You are on page 1of 11

0

SEMINAR SEKOLAH PASCASARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR

NAMA : DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR

NOMOR POKOK : C261030051

PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN


LAUTAN

JUDUL PENELITIAN : RANCANGBANGUN HUKUM DAN


PELAKSANAANNYA DALAM PENGELOLAAN
PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DI PROVINSI
SULAWESI UTARA

KOMISI PEMBIMBING : 1. PROF. DR. IR. DIETRIECH G. BENGEN, DEA


2. PROF. DR. IR. ROKHMIN DAHURI, M.S
3. PROF. DR. DANIEL R. MONINTJA
4. DR. IR. VICTOR PH. NIKIJULUW, M.SC
5. PROF. DR. MARIA F. INDRATI, .SH, M.H.

KELOMPOK/BIDANG ILMU : ILMU-ILMU SOSIAL

HARI/TANGGAL : ……………………………………………..

WAKTU : ……………………………………………..

TEMPAT : RUANG AUDITORIUM B1, LT.1 SOSEK FAPERTA


KAMPUS IPB DARMAGA BOGOR
1

RANCANGBANGUN HUKUM DAN PELAKSANAANNYA DALAM PENGELOLAAN PULAU-


PULAU KECIL TERLUAR DI PROVINSI SULAWESI UTARA1
(Law Design and Implementation in Managing Small Islands of the Outer Provinces, North
Sulawesi)1

Denny B.A. Karwur2, Dietriech G. Bengen3, Rokhmin Dahuri4, Daniel R. Monintja5,


Victor Ph. Nikijuluw6 dan Maria F. Indrati7.

ABSTRACT
Small islands border region has a tremendous potential in supporting national development. The
determination of management policy is very important because of the strategic of border marine
resources existence. The islands in the border regions of the country are vulnerable to the
intervention of other countries and transnational crimes. The concept of development policy of
small islands in Indonesia must be planned and implemented in an integrated manner for the
development and welfare of the nation. The northern regions, i.e. the North Sulawesi Province,
that locates next to the Philippines is important for the integrity of the management of small
islands and border areas and of law enforcement in Indonesia. Target elements, elements and
strategies explain the determination of the nation borders between Indonesia and the
Philippines, in particular the Exclusive Economic Zone (EEZ) that overlaps each other, to optimize
the management of natural resources. Draft of Law of Small Islands State Border and the
provision of local government authority to carry out assistance duty of border management and
stating Small Islands in the border regions as state islands and given a special certificate.

Keywords: Coastal Law, Delimitation of EEZ of Indonesia, Certificate of State Island.

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) yang
berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak berdaulat di luar
wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat Indonesia dan diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas secara geografis berada
pada posisi silang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia dengan panjang pantai 95.181
km2 dan dengan wilayah laut seluas 5,8 juta km 2 serta terdiri dari sekitar 17.480 pulau, beserta
semua ekosistem laut tropis produktif yang terurai, disekeliling oleh pulau-pulau kecil. Wilayah

1
Makalah ini merupakan bagian dari Disertasi yang disampaikan pada Seminar Sekolah Pascasarjana IPB
2
Mahasiswa Program Doktor SPs IPB Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
3
Ketua Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
4
Anggota Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
5
Anggota Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
6
Anggota Komisi Pembimbing Direktur Usaha dan Investasi Departemen Kelautan dan Perikanan RI
7
Anggota Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
2

pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki keanekaragaman habitat yang sangat tinggi,
memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan yang sangat besar, yang
terdiri atas sumberdaya alam dapat pulih (renewable resouces), dan sumberdaya alam tidak
dapat pulih (non-renewable resouces). Ekosistem wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi
beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait dinamis dan produktif. Ekosistem utama yang
secara permanen ataupun secara berkala tertutup air dan terbentuk melalui proses alami antara
lain ekosistem terumbu karang (coral reef), ikan (fish), rumput laut (seaweed), padang lamun
(seagrass bads), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), hutan mangrove
(mangrove foresh), estuaria, laguna, delta dan pulau-pulau kecil.

1.2 Permasalahan
Pulau-pulau kecil memiliki potensi sangat besar dalam menunjang pembangunan
nasional sehingga penentuan kebijakan pemanfaatan karena keberadaan (eksistensi)
sumberdaya kelautan menjadi strategis. Oleh karena itu konsep kebijakan pembangunan pulau-
pulau kecil di Indonesia yang direncanakan, berdasarkan azas kelestarian alam dan
keberlanjutan lingkungan yang ada; sehingga penting untuk pengembangan berbagai aktivitas
pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil menjadi faktor pendukung pulau-pulau kecil
Indonesia secara berkelanjutan (Bengen 2006).

2 Metode

2.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud
di Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi yang dipilih untuk penelitian sangat menarik karena berbatasan
langsung dengan negara Filipina.

Gambar 1 Peta Batas Maritim Indonesia-Filipina / Pulau Miangas dan Marore


2.2 Rancangan Penelitian
Berpijak dari kerangka pemikiran bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terluar sangat
strategis sehingga penelitan tentang perbatasan negara serta pengelolaan pulau kecil dikaitkan
dengan kebijakan dan penegakan hukum, perlu diteliti dengan menganalisis potensi dan
permasalahannya yang mencakup aspek sumberdaya alam, sosial, ekonomi, budaya, hukum
dan kelembagaan termasuk pertahanan dan keamanan.
3

Berdasarkan hasil yang diharapkan maka akan ditemukan konsep tentang pengelolaan pulau-
pulau kecil di daerah perbatasan negara dan konsep peraturan perundang-undangan yang
khusus mengatur tentang perbatasan negara.

2.3 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)


Analisis kebijakan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk
pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Metode ini
menstrukturkan masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan pertimbangan-
pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. (Saaty 2003). Perumusan masalah
menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.

Tabel 1 Penetapan alternatif sasaran rancangbangun hukum dan pelaksanaannya


No SASARAN ALTERNATIF

1 Pilihan rancang bangun hukum dan Perundang-undangan


pelaksanaannya 1.1 Internasional
1.2 Nasional
1.3 Regional
1.4 Kearifan lokal, adat / tradisional
2 Pilihan pengelolaan pulau-pulau 2.1 Pola konservasi
kecil 2.2 Pola adat istiadat
2.3 Pola usaha
3 Pilihan target pengelolaan 3.1 Pasar lokal / nasional
sumberdaya 3.2 Swadaya masyarakat
3.3 Investasi
3.4. Swakelola
4 Pilihan kelembagaan 4.1 Pola konservasi
4.2 Pola pemberdayaan
4.3 Pola kemitraan
5 Pilihan hukum 5.1 Kebijakan nasional
5.2 Kebijakan regional
5.3 Kebijakan sektoral
5.4 Adat kebiasaan/tradisional

2.4. Metode Analisis SWOT


Analisa SWOT sebagai alat formulasi strategis, Analisa SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisa ini didasarkan pada logika
yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenggths) dan peluang (Opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses
pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,strategi,
dan kebijakan pemerintah dalam bidang hukum. Dengan demikian perencana strategis (strategic
planner) harus menganalisa faktor-faktor strategis pemerintah (kekuatan, kelemahan,peluang dan
ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang
paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT (Rangkuti, 1997).Kebijakan
pemerintah dan pemerintah daerah dalam menentukan strategi kebijakan pulau-pulau kecil terluar
di wilayah perbatasan negara. Berdasarkan analisa SWOT, dapat mengambil keputusan
penentuan Strategi Wilayah Negara di Zona Ekonomi Eksklusif khususnya antara negara
Indonesia dan Filipina.

2.5 Analisis Diaknosa dan Terapi Hukum


Pendekatan hukum menggunakan analisis: Diagnosis and Therapy Analisys of Law
(DTAL), secara kualitatif terhadap peraturan perundang-undangan nasional, regional dan adat
(tradisonal) termasuk hukum internasional yang diratifikasi.Data hukum yang diperoleh dalam
4

penelitian dianalisis dengan DTAL melalui pendekatan-pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan historis
(historical approach), (2) Pendekatan undang-undang (statue approach), (3) Pendekatan kasus
(case approach), (4) Pendekatan komparatif (Comparative approach) dan (5) Pendekatan
konseptual (conceptual approach).

3. KAJIAN PUSTAKA
3.1 Hukum Laut Indonesia
Kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) telah diakui sejak
Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 31 Desember 1985
melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on
the Law of the Sea 1982. Konvensi ini telah memberi pengakuan terhadap status Indonesia
sebagai suatu negara kepulauan, dengan menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona
maritim, dengan batas-batas maksimum yang ditetapkan sebagai berikut:
 Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara: 12 mil laut
 Zona tambahan dimana negara memiliki yuridiksi khusus: 24 mil laut
 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE): 200 mil laut, dan
 Landas kontinen: antara 200-350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dari isobath
(kedalaman) 2.500 meter.
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) Indonesia memiliki hak-hak
berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan sumberdaya. Sebagai negara kepulauan Indonesia
berhak untuk menetapkan perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal
kepulauannya dan perairan pedalaman pada perairan kepulauannya, dan pada zona maritim
harus diukur dari garis-garis pangkal atau garis dasar.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
pada tanggal 8 Agustus 1996, maka secara tegas telah menetapkan batas-batas terluar (outer
limit) kedaulatan dan yuridiksi Indonesia di laut, termasuk memberikan dasar dalam menetapkan
garis batas (boundary) dengan negara-negara tetangga yang berbatasan. Undang-undang
tersebut telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Indonesia sebagai
negara kepulauan, dalam arti laut mempunyai makna sebagai satu kesatuan wilayah, memiliki
dua aspek utama yaitu keamanan (security) dan kesejahteraan (prosperity), sehingga penetapan
batas-batas terluar wilayah sebagai yuridiksi negara di laut dengan negara-negara yang
bertetangga perlu dilaksanakan. Penetapan batas merupakan kepastian hukum yang dapat
menunjang berbagai kegiatan pembangunan nasional dibidang pertahanan keamanan,
perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan seperti: eksplorasi dan eksploitasi mineral-gas
dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk harta warisan muatan kapal tenggelam, dan lain
sebagainya. Penyempurnaan batas-batas wilayah dan yuridiksi negara di laut harus dapat
menunjukkan tegaknya wibawa Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat,
terwujudnya rasa aman, perekonomian dan teknologi yang maju untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu.

3.2 Pulau dan pulau-pulau kecil


Definisi pulau dalam pasal 121 UNCLOS, adalah daratan yang dibentuk secara alamiah
yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada air pasang. Sedangkan definisi
pulau sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 (Bab VIII
Pasal 121 ayat 1) bahwa: Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi
oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi. Sedangkan, pulau-pulau
kecil secara harafiah merupakan kumpulan pulau berukuran kecil yang secara fungsional saling
berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Interaksi ini menyebabkan pulau-pulau
5

kecil tersebut terpisah dari pulau induknya (mainland). Karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat
menonjol menurut Griffith dan Inniss (1992) serta Beller, 1990) adalah:
 terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler
 memiliki persediaan air tawar yang sangat terbatas, termasuk air tanah atau air
permukaan
 rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia
 memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, dan
 tidak memiliki daerah hinterland.

Pulau-pulau kecil (PPK) juga mempunyai peran yang sangat penting bagi manusia,
seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia, dan penyerap limbah (Dahuri
1998). Pulau-pulau kecil tersebut juga memberikan manfaat lain bagi kehidupan manusia seperti
pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan usaha pariwisata, budidaya perairan yang dapat
menambah pendapatan dan devisa, serta sebagai tempat yang menyimpan plasma nuftah yang
sangat berharga bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Pulau kecil menurut Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
didefinikan, Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua
ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.

3.3 Potensi Pulau-Pulau Kecil Terluar


Pulau-pulau kecil terluar merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang berbatasan dengan negara tetangga, sehingga keberadaannya mempunyai arti yang
strategis dalam proses pembangunan. Menurut Dahuri (1998), potensi pulau-pulau perbatasan
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, (2)
potensi ekonomi, dan (3) potensi sebagai bisnis pertahanan negara. Permasalahan yang terjadi di
pulau-pulau kecil terluar adalah kondisinya yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk,
terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian seperti: jalan raya, pelabuhan, pasar,
penerangan listrik, lembaga perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan
masyarakat rendah serta kualitas sumberdaya manusia rendah akibat kurangnya fasilitas
pendidikan, tidak tersediannya informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan (Bengen 2004).
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di wilayah sesuai dengan Pasal 5 dan 6
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana wajib dilakukan
dengan cara mengintegrasikan kegiatan: (a). antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (b).
antar Pemerintah Daerah; (c). antar sektor; (d). antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat;
(e). antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan (f). antara ilmu pengetahuan dan prinsip-
prinsip manajemen.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perbatasan Negara
Kondisi wilayah pulau-pulau terluar di Indonesia sangat kompleks ditinjau dari aspek
pengelolaan sumberdaya dan yang ada terutama dihubungkan dengan kegiatan pengembangan
pembangunan di pulau-pulau kecil. Potensi-potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau terluar
sangatlah baik, unik, karena apabila tidak dilindungi sangat berpotensi konflik baik antar warga
masyarakat maupun antar kabupaten/kota, provinsi dan bahkan antar Negara. Penatataguna
6

penyusunan suatu pola rancangan hukum pulau-pulau kecil terluar di wilayah Indonesia menjadi
fokus dimana secara geografis berbatasan langsung antara Negara Indonesia dan Negara
Filipina, di Provinsi Sulawesi Utara. Batas maritim Indonesia – Filipina sampai saat ini belum
ditetapkan, pertemuan-pertemuan bilateral yang melibatkan kedua negara dalam rangka batas
maritim masih terus dilakukan, dengan agenda-agenda yang resmi untuk mecapai kesepakatan
bersama. Kedudukan geografis negara Indonesia dan Filipina masih bermasalah, sehingga
perjanjian perbatasan yang harus di buat adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landas Kontinen. Hal ini disebabkan jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut.
Panjang garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia -
Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas Zona Ekonomi Eksklusifnya sekitar
81.980 mil laut persegi. Jarak terlebar antara pantai yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan
jarak terpendek 39 mil laut antara Pulau Marore di Indonesia dan Pulau Saranggani di Filipina.
Pemerintah Indonesia terus menunjukkan juridiksi teritorial di kawasan perbatasan Pulau
Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Pulau Marore di Kepulauan Kabupaten Sangihe,
Sulawesi Utara, terutama dilakukan melalui pembangunan ekonomi (prosperity aproach).
Perhatian serius yang dicurahkan oleh Pemerintah Pusat sehinga tidak menjadi persoalan krusial
di kemudian hari.

4.2 Evaluasi Faktor Eksternal


Evaluasi faktor eksternal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat dan skor pada masing-
masing faktor. Matriks evaluasi faktor eksternal dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal


FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR
PELUANG
Kebijakan nasional mendorong investasi 0.107 0.533 0.272
Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah 0.115 2.133 0.246
Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil
sumber daya alam 0.099 2.267 0.225
Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia
Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga 0.105 2.733 0.288
Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar. 0.113 2.933 0.332
0.121 3.000 0.363
Jumlah 1.726

ANCAMAN
Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) 0.113 1.733 0.197
Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara
Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau- 0.126 1.733 0.218
pulau kecil terluar.

0.099 2.000 0.199


0.613
Total 1 2.339
Berdasarkan Tabel 1, nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
provinsi Sulawesi Utara adalah 2.339. Tingkat kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal
adalah respon pengawasan perbatasan laut antar negara yaitu mendapat bobot 0.126. Respon
pengawasan yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan penegakan perangkat hukum dan
peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit kerja pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari
tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat Nasional. Pengawasan dan
penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat diperoleh suatu kepastian hukum dalam
menjaga kepentingan negara dari gangguan asing. Sementara itu kapasitas pada bidang
7

kelembagaan penegakan hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan


sehingga terwujud penegakan peraturan perundangan, pengawasan, pemantauan, pengamanan,
dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya.
Faktor eksternal di atas juga didukung oleh kebijakan pemerintah untuk membentuk
kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan prioritas kedua dari
faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di provinsi Sulawesi Utara dengan bobot 0.121. Dengan kelembagaan yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005 diharapkan setiap lembaga yang terkait
mampu melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu memainkan peran sesuai
kewenangannya.
Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar antara lain kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan pemerintah
dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah, meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan
internasional terhadap hasil sumber daya alam, konvensi Internasional terhadap hukum laut
Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga. Faktor-faktor ini
dapat dimanfaatkan jadi peluang dan pendukung bagi peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar, namun peranan untuk langsung adalah dari aspek hukum dan kelembagaan. Kerjasama
bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina diharapkan mampu
mengkoordinasikan permasalahan wilayah perbatasan yang menjadi hak masing-masing negara.
Disamping itu yang menjadi ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) dengan bobot 0.113. Hal
ini perlu untuk segera diselesaikan dan disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis.
Namun demikian adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar dengan bobot 0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan karena tidak jelasnya
kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan pusat dan daerah. Oleh karena itu,
diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

4.3. Evaluasi Faktor Internal


Evaluasi faktor internal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat dan skor terbobot
pada masing-masing faktor. Bobot menunjukkan tingkat kepentingan, peringkat menunjukkan
kekuatan utama atau kecil dan kelemahan utama atau kecil, dan skor menunjukkan posisi
kekuatan faktor strategis internal. Matriks evaluasi faktor internal dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal


FAKTOR INTERNAL BOBO PERINGKAT SKOR
T

KEKUATAN
1. Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil 0.119 3.133 0.373
terluar
2. Posisi geografis yang cukup strategis 0.105 3.200 0.335
3. Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar 0.105 2.667 0.279
Jumlah 0.987
KELEMAHAN
Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar
8

Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian. 0.100 2.200 0.220


Terbatasnya sarana prasarana sosial 0.115 2.133 0.245
Lemahnya koordinasi antar lembaga
Belum adanya UU yang khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar 0.113 2.067 0.234
Kontrol Pendanaan yang lemah 0.116 2.200 0.256
Jumlah 0.103 2.133 0.219
Total
0.125 2.067 0.258
1.431
2.418

Berdasarkan Tabel 2, total skor faktor strategis internal mendapatkan angka 2.418. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor strategis internal berada pada posisi lemah. Dengan demikian
keadaan faktor internal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara lemah.
Faktor kekuatan internal yang dipandang memiliki peran yang besar dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar adalah adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan
pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.119. Program dari pemerintah yang telah ditetapkan
untuk pembangunan pulau-pulau kecil menjadi pendorong dan dukungan bagi lembaga terkait
dalam meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar secara berkelanjutan. Namun faktor
kekuatan internal di atas sangat terkait dengan faktor kelemahan internal yang memiliki tingkat
kepentingan pertama yaitu kontrol pendanaan yang lemah dengan bobot 0.125. Faktor
pendanaan menjadi penting karena merupakan anggaran bagi kegiatan-kegiatan pengelolaan
wilayah pulau-pulau kecil terluar dan pembangunan sarana dan prasarana. Pendanaan yang
diperoleh dari berbagai sumber perlu dilakukan pengontrolan dalam penggunaannya agar
terwujud hasil yang nyata dan efektif dalam meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Jika dana tidak terkontrol maka peluang terjadi penyalahgunaan dana semakin besar sehingga
program pengelolaan wilayah sulit dilaksanakan secara kontinu. Keterbatasan sarana dan
prasarana baik sosial dan ekonomi menjadi faktor kelemahan yang cukup dominan dengan bobot
0.113 dan 0.115. Adanya sarana dan prasarana yang dilakukan dengan penyediaan perangkat-
perangkat infrastruktur merupakan pendukung pengembangan pulau-pulau kecil terluar dan
sangat berpengaruh terhadap kelancaran terlaksananya program-program pembangunan.

4.4. Legal Analisys


Ancaman dalam Peningkatan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
1 Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE)
2 Batas wilayah Negara Indonesia dengan Negara Filipina belum disepakati dan ditetapkan
secara bersama antara kedua negara. Faktor ini menjadi ancaman karena ketidakjelasan
batas-batas wilayah suatu negara akan menimbulkan sengketa dengan negara tetangga
dalam memberlakukan wewenang pengelolaan kekayaan sumber daya.
3 Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara
4 Respon pengawasan yang lemah akibat lemahnya perangkat hukum dan perangkat
kelembagaan merupakan ancaman untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang
menyebabkan berkembangnya kegiatan illegal dan eksploitasi di kawasan perbatasan.
Kegiatan illegal di daerah perbatasan sudah berlangsung sejak dulu hingga sekarang seperti
illegal fishing, illegal logging, illegal trading, dan penyelundupan. Tindakan ini merupakan
ancaman karena akan menghambat pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
5 Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
9

6 Stakeholder baik dari lembaga pemerintah pusat, daerah, instansi swasta, dan masyarakat
memiliki kebutuhan dan pandangan berbeda terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Kepentingan ini bisa menjadi sebuah konflik yang menghambat peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.

5. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan
Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari
ketahanan negara. Dasar hukum wilayah negara telah diatur dalam UU Nomor 43 Tahun 2008
tentang Wilayah Negara yang menjadi dasar hukum untuk diketahui masyarakat internasional,
terutama negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia, bahwa wilayah negara Kesatuan
Republik Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Peneliti dapat mengemukakan
sejumlah simpulan, sebagai berikut :
1 ZEE sebagai konsep yang dikembangkan oleh negara-negara Latin, adalah suatu daerah
sejauh 200 mil yang berada diluar laut teritorial dimana tiap negara berhak melaksanakan hak
dan yurisdiksinya.
2 Di wilayah ZEE yang terletak diantara negara Indonesia dan Filipina terjadi sejumlah
pelanggaran/kejahatan, baik pencurian ikan, penyeludupan maupun pelanggaran lainnya.
3 Praktek negara tentang penetapan batas, wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina dapat
dilakukan dengan persetujuan dan berpedoman pada prinsip sama jarak (equitable
principles).
4 Kendala-kendala penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, adalah
masalah teknis yuridis, hak-hak perikanan tradisional, rute navigasi, faktor sosio-kuttural dan
penetapan secara berbarengan antara ZEE dan landas kontinen.

5.2. Saran
Berdasarkan sejumlah simpulan tersebut, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai
berikut :
1 Pemerintah Indonesia dan Filipina memperketat penjaaaan keamanan wilayah tersebut dari
tindakan-tindakan pelanggaran/kejahatan yang terjadi.
2 Merintis dilakukannya perjanjian penetapan batas ZEE oleh pemerintah Indonesia dan
Filipina.
3 Peraturan perundang-undangan yang sudah ada dituangkan dalam bentuk peraturan
pelaksanaannya PP, Kepres, KepMen dan sebagainya, sebagai payung hukum yang berlaku
secara vertikal maupun secara horizontal.
4 Penerbitan Sertifikat Pulau Negara untuk pulau-pulau wilayah perbatasan.

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, E.R. 2002. Status Perbatasan Wilayah Negara Republik Indonesia dengan Negara Tetangga, Makalah
Dialog Kebijakan Kelautan dan Perikanan Internasional : Masa depan Perbatasan Indonesia –
Singapura. Direktorat Kelembangaan Internasional DKP.
Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Bogor.
Cicin-Sain, Billiana, Knecht, Robert W. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management : Concepts and
Practices. Island Press, Washington DC.
Dahuri, R 2003. Keanekaragaman hayati laut, Aset pembangunan berkelanjutan Indonesia, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
10

Luntungan, R. 2000. Pengaturan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam kaitannya dengan Penetapan Batas
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina. Tesis. Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran. Bandung.
Maarif, M.S. 2007. Pulau-Pulau Kecil Terluar: Ancaman dan Tantangan. Humas Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Marimin. 1999. Penyelesaian persoalan AHP dengan Criterium Decision Plus. Jurusan Teknologi Industri
Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor.
Monintja, D.R. 1996 Pemenfaatan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia : Suatu Tantangan Nasional,
Orasi Ilmiah, IPB Bogor.
Nikijuluw, P.H. 2008. Blue Water Crime : Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal. PT. Pustaka Cidesindo
Jakarta.
PP] Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
Rangkuti. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.Gramedia. Jakarta
Saaty, T.L. 2003. Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin, Proses Hirarki Analitik untuk pegambilan
keputusan dalam situasi dan kompleks. PT. Pustaka Binaman Pressindo Jakarta.
Soeprapto, M.F.I. 1998. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
[UU] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
[UU] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention on the Law of
the Sea 1982.
[UU] Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
[UU] Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

You might also like