Pengurus PP. al Ittifaqiah dan Dosen STITQI Indralaya Ogan Ilir Sumsel
Fenomena tenaga kerja Indonesia diluar negeri sungguh sangat
mencengangkan. Mulai dari kuantitasnya yang demikian banyak dan kualitas yang demikian rendah. Dengan kuantitas tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang mencapai jutaan “bahkan bisa mencapai puluhan juta dengan yang ilegalnya” maka beragam cerita terangkat mulai dari cerita indah menawan, manis memikat hingga cerita pilu menyedihkan, menyakitkan bagai hati disayat sembilu menjadi bumbu kisah para pahlawan devisa. Ironis sekali, dengan kedudukan wanita yang sangat terhormat dalam Islam dengan meletakkan kaum ibu 3 kali lebih mulia dari kaum bapak, dan ekstra ketatnya penjagaan Islam terhadap mereka sehingga melaksanakan ibadah mulia sekaliber hajipun wajib dikawal “body guard” amanah bernama “mahrom” (biasa disebut: muhrim) ternyata yang lebih mencengangkan lagi, dari kuantitas tenaga kerja Indonesia di luar negeri ini, mayoritasnya adalah tenaga kerja wanita (TKW) yang selayaknya berada dirumah beserta keluarga dan anak-anak, bukan pergi “diusir” dari rumah terpisah dari suami, anak-anak dan sanak saudara ketempat yang jauh dengan lingkungan yang sangat asing dalam kurun waktu bertahun-tahun. Lebih dari itu, kualitas yang sangat minim baik dari penguasaan bahasa, pendidikan, keterampilan dan pengalaman kerja yang belum memadai melengkapi “kenekatan” para pahlawan devisa ini. Harumnya kertas “riyal dan dinar” dan manisnya rasa “ringgit dan dolar” menutupi akal sehat, sehingga alih-alih akan meraup rupiah dari luar negeri dan membawa nama harum bangsa justru yang di dapat adalah petaka, siksa, celaka dan mencoreng nama bangsa. Pengalaman penulis, ketika menjadi mahasiswa di luar negeri dan sempat tinggal di Saudi Arabia sangat membekas. Anggapan para “keturunan raja minyak” itu terhadap tenaga kerja Indonesia sungguh sangat berbeda dengan tenaga kerja negara lain walaupun masih tetangga. Hal ini disebabkan mayoritas tenaga kerja Indonesia berprofesi sebagai pembantu rumah tangga dan kuli bangunan yang dalam anggapan mereka masuk dalam kasta hamba sahaya. Meskipun demikian fenomena yang terjadi, minat untuk mendapat gelar “pahlawan” ini tidak pernah surut dari sebagian warga Negara Indonesia. Hal ini bukan saja murni keinginan masyarakat, tetapi juga karena gencarnya serangan mafia tenaga kerja melalui iklan terbuka dan gerilya “door to door” yang di bumbui iming-iming kerja ringan gaji menjulang. Pengiriman tenaga kerja keluar negeri oleh pemerintah bukanlah hal yang haram, akan tetapi semestinya jika para “pahlawan devisa” yang akan dikirim ini melalui seleksi yang ketat (bahasa, pendidikan, keterampilan dan pengalaman kerja, dll) dengan melibatkan seluruh instansi terkait. Demikian juga menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk mengawasi praktek mafia tenaga kerja yang sering berkeliaran disekitar kita. Dilihat dari sisi agama, peran para ulama sangat signifikan untuk menyadarkan umat, bahwa tanggung jawab mencari nafkah berada di tangan suami, bukan istri. Allah swt menegaskan: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa: 34) Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sudah semestinya berusaha dengan sekuat tenaga dengan jalan yang halal untuk menafkahi dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Rasulullah saw bersabda: “setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya, Pemimpin bertanggung jawab atas rakyatnya dan ia akan dimintai pertangung jawaban kepemimpinannya, suami bertanggung jawab atas keluarganya dan ia akan ditanya tentang pertanggung jawabannya, …. (HR. Bukhori-Muslim). Bukan justru sebaliknya bahwa seorang suami malah ongkang-ongkang kaki, berpangku tangan menantikan setoran bulanan dari seorang istri yang banting tulang dinegeri orang. Sementara tidak jarang suami yang demikian ini, justru menghabiskan “setoran bulanan” sang istri dengan sia-sia dan bahkan berfoya-foya dengan perempuan lain. Naudzu billah. Sudah semestinya suami menyadari posisinya sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab secara utuh terhadap keluarganya. Begitu juga wanita hendaklah menyadari haknya dan tidak mau dieksploitasi suaminya demi kepentingan sesaat. Bukankah disaat menikah, sang suami telah berikrar dalam sighat ta’liknya: “atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya” maka sang istri berhak untuk mengadukan halnya ke pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut lalu sang istri membawar iwadh (pengganti atas suaminya) maka jatuhlah talak satu. Adapun yang dimaksud dengan nafkah wajib pada point diatas adalah nafkah lahiriah (makan, minum, tempat tinggal dll yang bersifat primer) dan nafkah bathin yang kesemuanya tidak terpenuhi dengan beradanya seorang istri di luar negeri dengan status “pahlawan devisa” tenaga kerja wanita. Demi pembenahan tenaga kerja Indonesia kedepan dibutuhkan kerjasama antar seluruh instansi terkait, dan tidak menutup kemungkinan lahirnya peraturan-peraturan daerah yang mengatur khusus tenaga kerja keluar negeri. Beberapa langkah strategis dalam masalah ini adalah: Pertama, seleksi secara professional terhadap calon tenaga kerja Indonesia baik dibidang bahasa, pendidikan, keterampilan dan pengalaman kerja yang semua tidak bisa di wujudkan hanya dengan karantina dan pelatihan singkat selama 3 bulan dst. Persiapan ini perlu dilakukan secara bertahap dan kontinyu dan memakan waktu yang lama. Kedua, pembatasan minimal dan maksimal usia tenaga kerja Indonesia yang dilakukan secara amanah. Ketiga, pembatasan minimal tingkat pendidikan yang layak (minimal D3 atau S1). Dengan demikian peluang kerja sebagai tenaga kerja Indonesia professional semakin terbuka dan bukan sebagai “hamba” dimata Negara penerima tenaga kerja. Keempat, memberantas mafia- mafia tenaga kerja illegal yang menumpuk keuntungan pribadi tanpa memperhatikan danpak negative pada tenaga kerja Indonesia yang berstatus warga negara Indonesia dan nama baik bangsa. Kelima, seleksi tempat kerja/perusahaan pada negara penerima tenaga kerja Indonesia dengan selektif. Keenam, mempersempit (pada saatnya menutup) peluang-peluang tenaga kerja dengan status pembantu rumah tangga dan kuli bangunan dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya didalam negeri dengan memanfaatkan program transmigrasi, pemanfaatan lahan, pelatihan-pelatihan real terhadap masyarakat secara langsung dll. sehingga lahir kesadaran dan motivasi untuk membuka usaha rumahan. Ketujuh, kontrak kerja yang nyata, jelas dan menjamin tenaga kerja Indonesia baik keselamatan, gaji dan hak-hak lainnya. Untuk mewujudkan ini maka kerjasama “segitiga emas” antara para umara, ulama dan masyarakat adalah hal mutlak yang wajib dilakukan.