Professional Documents
Culture Documents
Huriah Adam adalah seorang koreografer tari, seorang seniman pemahat, pelukis
dan sastrawan. Makna "Huriah " yang disandangnya berasal dari kosa kata Arab yang
berarti "kemerdekaan". Kehadiran Huriah Adam sebagai seniman memang seorang
pencari kemerdekaan di balantara kreativitas penciptaan kesenian. Huriah Adam
menjalani dan memperjuangkan kemandiriannya justru pada saat tatanan masyarakat
Minangkabau yang masih ketat mengikat ruang gerak kaumnya. Dalam tatanan
budaya yang demikianlah Huriah Adam terjun ke kancah seni dan tampil di hadapan
umum.
3. *Irsyad Adam (lahir 1934) sangat menonjol dalam seni musik (biola).
Pendidikan I.N.S Kayu Tanam pada tahun 1943-1947, kemudian sekolah
Conservatori di Brussel, Belgia, bersama kakaknya Boestanoel Arifin Adam
(1923-1956). Kini dosen pada ASKI Padang Panjang,
4. *Achyar Adam (lahir 1938) pada tahun 1966 menjadi guru S.M.K.I. (Sekolah
Menengah Karawitan Indonesia (S.M.K.I.) di Padang Panjang, dan
Bagi Huriah , kedua orang tuanya, Syekh Adam (1889-1953) dan Fatimah (lahir
1908), adalah pembuka jalan untuk pengabdiannya dalam perjalanan berkesenian,
tanpa mengabaikan ketaatannya dalam menjalankan agamanya.
Grupnya pertama dibentuk pada awal tahun 1958, dan pertama kali tampil di
Bukittinggi.Sejak itulah mulai nama Huriah berkiprah di dunia percaturan dunia
kesenian, dengan konsep dan proses penciptaan yang jelas. Semua tari ciptaannya
berdasarkan gerak pokok tari dan pencak Minang asli. Unsur-unsur Minang diberi
bumbu dan diisi dengan unsur tari daerah lain, seperti Tari Jawa, Tari Bali, Tari
Palembang dan tarian daerah lain, sehingga menuju tari nasional.
Dia selalu mengolah tari agar mudah dimengerti, selalu indah geraknya dan dapat
disesuaikan dengan cita-cita satu bangsa dan satu kebudayaannya yang diperkaya
dengan kombinasi serta diiringi biola sebagai selingan rebab. Tari daerah yang pada
umumnya tertidur nyenyak dibangunkannya kembali dengan menyesuaikan teori
dengan panggilan zaman.
Tarian rakyat Minangkabau pada dasarnya ada dua ragam. Ragam pesisir lemah
gemulai seperti Tari Payung, tari Saputangan, tari Salendang. Ragam tari darek yang
lincah, kuat, seperti Tari Piring, Tari Sewah, Tari Alang Bentan, Tari Ulu Ambek. Ia
mengatakan bahwa di Minangkabau setiap kampung dan desa ada tari dan lagu
masing-masing. Umpamanya Tari Adau-Adau, Tari Pado-Pado, Tari Sewah, Tari
Piring. Semuanya diselidikinya, dijadikan bahan studi, diambil sebagai unsur-unsur
pokok lalu diasimilasikan dengan daerah lain yang mungkin menambah variasi,
diolah dalam laboratorium kesenian, menjadi suatu tari dengan tema cerita rakyat,
umpama Malin Deman, Sabai Nan Aluih, Cindua Mato. Maka jadilah tari Indonesia.
Karyanya yangh populer yang diciptakannya dalam masa terakhir di TIM adalah
*Seni Drama Tari Malikundang dalam 3 tahap, yaitu tahun 1969 di Jakarta, 1971
ASKI Padang Panjang dan tahun1971 di TIM Jakarta. Karyanya ini dapat dinikmati
oleh orang-orang asing dengan kombinasi gerak Minang dengan gerak ballet modern.
Main biola, piano, gitar merupakan kegiatan hidup Huriah Adam. Dia membina
diri untuk hidup sebagai seniman yang sungguh-sungguh. Tercatat 112 kali
pertunjukan ke berbagai daerah yang dilaksanakannya selama masa perang saudara
bersama URRIL Kodam III/17Agustus. Huriah tercatat sebagai anggotanya sejak
tahun 1959 hingga tahun 1967.
Suatu hal yang luar biasa bagi masyarakat Minangkabau, yang menganggap tidak
pantas apabila seorang wanita bebas menari di muka umum. Namun Huriah Adam
tetap pada langkah yang telah diambilnya. Ia banyak mendapat sambutan-sambutan
baik dari pejabat tinggi seperti almarhum Presiden Soekarno, Ahmad Yani, keluarga
Adam Malik. Terbukti langkah yang diambilnya, walaupun mendapat hambatan
selalu diatasinya. Pagar itu selalu dilompatinya tanpa diruntuhnya.
Pada tahun 1963 datang undangan dari panitia GANEFO untuk tim Huriah Adam
mewakili Sumatera Barat dalam kesenian. Setelah berlatih beberapa bulan sampai
persiapan selesai, datang telegram dari panitia yang menyatakan keberangkatan itu
dibatalkan. Rustam Anwar, seorang usahawan dan pencinta seni, kasihan melihat
kekecewaan Huriah Adam. Di bawah pimpinan Rustam Anwar, tim pada prinsipnya
berpendapat mereka berangkat ke Jakarta secara mandiri, diterima atau tidak. Setelah
pamitan dengan Gubernur Sumatera Barat, Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa, dengan
menompang di dek kapal Koanmaru, tim berangkat ke Jakarta, dan bersedia masak
sendiri di Jakarta di rumah Rustam Anwar.
Di luar dugaan tim kesenian Sumatra Barat langsung terpilih melalui sileksi
karena dianggap mempunyai nilai dan mutu yang baik Kemudian tim kesenian
Sumatra Barat yang berintikan rombongan penari Huriah Adam terpilih mewakili
Indonesia dalam Indonesia Cultural Evening(1963) di Jakarta, bagian dari acara
pesta kesenian bertaraf internasional, GANEFO.
Sukses yang dicapai timnya pada pertunjukan ini, membawa tarian Sumatera
Barat itu ke dalam Ganefo Cultural Evening yang bertingkat Internasional, dan sehari
penuh diminta pula oleh P.F.N. (Perusahaan Film Negara) untuk bermain di
studionya guna difilmkan yang nantinya akan dipertunjukkan pada New York Fair
tahun 1964. Mereka seakan-akan terlibat dengan suatu kontes melawan misi kesenian
Jepang di Gedung Megaria dan dengan misi kesenian Yugoslavia di Gedung Bank
Indonesia. Tim Huriah telah mempertunjukkan tiga tarian utama, yaitu Tarian
Sandang Pangan, tari Nina Bobok dan tari Nelayan. "Cultural Night di Istana Olah
Raga Bung Karno juga menampilkan tarian utama. Masih banyak permintaan dari
beberapa kalangan di Jakarta untuk mengadakan pertunjukan-pertunjukan, tapi tim
memutuskan untuk pulang ke Sumatera Barat.
Dalam kurun waktu yang singkat (antara 1958 -1971), Huriah telah melahirkan
cukup banyak karya tari, baik tari ciptaan baru atau hasil pengolahannya dalam versi
baru seperti Tari Lilin (Tari Piring versi Huriah ), Tari Payung dan tari Gelombang,
Tari Nina bobok, Pahlawan, Pembebasan, Saputangan, Sekapur Sirih, Nelayan (atau
Gotong Royong), Sandang Pangan, Barabah, SendraTari Malin Kundang, Sijudai,
Padang, Rebana dan Sepasang Api.
Hal ini ia catatkan pada brosur grupnya pada tahun 1958, bahwa tari yang
diciptakan tidak hanya sekadar bertahan pada keaslian, tidak bersifat sempit, tapi
menggunakan unsur tari daerah, disesuaikan dengan anasir tari daerah lainnya. Hal
ini mungkin membuat Sardono W. Kasumo mengatakan, bahwa penampilan Huriah
merupakan pantulan dari kepercayaan diri yang kuat. Ia termasuk orang yang radikal
dan sanggup berdiri dalam kesenian itu sendiri.
Dengan kalimat tegas, Huriah juga mengatakan bahwa seniman identik dengan
seorang pemimpin yang jiwanya seharusnya bergetar melihat nasib yang dialami
bangsanya. Huriah Adam sebagai seniman telah jatuh cinta pula kepada bangsanya
yang sedang berevolusi untuk mencapai cita-cita.
Bagi Sukmawati Soekarno, yang pernah menarikan Tari Sijundai karya Huriah
lainnya, Huriah adalah seorang wanita yang ramah dan sederhana. Ini tercermin
dalam kebiasaan sehari-harinya yang selalu memakai baju kurung dan kerudung
kepala. Tapi di balik kesederhanaan dan keramahan itu, ia menyimpan sikap dan
kepribadian yang keras dan tegas. Sikap dan kepribadian itulah salah satu aspek yang
menempatkan Huriah, seorang perempuan yang lahir dari keketatan pola
kemasyarakatan Minang, menjadi seorang seniman yang gigih menjalankan prinsip
dan keinginannya, dan menjadi bagian dari perkembangan seni-budaya nasional pada
umumnya
Konsep "Membina Pribadi" yang ditulis Huriah sepanjang 28 halaman folio itu
disampaikan kepada Presiden Soekarno pada tahun 1961. Konsep tersebut ternyata
tidak saja terkait dengan Huriah dalam kualitasnya sebagai koreografer, akan tetapi
juga menyangkut konsep seorang Huriah di dalam menjalani kehidupannya sebagai
anak bangsa. Pada halaman pertama ia menuangkan pikiran tentang seni dan
kepribadian nasional sebagai berikut:
"…. pada masa sekarang, sudah seharusnya kita dapat membedakan dengan
pancaindra yang tajam, mana yang seni dan mana yang seni-senian ….. Tidak
semua yang berupa seni itu adalah seni. Sebab kita acapkali tertipu oleh
lakai-lakai atau petruk jadi pimpinan. Untuk melahirkan kesenian kita harus
menghaluskan perasaan, mempertinggi dimensi, dan untuk menghaluskan
jiwa adalah seni. Jadi, andaikata kata bertemu dengan hasil pekerjaan
seseorang yang berupa seni, sedangkan hasil seni itu dibuat-buatnya saja
(seni-senian) berarti tidak menjelma dari jiwanya atau semata-mata meniru.
Sungguh kita tidak dapat menamakan hasilnya itu seni karena seni adalah
manifestasi oleh perpaduan atau percampuran mesra antara seniman dan
pemimpin.
Kalau ada yang meniru-niru seperti pemimpin atau seperti seniman tapi
jiwanya tidak bergetar melihat nasib bangsanya yang hidup di neraka ini, dan
air mukanya jernih saja, sebab batinnya tidak menangis melihat kenyataan
yaitu nasib rakyat, "nasi yang dimakannya tidak rasa sekam, air yang
diminumnya tidak rasa duri".
Sungguh tidak boleh kita menamakan orang semacam ini pemimpin atau
seniman. Karena air muka pemimpin adalah air muka bangsanya. Menderita
langsung menangislah seniman/pemimpin. Begitulah seni, baik ia berupa tari,
lukisan, sastra dan lain-lain, betul tidak dapat diartikan hiburan/pelipur lara,
hiasan atau permainan, sebab seni adalah manifestasi pribadi. Dengan kata
lain adalah perujudan dari keseluruhan pergolakan lahir dan batin kita, atau
keseluruhan pikiran,dan perasaan serta kemampuan ego kita."
Apabila pengertian pribadi itu (apa yang dimaksud dengan pribadi dan
kepribadian, serta Kebudayaan dan Kemanusiaan, bagaimana fungsi Pribadi
dalam lingkungan kebudayaan/kesenian dan bagaimana pula menasionalisir
pribadi atau kebudayaan), telah jelas dan terang hingga tidak meragukan lagi
yaitu dengan telah adanya kesatuan tafsir tentang hal itu, maka barulah kita
meneruskan apa yang dimaksud dan yang dicita-citakan oleh Kepribadian
nasional dalam USDEK itu
"Kita harus berani terjun ke laut agar gerundang bisa menjadi buaya laut.
Pokoknya yang utama adalah keberanian, karena dengan keberanian itu
gerundang bisa jadi buaya, tikus bisa jadi singa. Sebaliknya jika kita
berkelahi antara awak sama awak atau sesama bangsa sendiri, maka singa
bisa jadi tikus.
Bagi Huriah Adam tidak ada saat-saat khusus untuk mencipta, seperti katanya:
" dalam sajak-sajak segala rayuan yang berirama akan selalu bernyanyi dalam
bungkusan kalbu, baik politik maupun seni; artinya vitamin dan kalorinya,
jiwanya adalah politik dan seni. Seni tanpa politik ataun sebaliknya sama
dengan badan tanpa jiwa/seni. Dia tidak setuju pemisahan politik dari seni.
Seni+politik = keagungan oleh karena dia pandai kerja tangan maka sial duit,
dia berdikari, dan inilah rencana pendeknya agar sampai: duit + seni + politik
= terhotmat atau juga: time +spice+ power. "
"Seni adalah manifetasi pribadi ", kata Huriah Adam. Perujudan dari keseluruhan
pergolakan lahir dan batin itu, ia tuangkan dalam seni sastra. Ia adalah juga seorang
sastrawan dan penyair, dan ia menciptakan berpuluh-puluh sajak, antara lain:
manisku,
yang kelihatan hanya duri-duri tajam belaka karena tak ada jalan
Sayangku
membisu ……….
Dua dengan sajak Huriah lainnya seolah-olah sudah ada firasat Huriah, bahwa ia
akan mati dalam suatu tragedi, dan akan berkubur di laut bersama-sama.
Tapi dalam seni lukis, dia tidak mau mengorbankan haknya, sebab lukisan adalah
hasil pribadinya. Begitu pula Tugu Pahlawan Tal Dikenal yang didirikan di
Bukittinggi, itu adalah hasil pribadinya. Setelah beli bahan dan gaji kuli dibayarkan,
maka sisanya dia punya. Pun juga sajak-sajaknya dibayar oleh koran, uangnya untuk
dia. Sajak, patung, lukisan adalah hasil pribadi langsung.
Tugu yang begitu simbolis, penuh dengan gerak yang kuat dan ekspresi yang
tajam, lahir dari buah ciptaan seorang wanita yang hampir seluruh hidupnya
mencurahkan kegiatannya dalam lapangan seni. Orang mungkin ragu-ragu untuk
mempercayai tugu itu adalah hasil karya seorang wanita yang sudah mempunyai 4
orang anak.
Di sudut atas dibuat relief seperti lambang berpita panjang. Lambang itu
bergambar rumah adat Minangkabau dan di bawahnya lembing bersilang. Di
sebelahnya bertuliskan pahatan "Pahlawan Rakyat Menentang Kolonialisme 5 Juni
1908". Di sudut bagian bawah pada batu pualam yang berukuran 0,75 m x 0, 75 m
dipahatkan teks "Batu Pertama diletakkan tanggal 15 Juni 1963 oleh Y.M. Wampa
KASAB Jendral Dr. A.H. Nasution. Pada isinya dengan batu pualam yang sama
tingginya terpahat tulisan,"Tugu ini diusahakan oleh Baharuddin Datuk Bagindo
(B.D.B.) untuk dan atas nama rakyat Sumatera Barat" Sedangkan di sisi lain pada
batu pualam yang sama tingginya terpahat teks, "Tugu ini diusahakan oleh Panitia
Pusat Peringatan Sumatera Barat Menentang Penjajahan Belanda." Biaya didapat
secara gotong royong yang dikoordinasikan oleh Sekretariat Wali Kota Bukittinggi,
Indra Syamsu. Biaya Rp 1.500.000 diperdapat dari dermawan, pengumpulan karcis
amal masyarakat Sumatera Barat.
Di tugu itu ditulis sajak dari Huriah Adam yang dipilih oleh Prof. Dr. Mohd.
Yamin, di antara sekian banyak sajak yang berbunyi:
Ketika G 30/S PKI telah dihancurkan, tim HuriahAdam dipojokkan oleh segelinir
orang-orang yang digunakan oleh partai-partai yang tidak berhasil menarik Huriah
Adam. Dalam keadaan terkucil, Huriah Adam mengambil palet lukis kembali. Ia
melukis dan melukis untuk mengisi waktu dan mencari nafkah rumah tangganya.
7. Bunga Dahlia
8. Bunga Melati
9. Bunga Ros
Ia giat dalam bengkel tari Taman Ismael Marzuki. Jabatan terakhirnya, selain
penari dan koreografer adalah dosen tari pada Akademi Tari L.P.K.J. Jakarta
mendorongnya ke tingkat yang tinggi, yang pernah dicapainya dalam hidupnya yang
telatif pendek. Bersama rekan-rekannya berbagai latar belakang bakti dan profesi
berkarya di TIM (Taman Ismael Marzuki).
Semula
Huriah Adam seolah-olah lebur dengan alam Minang, kembali kepada Sang
Pencipta, dengan warisan dedikasinya meninggalkan kita. Dia melukis namanya
dalam sejarah, dan kita pun menginsyafi bahwa Huriah memang pantas untuk
dikenang, di hati kita sebagai seorang seniman yang menjadi teladan. Semua
warisan-warisan berupa ciptaan koreografinya akan kita pergelar terus setiap ada
kesempatan.
.Sayang Huriah tak sempat melihat secara utuh keberhasilan dari apa yang
diupayakannya selama itu. Huriah pergi, seperti menyatu dengan puisi pendeknya
yang dipilihkan oleh Muhammad Yamin yang tertera pada "Tugu Pahlawan Tak
Dikenal" yang dipancangnya pada tahun 1965.
Huriah Adam, walau rentang waktu pengabdiannya relatif tidak lama, tapi telah
memberikan banyak arti bagi perjalanan kesenian, khususnya seni tari Minangkabau
dalam peta kesenian nasional. Pemerintah secara resmi mengakui keberadaannya
sebagai Pembina dan Seniman Tari Daerah Minangkabau sejak Mei 1977, melalui
Anugerah Seni dari Presiden R.I.
Sumber: Ny. Syamsidar BA, Huriah Adam, Hasil Karya dan Pengabdiannya, IDSN, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, 1981/1982
Jurnal Kebudayaan No. 2 Tahun I, Edisi Nopember 1995 s.d. Januari 1996, Budaya Lokal versus
Global