Professional Documents
Culture Documents
Ismael Lengah diminta oleh Kolonel Dahlan Djambek agar bersedia menjadi
Komandan Resimen 3 di Padang. Ismael Lengah bersedia dengan syarat ia diizinkan
merealisasikan gagsannya untuk menyelenggarakan pendidikan militer. Ia meyakinkan
Dahlan Djambek perlunya menyiapkan kader-kader yang berkualitas sebagai pengganti
perwira yang ada, jika sewaktu-waktu mereka meninggalkan arena perjuangan.
Menurut Ismael Lengah, dalam perang bukan diperlukan semangat, tetapi juga
pemimpin yang mampu berpikir secara rasional, mampu bertindak cepat dan
memilikidisplin serta keahlian.lan Djambek menyatakan kesediaannya. Gagasan diangkat
ke tinggkat Divisi. Pendidikan dan latihan itulah yang kelak dikenal dengan nama
Pendidikan Opsir Divisi Banteng.
Sileksi dilakukan melalui test fisik, kesehatan dan pengetahuan umum serta semangat.
Tim kesehatan diketuai Let. Kol. Nazaruddin, pengetahuan umum oleh Tim Mayor Laut
Sulaiman dibantu Komisaris Raden Djojo dari Kepolisian.
Test fisik dilakukan berlari mengelilingi kota Bukittinggi. Lebih seperdua tidak
berhasil mencapai garis finish dan mereka dinyatakan gugur. Calon yang lulus test fisik
mengikuti test pengetahuan umum dan semangat. Kemudian mereka dikumpulkan di
Rumah Sakit untuk mengikuti test kesehatan di bawah Dr. Nazaruddin dan dr. Hasan
Sadikin. Terakhir wawancara dengan Ismael Lengah bersifat menjajagi mental untuk
mengetahui mengapa mereka masuk pendidikan militer.
Calon yang diterima pada umumnya pelajar yang pernah mengikuti MULO (setingkat
SLTP), AMS (setingkat SMA), HBS (pendidikan guru), dan Sekolah Thawalib. Ada juga
pendidikan yang lebih rendah, namun mereka telah mengikuti latihan Gyu Gun ataupun
latihan Seinendan dan Kaibodan di zaman Jepang.
Dalam pidato pembukaan Ismael Lengah menantang dan menguji ketahanan mental
dan menggugah semangat para calon,
"Mungkin tidak semua kamu akan sanggup mengikuti latihan yang bakal keras
dan kasar ini. ……. Apalagi kamu manusia biasa. Kamu di sini diapkan untuk perang,
untuk berontak, untuk merdeka….. tidak untuk lain-lain."
Mereka yang lulus test berjumlah 96 orang berkumpul dai asrama Bukit Apit pada
tanggal 16 Februari 1946, sebuah bangunan dalam komplek Rumah Sakit yang dibangun
tentara Jepang.
2) Mayor Munir Talu sebagai Wakil Kepala Sekolah, juga memberikan pelajaran
taktik militer.
3) Pelatih terdiri dari Lettu Rasyid, Lettu Kamal Mustafa dan Lettu Syu'ib,
semuanya berpendidikan Minarai Sikan (kadet Gyu Gun), memberikan
pendidikan latihan fisik dan pertempuran yang dititik beratkan pada perang
gerilya.
4) Sersan Mayor Baharuddin, Sersan Zakaria, Sersan Ali Amran, Sersan Maaruf,
Kopral M. Sirin, Kopral Ilyas, dan Kopral Rusli.
Beberapa kali terjadi perubahan pelatih, karena terjadi mutasi dan sebagainya.
Pendidikan dan latihan berorientasi kepada pendidikan dan latihan angkatan darat Jepang
(Nippon Rikugun) dengan penekanan semangat dalam hal yang praktis. Ditambah dengan
latihan menurut sistem Belanda. Sasaran yang ingin dicapai ialah menciptakan perwira
setingkat Shodantyo dalam tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Jawa atau Shotaityo
dalam kesatuan Gyu Gun di Sumatra, mata pelajaran kemiliteran dan non militer.
2) Pengetahuan senjara ringan, senapan mesin, senjata berat (senapan mesin berat,
meriam dan mortir
3) Latihan kesatuan kecil, pengetahuan tentang ilmu medan(peta dan kompas) dan
organisasi militer
4) Latihan jasmani, bela diri: silat senam militer dan halang rintang
Selama bulan pertama siswa tidak boleh meninggalkan asrama. Latihan siang dan
malam, berjemur di panas terik matahari, malam di tengah hawa dingin kota pergunungan
Bukittinggi. Setelah itu mereka berhak memakai pangkat prajurit satu. Sudah itu Mereka
boleh keluar asrama dan memperoleh pengalaman baru namun meletihkan. Kepada setiap
tentara yang ditemui mereka harus memberi hormat.
Pada akhir bulan kedua sejumlah kadet dikirim ke front utara (Pasar Usang) untuk
memberi bantuan melatih prajurit baru. Pangkat mereka dinaikkan jadi kopral akhir bulan
kedua dan sersan akhir bulan ketiga. "Tidak semua kadet tahan menjalani latihan berat
dan dikatakan tidak beri kemanusiaan", menurut Taswar Akip kadet angkatan kedua.
Latihan tahap kedua, hanya 84 orang bertahan mengikuti latihan dari dari 96 kadet
tahap pertama. 60 orang kadet dilantik jadi Opsir Muda, 16 orang menjadi Sersan Mayor
kadet dan 8 orang Sersan kadet. Mereka dikirim ke kesatuan tingkat batalyon mengikuti
praktek lapangan mengenal kehidupan militer secara nyata dan bentuk sesungguhnya,
tinggal di asrama yang lebih buruk, secara langsung berhadapan dengan situasi perang
sekitar kota Padang. Namun mereka mengalami kehidupan yang lebih baik, makan
teratur di dapur umum dan mendapat pelayan kesehatan bagi mereka yang luka oleh
palang merah remaja. Mereka memperoleh pengalaman, perang kemerdekaan adalah
perang seluruh rakyat. Selama tiga bulan, para kadet memperbaiki disiplin dan
menyesuaikan diri, mutu pasukan. Kadet yang tinggal di kesatuan di daerah jauh
menderita, baik makanan maupun tempat tinggal.
Pada masa konsolidasi tahun 1950, sebagaian kadet telah berpangkat Letnan Dua.
Pendidikan kedua angkatan menghasilkan 144 orang ditempatkanppada kesuatan-
kesatuan Divisi IX Banteng. Selama 8 bulan selesai pendidikan beberapa orang
memperlihatkan kemampuan dan prestasi, dan dinaikkan pangkatnya menjadi Lenan
Saturday Dalam menjalankan tugas, para lulusan Pendidikan Opsir menjadi suri teladan
anggota kesatuan tempat mereka bertugas. Banyak di anatara mereka menjadi pelatih
pada kesatuan-kesatuan mereka ditempatkan. Peranan kadet selama Agresi kedua, mereka
memimpin pasukan-pasukan di front., baik di Sumatra barat, mapun di Riau.
Pada tahun 1958 di daerah Sumatra Barat dan Riau meletus pemberontakan PRRI,
sebagian kadet yang bertugas pada KDMST (Komando Daerah Militer Sumatra Tengah),
ikut terlibat. Ada di antaranya tewas dalam pertempuran. Sesudah pemerintah
memberikan amnesti dan abolisi, mereka dipensiunkan.
Sumber: Peringatan Hari Jadi ke-40 (17 Februari 1946 - 17 Februari 1986), Pendidikan Opsir Divisi
IX Banteng,