Professional Documents
Culture Documents
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
Kota tengah menjelang ajalnya. Terkadang kota menjadi hilang begitu saja dalam
perjalanan selama abad XX. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan
perluasannya secara horisonal, banyak yang berusaha untuk menyelamatkan kota,
melahirkan kembali kota, mempertahankan jatidirinya, memulihkan rasa identitas wilayah
perkotaan dan tatanan peradaban. Namun dorongan yang menuju ke arah hilangnya
kota tidak dapat dihindarkan, atau sedikit-banyak diulangi. Apa yang tersisa ialah
kenangan; kota telah menjadi semacam metafora. Penulis akan merujuk pada kondisi
yang tersisa ini dengan sebutan “perkotaan (urban).”
Secara historis kota belum pernah, tentu saja, merujuk pada satu jenis saja.
Tanpa usaha untuk melacak kembali evolusi (perubahan) dari proto-cities Meso-Amerika,
Timur Tengah, dan Asia, kita tetap akan memahami bahwa pusat-pusat perkotaan di
negara-negara Islam, pada masa prakolonial Afrika Barat, pada masa dinasti Tang, Eropa
abad pertengahan, dan masa kolonial Amerika sangatlah berbeda satu sama lain dalam
sejumlah dimensi yang dipengaruhi oleh: arsitektur bentuk bangun, struktur administrasi
politik, hubungan sosial, makna budaya, dan ekonomi. Namun, masih saja karena
mereka adalah kota dan oleh sebab itu dengan kepadatan dan bentuk fisiknya
menciptakan hunian manusia, kota tetap ada di tengah-tengah daerah pedesaan/pelosok
yang mengelilinginya serta terus berusaha untuk mempertahankan diri melalui kegiatan
perdagangan dan industri/manufaktur. Hal ini, setidaknya, adalah ciri umum yang dimiliki
oleh kota, yang menyamakannya dengan kota lain.
Wacana akademis tentang kota menggambarkan beragamnya bentuk dan
karakteristik kota. Lewis Mumford (1938) dan Carl E. Schorske (1980) menulis tentang
budaya kota; Georg Simmel (1969) dan Richard Sennett (1990) membahas tentang
hubungan sosial; Hannah Arendt (1958) menginginkan untuk membangkitkan kembali
polis Yunani dalam nuansa politik; Spiro Kostof (1992) begitu bersemangat
mengumpulkan gambar-gambar tentang “bangunan kota”; dan sejarawan seperti
Fernand Braudel (1992) meneliti kota dari sudut pandang hubungan ekonomi. Namun
tidak berbeda dari senyuman kucing Cheshire, kota historis secara perlahan hilang,
daerah perkotaan muncul di tempat tersebut, dan wacana ekonomi menjadi dominan.
Apa yang terkadang masih kita katakan sebagai kota – dan bagaimana, dalam banyak
Halaman | 1
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
tempat di dunia, kota dapat berkembang lebih dari ratusan atau bahkan ribuan kilometer
persegi, perumahan dengan penghuni ratusan jiwa – sekarang ini tampak hampir
eksklusif dari sudut pandang akumulasi modal dan kegiatan mencari nafkah manusia.
Kota sekarang telah menjadi, dalam bahasa ahli statistik, sebuah aglomerasi tanpa
batasan yang jelas.
Bersamaan dengan terjadinya transformasi dramatis ini, perspektif mengenai
wilayah perkotaan menjadi bersifat global. Selama masih ada kota, perbedaan antara
satu kota dan kota lainnya tampak menjadi penting kedudukannya, dan ekonominya
hanya sebatas salah satu ciri khas diantara cirikhas yang lain. Namun dengan
menguatnya imajinasi tentang wilayah perkotaan, perbedaan-perbedaan yang ada
semakin terabaikan. Pakar statistik, ekonom, pakar geografi, sosiolog, dan perencana
semuanya menuju ke akar permasalahan yang melingkupi perkotaan, beberapa diantara
pakar tersebut menitikberatkan masalah kemiskinan, ada pula yang membahas tentang
dampak pertumbuhan pendidik terhadap lingkungan hayati, dan ada pula kelompok
pakar yang menekankan pada berbagai bagian dari pesatnya aglomerasi perkotaan satu
sama lain melalui infrastruktur. Namun, pada simpulannya, semua topik tersebut di atas
menyatu ke dalam satu narasi induk: persaingan yang ketat antar semua pusat
perkotaan untuk memenangkan pasar global. Seperti yang kita ketahui, akan terdapat
kelompok pemenang dan kelompok pecundang di dalam permainan ini.
Perpindahan abad: Masa depan wilayah perkotaan
Memasuki akhir abad XX, United Nations Centre for Human Settlements
menyelenggarakan sebuah konferensi dunia, yang biasanya disebut sebagai Habitat II, di
kota Istanbul. Konferensi ini dihadiri oleh organisasi internasional, pemerintah, otoritas
lokal, sektor swasta, dan organisasi nonpemerintah (NGO) dengan tujuan untuk
membahas pernyataan Sekjen PBB Boutros-Boutros Ghali, yakni “masalah bersama
wilayah perkotaan dan tugas pembangunan yang harus dijalankan secara bersama dalam
bentuk kerjasama” (Ghali 1996). Peristiwa besar ini menghasilkan sebuah kepentingan
yang besar pula dan, pada gilirannya, menjadi tonggak diselenggarakannya sejumlah
konferensi yang membahas tentang masa depan wilayah pertanyaan.
Konferensi yang disponsori oleh pemerintah Prancis ini pertama kali
diselenggarakan di La Rochelle yang terletak di wilayah pantai Atlantik dengan judul
“Cities in the 21st Century: Cities and Metropolises: Breaking or Bridging?” (Kota pada
abad XXI: Kota dan Metropolis: akankah kota menjadi hilang atau semakin tumbuh
berkembang?). Pertanyaannya ialah apakah kota pada abad yang baru akan menjadi
hilang tanpa arah dengan pola-pola yang telah diterka sebelumnya melalui evolusi.
Halaman | 2
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
Ideologi Jerman
Halaman | 3
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
2. Semua manusia di dalam semua kota di dunia memiliki aspirasi yang sama
Apa yang semua orang inginkan, memberikan keyakinan kepada penyusun laporan,
sama dengan kehidupan yang baik yang dinikmati oleh penduduk kelas menengah
Jerman: “Untuk dapat memiliki rumah yang harganya terjangkau, untuk mendapatkan
rumah yang layak huni dan menjadi tempat untuk memperoleh penghasilan, untuk
mendapatkan fasilitas air bersih, sanitasi modern dan pelayanan kesehatan yang
terjangkau, untuk menyekolahkan anak ke sekolah yang bermutu, dan lingkungan yang
berbudaya, untuk merasakan bahwa mereka adalah stakeholders yang sebenarnya di
Halaman | 4
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
dalam kota mereka sendiri” (empirica 2000, 1). Adapun masalah utama yang terkait
dengan citra aspirasi yang homogen ini ialah bahwa karakteristik yang muncul
memberitahu kita tentang prioritas-prioritas yang relatif. Namun demikian, dalam politik
riilnya, baik itu umum maupun spesifik, misalnya, memiliki hubungan dengan prirotas
yang harus diberi lampu hijau dan dijadikan tolok ukur. Dari sini kita ketahui mengapa
ide tentang aspirasi bersama itu dikedepankan? Karena model ekonomi yang melandasi
laporan ini adalah “tahap-tahap pertumbuhan” yang dikemukakan oleh W. W. Rostow
(1961) dengan thesisnya yang terkenal mengenai “tinggal landas” menuju pertumbuhan
ekonomi kumulatif yang berkelanjutan.
3. Tatakelola yang baik harus menjadi instrumen bagi perbaikan sasaran bersama
pembangunan berkelanjutan
Dengan proposisi ini, argumen bergesar secara perlahan menuju mantra yang lebih
mutakhir tentang pembangunan “berkelanjutan” yang mengakui bahwa pertumbuhan
ekonomi terkadang melekat atau menyatu di dalam lingkungan hayati, dan bahwa,
menurut sejumlah Cassandra, akan terjadi batas yang lebih nyata dari pertumbuhan.
Namun sasaran inti dari “keberlanjutan” di sini pertama-tama ialah sasaran komunal,
yang tidak merlukan respon-respon yang spesifik dari modal global, manakala terjadi
pergesaran tanggung jawab (namun dengan sedikit sumber daya) menuju pemerintahan
lokal. Dengan memastikan bahwa apapun pertumbuhan yang terjadi dalam wilayah
perkotaan adalah berkelanjutan secara lingkungan adalah sesuatu yang dapat disebut
sebagai “tatakelola yang baik”. Pada kenyataannya, tatakelola yang baik memiliki
hubungan yang erat dengan keberlanjutan. Laporan ini hanya menawarkan pabulum.
Neil Brenner, seorang pakar ilmu politik, memberikan komentar mengenai laporan draft
yang disusun: bahwa perbedaan sosiopolitik dan kepentingan yang mewarnai setiap
usaha untuk mengelola sebuah kota hanya akan kita ketahui pada saat situasi
generik/umum seperti “pekerjaan dan kesejahteraan” “memberdayakan warga” dan
“ekosistem yang stabil” dikonkretkan dengan referensi untuk kondisi sisoekonomi,
institusi politik, dorongan sosial, dan gerakan sosial. Jika hal ini telah tercapai, maka
akan menjadi jelas kiranya bahwa pertukaran besar-besaran terjadi dengan cara yang
hampir menyerupai kebijakan wilayah perkotaan. (Brenner, 2000, 2).
4. Apa yang diperlukan untuk mencapai perkembangan kota yang berkelanjutan ialah
tindakan politik lokal yang pasti bekerjasama dengan civil society
Civil society dikatakan sebagai sebuah partner baru di dalam tatakelola yang baik.
Namun, apakah sebenarnya civil society itu? Dan apakah civil society ada di seluruh
dunia atau hanya di beberapa tempat saja? Dan di manapun civil society itu berada,
apakah ia dipersiapkan untuk bekerjasama dengan pemerintah lokal? Dan atas dasar
agenda siapakah kerjasama itu?
Halaman | 5
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
Beberapa penulis dari berbagai latar belakang telah mengemukakan, bahwa civil society
yang otonom dapat memberikan kelebihan maupun kerugian: civil society yang otonom
tak ubahnya klub ikebana atau mafia. Tidak satupun dari kelompok sosial ini yang khusus
tertarik atau berkepentingan terhadap kerjasama dengan pemerintah; mereka
memperjuangkan kepentingan sendiri secara terpisah. Atau barangkali pula referensinya
lebih merujuk pada NGO, CBO, dan QUANGO, dan sebagainya, yang lebih kental
nuansanya dengan masalah kemiskinan, pengembangan masyarakat, dan disfungsi sosial
baik pada negara kaya maupun negara miskin. Sebagai contoh, di negara seperti Cina,
konsep tentang civil society secara umum belum diketahui. Dan pada saat muncul ide
tentang kerjasama yang harmonis dengn pemerintah, bilamana itu memang nyata, maka
politik sehari-hari dari sektor-sektor warga yang tidak diberdayakan sering menjadi
oposisi. Dalam pernyataan Tocqueville (1966; 1848), civil society yang baik adalah
masyarakat yang dapat dipercaya.
Di sini muncul prediksi yang berani: Ekonomi wilayah perkotaan dalam jaringan global
akan berpindah dari manufaktur menuju jasa. Perubahan ini akan menyebabkan
emansipasi kota dari basis sumber daya tradisional dan, mengulangi pernyataan dari
Bank Dunia, menempatkan kota ke dalam posisi ujung tombak. Sehingga di manakah
manufaktur akan dijalankan demi memenuhi aspirasi “seluruh warga” (proposisi 2)?
Jawabannya ialah barangkali jauh di sana di daerah pelosok tempat beradanya pekerja
perempuan yang sangat banyak dapat dimanfaatkan untuk menjalankan industri.
6. Kota abad XXI dapat menimba pengalaman dari kota-kota yang telah berhasil
mengatur perkembangannya pada akhir abad XX
7. Untuk benar-benar berhasil, kota abad XXI akan memerlukan otonomi yang lebih
luas. Setelah sekian lama dunia menganut norma pemerintahan terpusat, saat ini
muncul balance of power (perimbangan kekuasaan) baru.
Halaman | 6
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
Proposisi ini adalah sebentuk tuntutan untuk restrukturisasi national state menuju arah
virtual city-states pada masa depan. Muncul tren di sepanjang grasi ini, dan laporan
mencantumkannya, dengan argumen kebijakan yang lebih proaktif, tentang banyak kota
di seluruh dunia yang dikendalikan oleh pemerintah nasional, mulai dari sumber daya
anggaran. Akan tetapi, hal inilah salah satu hal yang menjadi tolok ukur restrukturisasi di
Republik Federasi jerman, yang memiliki tradisi panjang otonomi pemerintahan kota.
Menurut Brenner (2000, 4), proposisi 7 ini memuat agenda politik yang lebih mendalam
tentang laporan yang dissun, yang bertujuan mempromosikan sebuah bentuk baru
rezim politik nasional di mana persaingan yang ketat antar-pemerintah kota untuk
mendapatkan modal investasi mengalami institusionalisasi.
Model 1: City-Marketing
Kerangka waktu (time frame) berupa kota pusat (core city) yang terpisah dari daerah
pinggiran kota atau daerah pelosok yang terletak di sekelilingnya. Time frame di sini
biasanya memiliki keuntungan politik jangka pendek. Lingkup model 1 berada pada
ekonomi yang paling sempit, dan masalah-masalah lain, seperti sosial dan lingkungan,
cenderung dikorbankan untuk memenuhi keuntungan jangka pendek. Impuls pokok dari
model pengembangan ini diasumsikan terdapat di luar kendali kota dan, seperti yang
dapat kita temui di wilayah Pasifik Selatan, bersifat eksogen. Basis kekuasaan
pengembangan wilayah kota pada Model 1 memiliki lingkup yang tidak terlalu luas, yang
Halaman | 7
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
terdiri atas kepentingan bisnis lokal yang bergerak bersama-sama dengan pemerintah
kota dan modal transnasional. Kepentingan-kepentingan lain diabaikan secara efektif
atau kalau tidak dinyatakan secara simbolik. Pemasaran-kota (city-marketing) adalah
sebuah model payoff materiil jangka-pendek bagi beberapa aspek dan kerusakan jangka
panjang bagi sebagian besar aspek. Dari sini diperoleh kesimpulan bahwa prospek bagi
pembangunan/perkembangan yang berkesinambungan adalah hal yang buruk karena,
menurut definisinya, keberlanjutan memiliki hubungan dengan langue dureé.
Perbandingan istilah ini telah memiliki akar sejarah yang lama dan kuat. Proseduralis
demokratis mempercayai proses, sebagian karena mereka mengasumsikan bahwa
perbedaan antar-partai yang bersaing relatif kecil, dan karena mayoritas saat ini akan
menjadi minoritas pada masa yang akan datang, dan begitu pula sebaliknya. Dalam
jangka panjang setiap orang akan mendapatkan giliran. Bertentangan dengan pendapat
ini ialah idealis penganut Emmanuel Kant yang mengedepankan maksud baik untuk
mencapai kebaikan. Adapun posisi ketiga ialah mereka yang terdorong untuk
menunjukkan kebenaran posisi etis mereka bahwa mereka tidak memiliki kesabaran
dengan prosedur demkratis, sehingga lebih mengedepankan hasilnya dibandingkan
prosesnya.
Kota yang baik memerlukan bentuk praktek yang berkomitmen. Adalah Hannah Arendt
yang membentuk konsep penulis mengenai tindakan dan praksis politik (ia
menggunakan dua istilah ini secara bergantian). Di dalam konsep tersebut dijelaskan
pula kondisi tertentu untuk menjalankan tindakan. Kelompok pengkonsep ini pertama-
tama dikemukakan dan dimobilisasikan. Di baliknya muncul kepemimpinan. Kelompok
ini harus pula memiliki kemampuan materiil, simbolis, dan kekuatan moral untuk
menghadapi resistensi terhadap proyek yang diajukannya.
Halaman | 8
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
Karena adanya referensi untuk institusi politik, maka potensi perkembangan manusia
hanya dapat direalisasikan dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Sehingga sejak
awal, kita memposisikan manusia, bukan sebagai Leibnizian monads, namun sebagai
beings-in-relation, sebagai umat manusia/makhluk yang esensial. Ruang sosial
melahirkan sejumlah persyaratan sendiri, dan hal tersebut dapat menghasilkan batasan
bagi tindakan. Meskipun dalam kedudukan sebagai individu, kita bertanggung jawab
mutlak terhadap segala sesuatu yang kita lakukan, kita selalu terbatas oleh (1) hubungan
sosial dengan keluarga, teman, rekan kerja, dan tetangga, pendeknya, oleh etika
kewajiban bersama kultural dan (2) ruang sosiopolitik yang lebih luas di dalam hidup
melalui cara yang bermacam-macam dapat menghambat perkembangan manusia.
Secara ringkas dapat kita katakan bahwa manusia tidak sekedar menggunakan kota
untuk mengemukakan kepentingan pribadi – beberapa orang akan melakukannya untuk
menjadi lebih sukses ketimbang orang lain – namun untuk memberikan kontribusi
sebagai anggota-warga masyarakat politik sehingga menciptakan kondisi sosial – politik,
ekonomi,sosial, dan ekologi – yang esensial bagi perkembangan manusia.
Perkembangan manusia berperan sebagai ajang untuk menilai kinerja kota. Namun
untuk dapat membantu kita secara menyeluruh, telaah yang cermat tentang batasan di
mana sebuah kota menjalankan peran bagi penciptaan perkembangan manusia,
diperlukan bimbingan lebih lanjut. Multipli/city, atau dapat juga diartikan sebagai
kehidupan warga yang otonom secara substansial terbebas dari bimbingan langsung dan
kontrol dari pemerintah. Multipli/city mengakui prioritas civil society, yang merupakan
ruang bagi kebebasan dan reproduksi sosial. Ekonom politik dapat saja tidak sependapat
dengan aturan ini. Mereka cenderung mendeskripsikan kota dalam istilah akumulasi
modal, pertukaran pasar, kontrol adminsitrasi, dan sebagainya, dan penduduk wilayah
kota dalam arti pencantuman atau pelibatan ke dalam pasar pekerja dan kelas-kelas
sosial. Dalam aspek politik, civil society memuat masyarakat politik yang terdapat di
Halaman | 9
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
dalam kota. Akan tetapi sebenarnya terdapat aspek-aspek lain yang sangat ditegaskan di
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya aspek keagamaan, sosial, budaya, dan kehidupan
sosial, yang kesemuanya dapat dihimpun berdasarkan konsep civil society yang mampu
mengatur diri sendiri.
Sepanjang sejarah, penduduk kota telah mengalami pertumbuhan melalui migrasi, dan
migran datang dari banyak tempat. Beberapa diantaranya tidak berbicara bahasa yang
dominan di kota tersebut; sedangkan kelompok penduduk yang lain memiliki agama
yang berbeda; masih ada pula kelompok penduduk lain yang merasa asing berada di
kota tersebut. Mereka datang ke kota untuk memenuhi janji untuk menjadi lebih bebas,
memenuhi hidup, dan juga mungkin, untuk keamanan, melarikan diri dari bahaya fisik.
Mereka tidak datang ke kota untuk membentuk sebuah rezim, untuk melebur
berdasarkan sebuah konsep tunggal tentang hidup yang benar. Mereka juga tidak
berusaha mencari dan menciptakan keragaman. Mereka hanya tidak ingin terganggu
haknya, sehingga keragaman yang muncul hanyalah sebuah produk-sampingan dari
“proyek bagian dari proyek”.
Jika proses sama pentingnya dengan hasil, maka kita akan perlu mempertimbangkan
proses-proses tatakelola di dalam kota yang baik. Tatakelola berhubungan dengan
berbagai cara yang digunakan untuk menghimpun/mengikat keputusan-keputusan yang
menjadi dasar pembentukan kota dan wilayah-kota. Tatakelola yang baik adalah sebuah
konsep yang barangkali sifatnya lebih inklusif dibandingkan pemerintahan dan
administrasi pada umumnya dan menggambarkan fakta bahwa semakin hari semakin
luas pula jangkauan partisipan did alam proses yang berlangsung yang telah sekian lama
menjadi pokok permasalahan.
2. Akuntabilitas publik: (1) pemilihan periodik perwakilan politik dan (2) hak warga
untuk mendapatkan informasi yang sama tentang siapa yang ikut di dalam
pemilihan umum, tingkat kinerja pemerintah, dan keseluruhan hasil bagi kota.
Halaman | 10
©TiyoWidodo 2010
http://www.setiyowidodo.blogspot.com/
4. Sifat inklusif. Hak semua warga untuk terlibat langsung di dalam perumusan
kebijakan, program, dan proyek kapanpun konsekuensi mereka dapat
diharapkan untuk berpengaruh signifikan bagi kehidupan dan penghidupan.
5. Daya respon. Hak primordial warga adalah mengklaim hak dan mengemukakan
amanat penderitaan; memiliki akses atas saluran-saluran yang tepat bagi
pencapaian tujuan; memiliki pemerintahan yang dapat diakses di dalam wilayah-
wilayah “kehidupan sehari-hari”; dan merespon secara tepat waktu, atentif, dan
tepat terhadap klaim dan amanat penderitaan mereka.
Halaman | 11