You are on page 1of 13

Epistasis Dominan Duplikat dan Epistasis Gen Duplikat dengan Efek

Kumulatif

A. PENDAHULUAN

Dalam beberapa kasus, persilangan dengan sifat beda lebih dari satu kadang
menghasilkan keturunan dengan perbandingan yang berbeda dengan hukum Mendel.
Semisal, dalam suatu persilangan monohibrida (dominan resesif), secara teori, akan
didapatkan perbandingan 3:1, sedangkan pada dihibrida didapatkan perbandingan,
9:3:3:1. Namun pada kasus tertentu, hasilnya bisa lain, misal untuk monohibrida
bukan 3:1 tapi 1:2:1. Dan pada dihibrida, mungkin kombinasi yang mucul adalah,
9:6:1 atau 15:1. Munculnya perbandingan yang tidak sesuai dengan hukum Mendel
ini disebut "Penyimpangan Semu Hukum Mendel", kenapa "Semu", karena prinsip
segregasi bebas tetap berlaku, hal ini disebabkan oleh gen-gen yang membawa sifat
memiliki ciri tertentu. Penyimpangan semu hukum Mendel : terjadinya suatu
kerjasama berbagai sifat yang memberikan fenotip berlainan namun masih mengikuti
hukum-hukum perbandingan genotip dari Mendel. Penyimpangan semu ini terjadi
karena adanya 2 pasang gen atau lebih saling mempengaruhi dalam memberikan
fenotip pada suatu individu. Peristiwa pengaruh mempengaruhi antara 2 pasang gen
atau lebih disebut Interaksi Gen. Dalam percobaan-percobaan genetika, para ahli
sering menemukan ratio fenotip yang ganjil, seakan-akan tidak mengikuti hukum
mendel. Misalnya pada perkawinan antara 2 individu dengan 2 sifat beda, ternyata
ratio fenotip f2 tidak selalu 9:3:3:1. Tetapi sering dijumpai perbandingan-
perbandingan 9:7, 12:3:1, 15:1, 9:3:4 dll. Bila diteliti betul-betul angka-angka
perbandingan di atas, ternyata juga merupakan penggabungan angka-angka
perbandingan mendel. 9:7 = 9:(3+3+1), 12:3:1 = (9+3):3:1, 15:1 = (9+3+3):1, 9:3:4 =
9:3:(3+1). Oleh sebab itu disebut penyimpangan semu, karena masih mengikuti
hukum mendel. Namun dalam makalah ini penulis khusus membahas mengenai
epistasis dominant duplikat (15:1) dan epistasis gen duplikat dengan efek
kumulatif (9:6:1) sesuai dengan pembagian tugas yang telah diberikan.

1
B. PEMBAHASAN

2.1. Interaksi Antar Gen-Gen

Selain mengalami berbagai modifikasi nisbah fenotipe karena adanya


peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu terhadap hukum
Mendel yang tidak melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan
fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen
nonalelik. Peristiwa semacam ini dinamakan interaksi gen.

Peristiwa interaksi gen pertama kali dilaporkan oleh W. Bateson dan R.C.
Punnet setelah mereka mengamati pola pewarisan bentuk jengger ayam. Dalam hal
ini terdapat empat macam bentuk jengger ayam, yaitu mawar, kacang, walnut, dan
tunggal, seperti dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

Persilangan ayam berjengger mawar dengan ayam berjengger kacang


menghasilkan keturunan dengan bentuk jengger yang sama sekali berbeda dengan
bentuk jengger kedua tetuanya. Ayam hibrid (hasil persilangan) ini memiliki jengger
berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila ayam berjengger walnut disilangkan dengan
sesamanya, maka diperoleh generasi F2 dengan nisbah fenotipe walnut : mawar :
kacang : tunggal = 9 : 3 : 3 : 1.

Dari nisbah fenotipe tersebut, terlihat adanya satu kelas fenotipe yang
sebelumnya tidak pernah dijumpai, yaitu bentuk jengger tunggal. Munculnya fenotipe
ini, dan juga fenotipe walnut, mengindikasikan adanya keterlibatan dua pasang gen
nonalelik yang berinteraksi untuk menghasilkan suatu fenotipe. Kedua pasang gen

2
tersebut masing-masing ditunjukkan oleh fenotipe mawar dan fenotipe kacang.
Apabila gen yang bertanggung jawab atas munculnya fenotipe mawar adalah R,
sedangkan gen untuk fenotipe kacang adalah P, maka keempat macam fenotipe
tersebut masing-masing dapat dituliskan sebagai R-pp untuk mawar, rrP- untuk
kacang, R-P- untuk walnut, dan rrpp untuk tunggal.

Pada jurnal (Achmad Baihaki, 2007) penentuan nisbah pewarisan aktivitas


nitrat reduktase pada Daun dan pada akar ditentukan berdasarkan hasil penelitian.
Satu puncak maka pewarisan poligenik. Membentuk dua puncak, maka kemungkinan
nisbah yang terjadi adalah 3 : 1 (dominant sempurna), 9 : 7 (epistasis duplikat
resesif), 15 : 1 (epistasis duplikat dominant) atau 13 : 3 (epistasis dominant resesif).
Membentuk tiga puncak, maka kemungkinan nisbah yang terjadi adalah1 : 2 : 1
(dominant tidak sempurna),9 : 3 : 4 (epistasis resesif, 9 :6: 1 (efek duplikat
kumulatif), atau 12 : 3 : 1 (epistasis dominan). Membentuk lebih dari tiga puncak,
kemungkinan mengikuti nisbah 9 : 3 : 3 : 1 (dominan penuh digenik), atau 6 : 3 : 3 : 4
(dominan tidak sempurna digenik).
Berdasarkan hasil analisis jalur yang dilakukan oleh Ahmed dkk. (1997)
diketahui bahwa komponen hasil yang paling penting pada tanaman cabai adalah
jumlah buah tiap tanaman dan ratarata berat per buah (average fruit weight), karena
jumlah buah tiap tanaman dan rata-rata berat per buah berkorelasi positif dan
berpengaruh secara langsung terhadap hasil cabai. Dengan demikian salah satu upaya
peningkatan hasil dapat ditempuh dengan meningkatkan jumlah buah per tanaman.
Karakter jumlah bunga tiap nodus hasil persilangan antara Capsicum annuum ×
Capsicum chinense diwariskan secara kualitatif, dikendalikan sedikitnya oleh dua gen
yang bekerja secara epistasis dominan resesif mengikuti pola 13 : 3 dengan terdapat
pengaruh interaksi aditif × dominan dan dominan × dominan. Karakter ini juga
dipengaruhi oleh aksi gen dominan tidak sempurna ke arah jumlah bunga tiap nodus
yang lebih sedikit (Capsicum annuum L).
(Muhammad Azrai, 2005)

3
Selain itu, biasanya kita beranggapan bahwa suatu sifat keturunan yang
nampak pada suatu individu itu ditentukan oleh sebuah gen tunggal, misalnya bunga
merah oleh gen R, bunga putih oleh gen r, buah bulat oleh gen B, buah oval (lonjong)
oleh gen b, batang tiggi oleh gen T, batang pendek oleh gen t dll. Akan tetapi dalam
kehidupan sehari-hari seringkali kita mengetahui bahwa cara diwariskannya sifat
keturunan tidak mungkin diterangkan dengan pedoman tersebut di atas, karena sulit
sekali disesuaikan dengan hukum-hukum mendel.

Sebuah contoh klasik yang dapat dikemukakan di sini ialah hasil percobaan
Wiliam Bateson dan R.C Punnet ada permulaan abad ini. Mereka mengawinkan
berbagai macam ayam negeri dengan memperhatikan bentuk jengger di atas kepala.
Ayam Wyandotte mempunyai jenger tipe mawar (“rose“), sedang ayam Brahma
berjengger tipe ercis (“pea“). Pada waktu dikawinkan ayam berjengger mawar ercis
didapatkan ayam-ayam F1 yang kesemuanya mempunyai jengger bersifat walnut
(“walnut“= nama semacam buah). Mula-mula dikira bahwa jengger tipe walnut ini
intermedier. Tetapi yang mengherankan ialah bahwa pada waktu ayam-ayam walnut
itu dibiarkan kawin sesamanya dan dihasilkan banyak ayam-ayam F2 maka
perbandingan 9:3:3:1 nampak dalam keturunan ini. Kira-kira 9/16 bagian dari ayam-
ayam F2 ini berjengger walnut. 3/16 mawar, 3/16 ercis dan 1/16 tunggal (single).

Fenotip jengger yang baru ini disebabkan karena adanya interaksi (saling
pengaruh) antara gen-gen. adanya 16 kombinasi dalam F2 memberikan petunjuk
bahwa ada 2 pasang alel yang berbeda ikut menentukan bentuk dari jengger ayam.
Sepasang alel menentukan tipe jengger mawar dan sepasang alel lainnya untuk tipe
jengger ercis. Sebuah gen untuk mawar dan sebuh gen untuk ercis mengadakan
interaksi menghasilkan jengger walnut, seperti terlihat pada ayam-ayam F1. Jengger
mawar ditentukan oleh gen dominan R(berasal dari “rose”), jengger ercis oleh gen
dominan P (berasal dari “pea”). Karena itu ayam berjengger mawar homozigot
mempunyai genotip RRpp, sedangkan ayam berjengger ercis homozigot mempunyai
genotip rrPP. Perkawinan dua ekor ayam ini menghasilkan F1 yang berjengger walnut
(bergenotip RrPp) dan F2 memperlihatkan perbandingan fenotip 9:3:3:1.

4
Gen R dan gen P adalah bukan alel, tetapi masing-masing domina terhadap
alelnya (R dominan terhadap r, P dominan terhadap p). sebuah atau sepasang gen
yang menutupi (mengalahkan) ekspresi gen lain yang buka alelnya dinamakan gen
yang epistasis. Gen yang dikalahkan ini tadi dinamakan gen yang hipostasis.
Peristiwanya disebut epistasi dan hipostasi.

2.2. Penyimpangan Semu Hukum Mendel

Nisbah genotip maupun fenotip yang dihasilkan oleh Mendel akan terpenuhi
jika setiap sifat hanya ditentukan oleh alel dalam satu lokus. Alel dalam setiap lokus
bersegregasi bebas dengan lokus lain, dan gen-gen terdapat pada inti. Pada kasus-
kasus tertentu, perbandingan fenotip 9 : 3 : 3 : 1 tidak dipenuhi, tetapi menghasilkan
perbandingan fenotip yang berbeda, misalnya 9 : 3 : 4, 15 : 1, atau 12 : 3 : 1.
Munculnya perbandingan yang tidak sesuai ini disebut penyimpangan semu hukum
Mendel. Penyimpangan semu ini terjadi karena adanya 2 pasang gen atau lebih saling
mempengaruhi dalam memberikan fenotip pada suatu individu. Peristiwa pengaruh
mempengaruhi antara 2 pasang gen atau lebih disebut Interaksi Gen. Interaksi gen ada
Beberapa macam, antara lain :

1. Komplementer (Epistasis resesif duplikat)

Adalah peristiwa dimana 2 gen dominan saling mempengaruhi atau


melengkapi dalam mengekspresikan suatu sifat. Ratio fenotipe 9:7.

2. Kriptomeri (Epistasis resesif)

Adalah peristiwa dimana suatu faktor dominan baru nampak pengaruhnya bila
bertemu dg faktor dominan lain yang bukan alelanya. Faktor dominan ini seolah-olah
sembunyi (kriptos). Ratio fenotipe 9:3:4.

3. Epistasis – Hipostasis (Epistasis Dominan)

5
Adalah peristiwa dimana 2 faktor yang bukan pasangan alelanya dapat
mempengaruhi bagian yang sama dari suatu organisme. Ratio fenotipe 12:3:1.

4. Epistasis dominant Resesif

Bila gen dominan (A) epistatik terhadap gen lain yang bukan sealela (B dan
b), sedangkan sepasang gen resesif (bb) epistatik terhadap gen lain yang bukan
sealela (A dan a). Ratio fenotipe 13:3.

5. Epistasis dominant duplikat (Polimeri)

Adalah peristiwa dimana beberapa sifat beda yang berdiri sendiri-sendiri


mempengaruhi bagian yang sama dari suatu individu. Bila gen A epistatik terhadap B
dan b, sedangkan B epistatik terhadap A dan a. Ratio fenotipe 15:1.

6. Gen Duplikat dengan efek kumulatif

Terjadi bila keberaadaan gen-gen resesif aa dan bb memberi efek yang sama.

Ratio fenotipe menjadi 9:6:1.

Dalam makalah ini pemakalah khusus membahas tentang epistasis dominant


duplikat (polimeri) dang gen duplikat dengan efek kumulatif, sesuai dengan
pembagian kelompok yang telah dilakukan.

2.3. Epistasis dominan Duplikat

Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II
yang bukan alelnya, sementara gen dominan dari pasangan gen II ini juga epistatis
terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis dominan
duplikat. Jika alel dominan dari kedua lokus gen menghasilkan fenotipe yang sama
tanpa efek kumulatif, 9: 3: 3: 1 rasio dimodifikasi menjadi rasio 15:1.

6
(Correns, C. 2005.)

Contoh peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat pada pewarisan


bentuk buah Capsella. Ada dua macam bentuk buah Capsella, yaitu segitiga dan oval.
Bentuk segitiga disebabkan oleh gen dominan C dan D, sedang bentuk oval
disebabkan oleh gen resesif c dan d. Dalam hal ini C dominan terhadap D dan d,
sedangkan D dominan terhadap C dan c.

P : CCDD x ccdd

(segitiga oval)

F1 : CcDd

(Segitiga)

F2 : 9 C-D- (segitiga)

3 C-dd segitiga segitiga : oval = 15 : 1

3 ccD- (segitiga)

1 ccdd (oval)

Contoh 2:

Pada unggas keturunan yang tertentu mempunyai bulu pada kakinya,


sedangkan yang biasa tak mempunyai. Bila kedua tipe ini disilangkan akan
menghasilkan F1 dengan kaki yang berbulu semua, sedangkan F2 memberikan rasio
fenotipik ; kaki berbulu : kaki tak berbulu = 15 : 1.

F--- = berbulu, epistatik terhadap S dan s

--S- = berbulu, epistatik terhadap F dan f

7
ffss = tak berbulu

P berbulu x tak berbulu

FFSS ffss

F1 berbulu x berbulu

FfSs FfSs

F2 1 FFSS 1 FFss 1 ffSS 1 ffss

2 FfSS 2 Ffss 2 ffSs

2 FFSs

4 FfSs

9 berbulu 3 berbulu 3 berbulu 1 tak berbulu

Rasio fenotipik; berbulu : tak berbulu = 15 :1

2.4. Epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif


Keadaan ini terjadi bila keberadaan gen-gen resesif aa dan bb memberi efek
yang sama. Rasio fenotipik menjadi; 9 : 6 : 1. Pada Cucurbita pepo dikenal tiga
macam bentuk buah, yaitu cakram, bulat, dan lonjong. Gen yang mengatur
pemunculan fenotipe tersebut ada dua pasang, masing-masing B dan b serta L dan l.
Apabila pada suatu individu terdapat sebuah atau dua buah gen dominan dari salah
satu pasangan gen tersebut, maka fenotipe yang muncul adalah bentuk buah bulat (B-
ll atau bbL-). Sementara itu, apabila sebuah atau dua buah gen dominan dari kedua
pasangan gen tersebut berada pada suatu individu, maka fenotipe yang dihasilkan
adalah bentuk buah cakram (B-L-). Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan

8
berupa buah berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan epistasis gen
duplikat dengan efek kumulatif.
B-L- = Cakram
B-ll
bbL- Bulat
bbll = Lonjong

P: BBLL x bbll
(Cakram) (Lonjong)
F1 BbLl
(Cakram)
BbLl x BbLl
(Cakram) (Cakram)
F2 : 9 B-L- ( cakram)
3 B-ll (bulat)
3 bbL- (bulat)
1 bbll (lonjong)
Ratio fenotipe cakram : bulat : lonjong = 9 : 6 : 1

9
C. PENUTUP

Interaksi Gen merupakan Peristiwa pengaruh mempengaruhi antara 2 pasang


gen atau lebih. Dalam interaksi antar gen ini ditemukan banyaknya penyimpangan-
penyimpangan, namun masih berhubungan dengan prunsip hukum Mendel, sehingga
disebut penyimpangan semu hokum Mendel. Adapun yang termasuk penyimpangan
semu hukum Mendel antara lain: Komplementer (Epistasis resesif duplikat) RF; 9:7,
Kriptomeri (Epistasis resesif) RF; 9:3:4, Epistasis – Hipostasis (Epistasis Dominan)
RF; 12:3:1, Epistasis dominant Resesif RF; 13:3, Epistasis dominant duplikat
(Polimeri) RF; 15:1, Gen Duplikat dengan efek kumulatif RF; 9:6:1.

10
Pertanyaan:

1. Apa maksud dari keberaadaan gen-gen resesif aa dan bb pada Gen Duplikat dengan
efek kumulatif memberi efek yang sama.? (Sanggam).

Jawab : Jika timbul gen-gen resesif aa atau bb tapi tidak bersamaan pada Gen
Duplikat dengan efek kumulatif, maka akan menimbulkan keturunan dengan efek
fenotipe yang sama pada organisme yang mengalaminya.

Contoh : Pada Cucurbita pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu cakram, bulat,
dan lonjong. Gen yang mengatur pemunculan fenotipe tersebut ada dua pasang,
masing-masing B dan b serta L dan l.
B-L- = Cakram
B-ll
bbL- Bulat
bbll = Lonjong

P: BBLL x bbll
(Cakram) (Lonjong)
F1 BbLl
(Cakram)
BbLl x BbLl
(Cakram) (Cakram)
F2 : 9 B-L- ( cakram)
3 B-ll (bulat)
3 bbL- (bulat)
1 bbll (lonjong)
Ratio fenotipe cakram : bulat : lonjong = 9 : 6 : 1

Pada contoh tersebut, gen-gen resesif bb atau ll masing-masing akan


menimbulkan fenotipe bulat.

11
12
DAFTAR PUSTAKA

http://samudra-fox.blogspot.com/2009/07/penyimpangan-semu-dalam-hukum-
mendel.html.
http://pskbio.blogspot.com/2009/02/penyimpangan-semu-hukum-mendel.html.
Achmad, B.2007. Pola pewarisan aktivitas nitrat reduktase pada Daun dan pada akar,
serta kadar n total tanaman Sebagai karakter penciri toleransi kedelai
Terhadap genangan.
Zuriat, Vol. 18, No. 1, Januari-Juli 2007
Borém, A. 2003. From Mendel to Genomics, plant breeding milestones: a review.
Jurnal ACrop Breeding and Applied Biotechnology, Vol. 2, No. 4, 649-658.
(terjemahan)
Correns, C. 2005. Mendel’s law concerning the behavior of progeny of varietal
hybrids. Genetics 35, Vol. 5, No. 2, 33-41. (terjemahan).
Muhammad, A.2005.(Pewarisan karakter jumlah bunga tiap nodus hasil Persilangan
capsicum annuum l. Dengan capsicum chinense. 2005. Zuriat, Vol. 16, No. 2.
120 s/d 126)
Pai, A.. 1999. Dasar-Dasar Genetika. Jakarta; Erlangga.
Suryo. 1986. Genetika Manusia. Yogjakarta; UGM press
Sopandie, D. 2008. Pola Pewarisan Adaptasi Kedelai (Glycine max L. Merrill)
terhadap Cekaman Naungan Berdasarkan Karakter Morfo-Fisiologi Daun.
Bul.agron vol. 36, No. 1, 1-7
Tim Dosen. 2010. Genetika Dasar. Medan; FMIPA Unimed

13

You might also like