Professional Documents
Culture Documents
Demikian juga halnya dengan Dang Tuanku yang dapat naik ke atas takhta
kerajaan Pagaruyung, Minangkabau, hanya karena ibunya seorang permaisuri,
Bundo Kanduang, sesuai dengan sistem kemasyarakatan Minangkabau yang
matrilineal. Pengarang cerita ini menggambarkan kepribadian Dang Tuanku yang
demikian lemahnya, sehingga dengan mudah Raja Imbang Jayo dapat merebut
kedudukan Puti Bungsu, tunangan sejak kecil Dang Tuanku. Rajo Mudo, yang
masih saudara dengan Bundo Kanduang, di ranah Sungaingiang pun mudah saja
menerima pinangan Raja Imbang Jayo, suatu pertanda adanya silang selisih batin
antara kedua cabang keluarga ini.
Setelah minum air nyiur gading yang diberikan kepada isteri Bujang Salamaik,
Kambang Bandahari, kerbau, kuda dan ayam, semuanya mengandung dan
masing-masing melahirkan.
Semua bayi dinyatakan keramat dan memiliki tuah sendiri. Bujang Salamaik
bukanlah pesuruh biasa, melainkan pendamping setia atau suami sang Ratu Bundo
Kanduang. Peritiwa ini merupakan hal yang lumrah dalam suatu istana manapun.
Pangeran Bujang Salamaik kawin dengan permaisuri, Bundo Kanduang,
kemudian dengan Bendahari isteri dari orang biasa, dan dengan isteri-isteri
lainnya. Ketiga binatang itu sesungguhnya perempuan yang wataknya diibaratkan
dengan tabiat hewan. Sama halnya dengan rombongan Maharaja Diraja ke selatan
diikuti, oleh harimau campo, kucing siam, kambing hutan, anjing, orang-orang
berasal dari Campa, Cochin Siam, An Jian.
Tokoh Dang Tuanku dan Cindua Mato tidak dikenal sebagai pelaku sejarah,
sesuai dengan ungkapan adat Minangkabau, ketek banamo, gadang bagala. Nama
tersebut hanyalah gelar, simbolik tokoh sejarah.
Satyawati Suleiman, The History and Archaeology of West Sumatra,Pusat Penelitian Sejarah
dan Arkaeology, Jakarta, 1975, terjemahan Drs. Sjafnir Aboe Nain
CINDUA MATO
Sering juga disebut Cendur (Candra) Mata , artinya Tanda Mata. Tokoh
utama dalam kisah kerajaan Pagaruyung ketika diperintah seorang raja
perempuan yang disebut Bundo Kanduang. Cindua Mato diberi tugas oleh
Bundo Kanduang untuk menculik Puti Bungsu, anak Rajo Mudo, saudara Bundo
Kanduang dari Kerajaan Singingi. Puti Bungsu akan dikawinkan dengan Imbang
Jayo, raja di selatan kerjaan Pagaruyung. Pada hal, menurut adat, Puti Bungsu
telah dipertunangkan dengan *Dang Tuanku, anak Bundo Kanduang, semenjak
kecil. Cindur Mato berhasil mengalahkan perampok upahan Imbang Jayo di Bukit
Tambun Tulang. Dalam perkelahian ini Cindua Mato dibantu oleh kerbau yang
setia, si Binuang*, dan kuda Gumarang*, dan ayam jago Kinantan*
Penculikan Puti Bungsu berhasil dikala sedang kenduri (perhelatan)
perkawinan berlangsung antara Puti Bungsu dengan Imbang Jayo. Ketika itu
hujan patuih kilek (hujan halilintar), Puti Bungsu dibawa kembali ke Pagaruyung.
Namun tindakan Cindua Mato melarikan isteri orang (Imbang Jayo) menimbulkan
polemik di kalangan istana Pagaruyung, khusus Tuan Kadhi Padang Ganting
adalah salah seorang pejabat kerajaan Pagaruyung yang menyelesaikan bidang
agama.
Pada babak selanjutnya pembalasan Raja Imbang Jaya dengan menyerang
Pagaruyung dengan api yang dipantulkan dari kaca pemantul (suryakanta).
Pagaruyung terbakar hangus. Bundo Kanduang dengan anaknya Dang Tuanku
mikraj ke langit. Cindua Mato menjadi budak Imbang Jayo. Setelah Cindua Mato
mengetahui kelemahannya, Imbang Jayo dapat dikalahkan dengan kerisnya
sendiri yang terletak di tiang bungkuk. Takhta Pagaruyung dapat diduduki Cindua
Mato
Pada tahun 1926 kisah Cindua Mato dipentaskan oleh seorang Belanda,
guru Sekolah Raja (Kweekschool) bersama muridnya di Bukittinggi. Usahanya
itu merupakan langkah awal mementaskan cerita kaba* menjadi cerita sandiwara.
Randai juga diperkaya dengan memasukkan unsur teater ke dalamnya.