You are on page 1of 7

TUANKU, DANG

Tokoh Dang Tuanku, seorang raja Pagaruyung Minangkabau didapat


dalam ceritera sastra Minangkabau kuno. Pengarang sastra kuno Minangkabau ini
tak dikenal (anonim). Mereka menjelaskan alam pikiran Minangkabau lama yang
berusaha menerangkan kejadian-kejadian masa lampau. Demikian, sastra
Minangkabau kuno itu menjelaskan usal usul Dang Tuanku. Ceritera yang
disampaikan adakalanya bersifat simbolik, seperti halnya dalam *kaba-kaba
Minangkabau. Para pengarang dalam sastra Minangkabau umumnya, tambo
khususnya, berusaha melukiskan betapa menakjubkan tokoh-tokoh dalam tambo
tersebut, selaras dengan pola pikir mereka saat itu.

Demikian juga halnya dengan Dang Tuanku yang dapat naik ke atas takhta
kerajaan Pagaruyung, Minangkabau, hanya karena ibunya seorang permaisuri,
Bundo Kanduang, sesuai dengan sistem kemasyarakatan Minangkabau yang
matrilineal. Pengarang cerita ini menggambarkan kepribadian Dang Tuanku yang
demikian lemahnya, sehingga dengan mudah Raja Imbang Jayo dapat merebut
kedudukan Puti Bungsu, tunangan sejak kecil Dang Tuanku. Rajo Mudo, yang
masih saudara dengan Bundo Kanduang, di ranah Sungaingiang pun mudah saja
menerima pinangan Raja Imbang Jayo, suatu pertanda adanya silang selisih batin
antara kedua cabang keluarga ini.

Berkat bantuan *Cindur Mato, tokoh yang dapat menyelamatkan wibawa


kerajaan Pagaruyung, dengan membawa kembali Puti Bungsu ke istana
Pagaruyung yang terletak di Ulang Tanjung Bungo itu. Peristiwa ini berhasil
berkat bantuan saudara-saudaranya, kerbau Sibinuang, kuda Si Gumarang, dan
ayam si Kinantan.

Keberadaan kerajaan Pagaruyung sesungguhnya tidak berakar dalam sanubari


rakyat Minangkabau. Apalagi Bundo Kanduang, seorang ratu kerajaan
Minangkabau kawin dengan bukan orang Minangkabau, yaitu Bujang Salamaik.
Nama Bujang Salamaik mungkin berasal dari nama Raden Slamet, seseorang
berasal dari Jawa. Perkawinan Bundo Kanduang kurang menggembirakan, bahkan
memalukan rakyat Minangkabau. Bundo Kanduang kawin dengan orang lain,
bahkan bukan pula seorang bangsawan. Pada hal pada masa itu perkawinan yang
ideal adalah perkawinan kuah tatunggang ka nasi.

Pengarang tak dikenal itu harus meyakinkan rakyat Minangkabau, bahwa


Dang Tuanku adalah raja keramat, bukan sembarang raja. Kelahirannya saja telah
menunjukkan tuah sendiri. Bundo Kanduang dengan meminum nyiur gading yang
dipanjat Bujang Salamaik mengandung dan dikurniai seorang "putra mahkota",
pewaris kerajaan Pagaruyung. Dengan demikian dapat menjaga baik nama baik
kerajaan Pagaruyuang yang sedang mengalami kritis kepercayaan rakyat
Minangkabau. Kelahiran Dang Tuanku yang kita kenal, ketika Bundo Kanduang
menginginkan air kelapa gading yang dijaga oleh binatang berbisa, pangkal dijaga
ular naga, batang dijaga ular taduang. Pohon nyiur gading yang menyeramkan itu
dipanjat oleh Bujang Salamaik, orang cepat kaki, ringan tangan tak memecah,
belum disuruh sudah pergi, belum diimbau dia datang. Bujang Salamaik bukanlah
seorang yang bajinih, bahkan hanya seorang pesuruh.

Setelah minum air nyiur gading yang diberikan kepada isteri Bujang Salamaik,
Kambang Bandahari, kerbau, kuda dan ayam, semuanya mengandung dan
masing-masing melahirkan.

Bundo Kanduang melahirkan Dang Tuanku

Kambang Bandahari melahirkan Cindua Mato

Kerbau melahirkan si Binuang

Kuda melahirkan si Gumarang

Ayam melahirkan si Kinantan

Semua bayi dinyatakan keramat dan memiliki tuah sendiri. Bujang Salamaik
bukanlah pesuruh biasa, melainkan pendamping setia atau suami sang Ratu Bundo
Kanduang. Peritiwa ini merupakan hal yang lumrah dalam suatu istana manapun.
Pangeran Bujang Salamaik kawin dengan permaisuri, Bundo Kanduang,
kemudian dengan Bendahari isteri dari orang biasa, dan dengan isteri-isteri
lainnya. Ketiga binatang itu sesungguhnya perempuan yang wataknya diibaratkan
dengan tabiat hewan. Sama halnya dengan rombongan Maharaja Diraja ke selatan
diikuti, oleh harimau campo, kucing siam, kambing hutan, anjing, orang-orang
berasal dari Campa, Cochin Siam, An Jian.

Kenyataan menunjukkan di kala itu kekuatan dubalang (militer) Minangkabau


sangat lemah, walaupun di bidang diplomasi termasuk negara terpandang di Asia
Tenggara. Di lapangan diplomasi ini diperkuat dengan adanya sapih belahan
kerajaan Pagaruyung di daerah rantau.

Ekspedisi salah satu kerajaan di Jawa yang melanda kerajaan Minangkabau,


datanglah anggang dari lauik, ………Para penguasa Minangkabau terpaksa
mengambil jalan kompromi untuk keselamatan alam Minangkabau sendiri.
Anggang dari lauik, dijadikan urang sumando. Kebijaksanaan pemimpin
Minangkabau berhasil melindungi adat istiadat Minangkabau dan kelangsungan
hidupnya. Raja, sebagai urang sumando, digariskan sebagai pendatang, tidak
boleh mencampuri secara langsung urusan kaum istrinya. Dalam hal ini intern
rakyat Minangkabau. "Urang sumando, bak abu di ateh tunggua. Kekuasaan
sesungguhnya tetap berada di tangan ninik mamak, pemangku adat Minangkabau,
yang dikenal dengan nama Rajo nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai.

Di sinilah peranan pengarang anonim Minangkabau mencoba mengungkapkan


derita batin rakyat Minangkabau. Dengan kekuatan daya dan gaya simboliknya,
mereka berusaha menyampaikan amanah yang hanya dapat dipahami pemilik
budaya itu sendiri. Amanah itu atas dasar, takilek ikan dalam aia, lah tantu jantan
batinonyo. Mereka melihat tapian nan bapaga ruyuang itu sendiri dimasuki juga
oleh buaya. Suku bangsa Minangkabau secara turun temurun beranggapan elok
nagari dek panghulu, elok tapian dek rang mudo.

Itulah sebabnya tradisi-tradisi kerajaan (Pagaruyung) dengan segala


kewenangannya tidak sempat berurat berakar dalam sanubari rakyat Minangkabau
yang membawa rakyat ke arah mempercayai dirinya sendiri. Nilai-nilai itu
melekat dalam diri setiap orang Minangkabau yang sampai pada kesimpulan, kok
kayo kami indak ka maminta, kok cadiak kami indak kabatanyo. Nilai-nilai seperti
ini berhasil disampaikan pengarang cerita ini dalam ketentuan-ketentuan adat,
seperti tokoh Cindua Mato lebih berkesan di hati rakyat daripada tokoh Dang
Tuanku.

Sewajarnya Dang Tuanku, karena ibunya permaisuri, diangkat menjadi raja


kerajaan Pagaruyung. Sedangkan Cindur Mato puas dengan kedudukannya
sebagai bangsawan Pagaruyung saja. Cindur Mato mempunyai keberanian dan
kecerdasan luar biasa. Dapat pula memberikan 'ketundukan' untuk Dang Tuanku
dengan membawa kembali Puti Bungsu dari Sungai Ngiang. Namun kemudian itu
pun menimbulkan silang pendapat antara istana dengan Basa Ampek Balai, karena
tindakan membawa isteri orang berlawanan dengan adat dan agama.

Si Binuang, si Gumarang dan si Kinantan adalah dubalang yang setia di istana


Pagaruyung. Berdiplin ketat, patuh tanpa sikap ragu kepada kerajaan selaras
dengan watak ibu-ibu mereka. Dang Tuanku ditakdirkan menikmati hasil
perjuangan mati-matian orang lain yang tidak lain saudaranya. Dengan dukungan
moral yang tinggi, Cindua Mato bersama si Binuang, si Gumarang dan si
Kinantan, dapat merebut Puti Bungsu dari Ranah Sungai Ngiang. Cindur Mato
berkata, pantang dek adat Minang, menuhuk kawan seiring, menggunting dalam
lipatan. Cindur Mato lambang kepribadian laki-laki Minangkabau, tempat orang
meniru meneladan, karena dalam darahnya mengalir keagungan seorang ibu
Minangkabau.

Tokoh Dang Tuanku dan Cindua Mato tidak dikenal sebagai pelaku sejarah,
sesuai dengan ungkapan adat Minangkabau, ketek banamo, gadang bagala. Nama
tersebut hanyalah gelar, simbolik tokoh sejarah.

Dra. Satyawati Suleman, seorang peneliti Sejarah dan Arkeologi Sumatra


Barat menyatakan masa jaya kerajaan Pagaruyung/Minangkabau dengan
kedatangan kembali Dara Jingga dan putranya, Adityawarman yang dibesar dan
dididik di kraton Majapahit. Pada akhir hidup Adityawarman timbul pertentangan
antara kaula Adityawarman dengan belahannya di Darmasraya. Raja Darmasraya
meminta segel kepada Cina agar diakui sebagai pewaris kerajaan Sriwijaya yang
telah lama hilang.
Sumber: Amrin Imran et. al, Menelusuri Sejarah Minangkabau, Yayasan Citra Budaya- LKAAM
Sumatra Barat, 2002

Satyawati Suleiman, The History and Archaeology of West Sumatra,Pusat Penelitian Sejarah
dan Arkaeology, Jakarta, 1975, terjemahan Drs. Sjafnir Aboe Nain
CINDUA MATO

Sering juga disebut Cendur (Candra) Mata , artinya Tanda Mata. Tokoh
utama dalam kisah kerajaan Pagaruyung ketika diperintah seorang raja
perempuan yang disebut Bundo Kanduang. Cindua Mato diberi tugas oleh
Bundo Kanduang untuk menculik Puti Bungsu, anak Rajo Mudo, saudara Bundo
Kanduang dari Kerajaan Singingi. Puti Bungsu akan dikawinkan dengan Imbang
Jayo, raja di selatan kerjaan Pagaruyung. Pada hal, menurut adat, Puti Bungsu
telah dipertunangkan dengan *Dang Tuanku, anak Bundo Kanduang, semenjak
kecil. Cindur Mato berhasil mengalahkan perampok upahan Imbang Jayo di Bukit
Tambun Tulang. Dalam perkelahian ini Cindua Mato dibantu oleh kerbau yang
setia, si Binuang*, dan kuda Gumarang*, dan ayam jago Kinantan*
Penculikan Puti Bungsu berhasil dikala sedang kenduri (perhelatan)
perkawinan berlangsung antara Puti Bungsu dengan Imbang Jayo. Ketika itu
hujan patuih kilek (hujan halilintar), Puti Bungsu dibawa kembali ke Pagaruyung.
Namun tindakan Cindua Mato melarikan isteri orang (Imbang Jayo) menimbulkan
polemik di kalangan istana Pagaruyung, khusus Tuan Kadhi Padang Ganting
adalah salah seorang pejabat kerajaan Pagaruyung yang menyelesaikan bidang
agama.
Pada babak selanjutnya pembalasan Raja Imbang Jaya dengan menyerang
Pagaruyung dengan api yang dipantulkan dari kaca pemantul (suryakanta).
Pagaruyung terbakar hangus. Bundo Kanduang dengan anaknya Dang Tuanku
mikraj ke langit. Cindua Mato menjadi budak Imbang Jayo. Setelah Cindua Mato
mengetahui kelemahannya, Imbang Jayo dapat dikalahkan dengan kerisnya
sendiri yang terletak di tiang bungkuk. Takhta Pagaruyung dapat diduduki Cindua
Mato
Pada tahun 1926 kisah Cindua Mato dipentaskan oleh seorang Belanda,
guru Sekolah Raja (Kweekschool) bersama muridnya di Bukittinggi. Usahanya
itu merupakan langkah awal mementaskan cerita kaba* menjadi cerita sandiwara.
Randai juga diperkaya dengan memasukkan unsur teater ke dalamnya.

Sumber : Ensi I, edisi khusus, Ibid

You might also like