Professional Documents
Culture Documents
Tugas Akhir
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok
2005
Lembar Persetujuan
Pembimbing I Pembimbing II
Penguji I Penguji II
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi ALLAH Yang Maha Tunggal Yang Tiada
Rabb melainkan-Nya, Penguasa semesta alam, atas segala nikmat dan anugerah-
Nya hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini. Kepada Dia lah
penulis bersandar mengadukan segala kelemahan diri dalam perjuangan memaha-
mi, mengerjakan, dan menyelesaikan tema tugas akhir selama satu tahun terakhir.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang
tua dan adikku semata wayang yang telah memberi dukungan penuh secara moril
maupun materiil dan memahami kesibukan penulis dalam menyelesaikan tugas
akhir ini.
Keinginan untuk mempelajari Teori Relativitas Umum sebenarnya telah muncul
sejak penulis berada di bangku kelas II SMU. Semangat penulis pada waktu itu
untuk memahami teori ini terbentur pada masalah konsep matematika tingkat
tinggi yang harus dikuasai. Bertahun-tahun tertunda, syukurlah sejak tahun
lalu keinginan tersebut dapat terealisasi. Berbekal semangat yang tak pernah
padam untuk memahami seluruh gagasan besar fisika teoretik dan yang terpen-
ting bantuan serta dukungan dari semua pihak, terutama bimbingan yang tulus
dari mendiang Bapak Hans J. Wospakrik, penulis berusaha mempelajari konsep-
konsep teori relativitas umum dan geometri diferensial-topologi dari berbagai
buku acuan.
Akhirnya, tak lupa penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
mendiang Bapak Hans Jacobus Wospakrik, PhD selaku Pembimbing I atas
bimbingan, perhatian, dan kesabarannya kepada penulis selama ini. Beliaulah gu-
ru dan sahabat yang telah memperkenalkan keindahan dan kegunaan geometri
diferensial-topologi dalam fisika, serta menumbuhkan lebih dalam kecintaan pa-
iii
da fisika teoretik. Beliau rela mengorbankan waktu akhir pekan dan kepentingan
keluarganya hanya untuk membimbing penulis dengan tanpa pamrih. Komunitas
fisika teoretik Indonesia amat kehilangan dengan kepergian beliau.
Bapak Terry Mart, PhD selaku Pembimbing II atas bimbingan, saran, dan
nasihat-nasihatnya selama ini. Beliaulah Pembimbing Akademik penulis se-
lama menjadi mahasiswa di departemen Fisika UI yang dengan sabar memandu
dan membimbing penulis hingga mencapai semua yang telah dicapai saat ini.
Petuah-petuah berharganya tak akan pernah penulis lupakan.
Bapak Dr. Muhammad Hikam dan Bapak Dr. Anto Sulaksono selaku
Penguji dalam sidang skripsi atas diskusi-diskusi berharganya.
Ibu Dr.rer.nat. Rosari Saleh selaku Ketua Sidang atas filosofi-filosofi fisi-
ka yang diajarkannya selama kuliah-kuliahnya. Kata-kata mutiara yang selalu
teringat: ”fisika itu tidak mudah, tetapi fisika itu indah”.
Ibu Dr. Djarwani S selaku Ketua Departemen Fisika UI atas bantuan rekomen-
dasinya dalam masalah permohonan bimbingan.
Bapak Dr. L.T. Handoko atas diskusi-diskusinya yang berharga mengenai
masa depan karir penulis, juga atas rekomendasi ICTP dan kebaikannya memin-
jamkan buku-buku dari Lab Teori.
Bapak Dr. Bobby Eka Gunara dan Bapak Dr. Jorga Ibrahim dari ITB
atas kebaikan hatinya menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis.
Teman-teman di Lab Teoretik: Irga, Juju, Arum, Freddy, Anton, Ardy, Nita,
Parada, Chandy, Pak Sulaiman (terima kasih atas buku Soliton nya) atas keber-
samaannya selama ini.
Teman-teman angkatan 2001: Eki, Bowo, Krisna, Sindhu, Hasan, Eko, Iip, Buyung,
Tucil, Yopi, Yudo, Keke, Jo, Priyo, Bolly, Willy, Marito, Kris, Justo, Karin, Ibo,
Ivo, Esi, Yayan, Siti, dan juga teman-teman semua yang belum sempet kesebut
satu-persatu.
Pak Miftachul Hadi (maafin segala kesalahan saya ya, pak), Mas Haryo di Fer-
milab (atas bantuan paper-paper yang berharga) Reyhan (atas kamar dan ngob-
rolnya), dan Arma di ITB (temen senasib ditinggal pak Hans, hehehe...).
Prof. Frederick J. Ernst dari IIT, Illinois dan Dr. Aysu karase dari
METU, Ankara atas diskusi-diskusi berharganya via e-mail tentang paper
iv
beliau-beliau yang penulis gunakan dalam tugas akhir.
dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah mem-
bantu tersusunnya tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran amat penulis harapkan demi perkembangan riset fisika teoretik
di UI khususnya dan di Indonesia umumnya.
v
Abstract
Abstrak
vi
soliton yang digunakan dapat menggeneralisir jenis-jenis solusi eksak yang lain
dalam konteks solusi N soliton.
vii
Daftar Isi
Abstrak vi
Lampiran x
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.3 Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
2 Manifold Diferensiabel 4
2.1 Manifold . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
2.2 Manifold Diferensiabel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
2.3 Medan Vektor Tangensial dan Medan Form (Cotangensial) . . . . 5
2.4 Perkalian Tensor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
2.5 Kalkulus Forms . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
2.5.1 Perkalian Luar (Exterior Product) . . . . . . . . . . . . . . 7
2.5.2 Diferensial Luar (Exterior Derivative) . . . . . . . . . . . . 8
3 Ruang Affin 9
3.1 Vektor Pergeseran (Displacement Vector) . . . . . . . . . . . . . . 9
3.2 Persamaan Struktur Cartan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
3.3 Turunan Kovarian (Covariant Derivative) . . . . . . . . . . . . . 12
3.4 Identitas Bianchi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
viii
4 Manifold Riemann 16
4.1 Metrik Riemann . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
4.2 Persamaan Geodesik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
4.3 Manifold Pseudo-Riemann . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
4.4 Hodge Duality . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
4.5 Turunan Hodge (Operator Co-Diferensial) . . . . . . . . . . . . . 19
7 Persamaan Ernst 29
ix
D Perhitungan Potensial Kerr-NUT-Ernst 66
Daftar Acuan 69
x
Bab 1
Pendahuluan
1
Persamaan Medan Einstein dalam Teori Relativitas Umum dapat diperoleh
dengan beberapa cara, di antaranya dengan metode tensor klasik dimana kita
menurunkan tensor Ricci dari simbol Christoffel (affine connection) yang didapat
dari turunan parsial tensor metrik terhadap variabel-variabelnya, dan metode La-
grangian (least action principle) dimana kita mengkonstruksi Lagrangian ruang-
waktu dari tensor metrik dan menerapkan persamaan Euler-Lagrange untuk mem-
peroleh persamaan medannya [2]. Namun dalam tugas akhir ini, penulis menggu-
nakan metode yang sedikit berbeda dari metode-metode yang disebutkan di atas.
Penulis memformulasikan kembali Teori Relativitas Umum dengan konsep-konsep
geometri diferensial modern dengan memperkenalkan ruang-waktu sebagai suatu
manifold diferensiabel berdimensi empat dan menggunakan metode intrinsik Elie-
Cartan (seperti: f rame, f orm, exterior derivative) untuk mempelajari sifat ke-
lengkungan dan simetri daripada ruang-waktu yang dianalisis [1]. Kemudian akan
diperlihatkan bahwa sebenarnya medan gravitasi hanyalah merupakan gejala ge-
ometris belaka sebagai manifestasi kelengkungan ruang-waktu pseudo Riemann
[1, 3, 4].
2
lain-lain [2].
Salah satu problem yang menarik dalam Teori Relativitas Umum adalah mencari
solusi dari persamaan medan Einstein axisimetrik (axiallysymmetric), baik vakum
maupun bermuatan. Secara fisis, model metrik axisimetrik ini adalah materi
masif (bintang) yang berotasi terhadap sumbu rotasinya sehingga menimbulkan
medan gravitasi di sekitarnya. Masalah axisimetrik ini menjadi penting karena:
pertama, persamaan medan yang dihasilkan oleh kasus ini merupakan persamaan
diferensial parsial yang sangat non-linear (highly non-linear partial differential
equation) yang sangat membutuhkan teknik-teknik khusus dalam menanganinya.
Teknik-teknik yang telah dikembangkan (metode inverse scattering-transformasi
Backlund-Darboux, transformasi Neugebauer, soliton Zakharov-Belinskii, grup
Kinnersley-Chitre, struktur prolongasi, metode Cosgrove) merupakan metode-
metode yang secara luas dapat pula diterapkan pada persamaan-persamaan non-
linear yang lain (persamaan Yang-Mills, non-linear σ model, dll) [6,7,8]. Kedua,
problem axisimetrik ini memiliki aplikasi yang cukup luas dalam fisika, mulai
dari lubang hitam (black hole), pulsar, galaksi berputar, sampai bintang neutron.
Kasus axisimetrik inilah yang akan penulis bahas dalam tugas akhir ini [7].
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan aplikasi-aplikasi geometri dife-
rensial modern ke dalam konsep fisika, salah satunya dengan menurunkan Per-
samaan Medan Einstein dalam Teori Relativitas Umum. Selain itu, penelitian ini
juga bertujuan untuk menentukan metrik ruang-waktu untuk kasus axisimetrik
dengan cara menyederhanakan persamaan medannya dengan metode Ernst dan
memecahkannya dengan metode inverse scattering (hamburan balik) Zakharov-
Belinskii.
3
Bab 2
Manifold Diferensiabel
2.1 Manifold
Secara awam, manifold dapat dibayangkan sebagai generalisasi dari titik, garis,
permukaan, dan ruang kontinu berdimensi lebih tinggi lainnya.
Secara formal, himpunan (titik-titik) M didefinisikan sebagai suatu manifold jika
setiap titik pada M memiliki lingkungan terbuka (open neighborhood) yang da-
pat dipetakan secara kontinu 1-1 kepada suatu himpunan buka (open set) dari
bilangan riil Rn [3,9].
4
rensiabel (turunan parsial orde ke-∞ eksis, biasa ditulis C ∞ ), maka manifold
tersebut dinamakan manifold diferensiabel.
Dengan demikian, manifold M diferensiabel memiliki sifat-sifat:
S
(i) { α } suatu cover-terbuka (open covering) pada M .
(ii) φα suatu homeomorfisme dari Uα pada suatu open neighborhood dalam Rn .
(iii) Peta φβ φ−1 n
S TS S TS
α : φα ( α β ) → φβ ( α β ) diferensiabel dengan domain R .
S
(iv) { α , φα } adalah maksimal [1,3,9,10].
(2.1)
Semua vektor tangensial pada p membentuk ruang vektor T(p) (M ). Vektor ta-
ngensial pada p secara eksplisit diberikan oleh:
∂f
ei (f ) = (2.3)
∂xi p
∂ ∂
Dengan demikian, maka kumpulan vektor-vektor tangensial e1 = ∂x1
,...,en = ∂xn
membentuk basis bagi T(p) (M ).
Bila v merupakan suatu vektor pada p, maka v dapat dinyatakan terhadap basis
ei sebagai:
v = v i ei (2.4)
dimana v i merupakan suatu koefisien riil, dan disini serta untuk selanjutnya
berlaku konvensi sumasi Einstein. Pemetaan v yang didefinisikan pada setiap
p ∈ M dinamakan medan vektor (vector field).
5
Sebuah 1-form ω pada p didefinisikan sebagai suatu vektor yang memetakan se-
cara linear ruang vektor tangensial T(p) (M ) ke bilangan riil Rn . ω i merupakan
∗ ∗
basis bagi sebuah ruang vektor T(x) (M ). Jelaslah bahwa T(x) (M ) merupakan dual
bagi ruang vektor T(p) (M ) dan ω i merupakan dual bagi basis ei . Medan 1-form
didefinisikan sebagai:
η = ηi ω i (2.5)
Karena 1-form dan vektor tangensial dual satu sama lain, maka bekerjanya ω i
terhadap ei memberikan < ω i , ej > = δji (delta kronecker). Vektor tangensial dan
1-form (vektor cotangensial) masing-masing tidak lain dari vektor kontravarian
dan vektor kovarian dalam analisis tensor klasik [1,10].
Qr
Tinjau suatu pemetaan multilinear T yang memetakan manifold s ke ruang
bilangan riil R1 . Kondisi multilinear mensyaratkan:
∗ ∗
Tsr (M ) = T(p) (M ) ⊗ ... ⊗ T(p) (M ) ⊗ T(p) (M ) ⊗ ... ⊗ T(p) (M ) (2.8)
| {z } | {z }
r−f aktor s−f aktor
6
2.5 Kalkulus Forms
Kalkulus forms pertama kali dikembangkan oleh E. Cartan di awal abad 20, dan
menjadi salah satu metode analitik paling ampuh dalam geometri diferensial.
Metode ini mampu memadukan dan menyatukan berbagai macam konsep dalam
fisika matematika, sebut saja: teori integrasi manifold, cross-product, divergen-
si dan curl pada geometri Euclid 3-dimensi, orientasi arah manifold, Teorema
Stokes dan Gauss, dan syarat integrabilitas dari sistem persaman diferensial par-
sial [3,11]. Dalam tugas akhir ini hanya akan dibahas sebagian kecil saja dari
konsep form ini dan peranannya dalam relativitas umum.
i...j k
ω i ∧ ... ∧ ω j = δk...l ω ⊗ ... ⊗ ω l (2.9)
i...j
dimana δk...l merupakan simbol delta kronecker diperumum.
Produk tensor antisimetris dalam persamaan (2.9) di atas dinamakan perkalian
luar (exterior product) atau wedge product. Wedge product merupakan perkalian
antisimetris dari kovarian tensor. Sebagai contoh, untuk 1-form (tensor kovarian
orde 1) η dan π, maka η ∧ π = -π ∧ η.
Dengan demikian, maka suatu p-form (tensor kovarian antisimetris orde-p) dapat
dinyatakan dalam basisnya sebagai:
1
η= ηi ...i ω i1 ∧ ... ∧ ω ip (2.10)
p! 1 p
Untuk setiap p-form η, π, γ, dan q-form β operasi wedge product memenuhi
sifat-sifat:
(i) Asosiatif (η ∧ π) ∧ γ = η ∧ (π ∧ γ)
(ii) Distributif (η + π) ∧ γ = η ∧ γ + π ∧ γ
7
(iii) Skew-komutatif η ∧ β = (−1)pq β ∧ η [3,9,11]
(2.11)
∂f
df = ∂xj
dxj
8
Bab 3
Ruang Affin
9
dv = ω a ea (3.5)
dimana ω i merupakan dual dari ei . Walaupun diturunkan dari salah satu ko-
ordinat lokal, secara umum persamaan (3.5) ini bersifat intrinsik (independen
terhadap pemilihan koordinat lokal).
Jika pers.(3.5) ini didiferensialkan luar sekali lagi:
d2 v = dω a ea − ω a dea (3.6)
Timbul pertanyaan apa arti geometris dan fisis dari dea ? Karena ea merupakan
basis bagi vektor tangensial, maka analog dengan persamaan (3.5) dapat diben-
tuk:
dea = ω b a eb (3.7)
ωb a = ωb ac ω
c
(3.8)
Dalam koordinat lokal, ω c dapat dinyatakan sebagai dxc dan ω b ac sebagai Γbac
sehingga
ωb a = Γbac dxc (3.9)
Γbac inilah yang dinamakan koefisien koneksi affin yang merupakan generalisasi
dari simbol Christoffel dalam analisis tensor klasik.
d2 v = dω a ea − ω a ∧ ω b a eb
= dω a ea − ω b ∧ ω a b ea
= (dω a − ω b ∧ ω a b )ea
≡ Ta ea (3.10)
dimana
Ta = dω a − ω b ∧ ω a b (3.11)
10
Persamaan (3.11) ini dinamakan Persamaan Struktur Cartan I, dan
1 a b
Ta = Tbc ω ∧ ω c (3.12)
2!
dinamakan Torsi 2-form (2-form Torsion).
Dalam koordinat lokal, Torsi 2-form dapat ditulis:
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa simbol Christoffel tidak lain dari
koefisien koneksi affin yang simetris.
Jika persamaan (3.7) didiferensialkan luar sekali lagi, diperoleh
d2 ea = dω b .a eb − ω b a ∧ deb
= dω b a eb − ω b a ∧ ω c b ec
= dω b a eb − ω c a ∧ ω b c eb
≡ Rb a eb (3.16)
dengan
Rb a = dω b a − ωc a ∧ ωb c (3.17)
11
Dalam koordinat lokal, 2-form Kelengkungan Riemann dapat dituliskan:
b ∂Γbac ∂Γbae
Radc = − + Γfae Γbcf − Γfac Γbef (3.20)
dxe dxc
Persamaan (3.20) ini persis sama dengan hasil penurunan Tensor Riemann dengan
metode analisis tensor klasik [2].
dη = Dηi ∧ ω i (3.22)
dimana
Dηi = dηi − ηi ω j i (3.23)
dv = Dv i ∧ ei (3.24)
dengan
Dv i = dv i + v j ω i j (3.25)
12
Dalam analisis tensor klasik dan pemilihan koordinat lokal, turunan kovarian
dituliskan
∂Vβ
∇α Vβ = α
− Γλαβ Vλ (3.26)
dx
Sekarang tinjau persamaan (3.18) dan (3.20). Jelas bahwa Rb a merupakan se-
buah tensor 2-form. Tetapi muncul pertanyaan: apa arti geometris dari Rb .a ?
Untuk menjawabnya, ada baiknya jika kita mengkaji dahulu konsep kelengku-
ngan.
Secara intuitif, kita biasa mendefinisikan kelengkungan (curvature) sebagai per-
mukaan 2 − D yang tertekuk (embedded) dalam ruang 3 − D. Sayangnya, penger-
tian ini tidak mencukupi ketika berhadapan dengan konsep manifold yang meru-
pakan bentuk umum dan abstrak dari permukaan. Oleh karena itu, dibutuhkan
definisi kelengkungan yang lebih luas dan independen terhadap dimensi dan ko-
ordinat.
Tinjau dua buah titik A dan B yang berbeda (tidak berimpit) pada manifold M .
Lintasan terpendek yang dapat ditempuh dari A ke B dinamakan geodesik. Bila
manifold yang ditinjau berupa ruang datar, maka geodesiknya berupa garis lu-
rus. Pada ruang datar ini, dua buah garis lurus yang sejajar (paralel) tidak akan
pernah berpotongan satu sama lain. Hal ini tidak berlaku pada ruang lengkung.
Dua buah garis yang sejajar dapat berpotongan, atau bahkan tidak ada sama
sekali dua garis yang dapat sejajar. Ini adalah inti dari konsep Geometri Ruang
Lengkung (Geometri non-Euclid) yang dikembangkan oleh Gauss, Lobachevsky,
Boylai, dan Riemann [12].
Dengan demikan, maka kita dapat mendefinisikan kelengkungan sebagai ’kega-
galan’ geodesik yang paralel untuk tetap paralel [13]. Disini kelengkungan didefi-
nisikan dalam konteks transpor paralel sepanjang kurva tertutup (closed path)
dalam manifold. Operator turunan kovarian yang dikerjakan pada suatu 1-form
dari suatu titik p pada kurva tertutup c pada manifold mendefinisikan vektor
transpor paralel pada kurva tersebut. Maka, dapatlah didefinisikan suatu ten-
sor yang mengukur kelengkungan kurva pada manifold sebagai suatu ’kegagalan’
dari operator turunan kovarian untuk bersifat komutatif ketika dikerjakan pada
1-form [13].
Jika operator turunan kovarian dikerjakan dua kali dan dikomutatifkan kepada
13
suatu 1-form dan dituliskan dalam koordinat lokal, maka berdasarkan persamaan
(3.26) kita akan dapatkan [2]
∂Γραβ
ρ
∂Γαγ
δ ρ δ ρ
(∇γ ∇β − ∇β ∇γ )Vα = − + Γαγ Γβδ − Γαβ Γγδ Vρ (3.27)
dxβ dxγ
Bagian dalam kurung pada ruas kanan tidak lain adalah Tensor Kelengkungan
Riemann. Dengan demikian, kita memiliki justifikasi mengapa persamaan (3.20)
dinamakan Tensor Kelengkungan Riemann, yaitu karena ia mengukur seberapa
besar ruang manifoldnya melengkung.
dRi j = ωi k ∧ Rk j − Ri m ∧ ωm j (3.28)
14
atau
i i i
Rjkl;m + Rjmk;l + Rjlm;k =0 (3.32)
dimana titik koma di depan index menyatakan turunan kovarian terhadap index
tersebut.
Persamaan terakhir ini tiada lain pernyataan dari Identitas Bianchi secara analisis
tensor klasik.
15
Bab 4
Manifold Riemann
Sampai saat ini kita belum mendefinisikan ”jarak” (distance) pada manifold.
Pada dasarnya, manifold memang merupakan konsep geometri diferensial yang
”primitif” sehingga tidak memperhitungkan jarak. Pemetaan kontinu yang disya-
ratkan oleh definisi manifold tidak memperhitungkan kekekalan jarak, sudut,
ataupun besaran geometri Euclid lainnya. Ia hanya mensyaratkan adanya pemeta-
an 1-1 yang kontinu, tidak lebih. Pada bab ini kita akan mendefinisikan konsep
metrik sebagai generalisasi dari konsep jarak pada manifold.
Ruang affin yang memiliki koefisien-koefisien affin yang simetris sehingga memu-
ngkinkan diperkenalkannya suatu produk skalar antara dua vektor yang darinya
dapat didefinisikan tensor metrik gµν sebagai besaran untuk mengukur ”jarak”
sebagai nilai skalar tersebut dinamakan Ruang Riemann atau Manifold Riemann
(Riemannian Manifold) [1,9].
(4.1)
16
Salah satu fungsi yang memenuhi sifat-sifat di atas ialah ρ(a,b)= | a − b | yang
merupakan definisi jarak. Jadi, metrik merupakan konsep jarak yang diperumum.
Dengan sifat simetrisitas kefisien koneksi affin, maka pada ruang vektor tangen-
sial T1 0 (M ) dapat didefinisikan suatu produk skalar <, >yang simetris dan meru-
pakan suatu pemetaan diferensiabel ke bilangan riil. Maka, jika v dan w adalah
dua buah vektor pada T1 0 (M ), maka < v, w > mendefinisikan suatu fungsi dife-
rensiabel yang memenuhi sifat-sifat:
(i) < v + u, w >=< v, w >+< u, w > ∀u,v,w∈T1 0 (M )
(ii) < f v, gw >=fg< v, w > ∀f,g∈ F (M )
(iii) d< v, w >=< dv, w >+< v, dw >
(4.2)
Dengan demikian, didefinisikan panjang dari suatu vektor sebagai |v| sebagai
|v|=(< v, w >)1/2 . Maka dari suatu kurva s pada M , dapat didefinisikan panjang
berdasarkan vektor tangensialnya. Jika s(t) merupakan sebuah kurva dengan
parameter t dan vektor tangensial v= ds
dt
= dp
dt
dimana dp merupakan vektor perge-
serannya, maka:
2
ds dp dp
= ,
dt dt dt
ωµ ων
= < eµ , eν > (4.3)
dt dt
maka:
ds2 = gµν ω µ ω ν (4.4)
dimana gµν ≡< eµ , eν > disebut sebagai tensor metrik dan ds2 dinamakan jarak
infinitesimal antara dua buah titik pada kurva s. Suatu manifold diferensia-
bel M yang memiliki tensor metrik dinamakan Manifold Riemann sedangkan ds
dikatakan metrik dari M . Dengan suatu proses orthogonalisasi, dapat dipilih
suatu frame (kerangka) eµ sehingga < eµ , eν >=δνµ . Frame seperti ini dinamakan
frame orthonormal.
Dari tensor metrik kovarian gµν , dapat dibentuk tensor metrik kontravariannya
g µν melalui hubungan
gµν g µν = δνµ (4.5)
17
Kedua tensor metrik tersebut dapat digunakan untuk menaikan dan menurunkan
index suatu tensor
Tµν = g µρ Tνρ (4.6)
dv dv i dxk
= + Γijk v j =0 (4.9)
dt dt dt
j
atau jika disubstitusi v i = dx
dt
, maka persamaan di atas menjadi
d2 xi j
i dx dx
k
+ Γjk =0 (4.10)
dt2 dt dt
18
Persamaan inilah yang dinamakan Persamaan Geodesik. Secara geometris, per-
samaan ini menggambarkan persamaan garis terpendek yang menghubungkan
dua buah titik yang berbeda dalam Manifold Riemann.
19
p-forms ke (p − 1)-forms sebagai berikut:
δ = (−1)np+n+s+1 ∗ d∗ (4.13)
20
Bab 5
21
hingga orde 10−9 .
Berdasarkan bukti-bukti eksperimen tersebut, akhirnya Eisntein menyimpulkan
dalam postulatnya yang terkenal dengan nama Prinsip Equivalensi Massa bahwa
”Gaya gravitasi dan gaya inersial yang bekerja pada suatu benda adalah sama
(equivalen) dan tak terbedakan (indistinguishable) satu sama lain”. Konsekuensi
dari prinsip ini ialah bahwa tidak ada lagi kerangka acuan inersial. Dengan
demikian, maka konsep percepatan yang diperkenalkan pada fisika Newtonian
tidak lagi absolut [2].
22
M14 . Dari dua pernyataan terakhir dapat dilihat bahwa sebenarnya ruang-waktu
dan medan gravitasi (dan juga distribusi materi sebagai sumbernya) adalah setara
atau saling terkopel satu sama lain.
i i i
∇m Rjkl + ∇l Rjmk + ∇k Rjlm =0 (5.1)
i
∇m Rjl + ∇l Rjm + ∇i Rjlm =0 (5.2)
dimana Rµν dinamakan Tensor Ricci kovarian. Jika dikontraksikan lagi indeks j
dengan l akan didapatkan
l i
−∇m R + ∇l Rm + ∇i Rm =0 (5.3)
dimana R suatu besaran skalar kelengkungan yang dinamakan Ricci Skalar atau
Kelengkungan Gauss. Persamaan terakhir ini dapat ditulis sebagai
µ 1 µ
∇µ Rν − δν R = 0 (5.4)
2
Dari postulat kedua Einstein, semua hukum fisika haruslah sama dalam semua
kerangka acuan. Artinya, semua hukum fisika haruslah invarian terhadap trans-
formasi koordinat, atau dalam bahasa geometri diferensial: invarian terhadap
transpor paralel. Akibatnya, energi dan momentum sistem haruslah kekal, se-
hingga dapat dituliskan:
∇µ Tµν = 0 (5.5)
dimana Tµν adalah tensor energi-momentum, suatu bentuk kovarian dari energi
dan momentum sistem.
Dengan demikian dua persamaan terakhir ini dapat dibandingkan dan diperoleh
1
Rνµ − δνµ R = κTµν (5.6)
2
23
dimana κ merupakan suatu konstanta kopling yang harganya dapat ditentukan
dari syarat batas, yaitu sebesar:
8πG
κ= (5.7)
c4
atau biasa ditulis κ=8π jika digunakan satuan alami (natural unit) dimana G=c=1.
Persamaan (5.6) biasa ditulis dalam bentuk kovariannya yaitu
1
Rµν − gµν R = κTµν (5.8)
2
Persamaan (5.6) dan (5.8) inilah yang dinamakan sebagai Persamaan Medan
Einstein. Ruas kiri merepresentasikan geometri ruang-waktu sistem, sedangkan
ruas kanan berupa distribusi materi pada sistem [2,9,10].
24
Bab 6
Sampai saat ini, kita telah menurunkan dan membahas Teori Relativitas Umum
dengan pendekatan geometri diferensial modern. Di bab ini dan selanjutnya, ki-
ta akan mencari solusi dari persamaan medan Einstein untuk kasus axisimatrik
(axiallysymmetric) vakum. Yang dimaksud dengan solusi persamaan medan Ein-
stein ialah mencari bentuk tensor metrik gµν sebagai solusi persamaan diferensial
parsial non-linear medan Einstein.
25
dengan tensor metrik gµν merupakan matriks 4 × 4 sebagai berikut:
2
f 0 f 2ω 0
0 −e2γ f −2 0 0
gµν = 2 2 2 2 −2
(6.3)
f ω 0 f ω −r f 0
2γ −2
0 0 0 −e f
dan inversnya (tensor metrik kontravarian):
−2 f 2 ω2 f 2ω
f − r2 0 r2
0
−2γ 2
0 −e f 0 0
g µν = f 2ω
(6.4)
r2
0 −f 2 r−2 0
0 0 0 −e−2γ f 2
√ 2γ
sehingga −g = ef 2r dimana g adalah determinan dari gµν .
Untuk memudahkan, diperkenalkan suatu basis 1-form (ω α ) yang dinamakan
f rame tetrad
ω 0 = f (dt − ωdφ)
1 γ
ω1 = e dρ
f
1
ω2 = ρdφ
f
1 γ
ω3 = e dz
f
(6.5)
sehingga
ds2 = (ω 0 )2 − (ω 1 )2 − (ω 2 )2 − (ω 3 )2
= ηµν ω µ ω ν (6.6)
26
(ω,1 )2 f 6 γ,1 f 2
−2γ f,1
R11 =e 2 2
3(f,1 ) +(f,3 ) −f f,11 +f,33 + 2
+f (γ,11 +γ,33 )− −
ρ 2ρ2 ρ
(6.8)
γ,1 f 2 (ω,3 )2 f 6
−2γ f,1
R33 =e 2 2
(f,1 ) +3(f,3 ) −f f,11 +f,33 + 2
+f (γ,11 +γ,33 )+ −
ρ ρ 2ρ2
(6.9)
Kedua persamaan terakhir ini jika dicari selisihnya adalah:
γ,1 f 2 f6
−2γ
R11 3 2 2 2 2
−R 3 =e 2((f,1 ) − (f,3 ) ) − − 2 (ω,1 ) − (ω,3 ) (6.10)
ρ 2ρ
27
Jika indeks µ dan ν dikontraksi, akan didapatkan
R=0 (6.15)
Dengan memasukkan nilai-nilai tensor Ricci dari pers.(6.7), (6.10), (6.11), dan
(6.12) ke persamaan di atas dan dengan melakukan transformasi f 2 → f (untuk
selanjutnya, metrik Lewis-Papapetrou akan ditulis dalam bentuk ds2 = f (dt −
ωdφ)2 − f1 [e2γ (dρ2 +dz 2 )+ρ2 dφ2 ]), maka akan diperoleh empat persamaan medan,
yaitu:
f ∇2 f = ∇f.∇f − f 4 ρ−2 ∇ω.∇ω (6.17)
28
Bab 7
Persamaan Ernst
Untuk mencari solusi persamaan (6.17) − (6.20) jelas dibutuhkan teknik khusus.
Oleh karena itu pada bab ini kita berusaha mencari simetri dari persaaman-
persamaan tersebut, terutama persamaan (6.17) dan (6.18) karena solusi γ pada
persamaan (6.19) dan (6.20) dapat langsung dicari bila f dan ω diketahui. Simetri
tersebut berupa persamaan Ernst yang dapat memadukan persamaan (6.17) dan
(6.18).
Tinjau persamaan (6.18). Persamaan ini menyiratkan bahwa ada suatu vektor A
sedemikian rupa sehingga
f 2 ρ−2 ∇ω = ∇ × A (7.1)
29
Dengan demikian terdapat suatu fungsi skalar F (ρ, φ, z) sedemikian rupa yang
memenuhi (secara lokal)
∂F
Aρ =
∂z
∂F
Az = (7.5)
∂ρ
Dengan demikian persamaan (7.3) dapat dituliskan:
1 ∂Φ ∂Φ
∇×A= ρb − zb (7.6)
ρ ∂z ∂ρ
dengan
∂F
Φ= − ρAρ (7.7)
∂φ
merupakan suatu Potensial Rotasional (Twist Potential).Ruas kanan persamaan
(7.6) ditulis dalam pernyataan vektor sebagai:
∇ × A = ρ−1 φb × ∇Φ (7.8)
∇ω = ρf −2 φb × ∇Φ (7.10)
∇ · (f −2 ∇Φ) = 0 (7.12)
f ∇2 f = ∇f · ∇f − ∇Φ · ∇Φ (7.13)
2∇f · ∇Φ = f ∇2 Φ (7.14)
30
Dengan mendefinisikan suatu potensial kompleks:
ε = f + iΦ (7.15)
yang dinamakan Potensial Ernst, maka persamaan (7.13) dan (7.14) masing-
masing tidak lain dari bagian riil dan imajiner dari suatu persamaan potensial
terpadu:
(Reε)∇2 ε = ∇ε · ∇ε (7.16)
Persamaan inilah yang dikenal sebagai Persamaan Ernst. Persamaan Ernst ini
juga muncul dalam persamaan gerak SU(1, 1)/U(1) σ-model[8].
Jika didefinisikan suatu fungsi kompleks ξ yang memenuhi:
ξ−1
ε= (7.17)
ξ+1
maka dengan mudah dapat dibuktikan bahwa fungsi ξ memenuhi persamaan dife-
rensial berikut:
(ξξ ∗ − 1)∇2 ξ = 2ξ ∗ ∇ξ · ∇ξ (7.18)
31
Bab 8
Dari bab sebelumnya telah ditunjukkan bahwa untuk mencari solusi persamaan
medan Einstein axisimetrik vakum, maka kita haruslah memecahkan persamaan
Ernst terlebih dahulu sehingga didapat fungsi f dan ω yang pada gilirannya dapat
digunakan untuk menentukan γ. Karena sifat non-linearitas dari persaman Ernst,
maka kita tidak dapat menggunakan metode pemisahan variabel seperti dalam
persamaan Laplace sebab pada persamaan non-linear, prinsip superposisi tidak
lagi berlaku. Dibutuhkan suatu teknik khusus untuk menanganinya. Ada beber-
apa cara untuk mencari solusi persamaan diferensial parsial non-linear, seperti:
metode Cosgrove [14], metode inverse scattering (hamburan balik) [15,16,17], dan
metode Gutsunaev-Manko [18.19]. Dalam tugas akhir ini akan digunakan metode
Hamburan Balik.
Metode hamburan balik awalnya berasal dari masalah persamaan Schroedinger
non-linear. Dalam persamaan Schroedinger, problem mencari fungsi gelombang
(biasanya sistem hamburan) dari potensial sistem yang diketahui dinamakan
masalah hamburan (scattering problem). Sebaliknya, problem mencari potensial
sistem jika fungsi gelombang diketahui dinamakan masalah hamburan balik (in-
verse scattering problem). Metode inverse scattering ini banyak digunakan untuk
memecahkan masalah soliton, yaitu solusi eksak persamaan diferensial parsial
non-linear yang stabil. Kita tahu bahwa dewasa ini konsep soliton banyak di-
32
adopsi dalam fisika partikel. Oleh karena itu, metode inverse scattering inipun
memiliki aplikasi yang luas dalam bidang fisika partikel. Solusi persamaan Ein-
stein yang diperoleh lewat metode ini dinamakan solsusi soliton.
Ada banyak metode inverse scattering yang dikembangkan para fisikawan, teruta-
ma dalam menangani persamaan medan gravitasi. Sebut saja metode inverse
scattering Naugebauer, Zakharov-Belinski, Kinnersley-Chitre. Budiman [6] dalam
skripsi s-1 nya menggunakan metode inverse scattering Naugebauer untuk men-
cari solusi persamaan medan Einstein vakum. Dalam tugas akhir ini, penulis
bermaksud menggunakan metode dari Zakharov-Belinski.
dimana
0 i
Γ= , (Γ)2 = I (8.3)
−i 0
Maka persamaan (7.16) dapat dinyatakan dalam bentuk:
∇ · [(∇P )P −1 ] = 0 (8.4)
d[(∗ dP )P −1 ] = 0 (8.6)
33
Jika definisikan suatu koneksi 1-form (1-form connection):
W = (−dP )P −1 (8.7)
Ω(λ, ρ, z) = aW + b∗ W (8.9)
DΩ + Ω ∧ Ω = 0 (8.12)
Persamaan di atas adalah syarat integrabilitas bagi suatu persamaan linear dari
matriks Ψ(λ, ρ, z):
DΨ = −ΩΨ (8.13)
Dengan mudah dapat dibuktikan bahwa limλ→0 Ψ=P . Artinya untuk mencari
matriks P , dapat ditentukan dari solusi matriks Ψ dengan hubungan:
P = Ψ(0, ρ, z) (8.14)
34
Ω0 , dan dari persamaan (8.13) terdapat pula suatu solusi awal Ψ0 . Dengan
demikian solusi persamaan tersebut dapat ditulis:
Dχ = χΩ0 − Ωχ (8.16)
Agar sifat riil dan simetrik dari matriks P terpenuhi, maka kondisi-kondisi di
bawah ini:
χ(λ) = χ(λ) Ψ(λ) = Ψ(λ) χ(∞) = I (8.17)
35
dan dengan mensubstitusi bentuk eksplisit χ dari persamaan (8.18) maka :
N
X Rk
P (ρ, z) = I − P0 (ρ, z) (8.20)
k=1
µ k
Untuk menentukan bentuk matriks Rk (ρ, z) dan Sk (ρ, z) secara eksplisit, kita
cukup meninjau persamaan (8.16) pada pole yang dimiliki χ karena keduanya
independen terhadap λ. Dengan memasukkan bentuk χ dari persamaan (8.18)
ke persamaan (8.16), kita akan dapatkan bahwa persamaan tersebut memiliki pole
orde satu pada λ=µk di ruas kanan tetapi berorde dua di ruas kiri. Oleh karena
itu, agar persamaan tersebut konsisten maka disyaratkan koefisien (λ − µk )−2
pada ruas kiri persamaan haruslah bernilai nol. Artinya:
D(λ − µk ) = 0 (8.21)
dimana ωk adalah suatu konstanta kompleks. Demikian pula utnuk χ−1 , bentuk
persamaannya dapat ditulis:
dan dengan mensubstitusi bentuk eksplisit χ−1 , diperoleh persamaan yang men-
syaratkan:
D(λ − νk ) = 0 (8.24)
Karena ruas kiri persamaan di atas tidak memiliki pole pada λ=µk , maka residu
pada ruas kanan haruslah pada λ=µk haruslah nol. Konsekuensinya, akan kita
peroleh persamaan untuk matriks Rk (ρ, z):
36
dan demikian pula untuk matriks Sk (ρ, z):
Sementara itu, untuk menjamin χ dan χ−1 pada persamaan (8.18) merupakan
inversnya satu sama lain, maka harus dipenuhi kondisi:
χχ−1 = I (8.29)
sehingga
N N N N
X Ri X Sj XX Ri Si
+ + =0 (8.30)
i=1
λ − µi j=1 λ − νj i=1 j=1
(λ − µ i )(λ − νj )
dimana mαk , nαk , pαk , dan qkα adalah n komponen kolom vektor yang memenuhi
hubungan:
nαk † χ−1 (µk ) = 0, χ(νk )pαk = 0 (8.34)
37
dimana P T =P dengan T
menyatakan transposisi suatu matriks.
Jika persamaan (8.23) ditranspos dan dilakukan transformasi λ → τ serta dika-
likan kedua ruas dengan P dari kiri dan P0 dari kanan, maka didapat persamaan:
P [D(χT (τ ))−1 P0−1 = Ω(τ )P (χT (τ ))−1 P0−1 − P (χT (τ ))−1 P0−1 Ω0 (τ ) (8.36)
dengan:
a(τ, ρ, z) = 1 − a(λ, ρ, z), b(τ, ρ, z) = −b(λ, ρ, z) (8.38)
Sekarang tinjau kembali persamaan (8.6). Kalikan kedua ruas dengan P dan
ambil hermitian konjugate nya, maka diperoleh:
WP − PW† = 0 (8.39)
yang berakibat:
Ω(λ)P − P Ω† (λ∗ ) = 0 (8.40)
Dari kondisi (8.2) diperoleh P −1 =ΓP Γ atau ΓW + W † Γ=0. Dalam konteks Ω(λ)
dapat ditulis:
ΓΩ(λ) + Ω† (λ∗ )Γ = 0 (8.41)
Tinjau pula persamaan (8.13). Kalikan kedua ruas persamaan tersebut dengan
ΓP −1 dan gunakan (8.37) untuk menghasilkan:
38
Dengan demikian, terlihat bahwa matriks ΓP −1 Ψ(τ ) memenuhi persamaan dife-
rensial yang sama dengan Ψ(λ). Maka kita dapat tuliskan:
dimana J adalah suatu matriks yang memenuhi kondisi DJ=0 dan detJ 6= 0.
Pada limit λ → ∞ (τ → 0), dan λ → 0 (τ ∞) masing-masing kita peroleh:
Γ = Ψ(∞)J(∞)
ΓP −1 Ψ(∞) = P J(∞) (8.46)
yang merupakan variasi dari persamaan (8.13). Ambil hermitian konjugate nya
dan tukarkan λ dengan λ∗ dan gunakan (8.41) untuk mendapatkan:
dengan P0 =P0† .
Sekarang, dengan mensubstitusi bentuk eksplisit matriks χ dan χ−1 ke persamaan
39
di atas dan meninjau pada pole λ=νk , akan didapat residu pada ruas kanan adalah
tidak nol. Residu pada ruas kiri pun tidak nol jika νk =µ∗k . Pada kasus ini, matriks
Rk dan Sk saling terkait satu sama lain dengan hubungan:
Sk = ΓRk† Γ (8.52)
40
Bab 9
41
ter-parameter yang telah diturunkan oleh Zakharov-Belinski [17]:
ρ2
a(λ, ρ, z) = ,
λ 2 + ρ2
λ
b(λ, ρ, z) = − 2 ,
λ + ρ2
ρ2 λ
Θ(λ, ρ, z) = − − z,
2λ 2
ρ2
τ = − (9.1)
λ
Nilai µk (ρ, z) ditentukan dari solusi persamaan (8.21):
1
µk (ρ, z) = ωk − z ± [(ωk − z)2 + ρ2 ] 2 (9.2)
Maka, solusi 2 soliton berkaitan dengan 2 pole pada matriks χ, dimana pole yang
pertama berada pada λ=µ dan yang kedua pada λ=τ (µ). Konsekuensinya, χ
dapat ditulis:
R1 R2
χ(λ) = I + +
λ − µ λ − τ (µ)
ΓR1† Γ ΓR2† Γ
χ−1 (λ) = I + + (9.5)
λ − µ∗ λ − τ (µ∗ )
Berdasarkan (8.19), solusi matriks P dapat diperoleh jika nilai R1 dan R2 dapat
ditentukan.
42
Karena matriks R1 dan R2 saling berdegenerasi satu sama lain, maka mereka
dapat dituliskan:
R1 = m1 n†1
R2 = m2 n†2 P0 Γ (9.6)
dimana:
n†1 = n†01 Ψ−1
0 (µ) (9.7)
kondisi (8.50). Kita peroleh vektor m1 dan m2 dari persamaan (8.54) yang dapat
ditulis dalam bentuk:
2N
X P0
Mki mi = nk (9.8)
i=1
µ∗k
dimana Mki dapat dituliskan:
(n†k P0 ni )∗
Mki = 2 (9.9)
ρ + µ∗k µi
Untuk kasus N =1, dapat diperoleh invers matriks Mki yaitu Lkl sedemikian hing-
ga:
Lkl Mli = δki (9.10)
43
Substitusikan bentuk di atas ke persamaan (9.5) dan gunakan dalam (8.19), kita
peroleh solusi 2-soliton matriks P :
(µ − µ∗ )(ρ2 + µµ∗ )
P = P0 − ∗ 2 2 ∗ 2 2 ∗ 2
Aρ2 (µ − µ∗ )P0 n1 n†1 P0
µµ [A ρ (µ − µ ) + B(ρ + µµ ) ]
+Bµ∗ (ρ2 + µµ∗ )Γn1 n†1 P0 − Bµ(ρ2 + µµ∗ )P0 n1 n†1 Γ
∗ ∗ †
+Aµµ (µ − µ )Γn1 n1 Γ
(9.14)
44
Dari persamaan (9.14)-(9.15), kita peroleh:
Karena matriks P berbentuk (8.1), maka untuk menentukan f (Re ε) kita ambil
komponen P11 . Dengan sedikit perhitungan aljabar akan kita peroleh:
−4µµ∗ [a2 ρ2 (µ − µ∗ )2 + σ 2 (ρ2 + µµ∗ )2 ]
f=
[a(µµ∗ − ρ2 ) + b(µµ∗ + ρ2 )]2 (µ − µ∗ )2 + [m(µ − µ∗ ) + iσ(µ + µ∗ )]2 (µµ∗ + ρ2 )2
(9.18)
Setelah mendapatkan nilai f , kita dapat menghitung Φ (Im ε) dengan memilih
komponen P12 atau P21 (karena sifat simetrisitas matriks P ). Hasilnya adalah:
dan
µ(ρ, z) = [(r − m) + iσ](1 − cos θ) (9.21)
45
Dalam koordinat-koordinat tersebut, persamaan (9.18) dan (9.19) tersederhanakan
menjadi:
(r − m)2 + σ 2 − a2 sin2 θ
f= (9.22)
(b − a cos θ)2 + r2
dan:
2[(r − m)b + ma cos θ]
Φ=− (9.23)
(b − a cos θ)2 + r2
Langkah selanjutnya adalah mencari fungsi ω. Ini dapat diperoleh dari Φ dengan
hubungan:
∇ω = ρf −2 φb × ∇Φ (9.24)
Didapat:
a sin2 θ[m(r − m) − σ 2 ] + (a − b cos θ)[(r − m)2 + σ 2 ]
ω=2 (9.25)
(r − m)2 + σ 2 − a2 sin2 θ
dengan mengambil konstanta integrasi sama dengan nol.
Terakhir, γ dapat diperoleh dengan mensubstitusikan bentuk f dan Φ ke dalam
matriks P , lalu mensubstitusikannya ke persamaan (8.5). Hasilnya adalah:
(r − m)2 + σ 2 − a2 sin2 θ
e2γ = (9.26)
(r − m)2 + σ 2 cos2 θ
dimana diambil konstanta integrasi sama dengan nol (penurunan mendetail per-
samaan (9.25) dan (9.26) dapat dilihat di lampiran).
Dengan demikian, metrik Lewis-Papapetrou (6.1) yang menggambarkan lintasan
terpendek dalam medan gravitasi dari suatu bintang yang berotasi terhadap sum-
bu simetrinya (axisimetrik) dapat dituliskan:
(r − m)2 + σ 2 − a2 sin2 θ
2
ds =
(b − a cos θ)2 + r2
2
a sin2 θ[m(r − m) − σ 2 ] + (a − b cos θ)[(r − m)2 + σ 2 ]
× dt − 2 dφ
(r − m)2 + σ 2 − a2 sin2 θ
−1
(r − m)2 + σ 2 − a2 sin2 θ (r − m)2 + σ 2 − a2 sin2 θ
−
(b − a cos θ)2 + r2 (r − m)2 + σ 2 cos2 θ
(r − m)2 sin2 θ
2 2 2 2 2 2
× + cos θ dr + [(r − m) + σ cos θ]dθ
(r − m)2 + σ 2
2 2 2 2
+[(r − m) + σ ] sin θdφ (9.27)
46
9.3 Solusi Schwarzchild
Persamaan (9.27) di atas merupakan persamaan metrik ruang-waktu dari medan
gravitasi di di sekitar bintang tak bermuatan (vakum) yang berotasi terhadap
sumbu simetrinya (axisimetrik). Jika bintang tersebut tidak berotasi (ω → 0,
a → 0, b → 0, σ 2 → −m2 ), maka metrik di atas tereduksi menjadi:
−1
2 2m 2 2m
ds = 1− dt − 1 − dr2 + r2 dθ2 + r2 sin2 φ2 dφ2 (9.28)
r r
Persamaan di atas ini tak lain merupakan metrik Schwarzchild yang mendeskrip-
sikan ruang-waktu di sekitar bintang yang memiliki simetri bola (spherically
symmetric). Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa solusi Schwarzchild
merupakan solusi asimtotik dari solusi Kerr-NUT-Ernst untuk bintang yang bero-
tasi dengan ω → 0 (diam).
47
Bab 10
Metode diferensial modern Cartan digunakan sebagai pendekatan yang lebih for-
mal dalam Teori Relativitas Umum dengan memformulasikan ruang-waktu se-
bagai manifold diferensiabel pseudo-Riemann 4 dimensi. Pendekatan ini mem-
berikan paradigma yang cukup menarik terhadap fenomena gravitasi. Medan
gravitasi muncul sebagai fenomena geometri belaka, yaitu sebagai manifestasi ke-
lengkungan manifold pseudo-Riemann. Yang menarik pula, persamaan medannya
(yang dikenal sebagai Persamaan Medan Einstein) muncul sebagai konsekuensi
relasi geometris belaka tanpa adanya hipotesis-hipotesis yang intuitif berdasarkan
pengamatan eksperimen [1].
Dengan pendekatan topologis ini, persamaan medan Einstein untuk kasus medan
gravitasi axisimetrik vakum (yang metriknya dinyatakan oleh metrik Lewis-Papa-
petrou) dirumuskan. Diperoleh 4 persamaan medan untuk menentukan 3 koe-
fisien f , ω, γ dari metrik Lewis-Papapetrou tersebut. Dengan memperkenalkan
potensial kompleks Ernst, persamaan-persamaan tersebut dapat disederhanakan
menjadi suatu Persamaan Ernst. Karena baik persamaan medan Einstein maupun
persamaan Ernst merupakan persamaan diferensial parsial non-linear, maka dibu-
tuhkan suatu teknik khusus untuk memecahkannya. Teknik yang digunakan
di sini adalah teknik inverse scattering Zakharov-Belinski dan solusinya dina-
makan soliton, yaitu solusi stabil dan terlokalisasi dari persamaan diferensial
parsial non-linear. Solusi soliton ini men-generalisasi solusi-solusi persamaan
Einstein axisimetrik vakum yang telah ada sebelumnya. Dalam tugas akhir ini
ditunjukkan bahwa solusi Kerr-NUT-Ernst merupakan solusi 2 soliton dan so-
48
lusi Schwarzchild merupakan solusi asimtotik darinya. Dengan metode inverse
scattering ini, masalah persamaan diferensial parsial non-linear tereduksi menjadi
hanya masalah aljabar linear belaka.
Penulis membatasi pembahasan tugas akhir ini hanya sampai medan gravitasi
axisimetrik vakum. Sebagai saran bagi penelitian lebih lanjut, ada baiknya
jika meninjau kasus axisimetrik bermuatan listrik. Dalam hal ini akan tim-
bul medan lain yaitu medan elektromagnetik yang direpresentasikan oleh per-
samaan Maxwell, sehingga ruas kanan persamaan Einstein tidak sama dengan
nol, melainkan berupa tensor energi-momentum Maxwell. Akan cukup menarik
untuk membahas fenomena persamaan medan Einstein-Maxwell axisimetrik dan
memecahkannya dengan metode soliton serta arti fisis dari solusi yang diper-
oleh, mengingat medan elektromagnetik Maxwell dapat ditinjau secara topologi
sebagai manifestasi 2-form eksak dari manifold diferensiabel pseudo-Riemann 4
dimensi seperti yang telah dibahas di lampiran.
Terakhir, dalam tugas akhir ini tidak disinggung penerapan metode geometri
diferensial modern Cartan ini pada fenomena kuantisasi (fisika kuantum). Akan
sangat menarik untuk membahas: apakah fenomena kuantum hanyalah juga
sekadar manifestasi geometris belaka? Penulis mempersilahkan para pembaca
untuk meneliti dan menjawabnya.
49
Lampiran A
Dalam analisis tensor, kita mengenal Tensor Levi-Civita kovarian a1 ...ap dan kon-
travarian a1 ...ap , yaitu suatu tensor antisimetrik dengan sifat-sifat:
1, (a1 ...ap ) permutasi genap dari (1, ..., p);
a1 ...ap −1, (a1 ...ap ) permutasi ganjil dari (1, ..., p); (A.1)
0, dua atau lebih index berharga sama.
a ...a
a1 ...ap b1 ...bp = −δb11...bpp (A.2)
a ...a
dengan sifat yang sama seperti pers.(A.1). Tensor δb11...bpp inilah yang dinamakan
Delta Kronecker Diperumum (Generalized Kronecker Delta) yang merupakan per-
luasan dari simbol delta kronecker δba . Berdasarkan sifat (A.1), maka Delta Kro-
necker dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih compact:
a1
δb1 ... δbap1
. ... .
a ...a
δb11...bpp = . ... . (A.3)
. ... .
ap a
δ
b1 ... δbpp
50
untuk n>p.
Sebagai contoh, perkalian luar dua buah 1-form ω a dan ω b dinyatakan:
1 ab α
ωa ∧ ωb = δαβ ω ⊗ ω β
2!
1 a b α
= (δα δβ ω ⊗ ω β − δβa δαb ω α ⊗ ω β )
2!
1 a
= (ω ⊗ ω b − ω b ⊗ ω a ) (A.5)
2!
51
Lampiran B
Meskipun dalam tugas akhir ini tidak dibahas aplikasi geometri diferensial mo-
dern terhadap medan elektromagnetik, tetapi dalam rangka menunjukkan keam-
puhan konsep kalkulus forms Elie-Cartan maka penulis akan membahas sedikit
konsep topologi dari medan elektromagnetik.
Fenomena elektromagnetik terangkum dalam 4 buah persamaan medan yang di-
namakan Persamaan Maxwell. Secara klasik, dalam kasus tidak ada distribusi
sumber muatan, empat persamaan tersebut dituliskan:
∇·E = 0
∂E
∇×B− = 0
∂t
∇·B = 0
∂B
∇×E+ = 0 (B.1)
∂t
Persamaan Maxwell sesuai dengan prinsip Relativitas Einstein. Artinya per-
samaan tersebut invarian terhadap transformasi Lorentz. Dalam bentuk invarian
Lorentz, keempat persamaan tersebut terpadukan ke dalam dua buah persamaan
tensor. Dua persamaan pertama dan dua persamaan terakhir dari persamaan
Maxwell di atas masing-masing dapat ditulis dalam bentuk tensor:
∂µ F µν = 0
∂ρ Fµν + ∂ν Fρµ + ∂µ Fνρ = 0 (B.2)
52
dimana Fµν adalah tensor medan (field tensor) yang bersifat anti-simetris dan
dapat diturunkan dari suatu potensial-4 Aµ
Fµν = ∂µ Aν − ∂ν Aµ (B.3)
dimana Aµ =(−φ, A) dengan φ adalah potensial skalar listrik dan A adalah poten-
sial vektor magnetik. Indeks µ, ρ, dan ν berjalan dari 0 sampai 3 yang menan-
dakan kordinat ruang-waktu 4-D.
Untuk memformulasikan persamaan tensor di atas ke dalam bentuk yang intrin-
sik, maka kita definisikan potensial Aµ sebagai suatu 1-form dengan basis ω µ :
A = Aµ ω µ (B.4)
A = Aµ dxµ (B.5)
dA = dAµ ∧ dxµ
∂Aµ ν
= dx ∧ dxµ
∂xν
1 ∂Aµ ∂Aν
= − dxν ∧ dxµ
2 ∂xν ∂xµ
1
= Fµν dxν dxµ (B.6)
2
Terlihat bahwa tensor medan dapat didefinisikan sebagai 2-form eksak yang di-
hasilkan dari diferensial luar suatu potensial 1-form A
F = dA (B.7)
F ini disebut juga sebagai F araday. Jelas bahwa Faraday bersifat closed
dF = d2 A = 0 (B.8)
53
sehingga:
1 ∂Fµν ∂Fρµ ∂Fνρ
ρ
+ ν
+ µ
dxρ ∧ dxν ∧ dxµ = 0 (B.10)
3! ∂x ∂x ∂x
Dengan demikian, maka baris kedua dari persamaan (B.2) dapat dituliskan secara
intrinsik sebagai:
dF = 0 (B.11)
yang dinamakan Maxwell. Jika dikerjakan operator turunan Hodge kepada Fara-
day, maka akan diperoleh:
∗ ∗
δF = dF
∗1 ∗
= d[ Fµν dxµ ∧ dxν ]
2
∗1 1
= d[ F αβ αβγσ dxγ ∧ dxσ ]
2 2!
∗1
= [αβγσ dF αβ ∧ dxγ ∧ dxσ ]
4
∗1 ∂F αβ µ
= [αβγσ dx ∧ dxγ ∧ dxσ ]
4 ∂xµ
1 αβγσ µ
= ∂ Fαβ γσµρ dxρ
4
1 α β
= (δ δ − δρα δµβ )∂ µ Fαβ dxµ ∧ dxγ ∧ dxσ ∧ dxρ
4 µ ρ
1 β
= [∂ Fβα dxα − ∂ β Fαβ dxα ]
4
1 β
= [∂ Fβα − ∂ β Fαβ ]dxα
4
1 β
= [∂ Fβα + ∂ β Fβα ]dxα
4
1 β
= ∂ Fβα dxα (B.14)
2
Karena ∂µ F µν =0, maka:
δF = 0 (B.15)
54
Dengan demikian, maka keempat persamaan Maxwell dapat dipadukan ke dalam
dua bentuk persamaan intrinsik yang lebih compact, yaitu:
dF = 0
δF = 0 (B.16)
dengan φ suatu 0-form (skalar). Transformasi ini tidak akan mengubah tensor
medan Fµν karena d2 φ=0. Dengan demikian:
F = dA = dA0 (B.18)
yang sesuai dengan teori medan klasik bahwa persamaan Maxwell invarian ter-
hadap transformasi gauge. Dari penurunan di atas dapat dilihat bahwa sifat
invarian gauge tidak lain hanyalah manifestasi geometri pula, yaitu sifat closed
dari suatu manifold.
55
Lampiran C
dρ = f e−γ ω 1
f 2
dφ = ω
ρ
dz = f e−γ ω 3
1 0 fω 2
dt = ω + ω (C.1)
f ρ
maka langkah selanjutnya adalah menghitung diferensial luarnya, yaitu:
ω,1 f 3 −γ 1
dω 0 = −f,1 e−γ ω 0 ∧ ω 1 − f,3 e−γ ω 0 ∧ ω 3 − e ω ∧ ω2
ρ
ω,3 f 3 −γ 2
+ e ω ∧ ω3
ρ
dω 1 = (f,3 −γ,3 f )e−γ ω 1 ∧ ω 3
f
dω 2 = ( − f,1 )e−γ ω 1 ∧ ω 2 + f,3 e−γ ω 2 ∧ ω 3
ρ
dω 3 = (γ,1 f − f,1 )e−γ ω 1 ∧ ω 3 (C.2)
Setelah itu, dengan mengasumsikan semesta torsionless (T=0), akan didapat per-
samaan:
dω a = −ω a b ∧ ω b (C.3)
56
Sehingga dengan memasukkan hasil-hasil pers.(A.2), akan kita dapatkan koefisien-
koefisien koneksi affin.
dω 0 = −ω 0 1 ∧ ω 1 − ω 0 2 ∧ ω 2 − ω 0 3 ∧ ω 3 (C.4)
sehingga:
ω,1 f 3 −γ 2
ω0 1 = f,1 e−γ ω 0 − e ω
2ρ
ω,1 f 3 −γ 1 ω,3 f 3 −γ 3
ω0 2 = e ω + e ω
2ρ 2ρ
ω,3 f 3 −γ 2
ω0 3 = f,3 e−γ ω 0 − e ω (C.5)
2ρ
dω 1 = −ω 1 0 ∧ ω 0 − ω 1 2 ∧ ω 2 − ω 1 3 ∧ ω 3 (C.6)
sehingga:
ω,1 f 3 −γ 2
ω1 0 = f,1 e−γ ω 0 − e ω
2ρ
ω,1 f 3 −γ 0 f
ω1 2 = − e ω − ( − f,1 )e−γ ω 2
2ρ ρ
ω1 3 = −(f,3 −γ,3 f )e ω + (f,1 −γ,1 f )e−γ ω 3
−γ 1
(C.7)
dω 2 = −ω 2 0 ∧ ω 0 − ω 2 1 ∧ ω 1 − ω 2 3 ∧ ω 3 (C.8)
sehinga:
ω,1 f 3 −γ 0 ω,3 f 3 −γ 3
ω2 0 = e ω + e ω (C.9)
2ρ 2ρ
f ω,1 f 3 −γ 0
ω2 1 = ( − f,1 )e−γ ω 2 + e ω
ρ 2ρ
ω,3 f 3 −γ 0
ω2 3 = e ω − f,3 e−γ ω 2 (C.10)
2ρ
dω 3 = −ω 3 0 ∧ ω 0 − ω 3 1 ∧ ω 1 − ω 3 2 ∧ ω 2 (C.11)
sehingga:
ω,3 f 3 −γ 2
ω3 0 = − e ω + f,3 e−γ ω 0
2ρ
ω3 1 = (f,3 −γ,3 f )e−γ ω 1 − (f,1 −γ,1 f )e−γ ω 3
ω,3 f 3 −γ 0
ω3 2 = − e ω + f,3 e−γ ω 2 (C.12)
2ρ
57
Demikianlah 12 komponen Koefisien Koneksi Affin selesai dikomputasi.
Sekarang, saatnya kita menghitung 2-form Kelengkungan Riemann berdasarkan
pers.(3.17):
<0 1 = dω 0 1 + ω 0 2 ∧ ω 2 1 + ω 0 3 ∧ ω 3 1
ω,1 f 3 −γ 2
−γ 0
= d f,1 e ω − e ω
2ρ
ω,1 f 3 −γ 1 ω,3 f 3 −γ 3
f
+( e ω + e ω ) ∧ ( − f,1 )e−γ ω 2
2ρ 2ρ ρ
3
ω,3 f 3 −γ 2
ω,1 f −γ 0 −γ 0
+ e ω + f,3 e ω − e ω ∧ (f,3 −γ,3 f )e−γ ω 1
2ρ 2ρ
−γ 3
−(f,1 −γ,1 f )e ω
(ω,1 )2 f 6 0
−2γ 2 2
= e { f (γ,1 f,1 −γ,3 f,3 ) + (f,3 ) − (f,1 ) − f f,11 − ω ∧ ω1
4ρ2
ω,1 ω,3 f 6 0
+ f (γ,1 f,3 +γ,3 f,1 ) − 2f,1 f,3 −f,13 f − ω ∧ ω3
4ρ2
ω,11 f 4 5ω,1 f,1 f 3 ω,3 f,3 f 3 f 4
+ − − + + (γ,1 ω,1 −γ,3 ω,3 )
2ρ 2ρ 2ρ 2ρ
4
ω,1 f
+ ω1 ∧ ω2
2ρ2
ω,13 f 4 ω,1 f,3 f 3 ω,3 f,1 f 3 f 4
+ + + − (γ,3 ω,1 +γ,1 ω,3 )
2ρ ρ ρ 2ρ
4
ω,3 f
− ω2 ∧ ω3}
2ρ2
(C.13)
<0 2 = dω 0 2 + ω 0 1 ∧ ω 1 2 + ω 0 3 ∧ ω 3 2
f6
−2γ 2 f,1 f
= e { (f,1 ) − + (f,3 ) − 2 ((ω,1 ) + (ω,3 ) ) ω 0 ∧ ω 2
2 2 2
ρ 4ρ
3 4
f ω,3 f
+ (ω,3 f,1 −ω,1 f,3 ) − ω1 ∧ ω3}
ρ 2ρ2
(C.14)
58
<0 3 = dω 0 3 + ω 0 1 ∧ ω 1 3 + ω 0 2 ∧ ω 2 3
ω,1 ω,3 f 6 0
−2γ
= e { − f,13 f + f (γ,1 f,3 +γ,3 f,1 ) − 2f,1 f,3 − ω ∧ ω1
4ρ2
(ω,3 )2 f 6
2 2
+ (f,1 ) − (f,3 ) − 2
− f,33 f + f (γ,3 f,3 −γ,1 f,1 ) ω 0 ∧ ω 3
4ρ
6 3
f4
ω,13 f f
+ − − (2ω,1 f,3 +ω,3 f,1 ) + (γ, 1ω,3 +γ,3 ω,1 ) ω 1 ∧ ω 2
4ρ2 ρ 2ρ
3 4
ω,33 f 6
f f
+ (5ω,3 f,3 −ω,1 f,1 ) + (γ,1 ω,1 −γ,3 ω,3 ) +
2ρ 2ρ 2ρ
(C.15)
<1 2 = dω 1 2 + ω 1 0 ∧ ω 0 3 + ω 1 2 ∧ ω 2 3
ω,1 f 4 5ω,1 f,1 f 3 f 4 ω,3 f,3 f 3
−2γ
= e { − + − (γ, 1 ω,1 −γ, 3 ω,3 ) −
2ρ2 2ρ 2ρ 2ρ
4
ω,11 f
+ ω0 ∧ ω1
2ρ
f4 2ω,1 f,3 f 3 ω,3 f,1 f 3
+ − (γ,3 ω,1 +γ,1 ω,3 ) − −
2ρ ρ ρ
4
ω,13 f
− ω0 ∧ ω3
2ρ
γ,1 f 2
f,1 2 2 2
+ f (f,11 + ) − ((f ,1 ) + (f,3 ) ) − f (γ,1 ω,1 −γ,3 ω,3 ) +
ρ ρ
2 6
3(ω,1 ) f
+ ω1 ∧ ω2
4ρ2
γ,3 f 2 3ω,1 ω,3 f 6 2
+ − f,13 f + f (γ,3 f,1 +γ,1 f,3 ) + − ω ∧ ω3}
ρ 4ρ2
(C.16)
<1 3 = dω 1 3 + ω 1 0 ∧ ω 0 3 + ω 1 2 ∧ ω 2 3
−2γ
= e { f (f,11 +f,33 ) − ((f,1 ) + (f ,3 ) ) − f (γ,11 +γ,33 ) ω 1 ∧ ω 3
2 2 2 2
59
(C.17)
<2 3 = dω 2 3 + ω 2 0 ∧ ω 0 3 + ω 2 1 ∧ ω 1 3
ω,3 f 4 2ω,3 f,1 f 3 ω,1 f,3 f 3 f 4
−2γ
= e { − − + (γ,1 ω,3 +γ,3 ω,1 )
2ρ2 ρ ρ 2ρ
4
ω,13 f
− ω0 ∧ ω1
2ρ
ω,1 f,1 f 3 5ω,3 f,3 f 3 f 4 ω,33 f 4 0
+ − + (γ,3 ω,3 −γ,1 ω,1 ) − ω ∧ ω3
2ρ 2ρ 2ρ 2ρ
γ,3 f 2 3ω,1 ω,3 f 6 1
+ − f,13 f + f (γ,1 f,3 +γ,3 f,1 ) − − 2
ω ∧ ω2
ρ 4ρ
f,1 f
+ f,33 f + f (γ,1 f,1 −γ,3 f,3 ) − ((f,1 )2 + (f,3 )2 ) +
ρ
2 2 6
γ,1 f 3(ω,3 ) f
− + ω2 ∧ ω3}
ρ 4ρ2
(C.18)
<µ ν = η νν <ν µ
= −η νν <µ ν (C.19)
dan setelah itu tensor kelengkungan Riemann dapat diperoleh berdasarkan per-
samaan:
<µν = <µν α
αβ ω ∧ ω
β
(C.20)
60
sebagai berikut:
<01 = <01 0 1 01 0 3 01 1 2 01 2
01 ω ∧ ω + <03 ω ∧ ω + <12 ω ∧ ω + <23 ω ∧ ω
3
(ω,1 )2 f 6
−2γ
<01
01 = −e 2 2
f (γ,1 f,1 −γ,3 f,3 ) + (f,3 ) − (f,1 ) − f f,11 −
4ρ2
ω,1 ω,3 f 6
<01
03 = −e−2γ f (γ,1 f,3 +γ,3 f,1 ) − 2f,1 f,3 −f,13 f −
4ρ2
ω,11 f 4 5ω,1 f,1 f 3 ω,3 f,3 f 3 f 4
−2γ
<01
12 = −e − − + + (γ,1 ω,1 −γ,3 ω,3 )
2ρ 2ρ 2ρ 2ρ
4
ω,1 f
+
2ρ2
4
ω,1 f,3 f 3 ω,3 f,1 f 3 f 4
−2γ ω,13 f
<01
23 = −e + + − (γ,3 ω,1 +γ,1 ω,3 )
2ρ ρ ρ 2ρ
4
ω,3 f
−
2ρ2
(C.21)
<02 = <02 0 2 02 1
02 ω ∧ ω + <13 ω ∧ ω
3
f6
02 −2γ 2 f,1 f 2 2 2
<02 = −e (f,1 ) − + (f,3 ) − 2 ((ω,1 ) + (ω,3 ) )
ρ 4ρ
3
ω,3 f 4
02 −2γ f
<13 = −e (ω,3 f,1 −ω,1 f,3 ) −
ρ 2ρ2
(C.22)
<03 = <03 0 1 03 0 3 03 1 2 03 2
01 ω ∧ ω + <03 ω ∧ ω + <12 ω ∧ ω + <23 ω ∧ ω
3
ω,1 ω,3 f 6
−2γ
<03
01 = −e − f,13 f + f (γ,1 f,3 +γ,3 f,1 ) − 2f,1 f,3 −
4ρ2
(ω,3 )2 f 6
−2γ
<03
03 = −e 2 2
f,1 ) − (f,3 ) − − f,33 f + f (γ,3 f,3 −γ,1 f,1 )
4ρ2
ω,13 f 6 f 3 f4
−2γ
<03
12 = −e − − (2ω,1 f,3 +ω,3 f,1 ) + (γ, 1ω,3 +γ,3 ω,1 )
4ρ2 ρ 2ρ
3 4
ω,33 f 6
−2γ f f
<03
23 = −e (5ω,3 f,3 −ω,1 f,1 ) + (γ,1 ω,1 −γ,3 ω,3 ) +
2ρ 2ρ 2ρ
61
(C.23)
<12 = <12 0 1 12 0 3 12 1 2 12 2
01 ω ∧ ω + <03 ω ∧ ω + <12 ω ∧ ω + <23 ω ∧ ω
3
(C.24)
<13 = <13 0 2 13 1
02 ω ∧ ω + <13 ω ∧ ω
3
(C.25)
62
<23 = <23 0 1 23 0 3 23 1 2
01 ω ∧ ω + <03 ω ∧ ω + <12 ω ∧ ω + <23 ω ∧ ω
23 2 3
4
2ω,3 f,1 f 3 ω,1 f,3 f 3 f 4
23 −2γ ω,3 f
<01 = −e − − + (γ,1 ω,3 +γ,3 ω,1 )
2ρ2 ρ ρ 2ρ
4
ω,13 f
−
2ρ
3
5ω,3 f,3 f 3 f 4 ω,33 f 4
23 −2γ ω,1 f,1 f
<03 = −e − + (γ,3 ω,3 −γ,1 ω,1 ) −
2ρ 2ρ 2r 2ρ
2 6
23 −2γ γ,3 f 3ω,1 ω,3 f
<12 = −e − f,13 f + f (γ,1 f,3 +γ,3 f,1 ) − −
ρ 4ρ2
−2γ f,1 f
<23
23 = −e f,33 f + f (γ,1 f,1 −γ,3 f,3 ) − ((f,1 )2 + (f,3 )2 ) +
ρ
2 2 6
γ,1 f 3(ω,3 ) f
− +
ρ 4ρ2
(C.26)
Rνµ = <αµ
αν (C.27)
R00 = <10 20
10 + <20 + <30
30
(ω,1 )2 f 6
−2γ 2 2
= −e f (γ,1 f,1 −γ,3 f,3 ) + (f,3 ) − (f,1 ) − f f,11 −
4ρ2
f6
f,1 f
−e−2γ (f,1 )2 − + (f,3 )2 − 2 ((ω,1 )2 + (ω,3 )2 )
ρ 4ρ
2 6
−2γ 2 2 (ω,3 ) f
−e f,1 ) − (f,3 ) − − f,33 f + f (γ,3 f,3 −γ,1 f,1 )
4ρ2
(ω,1 )2 f 6 (ω,3 )2 f 6
−2γ f,1 2 2
= e f (f,11 +f,33 + ) − (f ,1 +f ,3 ) + +
ρ 2ρ2 2ρ2
(C.28)
63
R11 = <01 21
01 + <21 + <31
31
(ω,1 )2 f 6
−2γ 2 2
= −e f (γ,1 f,1 −γ,3 f,3 ) + (f,3 ) − (f,1 ) − f f,11 −
4ρ2
f,1
−e−2γ f (f,11 + ) − ((f 2 ,1 )2 + (f,3 )2 ) − f (γ,1 ω,1 −γ,3 ω,3 )
ρ
2
3(ω,1 )2 f 6
γ,1 f
+ +
ρ 4ρ2
−2γ 2 2 2
−e f (f,11 +f,33 ) − ((f,1 ) + (f,3 ) ) − f (γ,11 +γ,33 )
−2γ f,1
= e 3(f,1 )2 + (f,3 )2 − f (f,11 +f,33 + ) + f 2 (γ,11 +γ,33 )
ρ
2 6 2
(ω,1 ) f γ,1 f
− 2
−
2ρ ρ
(C.29)
R33 = <03 13
03 + <13 + <23
23
(ω,3 )2 f 6
−2γ 2 2
= −e (f,1 ) − (f,3 ) − − f,33 f + f (γ,3 f,3 −γ,1 f,1 )
4ρ2
−2γ 2 2 2
−e f (f,11 +f,33 ) − ((f,1 ) + (f,3 ) ) − f (γ,11 +γ,33 )
−2γ f,1 f
−e f,33 f + f (γ,1 f,1 −γ,3 f,3 ) − ((f,1 )2 + (f,3 )2 ) +
ρ
2 2 6
γ,1 f 3(ω,3 ) f
− +
ρ 4ρ2
f,1
= e−2γ (f,1 )2 + 3(f,3 )2 − f (f,11 +f,33 + ) + f 2 (γ,11 +γ,33 )
ρ
2 2 6
γ,1 f (ω,3 ) f
+ −
ρ 2ρ2
(C.30)
64
R20 = <10 30
12 + <32
= −<01 12 − <03 23
ω,11 f 4 5ω,1 f,1 f 3 ω,3 f,3 f 3 f 4 ω,1 f 4
−2γ
= e − − + + (γ,1 ω,1 −γ,3 ω,3 ) +
2ρ 2ρ 2ρ 2ρ 2ρ2
3
f4 ω,33 f 6
f
+e−2γ (5ω,3 f,3 −ω,1 f,1 ) + (γ,1 ω,1 −γ,3 ω,3 ) +
2ρ 2ρ 2ρ
4 4 3 3
ω,1 f 4
−2γ ω,11 f ω,33 f 2ω,3 f,3 f 2ω,1 f,1 f
= −e + + + −
2ρ 2ρ ρ ρ 2ρ2
(C.31)
R31 = <01
03 + <23
21
ω,1 ω,3 f 6
−2γ
= −e f (γ,1 f,3 +γ,3 f,1 ) − 2f,1 f,3 −f,13 f −
4ρ2
γ,3 f 2 3ω,1 ω,3 f 6
−2γ
+e − f,13 f + f (γ,3 f,1 +γ,1 f,3 ) + −
ρ 4ρ2
γ,3 f 2 ω,1 ω,3 f 6
= e−2γ 2f,1 f,3 − −
ρ 2ρ2
(C.32)
65
Lampiran D
Perhitungan Potensial
Kerr-NUT-Ernst
Untuk memperoleh fungsi ω dari metrik Kerr-NUT-Ernst, kita mulai dari per-
samaan (9.24) dimana fungsi Φ dinyatakan oleha persamaan (9.23). Dalam koor-
dinat silinder, persamaan (9.24) terurai dalam komponen-komponennya sebagai
berikut:
∂ω ρ ∂Φ
=
∂ρ f2 z
∂ω ρ ∂Φ
= − 2 (D.1)
∂z f ∂ρ
Dalam koordinat Boyer-Lindquist, persamaan di atas bertransformasi menjadi:
∂ω ∂r ∂ω ∂θ ρ ∂Φ ∂r ∂Φ ∂θ
+ = +
∂ r ∂ρ ∂θ ∂ρ f 2 ∂r ∂z ∂θ ∂z
∂ω ∂r ∂ω ∂θ −ρ ∂Φ ∂r ∂Φ ∂θ
+ = + (D.2)
∂r ∂z ∂θ ∂z f 2 ∂r ∂ρ ∂θ ∂ρ
66
Untuk mengintegrasi persamaan (D.3) ini, perlu dicari fungsi-fungsi di ruas kanan.
Diperoleh:
∂θ −(r − m) sin θ
= (D.4)
∂z (r − m)2 + σ 2 cos2 θ
Maka diperoleh:
∂r ∂θ ∂r ∂θ
+ = 0
∂z ∂z ∂ρ ∂ρ
2 2
∂θ ∂θ 1
+ = (D.5)
∂ρ ∂z (r − m)2 + σ 2 cos2 θ
Selain itu juga dicari:
∂Φ 4r[(r − m)b + ma cos θ] − 2b[(b − a cos θ)2 + r2 ]
=
∂r [(b − a cos θ)2 + r2 ]2
∂Φ 2ma[(b − a cos θ)2 + r2 ] sin θ + 4a sin θ(b − a cos θ)[(r − m)b + ma cos θ]
=
∂θ [(b − a cos θ)2 + r2 ]2
(D.6)
67
Integralkan persamaan di atas dan ambil konstanta integrasi sama dengan nol,
maka didapat:
U ≡ P,ρ P −1
V ≡ P,z P −1 (D.10)
Masukkan hasil di atas ke dalam persamaan (D.11) dan ambil trace nya, maka
persamaan (D.11) tersederhanakan menjadi:
ρ
γ,ρ = {[(f,ρ )2 − (f,z )2 ] + [(Φ,ρ )2 − (Φ,z )2 ]}
4f 2
ρ
γ,z = [f,ρ f,z +Φ,ρ Φ,z ] (D.13)
2f 2
68
Selanjutnya, dengan menguraikan persamaan di atas ke dalam koordinat Boyer-
∂γ
Lindquist dan mengeliminasi suku ∂θ
seperti pada persamaan (D.3), akan kita
peroleh:
2 2 2
∂γ ρ ∂θ ∂f ∂r ∂f ∂r ∂Φ ∂r
= + +
∂r ∂r ∂θ
4 ∂ρ − ∂r ∂θ
f 2 ∂z ∂r ∂ρ ∂r ∂ρ ∂r ∂ρ
∂z ∂z ∂ρ
2 2 2 2
∂f ∂r ∂f ∂θ ∂Φ ∂r ∂Φ ∂θ
− − − −
∂r ∂z ∂θ ∂z ∂r ∂z ∂θ ∂z
2 2 2 2 2
∂f ∂Φ ∂r ∂r ∂θ ∂f ∂Φ ∂θ ∂θ
−2 + − +
∂r ∂r ∂ρ ∂z ∂ρ ∂θ ∂θ ∂ρ ∂z
2
∂f ∂f ∂Φ ∂Φ ∂θ ∂r
−4 + (D.14)
∂r ∂θ ∂r ∂θ ∂ρ ∂z
Integrasikan persamaan (D.15) dan ambil konstanta integrasi sama dengan nol,
maka diperoleh:
1/2
(r − m)2 + σ 2 − a2 sin2 θ
γ = ln (D.16)
(r − m)2 + σ 2 cos2 θ
atau:
(r − m)2 + σ 2 − a2 sin2 θ
e2γ = (D.17)
(r − m)2 + σ 2 cos2 θ
69
Daftar Acuan
[6] Budiman, Willy. Solusi Soliton dari Persamaan Medan Gravitasi Axi-
simetrik Vakum. Skripsi S-1. (2005).
[9] Hu, Bo-You et all. Differential Geometry for Physicists. Advanced Se-
ries on Theoretical Physics vol.6. World Scientific. (1997).
70
[10] Chandrasekhar, S. The Mathematical Theory of Black Holes. Oxford
Classic Texts in the Physical Sciences. Clarendon Press. (1985).
[20] Tomimatsu, A and Sato, H. New Exact Solution for the Gravitational
Field of a Spinning Mass. Phys.Rev.Lett. Vol.29 no. 19. (1972).
71