Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia merupakan salah satu komoditas yang
mendapat prioritas pengembangan, karena dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat,
bernutrisi tinggi terutama vitamin dan mineral, dan mempunyai potensi dalam diversifikasi
pangan. Permintaan pasar terhadap kentang dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung
meningkat sejalan dengan berkembangnya jumlah penduduk yang menggunakan kentang sebagai
sayuran sehari-hari, meningkatnya pendapatan, berkembangnya industri pengolahan makanan
(Duriat, 1996., Suwandi, 1996, Karjadi, 2002). Keadaan tersebut mengakibatkan bertambah
luasnya pertanaman kentang dan meningkatnya permintaan bibit kentang bermutu/berkualitas
(Karjadi, 2002).
Di Indonesia kentang ditanam di dataran tinggi seluas 39.835 ha/tahun dengan hasil rata-
rata yang masih rendah yakni 13 t/ha. Pada tahun 1998 luas areal pertanaman kentang mencapai
65.047,46 ha dengan hasil rata-rata 14,50 t/ha. Hasil yang dicapai ini masih rendah bila
dibandingkan dengan negara-negara produsen kentang atau potensi hasil yang dapat dicapai oleh
Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang. Hasil yang dicapai oleh Balitsa adalah 35
t/ha. Salah satu kendala dalam meningkatkan produksi adalah pengadaan dan distribusi bibit
berkualitas yang belum memadai, sehingga petani menggunakan bibit yang bermutu rendah
(Karjadi, 2002).
Sektor pertanian yang maju dan efisien diharapkan mampu meningkatkan mutu,
memperluas lapangan kerja, mem-perluas pasar, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka upaya-upaya yang perlu dilakukan antara lain adalah
dengan penggunaan teknologi tepat guna, merubah perilaku petani dari subsisten menjadi petani
modern, serta memperhitungkan efisiensi usahatani dan selalu berorientasi pasar.
Wilayah Kabupaten Dati II Malang dan sekitarnya memiliki lahan pertanian (lahan kering)
dataran menengah-tinggi yang luas dan subur dengan kondisi iklim yang mendukung untuk
tumbuhnya berbagai jenis tanaman pertanian hortikultura, terutama kentang yang bernilai
ekonomis tinggi. Sebagian dari potensi sumberdaya lahan ini sekarang merupakan "lahan tidur"
yang belum dapat dikembangkan dan diolah secara lebih intensif oleh pemiliknya untuk
menghasilkan komoditas yang ekonomis tinggi. Tiga kawasan potensial bagi pengembangan
usaha tani kentang adalah Kawasan G. Arjuno, Kawasan G. Bromo, dan Kawasan G. Kawi.
Syarat pertumbuhan
Iklim
Curah hujan rata‐rata 1500 mm/tahun, lama penyinaran 9‐10 jam/hari, suhu optimal
18‐21°C, kelembaban 80‐90% dan ketinggian antara 1.000‐3.000 m dpl.
Media Tanam
Struktur remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan
memiliki lapisan olah yang dalam dan pH antara 5,8‐7,0.
Teknis budidaya
Pembibitan
o Umbi bibit berasal dari umbi produksi berbobot 30‐50 gram, umur 150‐180 hari,
tidak cacat, dan varitas unggul. Pilih umbi berukuran sedang, memiliki 3‐5 mata
tunas dan hanya sampai generasi keempat saja. Setelah tunas + 2 cm, siap
ditanam.
o Bila membeli bibit (usahakan bibit yang bersertifikat), berat antara 30‐45 gram
dengan 3‐5 mata tunas. Penanaman dapat dilakukan tanpa/dengan pembelahan.
Pemotongan umbi dilakukan menjadi 2‐4 potong menurut mata tunas yang ada.
Teknik Penanaman
Pemupukan dasar : urea (100 kg/ha), SP 36 (80 kg/ha) diberikan sebelum tanam
pada sekitar titik‐titik penanaman.
Cara Penanaman
Jarak tanaman tergantung varietas, 80 cm x 40 cm atau 70 x 30 cm dengan
kebutuhan bibit + 1.300‐1.700 kg/ha (bobot umbi 30‐45 gr). Waktu tanam diakhir musim
hujan (April‐Juni).
Pemeliharaan Tanaman
Penyiangan
Penyiangan dilakukan minimal dua kali selama masa penanaman 2‐3 hari
sebelum/bersamaan dengan pemupukan susulan dan penggemburan.
Pemangkasan Bunga
Pada varietas kentang yang berbunga sebaiknya dipangkas untuk mencegah
terganggunya proses pembentukan umbi, karena terjadi perebutan unsur hara.
Pemupukan Susulan
Pupuk Makro (sekitar 3 – 5 minggu) : Urea/ZA: 100 kg/ha, SP‐36: 80 kg/ha,
KCl: 100 kg/ha.Pupuk makro diberikan jarak 10 cm dari batang tanaman.
Pengairan
Pengairan 7 hari sekali secara rutin dengan di gembor, Power Sprayer atau
dengan mengairi selokan sampai areal lembab (sekitar 15‐20 menit).
Pengairan
Pengairan 7 hari sekali secara rutin dengan di gembor, Power Sprayer atau
dengan mengairi selokan sampai areal lembab (sekitar 15‐20 menit).
Penyakit
Penyakit busuk daun
Penyebab: jamur Phytopthora infestans. Gejala: timbul bercak‐bercak kecil
berwarna hijau kelabu dan agak basah hingga warnanya berubah menjadi coklat sampai
hitam dengan bagian tepi berwarna putih yang merupakan sporangium dan daun
membusuk/mati. Pengendalian: sanitasi kebun.
Penyakit layu bakteri
Penyebab: bakteri Pseudomonas solanacearum. Gejala: beberapa daun muda pada
pucuk tanaman layu dan daun tua, daun bagian bawah menguning. Pengendalian: sanitasi
kebun, pergiliran tanaman.
Penyakit busuk umbi
Penyebab: jamur Colleotrichum coccodes. Gejala: daun menguning dan
menggulung, lalu layu dan kering. Bagian tanaman yang berada dalam tanah terdapat
bercak‐bercak berwarna coklat. Infeksi akan menyebabkan akar dan umbi muda busuk.
Pengendalian: pergiliran tanaman , sanitasi kebun dan penggunaan bibit yang baik.
Penyakit fusarium
Penyebab: jamur Fusarium sp. Gejala: busuk umbi yang menyebabkan tanaman
layu. Penyakit ini juga menyerang kentang di gudang penyimpanan. Infeksi masuk
melalui luka‐luka yang disebabkan nematoda/faktor mekanis. Pengendalian: menghindari
terjadinya luka pada saat penyiangan dan pendangiran.
Penyakit bercak kering (Early Blight)
Penyebab: jamur Alternaria solani. Jamur hidup disisa tanaman sakit dan
berkembang di daerah kering. Gejala: daun berbercak kecil tersebar tidak teratur, warna
coklat tua, meluas ke daun muda. Permukaan kulit umbi berbercak gelap tidak
beraturan, kering, berkerut dan keras. Pengendalian: pergiliran tanaman.
Penyakit karena virus
Virus yang menyerang adalah: (1) Potato Leaf Roll Virus (PLRV) menyebabkan
daun menggulung; (2) Potato Virus X (PVX) menyebabkan mosaik laten pada daun; (3)
Potato Virus Y (PVY) menyebabkan mosaik atau nekrosis lokal; (4) Potato Virus A
(PVA) menyebabkan mosaik lunak; (5) Potato Virus M (PVM) menyebabkan mosaik
menggulung; (6) Potato Virus S (PVS) menyebabkan mosaik lemas. Gejala: akibat
serangan, tanaman tumbuh kerdil, lurus dan pucat dengan umbi kecil‐kecil/tidak
menghasilkan sama sekali; daun menguning dan jaringan mati. Penyebaran virus
dilakukan oleh peralatan pertanian, kutu daun Aphis spiraecola, A. gossypii dan Myzus
persicae, kumbang Epilachna dan Coccinella dan nematoda. Pengendalian: tidak ada
pestisida untuk mengendalikan virus, pencegahan dan pengendalian dilakukan dengan
menanam bibit bebas virus, membersihkan peralatan, memangkas dan membakar tanaman
sakit, mengendalikan vektor dengan pestisida dan melakukan pergiliran tanaman.
Panen
Umur panen pada tanaman kentang berkisar antara 90‐180 hari, tergantung varietas
tanaman. Secara fisik tanaman kentang sudah dapat dipanen jika daunnya telah berwarna
kekuning‐kuningan yang bukan disebabkan serangan penyakit; batang tanaman telah
berwarna kekuningan (agak mengering) dan kulit umbi akan lekat sekali dengan daging
umbi, kulit tidak cepat mengelupas bila digosok dengan jari.
Kentang (Solanum tuberosum) merupakan sumber kalori dan mineral yang penting bagi
pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat serta mempunyai nilai ekonomi cukup baik. Luas areal
pertanaman kentang di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat sejalan dengan perkembangan
permintaan dan pertambahan jumlah penduduk. Setiap 100 g umbi kentang mengandung 19,1 g
karbohidrat, 11 mg Ca, 60 g P, 0,8 g Fe, serta protein dan vitamin (Koswara, 2007).
Teknik budi daya yang mempengaruhi produktivitas kentang meliputi penggunaan bibit
berkualitas baik, varietas berproduksi tinggi, pengendalian hama dan penyakit yang optimal,
penggunaan sarana produksi yang tepat, serta pengelolaan tanah dan air. Selain itu, pemupukan
masih memerlukan perhatian untuk mendapatkan umbi berkualitas baik, seperti ukuran umbi
sesuai yang dikehendaki, kandungan gula rendah, serta kandungan pati dan berat jenisnya tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian unsure hara N, P, dan K penting untuk
mendukung perkembangan umbi kentang (Rosliani et Al., 1998).
Peranan sektor pertanian dalam per-ekonomian nasional tidak surut meskipun dihadapkan
pada krisis ekonomi dan globalisasi. Sektor pertanian bahkan mam-pu sebagai peredam (buffer)
sehingga dampak gejolak ekonomi dapat dikurangi. Sektor pertanian yang maju dan efisien
diharapkan mampu meningkatkan mutu, memperluas lapangan kerja, mem-perluas pasar, baik
pasar dalam negeri maupun luar negeri. Untuk mencapai tu-juan tersebut maka upaya-upaya
yang perlu dilakukan antara lain adalah dengan peng-gunaan teknologi tepat guna, merubah
perilaku petani dari subsisten menjadi petani modern, serta mem-perhitungkan efisiensi
usahatani dan selalu berorientasi pasar (Romauli dan Muhaimin, 2008).
Program Intensifikasi adalah salah satu dari tiga usaha strategik untuk me-ningkatkan
produksi dalam rangka men-capai swasembada pangan di Indonesia. Program lainnya adalah
ektensifikasi fisik dan teknik dari proses modernisasi dari sistem usahatani tradisional (Ajid,
1981).
Kentang adalah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, karena selain sebagai sumber
karbohidrat, vitamin, dan mineral, kentang juga merupakan bahan baku bermacam-macam menu
restoran cepat saji dan industri makanan ringan. Usahatani kentang diperkirakan akan semakin
intensif sekaligus ekstensif. Untuk menyelamatkan produksi dari kerugian akibat serangan OPT,
petani akan menggunakan cara yang sepintas lalu efektif yaitu penggunaan pestisida sintetik.
Oleh karena itu, alternatif lain sebagai kompensasi dikuranginya kuantum penggunaan pestisida
sintetis perlu segera ditemukan. Salah satu alternatifnya adalah mengintroduksi pestisida nabati,
yang didunia internasional disebut sebagai pestisida biorasional (biorational pesticide)
(Suryaningsih, 2006).
Kajian Pasar Kentang
Peluang pengembangan kentang tercermin dari konsumsi dalam negeri yang terus
meningkat. Menurut FAO, apabila tahun 2000 konsumsi kentang masyarakat Indonesia baru 2.9
kilogram per kapita, maka pada tahun 2020 sudah menjadi 7.3 kilogram per kapita. Tentunya
sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan berbagai faktor yang meningkatkan preferensi
masyarakat terhadap komoditas kentang sebagai kebutuhan pangan, maka komoditas ini dapat
menjadi penopang ekonomi petani. Saat ini, kentang adalah bahan pangan nomor empat
terpenting setelah gandum, beras dan jagung. Kentang menduduki posisi penting sebagai bahan
pangan, karena nutrisinya cukup baik. Kandungan nutrisi lengkap tiap 100 gram kentang segar
adalah : energi 80 kal (320 kJ); karbohidrat 19 gram; pati (15 gram); serat 2.2 gram; lemak 0.1
gram; protein 2 gram; air 75 gram (75% dari total bobot); thiamin (vit. B1) 0,08 miligram;
riboflavin (Vit. B2) 0,03 miligram; niacin (vit. B3) 1,1 miligram; vitamin B6 0,25 miligram;
vitamin C 20 miligram; kalcium 12 miligram; zat besi 1,8 miligram; magnesium 23 miligram;
fosfor 57 miligram; potasium 421 miligram; sodium 6 miligram.
Namun harga komoditas kentang, saat ini masih sangat tinggi, dibanding dengan umbi-
umbian lainnya. Agar kentang bisa lebih merakyat sebagai makanan alternatif, maka harganya
harus diturunkan hingga mendekati ubijalar, talas, keladi dan singkong. Upaya ini baru akan
berhasil apabila budidaya kentang dilakukan secara massal. Pegunungan di Papua, Bali, NTB
dan NTT, sebenarnya merupakan kawasan yang potensial untuk ditanami kentang. Sebab
kawasan ini, udaranya relatif kering, hingga hasil kentang akan lebih baik dibanding dengan
kawasan barat Indonesia, yang udaranya lebih lembap dan curah hujannya tinggi.
Menilik data, Produksi kentang di Indonesia mengalami penningkatan yang cukup besar
yaitu rata-rata sebesar 13% selama setahun 2001-2006 (Agro Lawu, edisi 23-11-2007), dalam
satuan ton,
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Sebagai gambaran berdasarkan data tersebut, preferensi petani untuk membudidayakan kentang
makin meningkat dari tahun ke tahun. Faktor apa saja yang meningkatkan preferensi ini akan
kami bahas di bagian berikutnya. Kebutuhan impor Indonesia pada komoditas kentang adalah
fluktuatif, dalam satuan ton,
1000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Analisis Usahatani Kentang di Sembalun pada luasan usaha rata-rata petani Sembalun (0,5 Ha)
(Rahayu, 2007)
Gambaran Umum Preferensi Koditas Kentang di Indonesia
Sampai sekarang, di seluruh dunia tercatat ada 574 varietas kentang. Namun yang populer
dibudidayakan di Indonesia baru ada dua, yakni varietas Granola dan Atlantik. Granola
merupakan varietas yang sudah cukup tua. Tahan terhadap virus A dan Y, namun tidak tahan
terhadap pathotype A dari golden nematoda. Granola berbentuk oval dan agak pipih, kulitnya
sedikit kasar, namun daging umbinya kuning. Warna daging umbi ini tidak akan berubah setelah
kentang dimasak. Varietas Granola populer dibudidayakan petani, karena terbukti adaptif
terhadap kondisi iklim tropis yang cenderung lembap dan basah.
Atlantik baru diperkenalkan di kalangan para petani kentang Indonesia pada tahun 1980an,
ketika franchise restoran cepat saji dari AS mulai masuk Indonesia. Sebab varietas Granola
produksi petani Indonesia, ternyata tidak mungkin dijadikan french fries. Granola terlalu tinggi
kandungan airnya, hingga menjadi lembek setelah digoreng menjadi french fries. Selain itu,
kandungan gula Granola juga tinggi, hingga potongan daging umbi akan hangus (kecokelatan)
setelah digoreng. Kelemahan Granola inilah yang diatasi oleh Atlantik. Kandungan air dan gula
Atlantik, relatif lebih rendah dibanding Granola, sementara kandungan patinya lebih tinggi.
Hingga Atlantik memenuhi syarat untuk dijadikan french fries.
Sebenarnya, sejak tahun 1980an telah diintroduksi beberapa varietas kentang french fries.
Ujicoba dilakukan oleh Balai Benih Kentang, Dinas Pertanian Provinsi, serta Balai Penelitian
Sayuran (Balitsa) di Lembang. Setelah dilakukan serangkaian ujicoba, terutama uji aklimatisasi,
dari beberapa varietas kentang french fries, yang paling cocok dibudidayakan di Indonesia
adalah Atlantik. Meskipun pada awal tahun 2000an, mulai populer pula varietas Atlas. Atlantik
sendiri merupakan varietas baru, yang dirilis oleh Webb et al. USDA (United States Depertment
of Agriculture) - Beltsville, Maryland, pada tahun 1976.
Umbi Atlantik sebenarnya berukuran lebih kecil dari Granola. Bentuk umbinya lonjong
namun tidak pipih seperti Granola. Kulit umbi licin dan lebih cerah dibanding Granola. Warna
daging umbi putih. Meskipun Atlantik cocok untuk french fries, namun para petani masih lebih
senang menanam Granola. Sebab Atlantik hanya bisa dipasarkan ke restoran cepat saji sebagai
french fries. Sementara Granola bisa dijual ke pasar bebas. Produktivitas Atlantik juga tidak
sebaik Granola. Meskipun harga Atlantik jelas lebih tinggi dari Granola. Karena masih sedikit
yang membudidayakannya, benih Atlantik juga masih lebih tinggi harganya dibanding Granola.
Sejalan dengan populernya french fries, industri potato chips juga mulai tumbuh. Agar
tidak lembek dan hangus ketika digoreng, industri potato chips juga memilih bahan baku varietas
Atlantik. Namun daya serap pabrik potato chips tidak sebesar kebutuhan french fries. Terlebih
kebutuhan kentang sayur. Sebab di Indonesia, masih sulit untuk menerima kentang sebagai
makanan pokok. Padahal, selain kentang rebus yang dimakan, dengan umbi ini masih bisa dibuat
kue, bergedel, pure, dan lain-lain. Bergedel, kentang dicampur daging, telur, bumbu dan daun
seledri, sebenarnya juga sangat populer di Indonesia. Namun di sini, fungsi bergedel juga
berubah menjadi lauk.
Di restoran cepat saji, sebenarnya kita juga bisa menikmati kentang oven. Kentang utuh
yang telah dikupas ini, biasanya dibungkus kertas timah, kemudian dimasukkan ke dalam oven
biasa maupun microwave. Hasilnya adalah umbi kentang masak yang empuk, dan siap untuk
disantap panas-panas, baik dengan salad, jamur, daging, ikan maupun ayam. Kentang juga biasa
disajikan dalam menu steak. Irisan daging has (sirloin, tanderloin) sapi yang dipanggang,
disajikan dengan kuah steak, buncis, wortel, dan potongan kentang. Kentang steak, biasanya
dipotong persegi, dan digoreng sampai empuk. Steak tanpa potongan kentang, akan terasa aneh.
Kendala utama memasyarakatkan kentang sebagai pangan alternatif adalah faktor
ketersediaan yang masih terbatas. Kentang masih merupakan komoditas elite. Tingginya harga
kentang dibanding dengan talas, keladi, ubijalar, dan terutama singkong, disebabkan oleh
permintaan yang masih lebih tinggi dari pasokan. Sebenarnya, masyarakat di pegunungan NTB,
NTT, Sulawesi dan terutama Papua, akan lebih memilih membudidayakan kentang dibanding
dengan ubijalar, talas, keladi, singkong atau jagung. Kondisi agroklimat di kawasan ini jelas
lebih baik dari kondisi agroklimat sentra kentang di Jawa dan Sumatera. Namun budidaya
kentang merupakan usaha tani yang padat modal.
Sebab benih kentang harus berupa umbi, yang ukurannya sedikit lebih kecil dibanding
dengan umbi konsumsi. Benih kentang, terutama benih hibrida, hanya bisa dibudidayakan satu
kali. Kalau umbi hasil panen kembali dibudidayakan, maka kuantitas maupun kualitasnya akan
menurun. Kalau kemudian hasil panennya kembali dibudidayakan maka hasilnya akan semakin
terdegradasi. Itulah sebabnya setiapkali akan menanam, petani harus membeli benih baru.
Padahal harga benih kentang hibrida relatif tinggi untuk ukuran petani. Kendala-kendala itulah
antara lain yang menjadi penyebab, mengapa umbi kentang tidak kunjung populer sebagai bahan
pangan alternatif.
DAFTAR PUSTAKA
Duriat,A.S. (1996). Cabai Merah Komoditas Prospektif dan Andalan. Teknologi Produksi Cabai
Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Badan Litbang Pertanian.
Karjadi, 2002. Potensi Penerapan teknik Kultur Jaringan dan Perbanyakan Cepat dalam
Pengadaan Bibit kentang Berkualitas. Balai penelitian Tanaman Sayuran Lembang.
Makalah Seminar Sehari Pengembangan KSP Sayuran Sembalun NTB, Mataram,
Oktober 2002.
Koswara, E. 2007. Teknik pengamatan penggunaan pupuk anorganik majemuk dan tunggal pada
beberapa varietas kentang. Buletin Teknik Pertanian Vol. 12(2).
Rahayu, Muji.2007. Pengembangan Kentang Atlantic di Dataran Tinggi. Infotek vol 1 (5)
Romauli dan Muhaimin, 2008. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usaha tani padi sawah
kabupaten Nagnjuk. Agritek vol 16 (8).
Rosliani, R., N. Sumarni, dan Suwandi. 1998. Pengaruh sumber dan dosis pupuk N, P, dan K
pada tanaman kentang. Jurnal Hortikultura 6(1): 988-999.
Suryaningsih, E. 2006. Pengendalian lalat pengorok daun pada tanaman kentang menggunakan
pestisida biorasional dirotasi dengan pestisida sintetik secara bergiliran. J. Hort.
16(3):229-235.