You are on page 1of 7

Kontroversi Koloid vs Kristaloid: Beberapa informasi tambahan

Pendahuluan
Pemilihan koloid vs kristaloid untuk resusitasi volume telah lama menjadi bahan perdebatan di
kalangan praktisi rawat kritis, disebabkan kedua bentuk terapi memiliki data-data pendukung.
Pada tahun 1998, British Medical Journal mempublikasi suatu meta-analisis pemakaian albumin
pada pasien-pasien sakit kritis; 30 uji klinik acak dg kontrol (RCT) yang melibatkan 1419 pasien
dianalisis. Kesimpulannya adalah sebenarnya albumin meningkatkan mortalitas (Timothy
Evans,MD) Tinjauan ini berdampak terhadap praktik kedokteran, mempengaruhi klinisi
mengurangi penggunaan albumin, tetapi kemudian dikritik karena tinjauan-tinjauan berikutnya
tidak bisa menjelaskan kesimpulan para penulis[2]. Belum lama berselang, kajian SAFE (Saline
versus Albumin Evaluation) telah membuka wacana baru tentang isu ini. Dengan tersedianya
berbagai koloid dengan sifat fisikokimia yang berbeda, kontroversi koloid vs koloid menjadi isu
tambahan.

Kontroversi di masa lalu

Berikut adalah ringkasan keunggulan dan kekurangan koloid maupun kristaloid

Koloid

Keunggulan Kekurangan
1. Ekspansi volume Plasma tanpa
disertai ekspansi volume 1. Anafilaksis
interstisial
2. Ekspansi volume lebih besar
dibandingkan volume sama 2. Mahal
kristaloid
3. Albumim nisa memperburuk depresi miokard pada pasien
3. Masa kerja lebih panjang syok, karena berikatan dengan Ca++, yang pada gilirannya
menurunkan ion kalsium
4. Oksigenasi jaringan lebih baik 4. kemungkinan koagulopati dan mengganggu uji silang
golongan darah
5. Gradien alveolar-arterial O2
 
lebih kecil

Kristaloid

Keunggulan Kekurangan
1. Tersedia di mana-mana 1. Efek volume lebih lemah dan singkat dibandingkan koloid
2. Komposisi menyerupai Plasma 2. Oksigenasi jaringan tidak sebaik koloid karena jarang
(acetated ringer, lactated ringer) antara pembuluh darah dan jaringan lebih besar
3. Mudah disimpan pada suhu
 
kamar
4. Bebas reaksi anafilaksis  
5. Ekonomis  

Walaupun edema interstisial merupakan komplikasi yang lebih potensial setelah resusitasi
dengan kristaloid, SAMPAI SEKARANG tidak ada bukti fisiologis, klinis dan radiologis bahwa
koloid lebih baik daripada kristaloid dalam penyulit edema paru.

Keunggulan teoritis dari albumin telah disebutkan, termasuk:

 Sifat-sifat anti-radang dan antioksidan


 Mengurangi permeabilitas paru pada pasien ALI dan ARDS(adult respiratory distress
syndrome).

Albumin berfungsi sebagai plasma expander hiperonkotik dan bila digabung dengan furosemid,
bisa memperkuat perpindahan cairan. Pada studi yang tidak dipublikasi terhadap 24 pasien
sepsis, bolus 200 ml albumin 20% secara bermakna meningkatkan cardiac index dalam 1 menit.
Namun peningkatan ini tidak menetap, melainkan turun secara progresif dalam 30 menit
berikutnya (Dr Soni). Efek-efek yang sama terlihat dengan perubahan tekanan arteri pulmonalis
dan pO2. Pada suatu telaah lain dari 37 pasien ALI, furosemid dan albumin yang diberikan
sekaligus, menghasilkan penurunan berat badan dan meningkatkan rasio pO2/FIO2.[10] Namun
tidak diamati perbedaan dalam mortalitas.

Ekspansi Volume pada Pasien ALI (Acute Lung Injury)

ALI merupakan komplikasi lazim setelah kehilangan darah atau sepsis, sebagaimana dicatat oleh
Arthur Slutsky, MD. ALI berhubungan dengan peningkatan produksi sitokin peradangan dan
pelepasan radikal bebas oksigen. Sepsis berat dan kehilangan darah massif bisa menyebabkan
hipotensi dan pasien membutuhkan intubasi endo-trakea, namun tidak jelas cairan apa yang
optimal untuk resusitasi volume pada pasien ALI. Kristaloid bocor ke ruang ekstravaskuler. Di
samping mencegah kebocoran ke rongga ketiga, albumin memiliki efek anti-radang dan anti-
radikal bebas.

Manfaat albumin yang terlihat pada model syok hemoragik tidak terlihat pada model syok
endotoksik. Tampaknya resusitasi dengan albumin memiliki peran penting mengurangi ALI yang
diinduksi oleh ventilator setelah syok hemoragik, namun tidak setelah syok endotoksik.

Pada suatu RCT prospektif,tersamar ganda dan terkontrol plasebo oleh Martin dkk, efek-efek
albumin dan furosemide dinilai pada 37 pasien ALI dg ventilasi mekanik yang hipo-proteinemik
(kadar protein total serum < 5 g/dl). Pasien diberikan 25 g albumin setiap 8 jam dengan
furosemide kontinyu atau plasebo. Tidak ada perbedaan mortalitas antara kedua kelompok, tetapi
ada perbedaan bermakna dalam parameter-parameter imbang cairan, oksigenasi dan
hemodinamik pada kelompok albumin/ furosemide.

Data kolektif memberi kesan bahwa albumin mungkin bermanfaat pada ALI yang diinduksi
ventilator setelah model syok hemoragik dan pada pasien ALI dg hipoproteinemia. RCT yang
lebih besar dibutuhkan untuk konfirmasi.

Kajian SAFE

Dalam suatu meta-analisis baru-baru ini, terlihat peningkatan mortalitas 6% pada pasien yang
diberi albumin. Temuan ini menimbulkan perdebatan hebat yang akhirnya menuntun ke
pembuatan desain dan implementasi SAFE study, yang disajikan oleh Simon Finfer,MD.[4] Uji
acak tersamar ganda ini merekrut 7000 pasien dari 16 ICU di Australia dan Selandia Baru selama
kurun waktu 18 bulan. Pasien diacak mendapat albumin 4% atau normal saline sejak saat masuk
ICU sampai meninggal atau pulang. Dalam 4 hari pertama, rasio albumin: saline adalah 1:1,4
yang berarti bahwa volume (koloid vs kristaloid) tidak berbeda bermakna. Tidak ada perbedaan
antara kedua kelompok dalam mortalitas 28 hari oleh semua sebab. MAP, tekanan vena sentral,
denyut jantung dan insiden gagal organ baru juga serupa pada kedua kelompok.

Pada analisis sub-kelompok diamati perbedaan antara pasien trauma dan sepsis. RR (relative
risk) kematian pada pasien dengan sepsis berat yang menerima albumin vs saline adalah 0,87.
RR kematian pada pasien yang mendapat albumin tanpa sepsis berat adalah 1,05 (P=.059). Hasil
ini berlawanan pada pasien trauma. Angka kematian pada pasien trauma lebih tinggi bila
albumin vs saline digunakan untuk resusitasi volume (13,5% vs 10%, P =.055) Bila pasien
dengan Traumatic brain injury (TBI) dikaji secara terpisah, angka kematian adalah 24,6% pada
pasien yang mendapat albumin, dibandingkan 15% pada pasien saline (RR 1,62, 95% confidence
interval, -1,12 sampai 2,34, P=0,009). Lebih dari itu, bila pasien TBI dikeluarkan, tidak ada
perbedaan angka kematian pada pasien-pasien trauma.

Berdasarkan hasil-hasil ini, pemberian albumin tampaknya aman selama 28 hari pada populasi
pasien sakit kritis yang heterogen dan mungkin bermanfaat pada pasien sepsis berat. Akan tetapi,
keamanan pemberian albumin belum jelas pada pasien trauma, termasuk traumatic brain
injury(TBI). Walaupun diamati perbedaan mortalitas pada trauma dan TBI pada analisis sub-
kelompok, dan dianggap memiliki validitas terbatas, ini merupakan signal kuat khususnya pada
pasien TBI. Suatu kajian baru SAFE Brains sudah dirancang untuk memeriksa perbedaan-
perbedaan ini.

Ekspansi Volume pada Pasien Hipoalbuminemia

Studi SOAP (Sepsis Occurence in Acutely Ill Patients) mencatat variasi bermakna dalam jumlah
albumin yang diberikan pada beberapa ICU di Eropa, menurut Louis Vincent,MD.[16]
Lebih dari itu, pasien-pasien yang mendapat albumin memiliki angka kematian lebih tinggi, yang
bisa dijelaskan oleh fakta bahwa penyakit mereka lebih berat ketika memulai pengobatan.
Alasan-alasan yang mungkin untuk keparahan penyakit lebih besar meliputi kelebihan beban
cairan, kontraktilitas miokard yang berubah, perburukan edema, gangguan ekskresi natrium dan
air, serta respons imun yang berubah.

Walaupun albumin mahal, manfaatnya harus diperiksa pada pasien hipoalbuminemia. Biasanya
diajarkan bahwa resusitasi dengan kristaloid menyebabkan pembentukan edema pada pasien
sepsis dan kemudian mengganggu pertukaran gas, penyem-buhan jaringan, fungsi usus dan
penyembuhan kulit, serta memacu pembentukan ulkus dekubitus. Koloid bisa mencapai tujuan
resusitasi yang sama seperti kristaloid dengan volume yang dibutuhkan lebih sedikit. Koloid
sintetik tidak semahal albumin manusia tetapi memiliki efek-efek yang lebih merugikan seperti
koagulopati dan gagal ginjal.

Pasien sakit kritis lazim mengalami hipoalbuminemia yang sekunder terhadap peradangan,
disfungsi hati, malnutrisi, kebocoran kapiler dam produksi reaktan fase akut. Hipo-albuminemia
merupakan masalah klinis yang penting karena terkait dengan anergi, diare, masa rawat ICU
lebih lama dan mortalitas lebih tinggi. Pada suatu meta-analisis dari 90 kajian cohort yang
melibatkan 291433 pasien, disimpulkan bahwa hipoalbuminemia diikuti dengan prognosis jelek,
sehingga albumin sebaiknya digunakan bila ada indikasi klinis.[17] Pada meta-analisis yang
sama, juga ditinjau 9 kajian prospektif dengan kontrol terhadap 535 pasien. Pada kajian-kajian
ini hipoalbuminemia dikoreksi dan ada kesan bahwa angka komplikasi bisa diturunkan bila kadar
albumin serum dipertahankan di atas 30 g/L selama pemberian albumin.

Efek berbagai koloid dan larutan hipertonik pada mikrosirkulasi

Perubahan-perubahan permeabilitas kapiler bisa mengubah volume plasma dan mempengaruhi


derajat edema. Kinetika kristaloid dan koloid yang dibahas sebelumnya mengacu pada pembuluh
darah yang utuh. Pada penyakit-penyakit dengan permeabilitas kapiler yang meningkat, terapi
cairan yang adekuat sangat penting untuk mencegah hipovolemia. Mekanisme perbedaan-
perbedaan dalam efektivitas berbagai plasma expander untuk memulihkan volume plasma yang
rendah dan gangguan mikrosirkulasi masih belum dipahami dengan jelas. Hollbeck Staffan dari
Lund University Hospital melakukan eksperimen pada tahun 2001 yang menganalisis koloid dan
plasma expander hipertonik, mengenai efek-efek cairan-cairan tersebut terhadap pertukaran
cairan transvaskular dan permeabilitas otot rangka selama dan setelah pemberian infus. Di
samping itu, efek terhadap permeabilitas dianalisis pada otot rangka menyusul infus endotoksin.
Pengukuran koefisien filtrasi kapiler memperlihatkan bahwa permeabilitas cairan dikurangi oleh
albumin dan dextran, tidak berubah dengan HES (hetastarch) dan bertambah dengan gelatin.
Pengukuran terhadap koefisien refleksi untuk albumin memperlihatkan dextran, gelatin dan HES
tidak mempengaruhi permeabilitas kapiler terhadap albumin. NaCl hipertonik meningkatkan
permeabilitas cairan, sedangkan manitol dan urea tidak. Volume otot berkurang 20% albumin;
tidak berubah dengan 6% dextran 70 dan 6% HES 200/0.5, serta meningkat dengan 3.5% gelatin.
Gelatin dan HES, (tetapi tidak dextran dan albumin) menginduksi rebound filtration. Ini
menunjukkan akumulasi molekul gelatin dan HES di interstisial. NaCl hipertonik memiliki
kapasitas osmotik lebih kuat dibandingkan manitol dan urea. Mannitol dan urea (tetapi tidak
NaCl hipertonik) memperlihatkan rebound filtration yang menunjukkan akumulasi manitol dan
urea di dalam intraselular. Selama endotoksemia, baik permea-bilitas cairan dan albumin
meningkat pada otot rangka, dan hipovolemia terlihat mencolok. Tidak ada perbedaan terlihat
antara albumin, dextran, dan hydroxyethyl starch dalam efekti-vitasnya memulihkan perfusi usus
selama endotoksemia.

Pengaruh Berbagai Koloid Terhadap Fungsi Ginjal


Semua koloid, termasuk albumin manusia hiperonkotik (HA 20% atau 25%) dapat meng-induksi
gagal ginjal akut (ARF) dengan cara meningkatkan tekanan osmotik koloid plasma. Kondisi ini
sudah diberi nama ”hyperoncotic ARF” Pasien dehidrasi yang mendapat koloid hiperonkotik
dalam jumlah bermakna tanpa penambahan kristaloid sangat rentan untuk mengalami
hyperoncotic ARF.

Suatu kajian pada pasien non-bedah dan non-ICU, efek renal dari albumin 20% dibandingkan
dengan dextran 70 dan poligeline pada pasien sirosis yang menjalani parasentesis. Enam hari
setelah parasentesis, kadar kreatinin serum tidak berubah pada kelompok albumin dan sedikit
meninggi pada kelompok dextran (kenaikan rata-rata 0,06 mg/dl) dan kelompok gelatin
(kenaikan rata-rata 0,11 mg/dl), Namun perbedaan antara kelompok tidak bermakna statistik.
Beberapa kajian histologis telah memperlihatkan pem-bengkakan sel tubulus ginjal setelah
pemberian beberapa sediaan HES, yang kemungkinan disebabkan re-absorpsi makromolekul.
Pembengkakan sel tubulus menyebabkan obstruksi tubulus dan iskemia medula. Pada pasien
dengan kreatinin serum > 2-3 mg/dl HES harus digunakan dengan hati-hati. HES generasi ketiga
(BM 130 kd; DS 0,4) memiliki profil berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Namun,
walaupun ada publikasi bahwa HES 130 tidak memperburuk fungsi ginjal, tidak ditemukan
kajian prospektif besar dan terkontrol pada pasien sakit kritis

You might also like