You are on page 1of 15

HURIAH ADAM (6 Oktober 1936 - 10 November 1971)

Huriah Adam adalah seorang koreografer tari, seorang seniman pemahat, pelukis
dan sastrawan. Makna "Huriah " yang disandangnya berasal dari kosa kata Arab yang
berarti "kemerdekaan". Kehadiran Huriah Adam sebagai seniman memang seorang
pencari kemerdekaan di balantara kreativitas penciptaan kesenian. Huriah Adam
menjalani dan memperjuangkan kemandiriannya justru pada saat tatanan masyarakat
Minangkabau yang masih ketat mengikat ruang gerak kaumnya. Dalam tatanan
budaya yang demikianlah Huriah Adam terjun ke kancah seni dan tampil di hadapan
umum.

Huriah Adam dilahirkan 6 Oktober 1936 di keluarga seniman, di sebuah rumah


sederhana, yang terletak di komplek Madrasah Irsyadin Naas (MIN), desa Balai-
Balai, Padang Panjang yang didirikan oleh seorang ulama terkemuka, *Syekh Adam
B.B. (Balai-Balai) yang kuat dan luas pandangannya. Tanggal 10 November 1929 ia
mendirikan perguruan Islam terkenal, yaitu Madrasah Irsyadin Naas (MIN). Syekh
Adam BB (1889 - 1953) sesama hidupnya adalah seorang ulama yang besar minat
dan usahanya untuk mengembangkan kesenian di daerahnya. Kegiatan kesenian
menjadi ciri khas dari keluarga Adam B.B. telah menawarkan untuk
mengembangkan bakat seni kepada anak-anaknya sejak dini.

Di dalam Madrasah yang dipimpinnya beliau mengajarkan kesenian di samping


pelajaran agama. Disediakannya tempat bagi anak didiknya untuk latihan kesenian
dan didatangkannya guru-guru silat serta guru tari. Pelajaran seni tari dan musik
dipupuknya hingga mencapai perkembangan yang baik, dan tidak menyalahi ajaran
agama.

Huriah Adam sebagai putri keempat dari enam bersaudara:

1. *Boetanoel Arifin Adam (1923 - 1995), berpendidikan INS Kayu Tanam di


bawah pimpinan Angku M. Syafei dan sekolah Konservatori Musik di Brusel
(1951-1956), sehingga ia dipercaya memimpin ASKI (Akademi Seni
Karawitan Indonesia) Padang Panjang, dan Asisten III Bidang Kebudayaan
Kantor Perwakilan Departemen P dan K Sumatera Barat di Padang
2. Rohani Adam (lahir 1930), setamat PTPG di Padang 1959 menjadi Guru
SMA Negeri Surabaya.

3. *Irsyad Adam (lahir 1934) sangat menonjol dalam seni musik (biola).
Pendidikan I.N.S Kayu Tanam pada tahun 1943-1947, kemudian sekolah
Conservatori di Brussel, Belgia, bersama kakaknya Boestanoel Arifin Adam
(1923-1956). Kini dosen pada ASKI Padang Panjang,

4. *Achyar Adam (lahir 1938) pada tahun 1966 menjadi guru S.M.K.I. (Sekolah
Menengah Karawitan Indonesia (S.M.K.I.) di Padang Panjang, dan

5. Abrar Adam (1941) terakhir perwira K.K.O. Angkat Laut di Surabaya.

Bagi Huriah , kedua orang tuanya, Syekh Adam (1889-1953) dan Fatimah (lahir
1908), adalah pembuka jalan untuk pengabdiannya dalam perjalanan berkesenian,
tanpa mengabaikan ketaatannya dalam menjalankan agamanya.

Melalui Madrasah Irsyaddin Naas (MIN) Padang Panjang yang dipimpinnya,


Syekh Adam mengantarkan Huriah kecil, pada tahun keempat usianya, tampil
menari di hadapan umum pertama kali. Huriah kecil membuka tabir kefanatikan
Padang Panjang ke arah perkembangan kesenian yang maju.

Di samping menempuh pendidikan umum, Huriah kemudian menimba


pengetahuan dan pendidikan kesenian di Gedung Kesenian Padang Panjang
pimpinan Muhammad Sjafei, pendiri INS Kayu Tanam. Di sanalah Huriah mengenal
kesenian lebih teratur dengan bimbingan Syofyan Naan (tari), Nurdin (melukis),
Ramudin (musik, khusus biola), dan Syahbuddin (patung). Sementara untuk
membekali dirinya, selama 3 tahun (1951 -1954), Huriah secara khusus belajar silat
dan tari tradisi Minangkabau pada Datuk Tumanggung yang lebih populer dengan
panggilan Pakiah Nandung yang waktu itu sudah berusia 85 tahun, seorang guru silat
dan tari tradisional terkenal di Luhak Nan Tigo. Gurunya ini kemudian memberinya
semacam diploma yang menyatakan, bahwa Huriah telah mencapai nilai terbaik
selama pengalaman mengajarnya. Diterangkan bahwa Huriah merupakan salah
seorang penari yang telah mahir *Tari Sewah, Sijundai, *Alang Bentan, *Adau-adau
dan *Pado-Pado, di samping juga *Tari Adok, *Tari Padang, *Tari Piring, *Tari
Sibadindin dan *tari Gelombang.
Apa yang diperoleh Huriah selama belajar dengan Pakih Nandung pada masanya
menjadi pijakan baginya di dalam melakukan pengolahan dan proses
penciptaannnya. Pengalaman ini lebih ia perdalam lagi di (ASRI) Akademi Seni
Rupa Indonesia Yogyakarta (1955 - 1957) (tidak tamat).

Bagi Huriah, pendidikan yang diterimanya di lingkungan sekolah menjadi


pelengkap bagi pendidikan yang diterimanya di rumah tangga, sehingga
mematangkannya sebagai seorang seniman dan koreografer tari. Apalagi setelah
dipersunting Ramudin, pemain biola, yang menjadi pengganti ayahnya. Suaminya
menjadi pendorong baginya dalam berkarya sesuai dengan yang dicita-citakannya.

Grupnya pertama dibentuk pada awal tahun 1958, dan pertama kali tampil di
Bukittinggi.Sejak itulah mulai nama Huriah berkiprah di dunia percaturan dunia
kesenian, dengan konsep dan proses penciptaan yang jelas. Semua tari ciptaannya
berdasarkan gerak pokok tari dan pencak Minang asli. Unsur-unsur Minang diberi
bumbu dan diisi dengan unsur tari daerah lain, seperti Tari Jawa, Tari Bali, Tari
Palembang dan tarian daerah lain, sehingga menuju tari nasional.

Dia selalu mengolah tari agar mudah dimengerti, selalu indah geraknya dan dapat
disesuaikan dengan cita-cita satu bangsa dan satu kebudayaannya yang diperkaya
dengan kombinasi serta diiringi biola sebagai selingan rebab. Tari daerah yang pada
umumnya tertidur nyenyak dibangunkannya kembali dengan menyesuaikan teori
dengan panggilan zaman.

Tarian rakyat Minangkabau pada dasarnya ada dua ragam. Ragam pesisir lemah
gemulai seperti Tari Payung, tari Saputangan, tari Salendang. Ragam tari darek yang
lincah, kuat, seperti Tari Piring, Tari Sewah, Tari Alang Bentan, Tari Ulu Ambek. Ia
mengatakan bahwa di Minangkabau setiap kampung dan desa ada tari dan lagu
masing-masing. Umpamanya Tari Adau-Adau, Tari Pado-Pado, Tari Sewah, Tari
Piring. Semuanya diselidikinya, dijadikan bahan studi, diambil sebagai unsur-unsur
pokok lalu diasimilasikan dengan daerah lain yang mungkin menambah variasi,
diolah dalam laboratorium kesenian, menjadi suatu tari dengan tema cerita rakyat,
umpama Malin Deman, Sabai Nan Aluih, Cindua Mato. Maka jadilah tari Indonesia.

Karyanya yangh populer yang diciptakannya dalam masa terakhir di TIM adalah
*Seni Drama Tari Malikundang dalam 3 tahap, yaitu tahun 1969 di Jakarta, 1971
ASKI Padang Panjang dan tahun1971 di TIM Jakarta. Karyanya ini dapat dinikmati
oleh orang-orang asing dengan kombinasi gerak Minang dengan gerak ballet modern.

Main biola, piano, gitar merupakan kegiatan hidup Huriah Adam. Dia membina
diri untuk hidup sebagai seniman yang sungguh-sungguh. Tercatat 112 kali
pertunjukan ke berbagai daerah yang dilaksanakannya selama masa perang saudara
bersama URRIL Kodam III/17Agustus. Huriah tercatat sebagai anggotanya sejak
tahun 1959 hingga tahun 1967.

Suatu hal yang luar biasa bagi masyarakat Minangkabau, yang menganggap tidak
pantas apabila seorang wanita bebas menari di muka umum. Namun Huriah Adam
tetap pada langkah yang telah diambilnya. Ia banyak mendapat sambutan-sambutan
baik dari pejabat tinggi seperti almarhum Presiden Soekarno, Ahmad Yani, keluarga
Adam Malik. Terbukti langkah yang diambilnya, walaupun mendapat hambatan
selalu diatasinya. Pagar itu selalu dilompatinya tanpa diruntuhnya.

Pada tahun 1963 datang undangan dari panitia GANEFO untuk tim Huriah Adam
mewakili Sumatera Barat dalam kesenian. Setelah berlatih beberapa bulan sampai
persiapan selesai, datang telegram dari panitia yang menyatakan keberangkatan itu
dibatalkan. Rustam Anwar, seorang usahawan dan pencinta seni, kasihan melihat
kekecewaan Huriah Adam. Di bawah pimpinan Rustam Anwar, tim pada prinsipnya
berpendapat mereka berangkat ke Jakarta secara mandiri, diterima atau tidak. Setelah
pamitan dengan Gubernur Sumatera Barat, Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa, dengan
menompang di dek kapal Koanmaru, tim berangkat ke Jakarta, dan bersedia masak
sendiri di Jakarta di rumah Rustam Anwar.

Di luar dugaan tim kesenian Sumatra Barat langsung terpilih melalui sileksi
karena dianggap mempunyai nilai dan mutu yang baik Kemudian tim kesenian
Sumatra Barat yang berintikan rombongan penari Huriah Adam terpilih mewakili
Indonesia dalam Indonesia Cultural Evening(1963) di Jakarta, bagian dari acara
pesta kesenian bertaraf internasional, GANEFO.

Sukses yang dicapai timnya pada pertunjukan ini, membawa tarian Sumatera
Barat itu ke dalam Ganefo Cultural Evening yang bertingkat Internasional, dan sehari
penuh diminta pula oleh P.F.N. (Perusahaan Film Negara) untuk bermain di
studionya guna difilmkan yang nantinya akan dipertunjukkan pada New York Fair
tahun 1964. Mereka seakan-akan terlibat dengan suatu kontes melawan misi kesenian
Jepang di Gedung Megaria dan dengan misi kesenian Yugoslavia di Gedung Bank
Indonesia. Tim Huriah telah mempertunjukkan tiga tarian utama, yaitu Tarian
Sandang Pangan, tari Nina Bobok dan tari Nelayan. "Cultural Night di Istana Olah
Raga Bung Karno juga menampilkan tarian utama. Masih banyak permintaan dari
beberapa kalangan di Jakarta untuk mengadakan pertunjukan-pertunjukan, tapi tim
memutuskan untuk pulang ke Sumatera Barat.

Dengan menompang Kapal Koanmaru, misi kesenian Sumatera Barat untuk


GANEFO kembali di Padang untuk mempersiapkan diri bagi penyambutan tamu-
tamu peserta GANEFO yang akan datang ke daerah-daerah.

Setelah G30S/PKI telah dihancurkan, tim Huriah Adam dipojokkan oleh


segelintir orang-orang yang digunakan oleh partai-partai yang tidak berhasil manarik
tim Huriah. Dalam keadaan terkucil beberapa waktu lamanya, Huriah mengambil
palet lukis kembali. Ia melukis dan melukis untuk mengisi waktu dan mencari nafkah
keluarganya. Akhirnya Huriah Adam pindah ke Jakarta beserta keluarganya untuk
mencoba nasibnya.

Dalam kurun waktu yang singkat (antara 1958 -1971), Huriah telah melahirkan
cukup banyak karya tari, baik tari ciptaan baru atau hasil pengolahannya dalam versi
baru seperti Tari Lilin (Tari Piring versi Huriah ), Tari Payung dan tari Gelombang,
Tari Nina bobok, Pahlawan, Pembebasan, Saputangan, Sekapur Sirih, Nelayan (atau
Gotong Royong), Sandang Pangan, Barabah, SendraTari Malin Kundang, Sijudai,
Padang, Rebana dan Sepasang Api.

Karya-karyanya berakar dari nuansa Minangkabau tanpa kehilangan bentuk yang


universal, bahkan hasil karya yang khas ia lakukan secara konsekwen, dinilai telah
memperkaya budaya nasional. Ia telah memagar dirinya dengan kecendrungan
menyempitkan unsur Minang sebagai satu-satunya tujuan, akan tetapi sebaliknya,
menjadikan kandungan alam dan budaya Minangkabau menjadi sesuatu berharga
bagi bangsa secara keseluruhan. Tari Minang di tangan Huriah menjadi satu bagian
yang berarti dalam pengayaan budaya nasional, dan menjadi motivasi kalangan etnis
lainnya untuk ikut memperkaya nilai itu dengan menggali unsur budaya daerah yang
memang beragam dan takkan pernah habis-habisnya.

Hal ini ia catatkan pada brosur grupnya pada tahun 1958, bahwa tari yang
diciptakan tidak hanya sekadar bertahan pada keaslian, tidak bersifat sempit, tapi
menggunakan unsur tari daerah, disesuaikan dengan anasir tari daerah lainnya. Hal
ini mungkin membuat Sardono W. Kasumo mengatakan, bahwa penampilan Huriah
merupakan pantulan dari kepercayaan diri yang kuat. Ia termasuk orang yang radikal
dan sanggup berdiri dalam kesenian itu sendiri.

Dengan kalimat tegas, Huriah juga mengatakan bahwa seniman identik dengan
seorang pemimpin yang jiwanya seharusnya bergetar melihat nasib yang dialami
bangsanya. Huriah Adam sebagai seniman telah jatuh cinta pula kepada bangsanya
yang sedang berevolusi untuk mencapai cita-cita.

Cetusan pemikirannya menyangkut perkembangan tatanan kehidupan berbangsa


dan bernegara, dapat kita simak dari karya-karya tarinya. Tari sekaligus menjadi
media baginya untuk menyampaikan hasil pikir dan kepeduliannya terhadap nasib
bangsanya. Hal ini jelas terungkap dalam karyanya, seperti Tari Pembebasan, Tari
Nina Bobok, Payung, Sapu Tangan atau Tari Pahlawan. Di dalam karya tarinya
tersirat bagaimana sikap Huriah, bahwa baginya lebih memilih sikap bersatu dan
perdamaian, dari pada keinginan sepihak yang saling menghancurkan. Gagasan
persatuan, kepedulian, kecintaan dan isu-isu kemanusiaan tetap menjadi latar
belakang proses penciptaan karya-karya Huriah selanjutnya. Mengenai hal ini, Maria
Tjui, seorang pelukis yang menjadi sahabatnya mengatakan bahwa Huriah adalah
seorang perempuan Minang yang sederhana, tidak terikat kepada kebendaan. Ia
sangat terbuka dan berjiwa sosial.

Bagi Sukmawati Soekarno, yang pernah menarikan Tari Sijundai karya Huriah
lainnya, Huriah adalah seorang wanita yang ramah dan sederhana. Ini tercermin
dalam kebiasaan sehari-harinya yang selalu memakai baju kurung dan kerudung
kepala. Tapi di balik kesederhanaan dan keramahan itu, ia menyimpan sikap dan
kepribadian yang keras dan tegas. Sikap dan kepribadian itulah salah satu aspek yang
menempatkan Huriah, seorang perempuan yang lahir dari keketatan pola
kemasyarakatan Minang, menjadi seorang seniman yang gigih menjalankan prinsip
dan keinginannya, dan menjadi bagian dari perkembangan seni-budaya nasional pada
umumnya

Konsep "Membina Pribadi" yang ditulis Huriah sepanjang 28 halaman folio itu
disampaikan kepada Presiden Soekarno pada tahun 1961. Konsep tersebut ternyata
tidak saja terkait dengan Huriah dalam kualitasnya sebagai koreografer, akan tetapi
juga menyangkut konsep seorang Huriah di dalam menjalani kehidupannya sebagai
anak bangsa. Pada halaman pertama ia menuangkan pikiran tentang seni dan
kepribadian nasional sebagai berikut:

"…. pada masa sekarang, sudah seharusnya kita dapat membedakan dengan
pancaindra yang tajam, mana yang seni dan mana yang seni-senian ….. Tidak
semua yang berupa seni itu adalah seni. Sebab kita acapkali tertipu oleh
lakai-lakai atau petruk jadi pimpinan. Untuk melahirkan kesenian kita harus
menghaluskan perasaan, mempertinggi dimensi, dan untuk menghaluskan
jiwa adalah seni. Jadi, andaikata kata bertemu dengan hasil pekerjaan
seseorang yang berupa seni, sedangkan hasil seni itu dibuat-buatnya saja
(seni-senian) berarti tidak menjelma dari jiwanya atau semata-mata meniru.
Sungguh kita tidak dapat menamakan hasilnya itu seni karena seni adalah
manifestasi oleh perpaduan atau percampuran mesra antara seniman dan
pemimpin.

Kalau ada yang meniru-niru seperti pemimpin atau seperti seniman tapi
jiwanya tidak bergetar melihat nasib bangsanya yang hidup di neraka ini, dan
air mukanya jernih saja, sebab batinnya tidak menangis melihat kenyataan
yaitu nasib rakyat, "nasi yang dimakannya tidak rasa sekam, air yang
diminumnya tidak rasa duri".

Sungguh tidak boleh kita menamakan orang semacam ini pemimpin atau
seniman. Karena air muka pemimpin adalah air muka bangsanya. Menderita
langsung menangislah seniman/pemimpin. Begitulah seni, baik ia berupa tari,
lukisan, sastra dan lain-lain, betul tidak dapat diartikan hiburan/pelipur lara,
hiasan atau permainan, sebab seni adalah manifestasi pribadi. Dengan kata
lain adalah perujudan dari keseluruhan pergolakan lahir dan batin kita, atau
keseluruhan pikiran,dan perasaan serta kemampuan ego kita."

Dengan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Republik Indonesia tanggal 5


Juli 1959, kita kembali ke UUD 1945. Yaitu semacam kesatuan bangsa yang
revolusioner untuk membina Indonesia yang adil dan makmur lahir dan batin.
Karena itu kita harus berani membuka serta untuk melihat dan meninjau serta
meneliti lahir dan batin pula (yaitu introspeksi dan ekstropeksi) terhadap
mana yang harus dibuang dan mana yang harus dipakai. Menurut Huriah
Adam, pengertian pribadi dan bagaimana membina pribadi itu, merupakan
masalah utama yang harus kita dudukkan secara tepat dan mudah dimengerti .
Selagi hal itu belum lagi duduk atau sebelum ada kesatuan tafsir apa itu
pribadi atau apa "zatnya" pribadi itu (substansi, kader, kara) dan kepribadian,
amat mustahillah kita peroleh pengertian yang sesungguhnya dengan
kepribadian, juga kebudayaan, dan akan bersimpang siurlah tafsiran-tafsiran
dan pengertian-pengertian serta definisi-definisi tentang hal itu, sehingga
meragukan dan mengaburkan tujuan kita yang sebenarnya.

Apabila pengertian pribadi itu (apa yang dimaksud dengan pribadi dan
kepribadian, serta Kebudayaan dan Kemanusiaan, bagaimana fungsi Pribadi
dalam lingkungan kebudayaan/kesenian dan bagaimana pula menasionalisir
pribadi atau kebudayaan), telah jelas dan terang hingga tidak meragukan lagi
yaitu dengan telah adanya kesatuan tafsir tentang hal itu, maka barulah kita
meneruskan apa yang dimaksud dan yang dicita-citakan oleh Kepribadian
nasional dalam USDEK itu

Dengan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Republik Indonesia tanggal 5


Juli 1959, kita kembali ke UUD 1945. Yaitu semacam kesatuan bangsa yang
revolusioner untuk membina Indonesia yang adil dan makmur lahir dan batin.
Karena itu kita harus berani membuka serta untuk melihat dan meninjau serta
meneliti lahir dan batin pula (yaitu introspeksi dan ekstropeksi) terhadap
mana yang harus dibuang dan mana yang harus dipakai.

"Pribadi adalah; hasil pendidikan, dan inilah yang dicita-citakan oleh


Pendidikan Nasional dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, seni adalah unsur
untuk membentuk kepribadian maka kesenian itu adalah suatu jalan untuk
membentuk manusia atau aku-aku yang berpribadi. Bertambah pribadi
seseorang bertambah kuat kemauan akunya (orangnya) untuk mengunjukkan
diri. Dan aku itu atau Ego itu, atau orang itu adalah mati (focus) dari pribadi
adu budi nurani pribadi."

Huriah Adam lebih banyak belajar, menyelidiki dan memahami sedalam-


dalamnya, sehingga menemukan orientasi hidup dalam alam lingkungannya. Ia
berfilsafat.
Ia belajar dan mempunyai pengertian serta menemukan orientasi hidup
dari tari dan silat Minangkabau Ia berjuang mencari orientasi dasar tari dan
silat Minangkabau yang dapat memberi arah dan pegangan perilaku.
Kegiatannya sehari-hari adalah latihan fisik dan pikir. Ia pikir dalam latihan
seni lukis, dalam seni tari, dia pikir dalam menantang beethoven, mozart,
paganini. Huriah Adam jatuh cinta kepada bangsa dalam cita mencapai
bintang di langit insanul kamil. Huriah Adam senang membaca sastra, sejarah
dan politik. Dihafalnya sajak Mohammad Iqbal, Assari Khudi
ditantangkannya terhadap simfoni Beethoven, hingga terujud suatu tari.
Dibacanya Madilog Tan Malaka, Capita Selecta M.Natsir, Renungan
Indonesia Sjahrir, Bunga Rampai Hatta, kumpulan pidato dan karangan Bung
Karno, maka terwujudlah tari Pahlawan. Karena dia banyak membaca buku
sastra, agama dan politik, maka terujudlah pula dalam dirinya pandangan jiwa
merdeka, sesuai dengan namanya dalam kosa kata Arab berarti 'merdeka"

Suasana perang saudara yang dihadapi negerinya dinilainya:

"Kita harus berani terjun ke laut agar gerundang bisa menjadi buaya laut.
Pokoknya yang utama adalah keberanian, karena dengan keberanian itu
gerundang bisa jadi buaya, tikus bisa jadi singa. Sebaliknya jika kita
berkelahi antara awak sama awak atau sesama bangsa sendiri, maka singa
bisa jadi tikus.

Bagi Huriah Adam tidak ada saat-saat khusus untuk mencipta, seperti katanya:

" dalam sajak-sajak segala rayuan yang berirama akan selalu bernyanyi dalam
bungkusan kalbu, baik politik maupun seni; artinya vitamin dan kalorinya,
jiwanya adalah politik dan seni. Seni tanpa politik ataun sebaliknya sama
dengan badan tanpa jiwa/seni. Dia tidak setuju pemisahan politik dari seni.
Seni+politik = keagungan oleh karena dia pandai kerja tangan maka sial duit,
dia berdikari, dan inilah rencana pendeknya agar sampai: duit + seni + politik
= terhotmat atau juga: time +spice+ power. "

Dalam seni pergaulan, Huriah Adam pandai memimpin orang dan


menempatkannya sesuai dengan kemampuan, seperti pepatah, 'orang buta untuk
menghembus lesung, orang tuli untuk meletuskan meriam, orang buntung kaki untuk
mencuci piring'
Dalam Sendra Tari Malin Kundang, ada penari ekspresionis, seperti Sukmawati
Sukarno, Neneng Ahmad Husein dan umpamanya, Evy Syarif Usman ada penari
Jawa (Sardono W.Kusumo dan Sentot), penari ballet (Farisa Syuman, Yulianti
Parani).

Demikianlah pembebasan penjajahan alam pikiran sempit, agar lahir seniman


yang sama dengan politikus = patriot. Huriah Adam bukan pencipta penari-penari
melainkan dia adalah pencipta pembebasan dari alam kolot agar udara masuk seni
tari.

"Seni adalah manifetasi pribadi ", kata Huriah Adam. Perujudan dari keseluruhan
pergolakan lahir dan batin itu, ia tuangkan dalam seni sastra. Ia adalah juga seorang
sastrawan dan penyair, dan ia menciptakan berpuluh-puluh sajak, antara lain:

Hari akhir kan datang

begitu cemas bila aku teringat

kucari jalan untuk petunjukmu

manisku,

tempat terahir takkan dapat dicari

tempat yang begitu nyaman dan sejuk

berjuta makhluk berusaha mencari

dia coba menyingkap semak-semak berduri

yang kelihatan hanya duri-duri tajam belaka karena tak ada jalan

mereka berenang mencari menggapai kian kemari

duri-duri kasar, bergelimang pada tubuh

Sayangku

jika dapat mendengar bisikan suara halusku

suara yang begitu halus merdu

seakan suatu nyanyian langgam di mana akhir

jika itu dapat kau dengar alangkah bahagianya aku


suara halus akan mempertemukan kita di hari akhir

di tempat itu kita sambung kembali cerita lama

cerita yang diilhamkan kekasihku di kota malam

membisu ……….

Dua dengan sajak Huriah lainnya seolah-olah sudah ada firasat Huriah, bahwa ia
akan mati dalam suatu tragedi, dan akan berkubur di laut bersama-sama.

Dalam memimpin organisasi atau grupnya Hariah Adam rela mengorbankan


haknya untuk anak buahnya dalam meujudkan kerja sama. Dia rela mengerjakan
tugas berat dari anak buahnya dan rela tidak menerima haknya. Hak inilah yang
dibagi rata untuk anak buahnya bersama untuk bersama dan demi bersama dia
korbankan haknya.

Tapi dalam seni lukis, dia tidak mau mengorbankan haknya, sebab lukisan adalah
hasil pribadinya. Begitu pula Tugu Pahlawan Tal Dikenal yang didirikan di
Bukittinggi, itu adalah hasil pribadinya. Setelah beli bahan dan gaji kuli dibayarkan,
maka sisanya dia punya. Pun juga sajak-sajaknya dibayar oleh koran, uangnya untuk
dia. Sajak, patung, lukisan adalah hasil pribadi langsung.

Huriah Adam, menumpahkan keseluruhan pikiran dan perasaan serta kemampuan


egonya kemudian dituangkannya kegiatan dalam seni pahat. Jadilah ia juga seorang
pemahat atau pematung. Hasil karya monumentalnya dalam seni pahat adalah "Tugu
Pahlawan Tak Dikenal", yang berdiri megah di tengah-tengah Kota Bukittinggi. Tugu
itu terletak dipertigaan, pertemuan antara Jalan Dr. A. Rivai dan Jl. Merapi.

Tugu yang begitu simbolis, penuh dengan gerak yang kuat dan ekspresi yang
tajam, lahir dari buah ciptaan seorang wanita yang hampir seluruh hidupnya
mencurahkan kegiatannya dalam lapangan seni. Orang mungkin ragu-ragu untuk
mempercayai tugu itu adalah hasil karya seorang wanita yang sudah mempunyai 4
orang anak.

Di sudut atas dibuat relief seperti lambang berpita panjang. Lambang itu
bergambar rumah adat Minangkabau dan di bawahnya lembing bersilang. Di
sebelahnya bertuliskan pahatan "Pahlawan Rakyat Menentang Kolonialisme 5 Juni
1908". Di sudut bagian bawah pada batu pualam yang berukuran 0,75 m x 0, 75 m
dipahatkan teks "Batu Pertama diletakkan tanggal 15 Juni 1963 oleh Y.M. Wampa
KASAB Jendral Dr. A.H. Nasution. Pada isinya dengan batu pualam yang sama
tingginya terpahat tulisan,"Tugu ini diusahakan oleh Baharuddin Datuk Bagindo
(B.D.B.) untuk dan atas nama rakyat Sumatera Barat" Sedangkan di sisi lain pada
batu pualam yang sama tingginya terpahat teks, "Tugu ini diusahakan oleh Panitia
Pusat Peringatan Sumatera Barat Menentang Penjajahan Belanda." Biaya didapat
secara gotong royong yang dikoordinasikan oleh Sekretariat Wali Kota Bukittinggi,
Indra Syamsu. Biaya Rp 1.500.000 diperdapat dari dermawan, pengumpulan karcis
amal masyarakat Sumatera Barat.

Bentuk tugu secara keseluruhan menggambarkan orang sedang mendaki tebing


yang sangat curam dan banyak liku-likunya. Tinggi tugu 27 m, sekelilingnya akan
dihiasi dengan fontain yang di sana sini dengan cahaya berganti-ganti. Di samping
itu di tembok yang mengelilinginya akan dibuat elief yang menggambarkan
perjuangan bangsa.

Di tugu itu ditulis sajak dari Huriah Adam yang dipilih oleh Prof. Dr. Mohd.
Yamin, di antara sekian banyak sajak yang berbunyi:

Pahlawan Tak Dikenal

Mati luhur tidak berkubur

Memutuskan jiwa, meninggalkan nama

Menjadi awan di angkasa

Menjadi buih di lautan

Semerbak baunya di udara

Ketika G 30/S PKI telah dihancurkan, tim HuriahAdam dipojokkan oleh segelinir
orang-orang yang digunakan oleh partai-partai yang tidak berhasil menarik Huriah
Adam. Dalam keadaan terkucil, Huriah Adam mengambil palet lukis kembali. Ia
melukis dan melukis untuk mengisi waktu dan mencari nafkah rumah tangganya.

Karyanya dalam seni lukis, antara lain:

1. Pemandangan Tabek Patah 1963


2. Pemandangan Ngarai/Koto Gadang Bukittinggi-1963

3. Pemandangan Singkarak -7-8-1963

4. Pemandangan Ombak badabua

5. Pemandangan Lembah Anai

6. Pemandangan Bukit Kapur Padang Panjang

7. Bunga Dahlia

8. Bunga Melati

9. Bunga Ros

10. Bunga Talas

11. Pemandangan Danau Maninjau

12. Pemandangan Desa

13. Kapal dan laut

14. Ngarai Sianok.

Akhirnya pada tahun 1968 ia pindah ke Jakarta beserta keluarganya mengadu


nasibnya. Hampir tidak yang tahu bagaimana getir hatinya waktu meninggalkan
tanah kelahirannya, ia merasa asing tak mengerti bahkan seolah-olah tak diterima
oleh sementara lapisan masyarakat.

Ia giat dalam bengkel tari Taman Ismael Marzuki. Jabatan terakhirnya, selain
penari dan koreografer adalah dosen tari pada Akademi Tari L.P.K.J. Jakarta
mendorongnya ke tingkat yang tinggi, yang pernah dicapainya dalam hidupnya yang
telatif pendek. Bersama rekan-rekannya berbagai latar belakang bakti dan profesi
berkarya di TIM (Taman Ismael Marzuki).

Tahun 1970 mengikuti EXPO ke Jepang dengan rombongan kesenian Indonesia


dipimpin oleh Letkol. Sampurno, Kepala Direktorat Kesenian, Ditjen Kebudayaan,
Departemen P dan K. Sebelum berangkat, rombongan menghadap Presiden Suharto
di Istana Negara, mohon doa restunya. Kurang lebih 800 ragam tari rakyat Indonesia
dipertunjukkan oleh 63 orang penari, termasuk tim Huriah Adam yang tampil dalam
tarian dan biola kesayangannya.
Pada saat yang sama di tahun 1971 di samping sebagai Dosen di LPKJ , ia juga
Dosen ASKI padang panjang dalam kuliah tari Minang. Pada waktu itu didapat
persetujuan dengan Umar Kayam, Direktur L.P.K.J, bahwa Huriah selaku pengajar
ASKI Padang Panjang selama 1 tahun. Ongkos ke Padang dibayar oleh TIM dan
ongkos ke Jakarta di tanggung ASKI Padang Panjang. Pada waktu pulang ke Padang
tanggal 10 November 1971 yang membawa maut, di samping pulang berlebaran juga
dalam rangka tugas ke ASKI Padang Panjang.

Pagi-pagi tanggal 10 Nopember 1971 Ramudin mengantarkan isterinya, Huriah


Adam untuk pulang ke kampung halamannya, Padang Panjang. Ia akan berangkat
dengan Garuda namun kemudian ia pindah ke Merpati, karena pesawat Garuda
ditunda beberapa jam. Ramuddin yang dimintanya menjemput tasnya yang
ketinggalan tak sempat melepas isterinya berangkat lebih dahulu dengan pesawat
Merpati. Ketika ia duduk menantikan bedug berbuka, Radio Malaysia mengatakan
terjadi kecelakaan pesawat Merpati jurusan Padang yang hilang tidak mendarat di
tempat tujuan.

Sesudah sembahyang, Ramudian kembali ke Airport untuk minta penjelasan.


Radio Malaysia memang benar,Menaangislah ia menyesali kenapa isterinya pindah
ke Merpati. Jatuhnya bersama Merpati seakan-akan diketahuinya, mati mencegat
seperti seperti diramalkannya dalam sajak yang ditulisnya 24 Maret 1963 jam 12.00
malam,

Semula

Lorong-lorong sempi kini terbuka lebar

Semua pulau keliling berkabut

Kini berangsur mengunjukkan diri

Kehilangan yang tidak bisa ditemukan diungkapkan dalam:

Tempat terakhir takkan dapat dicari

Tempat yang begitu nyaman sejuk

Berjuta makhluk berusaha mencari

Huriah Adam seolah-olah lebur dengan alam Minang, kembali kepada Sang
Pencipta, dengan warisan dedikasinya meninggalkan kita. Dia melukis namanya
dalam sejarah, dan kita pun menginsyafi bahwa Huriah memang pantas untuk
dikenang, di hati kita sebagai seorang seniman yang menjadi teladan. Semua
warisan-warisan berupa ciptaan koreografinya akan kita pergelar terus setiap ada
kesempatan.

Yang belum tercapai oleh Huriah Adam karya-karyanya yang bernafaskan


Minangkabau ialah ciptaan yang diiringi oleh orkes Minangkabau klasik.

Taman Ismael Marzuki mengabadikan namanya untuk bengkel tari di komplek


kesenian tersebut. Yayasan pembina Pembangunan Sumatera Barat di bawah
pimpinan Ibu Nelly Adam Malik membuka semacam bea siswa "Huriah Adam"

.Sayang Huriah tak sempat melihat secara utuh keberhasilan dari apa yang
diupayakannya selama itu. Huriah pergi, seperti menyatu dengan puisi pendeknya
yang dipilihkan oleh Muhammad Yamin yang tertera pada "Tugu Pahlawan Tak
Dikenal" yang dipancangnya pada tahun 1965.

Mati luhur tidak berkubur

Memutus jiwa, meninggalkan nama

menjadi awan di angkasa

menjadi buih di lautan

semerbak baunya di udara,

Huriah Adam, walau rentang waktu pengabdiannya relatif tidak lama, tapi telah
memberikan banyak arti bagi perjalanan kesenian, khususnya seni tari Minangkabau
dalam peta kesenian nasional. Pemerintah secara resmi mengakui keberadaannya
sebagai Pembina dan Seniman Tari Daerah Minangkabau sejak Mei 1977, melalui
Anugerah Seni dari Presiden R.I.

Sumber: Ny. Syamsidar BA, Huriah Adam, Hasil Karya dan Pengabdiannya, IDSN, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, 1981/1982
Jurnal Kebudayaan No. 2 Tahun I, Edisi Nopember 1995 s.d. Januari 1996, Budaya Lokal versus
Global

You might also like