You are on page 1of 6

Tungku Tigo Sajarangan (edit)

Tungku adalah batu yang dipasang atau dihunjamkan ke tanah sebanyak tiga buah untuk penupang
periuk atau kuali tempat perapian untuk memasak. Adalanya tungku dibuat dari batu atau bata sebanyak
tiga deret bentuk segitiga, sehingga menopang kuali, kancah atau dandang pemasak air. Tungku
merupakan unsur penting bagi suatu tempat perapian (dapur) , tempat kayu menyala di bawah kuali
atau periuk.

Dalam tungku perapian kayu tungku harus pula disilangkan, jangan dilonjorkan semua. Kalau
dilonjorkan, semua kayu ditungku itu tidak akan menyala. Kayu itu harus disilangkan agar hidup marak
sehingga membakar semua kayu, sehingga apa yang dimasak dalam kuali akan matang. Demikianlah
nenek moyang kita membuat perumpaman dari alam terkembang. Mereka bergutu dengan alam yaitu
tungku tigo sajarangan.Tungku harus kuat terhunjam di tanah dan tidak boleh goyah yang menyebabkan
kedudukan kuali maupun dandang yang diletakkan di atasnya sehingga apa dimasak dalam kuali
menjadi makanan yang enak disantap bersama. Jika tungku goyah, kedudukan kuali tidak mapan lagi.
Apabila tungku itu goyah sedikit saja akibatnya air di dalam belanga itu akan tumpah dan tercurah ke
dalam api, sehingga api padam..
Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin (edit)

Kata-kata tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin adalah sebuah ungkapan atau
perumpamaan yang kita terima dari nenek moyang kita dahulu. Mereka belajar dari
pengalaman dan berguru dengan alam bahwa tungku tiga sejarangan harus kokoh dan
tidak goyah. Perumpamaan ini dijadikan pedoman untuk pemimpin masyarakat,
sehingga menjadi ungkapan, tali tigo sapilin.

Pada masa kini ungkapan tersebut sudah populer sekali. Di mana-mana sering kita
dengar ucapan tungku tigo sajarangan dan tali tigo sapilin. Kata-kata tungku tigo
sajarangan adalah lambang dari tiga unsur kepemimpinan di Minangkabau yang sangat
potensial sekali Kepemimpinan itu adalahu *ninik mamak, *alim ulama dan *cadiak
pandai. Nenek moyang orang Minangkabau mengambil perumpamaan dari alam yang terkembang.
Mereka berguru dengan alam, yaitu tungku sejerangan. Perumpamaan pun sifatnya alamiah. Kuali atau
periuk dengan segala isinya, baik lauk pauk, sayur mayur, rendang, nasi, atau lainnya ibarat masyarakat.
Tiga unsur tungku sebagai penopangnya sehingga kuali atau periuk atau belanga terletak di atasnya
mapan. Tiga unsur pemimpin dalam masyarakat Minangkabau itu yang dilambangkan dengan Tungku
Tigo Sajarangan.

Tentang tali tigo sapilin adalah diibaratkan tiga utas tali yang dipilin menjadi satu,
sehingga menjadi kuat. Demikian juga diibaratkan bila ketiga landasan hukum yang
terjalin dan menjadi pegangan hidup masyarakat Minangkabau. Hukum itu adalah hukum
adat, hukum agama dan hukum positif. Ketiga landasan itu adalah ketentuan adat menjadi
pegangan ninik mamak, hukum agama atau syarak pegangan para alim ulama dan
undang-undang yang dipegang atau landasan berpijaknya para cadiak pandai (cerdik
cendekia).

Nenek moyang orang Minang gemar membuat kata-kata kiasan, ibarat, perumpamaan, gurindam,
andai-andai, pepatah petitih, pantun, dan sebagainya. Mereka berguru kepada alam. Demikianlah nenek
moyang kita mengambil sebuah perumpamaan dari alam yang terkembang. Mereka berguru dengan
alam, yaitu tungku sejerangan. Di dalam pantuan adat dikatakan:
Pincalang biduak rang Tiku

Mengayuah sambia menungkuik

Basilang kayu di dalam tungku

Di sinan api mako iduik

Kuali atau periuk dengan segala isinya, baik lauk pauk, sayur mayur, rendang, nasi, atau lainnya
adalah masyarakat. Tiga unsur tungku sebagai penopangnya menjadi kuat, sehingga kuali atau periuk
atau belanga yang berada di atasnya terletak mapan. Tentang tali tigo sapilin akan menjadi kuat dan tak
mudah putus karena ketiga utas tali itu dipilin menjadi satu, yakni undang-undang adat, hukum agama
dan hukum positif.

Pemahaman tentang tungku tigo sajarangan dengan penerapan tali tigo sapilin di tengah masyarakat
Minangkabau diharapkan berkembangnya sebagai budaya, adat bersendi syarak, syarak bersendi
Kitabullah", hidup serasi di tengah warga yang beragam yang diatur undang-undang.

Unsur kepemimpinan tungku tigo sajarangan adalah:

1) Unsur Ninik mamak, yaitu penghulu adat. Ninik atau nenek menurut garis keturunan ibu, yang
menurunkan ibu dan mamak. Bila mamak sudah tiada, ia akan digantikan oleh kemenakannya
yang laki-laki.. Garis keturunan yang demikian disebut matrilineal. Jadi, matrilineal artinya
keturunan menurut garis ibu.. Kekerabatan matrtilineal berasal dari nenek perempuan.
Sedangkan yang jadi pimpinan adalah mamak, seorang laki-laki di dalam kaumnya, sehingga
disebut ninik mamak. .Ninik mamak itu adalah seorang penghulu adat, andika (andiko) di
dalam kaumnya. Artinya orang yang dihormati, menjadi tuanku dalam satu keturunan berasal
dari nenek perempuan atau kekerabatan menurut garis ibu. Kemudian seorang penghulu adat
menyandang gelar datuk.

Setiap laki-laki di dalam kaumnya adalah mamak yang berhak tampil sewaktu-waktu
jadi pemegang pemimpin kaum. Namun yang menjadi andiko hanya seorang saja. Dia dipilih di
antara anggota kaumnya yang laki-laki. Di dalam fatwa adat disebutkan, jadi penghulu sakato
kaum. Artinya harus dengan kesepakatan kaum. Jadi raja sepakat daulat . Artinya sepakat daulat
(yang memegang kekuasaan di dalam kerajaan tersebut) barulah ia diangkat sebagai seorang
raja. Lalu, apa syarat atau kriteria seorang laki-laki dipilih jadi penghulu atau ninik mamak?

Pertama, ia terpilih karena tinggi tampak jauh, gadang tampak dakek (jolong basuo).
Kedua, tinggi karena disentakkan ruweh (ruas), gadang dilintang pungkam. Dia tinggi bukan
karena diganjal dengan kayu atau batu supaya tanaman jadi tinggi . Dia tinggi karena ruasnya
yang menyentak. Maksudnya pribadinya berkembang terus, dia berilmu, punya wawasan yang
luas. Ia mempunyai kelebihan dari yang lainnya, mempunyai kemampuan, punya kapabilitas.
Dia juga punya wibawa, disegani anak kemenakan, kukuh dengan pendirian, tidak terombang
ambing dan solid (dia besar karena dilintang pungkam), punya urat dan akar tunggang yang
dalam, punya teras kayu yang kuat serta utuh. Padangnyo leba, alamnyo laweh.

Ketiga, tinggi dek dianjuang, gadang dek diambak. Artinya ada persetujuan bersama atau ada
kesepakatan untuk mengangkatnya jadi pemimpin. Inilah yang disebut dengan akseptabilitas.
Apa yang menjadi cupak bagi seorang penghulu? Artinya apa yang menjadi ukuran atau norma
dari seorang penghulu. Itu disebut cupak..Apo cupak dek panghulu? Cupak dek panghulu,
bamain di undang-undang

Jadi, landasan tempat berpijak seorang penghulu adalah undang-undang, hukum adat.
Dia tidak bisa memutuskan sesuatu perkara tanpa berpedoman kepada hukum adat. Yang
menjadi kewajiban atau tugas seorang penghulu adalah menuruik alua nan luruih,
manampuah jalan nan pasa, mamaliharo harato pusako sarato membimbiang anak
kamanakan.Artinya tugas seorang penghulu melaksanakan alur (hukum) yang benar,
menempuh hal yang sudah biasa (jalan yang pasa), memelihara harta pusaka serta mebimbing
anak kemenakan.

2) Alim ulama disebut suluah bendang, suluh yang terang benderang, dalam nagari. Dalam
fatwa adat dikatakan, alim ulama itu ka jadi unduang-unduang ka sarugo, ka payuang panji
ka Madinah. Unduang-unduang adalah penutup kepala dari kain agar terlindung dari hujan
dan panas. Sedangkan payung panji adalah payung kebesaran yang lingkarannya agak lebar
sehingga terlindung di bawahnya. Alim ulamalah yang mengaji hukum-hukum agama,
tentang sah dan batal, halal dengan haram dan mengerti tentang nahu dan sharaf. Jadi alim
ulama yang membimbing rohani untuk jalan ke akhirat karena adat Minang itu adat Islami,
adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di dalam kaum atau suku ada Orang
Ampek Jinih, salah seorang di antaranya adalah mualim atau malin. Urutannya adalah
penghulu, malin, manti, dan dubalang.
Penghulu sa andiko, malin sa kitab. Tentang malim di dalam kaum atau pesukuan
tersebut memang diangkat oleh kaum atau sukunya masing-masing setelah memenuhi
persyaratan pula: memandang kewaraannya, taat beribadat, rajin ke surau dan mampu
membimbing anggotanya untuk beragama. Dewasa ini unsur alim ulama lahir di tengah
masyarakat yanag merupakan tamatan pesantren, madrasah, Perguruan Tinggi Agama Islam,
negeri atau swasta, dan lain-lain. Unsur alim ulama menerapkan hukum Islam bagi orang
Minang dalam kerpaduan tali tigo sapilin.

3) Cadiak Pandai adalah kelompok masyarakat yang mempunyai ilmu pengetahuan dan cerdik
memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Ia pandari mencarikan jalan keluarnya,
sehingga ia dianggap pemimpin yang mendampingi ninik mamak dan alim ulama. Di dalam
tambo, cadiak pandai diwakili oleh Cati Bilang Pandai. Pada masa Adityawarman di
Minangkabau, ia mendirikan wihara, tempat mendidik pemuda dengan pendidikan Budha yang
sakral. Pendidikan wihara itu sebagai salah satu pemecahan masalah anak muda (pemuda) yang
tiada mempunyai tempat di rumah gadang. Kedatangan Islam merubah wihara menjadi surau
tempat mendidik santri dengan pengetahuan agama, ketrampilan dan pengetahuan adat. Surau
melahirkan kaum cendekiawan yang memberikan dakwah ajaran Islam dalam memecahkan
masalah yang baru lahir dalam masyarakat, seperti sengketa kekayaan dan , perdagangan dan
warisan.

Cadiak pandai di kampung atau nagari dulunya adalah warga kampung atau nagari
yang berprofesi sebagai guru. Misalnya sekolah gubernemen. Begitu juga seorang kerani (juru
tulis kantor), Tuan Pakuih (Vakhuismeester). Orang tersebut berpengetahuan lebih dari
masyarakat awam, terbiasa dengan tulis menulis dan tulis baca. Orang tersebut dibawa ikut
berunding memecahkan berbagai masalah di nagari atau di kalangan masyarakat. Mereka
paham dengan undang-undang dan peraturan atau ketentuan yang berlaku dalam hidup bersama
sebagai bangsa dan bernegara.

Ketika perkembangan pendidikan sudah lebih maju melahirkan orang-orang pandai dan
para cendekiawan sebagai unsur tungku tigo sajarangan. Kepadanya perlu diminta
pertimbangan yang menyangkut hukum positif (undang) dan nasihat lainnya menyangkut
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan pesat. Namun,
bagi orang Minang antara cadiak dengan pandai dibedakan dalam beberapa hal. Urang cadiak
adalah orang pintar dalam menyelesaikan sesuatu, panjang akal, otaknya berputar untuk mencari
jalan keluar dari suatu kebuntuan. Sedangkan orang pandai adalah orang berilmu karena rajin
belajar dan bertanya.

Jadi tungku tigo sajarangan adalah tiga unsur kepemimpinan yang sangat potensial sebagai pilar
penyangga masyarakat Minang. Manakala ketiga unsur tersebut bergerak dengan langkah yang sama,
derap yang sama, maka masyarakat Minang akan maju.

You might also like