Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Fraktur
Fraktur bisa mengenai akar gigi, gigi tetangga, atau gigi antagonis, restorasi,
prosesus alveolaris, dan kadang-kadang mandibula. Semua fraktur yang dapat
dihindarkan mempunyai etiologi yang sama; yaitu tekanan yang berlebihan atau
tidak terkontrol atau keduanya. Cara terbaik unuk menghindari fraktur disamping
tekanan terkontrol adalah dengan menggunakan gambar sinar-X sebelum
melakukan pembedahan. Akar yang mengalami delaserasi atau getas atau yang
dirawat endodontic sering mengharuskan dilakukannya perubahan pada rencana
pembedahan, biasanya dimulai dari prosedur pencabutan dengan tang (close
prosedure) sampai melakukan pembukaan flap. Apabila sesudah dilakukan
pencabutan dengan tang menggunakan tekanan terkontrol tidak terjadi luksasi dan
dilatasi alveolus, ini menunjukkan perlunya dilakukan pembedahan. Pengenalan
adanya fraktur biasanya secara klinik dan mudah terlihat, kecuali untuk fraktur
mandibula. Apabila ini terjadi pada waktu dilakukan pencabutan dengan tang,
atau pembedahan biasanya melibatkan gigi molar ke tiga. Meskipun garis fraktur
bisa dilihat pada film periapikal, ketidakberadaannya bukan selalu nerarti tidak
terjadi fraktur. Jika masih ada keraguan bisa dilakukan panoramic, atau film
9
ekstraoral yang lain. Kegagalan mendapatkan gambar sinar-X dari bagian yang
dicurigai, merupakan kelalaian yang serius.2
a. Fraktur pada akar
Komplikasi fraktur pada akar paling sering trejadi saat dilakukan pencabutan
gigi dan kadang-kadang tidak dapat dihindarkan jika operatornya masih
kurang berpengalaman. Fraktur pada gigi dapat disebabkan karena pemberian
tekanan yang berlebihan atau gigi yang akan dicabut memiliki akar yang
divergen yang secara mekanis susah dilakukan pencabutan. Pada gigi yang
non-vital sangat rapuh dan mudah dipatahkan.
Saat komplikasi ini terjadi, keputusan harus dibuat, antara ingin mengambil
fraktur akar atau meninggalkan. Jika frakturnya sebesar kurang dari 3 mm
pada gigi yang vital dan tidak dapat dipisahkan dengan periodontal attachment
maka bisa ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan pengambilan fraktur akar.
Sebelum keputusan ini diambil, harus dilakukan gambar radiografi untuk
memastikan ukuran akar dan tidak berhubungan dengan secondary patologi.
Pasien diberitahu mengenai pertimbangan risiko/manfaat yang mendasari
keputusan tersebut.7
Pengeluaran dengan pembedahan: pendekatan yang biasa dilakukan untuk
mengeluarkan patahan ujung akar atau frakmen adalah dengan pembedahan.
Pertama-tama bisa diusahakan dahulu dengan pendekatan konservatif dari
alveolus dengan root picks, elevator cryer atau file saluran akar. Pilihan lain
adalah pembuatan flap, tulang diambil secara konservatif untuk mendapatkan
jalan masuk ke akar.2
Tulang bisa dipotong dengan elevator kecil, elevator periostel, atau instrument
plastic. Elevator gigi yang lurus dan kecil atau kadang-kadang elevator
periosteal yang kecil digunakan untuk memisahkan akar dari alveolus. Jika hal
tersebut tidak berhasil dan sulit mengarahkan tekanan secara benar, maka
dibuat suatu lubang kaitan pada akar untuk insersi elevator. Seperti prosedur
flap, operasi diikuti dengan irigasi saline steril dan pemeriksaan bagian yang
dioperasi sebelum melakukan penghalusan tulang dan penjahitan.2
10
akar gigi molar dan premolar kedua atas melaui alveolus dapat menyebabkan
terbentuknya lubang antara prossesus alveolaris dengan antrum.2
Oroantral fistula yang terjadi segera setelah tindakan pencabutan, apabila
kecil dan segera dilakukan perawatan dengan cepat dan benar cenderung sembuh
spontan karena adanya proses pembekuan darah yang mampu menutup
pembukaan yang terjadi.11
Oroantral fistula yang tidak segera ditangani, sehingga lubang yang
terbentuk bertahan lebih lama, maka traktus akan mengalami epitelisasi, daerah
rongga mulut seringkali mengalami proliferasi jaringan granulasi atau jaringan
ikat dan jika berlanjut dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan dipercepat pada
pencabutan gigi yang mengalami infeksi periapikal. Perawatan yang tidak benar,
menyebabkan infeksi dapat menyebar ke arah sinus melaui lubang oroantaral
sehingga dapat menyebabkan terjadinya sinusitis maksilaris.2
Secara umum, tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah agar tidak
terjadi oroantral fistula adalah dengan melakukan foto rontgen terlebih dahulu
sebelum tindakan pencabutan gigi untuk mengetahui posisi akar gigi posterior
rahang atas yang letaknya dekat dengan antrum dan untuk mengetahui ada atau
tidaknya penyakit periapikal pada jaringan disekitar ujung akar gigi. Pengontrolan
tekanan yang diberikan pada instrumen dan tindakan yang selalu berhatihati
multak dilakukan sehingga terjadinya oroantral fistula dapat dihindari.12
Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk penutupan oroantral
fistula. Pemilihan metode dibuat berdasarkan cara yang telah dilakukan dalam
setiap kasus tertentu, dengan mengobservasi prinsip dasar pembedahan yang
diperlukan.13
Daerah kerusakan dan adanya suatu oroantral fistula dapat dilakukan
penutupan dengan pembuatan flap. Penentuan desain flap perlu dipertimbangkan
agar suplai darah tetap memadai untuk menghindari terjadinya nekrosis dan
hilangnya jaringan oleh karena hilangnya sirkulasi darah yang sempurna. Flap
harus bebas dari semua perlekatan periosteal agar dapat berotasi atau berubah
letak untuk menutupi kerusakan yang terjadi tanpa membuat tekanan pada
15
jaringan. Flap harus di desain agar garis sutura tidak diletakkan di daerah
perforasi dan semua margin yang diperlukan dapat diperoleh dan dipertahankan
dengan cara penjahitan.13
Beberapa prosedur yang disarankan untuk menutup oroantral fistula yang
terjadi diantaranya adalah:14,15
Penutupan oroantral fistula yang terletak di antara gigi dilakukan
dengan insisi melibatkan mukoperiosteum di daerah distal gigi di
anterior kemudian melewati daerah oroantral fistula dilanjutkan ke
daerah mesial gigi di posterior. Insisi juga di lakukan pada daerah
palatal. Setelah itu dilakukan pengurangan tinggi tulang alveol daerah
yang mengalami pembukaan kemudian tepi mukosa yang di insisi
diangkat dan disatukan kemudian dilakukan penjahitan. Luka pada
bagian palatal dibiarkan terbuka untuk mempercepat penyembuhan.
Oroantral fistula yang terjadi pada daerah yang tidak bergigi
(kehilangan tuberositas maksilaris) yang tidak sengaja setelah
pencabutan dapat dilakukan dengan pengurangan pada dinding bukal
dan palatal agar terjadi adaptasi flap jaringan lunak bukal dan palatal.
Flap jaringan lunak dibentuk secara konservatif agar membentuk suatu
garis kemudian flap dijahit.13
Flap bukal merupakan prosedur yang sederhana.Flap bukal dapat
dikombinasikan dengan prosedur Caldwell-luc yang digunakan
sebagai jalan masuk ke sinus maksilaris bila diperlukan. 15 Kelebihan
teknik ini adalah mudah di mobilisasi, keterampilan yang minimun
dan waktu yang diperlukan lebih singkat. Sedangkan kekurangannya
adalah penyatuan jaringan pada flap bukal tidak baik sehingga
disarankan untuk penutupan oroantral fistula yang kecil.13
Jaringan yang membentuk lingkaran perifer dari fistula dieksisi dan
sisa jaringan mukosa palatal di de-epitelisasi untuk memberikan
vaskularisasi yang baik pada daerah yang mengalami kerusakan agar
dapat memperlebar flap dan memudahkan penjahitan kemudian
16
erupsi/impaksi sering sangat dekat letaknya terhadap tulang kortikal dari bundle
neuromuscular canalis alveolar inferior, seperti terbukti dari seringnya laserasi.
Film periapikal prabedah akan mengungkapkan kondisi ini. Apabila terdapat
dilaserasi maka diperlukan pengeluaran molar ketiga yang menjadi masalah dan
mengungkit akarnya dengan sangat hati-hati. Radiograf sangat membantu untuk
menentukan adanya ujung akar yang tergeser sangat dalam ke ruang
submandibula adalah jarang.2
Penatalaksanaan pergeseran mandibula: pasien diberitahu tentang
keadaan yang ada dan dirujuk. Pada kasus pergeseran ke dalam canalis alveolaris
inferior, pengeluaran harus dilakukan segera sedangkan pada kasus pergeseran ke
dalam ruang submandibularis, pembedahan biasanya ditunda untuk
memungkinkan terjadinya fibrosis dulu, sehingga terjadi imobilisasi frakmen
akar. Pendekatan ke arah canalis adalah dengan flap mukoperiosteal bukal yang
cukupbesar dan kemudian melalui alveolus dan dekortikasi lateral ke bukal
(pengambilan segmen datarn bukal). Dekortikasi memberikan jalan masuk yang
bagus dan memungkinkan dekompresi, atau memperbaiki saraf yang cedera.
Ruang submandibula biasanya dicapai dengan membuat flap envelope lingual
yang cukup besar direfleksikan dari secvikal gigi. M.Mylohyoideus disisihkan
sementara sambil memperhatikan n. lingualis.2
2.1.5 Empisema
Empisema merupakan suatu keadaan terkumpulnya udara dalam jaringan
atau organ secara patologis. Empisema yang terjadi pada daerah subkutan dapat
terjadi bila udara masuk ke daerah subkutan kemudian terperangkap di jaringan
ikat longgar. Udara yag terperangkap sering terbatas hanya pada daerah kepala
dan leher saja, namun penyebaran yang lebih luas dapat terjadi sampai ke daerah
parafaringeal dan retrofaringeal. Kondisi ini sangat berotensi untuk meluas ke
mediastinum samapai ke rongga thorak.16,17
Etiologi: empisema pada daerah kepala dan leher dapat terjadi karena
pembedahan molar tiga atau rupturnya barier intra oral. Pada tahun 1957
Shovelton mengklasifikasikan penyebab empisema subkutan sebagai berikut:18,19
19
2.2.2 Nyeri
Pengontrolan rasa sakit sangat tergantung pada dosis dan cara pemberian
obat/kerja sama pasien. Rasa sakit pada pada awal pencabutan gigi, terutama
sesudah pembedahan untuk gigi erupsi maupun impaksi, dapat sangat
mengganggu. Orang dewasa sebaiknya mulai meminum pengontrol rasa sakit
sesudah makan tetapi sebelum timbulnya rasa sakit. Pada delapan jam pertama
setelah pembedahan, dosis dewasa untuk obat analgesic non-narkotik/narkotik
dapat dilipatgandakan. Meskipun control nyeri tidak menimbulkan masalah pada
anak-anak, baik karena sifatnya atau sifat dari prosedur yang dialaminya,
suspense pediatric yang berisi agen anrkotik atau kombinasi non-
narkotik/narkotik dapat digunakan. Lebih sering dosis resep yang diberikan lebih
rendah dari yang seharusnya ketimbang lebih tinggi karena sifat hati-hati yang
timbul akibat seringnya penyalahgunaan obat. Meneruskan penggunaan analgesic
narkotik sesudah 24 jam atau 48 jam pasca-pencabutan, tidak dianjurkan. Pasien
dengan hati-hati diarahkan unuk mengurangi dosis analgesic secara bertahap,
misalnya dari dosis awal obat narkotik/non narkotik yang tinggi di kurangi
menjadi dosis yang lebih rendah, dan kemudian disusul dengan obat analgesic
non-narkotik yang tinggi dan akhirnya dosis yang lebih rendah dari obat yang
sama.2
2.2.3 Edema
Edema merupakan kelanjutan normal dari setiap pencabutan dan
pembedahan gigi, serta merupakan reaksi normal dari jaringan terhadap cedera.
Edema adalah reaksi individual, yaitu trauma yang besarnya sama, tidak selalu
mengakibatkan derajat pembengkakan yang sama baik pada pasien yang sama
atau berbagai pasien. Usaha-usaha untuk mengontrol edema mencangkup termal
(dingin), fisik (penekanan), dan obat-obatan.2
Aplikasi dingin selama 24 jam pertama sesudah pembedahan biasanya
bermanfaat.
25
darah di rahang bawah lebih sedikit daripada rahang atas). Kurangnya irigasi saat
dokter gigi melakukan tindakan juga dapat menyebabkan dry socket. Gerakan
menghisap dan menyedot seperti kumur-kumur dan merokok segera setelah
pencabutan dapat mengganggu dan merusak bekuan darah.
Selain itu, kontaminasi bakteri adalah faktor penting, oleh karena itu, orang
dengan kebersihan mulut yang buruk lebih beresiko mengalami dry socket paska
pencabutan gigi. Demikian juga pasien yang menderita gingivitis (radang gusi),
periodontitis (peradangan pada jaringan penyangga gusi), dan perikoronitis
(peradangan gusi di sekitar mahkota gigi molar tiga yang impaksi).
Gambaran klinis
Daerah paska pencabutan yang mengalami dry socket awalnya terisi oleh
bekuan darah yang berwarna keabu-abuan yang kotor, kemudian bekuan ini
hilang dan meninggalkan soket tulang yang kosong (dry socket). Tulang
terekspos dan sangat sensitif. Penderita biasanya mengeluhkan sakit yang parah,
dan dapat timbul bau tak sedap. Hal ini dapat terjadi kurang dari 24 jam setelah
gigi dicabut, namun dapat juga terjadi 3-4 hari paska pencabutan. Kadang-kadang
dapat terjadi pembengkakan dan limfadenopati.
Frekuensi alveolar osteitis lebih tinggi pada rahang bawah dan di gigi
daerah belakang (posterior). Dry socket dapat saja terjadi pada setiap pencabutan
gigi namun lebih sering terjadi pada saat pencabutan gigi molar tiga impaksi.
Kemungkinan terjadinya dry socket paling besar pada kelompok umur 40 tahun.
Penatalaksanaan
Bila pasien mengeluhkan rasa sakit paska pencabutan gigi, perlu dilakukan
pemeriksaan radiograf untuk mengetahui apakah ada ujung akar yang tertinggal
atau ada benda asing.
Dry socket adalah suatu reaksi peradangan, namun dapat terinfeksi oleh
bakteri. Oleh karena itu, tidak setiap kejadian dry socket membutuhkan perawatan
dengan antibiotik. Hal penting dalam perawatan dry socket adalah irigasi. Irigasi
dilakukan dengan larutan saline, atau hidrogen peroksida 3 % bila sudah terjadi
infeksi. Palpasi yang hati-hati dengan menggunakan aplikator kapas membantu
28
Pembukaan intersisal biasanya tidak lebih dari 15-20 mm. reduksi rentang
gerakan mandibula yang serupa terjadi pada spasme otot yang akut atau kelainan
susunan internal dari sendi temporomandibular yang aku, kemungkinan ini harus
ikut dipertimbankan. Jika terbukti ada infeksi, yaitu adanya pembengkakan, nyeri,
demam, lemas maka diperlukan antibiotic. Trismus yang persisten kadang-kadang
terjadi sesudeh hilangnya selulitis yang luas, tap bisa juga terjadi karena anestesi
blok mandibula tanpa melibatkan tindakan pembedahan. Apabila tidak ada bukti-
bukti infeksi akut, maka perawatan dilakukan dengan aplikasi panas, pemijatan
dan latihan penggunan tongue blade untuk memperbaiki hubungan intersisal
(beberapa tongue blade setebal celah intersisal dimasukkan sekaligus kemudian
untuk meningkatkan lebar intersisal dilkukan latihan dengan memasukkan blade
tambahan yang berlaku sebagai pengungkit sehingga bisa merenggangkan otot-
oto yang terlibat).2
2.3.4 Infeksi
Pencegahan infeksi dapat didasrkan atas potensi penyebaran infeksi,
kemungkinan bakteremia atau keduanya, pencabutan suatu gigi yang melibatkan
prose infeksi akut, yaitu perikoronitis atau abses, bisa mengganggu proses
pembedahan. Terapi antibiotic yang sesuai (kadar penisilin terapetik dalam darah
dicapai 1 jam sesudah pemberian secara oral) dan apabila diindikasikan, insisi dan
drainase digunakan untuk mengontrol keadaan akut. Apabila akan segera
dilakukan pembedahan, pengontrolan rasa sakit dengan anestesi local, menunggu
1 jam sesudah pemberian antibiotic akan member manfaat sebagai pelindung
sebelum dilakukan insisi abses, drainase atau pencabutan gigi. 2
Infeksi pasca-bedah, abses atau selulitis bisa terjadi pada awal atau bersama-
sam dengan edema. Diagnosis banding ditentukan dengan adanya fakta bahwa
infeksi biasanya diikuti oleh peningkatan rasa nyeri, lemas, dan demam.
Perkembangan fluktuan merupakan tanda yang jelas dari adanya penanahan dan
sering memerlukan aspirasi jarum untuk mengkonfirmasikannya diikuti dengan
insisi dan drainase. Studi laboratorium juga sangat membantu dalam menentukan
diagnosis, dimana leukositosis dan meningkatnya laju sedimentasi eritrosit (ESR)
32
BAB 3
PENUTUP
33
3.1 Kesimpulan
Tindakan ekstraksi gigi merupakan suatu tindakan yang sehari-hari kita
lakukan sebagai dokter gigi Pencabutan bersifat irreversible dan terkadang
menimbulkan komplikasi.
Komplikasi digolongkan menjadi intraoperatif, segera sesudah operasi dan
jauh sesudah operasi. Penatalaksanaan dari sebagian besar komplikasi baik
intraoperatif, segera sesudah operasi dan jauh sesudah operasi merupakan bagian dari
pekerjaan seorang dokter gigi. Beberapa kejadian bisa ditangani baik dengan jalan
rujukan, misalnya, perdarahan akut atau berkepanjangan, pergeseran gigi atau
frakmrn akar dan cedera saraf.
4.2 Saran
Dengan adanya tulisan ini dokter gigi diharapkan lebih menguasai tentang
pencegahan, pengenalan dan penatalaksanaan komplikasi ekstraksi gigi baik
intraoperatif, segera sesudah operasi dan jauh sesudah operasi.
DAFTAR PUSTAKA
34
8. Dhini. 2010. Komplikasi Langka Akibat Pembedahan Gigi Molar Tiga. Available
in http://doktergigimuda.com/?p=16. Diakses 16 November 2010.
10. Mathong, Robert H. et al. 1995. Trauma of the Nose and Paranasal Sinuses.
United States of Amerika: Thieme.
11. Yilmas, Suslu, Gursel. 2003. Treatment of Oroantral Fistula: Experience with 27
Cases. Amer J of Otolaryngol; 24:4. Pp: 221-3.
12. Surjanto. 2000. Problem dan Penanganan Oroantral Fistula. Maj Ked Gigi; 33:
2.pp: 68-71.
13. McCarthy. 1967. Emergencies in Dental Practice. Philadelphia, London: WB.
Sounders Co. pp: 438-40
35
14. Kruger, GO. 1967. Oral and Maxillofacial Surgery. 6th ed. Toronto: The C.V.
Mosby Co. pp:335-7
15. Steiner and Thomson. 1977. Oral Surgery and Anesthesia. Philadelphia: WB.
Sounders Co. pp: 356-9
16. Rusdy. H and Nurwiyadh. 2008. Empisema sebagai komplikasi pembedahan
molar tiga bawah dengan menggunakan high speed turbine. Dentika Dental Journal;
13:1. pp: 90-92.
17. Fruhauf J, Weinke R, Pilger U. 2005. Soft tissue cervifacial emphysema after
dental treatment. Arch Derm; 141. pp: 1437-40.
18. Mather AJ, Stoykewyeh AA, Curan JB. 2006. Cervicofacial adan mediastinal
emphysema complicating a dental procedure. J Can Dent Assoc; 6. pp:565-8.
19. Pedlar J, Frame Jw. 2001. Oral and maxillofacial surgery in surgical
endodontics. WB Saunders. pp: 81-5
2o. Pogrel, MA. 1990. Complications of third molar surgery. Oral and maxillofacial
surgery clinics of North America.
21. Zwerner T, Fehrenbach MJ, Emmons M, Tiedemann MA. 2004. Mosby’s Dental
Dictionary. India: Elsevier.
22. Soemartono. 2003. Penggunaan mouth gage sederhana untuk perawatan trismus
pasca pencabutan gigi. Majalah Kedokteran Gigi; Edisi Khusus Temu Ilmiah
Nasional III:323.
23. Asmordjo, Muchlis. 1992.. Hubungan antara pembengkakan pipi dengan trismus
pasca odontektomi impaksi gigi molar ketiga. Semarang: Kumpulan Makalah ilmiah
Kongres PDGI XVIII; h. 521.