan secara keseluruhan kepada
pemerintah. Hal ini tentunya harus dihindari karena masyarakat merupakan elemen penting.
Seperti kasus di kota Jakarta, dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan banjir, usaha
pemerintah berupa perbaikan sistem pembuangan air, normalisasi saluran, dan pembangunan
tanggul, apabila tidak didukung oleh kesadaran masyarakat dalam memeliharanya, maka tidak

Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 17


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

akan berjalan optimal. Dukungan dari masyarakat seperti tidak membuang sampah di
sungai/saluran sehingga tidak mengurangi kapasitas tampung akan sangat membantu
memaksimalkan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah. Peningkatan kesadaran
dan pengetahuan masyarakat mengenai banjir adalah salah satu parameter penentu dalam
keberhasilan usaha-usaha tersebut. Selain itu juga salah satu elemen yang diperlukan adalah
institusi pendukung seperti para ahli dan non government organization (NGO). Hubungan dan
kerjasama yang baik dari ketiga elemen ini, pemerintah, masyarakat, dan institusi pendukung,
sangat diharapkan demi terwujudnya penanganan yang memberikan dampak seminimal
mungkin dari bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh banjir. Sebagai salah satu contoh upaya
dalam menjalin hubungan dan kerjasama ketiga elemen ini adalah program peningkatan
kapasitas pemerintah daerah bersama masyarakat dalam sistem peringatan dini banjir yang
pernah diterapkan di pemerintah DKI Jakarta dengan melibatkan masyarakat dan NGO (ADPC,
2010).

Referensi

1. ADPC. Flood Preparedness Initiatives of High-Risk Community of Jakarta. Program for Hydro-
meteorological Disaster Mitigation in Secondary Cities in Asia. 2010. URL:
http://www.adpc.net/v2007/programs/udrm/promise/INFORMATION%20RESOURCES/Safer%20Citi
es/Downloads/SaferCities27.pdf, diakses November 21, 2010.
2. Kusuma, M.S.B. An Approach of a Proper Disaster Management, International Symposium on
Management System for Disaster Prevention, Kochi University, Japan. March 9-11, 2006.
3. Rahayu, H.P. A Strategy for Flood Risk Reduction in DKI Jakarta, Program for Hydro-meteorological
Disaster Mitigation in Secondary Cities in Asia. February 15, 2008.
4. Siswoko. “Flood Plain Management” untuk Mengatasi Ancaman Banjir, Sinar Harapan, 14 Februari,
2003, http://bebasbanjir2025.wordpress.com/artikel-tentang-banjir/siswoko/, diakses November 16,
2010.

Farid. Banjir: Proses, Karakteristik dan Upaya Mengatasinya. 18


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Two-Dimensional Cellular Automata Approach


for Disaster Spreading

Achmad Basuki1,2,*, Kohei Arai1,**


1
Departement of Information Science, Saga University, Japan
2
Electrical Engineering, Polytechnic Institute of Surabaya, Indonesia
E-mails: *basuki@eepis-its.edu, **arai@is.saga-u.ac.jp

Abstract

In this paper we present Cellular Automata (CA) - based simulations for natural disaster
spreading such as the forest fire, flood and mudflow. The simulations obtain alternative
methods because they are simple and easy to develop. They allow for spectacular displays
and numerical predictions. These approaches have important implications for probabilistic
hazard assessments that often occur in Indonesia.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Introduction
Cellular Automata (CA) based simulations are widely used in a great variety of domains,
especially disaster spreading such as the forest fire, flood and mudflow. They allow for
spectacular displays and numerical predictions. Each of the three models can be associated
with an important natural hazard: the forest fire model with forest fires, the sand-pile model with
flood, and the minimization difference model with mudflow. We show that each of the three
natural hazards self-organized that are well approximated by probabilistic material moving.4
CA model concerns in the three statements. First statement is how to define the state. The state
is the value in each cell or grid on two dimensional CA, which depends on problem statement.
Second statement is how to select the neighbor. Basically, we have two kind neighborhood
models; Von-Newmann model and Moore model. We can use other neighborhood system
depend on system approximation. Third statement is how to define update rule to change the
state of all cells or grids in discrete time step. The rule is relation between cell and its neighbors.
The advantage of CA model is easy to develop. Because of this advantage, Cellular Automate
model is an alternative model for simulating disaster spreading. This model has the chance to
develop a simulation module that describe how disaster will spread in some periods, and show
the new dangerous area in the future. This module is also used to know how big disaster impact,
and it will be the reference to anticipate the bigger impact. Although our model is simple model,
it can be adjusted depend on the disaster, topological and land-use information to improve this
model, as the real situation and predict the next situation of disaster spreading.

2. 2D CA for forest fire simulation


4
Malamud presented a simple CA approach using programmed model. This model consists of
square grid, in which at each time step a tree is randomly dropped on a chosen site. However,
this model does not describe how long the tree will be fired, and the influence of wind
characteristics, e.g. wind speed and wind direction, is not included. Sullivan presented the
influences of wind speed and direction.6 This parameter influences the neighborhood size and
4,6
sparking probability fs. These models do not describe how control time for fired.
4
On the forest fire model , we begin with a square grid of sites; there are blank node, tree and
fire. At each time step, some trees around fire will be fired by sparking probability fs, and fire will
be stopped by stopping probability fc. Stopping probability fc is fix number depend on tree
material that shows how fast the tree will be fired. Sparking probability is variable number
depend on material, wind speed and wind direction. Tree material parameter shows possibility

Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 19


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

to be fired. Wind speed parameter defines the size of neighbors, and shows that model uses
dynamic neighborhood model. Wind direction parameter defines the angle of fire moving. The
algorithm of CA for forest fire is as follow:
• We begin with a square grid of sites; there are five states:
– s=1 blank node
– s=2,3 tree (two different types of tree and we can add number of tree types). Malamud
et.al4 uses one type of tree.
– s=4 fired
– s=5 stopped or completed fired
• Trees will be fired by sparking probability fs, if there are fire neighbors.
• Fire will be stopped by stopping probability fc.
In this simulation we have two probabilities function; sparking probability fs and stopping
probability fc. These probabilities have different spreading impact. We show two conditions on
these probabilities. First condition, fs is low and fc is high as shown in Figure 1. Second condition,
we adjust fs is high and fc is low as shown in Figure 2.
The first condition has characteristic slow fire-spreading and fast fire-stopping. In this condition,
fire spreads slowly because trees are not easy to fire. The other hand the fired areas are small
because fire stops quickly. Figure 1 show that fired points are around 11% of total area many
fired points in 100 periods (t).

Figure 1. Simulation result on low fs and high fc.

The second condition has characteristic fast fire-spreading and slow fire-stopping. In this
condition the fired areas are big because trees are easy to fire and fire is not easy to stop.
Figure 2 show that fired points are around 90% of total area (almost area are fired area) in 100
periods (t).

Figure 2. Simulation result on high fs and low fc in some periods.

Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 20


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

The number of fired area by period depends on sparking probability and stopping probability as
shown in Figure 3. Different combination of fs and fc has different join point of number of tree
and number of fired. Figure 3 show three different lines; red line is number of tree that is not
fired yet, green line is number of tree that become fire, and blue line is number of tree that is
fired.

Figure 3. The number of fired area depends on fs and fc.

The one of important parameter in forest fire simulation is wind speed. This parameter
influences the neighborhood size and sparking probability fs. Relation of wind speed,
6
neighborhood size and sparking probability, introduced by Sullivan, is defined as shown in
Figure 4. It is the “bubble” convection model of wind speed influences in forest fire simulation,
because this model assumes that fire component is a bubble model.

2
Figure 4. Schematic of the rising ‘bubble’ model of convection .

Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 21


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

3. 2D CA for flooding simulation


1
On the fluid flow model for flooding, we use Argentini’s model. The state describes number of
fluid particles. If fluid particles occupy in one node and no obstacles are in the forward, they will
move forward. If fluid particles occupy in one node and there are obstacles in the forward, the
will move left-right randomly or stay. The algorithm is written by following (Figure 5).
1) We assume that the time variable is incremented by discrete unitary values, so that ea If
ui,j(tk) = p, every molecule in the position (i, j) can move in the new position (i+1, j+r) at the
time instant tk+1, where r is an integer randomly selected between the values –1, 0 and 1;
2) If ui+1,j+r(tk+1) > d, where d is the max allowed number of molecules in one single cell (darker
tonality of blue in the picture) for advancing to the next row, the molecule will stay in the i-th
row and it will move into the position (i,j+r);
3) If ui+1,j+r(tk+1) < 0, in the cell (i+1, j+r) there is an obstacle, therefore no molecule can move
into that position; the molecule will stay in the i-th rowand it will move into the position (i,j+r).

Figure 5. Rules for fluid dynamic1

Each row of fluid molecules goes forward to the next at the same instant, for every occupied
position and for every row of the grid. The rules which form the model of the used cellular
automaton are schematically so described. Figure 6 shows the simulation result of Argentini’s
model simple fluid dynamic such as water flow. This simulation use plane area and obstacle
information.

Figure 6. Water-flow simulation1 for simple model of flood simulation

The CA model upon described is very elementary and limited, but useful approximation for the
computational treatment of fluid dynamic phenomena. We show the relation of density and
max_mol (volume in the one place) as nearly logarithmic characteristic as shown in Figure 7.
1
Max_mol is similar with Reynolds Number on fluid dynamic.

Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 22


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Figure 7. The relation of density and max_mol1

This model is simple model for fluid dynamic, and we need some adding rules and input
parameters to improve this model to flooding model. Some important data are landscape map,
topological and soil data, and land-use map. We need disaster specification data such as water
volume and speed. Using these data, the recommended approach of CA model needs floating
point of mass transport to improve state model of fluid particles.

4. 2D CA for hot mudflow simulation


Hot mudflow disaster is a unique disaster that has some characteristics such as huge mud
blows, surface changing, thermal changing and it occurs on the urban area. The combination of
1 7
Argentini’s approach for fluid dynamic and Vicari approach for lava flow is one alternative 2D
CA approach to simulate hot mudflow, but it is difficult because quick landscape changing
caused by huge volume and occurring on urban area.

Figure 8. The extended minimum difference rules


We use another approach for hot mudflow; “minimum difference approach”. This approach is
one of CA approach to simulate hot mudflow spreading. It obtains a good model to simulate the
5
lava flow with many parameters . In this simulation mud blows from the main crater (big hole),
and mud moves to other locations depend on slope difference and mudflow parameters. The
amount of mud moving is called as mass transport. We use probability values adjustment pm
and pvis to flow some mass from the center cell to its neighbor cells. Controlling of these
probability values is suggested to improve the prediction results (Figure 8). Our algorithm is as
follow:
1) A is the set of cell not eliminated. Its initial value is set to the number of its neighbors.
2) The average height is found for the set of A of non-eliminated cells:

hc hi
i A
m
nA 1
Where:

Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 23


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

hc is height of the center cell.


hi is height of the non-eliminated neighbor cells.
nA is number of non-eliminated neighbor cells.
3) The cells with height larger than average height are eliminated from A.
4) Go to step (2) until no cell is to be eliminated.
5) The flows, which minimize the height differences locally, are such that the new height of the
non-eliminated cell is the value of the average height.

Figure 9. Simulation result of hot mud flow disaster


Our simulation use ASTER/DEM and SPOT 5 imagery data as base landscape map. We use
map data on February 2008 as initial, and map data on August 2008 as target map for
prediction result. The prediction results show the same location and direction with the real data
as shown in Figure 9. In this figure, there are three colored area; the red area is real data, the
blue area is simulation result, and the pink area is intersection area between real data and
simulation result. The number of pink area shows the performance of simulation.
Although Figure 9 shows that the number of intersection area is higher that 90%, but it is not fair
because the performance must be determined in the new inundated area only. Because of this
concern, the intersection area between prediction result and real data is determined in new
inundated area only as shown in Figure 10. Intersection new inundated area of simulation result
2
and real data is 56.54% for 30m resolution DEM .

Figure 10. Performance of simulation result on the new inundated area.

Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 24


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

The CA approach needs high resolution to improve its performance. Although this approach
shows the correct location and direction of new inundated area but the number intersection area
depends on resolution of landscape map. Figure 11 shows the relation of intersection area and
resolution.

Figure 11. Relation between intersection area and resolution

One important parameter in this approach is neighborhood model. There are three basic
neighborhood model in 2D CA approach as shown in Figure 12; 3×3 von Neumann, 3×3 Moore
and 5×5 Moore. Although we use same approach, Moore neighborhood has good performance,
but von Neumann neighborhood has poor performance to predict inundated area.

Figure 12. Neighborhood model: 3×3 von Neumann (left), 3×3 Moore (middle) and 5×5 Moore (right)

The number of neighborhood is one of the important parameters in the proposed model. Figure
13 shows that increasing the number of neighborhood causes increasing prediction
performance, but 5x5 Moore model does not show significant improving from 3x3 Moore model.

Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 25


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

90

85

80

75
Intersection Area (%)

70

65

60

55

50
Von Newmann
45 Moore 3x3
Moore 5x5
40
200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Lattice Size (Resolution)

Figure 13. Influences of neighborhood size on each resolution

5. Conclusion
CA approaches are the first and foremost discrete dynamical systems performing parallel
computation. They are used in a great variety of cases.3 One virtue of our systematic
examination, of what is currently done with CA, is perhaps to shed a new light on the
relationships between modeling and computation. By using of CA approaches as modeling tools,
we can visualize disaster spreading prediction and determine some dangerous areas around
the disaster. It is important to anticipate the bigger impact and damage.

References
1. Argentini G. 2003. A first approach for a possible cellular automaton model of fluids dynamic.
Computer Science - Computational Complexity, arXiv:cs/0303003v1.
2. Arai K, Basuki A. 2010. A CA Based Approach for Prediction of Hot Mudflow Disaster Area, ICCSA
proceeding: 119-129.
3. Douvinet J, Delahaye D, Gaillard D, Langlois P. 2006. Application of cellular automata modelling to
analyze the dynamics of hyper-concentrated stream flows on Loamy Plateaux (Paris Basin, North-west
France). International Conference on Hydroinformatics Proceeding: 1-8.
4. Malamud BD, Turcotte DL. 2000. CA models applied to natural hazards, IEEE Computing in Science &
Engineering, 2(3): 42-51.
5. Negro CD, Fortuna L, Herault A, Vicari A. 2008. Simulations of the 2004 lava flow at Etna volcano
using the magflow CA model, Bulletin of Volcanology, Volume 70 (7): 805-812.
6. Sullivan AL, Knight IK. 2005. A hybrid CA/semi-physical model of fire growth. Complexity International
12:64-73.
7. Vicari A, Alexis H, Del Negro C, Coltelli M, Marsella M, and Proietti C. 2007. Modeling of the 2001 Lava
Flow at Etna Volcano by a CA Approach”. Environmental Modelling & Software 22: 1465-1471.

Basuki & Arai. 2D Cellular Automata Approach for Disaster Spreading. 26


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Cellular Automata for Micro Traffic Modeling and Simulation

Tri Harsono,1,2,* Kohei Arai1


1
Department of Information Science, Saga University, Japan
2
Electronic Engineering, Polytechnic Institute of Surabaya, Indonesia
E-mail: *triharsono69@yahoo.com

Abstract

Cellular Automata is a separating method of variables which has efficient implementation in


computer system. Stochastic Traffic Cellular Automata (STCA) is one of its applications for
traffic. In this study, we modified STCA by adding the driving behaviors, i.e. agent and a
diligent driver, in the car-following model in a micro traffic of vehicle evacuation from disaster
area. Based on mean speed, the effectiveness of evacuation time was 6.3% for the density k
= 0.6, lane-changing = 0. By diligent driver, the effectiveness of evacuation time was 33.6%
for density k = 0.6, lane-changing = 0.2. The effectiveness of evacuation time based on
lane-changing was 5.7% for density k = 0.6 and diligent driver = 0.3. In conclusion, by using a
modified STCA model, the effectiveness of evacuation time from disaster area can be
obtained by adding the diligent driver, mean speed, and lane-changing.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Introduction

The most important thing concerning the evacuation of victims (vehicle) in a disaster is an
effective way so that we have the most efficient evacuation time. Using Cellular Automata, we
created micro traffic model and simulate it in the case of evacuation the victim (vehicle) from
disaster occurred roadway. A Cellular Automata (CA) is a discrete model and has a simple
algorithm. Due to discreteness, a CA is extremely efficient in implementation on a computer. CA
is studied in computability theory, mathematics, physics, complexity science, theoretical biology
and microstructure modeling. For instance Chopard et al. stated that study of CA is considered in
the various fields of physics such as reaction-diffusion systems, pattern formation phenomena,
fluid flows, fracture processes and road traffic models.4 Cellular automata for traffic road model2
have been called by traffic cellular automata (TCA). One kind of TCA is conducted by Nagel and
1
Schreckenberg in 1992 , named Nagel-Schreckenberg TCA which is more commonly known as
the stochastic traffic cellular automata (STCA).

In this study we are looking for efficient evacuation time in evacuating victims (vehicle) from a
disaster area on the highway. Effectiveness and efficiency of evacuation is indicated by the
speed in evacuating victims from the disaster area. If the faster evacuation time is obtained, then
more victims can be saved from disaster area. The speed of evacuation time on the disaster
occurred highway is dependent on the speed of vehicles available in disaster area. Based on the
STCA, we improve the speed of the vehicle by entering parameters diligent and agent driver in
the STCA. The main characteristic of them is additional speed that they have. The existence of
two new parameters in the STCA will affect the process of getting a faster evacuation time when
this modified STCA is used in the evacuation system on the disaster area. By this modified STCA,
the effectiveness of evacuation time was gotten in the simulation results. This is shown by the
evacuation time in the modified STCA is faster than that in the STCA.

Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 27
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

2. Driving behaviour

2.1. Driving behaviour: agent driver

In the previous work,3 we have proposed the agent rule for the driver and put it into the driving
behaviour. We expressed that when disaster occurs, every vehicle on the affected road area has
to have a good knowledge of driving behaviour and all vehicles have a good capability of speed
control followed by helping each other without any panic. Agent behaviour could be built in some
of the vehicles. Each agent has appropriate information of speed control and is situated in each
other. Agent leads other vehicles so that traffic speed can be controlled by the agents. In this
situation, the following car-following parameter is getting more important. If the following car
does not follow the leading agent car, the traffic condition gets worse. This condition is
consecutively performed to all vehicles in one lane and parallel to the entire lane.

The speed of an agent driver is v ( i , j ) ( t ) c where v(i,j)(t) is current speed and c is density
function (a positive integer). Value of c is defined by 1/k, exactly c = Q(1/k) where k is a density
and Q is a constant coefficient. We analyzed the relationship between either mean speed v or
density function c and the evacuation time T.

Relationship between mean speed v and evacuation time T was performed, it was called v-T
diagram. When the mean speed v goes down to zero (in the time the density k has increased or
pass the jam density), we found the evacuation time increase. We also observed that the
evacuation time T decrease by the increase of mean speed v. We conducted this experiment
with or without agent in the evacuation simulation. Both of them have the same results (Figure 1a
and Figure 1b).

(a) (b)

Figure 1. Relationship between mean speed and evacuation time. (a) With agent, (b) without agent

We had the sense of relation between the density k and the evacuation time T. Both k and T
have linear correlation. When the density k goes up, the evacuation time is also going up. Based
on the experimental simulation results, we said that in the time c has the small value, the value of
the evacuation time T is large. On the other hand, when the value of c is going up, the evacuation
time T will goes down to the smaller value. Our experiment results about the value of c and T
found the relation between both of them. Based on linear correlation between the evacuation
time T and the density k, we calculated density function c (= Q(1/k)). From this correlation we
obtained the value of c = Q(1/k) = (12/10)(1/k). By using this value of c, we had the experiment
results, relation between density function c and evacuation time T (c-T diagram) as shown in
Figure 2. The pattern of their relationship in accordance with the description above. We showed
it with and without agent.

Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 28
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Figure 2. Relationship between function of density c and evacuation time (with or without agent)

2.2. Driving behaviour: diligent driver

During survey the traffic data on the Sidoarjo Porong roadway, East Java, Indonesia, we have
totally 190 data of speed for each kind of cars (all of the vehicles are divided into the four kinds:
truck/trailer, bus, public transport, and private car). Based on statistical hypothesis testing
(t-student distribution), we found the hypothesis results that for bus, public transportation, and
private car are accepted, whereas truck/trailer is rejected. Its means that truck/trailer has
different speed behaviour if it is compared by the other cars (bus, public transportation, and
private car).

Speed of the truck/trailer is lower than that of the others. Many trucks/trailers have the speed is
less than or equal to 40 kilometre per hour (km/hr) while for other types (bus, public
transportation, and private car), the number of vehicles at speed more than 41 km/hr are greater
than the truck/trailer (Figure 3 and Figure 4). We also showed comparison between speed of the
trucks/trailers and speed all the vehicles (mean speed of all the vehicles) from time to time
consecutively in 190 hours (eight days). Speeds of the trucks/trailers dominantly are lower than
that of speed all the vehicles (Figure 5). The numbers of trucks/trailers that have the lower speed
are around 81%.

In accordance with data analysis results of vehicles speed, we assume diligent driver
characteristics and put it into the driving behaviour. Dominantly, trucks/trailers become usual
driver, while bus; public transportation; and private car as diligent drivers.

In this study, modification of STCA is conducted by taking agent and diligent driver into account.
The simulation results found the evacuation time not only in the proposed model of driving
behaviour or modified STCA but also in the STCA. Comparison of evacuation time between the
modified STCA and the STCA was also performed.

Figure 3. Distribution of speed for the truck (trailer) and all kind of the vehicles

Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 29
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Figure 4. Distribution of speed for all kind of the vehicles: truck/trailer, bus, public transportation, and private
car

Figure 5. Speed of the trucks/trailers and all vehicles from time to time consecutively in 190 hours (eight
days)

3. Stochastic traffic cellular automata (STCA)

The original STCA rule has been stated by Nagel et al. including acceleration, braking,
1
randomization, and vehicle movement and run using one lane traffic and close-loop. In this
study we used two lane of traffic to extend the STCA by adding the lane-changing model. Based
2
on the lane-changing model in traffic cellular automata stated elsewhere , we took lane-changing
into account and inserted it in the STCA. There are two sub steps that are consecutively
executed at each time step of cellular automata, (1) lane-changing and (2) car-following. Thus
the complete rule of the extension of STCA will become:

1) Acceleration
v (i , j ) (t 1) v max and gs (i , j ) (t 1) v (i , j ) (t 1) 1 v ( i , j ) (t ) v (i , j ) (t 1) 1 (1)
2) Braking
gs(i , j ) (t 1) v(i , j ) (t ) v(i , j ) (t ) gs(i , j ) (t 1) 1 (2)
3) Randomization
(t ) p v ( i , j ) (t ) max[ 0, v (i , j ) (t ) 1] (3)

Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 30
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

4) Vehicle movement
x ( i , j ) (t ) x (i , j ) (t 1) v ( i , j ) (t ) (4)
5) Lane-changing
Determine probability of lane-changing Plc and a = [0 : v] for:
gs (i 1, j ) (t 1) v and x( i 2, j , j v) (t 1) 0 x( i 2, j a ) (t ) x( i 1, j ) (t 1) (5)
Or
gs( i 2, j ) (t 1) v and x(i 1, j , j v ) (t 1) 0 x( i 1, j a ) (t ) x( i 2, j ) (t 1) (6)
6) Car following/vehicle movement:
Back to step 4.

Thus the original STCA has been stated in Eq. (1) to Eq. (4), while Eq. (5) and Eq. (6) is
lane-changing added in the original STCA.

4. Modified stochastic traffic cellular automata

3
We combined the driving behavior agent driver and diligent driver in section 2.2 and input them
into the STCA. Furthermore, we call it modified STCA. Thus, the basic difference between the
STCA and the modified STCA is in the speed of them. The speed in the STCA based on Eq. (1),
while in the modified STCA there is additional speed.

Additional speed of an agent driver had been proposed in section 2.1 inserted into the driving
behaviour of STCA. In this section, we improved the additional speed of an agent driver. An
agent driver has the speed v( i , j ) (t ) [0 : max( v )] otherwise the speed of a diligent driver
is v( i , j ) (t ) [0 : min(v , v] .

The complete rules of modified STCA considering agent driver and diligent driver have number
of step same with the STCA in section 3 and presented as follows:

Step (1) to step (3): acceleration, braking, and randomization have same equation model
with the original STCA consecutively in Eq. (1) to Eq. (3).
Step (4): vehicle movement, it is different with vehicle movement in the STCA. We insert
speed of agent and diligent driver into the vehicle movement. The equations of vehicle
movement are:

If a diligent driver,
x (i , j ) (t ) x (i , j ) (t 1) v (i , j ) (t ) [ 0 : min( v , v] (7)
else if an agent driver,
x ( i , j ) (t ) x ( i , j ) (t 1) v (i , j ) (t ) [0 : max( v)] (8)

Step (5): lane-changing have same equation model with the STCA in Eq. (5) and Eq. (6).
Step (6) is same instruction like step (6) in the STCA in section 3.

Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 31
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

5. Simulation results

In accordance with simulation results, we wish to show effect of agent and diligent driver toward
the evacuation time. We observed consecutively relationship between evacuation time and
diligent driver, mean speed, lane-changing.

Evacuation time was obtained based on probability of diligent driver. This simulation results
using lane-changing equal to zero. Figure 6 shows the comparison of the effect of diligent driver
between STCA model and the modified model. When the diligent driver is increased, both the
evacuation time in the modified STCA model and the STCA model is decreased. We found that
evacuation time is lower in the modified STCA model than that in the STCA model. These
conditions occur not only in the agent = 1 but also in the agent = 2 and 3. Figure 6 also gives
information that as the number of agent increase, the evacuation time will be decreased.

The effect of mean speed with respect to the evacuation time is also obtained (Figure 7). As the
mean speed increase, the evacuation time will be decreased not only in the STCA model but also
in the modified STCA model. We note that the evacuation time in the modified STCA model is
lower than that in the STCA model when the mean speed is increased. The effectiveness of
evacuation time in the modified STCA model was 6.3%. For the number of agent increase, we got
the evacuation time in the modified STCA model is decreased. Figure 7 also provides a leap of
evacuation time from mean speed = 1 to mean speed = 2. It has 44% decrease in the STCA
model and 47% in the modified STCA model.

Figure 6. Effect of diligent driver in the STCA model and modified STCA model. Density k=0.6,
lane-changing = 0.

Figure 7. Effect of mean speed in the STCA model and modified STCA model. Density k = 0.6,
lane-changing = 0.

Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 32
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Effect of diligent driver toward the evacuation time using lane-changing equal to zero was found
(Figure 6). Furthermore, combination between the diligent driver and lane-changing to get the
evacuation time was conducted. Figure 8 stated that using lane-changing = 0.2, density k = 0.6,
and diligent driver increase, we get the evacuation time is decreased. It occurs both in the STCA
model and the modified STCA model. Evacuation time in STCA model is larger than that in the
modified STCA model. We note that by the number of agent driver increase in the modified
STCA model, we got evacuation time decrease. By using modified STCA model, we had the
effectiveness of evacuation time around 33.6%.

Next, we show effect of lane-changing to the evacuation time by using different diligent driver
and agent driver. Figure 9 compares the effect of lane-changing in the STCA model and the
modified STCA model. For lane-changing 0 to 0.6 and diligent driver 0.3; 0.5; 0.7 (Figure 9a; b; c,
consecutively) we got the evacuation time in the modified STCA model is lower than that in the
STCA model. One of the effectiveness of evacuation time in the modified STCA model was
calculated for Figure 9a, we got it 5.7%. As lane-changing increase, evacuation time will be
decreased not only in the modified STCA model but also in the STCA model. In Figure 9, we also
found that the evacuation time will be more decreased when the number of agent is larger.

Figure 8. Effect of diligent driver in the STCA model and modified STCA model. Density k=0.6,
lane-changing=0.2.

(a) (b)

(c)
Figure 9. Effect of lane-changing in the STCA model and modified STCA model. Density k = 0.6. (a) diligent
driver = 0.3; (b) diligent driver = 0.5; (c) diligent driver = 0.7

Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 33
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

6. Conclusion

Modification of STCA was performed by adding agent and diligent driver into the vehicle
movement of STCA, we called it modified STCA. A comparative simulation study between STCA
model and modified STCA model was conducted. By using modified STCA model, we had the
effectiveness of evacuation time. Based on mean speed, we obtained the effectiveness of
evacuation time 6.3% for the density k = 0.6, lane-changing = 0. By diligent driver, the
effectiveness of evacuation time was 33.6% for density k = 0.6, lane-changing = 0.2. On the
other hand, we also found the effectiveness of evacuation time based on lane-changing by 5.7%
for density k = 0.6 and diligent driver = 0.3.

References

1. Nagel K, Schreckenberg M. 1992. A cellular automaton model for freeway traffic. Journal Physics I
France, 2(12): 2221-2229.
2. Maerivoet S, De Moor B. 2005. Cellular automata models of road traffic. Physics Reports, 419(1): 1-64.
3. Harsono T, Basuki A, Arai K. 2009. Monte Carlo Simulation of Micro Traffic with Unpredictable
Disturbance. Proceedings of Third Asia International Conference on Modelling & Simulation, Bandung –
Bali, Indonesia, pp.224-229.
4. Chopard B, Luthi P, Masselot A. 1998. Cellular Automata and Lattice Boltzmann Techniques:
An Approach to Model and Simulate Complex Systems. Lecture Notes, Computer Science
Department, University of Geneva, Switzerland.

Harsono & Arai. Cellular Automata for Traffic Modeling and Simulation. 34
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Stres dan Penyakit Kardiovaskuler pada Korban Bencana Alam: Insiden,


Patofisiologi, dan Penanganan

Udin Bahrudin*, Sulistiyati B Utami


Departemen Jantung dan Pembuluh Darah, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Indonesia; Division of Regenerative Medicine and Therapeutics, Graduate School of Medical
Science, Tottori University, Japan
*Email korespondensi: bahrudin00@gmail.com

Abstrak

Rangkaian bencana alam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini mengakibatkan kerugian
material dan immaterial yang besar serta berdampak pada kesehatan korban bencana.
Stres maupun penyakit kardiovaskuler (jantung-pembuluh darah) terkait stres banyak
ditemukan pada korban bencana, baik segera setelah kejadian maupun dalam jangka waktu
lama sesudahnya. Stres didefinisikan sebagai kondisi yang dipicu oleh adanya gangguan
sistem homeostasis. Respon terhadap stres diatur oleh sistem stres yang terletak di sistem
saraf pusat dan organ perifer. Stres dapat menyebabkan kondisi patologis secara akut atau
kronik pada individu yang rentan, dengan perantara mediator utama corticotropin-releasing
hormone dan norepinephrine. Angka kejadian dan berat ringannya stres pasca
trauma/bencana bervariasi, dipengaruhi faktor jenis, skala, dan durasi bencana. Respon
emosi terhadap kejadian bencana wajar terjadi, tetapi bila sampai menimbulkan gangguan
fungsi perawatan diri dan/atau pekerjaan maka diperlukan bantuan profesional. Respon
emosi anak terhadap bencana tergantung dari usia pertumbuhannya dan dipengaruhi oleh
respon orang dewasa di sekitarnya. Insiden penyakit kardiovaskuler meningkat terkait
dengan kejadian bencana. Kaitan antara stres, otak, jantung-pembuluh darah dapat
menjelaskan peningkatan insiden tersebut. Penanganan pasien dengan penyakit
kardiovaskuler dengan depresi atau ganggaun psikologis lain memerlukan program
manajemen khusus berupa kombinasi terapi medis spesifik sesuai jenis penyakitnya dan
psikologis/psikiatris.

Kata kunci: Stres, penyakit kardiovaskuler, korban bencana alam

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Rangkaian bencana alam yang terjadi di Indonesia (Oktober-November 2010), yaitu bajir
bandang di Wasior, tsunami di Mentawai, dan erupsi Gunung Merapi telah menelan ratusan
korban meninggal, hilang, maupun luka-luka. Kerugian material dan immaterial yang besar
berdampak pada kesehatan psikis dan somatis bagi korban bencana dan keluarganya. Tulisan
ini menguraikan dampak bencana dari sudut pandang kedokteran/kesehatan dengan fokus
pada dampak psikologis dan somatis berupa stres dan penyakit kardiovaskuler (jantung-
pembuluh darah), yang meliputi patofisiologi, insiden, cara mengenali, dan cara menanganinya.

2. Gangguan homeostasis akibat stres pada korban bencana alam

Semua makhluk hidup menjaga keseimbangan dinamis yang kompleks (homeostatis), yang
selalu dipengaruhi oleh pengaruh kuat dari dalam maupun luar tubuh (stressor). Sehingga,
stres didefinisikan sebagai kondisi di mana homeostasis terganggu atau dinilai terganggu.
Respon adaptasi psikologis dan perilaku yang kompleks mengembalikan kondisi stres menjadi
1
homeostasis.

Respon terhadap stres diatur oleh sistem stres yang terletak di sistem saraf pusat (otak) dan
1
organ perifer (Gambar 1). Sistem stres pusat meliputi hypothalamic corticotrophin-releasing

35 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 35
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

hormone (HCTH) dan brain-derived norepinephrine. Kelainan sistem stres, misalnya karena
stressor yang berlebihan, dapat mengakibatkan gangguan psikologis, hormonal, metabolisme,
sistem imun, dan kardiovaskuler (jantung-pembuluh darah). Perkembangan dan tingkat
keparahan gangguan sistem stres tergantung faktor genetik, epigenetik, ketahanan individu
terhadap stres, terjadinya paparan stressor pada saat masa pertumbuhan, adanya faktor
1,2
lingkungan yang melindungi atau memperberat, serta waktu, berat, dan durasi stres.

Gambar 1. Sistem stres dan gangguan pada sistem stres.1 Keterangan lebih lanjut dapat dibaca di teks.
Singkatan: ABP, arterial blood pressure; ACTH, adrenocorticotropic hormone; APR, acute-phase
reactants; AVP, arginine vasopressin; CRH, corticotropin-releasing hormone; iCRH, immune CRH; E,
epinephrine; E2, estradiol; GH, growth hormone; HPA, hypothalamic-pituitary-adrenal; IGF-I, insulin-like
growth factor I; IL-6, interleukin 6; LC, locus ceruleus; LH, luteinizing hormone; NE, norepinephrine; T,
testosterone; TG, triglycerides

Stres dapat menyebabkan kondisi patologis (tidak normal) secara akut (segera) atau kronik
(lama dan menetap) pada individu yang rentan.3-6 Patogenesis (proses terjadinya penyakit) dari
gangguan akut akibat stres dikaitkan dengan meningkatnya sekresi mediator stres
(corticotropin-releasing hormone (CRH)) pada individu yang rentan.2,3,7-10 Sekresi CRH
mengakibatkan degranulasi sel mast, dan memicu reaksi alergi pada organ rentan, misalnya
pada paru-paru berupa asma atau pada kulit berupa eksim. Peningkatan CRH pada otak
menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan peningkatan permeabilitas sawar darah otak
dengan gejala berupa migraine (karena pelebaran pembuluh darah meningeal otak), panik atau
serangan psikotik (karena aktifnya respon takut pada sistem amigdala otak). Gangguan
tekanan darah (hipertensi atau hipotensi) disebabkan oleh stres yang menginduksi sistem
syaraf simpatis atau parasimpatik secara berlebihan. Patogenesis gangguan kronis akibat
stress dapat dijelaskan oleh adanya sekresi CRH berlebihan dan menetap jangka panjang yang
mempengarui sistem homestasis. 3,7-9,11

36 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 36
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

3. Stres terkait bencana alam

3.1. Insiden

Bencana alam dapat menyebabkan dampak serius dan berkepanjangan terhadap kesehatan
fisik maupun psikologis pada korban bencana yang selamat.12-14 Stres pasca tauma
(posttraumatic stress disorder (PTSD)) merupakan kelainan psikologis yang umum diteliti
setelah terjadinya bencana. PTSD dicirikan dengan adanya gangguan ingatan secara
permanen terkait kejadian traumatik, perilaku menghindar dari rangsangan terkait trauma, dan
mengalami gangguan meningkat terus-menerus.15 Angka kejadian PSTD pada korban yang
mengalami bencana langsung yang selamat kurang lebih 30% sampai 40%.12 Pengamatan
pada 262 korban tsunami di Aceh menunjukkan bahwa 83,6% mengalami tekanan emosi berat
dan 77,1% menunjukkan gejala depresi. Tekanan emosi berat tersebut terkait degan jumlah
orang yang meninggal karena tsunami dalam keluarga responden.16

3.2. Tanda-tanda stres terkait bencana alam

Secara umum, dampak bencana akan direspon dengan cara yang berbeda oleh tiap korban.
Beberapa orang mungkin mengalami dan mengekpresikan reaksi yang sangat kuat, sedangkan
lainnya hanya reaksi yang sangat ringan. Ada yang mengalami reaksi segera setelah kejadian,
sementara ada pula yang baru mengalami reaksi beberapa hari, minggu, atau bulan setelah
kejadian. Reaksi seseorang mungkin pula berubah setiap saat.17

3.2.1. Tanda-tanda stres pada orang dewasa


Reaksi emosi terhadap bencana sangat wajar terjadi yang mencakup: perasaan tumpul (mati
rasa), sedih, gelisah, marah, berduka, sensitif, pupus harapan, dan kecewa.17 Konsultasi
kesehatan mental perlu dipertimbangkan apabila reaksi yang muncul menetap, memburuk, atau
mengakibatkan gangguan fungsi perawatan diri ataupun pekerjaan (Tabel 1).18

Tabel 1. Tanda-tanda stres terkait bencana alam 18


- Kesulitan mengkomunikasikan pikiran - Disorientasi atau kebingungan
- Kesulitan tidur - Kesulitan berkonsentrasi
- Kesulitan menjaga keseimbangan dalam hidup - Keengganan untuk meninggalkan
mereka rumah
- Rendahnya ambang frustrasi (mudah frustasi) - Depresi, sedih
- Meningkatnya penggunaan obat / alkohol - Perasaan putus asa
- Terbatasnya jangka waktu perhatian - Perasaan (mood) berubah-ubah dan
- Rendahnya prestasi kerja mudah menangis
- Sakit kepala / gangguan pencernaan - Merasa sangat bersalah dan ragu
- Gangguan penglihatan / pendengaran pada diri sendiri
- Pilek atau gejala seperti flu - Takut keramaian atau orang asing,
menyendiri

3.2.2. Tanda-tanda stres pada anak-anak

Bencana alam bisa memicu munculnya rasa ketakutan, kebingungan, dan ketidakamanan pada
anak-anak. Beberapa bentuk ketakutan yang dialami oleh sebagian besar anak adalah: (1)
kejadian terulang lagi, (2) orang terdekatnya akan meninggal atau terluka, dan (3) mereka
ditinggal sendiri atau terpisah dari keluarga. Pada sebagian besar anak, reaksi terhadap
bencana alam berlangsung dalam waktu singkat dan merupakan reaksi normal terhadap
“kejadian tidak normal”. Sebagian kecil dari mereka dapat mengalami tekanan psikologis
berat.19

Reaksi yang umum terjadi pada anak-anak pasca bencana berdasarkan kelompok umur dapat
dilihat di bawah.19
a. Lahir s.d. usia 2 tahun. Bayi dapat bereaksi terhadap trauma dengan menjadi sensitif,
menangis lebih lama dari biasanya, atau ingin selalu didekap dan digendong. Pada anak
yang lebih besar, mungkin mereka akan meninggalkan permainan yang biasanya dilakukan.

37 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 37
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

b. Usia pra-sekolah (3 s.d. 6 tahun). Karena umur dan fisiknya kecil, mereka tidak mampu
melindungi diri sendiri maupun orang lain. Sehingga, mereka merasa sangat ketakutan dan
tidak aman bila terpisah dari pihak tempat bergangtung.
c. Usia sekolah (7 s.d. 10 tahun). Beberapa anak mengingat rincian peristiwa traumatis
dengan mendalam dan ingin membicarakannya terus-menerus. Kondisi ini dapat
mengganggu konsentrasi anak di sekolah dan prestasi akademisnya dapat menurun.
Mereka mungkin mengekspresikan reaksi sedih, takut, takut bencana akan terjadi lagi, rasa
bersalah atas tindakannya atau tidak bertindak saat terjadi bencana, marah karena kejadian
tidak dicegah, atau fantasi bermain sebagai penyelamat.
d. Usia remaja (11 s.d. 18 tahun). Respon mereka lebih menyerupai respon orang dewasa.
Mereka dapat terlibat dalam kondisi berbahaya dan mengerjakan pelilaku berisiko, seperti
mengemudi sembrono, minum alkohol, atau memakai narkoba. Sebagian dari mereka
mungkin menjadi takut meninggalkan rumah atau menghindari tingkat aktifitas yang
sebelumnya dikerjakan. Sebagian dari mereka mungkin merasa kewalahan oleh beratnya
beban psikologis dan merasa tidak mampu untuk mendiskusikannya dengan orang lain.

3.3. Penanganan stres terkait bencana alam

3.3.1. Mengatasi stres terkait bencana alam pada orang dewasa

Cara setiap orang merespon bencana alam bervariasi, dan perlu diingat bahwa cara yang
mereka ekspresikan tidak yang ada salah atau benar. Berikut ini adalah cara-cara untuk
mengurangi/mengatasi stres terkait bencana:18

a. Membicarakan dengan seseorang tentang perasaan yang dirasakan (marah, sedih, dan
perasaan lain), meskipun mungkin sulit.
b. Mencari pertolongan dari konselor profesional yang berurusan dengan stres pasca bencana.
c. Menghindari sikap membebani diri dengan tanggung jawab atas peristiwa bencana, atau
putus asa karena merasa tidak bisa membantu secara langsung dalam kerja menangani
bencana.
d. Mengusahakan cara penyembuhan secara fisik dan psikologis dengan pola makan sehat,
istirahat, olahraga, relaksasi, dan meditasi.
e. Menjaga kondisi keluarga dan rutinitas sehari-hari secara normal, membatasi menuntut
tanggung jawab pada diri sendiri dan keluarga.
f. Meluangkan waktu dengan keluarga dan teman-teman.
g. Berpartisipasi dalam acara-acara “kenangan”.
h. Bergabung dalam kelompok-kelompok pendukung (keluarga, teman, dan lembaga
keagamaan).
i. Memastikan dan menyiapkan diri sewaktu-waktu bencana datang lagi dengan persediaan
material menghadapi bencana dan memperbarui rencana keluarga menghadapi bencana.

3.3.2. Cara memahami dan membantu anak-anak mengatasi stres terkait bencana alam19

Reaksi anak-anak dipengaruhi oleh perilaku, pikiran dan perasaan orang dewasa. Orang
dewasa sebaiknya memotivasi anak dan remaja supaya mengutarakan pikiran dan perasaan
mereka tentang kejadian bencana. Klarifikasi kesalahpahaman mereka tentang risiko dan
bahaya denga cara mendengarkan apa yang menjadi perhatian mereka dan menjawab
pertanyaan-pertanyaannya. Pertahankan perasaan tenang dengan meluruskan perhatian dan
persepsi anak-anak dan dengan mendiskusikan rencana nyata untuk penyelamatan.
Pertanyaan dari anak kecil cukup di jawaban dengan singkat tanpa elaborasi seperti untuk anak
yang lebih besar atau remaja. Jika anak kesulitan mengekspresikan perasaannya, arahkan
mereka mengungkapkannya dengan cara menggambar atau menceritakan apa yang terjadi.
Diperlukan upaya untuk memahami apa yang menyebabkan kecemasan dan ketakutan pada
anak. Beberapa saran untuk membantu anak-anak menghadapi bencana tertulis pada Tabel 2.

38 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 38
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

19
Tabel 2. Cara membantu meyakinkan anak pasca bencana alam
- Memastikan adanya kontak personal. Peluk dan sentuh anak-anak.
- Memberikan informasi dengan tenang, faktual tentang bencana yang baru saja terjadi dan
rencana untuk menjamin keselamatannya.
- Mendorong anak-anak untuk berbicara tentang perasaannya.
- Menluangkan waktu dengan anak-anak, seperti pada waktu akan tidur.
- Menjadwalkan kembali rutinitas harian untuk sekolah, bermain, makan, dan istirahat.
- Melibatkan anak-anak dengan memberikan mereka tugas khusus untuk menumbuhkan
perasaan bahwa mereka berperan dalam membantu pemulihan keluarga dan kehidupan
masyarakat.
- Memuji dan mengakui perilakunya yang bertanggung jawab.
- Memahami bahwa anak-anak memiliki reaksi bervariasi terhadap bencana.
- Mendorong anak-anak untuk membantu keluarga memperbarui rencana penanggulangan
bencana.

Konsultasi atau bantuan konselor profesional diperlukan bila stres anak berlanjut, reaksi
memburuk, atau jika menyebabkan gangguan perilaku sehari-hari di sekolah, di rumah, atau
dalam hal hubungan dengan orang lain.

4. Penyakit kardiovaskuler terkait stres karena bencana alam

4.1. Insiden

Data penelitian di tingkat internasional menunjukkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler


akibat gempa bumi. Penelitian pada korban gempa bumi di Hanshin-Awaji, Jepang tahun 1995
mengkaji perubahan hemostatik terhadap stres. Peneliti menemukan adanya peningkatan
tekanan dan kekentalan darah pada korban gempa. Peningkatan kekentalan darah dicerminkan
dari peningkatan hematokrit dan penanda aktifitas pro-koagulasi (fibrinogen, von Willebrand
21
factor, dan D-dimer). Peningkatan emboli paru ditemukan pula pada korban gempa bumi di
Nigata Jepang tahun 2004. Seratus ribu penduduk dievakuasi dari rumah, dan kebanyakan dari
mereka tidur malam di dalam mobil. Kombinasi stres psikologis dan relatif tidak bergerak di
22
dalam mobil menyebabkan peningkatan drastis insiden emboli paru. Gempa bumi tahun 1994
di Northridge, California juga berdampak pada peningkatan dramatis angka kematian terkait
penyakit jantung-pembuluh darah pada hari terjadinya gempa dibandingkan dengan hari yang
sama di tahun sebelumnya.23 Data-data tentang dampak gempa bumi terhadap kardiovaskuler
tidak semuanya sama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kekuatan gempa (Skala Richter) dan
durasinya, variasi tingkat kerusakan yang disebabkan, dan waktu terjadinya gempa. Gempa
yang terjadi tengah malam menyebabkan tekanan psikologis lebih berat.24 Dampak perbedaan
waktu “siang malam” terjadinya gempa terhadap tingkat stres ini sangat menarik, mengingat
banyak studi menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung-pembuluh darah lebih tinggi saat
bangun tidur.

Terlepas dari jenisnya, apakah gempa bumi, serangan teroris, ataupun ledakan, stressor dapat
memicu terjadinya gangguan fungsi jantung. Penelitian pada 200 pasien dengan implantable
cardioverter defibrillators (ICDs) menunjukkan adanya peningkatan kejadian episode aritmia
yang mengancam jiwa selama sebulan setelah serangan 11 September 2011 di World Trade
25
Center dan Pentagon.

4.2. Patofisiologi

Dalam bidang kedokteran, stres merupakan salah satu keluhan pasien yang paling umum.
Keluhan stres menonjol dalam bidang kardiovaskuler karena adanya keterkaitan yang sangat
jelas antara otak dan jantung-pembuluh darah. Seperti dilukiskan pada Gambar 1, stres
berlebihan dapat mengganggu homeostasis sistem stres dan memicu peningkatan mediator
stres (CRH dan NE) sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol dan NE dalam sirkulasi darah.
Merujuk pada istilah psikoneuroimulogi yang telah lebih dulu dikenal luas, kaitan antara stres
(gejala psikologis), otak (sistem stres), dan kardiovaskuler kita sebut dengan istilah
psikoneurokardiologi.20

39 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 39
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

Hipotesis dampak stres akut pada sistem kardiovaskuler dapat dapat di lihat pada Gambar 2.
Respon fisiologis jantung dan pembuluh darah terhadap stres akut dapat berupa vasokonstriksi
pembuluh darah koroner jantung, disfungsi sistem otonom (simpatis/parasimpatis), aktivasi
neuroendokrin, respon peradangan, respon hemodinamik, dan respon penggumpalan darah.
Meskipun respon tersebut pada dasarnya fisiologis, tetapi bila melebihi kapasitas tubuh
terutama pada individu yang rentan atau memiliki faktor resiko tertentu, dapat menjadi patologis.
Respon patologis dapat berupa gangguan sistem konduksi, sirkulasi, ataupun kontraksi jantung,
26
yang secara klinis dapat berupa artimia ventrikel, infark otot jantung, atau nyeri dada (angina).
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan kadar trigliserid dan kolesterol
LDL, penurunan kolesterol HDL, peningkatan tekanan darah arterial, dan gangguan
penggumpalan darah.1 Laporan penelitian tentang stres kronis terhadap sistem kardiovaskuler
cenderung bersifat epidemiologis, tidak proses patofisiologisnya. Topik yang diangkat terkait
stres pekerjaan, masalah rumah tangga, atau perlakuan adil adil. Temuannya antara lain
berupa peningkatan tekanan darah, fibrinogen, D-dimer, faktor pro-koagulan dan sitokin pro-
inflamasi dalam sirkulasi, dan insiden serta resiko infark miokardium. Peningkatan tekanan
darah dikaitkan dengan penurunan sensitifitas reflek tekanan (baroreflex).23

4.3. Hubungan antara penyakit kardiovaskuler dan stres

Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengelaborasi hubungan stres baik disebabkan oleh
bencana alam maupun sebab lain. Meskipun kaitan langsung sebaigai hubungan sebab-akibat
antara stres dan penyakit kardiovaskuler kontroversial, tetapi kaitan keduanya sangat jelas.
Stres merupakan faktor resiko yang sangat penting bagi penyakit kardiovaskuler akut maupun
kronik (Tabel 3). Kabar baiknya, efek stres dapat dimodifikasi untuk memberikan dampak klinis
sesuai yang diharapkan.27

Tabel 3. Korelasi antara gangguan psikologis dan stressor spesifik terhadap sistem kardiovaskuler27
Gangguan psikologis Akibat pada kardiovaskuler Faktor resiko

Depresi, putus harapan, Penyakit jantung iskemik, kematian Obesitas, sindrom metabolik, hipertensi,
pandangan pesimis karena sebab apapun, kematian diabetes, aktifasi platelet, peningkatan
mendadak konsentrasi protein C reaktif dan sitokin,
gangguan variabilitas denyut jantung
Kecemasan kronis Penyakit jantung iskemik, atrial Hipertensi, gangguan variabilitas denyut
fibrilasi, kematian karena sebab jantung
apapun, kematian mendadak
Efek residu dari trauma psikologis Penyakit jantung iskemik, kematian Hipertensi dan reaktifitas tekanan darah,
(contoh: PTSD, siksaan mental karena sebab apapun, kematian variabilitas denyut jantung sepanjang hari
atau fisik, kematian pasangan) mendadak dan saat istirahat

Tipe kepribadian
Kepribadian tipe A dan D Penyakit jantung iskemik Peningkatan reaksi tekanan darah
terhadap stres emosi
Pemarah dan perangai Kematian terkait kardiovaskuler Gangguan kadar lemak darah
bermusuhan (dyslipidemia), sindrom metabolik,
diabetes, hipertensi, gangguan endotel,
agregasi platelet, kegagalan fibrinolisis

Kelainan atau stressor lainnya


Emosi mendadak (ketakutan Stunning otot jantung, aritmia Iskemia otot jantung, peningkatan
akut, duka, takjub, marah) ventrikel akut dan kematian tekanan darah, perubahan hemostatik,
mendadak, penyakit jantung iskemik gangguan variabilitas denyut jantung
Status ekonomi rendah, stres Kematian karena sebab apapun dan Kagagalan pemulihan denyut jantung
terkait pekerjaan, tekanan dari karena kardiovaskuler, penyakit setelah latihan fisik, penuruan kapasistas
orang lain jantung iskemik latihan, hipertensi, diabetes,
hiperkoagulasi dan gangguan fibrinolisis
Gangguan tidur (sleep Kematian karena sebab apapun Peningkatan denyut jantung istirahat,
deprivation) peningkatan tekanan darah, obesitas,
resitensi insulin, gangguan variabilitas
denyut jantung, peingkatan penanda
peradangan, peningkatan faktor-faktor
hemostatik
PTSD: post-traumatic stress disorder

40 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 40
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

4.4. Penanganan

Selain dengan cara penanganan stres terkait bencana seperti telah disebutkan di atas,
pengobatan secara medis tentu dibutuhkan sesuai dengan spesifikasi penyakit yang diderita
korban bencana. Meskipun belum ada prosedur tetap yang diterapkan secara luas, bentuk
pengobatan yang mungkin efektif berupa interaksi dan intervensi langsung dengan pasien yang
menunjukkan gejala gangguan psikologis atau memiliki risiko ganggaun psikologis.

Beberapa penelitian menunjukkan keefektifan dari kombinasi beberapa bentuk intervensi


terhadap pasien kardiovaskuler, termasuk diantaranya konsultasi dengan konselor profesional.
Penelitian di Alabama, Amerika Serikat, menemukan bahwa bantuan secara fisik, emosi, dan
kognitif melalui percakapan telepon untuk membantu memecahkan masalah (social problem-
solving telephone partnerships) kepada perawat/keluarga pasien stroke akan meningkatkan
kecenderungan pasein stroke (yang telah pulang dari rumah sakit) dapat bertahan di rumah
28
tanpa perlu perawatan kembali di rumah sakit. Pengobatan psikiatris terhadap pasien dengan
gagal jantung kongestif yang mengalami depresi berhasil menurunkan gejala depresi
dibandingkan dengan yang tidak diberikan pengobatan.29 Dibandingkan dengan bentuk-bentuk
30
intervensi yang lain, terdapat kecenderungan terhadap program manajemen depresi yang
mencakup terapi dengan obat antidepressant baru (lebih aman dan ditoleransi dengan baik)
dan progam konseling bagi pasien-pasien dengan perilaku tidak sehat yang menunjukkan
gejala depresi atau gejala penyerta yang lain.

Stres akut

Respon fisiologis kardiovaskuler


Vasokonstriksi Disfungsi Activasi Respon Respon Respon
koroner otonom Neuroendokrin peradangan hemodinamik protrombotik

Efek patofisiologis kardiovaskuler


Instabilitas sistem Iskemia otot jantung Disrupsi plak ateroma Terbentuknya trombus
konduksi jantung

Kejadian klinik kardiovaskuler


Takikardia/fibrilasi Infark miokardium Angina tidak stabil
ventrikel

Gambar 2. Respon fisiologis, efek patologis, dan kejadian klinik kardiovaskuler


yang disebabkan stres akut26

Intervensi berupa teknik mereduksi stres dapat dipertimbangkan untuk penanganan pasien
kardiovaskuler terkait stres, yaitu: (1) pendekatan aktifitas: latihan fisik (joging, aerobik),
rekreasi (hobi, olah raga, traveling), grup aktifitas sosial/keagamaan, (2) pendekatan perilaku:
memeriksa tujuan hidup, mengidentifikasi penyebab stres, pengenalan sifat merusak yang
menurun, modifikasi perilaku dengan teknik tertentu, (3) latihan relaksasi: meditasi, imaginasi
terbimbing, latihan relaksasi otot progresif, hipnosis, (4) biofeedback: pengontrolan tegangan
otot, pengontrolan suhu, respon kulis Galvanik, (4) obat-obatan: obat penenang (sedative,
tranquilizer), anti-depresan, beta-blocker.31 Obat penyekat beta bekerja dengan menurunkan
efek hilir (downstream) aktivasi respon sistem stres, sehingga banyak dipakai pada pasien stres
dengan gagal jantung, infark otot jantung, dan aritmia dengan kriteria tertentu.27

41 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 41
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

5. Penutup

Stres maupun penyakit kardiovaskuler terkait stres banyak ditemukan pada korban bencana,
baik segera setelah kejadian maupun dalam jangka waktu lama sesudahnya. Telah diuraikan
insiden, patofisiologi dan penanganan stres dan kaitannya dengan penyakit kardiovaskuler
pada korban bencana. Hal ini dapat menjadi masukan pengetahuan bagi pihak-pihak yang
mengelola penanganan korban bencana, baik pengambil kebijakan maupun pelaksana di
lapangan seperti dokter, paramedis ataupun petugas/relawan kemanusiaan lainnya.

Referensi

1. Chrousos GP. Stress and Disorders of the Stress System. Nat Rev Endocrinol. 2009; 5(7):374-381.
2. Chrousos GP, Gold PW. The concepts of stress and stress system disorders: overview of physical and
behavioral homeostasis. JAMA. 1992; 267:1244–1252.
3. Charmandari E, Tsigos C, Chrousos GP. Neuroendocrinology of stress. Ann Rev Physiol. 2005;
67:259-284.
4. Chrousos GP. The hypothalamic–pituitary–adrenal axis and immune-mediated inflammation. N Eng. J
Med. 1995; 332:1351-1362.
5. McEwen BS. Physiology and neurobiology of stress and adaptation: central role of the brain. Physiol
Rev. 2007; 87:873-904.
6. Chrousos GP, Kino T. Glucocorticoid action networks and complex psychiatric and/or somatic
disorders. Stress. 2007; 10:213-219.
7. Karalis K, Sano H, Redwine J, Listwak S, Wilder RL, Chrousos GP. Autocrine or paracrine
inflammatory actions of corticotropin releasing hormone in vivo. Science. 1991; 254(5030):421-423.
8. Elenkov IJ, Chrousos GP. Stress hormones, TH1/TH2-patterns, pro/anti- inflammatory cytokines and
susceptibility to disease. Trends Endocrinol Metab. 1999; 10:359-368.
9. Elenkov IJ, Kvetnansky R, Hashiramoto A, Bakalov VK, Link AA, Zachman K, et al. Low versus high
baseline epinephrine output shapes opposite innate cytokine profiles: presence of Lewis- and Fischer-
like neurohormonal-immune phenotypes in humans. J Immunol. 2008; 181(3):1737-1745.
10. Theoharides TC, Singh LK, Boucher W, Pang X, Letourneau R, Webster E, Chrousos G. Corticotropin-
releasing hormone induces skin mast cell degranulation and increased vascular permeability, a
possible explanation for its proinflammatory effects. Endocrinology. 1998; 139(1):403-13.
11. Theoharides TC, Spanos C, Pang X, Alferes L, Ligris K, Letourneau R, et al. Stress-induced
intracranial mast cell degranulation: a corticotropin-releasing hormone-mediated effect. Endocrinology.
1995; 136(12):5745-50.
12. Galea S, Nandi A, Vlahov D. The epidemiology of posttraumatic stress disorder after disasters.
Epidemiol Rev. 2005; 27:78-91.
13. Norris FH, Friedman MJ, Watson PJ, Byrne CM, Diaz E, Kaniasty K. 60,000 disaster victims speak.
Part I. An empirical review of the empirical literature, 1981–2001. Psychiatry. 2002; 65:207-239.
14. Bland SH, O’Leary ES, Farinaro E, Jossa F, Trevisan M. Long-term psychological effects of natural
disasters. Psychosom Med. 1996; 58:18-23.
15. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 4th ed.
Washington, DC: American Psychiatric Association; 1994.
16. Souza R, Bernatsky S, Reyes R, de Jong K. Mental health status of vulnerable tsunami-affected
communities: a survey in Aceh Province, Indonesia. J Trauma Stress. 2007; 20(3):263-269.
17. Frank C. Coping with mental health problems following disaster, emergency situations. URL:
http://theklaxon.com/coping-with-mental-health-problems-following-disaster-emergency-situations
accessed on November 19, 2010.
18. Coping with Disaster. URL: http://www.fema.gov/rebuild/recover/cope.shtm accessed on November 19,
2010.
19. Helping Children Cope with Disaster. URL: http://www.fema.gov/rebuild/recover/cope_child.shtm
accessed on November 19, 2010.
20. Matsuo T, Suzuki S, Kodama K, Kario K. Hemostatic activation and cardiac events after the 1995
Hanshin-Awaji Earthquake. Int J Hematol. 1998; 67:123-129.
21. Watanabe H, Kodama M, Tanabe N, Nakamura Y, Nagai T, Sato M, et al. mpact of earthquakes on
risk for pulmonary embolism. Int J Cardiol. 2008; 129(1):152-154.
22. Leor J, Poole W, Kloner R. Sudden cardiac death triggered by an earthquake. N Engl J Med. 1996;
334:413-419.
23. Dimsdale JE. Psychological stress and cardiovascular disease. J Am Coll Cardiol. 2008; 51(13):1237-
1246.

42 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 42
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 TOPIK UTAMA

24. Steinberg JS, Arshad A, Kowalski M, Kukar A, Suma V, Vloka M, et al. Increased incidence of life-
threatening ventricular arrhythmias in implantable defibrillator patients after the World Trade Center
attack. J Am Coll Cardiol. 2004; 44(6):1261-1264.
25. Rau H, Brody S. Psychoneurocardiology: psychosomatic and somatopsychic approaches to
hypertension research. Integr Physiol Behav Sci. 1994; 29(4):348-354.
26. Bhattacharyya MR, Steptoe A. Emotional triggers of acute coronary syndromes: strength of evidence,
biological processes, and clinical implications. Prog Cardiovasc Dis. 2007; 49(5):353-365.
27. Brotman DJ, Golden SH, Wittstein IS. The cardiovascular toll of stress. Lancet. 2007; 370(9592):1089-
1100.
28. Grant JS, Elliott TR, Weaver M, Bartolucci AA, Giger JN. Telephone intervention with family caregivers
of stroke survivors after rehabilitation. Stroke. 2002; 33:2060-2065.
29. Nelson EA, Jordan DM 2nd. Preliminary results of a pilot program on depression in patients with
congestive heart failure. Psychol Rep. 2001; 88:42-44.
30. Cassano P, Fava M. Depression and public health: an overview. J Psychosom Res. 2002; 53:849-857.
31. Rosch PJ. Effects of stress on the cardiovascular system. Physician & Patient. 1983 2(11):30-44.
32. Cassano P, Fava M. Depression and public health: an overview. J Psychosom Res. 2002; 53:849-857.

43 Bahrudin & Utami. Stres dan penyakit jantung pada korban bencana. 43
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

Effects of Land Use Planning in PERPRES 54/2008 on River Discharges


Miga Magenika Julian1,2*, Fumihiko Nishio2, Poerbandono3, Philip J. Ward4
1
Study Program of Geodesy and Geomatics Engineering, Institute of Technology Bandung, Indonesia
2
Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Japan
3
Faculty of Earth Science and Technology, Institute of Technology Bandung, Indonesia
4
Institute for Environmental Studies, Faculty of Earth and Life Science, VU University Amsterdam, the
Netherlands
*Email: miga.m.julian@students.itb.ac.id

Abstract
In 2008, a presidential regulation number 54 (Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 -
Perpres 54/2008) that regulates uses of land for various degrees of utilization and
conservation across Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak and Cianjur
(Jabodetabekpuncur) was issued. Perpres 54/2008 is a reference for the implementation of
development related to water and soil conservation, the availability of ground water and
surface water, flood prevention, and economic development for the welfare of the community.
This study was intended to investigate the effects of land use planning in Perpres 54/2008 on
river discharges based on spatial simulation of the Ciliwung and Cisadane watersheds. Three
evaluation points for each watershed were investigated: downstream, middle and upper
watersheds. Here, we simulated the river discharge at 100m×100m resolution with land use
data in year 2007. A calibrated spatial water balance model named Spatial Tools for River
Basins and Environment and Analysis of Management Option (STREAM) was used for river
discharge simulation. The inputs of this model were climate data (precipitation and
temperature), land use and topography. Two scenarios of land use were used, the actual land
use condition (i.e. year 2007) and planned land use according to Perpres 54/2008. Based on
Perpres 54/2008 simulation scenario, if land use planned in Perpres 54/2008 have
successfully implemented, it can reduces river discharge by 0.1% to 5.6%.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Introduction

In 1995, the population in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek) has
1
reached more than 20 million and is still rising since then. The rate of population growth in
Jabodetabek throughout 1980 to 1995 was 69.5%. This leads to conversion of forest and
agricultural zone into residential that decreases infiltration rate and causes fresh water to more
easily flow to the sea. In 2008, a presidential regulation number 54 (Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2008 - Perpres 54/2008) was issued. It is a presidential regulation that regulates uses of
land for various degrees of utilization and conservation across Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Puncak and Cianjur (Jabodetabekpuncur). Perpres 54/2008 is a reference for the
implementation of development related to water and soil conservation, the availability of ground
water and surface water, flood prevention, and economic development for the welfare of the
community. Land use planning covering Jabodetabek appeared in this Perpres (see Figure 1).
This study was intended to investigate the effects of land use planning in Perpres 54/2008 on river
discharges based on spatial simulation of the Ciliwung and Cisadane watersheds. Three
evaluation points for each watershed were investigated (see Figure 1): downstream, middle and
upper watersheds. The similar study, which was applied at 1km x 1km resolution and using actual
2
land use data year 2004, has successfully done and documented in. Here, we simulated the river
discharge at 100m×100m resolution with updated land use data (i.e. year 2007).

Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 44
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

Figure 1. Study site

2. Material and Method

A calibrated spatial water balance model named Spatial Tools for River Basins and Environment
3,4
and Analysis of Management Option (STREAM) was used for river discharge simulation. The
inputs of this model were climate data (precipitation and temperature), land use and topography.
The ASTER Global Digital Elevation Model (GDEM) was used to delineate model of river network.
Climate data (monthly average precipitation and temperature) were provided by Climate
Research Unit (CRU) (CRU CL 2.1), University of East Anglia, Norwich, United Kingdom.5 The
prevailing rainfall climate (and air temperature) was represented by monthly climatology datasets
at 10’ 10’ latitude/longitude spatial resolution. These were mean monthly magnitudes
interpolated from data sets of station means for the period of 1961 to 19905. Two scenarios of land
use were used, the actual land use condition and planned land use according to Perpres 54/2008.
The actual land use was generated on the basis of interpretation of MODIS imagery from year
2007. Look-up tables (Tables 1 and 2) were used to estimate maximum soil water holding
capacity (Smax) and crop coefficient (k) according to land use data.

Table 1. Maximum soil water holding capacity (Smax) in mm/meter depth of soil, look-up6
1
No. IGBP land cover legend S max Corresponds to soil type
1 Evergreen needleleaf forest 270 Loam
2 Evergreen broadleaf forest 270 Loam
3 Deciduous needleleaf forest 270 Loam
4 Deciduous broadleaf forest 270 Loam
5 Mixed forest 270 Loam
6 Closed shrublands 180 Sandy loam
7 Open shrublands 127 Loamy sand
8 Woody savannas 280 Loam/silt loam
9 Savannas 296 Silt loam
10 Grasslands 150 Loamy sand/sandy loam
11 Permanent wetlands - -
12 Croplands 246 Very fine sand loam
13 Urban and built-up 170 Sandy loam
14 Cropland/natural vegetation mosaic 305 Clay loam
15 Snow and ice - -
16 Barren or sparsely vegetated 102 Sand
17 Water bodies also 060 -
1
International Geosphere-Biosphere Project

Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 45
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

Table 2. Crop coefficient (k), look-up7

No. Land Use Category k


1 Urban and built-up land 0.8
2 Dryland cropland and pasture 1.0
3 Irrigated cropland and pasture 1.0
4 Mixed dryland/irrigated cropland and pasture 1.0
5 Cropland/grassland mosaic 0.9
6 Cropland/woodland mosaic 1.0
7 Grassland 0.8
8 Shrubland 0.8
9 Mixed shrubland/grassland 0.8
10 Savannah 0.6
11 Deciduous broadleaf forest 1.1
12 Deciduous needleleaf forest 1.1
13 Evergreen broadleaf forest 1.1
14 Evergreen needleleaf forest 1.1
15 Mixed forest 1.1
16 Water bodies 0.3
17 Herbaceous wetland 1.1
18 Wooded wetland 1.1
19 Barren or sparsely vegetated 0.5
20 Herbaceous tundra 0.5
21 Wooded tundra 0.5
22 Mixed tundra 0.5
23 Bare ground tundra 0.5
24 Snow or ice 0.0

3. Result

Figure 2 and 3 show the map of Smax and k distribution according to actual land use and land use
planning in Perpres 54/2008, respectively. The red boundary indicates the coverage area of
Perpres 54/2008. From Figure 2 and 3, major improvement of Smax and k was seen in the western,
southern and eastern parts of Perpres 54/2008 covered area. The differences between land use
planning in Perpres 54/2008 and actual land use are increasing respectively by 2.02% in Smax and
0.03% in k factor. It indicates that land uses according to Perpres 54/2008 with respect to the
actual land use could improve maximum soil water holding capacity and crop coefficient.
According to these maps, as well as constant topography and monthly climatology precipitation
and temperature maps, computation of river discharge was carried out.

305 0 (in mm)

(a) Actual (b) Perpres 54/2008

Figure 2. Smax map

Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 46
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

1.1 0
(a) Actual (b) Perpres 54/2008
Figure 3. k map

Figure 4 shows the simulated discharges across selected evaluation points in the Ciliwung and
Cisadane watersheds. Higher discharge usually occurred from January to April. We can see that
the simulated discharges decrease under Perpres 54/2008 scenario, with the largest decrease in
the downstream area. The summary of computation is given in Table 3. The decreases in
discharge were 0.1%, 0.8% and 2.2% for the upper, middle and downstream of Ciliwung, and
4.4%, 4.7% and 5.6% for the upper, middle and downstream of Cisadane, respectively. The
overall effect of land use planning according to Perpres 54/2008 reduces river discharge by 0.1%
to 5.6%.
100 100 100
Actual Perpres 54/2008 Actual Perpres 54/2008 Actual Perpres 54/2008
80 80 80
Discharge (m /s)

Discharge (m /s)

Discharge (m /s)
3

60
3

60 60

40 40 40

20 20 20

0 0 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Month Month Month

(a) Downstream of Ciliwung (CL-1) (b) Middle of Ciliwung (CL-2) (c) Upper of Ciliwung (CL-3)
150
150 150
Actual Perpres 54/2008
Actual Perpres 54/2008
125
125 125
Discharge (m /s)

100
Discharge (m /s)

Discharge (m /s)

100 100
3
3

75 75 75

50 50 50

25 25 25
Actual Perpres 54/2008
0 0 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Month Month Month

(d) Downstream of Cisadane (CS-1) (e) Middle of Cisadane (CS-2) (f) Upper of Cisadane (CS-3)

Figure 4. Simulated discharges in selected evaluation points

Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 47
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

3
Table 3. Simulated discharges in selected evaluation points (in m /s)

Δ
Watershed Location Scenario Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Mean
(%)
Ciliwung Downstream Actual 90.5 74.0 72.3 71.6 58.0 36.8 33.0 34.9 39.2 45.8 51.6 61.9 55.8
-2.2
(CL-1) Perpres 93.3 73.0 70.9 70.1 56.4 35.2 31.6 33.3 37.6 43.7 49.7 59.9 54.6
Middle Actual 31.2 26.4 28.2 29.1 24.3 15.0 13.5 15.3 17.0 20.9 23.4 27.5 22.6
-0.8
(CL-2) Perpres 33.2 26.2 28.0 28.8 23.9 14.5 13.1 14.8 16.6 20.3 23.0 27.1 22.5
Upper Actual 12.9 10.4 12.5 12.4 11.8 6.7 6.9 6.7 9.0 9.6 12.0 12.0 10.2
-0.1
(CL-3) Perpres 13.6 10.4 12.4 12.3 11.7 6.6 6.8 6.6 8.9 9.5 11.9 11.9 10.2
Cisadane Downstream Actual 149.3 127.5 132.9 142.3 120.2 82.5 74.0 85.3 93.0 105.4 114.5 123.1 112.5
-5.6
(CS-1) Perpres 143.5 122.8 127.3 136.4 113.7 76.5 67.8 79.2 86.1 98.2 106.5 116.2 106.2
Middle Actual 90.6 74.3 86.6 94.4 83.8 56.9 53.6 61.6 70.8 76.3 85.6 84.0 76.5
-4.7
(CS-2) Perpres 85.8 71.7 83.4 91.2 80.2 53.6 50.0 58.2 66.9 72.5 81.5 80.2 72.9
Upper Actual 22.7 18.3 21.8 23.4 21.4 13.8 13.3 14.2 17.2 18.4 22.0 21.2 19.0
-4.4
(CS-3) Perpres 21.8 17.7 21.0 22.6 20.6 13.1 12.5 13.4 16.2 17.6 21.0 20.3 18.2

4. Conclusion

Investigation the effects of land use planning in Perpres 54/2008 on river discharges was
discussed. Successful implementation of all designated land uses according to Perpres 54/2008
with respect to the actual land use could improve maximum soil water holding capacity and crop
coefficient. These respectively lead to improvement of infiltration and evapotranspiration in this
area. Based on Perpres 54/2008 simulation scenario, if land use planned in Perpres 54/2008
have successfully implemented, it can reduces river discharge by 0.1% to 5.6%. The decrease of
river discharges here are still less comparable to the increasing discharge in the period of 1981 to
8
2006 with respect to the period of 1961 to 1980 by 11% to 19%.

References

1. Cybriwsky R, Ford LR. 2001. City profile Jakarta, Cities; 18(3): 199-210.
2. Poerbandono, Ward PJ, Julian MM, Harto AB. 2009. Spatial simulation of watershed response across
Jakarta to the prevailing rainfall climate according to effective enforcement of Perpres 54/2008,
International Conference on Regional Development, Environment and Infrastructures "Trend, Issues
and Challenges Confronting Regional Development, Infrastructure and Environment in Developing
Countries", Bandung, Indonesia.
3. Aerts JCJH, Kriek M, Schepel M.1999. STREAM, Spatial Tools for River Basins and Environment and
Analysis of Management Options: ‘Set Up and Requirements’. Physics and Chemistry of the Earth Part
B; 24(6): 591-595.
4. Poerbandono R, Ward PJ, Julian MM. 2009. Set Up and Calibration of a Spatial Tool for Simulating
River Discharge of Western Java in Recent Decades: Preliminary Results and Assessments. ITB
Journal on Engineering Science; 41(1): 50-64.
5. New M, Lister D, Hulme M, Makin I. 2002. A high-resolution data set of surface climate over global land
areas. Climate Research; 21.
6. Belward AS. 1996. The IGBP-DIS global 1km land cover data set (DISCover) - Proposal and
implementation plans. IGBP-DIS Working Paper Number 13, Toulouse, France.
7. van Deursen WPA, Kwadijk JCJ. 1994. The impacts of climate change on the water balance of the
Ganges-Brahmaputra and Yangtze basin. Resource Analysis Report; RA/94-160.
8. Julian MM, Nishio F, Poerbandono, Ward PJ. 2010. Simulation of River Discharges in Major
Watersheds of North-Western Java from 1901 to 2006. The 4th Indonesia Japan Joint Scientific
Symposium 2010, Bali, Indonesia.

Julian, Nishio, Poerbandono, Ward. Effects of Land Use Planning in Perpres 54/2008. 48
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha

Mustamin Rahim
Teknik Arsitektur, Universitas Khairun Ternate, Indonesia
Graduate School of Engineering, Gifu University, Japan
Email korespondensi: mustamin_rahim@yahoo.co.id

Abstrak

Studi ini meneliti bentuk, karakteristik, dan filosofi arsitektur tradisional Moloku Kie Raha di
wilayah Maluku Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif melalui
pendekatan arsitektural dan historis. Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha menggunakan
analogi tubuh manusia sebagai filosofi bangunan yang terdiri atas tiga bagian utama yaitu
kaki, badan, dan kepala. Studi ini menunjukkan bahwa ada perbedaan bentuk dan
karakteristik rumah-rumah tradisional di setiap wilayah Maluku Utara. Namun demikian,
rumah-rumah tradisional ini memiliki persamaan filosofi. Bahan bangunan yang digunakan
adalah bahan alami yang mudah diperoleh di lingkungan sekitar bangunan.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Kekayaan budaya merupakan aset nasional Indonesia yang tidak ada duanya di dunia. Salah
satu khazanah budaya yang menonjol adalah bangunan tradisional yang bentuknya beragam,
arsitekturnya indah, dan setiap bangunan merepresentasikan kebudayaan daerah tertentu.
Arsitektur tradisional merupakan identitas budaya suatu suku bangsa karena di dalamnya
terkandung segenap perikehidupan masyarakatnya. Arsitektur tradisional ini berkaitan erat
dengan hunian atau tempat tinggal beserta bangunan pelengkapnya, seperti lumbung, tempat
pemujaan, dan bangunan tambahan lainnya. Bangunan hunian didirikan menurut konsep, nilai
1
dan norma-norma yang diwariskan nenek moyang. Namun demikian, seiring dengan
perkembangan teknologi, karya arsitektural masa kini berkembang ke arah arsitektur modern.
Perkembangan ini menyebabkan arsitektur tradisional mengalami transformasi yang cenderung
meninggalkan keaslian, keunikan, dan keindahannya. Transformasi ini dialami oleh rumah
tradisional Siko dan Pacei di Maluku Utara. Saat ini bangunan aslinya tidak ditemukan lagi.
Oleh sebab itu, pelestarian arsitektur tradisional perlu dilakukan.

Maluku Utara yang terdiri dari gugusan pulau dan dihuni berbagai suku mempunyai bangunan
tradisional yang khas. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk rumah tradisional yang unik di
setiap wilayahnya, misalnya rumah adat Sasadu atau rumah adat Folajikusesurabi. Kedua
rumah adat ini merupakan bagian dari arsitektur tradisional Moloku Kie Raha. Moloku Kie Raha
adalah nama adat dari Maluku Utara yang mengandung makna persaudaraan empat kerajaan,
2
yaitu kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Berdasarkan informasi dari masyarakat
setempat dan juga beberapa penelitian sebelumnya ada indikasi bahwa meskipun bangunan
tradisional di setiap wilayah itu memiliki ciri khas masing-masing, bangunan tradisional ini tetap
memiliki persamaan filosofi.3-7 Oleh karena itu, rumah-rumah tradisional ini sangat menarik
untuk dikaji lebih dalam.

Makalah ini akan menjelaskan secara teoritis bentuk dan konstruksi yang khas dari arsitektur
tradisional Moloku Kie Raha. Meskipun istilah Moloku Kie Raha merupakan nama adat, namun
artikel ini akan memakai istilah tersebut sebagai representasi arsitektur tradisional di Maluku
Utara. Ini merupakan upaya melestarikan (1) nilai-nilai budaya setempat, (2) konsep

Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 49


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

persaudaraan yang terkandung di dalam istilah Moloku Kie Raha, dan (3) arsitektur tradisional
yang beragam dengan konsep filosofi bangunan yang tunggal.

2. Bentuk bangunan

Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha memiliki bentuk yang khas di setiap daerah sesuai
keadaan alam dan budaya masing-masing suku bangsa. Namun demikian, arsitektur
tradisional ini masih memiliki kesamaan, yaitu sebagai perwujudan bentuk tubuh manusia yang
terbagi dalam tiga bagian utama4-6 sebagai berikut:

Kepala: bagian atap bangunan diibaratkan kepala manusia (lihat Gambar 1). Kepala
manusia merupakan bagian tertinggi dan paling penting peranannya dalam struktur tubuh
manusia. Keindahan penampilan seseorang juga tercermin dari bagian kepala, yaitu muka.
Karakteristik ini dijadikan landasan filosofi pada bagian atap bangunan arsitektur tradisional
Moloku Kie Raha dengan menganggap bahwa kepala bangunan sebagai bagian yang
paling tinggi kedudukannya dan harus dihormati. Kepala atau atap harus menampilkan
bentuk yang khas, dan mengandung nilai-nilai yang sakral.

Badan: badan bangunan diibaratkan badan manusia. Badan bangunan merupakan inti
bangunan yang meliputi dinding dan ruang yang terdiri dari sistem konstruksi, bahan,
ornamen, dan pola penataan ruang.

Kaki: pondasi bangunan diibaratkan kaki manusia yang harus mampu menjadi tumpuan
dalam kondisi apapun. Kaki bangunan meliputi sistem struktur dan bahan pondasi.

5
Gambar 1. Filosofi tubuh manusia pada bangunan.

Dalam rumah adat Sasadu, misalnya, kepala bangunan dianalogikan sebagai perahu
kesultanan (kagunga), dan di kedua ujung bubungan terdapat najung perahu (kalulu) sebagai
haluan atau buritan. Bagi masyarakat setempat perahu merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan dan sejarah perkembangan daerahnya karena perahu merupakan
kendaraan perang untuk melawan musuh, kendaraan utama untuk mencari nafkah di laut, alat
transportasi antarpulau, bahkan pada kondisi-kondisi tertentu perahu merupakan rumah
sementara.

Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha juga menggunakan bagian-bagian tubuh manusia
dewasa sebagai sistem satuan ukuran (measurement unit system), seperti tapak kaki, jengkal
tangan, depa, dan tinggi badan. Sistem satuan ukuran ini masih digunakan hingga saat ini. Jika
satuan ukuran ini diubah ke satuan Sistem Internasional agak sulit mendapatkan ukuran yang

Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 50


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

tepat karena sistem ukuran berdasarkan tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh postur
seseorang. Namun, sebagai perkiraan 1 kaki setara dengan 30 cm; 1 jengkal setara dengan
22.5 cm; 1 depa setara dengan 150 cm; tinggi badan diasumsikan 165 cm.

Pola keruangan umumnya terdiri atas ruang penerima tamu, kamar tidur, dan penyimpanan
benda-benda pusaka atau adat. Umumnya dapur berada terpisah dari bangunan utama. Pada
rumah Fala Kancing di Ternate, penempatan kamar tidur di sebelah kiri melambangkan letak
jantung manusia yang berada di dada kiri.4 Bangunan tempat tinggal umumnya konsentris,
yaitu terdiri dari bagian inti di tengah (bilik dalam) dan bagian luar yang mengelilingi bagian inti
(bilik luar).3 Jumlah tiang rumah tradisional Moloku Kie Raha menunjukkan status sosial
penghuninya. Misalnya rumah-rumah tradisional di Ternate, rumah yang memiliki 8 tiang pada
bagian teras (bagian depan rumah) menandakan bahwa penghuni rumah berasal dari keluarga
sultan, rumah yang memiliki 6 tiang menandakan rumah para jogubu (perdana menteri dan
panglima dalam kesultanan), dan yang bertiang 4 menandakan rumah para fanyira (ketua adat
8
atau marga/kepala kampung).

Ornamen atau ragam hias bangunan lebih banyak ditemukan pada bagunan yang digunakan
untuk upacara adat seperti pada rumah tradisional Sasadu. Pada tiang ruamah adat Sasadu
terdapat ukiran bermotif hewan (kura-kura, ular, dan ikan) dan tumbuhan (bunga dan
dedaunan). Rumah keluarga Sultan Ternate juga mempunyai ornamen di atas pintu dan
4
jendela berupa ukiran motif bunga.

3. Konstruksi bangunan

3.1. Pondasi

Rumah tradisional Moloku Kie Raha umumnya menggunakan pondasi susunan batu
(sengkedan) dan pondasi kayu yang ditinggikan di atas umpak batu. Jenis pondasi yang
digunakan disesuaikan dengan lokasi bangunan dan kondisi lahan. Di daerah pegunungan,
pondasi rumah umumnya menggunakan pondasi kayu dengan umpak batu utuh. Kayu yang
ditinggikan di atas batu ini menciptakan lantai yang tinggi sehingga dapat membentuk rumah
panggung. Maksud penggunaan jenis pondasi ini adalah untuk menyesuaikan dengan kontur
tanah yang miring dan perlindungan terhadap ancaman binatang buas. Sedangkan di daerah
landai, lembah, atau tepi pantai pondasinya menggunakan susunan batu tanpa perekat (spesi).
Lantai bangunan dengan pondasi jenis ini tidak ditinggikan (lihat Gambar 2a) karena lebih
praktis, dan kondisi lahannya juga tidak berkontur. Pada perkembangan selanjutnya, seperti
yang ditampilkan dalam Gambar 2b, pondasi yang menggunakan batu kali dengan perekat dari
kelero, yaitu berupa campuran hasil pembakaran batu kapur atau batu karang. Dinding terbuat
dari campuran kerikil, pasir, dan kalero. Bagian tengah dinding terdapat tulangan dari bilah-
bilah bambu. 4

(a) (b)

Gambar 2. Bentuk pondasi bangunan: (a) sistem sengkedan tanpa perekat, (b) pondasi batu kali dengan
perekat.

Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 51


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

3.2. Badan bangunan

Badan bangunan rumah tradisional Moloku Kie Raha meliputi dinding dan ruang bangunan
yang mencakup konstruksi, bahan, dan ornamen. Konstruksi dindingnya berupa rangka
(skeleton) yang menggunakan sambungan sistem pasak atau pengikat dari tali ijuk. Ada juga
yang menggunakan rangka sistem bongkar pasang (knock-down) sehingga memungkinkan
untuk dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Dinding terbuat dari anyaman bambu atau
susunan batang ijuk dengan posisi vertikal seperti terlihat pada Gambar 3a. Setiap lembaran
dinding diperkuat dengan tiang kayu atau bambu (lihat Gambar 3b). Bahan dinding dari bambu
yang mengunakan sambungan kombinasi antara pasak dan ikatan gumutu (tali ijuk) dapat
ditemukan pada rumah Fala Boga di Ternate.

(a) (b)

Gambar 3. Material dinding: (a) batang ijuk, (b) anyaman bambu.

Struktur rumah tradisional di pulau Ternate menggunakan struktur rangka kaku yang diperkuat
dengan pasak disebut Fala Kancing (fala: rumah, kancing: terkancing). Penggunaan rangka
kaku yang diperkuat dengan pasak juga ditemukan pada rumah-rumah di pulau Tidore (fola ijo,
fola lamo, dan folajikusesurabi), pulau Halmahera, dan pulau-pulau lainnya.4 Di samping itu,
ada juga struktur rumah yang menggunakan sambungan tanpa pasak tetapi memakai sistem
sambungan yang dimodifikasi menggunakan pen (lihat Gambar 4), seperti rumah tradisional
Sasadu di Halmahera Barat.

Gambar 4. Sistem sambungan kayu.1

3.3. Atap

Bentuk atap rumah-rumah tradisional bervariasi, di daerah Ternate dikenal dengan nama Fala
Boga yang berarti rumah beratap patah atau bengkok (lihat Gambar 5a). Ini berbeda dengan
atap rumah adat Sasadu, atap merupakan perwujudan perahu kesultanan (kagunga) dan
terdapat najung perahu (kalulu) pada kedua ujung bubungan (lihat Gambar 5b−d). Atap rumah
bangsawan daerah Ternate lebih tinggi daripada atap rumah rakyat biasa, rumah rakyat biasa
ketinggian tiang rajanya tidak lebih dari ¼ lebar bangunan, seperti pada Fala Kancing. Tiang

Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 52


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

raja memliki makna dan arti bagi masing-masing daerah, pada rumah Fala Kancing terdapat
4
tiga buah tiang raja sebagai simbol hubungan kepada Tuhan dan kepada kedua orangtua.

Struktur rangka atap umumnya menggunakan kayu, namun ada pula yang menggunakan
bambu dengan sistem rangka yang menyatu dengan rangka dinding. Bahan penutup atap
menggunakan daun sagu atau ijuk. Helai-helai daun sagu disusun dan ditekuk secara
sederhana pada sebilah bambu yang telah dikeringkan sehingga membentuk persegi panjang
4,5
menyerupai bentuk sisir. Bentuk ini memberikan kesan yang berirama, alami dan indah.
Panjang atap daun sagu adalah satu depa atau sekitar 1.5 meter.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 5. Bentuk ornamen dan rangka atap: (a) rangka atap rumah tradisional Ternate, (b) bubungan
atap Sasadu, (c) ornamen Kalulu pada atap Sasadu, (c) atap lancip Sasadu

4. Tinjauan teoretis rumah tradisional Moloku Kie Raha

Ada banyak jenis rumah tradisional di Maluku Utara, diantaranya rumah adat Sasadu,
Folajikusesurabi, Falagaku dan Falakancing (Ternate), Siko, Pacei, Taraudu, Dokiri, Katana,
dan Galela . Namun demikian, tulisan ini hanya akan menjelaskan dua rumah tradisional
Moloku Kie Raha, yaitu rumah adat Sasadu dan Folajikusesurabi. Rumah ini memiliki bentuk
yang khas dan keduanya masih tetap mempertahankan keaslian arsitekturnya. Dari
pembahasan dua rumah adat ini memberikan gambaran tentang penggunaan analogi tubuh
manusia dalam filosofi bentuk bangunannya dapat teridentifikasi.

4.1. Rumah adat Sasadu

Rumah adat Sasadu terdapat di Kabupaten Halmahera Barat. Rumah ini berfungsi sebagai
tempat musyawarah. Sebelum membangun rumah ini ada syarat-syarat yang harus disepakati
oleh raja, para Soa, dan pemangku adat, yaitu:

a. Penentuan lokasi: lahan bangunan harus berada pada tanah milik desa sendiri dengan
areal yang cukup luas; terletak pada pusat pemukiman penduduk; tanah ini disebut ririon.
b. Orientasi bangunan: harus memanjang dari timur ke barat sesuai dengan orientasi
matahari.
c. Bentuk bangunan: dalam penentuan ukuran panjang dan lebar rumah harus mengikuti
ketentuan khusus yang telah disepakati bersama.

Denah rumah adat Sasadu berbentuk segi-delapan dengan tipe memanjang dan agak bundar.
Rumah ini terbagi atas dua bagian, yaitu ruang samping yang mengelilingi ruang tengah
berbentuk segi-delapan (lihat Gambar 6a) dengan 12 tiang utama dan ruang tengah berbentuk
persegi panjang dengan 8 tiang utama. Lantai rumah adat Sasadu terbuat dari timbunan tanah
yang dipadatkan dengan susunan batu kali sebagai penahan tanah berbentuk segi delapan.
Gambar 6b memperlihatkan potongan melintang dan nama bagian-bagian rumah adat Sasadu.

Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 53


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

(a) (b)

Gambar 6. (a) Denah tipe memanjang, (b) potongan melintang rumah adat Sasadu.

Satuan ukuran yang digunakan adalah depa, yaitu rentangan tangan orang dewasa dari ujung
jari tengah tangan kiri hingga ujung jari tengah tangan kanan (1 depa ≈ 1.5 m). Ukuran panjang
dan lebar harus ditambah dengan ukuran yang ganjil misalnya 1, 3, 5, 7, atau 9. Penambahan
ukuran ganjil ini merupakan kepercayaan masyarakat setempat agar kehidupan masyarakat
desanya tetap berkesinambungan dalam wujud keturunan dan rejeki. Bahan bangunan yang
digunakan berasal dari bahan alami yang mudah didapatkan disekitar lokasi bangunan, tiiang
terbuat dari kayu, rangka atap terbuat dari bambu (Gambar 7a), alas lantai (degu-degu) juga
terbuat dari bambu (Gambar 7b), dan penutup atap terbuat dari dari daun rumbia, serta tali
3-7
ijuk sebagai pengikat.

(a) (b)

Gambar 7. Konstruksi rumah adat Sasadu: (a) rangka atap dan kuda-kuda, (b) alas lantai atau degu-degu
(foto oleh Suharto, 2008)

Bentuk bangunan berbentuk geometris segi-delapan dengan bagian tertinggi berbentuk pelana,
bagian tertinggi yang terletak di tengah bangunan mengindikasikan bahwa bilik dalam
merupakan bagian yang terpenting dari rumah adat Sasadu7 (lihat Gambar 8). Bagian atas
rumah adat Sasadu mempunyai dua susunan atap dengan kemiringan yang berbeda. Pertama,
atap luar mengelilingi bangunan segi delapan dengan kemiringan sekitar 15°. Kedua, atap
utama pada bagian tengah bangunan berbentuk segitiga sama kaki dan tinggi lancip. Pada
kedua ujung bubungan atap terdapat hiasan najung perahu (kalulu). Hal ini menggambarkan
bahwa arsitektur rumah adat Sasadu merupakan arsitektur masyarakat perahu.6

Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 54


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

Gambar 8. Dua tipe atap rumah adat Sasadu (foto oleh Suharto, 2008)

4.2. Rumah adat Folajikusesurabi

Gambar 9 memperlihatkan denah dan bagian depan salah satu rumah tradisional di Desa
Gurabunga, Tidore. Rumah ini dibangun dan digunakan dengan cara yang sama sejak
beberapa generasi dari Soa Sowohi (pemimpin kampung) yang disebut Folajikusesurabi. Fola
berarti rumah, jiku berarti sudut, dan surabi berarti serambi atau teras. Jadi, Folajikusesurabi
berarti rumah tinggal yang memiliki serambi atau teras. Rumah ini mempunyai empat sudut
yang disebut mabuku. Penekanan pada jiku atau mabuku bermakna bahwa adanya
pembatasan empat bidang untuk penghidupan batin dan keagamaan. Bagian-bagian rumah
adat Folajikusesurabi melambangkan anatomi tubuh manusia, yaitu:

a) Atap melambangkan kepala manusia.


b) Tiang rumah melambangkan kapita (pengawal) dari lima marga atau kelima rumah adat
tersebut.
c) Jendela melambangkan keterbukaan dan kemurahan hati.
d) Pintu melambangkan baju panjang (jubah) yang biasa dipakai oleh sultan.
e) Dinding melambangkan badan manusia.
f) Tiang raja melambangkan sifat tegas dari sang pemimpin.
g) Pondasi melambangkan kaki manusia.

Gambar 9. Denah dan bagian depan rumah adat Folajikusesurabi (foto oleh Heri Purnomo, 2009).

Tipologi bagunan persegi empat yang terdiri dari bangunan induk dan dapur dibangun
bersambung. Luas rumah induk adalah 13.56 x 9.90 m2 dan dapur 9.90 x 7.00 m2. Di wilayah
setempat tipologi bangunan ini dikenal sebagai Goakalaguti, yang artinya sistem gunting atau
bangunan tanpa tiang nok. Rumah adat ini berfungsi sebagai tempat pengobatan supranatural
dan penyembahan yang bersifat magis. Denah ruang terdiri atas (1) teras, (2) ruang tamu
sebagai tempat untuk menerima tamu kehormatan, Salai Jin (tarian Jin), dan bermusyawarah,

Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 55


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 NASIONAL

(3) dua kamar tidur, (4) ruang Puji (tempat penyimpanan peralatan upacara adat), dan (5) ruang
5,9
dapur.

Bahan bangunan sebagian besar menggunakan bambu yang dipakai untuk pondasi, dinding,
plafon dan rangka atap. Tetapi ada juga rumah menggunakan pondasi batu kali yang langsung
ditumpuk tanpa campuran, serta tiang terbuat dari kayu. Pada perkembangan berikutnya
beberapa rumah adat yang telah direnovasi menggunakan campuran semen untuk pembuatan
pondasi, di atas pondasi diletakkan bambu sebagai sloef untuk penopang dinding, rangka atap
dari bambu utuh, tali ijuk digunakan sebagai pengikat, dan bahan penutup atap dari daun sagu.

Ukuran yang digunakan sesuai bagian tubuh manusia dewasa baik perempuan maupun laki-
laki (tapak kaki, jengkal tangan, dan depa). Denah bangunan harus berukuran ganjil, misalnya
panjang 7 depa + sejengkal tangan + satu tapak kaki, lebar 5 depa + sejengkal tangan + 1
tapak kaki. Kadang-kadang untuk ukuran panjang ditambah 1 jengkal laki-laki dan untuk ukuran
5,9
lebar 1 jengkal perempuan.

Ada lima rumah adat Folajikusesurabi di Desa Gurabunga yang dibuat berdasarkan marga:

a) Fola Sowohi, berarti rumah pemimpin adat Tidore,


b) Fola Tosofu, berarti rumah pemimpin yang menguasai Tasawuf,
c) Fola Toduho, berarti rumah pemimpin yang menguasai laut,
d) Fola Mahifa, berarti rumah pemimpin yang mengenal Marifat,
e) Fola Tosofu Makene, berarti rumah pemimpin yang menguasai ilmu Fiqh.

5. Kesimpulan

Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha menggunakan analogi tubuh manusia sebagai filosofi
bangunan yang terdiri atas tiga bagian utama yaitu kaki, badan, dan kepala, serta
menggunakan anatomi tubuh manusia dewasa sebagai satuan ukuran seperti tapak kaki,
jengkal, depa dan tinggi badan. Sistem konstruksi bangunan menggunakan konstruksi
sederhana berupa pondasi sengkedan dan kayu diatas umpak batu, dinding menggunakan
rangka (skeleton) dan sistem knock-down, sedangkan sistem sambungannya menggunakan
pasak atau ikatan tali ijuk. Bahan bangunan menggunakan bahan alami yang mudah
didapatkan dari lingkungan sekitarnya seperti kayu, bambu, daun rumbia atau sagu, tali ijuk,
batu kali, pasir, dan kalero. Studi ini masih perlu dilanjutkan dengan mengkaji lebih detail setiap
rumah tradisional yang ada sebagai upaya konservasi dan pelestarian bangunan tradisional
Moloku Kie Raha.

Referensi

1. Arsitektur Tradisional Ternate - Tidore dan Halmahera (Studi Analisa Konstruksi Tradisional). URL:
http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html, diunduh pada 10 Juni
2010.
2. Moloku Kie Raha. URL: http://melayuonline.com, diunduh pada 10 Juni 2010.
3. Mursyid, A. 1979. Arsitektur Tradisional di Halmahera dan Sekitarnya. PT. Atelier Enam, Jakarta.
4. Ibrahim M dan Rahim M. 2009. Tipologi Arsitektur Tradisional Daerah Maluku Utara. Proceeding
SENVAR 10, Manado, Indonesia.
5. Team Survey. 1998. Laporan Apresiasi Arsitektur Daerah Maluku, Proyek Penyusunan Pedoman
Arsitektur Daerah Maluku, Buku I, dan Buku II, Dinas Pekerjaan Umum, Provinsi Dati I Maluku.
6. Sjah N. 2005. Rumah Adat Sasadu sebagai Wujud Refleksi Budaya Masyarakat Maluku Utara. Tesis
Master, Universitas Parahyangan, Bandung.
7. Laporan Pra-Penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia. Jurusan llmu-ilmu Sejarah Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia, 1978-1979.
8. Aroma Budaya Ternate, Jakarta: LIPI, 1979.
9. Rahim M dan Paputungan S. 2009. Studi Arsitektur Tradisional Rumah Adat Tidore Maluku Utara,
Jurnal Rekanologi, Fakultas Teknik Universitas Khairun Ternate, Vol. 3, No. 6.

Rahim. Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha. 56


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

Internet-based Lectures on Satellite Imagery Processing and Geographic


Information System using Open Source Softwares
Fatwa Ramdani
Geo-environment, Institute of Geography, Earth Science Department
Graduate School of Science, Tohoku University
E-mail: fatwa@m.tains.tohoku.ac.jp

Abstract

In the field of remote sensing and geographic information system (GIS), it recently becomes
easier to find and download satellite imagery from official data provider (websites) freely.
However, the aggravating circumstance is that the satellite imagery processing and GIS
commercial software are expensive. This paper attempts to give solution for this problem. At
present, many choices of open source software and online software tools are available,
which are easy to download from internet, and easy to use. We deliver a lecture on satellite
imagery processing and GIS based on the availability of internet connection and open
source softwares. The study case is urban growth with road network as driving force from
the development of transportation access. To obtain the optimum level in giving lecture,
statistical analysis is carried out by incorporating six variables, namely optimum duration,
subject matter, illustration and description, feedback, planning the lesson and material, and
lesson quizzes at three different durations (45, 60 and 90 minutes). We find that the most
optimum duration in giving lecture using internet connection and open source software is 90
minutes provided only single subject matter is given. This method is also found to be simple.

Keywords: Lecture, Satellite imagery processing, GIS, Internet, Open source, ILWIS 3.6,
MapWindow, Google Earth, kml2shapefile.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Introduction

Information and communication technology have been growing rapidly during the last two
decades. The dot com bust after the second millennium (year 2000) resulted many opportunities
for advanced spatial analyses. In recent times, free of charge satellite imagery can be found and
downloaded easily from official data provider or website. For example, Google Earth becomes
the easiest and accessible geographic information on the internet. We can access the
information from computer, mobile phone and tablet PC. We can use Google Earth as navigator
2
to find the way. We can draw, measure, and do geo-tagging photos as we like. We can explore
the information at many scales: ocean, remote island, astronomy, or even street view.

Unfortunately, commercial softwares for processing the remote sensing (e.g. satellite imagery)
as well as geographic information system (GIS) remain relatively expensive. In fact, the
utilization of remote sensing and GIS has been shifted from professional user to non-
professional user. Nowadays, all users could find and satisfy their needs by utilizing online or
offline GIS technology. Users face an abundance of open source software and online software
tools. Users can easily download the software from the internet, and use the software
immediately.

One of the user-friendly open source GIS softwares is ILWIS 3.6. ILWIS is an acronym for
Integrated Land and Water Information System. It is developed and distributed by International
Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (ITC), Enschede, the Netherlands.
ILWIS 3.6 has several advantages and capabilities: (a) It can be executed under various
operating systems, e.g. Linux, UNIX, Mac OSX, Windows, (b) It supports numerous vector,

Ramdani. Internet-based Lecture on Satellite Imagery. 57


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

raster and database formats as well as functionalities, (c) It provides a continuously growing
number of capabilities and functions, (d) It can be used to visualize, manage, edit, analyze data,
and (e) It can be used to compose printable maps. Integrated raster and vector approach and
user-friendliness make it particularly suitable for natural resources management.

A software known to view GIS data, which is also free to use and distribute, can also be
downloaded from the internet. For instance, MapWindow. Unlike other free tools, MapWindow is
not merely data viewer: it is an extensive GIS. It means that we can write plug-in, add additional
functionalities (models, special viewers, hot-link handlers, data editors, etc.) and pass along
these functionalities to the clients and the end-users. MapWindow includes standard GIS data
visualization features as well as input database attribute table editing, shapefile editing, and grid
1
importing and conversion.

The objective of this paper is two-fold. First, it attempts to optimize two open source softwares,
namely ILWIS 3.6 and MapWindow GIS, during internet-based lecture of imagery processing
and GIS. Second, it aims to gain an optimum level of students’ satisfaction in receiving internet-
based lecture specifically on imagery processing and GIS.

2. Procedures

Prior to optimization process, a good internet connection is necessary. Optimization can be


performed by following procedures:

1) Prepare spatial data set, i.e. Landsat ETM+ satellite imagery. It can be downloaded
freely from http://glovis.usgs.gov.2 User can then decide the area of interest and store
the area to the work folder.
2
2) Launch ILWIS 3.6, that can downloaded from http://52north.org, and install it to the
computer. User can then convert the data into ILWIS format and make it RGB (Red-
Green-Blue) or combination of natural colors. At this point, user is ready to distinguish
land use (land cover) from the Landsat ETM+ satellite imagery. In the case whereby
user wants to study the urban growth with respect to time, three different acquisition
time of Landsat ETM+ satellite imagery can be downloaded.
3
3) User can update the road network by opening Google Earth (http://www.google.com/)
and zoom-in to the area of interest. Using add path tools at Google Earth (GE) toolbar,
user can write ‘name’ and start to digitize. After that, user can find the road network
layer in the left side of GE. This layer is then right-clicked. User can select ‘copy’.
4
4) Launch kml2shapefile obtained from http://www.zonums.com/online/kml2shp.php, right
click or use ctrl+v in the work window; export the data and store them in the work folder.
5
Then, open MapWindow that can be downloaded from http://www.mapwindow.org/ and
install it. User loads the time series satellite imagery and the road network. User makes
a layout map with cartography design and present it in *.pdf format (the CutePDFWriter
6
can be downloaded from http://www.filehippo.com/). User can also print out the map
and present it as hardcopy.
5) After the installation and processing have been performed, the questionnaire can be
distributed to the students. In present case, it aims at collecting the information from
thirty students on their satisfaction in receiving the lecture on satellite imagery
processing and GIS based on the internet and open source softwares. Statistical data is
analyzed to measure the satisfaction level. Six variables are used to measure the
optimum satisfaction levels, they are optimum duration, subject, illustration and
description, feedback, lesson or material plans, and quiz.

3. Result

We used overlay analysis in MapWindow to monitor the urban growth with road network as a
driving force from the development of transportation access. Using this relatively simple method
the development of transportation access can be considered as one of the determining factors

Ramdani. Internet-based Lecture on Satellite Imagery. 58


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

for urban growth (e.g. physical and human capitals, natural resources, labor, advanced
technology and good strategy for policy of economics). However, this paper does not discuss
other determining factors since the objective is to optimize open source softwares of ILWIS 3.6
and MapWindow GIS.

In terms of students’ satisfaction in receiving the internet-based lectures, the statistical analysis
was carried out. Figure 1 shows the sastifaction level agains the criteria such as optimum
duration, subject, illustration and description, feedback, lesson or material plans, and quiz.
Based on Figure 1, lecturing in 90 minutes produces highest optimum duration, quizz, planning
the lesson and material and feedback.

Figure 1. Satisfaction levels of six parameters surveyed from thirty students in receiving internet-based
lecture on satellite imagery and GIS.

The benefits of using open source software are low cost, easy to convert, capability to provide
geospatial analysis (union, clip, dissolve), easy conversion of JPG format file and/or PDF, and
very user-friendly interface. The open source software is ultimately easy to use even for first
user of GIS. Environment management and human-environment interaction analysis are much
easier using the open source software. The difficulties of ILWIS 3.6 and MapWindow GIS are,
however, in the cartographic rules and design. These softwares are also found to be unstable in
personal computer with low specification. It is recommended to provide minimum 2GB of
random access memory (RAM), good processor and high performance graphic card.

4. Conclusion

Rich functions of ILWIS 3.6 and MapWindow GIS for satellite imagery display and processing
and other GIS work were observed. The disadvantage of these softwares is that they require a
fast and stable internet connection to download satellite imagery, and to install the open source
software during online installation. Giving lectures is found to be influenced by micro-teaching
abilities such as communication and experience rather than technological assistance. In other
words, the availibility of hardware, software and brainware should be supported by personal
ability in giving lecture.

Ramdani. Internet-based Lecture on Satellite Imagery. 59


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

Figure 2. MapWindow GIS screenshoot

References

1. USGS Global Visualization Viewer. URL: http://glovis.usgs.gov/, accessed on July 30, 2010.
2. 52 North - Initiative for Geospatial Open Source Software GmbH. URL:
http://52north.org/downloads/ilwis, accessed on July 30, 2010.
3. Google Earth. URL:http://earth.google.com/intl/ja/download-earth.html, accessed on July 30, 2010.
4. Zanum Solution. Free Software Tools. URL:http://www.zonums.com/online/kml2shp.php, accessed on
July 30, 2010.
5. MapWindow GIS V48RC1. URL:http://www.mapwindow.org/downloads/index.php?show_details=1,
accessed on July 30, 2010.
6. FileHippo.com – Download Free Software. URL:http://www.filehippo.com/jp/download_cutepdf_writer/,
accessed on July 30, 2010.

Ramdani. Internet-based Lecture on Satellite Imagery. 60


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa


untuk Pengeringan Rosela (Hibiscus sabdariffa)

Dyah Wulandani,1 Leopold Oscar Nelwan,1 I Made Dewa Subrata,1


Edi Sutoyo,2 Guyup Mahardhika2
1
Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
2
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Email korespondensi: dyahwulandani@yahoo.com

Abstrak

Di daerah pedesaan di Indonesia, pada umumnya pengeringan produk rempah-rempah dan


biji-bijian dilakukan dengan cara menghamparkan produk di atas tanah. Kendala yang
dialami petani dengan cara ini adalah ketika cuaca mendung, pengeringan produk terpaksa
berhenti, akibatnya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan produk kering menjadi lebih
lama. Hal tersebut dapat berdampak negatif pada mutu produk kering yang dihasilkan, yaitu
mudah terkontaminasi oleh jamur. Pengering berenergi surya dan biomassa didesain untuk
membantu petani mengatasi permasalahan tersebut, sekaligus menghemat penggunaan
energi. Pengering ini berupa bangunan berdinding transparan dengan rak-rak di dalamnya,
dilengkapi dengan kolektor surya, tungku berbahan bakar biomassa dan kipas bertenaga
listrik. Uji coba alat untuk mengeringkan 32 kg kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa) dari kadar
air 90% bb sampai 12% bb, memberikan nilai efisiensi pengeringan sebesar 30%, dengan
waktu pengeringan 28 jam pada kondisi cuaca cerah (radiasi surya rata-rata 458 W/m2) dan
suhu pengeringan 43 oC, kelembaban udara 52% serta laju massa biomassa (kayu bakar)
sebesar 2.5 kg/jam. Berdasarkan analisis ekonomi yang dilakukan, pengering berenergi
surya dan biomassa untuk mengeringkan kelopak rosela segar dengan kapasitas penuh (200
kg) layak untuk dioperasikan.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Rosela (Hibiscus sabdariffa) adalah salah satu jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk
obat-obatan. Manfaat rosela sebagai tanaman herbal telah dibuktikan secara ilmiah. Prenesti et
al. menemukan kandungan pholyphenol dalam teh rosela yang berfungsi sebagai antioksidan.1
Antioksidan banyak digunakan dalam makanan suplemen/kesehatan yang berfungsi sebagai zat
anti penuaan dan zat pencegah dari beberapa penyakit, seperti demam, sariawan, melancarkan
pembuluh darah dan mengendalikan tekanan darah. Manfaat lain rosela adalah seratnya dapat
melancarkan buang air besar. Rosela dapat dinikmati dalam berbagai bentuk makanan, seperti
selai untuk olesan roti, jelly (manisan), atau menjadi minuman seperti jus dan teh. Rosela kering
pada umumnya dimanfaatkan sebagai teh rosela. Tujuan pengeringan rosela adalah untuk
mendapatkan cita rasa teh dan agar aman disimpan.

Kendala utama para petani atau pedagang pengumpul produk kering (termasuk rosela, cengkeh,
pala, kapulaga, dan biji-bijian lainnya) adalah masalah cuaca. Secara konvensional,
pengeringan dilakukan dengan menjemur produk basah di atas nampan-nampan bambu dan
diletakkan di bawah terik matahari. Di saat mendung dan hujan, pengeringan terpaksa
dihentikan. Kebanyakan produk dalam kondisi ini menjadi rusak karena ditumbuhi jamur dan
akhirnya harga jual produk jatuh atau bahkan tidak memiliki harga jual sama sekali.

Pengering berenergi surya dan biomassa diharapkan dapat mengatasi permasalah di atas dan
memenuhi kebutuhan petani atau pengusaha pengeringan produk pertanian dan perkebunan.
Dengan peralatan yang sederhana, kedua sumber energi (surya dan biomassa) ini dapat
dimanfaatkan pada pengeringan produk pertanian. Energi surya dan biomassa merupakan

Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 61
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

sumber energi alami dan pemanfaatan kedua jenis sumber energi ini untuk pengeringan
memberikan keuntungan karena mudah diperoleh, terutama di Indonesia sebagai negara tropis
dan penuh dengan anekaragam jenis tanaman. Kombinasi surya dan biomassa pada pengering
memberikan manfaat ganda di samping sebagai energi penyedia saat cuaca cerah dan
mendung juga sebagai salah satu upaya dalam penghematan penggunaan energi. Penggunaan
kolektor surya sebagai alat pengonversi energi surya untuk pengeringan merupakan cara efektif
untuk mengumpulkan panas surya. Tipe kolektor datar yang menyatu dengan bangunan
pengering dapat menghemat penggunaan lahan.2

Tulisan ini membahas tentang kinerja pengering berenergi surya dan biomassa untuk kelopak
rosela. Pengering ini diharapkan memberikan pilihan bagi petani atau pedagang pengumpul
produk-produk pengeringan dan meningkatkan nilai tambah produk pengeringannya.

2. Pengering berenergi surya dan biomassa

Alat pengering ini terdiri dari beberapa bagian utama yaitu bangunan berdinding transparan,
tungku, kolektor surya, kipas bertenaga listrik dan rak pengering. Desain pengering diperlihatkan
pada Gambar 1. Pengering memiliki kapasitas 200 kg kelopak rosela segar dengan tebal
tumpukan atau lapisan 40 mm (satu lapis kelopak rosela). Besarnya kapasitas alat pengering
sangat tergantung pada jenis produk dan tebal lapisan produk yang dikeringkan.

Gambar 1. Alat pengering berenergi surya dan biomassa

Komponen-komponen utama alat pengering adalah:

(a) Bangunan pengering berdinding transparan berfungsi sekaligus sebagai kolektor dan untuk
melindungi produk dari hujan atau kotoran/gangguan hewan pemakan produk. Bangunan
pengering memiliki dimensi: tinggi 3 m, panjang 4.5 m dan lebar 1.9 m.
(b) Tiang utama bangunan terbuat dari besi berongga ukuran 50 mm x 50 mm, agar alat dapat
menopang seluruh beban yang terpasang.

Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 62
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

(c) Rak pengering terbuat dari aluminium berlubang yang berguna untuk meletakkan komoditi.
Rak berdimensi: panjang 0.6 m dan lebar 0.5 m. Apabila pengering digunakan untuk produk
pangan (seperti manisan buah, dendeng daging dan lain-lainnya), perlu menggunakan
bahan baja tahan karat yang aman untuk produk pangan (Gambar 2a).
(d) Kolektor surya dengan penyerap (absorber) berupa pelat besi (tebal 0.3 mm) yang
terintegrasi sebagai bagian dari komponen lantai dan dinding penukar panas. Pelat dicat
warna hitam buram (tidak mengkilat) untuk meningkatkan daya absorpsinya dalam
mengumpulkan panas. Dinding transparan merupakan bagian dari kolektor yang berfungsi
memerangkap panas matahari untuk kemudian diserap oleh absorber.
(e) Tungku sebagai pemanas tambahan terletak di bagian bawah (tengah-tengah) bangunan
pengering, berkapasitas 0.008 m3 atau 10 kg bahan bakar kayu (Gambar 2b).
(f) Penukar panas berada di tengah bangunan, sebagai komponen penyalur energi panas baik
yang berasal dari tungku maupun kolektor, digunakan pipa berukuran 25.4 mm (1 inci).
(g) Kipas inlet untuk meniupkan dan mendistribusikan udara pengering ke seluruh rak
pengering berjumlah empat buah (masing-masing berdaya 80 W) dan berada di belakang
penukar panas.
(h) Lubang outlet berada di samping kanan dan kiri pengering berjumlah empat buah dengan
bukaan yang dapat diatur sesuai kebutuhan. Outlet berguna untuk mengeluarkan uap air
yang berasal dari produk selama pengeringan berlangsung.

(a) (b)

Gambar 2. Bagian alat pengering: (a) rak produk, (b) tungku

3. Metodologi

Uji kinerja pengering berenergi surya dan biomassa untuk pengeringan rosela dilakukan pada 3
kondisi pengeringan yang berbeda untuk memperoleh kinerja pengering pada berbagai kondisi
cuaca yang berbeda, yaitu uji siang hari tanpa beban (Percobaan 1), uji malam hari tanpa beban
(Percobaan 2) dan uji siang dengan beban 32 kg kelopak rosela segar (Percobaan 3). Bagian
dari tanaman rosela yang dikeringkan adalah kelopak bunganya. Rosela segar diperoleh dari
Laboratorium Lapang Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Rosela masak memilki warna merah keunguan (Gambar 3a). Rosela
dipisahkan dari bijinya (Gambar 3b), lalu kelopaknya dikeringkan di dalam alat pengering. Kadar
air awal kelopak rosela diukur menggunakan metode pengeringan oven3 pada suhu 70 oC
selama 24 jam. Radiasi surya diukur untuk memperoleh data kondisi cuaca saat pengeringan

Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 63
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

berlangsung. Suhu yang diukur meliputi: udara pengering, udara lingkungan, produk, udara di
dalam tungku, dan penukar panas. Suhu udara pengering merupakan rata-rata dari enam titik
pengukuran, yaitu pada posisi rak paling atas, rak tengah dan rak paling bawah, masing-masing
pada pengering sebelah kiri dan kanan. Parameter pengeringan yang dianalisis terdiri dari
efisiensi pengeringan dan konsumsi energi per kilogram uap air dari produk. Efisiensi
pengeringan adalah rasio energi yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu udara pengering
terhadap energi yang disediakan dari listrik, biomassa, dan surya. Konsumsi energi per kilogram
uap air dari produk adalah rasio energi yang disediakan dari listrik, biomassa, dan surya
terhadap massa air yang diuapkan produk selama proses pengeringan.

(a) (b)

Gambar 3. Rosela: a. rosela masak, b. rosela dan biji

4. Hasil pengujian alat pengering

Data hasil pengujian alat pengering pada ketiga kondisi yang berbeda disajikan pada Tabel 1.
Percobaan 1 dan 2 ditujukan sebagai percobaan pendahuluan untuk mengetahui kinerja secara
umum, sebelum beban diberikan. Percobaan 1 dilakukan pada kondisi cuaca mendung yang
ditunjukkan oleh rendahnya radiasi surya (95 W/m2), dibandingkan dengan rata-rata radiasi
surya harian di Indonesia2 540 W/m2. Berdasarkan hasil kedua percobaan tersebut, ditemukan
bahwa operasi siang hari lebih efisien dibandingkan pengeringan malam hari. Seperti terlihat
pada Tabel 1, efisiensi pengeringan pada Percobaan 1 lebih besar dibandingkan dengan
efisiensi pengeringan pada Percobaan 2. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya kebutuhan energi
pengeringan pada malam hari untuk menaikkan suhu udara lingkungan (dari 24oC menjadi 52oC)
dan untuk menurunkan kelembaban udara lingkungan (dari 97% menjadi 60%).

Percobaan 1 dan Percobaan 2 menghasilkan nilai keragaman suhu ruang pengering,


masing-masing 3.3oC dan 6oC. Untuk mendistribusikan suhu udara pengering agar lebih merata
di seluruh bagian produk, maka pada Percobaan 3 (siang hari dengan beban) diberikan dua
kipas tambahan pada bagian outlet (kanan dan kiri pengering) dengan daya masing-masing 60
W dan laju aliran udara pengering 0.39 kg/detik. Suhu udara di atas rak produk menjadi lebih
seragam dengan nilai keragaman suhu 1.9oC. Keseragaman suhu sangat penting untuk
mendapatkan kadar air produk kering yang seragam, yang merupakan salah satu parameter
mutu utama produk kering. Untuk menurunkan kadar air kelopak rosela dari 90% bb menjadi
12% bb dibutuhkan waktu 28 jam (penjemuran konvensional memerlukan waktu lebih dari 30

Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 64
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

jam) dengan efisiensi pengeringan mencapai 30%. Sebagai perbandingan, Othman et al.4
menghasilkan efisiensi pengering surya kolektor pelat datar, pada kisaran 20% sampai 60%.
Konsumsi energi pengeringan kelopak rosela mencapai 49 MJ/kg uap. Besarnya nilai konsumsi
energi ini disebabkan oleh kehilangan panas yang besar pada dinding tungku. Untuk itu
diperlukan isolasi pada dindingnya.

Tabel 1. Hasil pengujian pengering untuk pengeringan kelopak rosela

Nilai
Parameter Satuan Uji siang tanpa Uji malam tanpa Uji siang dengan
beban beban beban
(Percobaan 1) (Percobaan 2) (Percobaan 3)
o
Suhu ruang pengering C 60 52 43
o
Suhu lingkungan C 31 24 32
Kelembaban udara pengering % 40 60 52
Kelembaban lingkungan % 75 97 67
Iradiasi surya W/m2 95 0 459
o
Keragaman suhu ruang C 3.3 6 1.9
pengering
Laju pembakaran kayu bakar kg/jam 5 9 2.5
Energi yang dibutuhkan MJ 174.0 56.0 425.9
Energi yang disediakan MJ 578.6 350.0 1388.9
Waktu percobaan jam 6 2 28
Efisiensi pengeringan % 30 16 30
W/m2: Watt/meter persegi, MJ: mega Joule

Warna merah hasil seduhan teh, seperti yang terlihat pada Gambar 4, dari kelopak rosela kering
memiliki mutu yang dapat diterima secara komersial. Warna merah ini menunjukkan khasiat zat
antioksidan yang terkandung di dalamnya.5 Semakin pudar warna merah teh hasil seduhan
semakin berkurang pula khasiat zat antioksidannya. Seduhan kelopak rosela kering di dalam air
panas (80oC) memerlukan waktu 3 menit.

Gambar 4. Seduhan teh rosela

Berdasarkan analisis ekonomi menggunakan metode NPV (net present value) dan analisis BEP
(break even point), pengering berenergi surya dan biomassa untuk pengeringan kelopak rosela
(kapasitas 200 kg) layak secara ekonomi dengan biaya pokok pengeringan Rp 866,00 per
kilogram kelopak rosela segar. Pengembalian modal terjadi pada awal tahun kedua. Data dan
hasil analisis ekonomi disajikan pada Tabel 2.

Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 65
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 IPTEK DAN INOVASI

Tabel 2. Data dan hasil analisis ekonomi pengeringan kelopak rosela

Parameter Satuan Nilai Parameter


Modal awal alat pengering Rp 40,000,000
Harga kelopak rosela segar tanpa biji Rp/kg (basah) 15,000
Harga rosela kering Rp/kg (kering) 155,000
Rendemen % 11
Kapasitas alat pengering kg/operasi pengeringan 200
Jumlah operasi pengeringan per tahun - 131
Biaya tetap (biaya penyusutan, pemeliharaan alat) Rp/tahun 4,816,000
Biaya operasional (pekerja, listrik, transport, kemasan) Rp/kg produk basah 682
Biaya pokok pengeringan Rp/kg produk basah 866
Periode pengembalian modal Tahun 1

4. Penutup

Pengering berenergi surya dan biomassa dengan desain dan operasi yang sederhana ini
diharapkan menjadi salah satu pilihan bagi petani dan pedagang pengumpul produk-produk
kering hasil pertanian. Pengering dengan bangunan transparan dan sistem pengumpul panas
surya yang terintegrasi di dalamnya, ditambah dengan pemanas tambahan berupa tungku
biomassa menghasilkan efisiensi pengeringan 30%. Hasil uji coba alat menggunakan bahan
kelopak rosela memberikan hasil yang dapat diterima secara komersial. Penambahan isolasi
pada tungku diperlukan untuk mencegah kehilangan panas, sehingga konsumsi energi menjadi
berkurang.

5. Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional atas dana penelitian yang diberikan melalui Hibah Kompetitif Penelitian
Sesuai Prioritas Nasional Batch 1 Nomor: 160/SP2H/PP/DP2M/V/2009.

Referensi

1. Prenesti E., Berto S., Daniele P. G., and Toso S. 2007. Antioxidant power quantification of decoction
and cold infusions of Hibiscus sabdariffa flowers. Food Chemistry 100: 433–438.
2. Kamaruddin A., Tambunan A.H., Thamrin, Wenur F., dan Dyah W. 1994. Optimasi dalam perencanaan
alat pengering hasil pertanian dengan energi surya. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Bogor.
3. Clements, J.M. 2008. Analysis of Food Product. Department of Food Science, University of
Massachusetts, Amherst. URL: http://www-unix.oit.umass.edu/~mcclemen/581Toppage.html,
diakses tanggal 18 Nopember 2010
4. Othman, M.Y.H., Sopian, K., Yatim, B., Daud, W.R.W. 2006. Development of advanced solar assisted
drying systems. Renewable Energy 31: 703–709.
5. Fitriani, V. 2008. Khasiat kuntum Rosela. Rosella, Si Merah yang Kaya Antioksidan. Kualitas Rosela
Bisa Diukur dari Warna Merah Seduhannya. URL:
http://portalsehat.com/2008/08/kualitas-rosela-bisa-diukur-dari-warna-merah-seduhannya/, diakses
tanggal 10 Agustus 2009.

Wulandani, Nelwan, Subrata, Sutoyo & Mahardhika. Kinerja Pengering Berenergi Surya dan Biomassa. 66
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN

Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati: Menuju Pengobatan


Regeneratif Liver yang Efektif

Gana Adyaksa

Bagian Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Indonesia


Department of Genetic Medicine and Regenerative Therapeutics
Graduate School of Medicine, Tottori University, Japan
E-mail: gana_ady@yahoo.com

Abstrak

Pengobatan regeneratif dengan sel punca menjadi harapan untuk mengobati penyakit yang
tidak bisa disembuhkan seperti sirosis hati. Proses diferensiasi sel punca menjadi bagian
yang sangat penting dalam usaha mewujudkan harapan tersebut. Berbagai metode
diterapkan untuk meningkatkan efektivitas diferensiasi sel punca menjadi sel hati fungsional.
Karakteristik fungsional seperti ekspresi gen spesifik sel hati dan ekskresi albumin telah
dapat ditunjukkan oleh sel hati hasil diferensiasi dari sel punca.

Kata kunci: Sel punca, diferensiasi, sel hati, pengobatan regeneratif.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Hati merupakan salah satu organ vital tubuh manusia yang memiliki berbagai fungsi penting
seperti pengeluaran empedu, metabolisme gula, dan metabolisme obat. Pada penyakit sirosis
hati atau penyakit hati kronis lainnya, hati telah kehilangan kemampuan untuk melakukan
perbaikan atau regenerasi sel, sehingga hampir tidak mungkin bagi penderita chronic liver
1
disease (penyakit hati kronis) untuk bisa sembuh. Sampai saat ini, harapan untuk bisa sembuh
dari penyakit tersebut adalah dengan cara transplantasi/cangkok hati. Namun transplantasi hati
bukanlah prosedur yang mudah untuk dijalani, berbagai kendala seperti proses seleksi yang
sangat ketat, biaya yang sangat besar, reaksi penolakan, serta ketersediaan donor hati
membuat transplantasi hati sangat sulit dilakukan. Untuk itu diperlukan terobosan pengobatan
baru yang memberikan harapan bagi kesembuhan penderita penyakit hati kronis selain dengan
transplantasi hati.

Usaha untuk mengobati penyakit hati kronis dengan transplantasi sel hati pernah dicoba
dengan membiakkan sel hepatosit dewasa. Namun usaha tersebut ternyata tidak berhasil
karena sel hepatosit dewasa sangat sulit untuk diperbanyak dan mengalami perubahan kariotip
saat dibiakkan.2,3

Pengobatan dengan sel punca (stem cell) saat ini menjadi harapan baru sebagai pengobatan
regeneratif. Sel punca adalah sel yang belum berdeferensiasi, yang memiliki potensi tinggi
untuk menjadi sel spesifik yang memiliki fungsi khusus, seperti menjadi sel saraf, sel hati, dan
sel jantung. Selain itu, sel punca memungkinkan dibiakkan dengan tanpa batas dan tanpa
mengalami perubahan sifat. Dengan kelebihan tersebut, sel punca diharapkan menjadi sumber
sel hati fungsional yang dapat digunakan untuk pengobatan peyakit hati.4 Untuk itu, proses
mendiferensiasikan sel punca menjadi sel hati fungsional menjadi tantangan besar bagi dunia
kedokteran. Usaha untuk meningkatkan efektivitas diferensiasi sel punca menjadi sel hati inilah
yang saat ini sedang terus dikembangkan.

Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 67


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN

2. Sel punca dan berbagai sumbernya

Sel hati dapat dikembangkan dari sel punca. Ada berbagai macam jenis dan pembagian sel
punca, dengan karakteristik masing-masing. Beberapa jenis sel punca yang umum adalah:

2.1. Sel punca embrionik

Sel punca embrionik (embryonic stem cell) adalah sel punca yang didapatkan dari lapisan
dalam dari blastocyst, yaitu embrio manusia yang masih terdiri dari beberapa sel.5 Sel punca ini
memiliki sifat pluripoten (pluripotent), yaitu potensi untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel dari 3
jenis lapisan tubuh, yaitu ektoderm (berkembang menjadi sel kulit dan sel saraf), mesoderm
(berkembang menjadi sel otot dan tulang), dan endoderm (berkembang menjadi organ dalam
seperti hati, usus, dan lain-lain). Sel punca embrionik diakui sebagai sel punca yang paling
efektif untuk pengobatan regeneratif, karena selain bersifat pluripoten, sel ini juga memiliki
6
kemampuan menyuplai sel untuk berdiferensiasi yang tak terbatas. Namun karena diambil dari
embrio, yang artinya pengambilan sel punca ini akan merusak/mematikan embrio, maka sel
punca embrional ini terbentur dengan masalah etik.

2.2. Sel punca mesenkimal

Sel punca mesenkimal (mesenchymal stem cell) adalah sel punca yang memilki sifat
multipotent, yang dapat berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel seperti sel tulang, sel otot,
7-9
dan sel lemak (turunan dari mesoderm). Sel punca mesenkimal ini dapat diperoleh dari
sumsum tulang, darah tepi, darah tali pusat dan plasenta, tulang trabekuler, jaringan lemak, dan
cairan sinovial.10,11 Perkembangan hingga kini menunjukkan bahwa sel punca mesenkimal yang
diperoleh dari sumsum tulang, tali pusat (baik darah maupun matriksnya), serta jaringan lemak
dapat berdeferensiasi tidak hanya menjadi turunan mesoderm tetapi juga dapat berdiferensiasi
menjadi sel hati.12,13

Theise dkk. mendeteksi sel hepar (hepatosit) yang mengandung kromosom Y pada perempuan
yang menerima terapi sel punca sumsum tulang dari donor laki-laki.14 Adanya interaksi selular
antara sumsum tulang dan bakal sel hati saat hepatogenesis ini membuat sel punca
mesenkimal potensial untuk dideferensiasikan menjadi sel hati. Selain itu, sumber sel punca
mesenkimal ini relatif mudah didapat dan tidak terbentur masalah etik, sehingga menjadi
harapan besar untuk pengobatan regeneratif penyakit hati.

2.3. Induced pluripotent stem cell

Sel punca ini diperoleh dari sel dewasa, baik dari orang yang sehat maupun pasien, yang
diprogram ulang dengan memasukkan gen pluripotensi seperti Oct4, Sox2, Klf4 , dan c-Myc
melalui vektor virus ke dalam sel dewasa, sehingga akhirnya sel tersebut memiliki sifat
pluripoten seperti halnya sel punca embrionik. Sel punca ini menjadi harapan besar dalam
dunia pengobatan regeneratif karena selain dapat berdiferensiasi menjadi berbagai sel spesifik,
juga dapat dijadikan model untuk mempelajari peyakit (disease modelling) dan pengaruh obat
terhadap sel manusia, dan tentu saja tidak terbentur dengan masalah etik.15

Namun demikian, karena pembuatan sel punca ini membutuhkan transduksi gen dengan vektor
virus, proses ini membutuhkan biaya besar dan waktu yang lama, serta dikhawatirkan dapat
memicu terjadinya mutasi oleh karena terjadi perubahan permanen pada genome. Oleh karena
itu, saat ini telah dikembangkan pula teknik pembuatan induced pluripotent stem cell tanpa
vektor virus, sehingga diharapkan akan menjadi sumber pengobatan regeneratif yang lebih
16,17
aman dan ekonomis.

3. Diferensiasi sel punca menjadi sel hati

Proses diferensiasi menjadi sel hati merupakan proses yang sangat komplek. Mekanisme
hepatogenesis atau pembentukan sel hati ini secara umum terbagi menjadi 3 fase, yaitu (1)

Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 68


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN

perubahan dari endoderm menjadi bakal sel hati (hepatoblast), (2) differensiasi bakal sel hati,
18
dan (3) pertumbuhan dan pembentukan sel hati fungsional.

Proses diferensiasi sel punca menjadi sel hepatosit dapat dilakukan dengan beberapa metode,
diantaranya:

3.1. Induksi dengan senyawa kimia

Proses diferensiasi sel punca menjadi endoderm dan sel hati bisa dilakukan melalui induksi
senyawa kimia tertentu.19,20 Senyawa kimia ini dapat mempengaruhi ekspresi gen, transduksi
sinyal, serta metabolisme sel punca sehingga akhirnya memicu proses diferensiasi. Senyawa
kimia yang digunakan sangat spesifik, dan didapatkan dengan cara seleksi dari ribuan jenis
senyawa kimia. Selain efektivitas untuk menginduksi, toksisitas senyawa tersebut juga diseleksi.
Dari hasil seleksi didapatkan beberapa kandidat senyawa kimia yang diprediksi efektif untuk
menginduksi, kemudian senyawa kimia tersebut dicoba diinduksikan ke sel punca dan
dievaluasi efektivitas diferensiasi yang terjadi, hingga akhirnya terpilih senyawa kimia yang
dinilai efektif untuk menginduksi diferensiasi sel punca menjadi endoderm atau sel hati (Gambar
19
1).

Gambar 1. Skema seleksi senyawa kimia untuk induksi deferensiasi endoderm.19

3.2. Induksi dengan transfeksi gen

Dalam proses hepatogenesis, para ilmuwan telah mempelajari gen-gen atau protein-protein
tertentu yang berperan dominan sebagai stimulator hepatogenesis dan morfogenesis,
21
diantaranya yaitu HNF4-α dan FoxA2. Kemudian para ilmuwan mencoba untuk meng-over-
ekspresikan gen-gen tersebut dengan cara mentransduksikan gen tersebut ke dalam sel punca
pada lokus tertentu melalui vektor virus, sehingga gen tersebut akan diekspresikan sel punca
dalam jumlah besar dan berdiferensiasi menjadi sel hati.

Metode over-ekspresi gen ini sangat efektif untuk memacu diferensiasi sel punca menjadi sel
hati. Chen dkk. melaporkan bahwa sel hati yang didapatkan dengan over-ekspresi HNF4-α
(AdIEHNF-4) pada sel punca mesenkimal mampu mengekspresikan gen-gen spesifik hati
22
dengan tingkat lebih baik dibandingkan dengan sel yang tidak ditransfeksi (AdIE) (Gambar 2).
Namun demikian, seperti halnya pada induced pluripotent stem cell, metode ini membutuhkan
biaya besar dan waktu yang lama, serta dikhawatirkan dapat memicu terjadinya mutasi.

Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 69


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN

Gambar 2. Pengaruh induksi gen HNF4-α pada ekspresi gen spesifik hati : albumin, tyrosine-
aminotransferase (TAT), dan glucose 6-phosphatase (G6P)22

Hingga saat ini sudah banyak dilakukan penelitian terkait indentifikasi gen, modifikasi metode
transfeksi, lokus transfeksi gen, serta metode regulasi ekspresi gen. Selain mentransfeksikan
gen untuk di-over-ekspresi, peneliti juga memanfaatkan gen pelapor (reporter gene) untuk
dapat menyeleksi ekspresi sel secara lebih akurat, sehingga didapatkan sel yang
berdiferensiasi dengan tingkat kemurnian tinggi.23 Ekspresi gen yang ditransfeksikan pun dapat
diatur melalui sistem regulasi tetracycline (tet-regulation).24,25 Dengan berbagai metode tersebut,
didapatkan diferensiasi sel punca menjadi sel hati yang semakin baik.

3.3. Kultur dalam 3D scaffold system

Proses diferensiasi dilakukan dalam media kultur rangka 3 dimensi yang terbuat dari biomaterial
khusus, dengan ditambahkan beberapa faktor pertumbuhan dan penginduksi. Kelebihan dari
media kultur ini adalah media scaffold (rangka 3 dimensi) ini dapat menyerupai kondisi
sebenarnya di dalam tubuh (in vivo).26,27 Rangka 3 dimensi ini memungkinkan pertumbuhan dan
orientasi sel yang lebih baik, serta pori-pori yang tersedia dalam sistem ini menyediakan ruang
yang baik untuk remodelling jaringan (Gambar 3). Sehingga dengan kelebihan-kelebihan dari
sistem ini, akan didapatkan diferensiasi sel punca yang lebih baik dan jumlah yang lebih banyak.
Kazemnejad dkk. melaporkan sel hati hasil diferensiasi pada media kultur 3 dimensi ini mampu
mengasilkan albumin lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan diferensiasi pada media
26
kultur 2 dimensi (Gambar 4).

Gambar 3. Foto mikroskop elektron dari media kultur 3D scaffold. (A) Saat sebelum ditanami sel punca,
(B) Interaksi antara sel punca mesenkimal dengan nanofiber scaffold saat sebelum diferensiasi, (C) Saat
setelah diferensiasi.26

Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 70


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN

Gambar 4. Tingkat ekskresi albumin sel hati hasil diferensiasi pada media kultur 3D dan 2D.26

Selain metode tersebut di atas, masih ada beberapa metode lain dalam diferensiasi sel punca.
Untuk mencapai diferensiasi yang efektif beberapa penelitian menggunakan kombinasi dari
beberapa metode.

4. Aplikasi klinis sampai saat ini

Sel hepatosit yang diperoleh dari sel punca telah dapat menunjukkan karakteristik fungsional
dari sel hati. Karakteristik tersebut diantaranya diukur dari ekspresi gen spesifik sel hati, sel
hepatosit yang dihasilkan dari sel punca mampu mengekspresikan gen-gen spesifik dari hati
sebagaimana yang diekspresikan oleh sel hati. Oleh Toubou dkk., sel hati hasil diferensiasi dari
sel punca embrionik hari ke-16 (d16) mampu mengekspresikan gen-gen spesifik sel hati,
28
sebagaimana yang diekspresikan oleh sel hati fetus dan manusia dewasa (Gambar 5). Selain
itu sel-sel tersebut pun mampu mengekskresikan albumin, menyimpan glikogen dan
mensekresi urea, seperti halnya sel hati fungsional. Dari berbagai penelitian, tingkat diferensiasi
dari sel punca menjadi sel hati telah mencapai hingga 80%. Namun demikian, metode untuk
meningkatkan efektivitas diferensiasi dan jumlah sel hati masih harus terus dikembangkan ,
29
karena setidaknya dibutuhkan 10 miliar sel hati murni untuk sekali pengobatan klinik.

Gambar 5. RT-PCR gen spesifik sel hati hari ke-16 (d16). hESC, sel punca embrionik; HFH,sel hati fetus
manusia; HAH, sel hati manusia dewasa.28

Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 71


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN

Hingga kini, aplikasi pengobatan sel punca pada penderita penyakit hati kronis masih sangat
terbatas. Salah satu diantaranya adalah Terai dkk. yang melaporkan bahwa terjadi
peningkatan fungsi liver pada 9 pasien sirosis hati setelah diberikan terapi sel punca dari
sumsum tulang.30 Setelah 24 minggu terapi, terjadi peningkatan rerata albumin dan protein total
secara bermakna (Gambar 6).

Gambar 6. Grafik tingkat albumin serum dan protein total pada pasien sirosis hati setelah terapi sel punca
30
sumsum tulang.

5. Penutup

Sel hati dapat dikembangkan dari berbagai macam sumber sel punca, dan berbagai penelitian
untuk meningkatkan efektivitas diferensiasi sel punca menjadi sel hati terus dilakukan. Dengan
hasil yang telah dicapai sejauh ini, maka harapan akan pengobatan regeneratif yang efektif
dengan sel punca semakin besar. Namun demikian, karena sebagian besar penelitian ini
dilakukan in vitro, serta sebagian pula dilakukan pada percobaan binatang, maka diperlukan
kajian atau penelitian lebih lanjut sebelum dilakukan uji klinis pada manusia.

Referensi

1. Heidelbaugh JJ, Bruderly M. Cirrhosis and chronic liver failure: part I. Diagnosis and evaluation. Am
Fam Physician. 2006; 74:756-762.
2. Delgado JP, Parouchev A, Allain JE, Pennarun G, Gauthier LR, Dutrillaux AM, et al. Long-term
controlled immortalization of a primate hepatic progenitor cell line after Simian virus 40 T-Antigen
gene transfer. Oncogene. 2005; 24:541–555.
3. Han B, Lu Y, Meng B, Qu B. Cellular loss after allogenic hepatocyte transplantation. Transplantation.
2009; 87:1-5.
4. Lorenzini S, Gitto S, Grandini E, Andreone P, Bernardi M. Stem cells for end stage liver disease: how
far have we got? World J Gastroenterol. 2008; 14(29):4593-4599.
5. Zandstra PW, Nagy A. Stem cell bioengineering. Annu Rev Biomed Eng. 2001; 3:275-305.
6. O. Zern MA. Cell transplantation to replace whole liver transplantation. Gastroenterology. 2009;
136(3):767-769.
7. Ronzière MC, Perrier E, Mallein-Gerin F, Freyria AM. Chondrogenic potential of bone marrow- and
adipose tissue-derived adult human mesenchymal stem cells. Biomed Mater Eng. 2010; 20(3):145-
158.
8. Kocaefe C, Balci D, Hayta BB, Can A. Reprogramming of human umbilical cord stromal mesenchymal
stem cells for myogenic differentiation and muscle repair. Stem Cell Rev. 2010; 6(4):512-522.
9. Morganstein DL, Wu P, Mane MR, Fisk NM, White R, Parker MG. Human fetal mesenchymal stem
cells differentiate into brown and white adipocytes: a role for ERRalpha in human UCP1 expression.
Cell Res. 2010; 20(4):434-444.
10. Karahuseyinoglu S, Cinar O, Kilic E, Kara F, Akay GG, Demiralp DO, et al. Biology of stem cells in
human umbilical cord stroma: in situ and in vitro surveys. Stem Cells. 2007; 25(2):319-331.
11. Shimomura T, Yoshida Y, Sakabe T, Ishii K, Gonda K, Murai R, et al. Hepatic differentiation of human
bone marrow-derived UE7T-13 cells: Effects of cytokines and CCN family gene expression. Hepatol
Res. 2007; 37(12):1068-1079.

Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 72


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KESEHATAN

12. Yoshida Y, Shimomura T, Sakabe T, Ishii K, Gonda K, Matsuoka S, et al. A role of Wnt/beta-catenin
signals in hepatic fate specification of human umbilical cord blood-derived mesenchymal stem cells.
Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2007; 293(5):G1089-1098.
13. Ruiz JC, Ludlow JW, Sherwood S, Yu G, Wu X, Gimble JM. Differentiated human adipose-derived
stem cells exhibit hepatogenic capability in vitro and in vivo. J Cell Physiol. 2010; 225(2):429-436.
14. Theise ND, Nimmakayalu M, Gardner R, Illei PB, Morgan G, Teperman L, et al. Liver from bone
marrow in humans. Hepatology. 2000; 32(1):11-16.
15. Lengner CJ. iPS cell technology in regenerative medicine. Ann N Y Acad Sci. 2010; 1192:38-44.
16. Okita K, Nakagawa M, Hyenjong H, Ichisaka T, Yamanaka S. Generation of mouse induced
pluripotent stem cells without viral vectors. Science. 2008; 322(5903):949-953.
17. Okita K, Hong H, Takahashi K, Yamanaka S. Generation of mouse-induced pluripotent stem cells with
plasmid vectors. Nat Protoc. 2010; 5(3):418-428.
18. Kung JW, Currie IS, Forbes SJ, Ross JA. Liver development, regeneration, and carcinogenesis. J
Biomed Biotechnol. 2010; 2010(ID 984248):1-8.
19. Borowiak M, Maehr R, Chen S, Chen AE, Tang W, Fox JL, et al. Small molecules efficiently direct
endodermal differentiation of mouse and human embryonic stem cells. Cell Stem Cell. 2009; 4(4):348-
358.
20. Sharma NS, Wallenstein EJ, Novik E, Maguire T, Schloss R, Yarmush ML. Enrichment of hepatocyte-
like cells with upregulated metabolic and differentiated function derived from embryonic stem cells
using S-NitrosoAcetylPenicillamine. Tissue Eng Part C Methods. 2009; 15(2):297-306.
21. Lemaigre FP. Mechanisms of liver development: concepts for understanding liver disorders and
design of novel therapies. Gastroenterology. 2009; 137(1):62-79.
22. Chen ML, Lee KD, Huang HC, Tsai YL, Wu YC, Kuo TM, et al. HNF-4α determines hepatic
differentiation of human mesenchymal stem cells from bone marrow. World J Gastroenterol. 2010;
16(40):5092-5103.
23. Wallenstein EJ, Barminko J, Schloss RS, Yarmush ML. Transient gene delivery for functional
enrichment of differentiating embryonic stem cells. Biotechnol Bioeng. 2008; 101(5):859-872.
24. Sprengel R, Hasan MT. Tetracycline-Controlled Genetic Switches. Handb Exp Pharmacol. 2007;
(178):49-72.
25. Ishii K, Yoshida Y, Akechi Y, Sakabe T, Nishio R, Ikeda R, et al. Hepatic differentiation of human bone
marrow-derived mesenchymal stem cells by tetracycline-regulated hepatocyte nuclear factor 3beta.
Hepatology. 2008; 48(2):597-606.
26. Kazemnejad S, Allameh A, Soleimani M, Gharehbaghian A, Mohammadi Y, Amirizadeh N, et al.
Biochemical and molecular characterization of hepatocyte-like cells derived from human bone marrow
mesenchymal stem cells on a novel three-dimensional biocompatible nanofibrous scaffold. J
Gastroenterol Hepatol. 2009; 24(2):278-287.
27. Lin N, Lin J, Bo L, Weidong P, Chen S, Xu R. Differentiation of bone marrow-derived mesenchymal
stem cells into hepatocyte-like cells in an alginate scaffold. Cell Prolif. 2010; 43(5):427-434.
28. Touboul T, Hannan NR, Corbineau S, Martinez A, Martinet C, Branchereau S, et al. Generation of
functional hepatocytes from human embryonic stem cells under chemically defined conditions that
recapitulate liver development. Hepatology. 2010; 51(5):1754-1765.
29. Dalgetty DM, Medine CN, Iredale JP, Hay DC, Progress and future challenges in stem cell-derived
liver technologies. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2009; 297(2):G241-248.
30. Terai S, Ishikawa T, Omori K, Aoyama K, Marumoto Y, Urata Y, et al. Improved liver function in
patients with liver cirrhosis after autologous bone marrow cell infusion therapy. Stem Cells. 2006;
24(10):2292-2298.

Adyaksa. Optimalisasi Diferensiasi Sel Punca menjadi Sel Hati. 73


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium pada


Bahan Bakar Bekas Reaktor Berpendingin Air Ringan (LWR)
Sidik Permana,1,2* Azizul Khakim,3 Deby Mardiansyah4
1
Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 2Japan Atomic Energy Agency,
3
Tokyo Institute of Technology, Japan, 4Tokai University, Japan
*Email korespondensi: psidik@gmail.com

Abstrak

Kekritisan dan pembiakan bahan bakar pada sebuah reaktor merupakan sebuah topik utama
dalam isu bahan bakar yang berkesinambungan dan keamanan energi begitu pula berkaitan
dengan permasalahan non-proliferasi nuklir. Evaluasi pada karakteristik melekat (intrinsic
properties) isotop plutonium seperti menaikan nilai materi penghalang (material barrier) dari
plutonium bernomor massa genap (Pu-238, Pu-240, Pu-242) yang berhubungan dengan
tingkat peluruhan panas atau decay heat (DH) dan netron fisi spontan atau spontaneous
fission neutron (SFN) isotop-isotop plutonium tersebut adalah satu yang menjadi isu hangat
dalam rangka meningkatkan level kesulitan secara teknis atau material penghalang dalam
pembuatan senjata nuklir. Telah dilakukan evaluasi berdasarkan parameter iradiasi bahan
bakar atau burnup dan waktu peluruhan yang mempunyai efek pada komposisi materi
penghalang isotop plutonium di dalam komposisi bahan bakar bekas light water reactor
(LWR) atau reaktor berpendingin air ringan. Parameter utama untuk materi penghalang
isotop plutonium adalah menggunakan aktivitas decay heat (DH) dan spontaneous fission
neutron (SFN). Komposisi dari DH dan SFN bervariasi dan sensitif terhadap komposisi isotop
plutonium khususnya berkaitan dengan komposisi isotop plutonium dengan nomor massa
genap seperti Pu-238, Pu-240 dan Pu-242. Komposisi DH yang tinggi diperlihatkan oleh
Pu-238 dan tingginya komposisi SFN diperoleh oleh tingginya kontribusi dari Pu-240 diikuti
oleh Pu-242 dan Pu-238. Burnup yang tinggi secara efektif menaikan level dari komposisi DH
dan SFN dan waktu luruh yang lebih lama akan mengakibatkan meningkatnya komposisi
SFN karena kebergantungannya pada semua isotop plutonium bernomor massa genap yang
memberikan kontribusi yang lebih tinggi untuk waktu paruh yang lebih lama. Waktu paruh
yang lebih lama mengurangi komposisi DH disebabkan kebergantungannya pada kontribusi
Pu-238 yang memberikan lebih sedikit kontribusi DH untuk waktu paruh yang lebih lama.

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Berbagai upaya dalam rangka meningkatkan penggunaan bahan bakar nuklir secara optimal,
meminimalkan sampah bahan bakar nuklir secara efektif dan mengurangi risiko dari proliferasi
bahan nuklir telah dilakukan dalam beberapa dekade saat ini. Isu berkaitan dengan nuklir
proliferasi semakin hangat terutama semenjak diterbitkannya proposal Presiden Amerika Serikat
Obama dalam rangka mengurangi senjata nuklir dan memperkuat keamanan nuklir dan nuklir
6
non-proliferasi di dunia. Penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan sipil seperti pembangkit listrik
tenaga nuklir (PLTN) dimulai pertama kalinya oleh pemerintah rusia di daerah Obninsk, pada 27
Juni 1954 dengan daya 30 MW dan dimulai secara intensif setelah konferensi genewa “On the
peaceful uses of atomic energy” yang di sponsori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun
1955. PTLN didunia sampai 2006 berjumlah 442 buah yang sedang beroperasi secara komersial
di lebih dari 30 negara dengan total daya yang dihasilkan 370 GWe dan berkontribusi 16%
terhadap energi dunia. Jumlah reaktor nuklir komersial untuk energi di atas belum termasuk
reaktor nuklir untuk tujuan riset dan pengembangan di pusat riset dan pengembangan, industri
dan universitas. Saat ini sediktinya ada sekitar 27 PLTN baru yang dalam tahap pembangunan.
Pertemuan Paris ministerial conference, Maret 2005, tersiratkan 8 negara baru memberikan

Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 75
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

sinyal positif bagi penggunaan teknologi nuklir diantaranya Maroko, Indonesia, Iran, Poland, Turki,
Bangladesh, Mesir and Vietnam. Lebih dari 30 negara lainnya sudah menyatakan tertarik untuk
menggunakan teknologi Nuklir dalam pertemuan tersebut. Produksi material nuklir secara
intensif dijaga dan dimonitor oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dengan harapan
untuk mengurangi potensi risiko pemanfaatan bahan bakar nuklir bukan untuk tujuan damai
karena adanya indikasi atau potensi penggunaan bahan bakar bekas dari reaktor sipil untuk
produksi senjata nuklir. Komposisi material tersebut berasal dari komposisi plutonium yang
dapat diproduksi dari reaktor berpendingin air ringan (light water reactors (LWR)) maupun
reaktor cepat (fast reactor (FR)). Kualitas bahan bakar fisil plutonium seperti Pu-239 dapat dilihat
dari tingginya faktor pelipatgandaan neutron atau tingkat kekritisan dan juga kemampuan dari
pembiakan bahan bakar. Pada saat yang sama, Pu-239 mempunyai kualitas yang baik untuk
dipakai sebagai bahan senjata nuklir. Berkaitan dengan hal tersebut, menjaga dan
meningkatkan kapasitas Pu-239 untuk kritikalitas reaktor dan pembiakan bahan bakar harus
dilakukan, akan tetapi pada saat yang bersamaan pula material tersebut harus dijaga agar
jangan sampai digunakan untuk hal yang bukan tujuan damai.

Ada dua tipe material dan cara pemanfaatan bahan bakar nuklir untuk dijadikan bahan bakar
senjata. Material dan cara pemanfaatnya adalah uranium-235 (U-235) dengan cara pengayaan
sampai di atas 95% dengan batas ambang masa kritisnya adalah sekitar 50 Kg, dan bahan
Pu-239 yang bisa diambil dari daur ulang bahan bakar bekas dengan batas masa kritisnya
adalah 10 Kg. Nilai batas masa signifikan untuk plutonium yang berpotensi digunakan untuk
1
senjata nuklir adalah 8 Kg menurut ketentuan IAEA. Untuk reaktor sipil diharuskan pengayaan
dibawah batas 20 % U-235 yang didefinisikan sebagai pengayaan uranium tingkat rendah (low
enriched uranium). Di atas nilai itu sudah masuk kategori high enriched Uranium atau
pengayaan uranium tingkat tinggi, meskipun untuk kategori pengayaan senjata diatas 90 %
U-235. Terkait komposisi plutonium yang dapat dipergunakan senjata nuklir berdasarkan
komposisinya masih belum dijelaskan secara detail oleh IAEA kecuali untuk kadar komposisi
Pu-238 di atas 80% dapat dikategorikan aman untuk tidak dilakukan inspeksi dari IAEA. Salah
satu cara untuk menjaga material tersebut dari pemanfaatan senjata nuklir yang berkaitan
dengan karakteristik melekat (instrinsic property) plutonium adalah dengan meningkatkan kadar
material penghalang atau material barrier isotop plutonium tersebut, terutama dengan
meningkatkan komposisi dari isotop plutonium bernomor massa genap (Pu-238, Pu-240 dan
2,4,7
Pu-242). Pendekatan ini dipilih berdasarkan tingginya intensitas peluruhan panas atau decay
heat (DH) dan netron fisi spontan atau spontaneous fission neutron (SFN) isotop-isotop
plutonium tersebut yang telah digunakan sebagai sebuah parameter untuk meningkatkan level
nonproliferasi nuklir pada bahan bakar plutonium. Kadar DH bisa digunakan untuk meningkatkan
pemanasan internal yang menyebabkan bahan senjata tersebut mengalami pelelehan sebelum
dibentuk jadi senjata. Sedangkan kadar SFN ditujukan untuk meningkatkan potensi ledakan
initial dalam proses pembuatan senjata, sehingga pembentukan senjata tersebut menjadi lebih
sulit. Tujuan dari investigasi ini adalah mengukur sejauh mana efek dari iradiasi atau burnup
pada bahan bakar dan waktu luruh terhadap level material penghalang atau material barrier
untuk komposisi isotop plutonium pada komposisi bahan bakar bekas dari tipe reaktor
berpendingin air ringan.

2. Metode analisis

Parameter dasar dalam investigasi ini berdasar pada perilaku atau komposisi bahan bakar LWR
untuk burnup yang berbeda dengan variasi waktu peluruhan berdasar pada proses cooling time
atau waktu pendinginan bahan bakar bekas setelah dikeluarkan dari reaktor. Nilai iradiasi bahan
bakar atau burnup yang digunakan bervariasi yaitu burnup 33 GWd/t sebagai nilai burnup
standar bagi tipe LWR yang telah dipergunakan secara komersial, kemudian burnup 50 GWd/t
dan 60 GWd/t. Dua nilai burnup terakhir ini, digunakan untuk mengevaluasi nilai burnup yang
lebih tinggi khususnya bagi jenis reaktor yang lebih maju. Komposisi bahan bakar juga dianalisis
setelah bahan bakar dikeluarkan dari reaktor berdasarkan beberapa waktu luruh dari 1 tahun
sampai 30 tahun proses waktu pendinginan. Untuk menganalisis burnup dan waktu peluruhan
3
komposisi bahan bakarnya, kami menggunakan kode komputer ORIGEN untuk mensimulasi
kebergantungan proses reaksi berantai masing-masing bahan bakar terhadap waktu baik pada

Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 76
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

saat proses iradiasi direaktor maupun saat terjadinya proses waktu pendinginan setelah bahan
bakar tersebut dikeluarkan dari reaktor. Suplai bahan bakar untuk tipe LWR ini menggunakan
bahan bakar dengan pengayaan uranium U-235 yang bervariasi berdasarkan nilai burnup, yaitu
3.2% pengayaan U-235 untuk 33 GWd/t, 4.15 % untuk 50 GWd/t, serta 4.7 % untuk nilai burnup
60 GWd/t.

2.1. Vektor komposisi isotop plutonium

Untuk mengevaluasi material penghalang isotop plutonium atau tingkat non-proliferasi nuklir
pada plutonium, salah satu pendekatannya adalah dengan mengamati dan mengevaluasi
vektor komposisi (VecPui ) dari masing-masing isotop plutonium ( Pu i ). Hal ini berarti bahwa
setiap komposisi isotop plutonium menjadi sebuah nilai fraksi atau persentase dari total
plutonium ( Putotali ). Analisis ini dipakai untuk mengevaluasi sejauh mana tingkat komposisi
plutonium berdasarkan persentase masing-masing isotop plutonium terhadap total plutonium.
Komposisi yang dapat dapat digunakan untuk kategorisasi level plutonium seperti kategori
komposisi plutonium untuk senjata nuklir, komposisi plutonium untuk reaktor, bahan bakar MOX
1,7
dan lainnya. Vektor komposisi isotop plutonium dievaluasi berdasarkan persamaan sebagai
berikut:
n
Pu total Pu i (1)
i 1

Pui (2)
VecPui
Pu tot

2.2. Analisis peluruhan panas (decay heat) dan nuklir fisi spontan (spontaneous fission
neutron)

Seperti telah disinggung dalam penjelasan dibagian sebelumnya bahwa parameter utama dalam
mengevaluasi material penghalang plutonium ini adalah berdasarkan pada aktivitas DH dan
komposisi dari SFN. Komposisi-komposisi DH dan SFN bervariasi dan hal itu sensitif terhadap
komposisi isotop plutonium khususnya terhadap komposisi isotop-isotop plutonium dengan
5
nomor massa genap seperti Pu-238, Pu-240 dan Pu-242. Komposisi DH dan SFN digunakan
untuk menaikan tingkat kesulitan secara teknis pembuatan senjata nuklir yang disebabkan oleh
tingginya rasio pemanasan internal untuk melelehkan bahan senjata nuklir dan juga pre-initiation
dari senjata ledak yang tinggi. Persamaan-persamaan yang dipakai untuk mengevaluasi
komposisi DH dan SFN yang berdasar pada komposisi plutonium adalah sebagai berikut:

n
DHtotal DHi xVecPui (3)
i 1

n
SFNtotal SFN i xVecPui (4)
i 1

Total komposisi dari DH dan SFN didapat dari akumulasi komposisi kontribusi masing-masing
isotop plutonium yang didapat dari persamaan (3) dan (4). Komposisi-komposisi ini akan
dievaluasi sebagai sebuah fungsi dari waktu. Fungsi waktu tersebut berdasarkan fungsi dari
iradiasi atau burnup dan waktu peluruhan setelah bahan bakar itu dikeluarkan dari reaktor
dengan menggunakan beberapa tipe pengayaan uranium (U-235) berdasar pada target
beberapa nilai burnup. Kontribusi DH dan SFN dari setiap individu isotop plutonium berasal dari
komposisi murni (komposisi 100%) masing-masing isotop plutonium berdasarkan Tabel 1.

Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 77
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

1
Tabel 1. Properti material isotop plutonium

Isotop plutonium Peluruhan panas (W/kg) Netron fisi spontan (n/s/kg)


Pu-238 560 2.6 x 106
1
Pu-239 1.9 2.2 x 10
Pu-240 6.8 9.1 x 105
Pu-241 4.2 4.9 x 101
6
Pu-242 0.1 1.7 x 10

3. Hasil dan diskusi

Investigasi terhadap komposisi aktinida tipe LWR dilakukan selama proses reaktor beroperasi
dan proses waktu pendinginan terjadi setelah bahan bakar bekas tersebut dikeluarkan dari
reaktor. Pada bagian ini, akan diperlihatkan dan didiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan tren
perilaku bahan bakar dan level komposisi yang akan difokuskan pada komposisi-komposisi
isotop plutonium. Analisis juga telah dilakukan berdasar pada efek dari waktu iradiasi atau
lamanya proses burnup dan waktu peluruhan terhadap komposisi vektor plutonium yang
tentunya sensitif dengan proses tersebut. Beberapa nilai burnup digunakan untuk analisis ini,
yang berkaitan erat dengan bahan bakar yang tentunya berbeda untuk setiap nilai burnup. Nilai
burnup yang tinggi seiring dengan waktu iradiasi yang lama dan sebanding dengan tingginya
pengayaan U-235 yang diperlukan. Tingginya pengayaan uranium untuk burnup yang tinggi
diperkirakan dapat mempengaruhi komposisi dari aktinida didalam reaktor khususnya berkaitan
dengan komposisi plutonium. Komposisi material penghalang berdasarkan pada analisis
komposisi decay heat dan spontaneous fission neutron akan dijelaskan juga pada bagian ini.

3.1. Komposisi vektor iotop plutonium

Hasil yang diperoleh untuk komposisi isotop plutonium diperlihatkan pada Gambar 1 sebagai
fungsi dari waktu peluruhan untuk nilai burnup 33 GWd/t. Setelah reaktor berhenti dan bahan
bakar bekas tipe LWR dikeluarkan dari reaktor, kemudian analisis perubahan perilaku bahan
bakar bekas itu akan dilakukan seiring dengan waktu peluruhan berdasarkan proses waktu
pendinginan yang terjadi. Pada Gambar 1 dijelaskan bahwa komposisi plutonium yang diperoleh
mengalami perubahan yang relatif kecil seiring dengan perubahan waktu peluruhan kecuali
untuk komposisi Pu-241 yang mengalami penurunan komposisi secara signifikan seiring
bertambahnya waktu peluruhan dikarenakan waktu paruh dari Pu-241 yang relatif pendek yaitu
sekitar 14,4 tahun. Isotop plutonium yang lainnya mengalami sedikit kenaikan komposisinya
kecuali pada Pu-238 yang mengalami kenaikan sampai sekitar 2 tahun peluruhan dan kemudian
mengalami penurunan komposisi seiring bertambah lamanya waktu peluruhan.

Komposisi plutonium yang diperoleh dari tipe burnup yang berbeda-beda diperlihatkan pada
Gambar 2a dan 2b sebagai fungsi dari waktu peluruhan untuk masing-masing isotop plutonium
dengan nomor massa genap dan ganjil. Tingginya nilai komposisi dari isotop plutonium
bernomor massa genap didapatkan dari tingginya nilai burnup yang digunakan hal ini
diperlihatkan pada Gambar 2a untuk masing-masing isotop plutonium Pu-238, Pu-240 dan
Pu-242. Nilai tertinggi dari komposisi plutonium diperlihatkan oleh Pu-239 sekitar antara 57%
pada saat reaktor tersebut berhenti dan meningkat menjadi 64% saat waktu peluruhan mencapai
30 tahun untuk tipe burnup 33 GWd/t dan komposisi tersebut akan berkurang seiring dengan
tingginya nilai burnup yang dipakai. Pu-240 menempati komposisi tertinggi dari komposisi isotop
plutonium bernomor massa genap diikuti oleh komposisi Pu-242 dan Pu-238. Komposisi Pu-240
mengalami kenaikan dari 23% naik menjadi 27% saat 30 tahun peluruhan dan seiring dengan
tingginya burnup yang dipakai, komposisi isotop plutonium bernomor massa genap juga akan
mengalami kenaikan.

Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 78
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

100

Pu-239

Isotopic Pu Compositions [Pu wt %]


Pu-240

10 Pu
-24
1

Pu-242

Pu-238

1
0 5 10 15 20 25 30 35
Decay Time [Years]

Gambar 1. Vektor komposisi isotop plutonium

30 70

Pu-240
60
25 Pu-239
Isotopic Plutonium Compositions [% wt Pu]

Isotopic Plutonium Compositions [% wt Pu]

50
20

40

15 LWR 33 LWR 33
LWR 50 LWR 50
LWR 60 30 LWR 60

10
20

Pu-242
5 Pu-241
10

Pu-238

0 0
0 5 10 15 20 25 30 35 0 5 10 15 20 25 30 35
Decay Time [Years] Decay Time [Years]

(a) (b)

Gambar 2 (a) Komposisi nomor massa genap plutonium berdasarkan burnup yang berbeda, (b) komposisi
nomor massa ganjil plutonium untuk burnup yang berbeda

Untuk kasus nomor massa genap plutonium sebagai fisil plutonium, burnup yang tinggi dapat
mengurangi komposisi Pu-239 karena banyaknya Pu-239 melakukan fisi untuk menjaga
kekritisan reaktor, sementara komposisi Pu-241 menjadi bertambah seiring dengan
bertambahnya nilai burnup dikarenakan bertambahnya komposisi Pu-241 dari Pu-240 karena
penangkapan netron sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2a dan 2b. Seiring dengan
bertambahnya nilai waktu peluruhan atau proses waktu pendinginan (cooling time), komposisi
Pu-239 mengalami penambahan sementara Pu-241 mempunyai kondisi yang sebaliknya yaitu
berkurang untuk jangka waktu proses pendinginan yang lama. Peningkatan kompisisi Pu-239
disebabkan peluruhan dari Cm-243 and berkurangnya Pu-241 dikarenakan isotop ini mengalami
peluruhan menjadi Am-241. Meningkatnya komposisi nomor massa genap plutonium akan
berakibat pada meningkatnya level dari materi pengahalang, sementara potensi secara
teknologi untuk menggunakan fisil plutonium sebagai bahan pembuat senjata bisa dikurangi
dengan berkurangnya komposisi dari fisil plutonium.

Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 79
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

3.2. Komposisi peluruhan panas dan nuklir fisi spontan

Analisis level material penghalang yang berkaitan dengan aspek intrinsik nuklir non-proliferasi
akan difokuskan pada komposisi decay heat dan spontanoeus fission neutron yang akan
dijelaskan dan didiskusikan pada bagian ini. Pengaruh waktu pendinginan terhadap decay heat
dan spontaneous fission neutron untuk nilai burnup yang berbeda diperlihatkan pada Gambar 3a
dan 3b. Komposisi decay heat yang tinggi diperlihatkan oleh Pu-238 disebabkan oleh besarnya
nilai DH dalam komposisi 100% Pu-238 yang diperlihatkan pada Tabel 1 dibandingkan dengan
nilai DH isotop plutonium lainnya. Berkaitan dengan komposisi spontaneous fission neutron,
Pu-240 mempunyai kontribusi tertinggi diikuti oleh kontribusi Pu-242 dan juga Pu-238. Pengaruh
nilai burnup terhadap peningkatan level DH dan SFN diperlihatkan pada Gambar 3b. Gambar
tersebut memperlihatkan komposisi yang lebih tinggi bagi DH dan SFN didapat dari nilai burnup
yang lebih tinggi. Lamanya waktu peluruhan atau waktu pendinginan berpengaruh pada
peningkatan nilai SFN dikarenakan kebergantungan SFN pada kontribusi semua nomor massa
genap plutonium yang diperoleh lebih besar kontribusi SFN-nya pada saat waktu peluruhan lebih
lama. Komposisi DH akan mengalami penurunan setelah melewati waktu peluruhan tertentu dan
akan terus berkurang seiring dengan bertambahnya waktu peluruhan, hal ini dapat diketahui dari
kebergantungan komposisi DH terhadap kontribusi Pu-238 yang memperlihatkan profil yang
sama, yakni komposisi Pu-238 mengalami penurunan pada saat waktu peluruhan lebih panjang.

6 100 6
100 10 10

Total
Pu-240
Pu-242 10
5

10

Total Spontaneous Fission Neutron [n/s/kg]


Pu-238
Spontaneous Fission Neutron [n/s/kg]

Total 60 GWd/t
Decay Heat [W/kg]

Pu-238 4
50 GWd/t
Total Decay Heat [W/kg]

Pu-240 10

1
Pu-239 33 GWd/t
Pu-24
1 1000

0.1 60 GWd/t

100
50 GWd/t

0.01 Pu-239
10
Pu-242
33 GWd/t
Pu-24
1
0.001 1 10 5
0 5 10 15 20 25 30 35 10
0 5 10 15 20 25 30 35
Decay Time [Years] Decay Time [Years]

Gambar 3. (a) Komposisi peluruhan panas (decay heat) dan netron fisi spontan (spontaneous fission
neutron) pada isotop plutonium, (b) Total komposisi peluruhan panas dan netron fisi spontan plutonium
untuk burnup yang berbeda

4. Kesimpulan

Artikel ini menjelaskan analisis pada material penghalang isotop plutonium yang berasal dari
bahan bakar bekas LWR sebagai fungsi dari nilai burnup dan waktu peluruhan setelah bahan
bakar dikeluarkan dari reaktor. Tingginya komposisi plutonium dengan nomor massa genap
dapat diperoleh dari kenaikan nilai burnup, sementara komposisi fisil Pu-239 berkurang seiring
bertambahnya burnup karena banyaknya komposisi fisil Pu-239 yang digunakan untuk

Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 80
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

melakukan fisi dalam rangka memperoleh nilai burnup yang lebih tinggi. Tingginya komposisi DH
dapat dilihat dari komposisi Pu-238 dan untuk komposisi dari SFN dapat diperkirakan dari
kontribusi semua isotop plutonium bernomor massa genap. Dalam hal komposisi SFN,
kontribusi yang paling tinggi diperlihatkan Pu-240 disusul kemudian Pu-242 dan Pu-238. Untuk
menaikan komposisi DH dan SFN secara efektif dapat dilakukan dengan menaikan nilai burnup.
Semakin lama waktu peluruhan, komposisi SFN yang lebih tinggi akan dihasilkan karena
kebergantungannya terhadap kontribusi dari masing-masing plutonium bernomor massa genap,
sementara komposisi DH mengalami penurunan setelah mencapai komposisi optimal pada
waktu peluruhan tertentu dan terus mengalami penurunan apabila waktu peluruhan
diperpanjang. Profil DH ini sangat bergantung pada kontribusi Pu-238, yang memperlihatkan
bahwa komposisi Pu-238 mengalami penurunan saat waktu peluruhan diperpanjang.

Referensi

1. International Atomic Energy Agency. 1972. 34p. IAEA Information Circular No: INFCIRC/153.
(corrected).
2. Kessler G. Plutonium denaturing by Pu-238. Nucl Sci and Eng. 2007; 155:53-73.
3. Ludwig BS, Croff AG.ORIGEN 2.2 Isotope generation and depletion code matrix exponential method.
Oak Ridge National Laboratory. 2002.
4. Pellaud B. Proliferation aspects of plutonium recycling. J Nucl Mater Managements. 2002;
XXXI(1):30-38.
5. Permana S, Suzuki M. Basic evaluation on material attractiveness of isotopic plutonium barrier.
Progress in Nuclear Energy. 2010; (in submission).
6. Remarks by President Barack Obama, on April 5, 2009. URL:
http://www.whitehouse.gov/the_press_office/Remarks-By-President-Barack-Obama-In-Prague-As-De
livered/ accessed on November 23, 2010.
7. Saito M. Multi-component self-consistent nuclear energy system for sustainable growth. Progress in
Nuclear Energy. 2002; 40(3-4): 365-374.

Permana, Khakim, Mardiansyah. Peluruhan Panas dan Netron Fisi Spontan Isotop Plutonium. 81
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

Determination of Arsenic in Coal Fly Ash by Graphite Furnace Atomic


Absorption Spectroscopy for Direct Solid Sampling System

Sri Hartuti*, Shinji Kambara


Graduate School of Engineering, Gifu University
1-1 Yanagido, Gifu 501-1193, Japan
*
E-mail: amy_srihartuti@yahoo.co.id

Abstract

The discharge of fly ash from coal combustion process has become a matter of concern in
the world over last few decades. Arsenic (As), one of the most highly toxic chemical
contained in coal fly ash, gives negative impacts on human health and global environment.
Graphite furnace atomic absorption spectroscopy (GF-AAS) method has been proposed for
direct determination of element in solid sample since its appearance as a good alternative to
wet methods of analysis in many matrices. Determination of arsenic concentration in coal fly
ash was conducted by atomic absorption spectrometer in the wavelength 193.7 nm; slit
width and lamp current of Hollow Cathode Lamp are 0.8 nm and 6.0 mA, respectively. The
integration time was 4.5 s. The steps of the furnace program were run in drying, pyrolysis,
auto zero, atomize, and cleanout step in corresponding temperatures. The Calibration curve
was constructed directly and the concentrations of samples obtained automatically on output
device by the data system. Three samples of coal fly ash (sample 1, 2, 3) were imported
from distinct Indonesian coal mines. The result obtained for sample 1, 2 and 3 were 19.69,
13.58 and 3.539 mg/kg, respectively. These results showed that the GF-AAS can be used
for direct solid sample to determine the concentration of arsenic in coal fly ash. The results
will serve as a preliminary investigation to study the leaching process of total arsenic in coal
fly ash from distinct coal mines in Indonesia.

Keywords: Arsenic determination; Graphite furnace-AAS; Solid sampling

©2010. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Introduction

Direct analysis of solid samples using graphite furnace atomic absorption spectroscopy (SS-
GFAAS) method has been proposed for direct determination of elements in solid sample since
its appearance can be of a better alternative to the wet method of analysis, which involves time-
consuming sample dissolution steps1. The main advantages of SS-GFASS method are low
detection limits, minimum amount of sample manipulation, relatively simple and time required to
2
obtain results is minimum . The drawbacks of SS-GFAAS are, however, associated with
increasing interferences, difficulties in calibration and sample inhomogeneity at the micro levels
3
required .

Coal, as a kind of fossil fuel that is cheaper than oil, is mainly used as fuel for thermal power
generation in Japan, China, Indonesia, India and Vietnam. The coal combustion process will
generate coal ash (fly ash) and discharge hazardous trace elements, such as arsenic, lead,
mercury, and chromium. This discharge has become a matter of concern in the world over last
few decades. For the sake of environmental conservation in Asia, many studies of mercury4,
5 6
lead and chromium analysis have been conducted in recent years, and the analytical methods
had been established. However, analytical method associated with much interference in
analyzing arsenic (As) due to the volatility system and compounds of arsenic element has not
been established yet.

Hastuti & Kambara. Determination of Arsenic in Coal Fly Ash. 82


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

Arsenic, as one of the most highly toxic chemical contained in coal fly ash, is a semi-metal
element. As is commonly found as arsenide. In arsenate compounds, it is odorless, tasteless,
and notoriously poisonous metalloid. Furthermore, it is dangerous for the environment due to
many allotropic forms contained. According to EU regulation (98/83/EC) and a provisional
guideline of WHO, the critical concentration of Arsenic on human health effect (in drinking
water) is 10 µg/L. Arsenic in aquatic eco-system occurs in distinct oxidation states depending on
potential redox values. Its solubility in water depends on oxygen concentration, the presence of
7
sulfur and ferric hydroxides, and biomethylation processes . Arsenic is easily accumulated in
sediments by chemical and physical binding or by adsorption onto organic and inorganic
particles. The present paper focuses on the use of SS-GFAAS as a validation technique for
arsenic determination in coal fly ash.

Total As content in coal can be a good indicator for contamination. Its determination can be
carried out directly on the solid phase by means of spectroscopic techniques, such as X-ray
fluorescence (XRF) or ICP Atomic Emission Spectroscopy (ICP-AES). The further target of this
paper is to develop analytical methods for chemical form of arsenic toxicity, and to reveal the
amount of arsenic from fly ash emitted to the environment through studying the leaching
process of total arsenic in coal fly ash.

2. Experimental

2.1. Instrumentation

A single-beam atomic absorption spectrometer (model novAA400, Analytik Jena) was used in
the measurements. This instrument is equipped with a monochromator Czerny-turner-design
mounting with a plain holographic grating system 1800 lines/mm which covers a wavelength
range from 185 to 900 nm. The spectrometer combines a new transverse-heated graphite
furnace atomizer with high-aperture optics and fast background compensation based on an
optimised deuterium hollow cathode lamp. The optic system provides efficient background
compensation by means of transillumination of equal absorption volumes for both measurement
and correction. Solid and liquid sample introduction modes are possible with a quick change
and realignment of the system. For solid samples, we used a Sartorius microbalance and
pyrolytically-coated platform boats were used as sample carriers.

2.2. Standards and reagents

Standard Solutions for Calibration, As (III) were prepared from As2O3 in NaOH.HCl (Nacalai
Tesque, INC.), Solvent for As (III) was prepared from HNO3 60% (Nacalai Tesque, INC.) and
distilled water. Matrix modifier was prepared from Palladium (Pd(NO3)2). Three samples of coal
fly ash (sample 1, 2, 3) were imported from distinct Indonesian coal mines (Kalimantan Island,
Indonesia).

2.3 Methods

Determination of arsenic concentration in coal fly ash was conducted by atomic absorption
spectrometer (novAA 400, Analytik Jena) in the wavelength 193.7 nm; slit width and lamp
current of Hollow Cathode Lamp are 0.8 nm and 6.0 mA, respectively. The integration time was
4.5 s. The steps of the furnace program were run as described in the Table 1.

Hastuti & Kambara. Determination of Arsenic in Coal Fly Ash. 83


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

Table 1. Optimized furnace program

No. Steps Temp (oC) Rate (oC/s) Hold (s) Gas Inert.
1 Drying 90 30 5 Max
2 Drying 105 10 20 Max
3 Drying 120 10 20 Max
4 Pyrolysis 1200 100 60 Max
5 Az* 1200 0 6 Middle
6 Atomize 2600 1000 4 Middle
7 Cleanout 2700 1000 10 Max
*Auto zero

3. Results and Discussion

3.1 Results
Sample 1

Sample 2

Sample 3

Sample 1 : Abs = 0.01159 ; Conc. = 19.69 mg/kg


Sample 2 : Abs = 0.01145 ; Conc. = 13.58 mg/kg
Sample 3 : Abs = 0.09142 ; Conc. = 3.539 mg/kg

(a) (b)

Figure 1. (a) Calibration curve, as indicated by black line, is for direct solid sample determination of arsenic
by GF-AAS; green lines indicate limits of scattered data. (b) Peak shapes of arsenic in Sample 1, 2, and 3
from distinct coal (fly ash) mines; red line indicates as signal; blue line indicates background signal.

Hastuti & Kambara. Determination of Arsenic in Coal Fly Ash. 84


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 CATATAN RISET

3.2 Discussion

3.2.1 Optimization of instrumental parameters for solid sample introduction

The second most sensitive wavelength for As was selected because of the relatively high
content of arsenic element in coal fly ash and in the CRM (certified reference material). For the
short wavelength (193.7 nm), the sample was all atomized (perfectly 100% as indicated by the
instrument sensitivity) but the high interferences were generated. As for the long wavelength
(197.2 nm), the sample was partly atomized (53%), and the interferences generated were low.
To get an optimum result, the authors choose the second wavelength in order to get relatively
high content of coal fly ash. To minimize the high interferences (e.g. due to other elements in
coal) in the second wavelength, the measurement of background (e.g. other element effect) was
used and appeared in the output. The selection of wavelength in present experiment is
applicable to general case.

Optimization of furnace program was focused on the pyrolisis and atomization steps for each
hold time. The gas flow of Argon was also studied. For pyrolisis the temperature used was
o o
1200 C, whilst for atomization the temperature used was 2600 C. The criteria considered for
establishing the parameters was a low background signal that did not disturb the measurement
and a good sensitivity for the signal peak of the analyte.

3.2.2 Establishment of quality parameters for solid sample introduction

Calibration curve as shown in Figure 1 was constructed by running a series of calibration


standards through the instrument. The instrument recorded the absorption generated by a given
concentration. By plotting the absorption versus the concentrations of the standards, a
calibration curve could be plotted to determine the concentration sample. The calibration curve
was constructed directly and the concentrations of samples obtained automatically in the output
device by the data system. As shown in Figure 1, the result obtained for sample 1, sample 2,
and sample 3 were 19.69 mg/kg, 13.58 mg/kg, and 3.539 mg/kg, respectively.

4. Conclusion

Graphite furnace atomic absorption spectroscopy (GF-AAS) can be used for direct solid sample
to determine the concentration of arsenic in coal fly ash. Analysis obtained in solid sample
makes the technique useful for environmental purposes. The results will serve as a preliminary
investigation to study the leaching process of total arsenic in coal fly ash from distinct coal
mines in Indonesia.

5. References

1. Sahuquillo A, Rauret G, Rehnert A, Muntau H. 2003. “Solid sample graphite furnace atomic
absorption spectroscopy for supporting arsenic determination in sediments following a sequential
extraction procedure”. Analytica Chimica Acta. 476: 15-24.
2. Kurfurst U. In: Solid sample analysis: direct and slurry sampling using GF-AAS and ETV-ICP.
Kurfurst U (Editor). Berlin: Springer, 1998.
3. Brown AA, Lee M, Küllemer G, Rosopulo A. 1987. Analytical Chemistry. 328: 354.
4. Resano M, Briceño J, Belarra MA. 2009. Direct determination of Hg in polymers by solid sampling-
graphite furnace atomic absorption spectrometry☆: A comparison of the performance of line source
and continuum source instrumentation. Spectrochimica Acta Part B. 64: 520–529.
5. Chen J, Xiao S, Wu X, Fang K, Liu W. 2005. Determination of lead in water samples by graphite
furnace atomic absorption spectrometry after cloud point extraction. Talanta. 67: 992–996.
6. Silva FA, Cilene C, Padilha F, Pezzato LE, Barros MM, Padilha PM. 2006. Determination of
chromium by GFAAS in slurries of fish feces to estimate the apparent digestibility of nutrients in feed
used in pisciculture. Talanta. 69: 1025–1030.
7. J.W. Moore JW, S. Ramamoorthy D. 1984. In: Heavy metals in natural waters: applied monitoring
and impact assessment. Berlin: Springer.

Hastuti & Kambara. Determination of Arsenic in Coal Fly Ash. 85


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

First Prize

A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and


Societal Demands

Arief Yudhanto
Tokyo Metropolitan University, Tokyo, Japan
Corresponding e-mail: arief_gn@yahoo.com

"… Tell me any stories but politics."


– Soekarno in a Biography As Told to Cindy Adams

Everyone loves a story. Here I have one.

A story from Sumber Canting

While sitting in front of a personal computer, most of us would have thought that the age of
darkness is no more. Sadly, it is not true. Two hundred families living in Sumber Canting village,
located in the eastern Java (Figure 1), could tell us more about darkness; something which
should not have occurred anymore in this era. It is certainly something to dodge. Nevertheless,
the families have been living without electricity for life until a neighboring village generously
supplies 10 kilowatt. Each family could then switch on light bulbs. A mosque can eventually
send forth a gleam. But when the neighbor requires more electricity, they would cut off the
supply. They leave no choice for Sumber Canting but to agree. Hence, the darkness prevails.

Figure 1. Sumber Canting village indicated by ‘A’ in the map is located in the eastern part of Java island,
Indonesia (source: http://maps.google.com).

Sumber Canting reflects poverty in the year of 2010. It is the year when Ministry of Research
and Technology Republic of Indonesia has to pick some of 564 research proposals submitted
1
by universities and institutes across the country. As the fingers crossed, a glimpse into their
titles suggests that virtually ten percent aimed to investigate electricity generators, such as wind
turbine, solar panels, fuel cell, biomass, etc. This fraction marks a good sign: researchers seem
to know what society demands.

Yudhanto. A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and Societal Demands. 86
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

However, in reality, researchers and societal demands often have no direct relevance. In other
words, researchers may not know who exactly needs their invention, whilst society may not
know whom should they consult for technological assistance. What invention and to whom the
invention should be delivered are still dubious. Even if the invention exists, private sectors pour
little funding and build less cooperation with universities or institutes. Also, the tax system may
inhibit the invention of technologies since importing them is more economical. These
shortcomings consequently cause uncommon goal, less incentive and immense
discouragement.

A new strategy

A new strategy is proposed to fix the connection between research and development (R&D) and
demand. The strategy includes resource integration of government, university, industry2 and
research institutes in the form of R&D Hub, and feedback collection from society to R&D Hub
3
via a new entity called Researcher in Residence (RiR). The strategy is illustrated in Figure 2.

Industry

University

R&D HUB SOCIETY

Government

Researcher-
Research in-Residence
Institutes

Figure 2. The schematic describes the relationship between research and development hub (R&D Hub)
and society. University, industry, government, research institutes and researcher-in-residence supply ideas
into R&D Hub.

R&D Hub is an integrated agency to house experts from university, industry, government and
research institutes. The hub has two goals: commercial (as in Business Technology Center and
Business Incubation Center), and social (which is done by nurturing knowledge-based
economy). In practice, the hub is (1) to consolidate invention, innovation and discovery; (2) to
build strong co-operation among research stakeholders; (3) to apply newly-developed concept
4
such as ‘Lead Market’ that aims to create new market for emerging technologies; (4) to
administer research funding and encourage private sectors to invest more; (5) to deploy
technology in the society; (5) to identify the global trend of research; (6) to persuade regulations,
law and policy via Intellectual and Property Rights; (7) to coach university to become market-
friendly, and to understand the technological needs of small medium enterprises; (8) to train
scientist and researchers to become technopreneur.

Researcher-in-resident (RiR) is a scientific personnel assigned to collect facts in a specific area.


Its task is to convey messages from society to R&D Hub. Practically, RiR has to identify
problems, resources, potentials, limitation and financial strength of area in need. Upon the
completion of each mission, RiR has to report the findings to the R&D Hub, and to recommend

Yudhanto. A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and Societal Demands. 87
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

some alternatives compatible with the area. After implementation, RiR will periodically monitor
the technology.

How the strategy may work

As exemplified, Sumber Canting has electricity deficiency problem. But, one of its potentials is
wind energy. RiR can study whether installing a wind turbine is feasible by measuring actual
wind speed in the area. Current data shows that the wind speed can be as low as 1.7 m/s,
5,6
which is insufficient to rotate the wind turbine sold in Indonesian market today. If wind turbine
is to be pursued, RiR can advise R&D Hub to research and develop a special airfoil or blade
design to accommodate such low wind speed. RiR can also investigate the feasibility of micro-
hydro or solar cell. In general, RiR must identify demand directly from society, while R&D Hub
ensures that university, government and industry can contribute. In Indonesian context, R&D
Hub can prioritize research projects of energy, defense, communication technology, agriculture,
biotechnology, medicine, transportation, and advanced materials.

Remarks

The proposed strategy is merely a concept; a concept that integrates triple helix and researcher
in residence; a concept that seeks to answer the demand; a concept that nurtures our
conscience: thinking about people, inventing technology, helping the people with technology.
Once this concept becomes reality, a village like Sumber Canting is dark no more. That is the
day when compatibility is no longer an issue.

References

1. Ministry of Research and Technology of Republic of Indonesia. Short List of Proposals for Incentive
Programs Year 2010, Selection Year of 2009.
2. Etzkowitz H. The Triple Helix of University-Industry-Government Implications for Policy and Evaluation.
Stockholm: Science Policy Institute, Working Paper 2002.11, pp. 2-4, 2002.
3. The term ‘Research in Residence’ is inspired by the scheme funded by Research Councils UK to
place PhD and postdoctoral researchers across secondary school to make science, technology,
engineering and math relevant and exciting for young people.
URL: http://www.researchersinresidence.ac.uk/cms/, accessed on August 19th, 2010
4. Lead Market is an experimental concept advocated by former Finnish Prime Minister Esko Aho. Moran
N, Hudson RL. Innovation: The Demand Side (The Science|Business Roundtable in Paris), pp. 9 – 11,
8 December 2006. URL: http://sciencebusiness.net, accessed on August 19th, 2010
5. Wind speed is sampled in Besuki area, north of Sumber Canting, in August 17th 2010. URL:
http://www.wunderground.com, accessed on August 17th, 2010.
6. Small wind turbine with power capacity of 1kW made in Indonesia costs around US$4000 each,
excluding installation fees. URL: http://windturbin.blogspot.com, accessed on August 16th, 2010

Yudhanto. A New Strategy to Ensure the Compatibility between R&D and Societal Demands. 88
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Second Prize

Improvement of Waste Management in Indonesia

Bayu Prabowo
Tokyo Institute of Technology, Tokyo, Japan
Corresponding e-mail: bayu.prabowo85@gmail.com

Current waste management in Indonesia

Any waste pertaining matters in Indonesia are regulated by “The Act of The Republic of
1
Indonesia Number 18 Year 2008 Regarding Waste Management”. According to the act , waste
management should be conducted based on the principles of responsibility, sustainability,
profitability, safety and economic value. As for the objective, waste management is done to
increase public health and environmental quality, and to transform the waste into energy source.

If we look further into the Waste Management chapter of the Act, it can be seen that there are
strong and clear guidance about the way to properly manage the waste. Nevertheless, because
the Act no.18 year 2008 has just been implemented recently, the implementation of waste
management especially for municipal solid waste is still very far from the waste management
system that is described in the Act. For the industrial solid waste, which is more homogeneous
and separated, treatment and recycle are not big problems. More than 85% of the industrial
solid waste is recycled. Nevertheless, for municipal solid waste that is heterogeneous and
mixed, the treatment methods still posses many problems. As shown in Figure 1, from around
169 million ton per year municipal solid waste input (source: Waste Statistic of Indonesia 2008),
most the waste are improperly treated by open dumped (68.6 %), burned (7.1%), or thrown to
river (3.6%). Only less than 17% are properly treated by land filled and composted. Waste
management in Indonesia currently remains far from the principles and objectives which have
been described in the act.

2
Figure 1. Waste treatment percentage in Indonesia.

Before proposing the improvement of waste management system, it is better to analyze the
current condition in order to make the improvement can be smoothly implemented without any
conflicts. These are some main characteristics of the municipal waste management system in
Indonesia:
• The waste is mixed: no waste type separation from household Indonesia. All of the types of
waste such as the plastic, metal, and organic material are put together.

Prabowo. Improvement of Waste Management in Indonesia. 89


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

• Involve many workers: separation mostly done at the final step before the waste sent to the
final dumping area that sequires many workers as scavenger. The scavengers separate the
recyclable materials from the organic materials and sell it to recycling company. From the
economical side, the existence of scavengers is beneficial. Nevertheless, because their
working environment, it is very poor from the health and social point of view.
• Low-level technology: waste treatment in Indonesia remains utilizing low-level technology
because of low level of worker’s education and low financial support from state government
(Figure 2).
• No problem with area availability: most cities have a quite large area for waste treatment
because the initial design of the waste treatment system is landfill which required large area.
Many unpopulated sub-urban areas are also still available in the most cities in Indonesia.

(a) (b) (c)

Figure 2. Waste treatment: (a) open dumped, (b) river dumped, and (c) open burned

Improvement proposal

Related to those condition and main characteristics, an improvement shall be done step by step
and accommodate as much as possible the occupancy of the people who is depending their life
to the current waste treatment system. In order to make a better and useful waste management
system, I propose two step of improvement. The first 10 to 15 years is revitalization step and
after 15 years is the advance step.

1. Revitalization step:

There should be a revitalization of landfill system which now already shifted to open dumping.
All of the waste treatment site should implement the land fill system with these main
parameters: compaction, land covering, methane gas capturing, leachate treatment system, and
plants planting. I still propose land fill system because it is suitable to the current characteristics
of waste treatment in Indonesia, especially regarding involvement of many workers and low
technology requirement. Another thing that should be done is the waste separation system from
the household and public area. This separation will make it easier for the recycle and landfill
operation and the most important thing is it can reduce the number scavenger in final treatment
area. Land fill area itself is a big a complex area, so that the ex-scavenger workers can be
allocated for supporting worker in land fill operation such as worker for leachate and gas pipe
installation control and maintenance, compaction tractor operator, plant the trees, or the
cleaning service for the treatment are itself. By doing this system, the welfare of the worker can
be improved and the can be step by step introduced to a higher level of waste treatment
technology. This condition is good for the preparation of the next step implementation.

2. Advanced step:

In this step, the waste treatment is more objective to the utilization of waste as an energy
source but not forgetting about the other objective to keep the public health and environment
quality. The suitable treatment system for this step is incineration and hydrothermal treatment.

Prabowo. Improvement of Waste Management in Indonesia. 90


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Those systems can convert the waste to energy optimally without any harm to the environment.
The important thing for this is step is the skilful workers and relatively big investment needed.
So the preparation of this step has to be done at least 5 years before the implementation. By
this system the environmental and public health concern as well as to utilize waste as energy
source can be implemented.

References

1. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. URL:
http://www.menlh.go.id/Peraturan/UU/UU18-2008.pdf, accessed on August 5th, 2010.
2. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Statistik Persampahan Indonesia
Tahun 2008. URL:
http://www.menlh.go.id/dokumen_sampah/Statistik%20Persampahan%20Indonesia%20200
th
8.pdf, accessed on August 5 , 2010.

Prabowo. Improvement of Waste Management in Indonesia. 91


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Third Prize

An Open Letter to the Minister of Research and Technology of Indonesia:


Towards a Knowledge-driven Nation

Radyum Ikono
University of Tsukuba, Ibaraki, Japan
Corresponding e-mail: dsinx_cosx@yahoo.com

Dear Mr. Minister,


I am writing this letter as a future leader of our nation who believes that we, Indonesia, will be
able to excel, to lead the world, with research and technology as the forefront 'force' for it to be
true. I hope this humble letter will help you to condense the idea to bring Indonesia towards
knowledge-driven nation!

Dear Mr. Minister,


We know that today, we live in an era where competition among individuals become so harsh
that in order to survive, one needs to always be aware of other's advancement. To illustrate this,
take an example: a swimmer. He can't just be proud by advancing 2 seconds in every training.
He always needs to compare his record progress with other swimmers' record in a wider view.

The same goes for nations. I suggest that we can concur with a perspective given in a book
written by Lester Thurow, "The Future of Capitalism" : today, knowledge and skills now stand
alone as the only source of competitive advantage.1 So, the economic growth of a nation is no
longer affected greatly from the availability of land, natural resources, or labors, but it is pretty
much driven by the advancement in science and technology, that is often termed as knowledge
based economy (KBE).2

Singapore can be a good example of how KBE has changed this nation. Billions dollars spent in
the building of many research institutes, broadband installment, technopreneurship start-ups
funding, and many more, has shown how a knowledge based progression can bring Singapore
3
today become the top 3 country in the global competitiveness index. Another model can be seen
from Finland with its Nokia. The decision to invest billions dollars in the cellular phone has
boosted Nokia Corporation’s net sale into almost 12 times just in about 10 years, that finally
2
contribute to the economic growth of Finland.

Dear Mr. Minister,


I hope from the passages above we can clearly observe that one of the requirements for a nation
to excel can be derived by its ability for bringing research and technological advancement into
market.

Now we shall come back to our country and see deeply, how Indonesia today still lacks of such:
the technological readiness for market penetration. There are so many researchers in
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – LIPI (Indonesian Institute of Science) or renowned
universities like Universitas Indonesia (UI), and Institute Teknologi Bandung – ITB (Bandung
Institute of Technology), also with so revolutionary inventions, but still there are only few that can
4
go into industries and at the end contribute to the Indonesia's economic growth.

Dear Mr. Minister,


Firstly, our companies' mindset today are still: "Is it made by other countries? Oh from UI (or
ITB)? No, thanks." This kind of conception is still very commonly found today. And more
excitingly, there are some local products that even more expensive than foreign made. So, to
think objectively, we can't condemn the company to have such kind of attitude.

Secondly, there is lack of coordination and socialization between what the researchers do and
what the people in industries expect. These are the points where sometimes there are thousands

Ikono. An Open Letter to the Minister of Research and Technology of Indonesia. 92


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

of good inventions by our scientists but there are no companies want to invest on those products,
simply because it is not inside their long term plan.

Dear Mr. Minister,


Let me suggest several ideas for you to solve above problems.

Firstly, Department of Research and Technology (DRT) should be the one who actively bridges
the needs of the scientists and the entrepreneurs. The problems are 'simply' there is not enough
mediation between both elements. The mediation will greatly help to match the strategic plan of
DRT and the department of trade and industry. So, for instance, one of the 7 DRT's targets of
technological advancements is drug development. With such mediation, industries can hopefully
observe the feasibility to invest in drug industry as one of their target. And also, DRT can help to
mediate to socialize on what the research institutes or universitites have produced in recent
years and what is its potentials in market. DRT also has to direct the scientists to do
market-based research, so that what scientists develop will be useful in the context of market
today.

Now we move on to the role of government as a whole. The next solution is to encourage a "love
local products" campaign. Let's see how Malaysia treats their Proton as a nation symbol. It is
surprising to see that almost all government-related people use Proton as their official cars. Even
citizens in all areas in Malaysia are so proud to use this brand. One of the key behind this is the
5
government intervention to give a significant subsidy for those who use Proton.

I believe that we can adapt the same concept as what Malaysia do. We can give, for instance, a
significant subsidy for a company who wants to use local product developed by LIPI. And of
course, in the long run, we can also use the same concept as Malaysia has done; to do local
product campaign by using it in every sectors of our life.

Dear Mr. Minister,


I hope with this very short simple letter, we can together bring our nation to a brighter future.
Maybe it is not a dream in 2034 to see an automotive company "Bimantara", airplane industry
"Perkutut", watch product "Arlojee", and many more to come. Towards knowledge-driven nation,
with bismillah.

With warm regards,

Radyum Ikono

References
1. Thurow, L. C. 1997. The Future of Capitalism. New York: William Morrow and Company.
2. Zuhal. 2010. Knowledge and Innovation, Platform Kekuatan Daya Saing. Jakarta: Gramedia.
3. Schwab, K. 2010. The World Economic Forum: Global Competitiveness Report 2009-2010. URL:
http://www.weforum.org/pdf/GCR09/GCR20092010fullreport.pdf, accessed on November 26, 2010.
4. Koran Jakarta. 2010. Mensinergikan ilmuwan dengan pelaku usaha. URL:
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=57817, accessed on November 26, 2010.
5. New Straits Times. 2010. Proton does Malaysia Proud. URL:
http://www.nst.com.my/nst/articles/ProtondoesMalaysiaproud/Article/, accessed on November 26,
2010.

Ikono. An Open Letter to the Minister of Research and Technology of Indonesia. 93


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Small, Blue and Beautiful: A Dream for a Better Indonesia


without Endangering the Environment

Himawan Tri Bayu Murti P.


Kyushu University, Japan
Corresponding e-mail: himawanbp@mine.kyushu-u.ac.jp

In the final days of what seems the now ancient history of 1968 a photograph from space called
"Earthrise" flashed around the globe. In one of those instant moments, Indonesians, along with
everyone had the chance to see the Earth in a different sort of light. Looking at this inspiring
picture, I thought about how the inspiration from the picture might help us build a better Indonesia.
As the spacemen spoke of the view of the earth that they saw, they spoke of seeing our home
the earth as small and blue and beautiful. I am sure we can build a better Indonesia if we take
some of these ideas and let that image not only inspire us, but move us towards some changes.

Small

The first word of the ‘Earthrise’ describes the world that is small. Of course, Indonesia with more
than 17,000 islands and 230 millions of population is not a small country, but across the globe,
the future seems to belong to the smaller focused projects. There will always be a need in a
diverse nation such as ours for national government and for coordination across regions and
provinces. But increase the future seems to be with the smaller or medium enterprises.
Sometimes, these are art of larger corporate undertaking but those engaged have a direct sense
of engagement and involvement. Business models, that emphasis direct local engagement,
appear to gain wide spread support. At an international level Mohammad Yunus and Grameen
bank won a Nobel Prize by showing that supporting and backing poor individual entrepreneurs is
successful and profitable. Hence, strengthening small and medium enterprises will significantly
affect national economic stability and growth.

Mentioning this possible small action for a better Indonesia, some programs have been initiated
by conducting collaborative works between universities and some small and medium enterprises
in Indonesia. In 2009, an international acknowledgement, Mondialogo Engineering Award, has
been achieved by one of the programs represented by engineering students of Chemical
Engineering Department, Gadjah Mada University entitled "Zero waste Production System in
1
Small/Medium Industrial Cluster as the Core of Sustainable Innovative Villages". Again, working
at the local level, students work with communities engaging at the village level to identify need
and key engineering projects that are sustainable. This is an outstanding model and over time
will be repeated in many locations.

There is a lot of early work going on in this area worldwide, where social objectives are central to
the establishment and operation of hundreds of successful enterprises. From the statistical
report, it is found that in Europe, 99% of all firms are SMEs employing about 65 million of
2
people. India, which is one of the most progressive Asian countries with similar characteristics
3
as Indonesia, accounts to have SMEs of about 39% of the manufacturing sectors. Furthermore,
it is estimated that SMEs account over 90% of all business sector worldwide. Thus, social
business models based on SMEs have unlimited potential in a future Indonesia.

Blue and Beautiful

When we heard about ‘Blue and Beautiful’, it must refer to the environment. This ‘Blue and
Beautiful’ is in accordance with the sustainable development conception that is recently
concerned and defined clearly in the Brundtland Report,3 well known as Our Common Future
that “Sustainable development is defined as development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.

Himawan. Small, Blue and Beautiful: A Dream for a Better Indonesia without Endangering the Environment 94
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

The 2009 Mondialogo Engineering Award winning program showed that a process plant can
provide more economical benefits without further endangering the environment. A
comprehensive process results some more value-added products in order to eliminate the
possible waste created. However, the involvement of well educated people (represented by
those from the universities), government and the SMEs as the core of the small strengthening
business will ease the success of the program. Designing program will be specific of each SMEs
that depends on the characteristic of the area and business cores. Instead of the zero waste
process, self-supplied energy could also possibly be obtained due to the geographical condition
at where the business operated with water potential and abundance availability of the sun light,
not yet mentioning other possible energy resources that provide less risk for the destruction of
the environment.

In the future of Indonesia, maintaining, protecting and enhancing the quality of the environment
need to become a number one priority in the progressive development of economy. By keeping
the environment, it is not only ensuring the fulfillment of our needs but also our future generation.
In addition, the Earthrise of blue and beautiful maintained regardless to the increase of the
economical growth emphasizing on SMEs will provide other benefit which is our tourism, as it
has been generally stated that Indonesia is one of heavenly places in equator.

Conclusion

When ‘Earthrise’ was first seen, for so many people, it was a new and breathtaking vision. It was
a way of seeing the world that is entirely new at the same time, but in so many ways it is a new
view of our old Earth. As we look at the future of Indonesia, ‘Earthrise’ has much to offer that we
can glimpse a new Indonesia within that breathtaking image. We can help building a future
Indonesia that is small and blue and beautiful by strengthening the SMEs with a sustainable
approach.

Thus, in order to make the future of Indonesia in the image of ‘Earthrise’ which is small and blue
and beautiful, all of our strength, talent, and energy will be required as well as collaborative
works among all components. Somehow, is this what we owe to our beloved country, Indonesia,
isn't it?

References

1. Wikipedia: Mondialogo award. URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Mondialogo_Engineering_Award,


accessed on August 24th, 2010.
2. European statistics homepage. URL: http://epp.eurostat.ec.europa.eu/, accessed on August 24th,
2010.
3. Ministry of Micro, Small and Medium Enterprises (Government of India) homepage. URL:
http://msme.gov.in/, accessed on August 24th, 2010
4. Bruntland, G. (Editor). 1987. Our common future: The world commission on environment and
development. Pages 1-17.Oxford: Oxford University Press. New York.

Himawan. Small, Blue and Beautiful: A Dream for a Better Indonesia without Endangering the Environment 95
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Dealing with the Obstacles in Establishing a Good Participatory


Development in Indonesia
Novri Susan
Doshisha University, Kyoto, Japan
Corresponding e-mail: novri_sociologist@yahoo.co.id

Indonesian democracy has promoted national development program at district level


(kabupaten/kota) under the Law No.32/2004 on local autonomy. Local autonomy aims to give
more opportunities for local population to influence the development program based on their
needs. Therefore the development program should be planed and implemented by the local
population’s participation which is known conceptually as participatory development. However
during the local autonomy era since 1999, the quality of participatory development has been
remaining bad in which people’s needs have been not reflected in the development plan. Indeed
this paper aims to understand obstacles in establishing a good participatory development in the
era of local autonomy and a strategy to deal it.

The Obstacles of Undergoing Participatory Development

The main reason of the participatory development is that communities are assumed to be better
than a central government or an external donor not only to set up priorities, identify deserving
beneficiaries, design projects, select techniques and inputs, but also to enforce rules, monitor
1
behavior, and verify actions. The participatory development has been adopted in Indonesia by
providing legal frameworks of participation, namely Law No.18/1997 juncto UU No.34/2000, Law
No.41/1999, Law No.10/2004, and Law No.32/2004. However, the legal frameworks of
establishing the participatory development, some social and political conditions remain stay as
obstacles in establishing a good participatory development.

In many cases of the participatory development implementation, there is a low skill of


1-3
bureaucracy in facilitating public participation process. Beside the problem of low skill, NGOs
and local population often see that there is still lack of commitment in engaging a good
4
participatory development by local government. Furthermore, another problem from
bureaucracy or political leaders is about “elite captures” in any development program signed by
the high level of corruption.1 Komisi Pemberantasan Korupsi (Commission for eradicating
corruption) reported that until 2009 there have been 19 mayors (bupati/walikota) and 5 governors
put in the court due to corruption crime. Most of them were accused of manipulating APBD for
their vested interests.

At the same time, particularly in rural areas of Indonesia, there are a low quality of local
population’s participation even the legal procedural of participatory development is already
5
provided. This phenomenon is influenced by two major conditions namely the low level of
human and social capital. Human capital is related to the level of education which the local
population in rural areas averagely only reach primary education or elementary school (Sekolah
Dasar). At the same time, the social capital of local population has not been established strongly
yet. It is related to the social networks of local population to be a collective action in participatory
5
development.

Based on those facts, there are some obstacles found to create a good participatory
development: 1) the low skill and lack of commitment of bureaucracy to facilitate the participatory
development, 2) the “elite capture” which the vested interest of political elites shape the form of
development program in order to gain own interests, and 3) the quality of local population’s
participation in the deliberation process.

Susan. Dealing with the Obstacles in Establishing a Good Participatory Development in Indonesia. 96
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Starting Point to Solve the Obstacles

National development will reach a better achievement if there is an effort to enhance the quality
of participatory development. Hence, the three obstacles in establishing a good participatory
development need to be solved systematically. A comprehensive strategy is required from multi
stakeholders such as local government, private sectors, and civil society organizations (CSOs).
However, there should be a starting point to undertake a strategy in creating a good quality of
participatory development. Nordtveit mentions that civil society organizations such as NGOs,
mass media and social organizations have a strategic role on improving the quality of
6
participatory development. Because CSOs is the middle class which is able to make an
intensive interaction to both government and local population.

Therefore CSOs’ roles can be the starting point to solve the obstacles in creating a good
participatory development. In addition, the civil society organizations can take two main roles on
solving the obstacles. First role is to monitor and control actively the local government behavior
and policy in formulating and implementing a development program. Second role is to give an
extensive support to local population such as giving a capacity building program of local
population relates to participatory development. Basically, Indonesian CSOs have taken those
roles both on monitoring or controlling the government and supporting the local populations.
However, CSOs at local level particularly in rural areas is weaker rather than CSOs in urban
7
areas to succeed their roles on solving the obstacles. For that reason, it is important for CSOs in
urban areas to transfer their knowledge and skill to CSOs in rural areas.

In order for a development program to reflect the societal needs of population, the obstacles in
establishing a good participatory development have to be solved. Even CSOs can play the
strategic roles on solving those obstacles; the good political will of local government to establish
the good participatory development is obviously needed. Hence, the Indonesian national
development can realize its goal to improve society’s prosperity based on the societal needs.

References

1. Platteau, J. P. 2004. Pitfalls of participatory development, pp.128. URL: http://unpan1.un.org/,


accessed on August 24th, 2010.
2. Maesaroh. 2003. Kebijakan desentralisasi dan pemberdayaan birokrasi lokal. URL:
http://eprints.undip.ac.id/, accessed on August 26th, 2010.
3. Atmoko. 2007. Partisipasi publik dan birokratisme pembangunan. URL: http://resources.unpad.ac.id/,
accessed on August 25th, 2010.
4. Suarawarga. 2008. Abaikan aspirasi, program pembangunan belum Sentuh kebutuhan Masyarakat.
th
URL: http://berita.suarawarga.info/, accessed on August 25 , 2010.
5. Maulana, F. 2009. Pemanfaatan modal sosial masyarakat pada Program Pembangunan Gampong
(PPG) Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana USU Medan.
URL: http://repository.usu.ac.id/, accessed on August 25th, 2010.
6. Nordtveit, B.H. 2009. Constructing development: Civil society and literacy in a time of globalization.
Hong Kong: Springer.
7. Lumbanraja, V., Nasution, A., and Rangkuti, R. 2006. Pemberdayaan aparat desa dalam mewujudkan
th
otonomi masyarakat. URL: http://repository.usu.ac.id/, accessed on August 22 , 2010.

Susan. Dealing with the Obstacles in Establishing a Good Participatory Development in Indonesia. 97
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Entrepreneurship for Better Indonesia


Batari Saraswati
Tokyo Institute of Techonology, Tokyo, Japan
Corresponding e-mail: batari.saraswati@gmail.com

Sri, who just graduated from one of the well-known private universities in the capital city, is now
waiting for a job vacancy opening in companies. She with other 200 students from the same
major share one dream future, working in big companies.

She graduated from a faculty which receives more than 1,000 new students every year. Roughly,
in every 3 months, there are 200 students graduated from this faculty. There are hundreds
universities in our country and all of them continuously produce fresh-graduate. Since the
number of vacancies available in companies remains stagnant, it can be imagined how many
people are out in the street fighting for job and monthly salary. With this phenomenon keeps
going on, our country ended up with one problem, unemployment.

Unemployment is listed as one of the biggest problem faced by developing countries. According
to the Central Inteligence Agency (CIA) World Factbook,1 Indonesia was listed as 77th in world
unemployment rank. The unemployment rate in our country has decreased in the past year, from
8.4% in 2008 to 7.7% in 2009. There is no doubt that this is an improvement, but the
unemployment level of 7.7% from 200 million people is not satisfactory.

National government has proposed answers to this problem. Labor-intensive (padat karya)
industry has been a main weapon of government to overcome this problem for years. While this
2
policy could help decrease unemployment temporarily, yet it is not a long-term reliable solution.

Another policy that should be applied by government is promoting entrepreneurship.


Entrepreneurship is more than simply ‘starting a business’. The definition of entrepreneurship is
a process through which individuals identify problems and opportunities, and then take action to
identify the solutions and the customers who will pay to have those problems solved.3

Along with this proposed idea, the next question that might be aroused: Is entrepreneurship
really an answer for unemployment? The discussion about relationship between unemployment
and entrepreneurship has been started way back at least from Oxenfeldt (1943) who pointed out
that individuals confronted with unemployment and low prospects for wage employment turn to
4
self-employment as a viable alternative. Statistically speaking, there are many evidences that
prove entrepreneurship can be an answer to unemployment problem. Audretsch et al. (2000)
5
shows that an increase in the number of business owners reduces the level of unemployment.
New-firm startups hire employees, resulting in subsequent decreases in unemployment, as
stated in Picot et al. (1998) and Pfeiffer and Reize (2000).6,7

However, things certainly are not as neat as those written in literature and journals. While the
idea might be very good in papers, the execution in reality requires more efforts. What kind of
entrepreneurship is suitable for low and middle-income people in Indonesia? Also, the ultimate
question, how to motivate people to be an entrepreneur?

Small Firms Entrepreneurship

Small firms sector is considerably a promising solution for solving unemployment issue in
Indonesia. The modern sector of medium and large firms was the focus of government policy for
the past 20 years, but small-scale factories that employed from 5 to 19 workers were proved to
be far more numerous and supplied the majority of jobs in Indonesia. A review of the available
Badan Pusat Statistik’s data showed that small-scale industries employed 3.9 million workers in
1986, compared with 1.7 million employees of medium and large-scale firms.8 The number
changes throughout time, but the pattern remains stands.

Saraswati. Entrepreneurship for Better Indonesia. 98


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Government support is utterly needed to deliver this solution. Low-rate loan to support new
businesses is one beneficial policy. In addition to that, tax reduction policy for those who own
small firms can also be a great encouragement.

Entrepreneur: To be or not to be?

Shifting people’s enthusiasm from working for big companies to entrepreneur is also a
challenging task to do. Sri and other university fresh-graduate can be an example of how
reluctant young people nowadays with entrepreneurship idea. They, who have proper education,
should be a mover for those who have not. This issue can be resolved by encouraging
entrepreneurship idea to young generation since early level of education. There are number of
ways to do this, such as by integrating entrepreneurship into education systems, legislating to
encourage risk-taking, and national campaigns.

Teachers and lecturers in school should no longer pass an idea ‘only working in good
companies can ensure you bright future’. Being self-employed or entrepreneur is equally
promising as working in big multinational companies
Creative and innovative thinking should be encouraged by executing business-plan
competition, start-up coaching clinic as early as high school level. One of great example of
9
the implementation is as showed by the Global Entrepreneurship Week in United Kingdom.
Their catchy tagline spreads and encourages people: “It’s time kids could say, ‘when I grow
up I want to be an entrepreneur’ ”.
Introduce various success stories of entrepreneurs. This is important to build a role model
framework in young generation’s mind and motivate them.

Conclusions

This essay presents two points about entrepreneurship in Indonesia. Small firms sector should
be the main focus of entrepreneurship execution in Indonesia since it absorbs more labors.
Given entrepreneurship's potential to support economic growth, it is also the policy goal of
government to develop a culture of entrepreneurial thinking. Like old-proverb said, everything big
should always start by small steps. We have to think about the effect of entrepreneurship,
starting from the small scale. One person can be an enormous effect for the family and
surroundings by starting a business, and it eventually creates a better Indonesia for everyone.

References

1. CIA World Fact Book. URL: http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html,


th
accessed on August 29 2010.
2. Jonathan Temple. 2001. Growing into Trouble: Indonesia after 1966. University of Bristol: Department
of Economics.
3. Watson, Greg. URL: http://www.gregwatson.com/entrepreneurship-definition/, accessed on August
th
29 2010
4. Oxenfeldt, A. 1943. New Firms and Free Enterprise. Washington, D.C: American Council on Public
Affairs.
5. Audretsch, D. B. and Thurik A. R. 2000. Capitalism and democracy in the 21st century: from the
managed to the entrepreneurial economy. Journal of Evolutionary Economics 10: 17-34.
6. Picot, G, Manser, M. E., and Lin, Z. 1998. The Role of Self-Employment in Job Creation In Canada and
the U.S. OECD-CERF-CILN International Conference on Self-Employment, Burlington, Ontario,
Canada.
7. Pfeiffer, F. and Reize, F. 2000. Business start-ups by the unemployed: an econometric analysis based
on firm data, Labour Economics 7(5): 629-663.
8. Frederick, W. H. and Worden, R. L. 1993. Indonesia: A Country Study. Washington: GPO for the
th
Library of Congress.URL: http://countrystudies.us/indonesia/71.htm, accessed on August 29 2010.
9. Global Entrepreneurship Week United Kingdom. URL:http://www.gew.org.uk/, accessed on August
th
29 2010.

Saraswati. Entrepreneurship for Better Indonesia. 99


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Innovate or Pirate: Enforcing Intellectual Property Rights among


Uncertain World, Case Study of Indonesia

Lutfah Ariana
National Graduate for Policy Studies, Tokyo, Japan
Corresponding e-mail: juffrow@yahoo.com

Introduction

In recent decade, Intellectual Property Rights (IPR) has become an emerging issue in
international communities including Indonesia. Every country has tried to manage and
emphasize the importance of IPR protection either physically or non-physically. In the middle of
globalization era, IPR issue needs to be seriously concerned because it closely related to many
factors such as giving “rights” to the IPR owner, law enforcement, economic value, and some
possibility of duplication or piracy that has been easily practiced as technological development
progress.

As a developing country trying to build economic performance, Indonesia has been faced the
complexity problems of IPR. In one side, Indonesia has signed the international agreement of
IPR and should fully committed to all its regulation; on the other side, the economic, social,
cultural condition of its societies are not capable enough to fully support the IPR enforcement in
the country (Sardjono, 2006).

Globalization has brought Indonesia to the crossroads between need and reality. This is no more
evident than in the area of Intellectual Property Laws. The strong commitment of Indonesia’s
involvement in international community can be seen from its membership of WTO Agreement in
1994 (Kusumadara, 2005) and its participation in ASEAN Framework Agreement on Intellectual
Property Cooperation in 1995 (Zamroni, 2005). Indonesia made a commitment to adjust its
national law to these international agreements that can fully benefit for societies.

Recently, there has been some improvement in law reform and enforcement in Indonesia, but in
1
the field of intellectual property laws, the law enforcement remains weak and ineffective. The
weak protection of IPR has resulted on the emerging case of piracy on computer software and
made national information technology (IT) industry loss of benefit. In 2003, the level of software
piracy reached 88% accounted for US$ 157 million loss. In music industry, Record Industrial
Association in Indonesia announced that 70% from four million cassettes and disks published in
2
domestic market is resulted from piracy. Arising problem on piracy has recorded Indonesia into
3
Priority Watch List that has been published by United State Trade Representative.

How to deal with the uncertainty?

It has been realized that there is a dilemma. The formulation of IPR laws in Indonesia can be
considered as the transplantation of foreign law into the Indonesian legal system (Sardjono,
2006). Similar to the transplantation of a human organ, if it is suitable and acceptable by the
receiving body, the transplantation will have a healing effect. On the contrary, if the human body
rejects the transplant organ, the result can be more fatal for the patient. In other words, if the
transplanted IPR laws and regulations are compatible with the Indonesian legal system, they are
likely to bring benefit to the nation. However, if they are not suitable, a greater damage is likely to
be done.

The police as law enforcement authorities admitted that the enforcement of intellectual property
laws must be in line with the poor economic conditions suffered by various small vendors. They
understand that those people sell pirated and fake goods as well as rent pirated products mostly
to survive the economic hardship that hits Indonesia. The police avoid shutting and
cracking-down their business to prevent them shifting to other types of more serious crimes,
such as, stealing, robbery, gambling, and drug dealing (Kusumadara, 2005).

Ariana. Inovate or Pirate: Enforcing Intellectual Property Rights 100


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Finally, we come up with a question, why is Indonesia implementing IP laws while it has been
proven that the implementation of laws do not fully benefit to the majority of its people? Mostly
people will respond that we have to do so in order not to be excluded from international
community, not isolated from the flow of global trade, which will ultimately bring a large benefit for
the entire people. That is what Indonesia needs right now.

The way forward: Is anti-IPR necessary?

In development economics, the processes and institutions involved in catch-up has been a
central issue especially for developing countries. In one side, a pro-IPR view would suggest the
importance of IPR in catching-up technological progress by encouraging research and
development activities. On the other side, an anti-IPR view considered IPR protection makes
domestic industries difficult to adjust the lag-behind of technology or to imitate the new
technology. However, IPR regime is complex, because it may affect imports, licensing, and FDI
in developing countries that finally it will influence the speed of catch-up capability of the country
concerned.4

The failure of the implementation of intellectual property laws in Indonesia gives a lesson that
there has been mismatch between: (1) the developed countries’ idea of the value and concept of
IPR, (2) the Indonesian government’s political interest in reforming IP laws, and (3) the reality in
the cultural, economic, and technological development among Indonesian people that cause
them to ignore the existence of IP laws.

Other possible strategies arise as the growing issue of National Innovation System to promote
IPR as protection for indigenous knowledge of local people that can generate economic and
social benefit. In this case, government is expected to have a strong commitment in generating
the role of research and development (R&D) institutions by increasing R&D budget. The way
forward to eradicate the flood of piracy product in the market can be realized by giving subsidy or
incentive to people who want to access educational link and IP products.

References

1. General Directorate of Intellectual Property (Ditjen HAKI). 2010. Annual Report on Patent Statistic.
www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=20323, accessed on July 17, 2010.
2. Oemar, S. 2003. Indonesia masuk priority watch list USTR: Penegakan hukum HAKI lemah. Bisnis
Indonesia, February 02, 2009. http://web.bisnis.com/artikel/2id1983.html , accessed on July 17, 2010.
3. International Intellectual Property Alliance. 2005. Identification of Countries Under Section 182 of the
Trade Act of 1974. Request for Public Comment on "Special 301 Out-of- Cycle Review: Indonesia". 70
Fed. Reg. 56963. pp.4.
4. Odagiri, H. 2008. IPR and Catch Up: An International Comparative Study and Japan's experience.
Keynote address for Applied Econometrics Association Meeting, December 19-20, 2008, at
Hitotsubashi University, Tokyo.
5. Zamroni. 2005. Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Ekonomi Kelembagaan: Kebocoran Ekonomi
dan Konsep Penanggulangannya. pp. 92.

Ariana. Inovate or Pirate: Enforcing Intellectual Property Rights 101


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Can the Economy Grow without Hampering the Environment?

Ibnu Susanto
Osaka University, Japan
Corresponding e-mail: ibnususanto@em.see.eng.osaka-u.ac.jp

Global warming and depletion of the ozone layer, land degradation by agriculture, industrial and
household pollution, depletion of subsoil resources by mining, and loss of habitat and biodiversity from
deforestation, are conspicuous examples of the impacts of economic activity on the environment. Many
indicators have been advanced to confirm it. Solution for this problem is that we have to go back to the
nature by applying the principles of industrial ecology (IE) on all economic activities.

A basic premise of IE is that we should model our systems like natural systems. They are sustainable
because many biological ecosystems in natural systems are effective in recycling resources. In
mimicking nature, we will maximize the use of waste and minimize the harmful of waste. There are
various definitions of IE. A simple definition of IE is to discover how to make sustainable for economic
and environmental development with an integrated system approach and the potential benefits of
synergistic interactions among the various components of economic activity.

One element of IE field is eco-industrial parks (EIP). The EIP concept refers to situations in which a
number of different companies, usually in close proximity each other, exchange a variety of waste
outputs for reducing resource consumption via reusing and recycling (closed loop system). At present,
industry acts more as a collection of open loop system rather than closed loop system, extracting
materials and fossil energy from nature, processing them, and dumping unwanted waste back into
nature (open loop system). EIP is a new paradigm for changing the nature of industrialization, from
Industrial traditional methods to a fully industrial ecology (from open loop system to close loop system).

The President's Council on Sustainable Development defined EIP as an industrial system of planned
materials and energy exchanges that seeks to minimize energy and raw materials use, minimize waste,
1
and build sustainable economic, ecological and social relationships. See Figure 1 for more clarity on
each definition aforementioned.

Figure 1. Definitions of natural ecosystem, industrial ecology, and eco-industrial park.

Susanto. Can the Economy Grow without Hampering the Environment? 102
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

After three decades of spectacular growth, China passed Japan in the second quarter to become the
world’s second-largest economy behind the United State.2 I argue that the success of China is not
separated from their success in implementing the EIP concept on the development of industrialization
systems in their country. An example of the EIPs’ successful in China is the Tianjin
Economic-Technological Development Area (TEDA).

TEDA as one of the top three national EIPs in China was established in 1984 with industrial output
value was 2 million yuan. In December 2007, TEDA had registered 4485 foreign investment company
with a total cumulative investment was US$ 40 billion since 1984. In 2008, the total gross of industrial
3
output value of TEDA was 373 billion yuan.

Figure 2. Evolution of the implementation of the EIP concept in China. *)UNEP is the United Nations Environment
Programme. **) SEPA is the State Environmental Protection Administration, based on National People’s Congress
in Beijing in March 2008, SEPA status was raised to the Ministry of Environmental Protection.3

Figure 2 describes the Chinese government has endeavored in developing industrialization systems.
They has been succeed to have 24 industrial parks as the National Trial EIPs as of December 2007.

Based on report of Central Bureau Statistics of Indonesia, three main sectors that have biggest role in
the distribution of gross domestic product (GDP) by economic sector of business in the year 2009 are
industrial sector (24.9%), agricultural sector and trade (15.9%), and hotels and restaurants sector
4
(13.7%). The data shows that the largest contribution in the distribution of Indonesia's GDP is
industrial sector. On the other hand, economic progress in the industrial sector has a negative impact
on the environment when environmental management systems are not put in place. In my views,
development of industrialization system in Indonesia has not been according with the methods and
techniques of environmental oriented. Therefore, Indonesia has to immediately do corrective actions to
prevent further environmental damage.

The best way that should be done by Indonesia is learn and implement international best practices in
sustainable industrialization system that were implemented in other countries. Indonesia can learn from
China as one of the developing countries that has implemented the EIP concept and has achieved their
success in economic and environmental issues.

Based on a brief description above about the evolution of implementing the EIP concept in China,
lessons learn that can be taken for Indonesia is described in Table 1.

Susanto. Can the Economy Grow without Hampering the Environment? 103
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Table 1. Lessons from the implementation of the EIP concept in China.

Ideally, we should implement the principles of EI in all economic activities but with respect to data of
Central Bureau Statistics of Indonesia, this essay focus on economic activities in industrial sector as a
priority. I acknowledge that implementing the EIP concept is not easy, because it requires
multidiscipline approach, such as "industrial ecology” itself, business disciplines (production, marketing,
economy), engineering, organization science, case studies, etc., and it also has to consider the social,
political, cultural, and ethical dimensions. However, this concept is one of the best solutions for better
Indonesia because the EIP approach has been proven to be vital for the economic growth of developed
and developing countries. I believe with potential existing resources, Indonesia can implement this
concept successfully.

References

1. The President's Council on Sustainable Development (PCSD)'s website. 1997. Eco-Industrial Park Workshop
Proceedings October 17-18, 1996, Virginia. URL: http://clinton3.nara.gov/, accessed on August 28th, 2010.
2. Barboza, D. 2010. China Passes Japan as Second-Largest Economy. URL: http://www.nytimes.com/,
accessed on August 29th, 2010.
3. Shi, H., Chertow, M., and Song, Y. 2009. Developing country experience with eco-industrial parks: a case
study of the Tianjin Economic-Technological Development Area in China. Cleaner Production; 18: 191-199.
4. Badan Pusat Statistik Indonesia. 2010. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Berita Resmi Statistik
th
No.12/02/Th.XIII, 10 Februari 2010. URL: http://www.bps.go.id/, accessed on August 29 , 2010.

Susanto. Can the Economy Grow without Hampering the Environment? 104
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Waste Management and Waste-to-Energy: Priorities to Overcome


Sanitary Problems in Indonesia

Aretha Aprilia
Department of Socio-Environmental Energy Science, Kyoto University, Japan
Corresponding e-mail: a.aretha@kt8.kyoto-u.ac.jp

The exponential rise of municipal solid waste (MSW) that leads to severe sanitary problems is
long overdue and become an incessant issue in Indonesia. The magnitude of the problem is
signified by the production of nearly 10 million tons of waste per annum in the major urban
centers, which increases 2-4 percent annually. It is predicted that by 2019, the volume of waste
1
in Jakarta will exceed the design capacity of Bantar Gebang landfill.

The discourse which is put at the centre of this essay relates to the existing policies on energy
and waste management in Indonesia that correspond to the urgent need of energy generation
from waste. The purpose of this essay is to identify the current policies on energy and waste
management in order to recognize the policy gaps in the promotion of clean energy from waste
and propose the policy instruments that can be taken into account to improve the current
policies.
2
Indonesia has large new and clean energy potential, which includes 50 gigawatt of biomass.
With regard to energy from waste, currently the government is targeting 26 megawatt by 2013,
3
whereas at the moment 2 megawatt of energy has been generated. The main constituent of
waste generated in Indonesia is organic wastes with over 70 percent, which is potential for
4
energy generation.

National Energy Policies and Potentials for Waste-to-Energy

The government has issued several key regulations, consisting of Presidential Decree
No.5/2006, on the National Energy Policy, Law No.30/2009 on Electrification, Law No.30/2007
on Energy, Law No.15/1985 on electricity, Government Regulation No.03/2005, No.26/2006
regarding the supply and usage of electricity, and Blueprint of National Energy Management
2005-2025.

The current overall development of clean and renewable energy is regulated by the Presidential
Decree No.5/2006 on National Energy Policy. This decree states that the contribution of new and
renewable energy in the 2025 is estimated at 17%, which comprised of 5% biomass, geothermal,
nuclear, hydro, and wind. Organic municipal waste is identified as one of the potential source of
biomass energy. The government will take measures to add the capacity of biomass of 180 MW
by 2020-2024.2 However, specific regulations regarding waste-to-energy are not yet in place.5

The government allocates IDR 144 billion for energy subsidies out of the total IDR 1,13 trillion of
6
National Budget in 2010, which implies 12.6 percent of the total budget. The verity leads to the
difficulties in the penetration of clean energy technologies to the market. The removal of
subsidies and price caps for conventional energy source is long overdue and prerequisite for the
attempt to promote clean energy.

The problem is, however, rather complex due to the large portion of Indonesians that still live in
poverty. The removal of subsidies for energy would mean the increase of goods and services,
which will affect affordability. Hence the adjustment of subsidies should be done in small portion
initially, which will be increased gradually before the subsidy is completely removed. It is also
strongly recommended that the subsidy is imposed for clean energy to allow market penetration.

Aprilia. Waste Management and Waste-to-Energy. 105


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Waste Management Policies: Instruments for Improvements

The master plan of waste management is mainly based on two major laws: Law no. 18 year 2008
and the National Regulation no. 21/PRT/M/2006 on National Policy and Strategies for the
Development of Waste Management System. The existing laws raised ambiguity with regard to
the priorities in waste management that put waste-to-energy and waste minimization as main
emphasis.

Waste minimization would imply the reduction of feedstock for energy generation, which would
be counter-productive to the waste-to-energy applications. Thus it is only recently that the
Cleansing Department established the waste hierarchy, which puts waste minimization and
prevention as the top priority.1 Therefore the laws and regulations should clearly indicate waste
minimization as the priority for waste management and the remaining portion that would end up
in the landfill can be used for energy generation both through methane capture and incineration.

In order to achieve the goals on optimal waste minimization, retribution can be imposed with
volume-based pricing, which implies that the disposal fee is set on a per unit volume basis.
Another plausible instrument is refundable deposit systems, of which the initial charge to cover
the expenses of disposal that can be refunded upon the return of products for recycling. The
individuals or communities that are active to significantly reduce the wastes may also be offered
incentives, both for composting and recycling activities.

In general terms, the objectives that are established by the regional policies in Indonesia should
be accompanied with quantifiable scenarios that include ‘SMART criteria’ (Specific, Measureable,
Achievable, Realistic, and Time-bound). These criteria will be useful for evaluation and the
policies will translate itself into guidelines for proper waste management and waste-to-energy
implementation.

References

1. Cleansing Department. 2010. Modul 1: Master plan of Waste Management in Jakarta (Master plan
Persampahan di Jakarta).
2. Ministry of Energy and Mineral Resources. 2008. Indonesia’s Renewable Energy Potential. URL:
http://www.esdm.go.id/, accessed on August 10th, 2010.
3. Koran Suara Pembaruan. 2010. Bekasi Membutuhkan Sampah. URL:
http://www.suarapembaruan.com/, accessed on August 10th, 2010.
4. United Nations Environment Programme, International Environmental Technology Centre. (2002).
State of Waste Management in South East Asia. URL:
http://www.unep.or.jp/ietc/publications/spc/State_of_waste_Management/2.asp, accessed on August
th
5 , 2010.
5. International Energy Agency. 2008. Energy Policy Review of Indonesia. URL: http://www.iea.org/,
accessed on August 23th, 2010.
6. Government of Indonesia. 2010. Law of Republic of Indonesia No.2/2010 on Amendment of Law
No.47/2009 on National Budget and Expenditures fiscal year 2010. URL:
http://www.esdm.go.id/prokum/uu/, accessed on July 2th, 2010.

Aprilia. Waste Management and Waste-to-Energy. 106


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Towards a Country without Unemployment: The Role of Entrepreneurship


Mukhamad Najib
The University of Tokyo, Japan
Corresponding e-mail: mnajib23@yahoo.com

“People who have a good life are usually those who always give the beneficence to
others. Entrepreneurial activities provide good opportunities for us to help more
people by providing employment. This is a matter of principle; because it causes
people no longer dependent.”1

Sixty five years after the independence, Indonesia has not been able to carry out the mandate of
independence in terms of promoting general welfare. Government efforts in developing
education do not imply a lot on the resolution of unemployment and poverty problems. Every
time the students finish their education this nation also adds a long list of unemployment. The
statistics showed that the unemployment level of university graduates reached 385,400 people in
February 2005, and the level increased to 409,000 in February 2007. The unemployment level
kept increasing until February 2008 (624,200 people). It made into a total number of 9,259,000
people in February 2009. This number consists of unemployment at university level (626,600
people), diploma level (486,400 people), vocational high school (Sekolah Menengah Kejuruan)
2
(1,337,600 people), and combination of junior high, elementary and pre-schools.

Many schools promise that their graduates will be ready to work. But, the promise is becoming
less meaningful since, in fact, the job opportunities do not grow in line with the growing number
of graduates of educational institutions in our country. As a consequence, the growth of educated
unemployment is faster than the growth of the new jobs. Of course, the government is not the
only one that is responsible for the unemployment. Every citizen needs to participate in reducing
poverty and unemployment.

The basic function of education is aimed for creating human beings who are able to resolve their
own problems and the problems surrounding them. The best way to encourage educated people
to help the government in solving the unemployment is to give them the opportunity to help
themselves. With the knowledge they have, the educated people can be part of a solution
instead of a new problem for the government and the society.

Being an entrepreneur is one of the solutions. Someone who wants to work for him or herself is
considered to be an entrepreneur. The word ‘entrepreneur’ originates from French word
entreprendre, which means "to undertake". In business context, entrepreneur means to start a
business. The Merriam-Webster Dictionary presents definition of an entrepreneur as one who
organizes, manages, and assumes the risks of a business.

Many researches showed positive relationship between entrepreneurship and economic growth.
For instance, Schumpeter suggested that entrepreneur is the engine of economy and national
competitiveness. Schumpeter argued that the entrepreneur is an innovator, one that introduces
new technologies into the workplace or market, increases efficiency, productivity or generates
3
new products or services.

In relation with the alleviation of unemployment, we have many examples how entrepreneurship
play an important role. Small and medium enterprises (SMEs) are example for implementation of
entrepreneurial spirit. Nowadays, the number of SMEs in Indonesia is about 51.3 million units.
SMEs are the dominant player in Indonesian economy since they comprise 99.9% of total
economic players. They are able to absorb as many as 90,896,270 out of 93,491,243 national
4
workers (97.22%). We can imagine if 20% of 51.3 million units of SMEs recruit one employee:
unemployment will disappear in a crack.

Najib. Towards a Country without Unemployment: The Role of Entrepreneurship. 107


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 KOMPETISI ESAI PPIJ 2010

Nowadays, there are a lot of education institutions that only offers programs to prepare student
to become a worker. With such kind of education, it is not surprising if the mindset embedded in
the mind of the students is how to get a job as soon as possible after they leave the school. It is
because they think that getting a job is a symbol of a success. When unemployment rate grows
faster than the number of new jobs, the nation does not need graduates who are only ready for
the job, but also independent. In other words, the nation needs graduates who are ready to
resolve the problems of their own and their environments by creating new jobs.

Many ways can be done to make new entrepreneurs. One of the ways is to provide
apprenticeship for young entrepreneurs. In this apprenticeship process, prospective
entrepreneur is not treated as a worker, but as an owner (or a person in charge) of the business
instead. One can also take an initiative, and start a small undertaking alone or with some
partners. A success criterion is this: someone knows how to create and run the business. The
business idea should be feasible; hard work and some “entrepreneurial DNA” must be nurtured.

If as many as 620,000 unemployed graduates can be trained as entrepreneurs, and each


graduate can employ five people, more than three million unemployed can be reduced in a short
time. Creating new entrepreneur should be accompanied by efforts to improve the performance
of existing entrepreneurs (SMEs), where the number reaches 51.3 million units. If 20% of SMEs
are able to improve their performance, i.e. each SME is able to recruit a new workforce, it is not
impossible that this country would get rid of unemployment, and the state without unemployment
will be a reality.

References

1. I heard such statement from my friend who chosed to become an enterpreneur rather than a
government employee (pegawai negeri sipil or PNS).
2. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan. Badan Pusan Statistik. 2009.
URL: http://dds.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06&notab=4 accessed on
August 10, 2010
3. Schumpeter, J.A. Economic theory and entrepreneurial history. In: Explorations in enterprise. Aitken,
H.G.J. (Editor). Cambridge, MA: Harvard University Press. 1965: 45-64.
4. Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia. Rencana strategis 2010-2014. URL:
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&id=20:rencana-strat
egis-2010-2014&Itemid=82 accessed on August 10, 2010.

Najib. Towards a Country without Unemployment: The Role of Entrepreneurship. 108


Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi
(font: Arial 12 points, bold)
Nama penulis-1, nama penulis-2, dst (font: Arial 10.5 points, bold)
Afiliasi penulis (font: Arial 10 points)
Korespondensi: email@address.com (font: Arial 10 points, italic)

Abstrak (font: Arial 10 points, bold)

Abstrak harus ditulis dalam text box ini tidak lebih dari 250 kata. Isi abstrak antara lain ruang
lingkup penelitian (apa yang akan anda sampaikan, ukur, analisis dan lainnya), metode
penelitian, hasil analisis dan kesimpulan secara singkat. Sertakan maksimal lima kata kunci
untuk mempermudah pencarian.

Kata kunci: artikel, abstrak, kata

©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Inovasi (font: Arial 10 points, bold)

Majalah INOVASI (ISSN: 0917-8376) diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang
(http://www.ppi-jepang.org/) sebagai majalah ilmiah semi-populer berkala dan bersifat on-line
untuk menyajikan tulisan-tulisan berbagai topik, seperti IPTEK, sosial-politik, ekonomi,
pendidikan, dan topik humaniora lainnya. Majalah INOVASI berfungsi sebagai media untuk
mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil penelitian dalam rangka memperkaya wawasan
dan khazanah ilmu pengetahuan. Website Inovasi: http://io.ppijepang.org/

2. Kategori artikel

Majalah INOVASI menerima naskah baik yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah
non-populer dengan kategori sebagai berikut:

2.1. Artikel populer

Berisi tentang ide-ide atau gagasan baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ditulis
dalam bahasa Indonesia dengan ejaan yang disempurnakan (EYD) dan tidak lebih dari 6000
karakter atau maksimal 4 halaman.

2.2. Artikel non-populer

Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lainnya.

a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa
Indonesia/Inggris.
b. Judul harus menggambarkan isi pokok secara ringkas dan jelas serta tidak melebihi 10 kata.
c. Struktur naskah terdiri atas Pendahuluan, Uraian Isi (metode dan pembahasan), kesimpulan
dan daftar pustaka. Judul bab tidak harus seperti struktur naskah tersebut, misal: I.

109
Pendahuluan, II. Uraian… Akan tetapi dapat disesuaikan, misal: Perspektif Pertanian 5 tahun
masa reformasi (mewakili pendahuluan)… dst. Huruf pertama setiap kata dalam judul bab
harus ditulis dengan huruf kapital
d. Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, hipotesis, pendekatan dan tujuan yang hendak
dicapai.
e. Uraian isi terdiri dari judul bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang
tersedia. Apabila naskah ini menyampaikan hasil penelitian yang khas, judul bab dalam
uraian isi dapat terdiri dari Bahan dan Metode serta Hasil dan Pembahasan.
f. Sangat disarankan jika dalam uraian isi/pembahasan bersifat kuantitatif. Misal: A lebih besar
10% daripada B, bukan A lebih besar dari B.
g. Kesimpulan memuat secara singkat hasil yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat dibuat
dengan menggunakan penomoran atau dalam satu paragraph.

3. Format penulisan artikel

Ukuran kertas: A4; Margin atas: 3.5 cm; margin kiri, kanan dan bawah: 3 cm; tulisan: 1 kolom;
spasi: tunggal; jenis huruf: Arial; ukuran: 10 points.

Judul, nama penulis, afilisasi penulis dan alamat email ditulis dalam 1 kolom (center). Judul
ditulis dengan font Arial, 12 points, bold, huruf kapital. Nama penulis ditulis dengan font Arial,
10.5 points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font Arial, 10 points. Alamat email ditulis dengan
font Arial, 10 points, italic.

Satuan ditulis dalam unit satuan internasional (SI Unit) misalnya meter atau milimeter, kg atau
gram, Newton dan lainnya. Pemisahan desimal untuk dimensi berat, tinggi dan waktu ditulis
menggunakan titik (.) misalnya 3.4 m. Tanda koma (,) digunakan untuk memisahkan desimal
pada besaran mata uang (misalnya : Rp 1,005,500,00)

4. Penulisan gambar/ilustrasi

Gambar harus disertakan dengan resolusi tinggi supaya mempermudah pengamatan.


Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan jelas (jika
gambar/ilustrasi merupakan hasil kutipan). Judul diletakkan di bawah gambar/ilustrasi dan ditulis
dengan font Arial 9 points, center dan setiap kata diawali dengan huruf besar, kecuali kata-kata
seperti, dan, atau, dalam, kata depan, yang, untuk. Gambar harus didiskusikan dalam teks
utama (gambar berperan dalam mempermudah penyampaian gagasan dan paparan).

Gambar 1. Kata “gambar” harus ditulis dengan huruf biru untuk memudahkan pencarian dari teks utama

5. Penulisan tabel

Judul tabel diletakkan di atas tabel dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan ditulis
mengikuti aturan seperti penulisan Judul Gambar. Catatan mengenai isi tabel (misal “sumber”
atau satuan) dapat diletakkan dibawah tabel.

110
Tabel 1. Kata “tabel” harus ditulis dengan huruf biru

Frekuensi Standard Deviasi (cm/s)


(kHz) N=10 N=12
76.8 6.723 4.751
104.6 3.375 2.112
205.1 2.418 1.869
Sumber: Inovasi Online
6. Pengiriman naskah

Naskah dikirim melalui elektronik mail dalam bentuk attachment file MS Word (*.doc atau *.docx)
atau ke alamat redaksi INOVASI online sebagai berikut: editor.inovasi@gmail.com

Referensi

Referensi diketik dengan menggunakan font 9. Referensi setiap sumber harus dirujuk dan
disusun berdasarkan urutan pemunculan dalam naskah dengan menuliskan angka arab dalam
format subscript tanpa tanda kurung, ditulis setelah tanda titik. Misalnya: “Majalah Inovasi Online
merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan PPI Jepang.1”

- Cara penulisan referensi dari majalah ilmiah

Urutan penulisannya mulai dari nama pengarang (diakhiri tanda ”titik”), judul (diakhiri
tanda ”titik”), nama majalah (diakhiri tanda ”titik”), tahun terbit (diakhiri tanda ”titik koma”), volume
dan bila ada diikuti nomor (nomor ditulis dalam tanda kurung, tanpa spasi setelah volume,
kemudian diakhiri tanda ”titik dua”), halaman (diakhiri tanda ”titik”). Penulisan nama pengarang
dimulai dari ”nama akhir (nama keluarga)” diikuti inisial ”nama awal” dan bila ada inisial ”nama
tengah” tanpa tanda ”koma” ataupun ”titik” di antara ”nama keluarga” dan inisial ”nama awal”
maupun ” nama tengah”. Bila jumlah nama pengarah tujuh atau kurang, ditulis semua; tetapi bila
lebih dari tujuh, maka cukup ditulis enam nama pertama diikuti kata ”dkk.” (bila artikel ditulis
dalam Bahasa Inggris maka ditulis ”et al.”). Contoh:
1. Bucchi A, Plotnikov AN, Shlapakova I, Danilo P Jr, Kryukova Y, Qu J, et al. Wild-type and mutant HCN
channels in a tandem biological-electronic cardiac pacemaker. Circulation. 2006. 114(16): 992-999.
2. Cai J, Lin G, Jiang H, Yang B, Jiang X, Yu Q, Song J. 2006. Transplanted neonatal cardiomyocytes as
a potential biological pacemaker in pigs with complete atrioventricular block. Transplantation.
81:1022-1026.
3. Sudaryanto A, Kartono M. Petunjuk penulisan ilmiah. Inovasi Online. 2010; 9:6-9.

- Cara penulisan referensi dari buku

Urutan penulisannya mulai dari nama pengarang (diakhiri tanda ”titik”), judul (diakhiri
tanda ”titik”), nama buku (diakhiri tanda ”titik”), nama editor buku, dikuti kata ”(Ed.)” yang
merupakan kependekan dari ”Editor” (diakhiri tanda ”titik”), nama kota penertbitan (diakhiri
tanda ”titik dua”), nama penerbit (diakhiri tanda ”titik”), tahun terbit (diakhiri tanda ”titik dua”),
halaman (diakhiri tanda ”titik”). Contoh:
4. Basuki A. Panduan penulisan untuk majalah ilmiah. Dalam: Strategi menulis. Suryanegara L, Junaidi
B (Ed.). Jakarta: Gramedia. 2010: 16-20.

- Cara penulisan referensi dari laman internet

Referensi yang berasal dari laman internet (website) harus menyertakan uniform resource
locator (URL) dan tanggal referensi tersebut diakses. Nama judul artikel dan (bila ada) nama
penulis dicantumkan. Contoh:

111
5. Maryadi J. Arsitektur Tradisional Ternate - Tidore dan Halmahera (Studi Analisa Konstruksi
Tradisional). URL: http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html
diakses tanggal 10 Juni 2010.
Contoh, bila artikel ditulis dalam Bahasa Inggris:
6. Arsitektur tradisional, perkembangan dan analisis. URL:
http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html accessed on June 10,
102010.

112
INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 DEWAN EDITOR

Dewan Editor Inovasi


Penanggung Jawab

Fithra Faisal Hastiadi


Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Jepang
Waseda University

Editor Utama

Udin Bahrudin
Tottori University
Universitas Diponegoro

Editor

Joni Jupesta Retno Ninggalih


United Nations University, Tokyo Sendai, Tohoku

Arief Yudhanto Nirmala Hailinawati


Tokyo Metropolitan University Tokyo Institute of Technology

Cahyo Budiman Brian Wasita


Osaka University Tottori University
Institut Pertanian Bogor Universitas Sebelas Maret

Maharani Hapsari Haryanto


Nagoya University Kanazawa University
Universitas Gadjah Mada STIK Muhammadiyah Pontianak

Pandji Prawisudha Vita Paramita


Tokyo Institute of Technology Tottori University
Universitas Diponegoro

Teguh Dartanto Oce Madril


Nagoya University Nagoya University
Universitas Indonesia Universitas Gadjah Mada

Editor Bahasa Indonesia


Dina Faoziah
Tokyo University of Agriculture and Technology

Layout & Cover


Arief Yudhanto

Dewan Editor 112


INOVASI online Vol. 18 | XXII | November 2010 DEWAN EDITOR

Produksi

Bayu Indrawan Retno Ninggalih


Tokyo Institute of Technology Sendai, Tohoku

Foto Cover

Muhammad Kunta Biddinika


Tokyo Institute of Technology

Fikri Muftih Akbar


Fotografer freelance | fikrimuftihakbar.tumblr.com | Jakarta

Reviewer Tamu

IGB Baskara Nugraha, Ph.D. Agustan, Ph.D.


University of Electro-Communications, Tokyo Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Republik Indonesia

Dr. Eng. Abu Khalid Rivai Tri Harsono


Japan Atomic Energy Agency Saga University, Japan

Sukmayati Rahmah, MT dr. Gunadi, Ph.D.


Universitas Islam Negeri, Malang Universitas Gadjah Mada

Dewan Editor 113

You might also like