You are on page 1of 22

Peter Kasenda

Indonesia Menggugat

Indonesia Merdeka Sekarang!


Sekarang! Sekarang!
Soekarno

Soekarno adalah tokoh dengan daya tarik yang utama bagi PNI. Ia adalah seorang ahli
pidato yang hebat. Pidato-pidatonya dengan penuh dengan dasar-dasar pokok pikiran
nasionalis yang disampaikan dalam bahasa yang sederhana yang dengan mudah dapat
dimengerti oleh para pendengarnya. Ia menggunakan dongeng-dongeng dan cerita-cerita
rakyat setempat yang popular, terutama cerita-cerita wayang, untuk mewujudkan pikiran-
pikiran PNI yang nasionalis. (John Ingleson, 1986 : 57) Dengan pidato-pidato seperti itu,
sepanjang tahun 1928, Soekarno, mencatat kemenangan demi kemenangan; melalui
kemahiran retoriknya ia dapat mengangkat pendengar-pendengarnya ke dalam
antusiasmie, dan dirinya sendiri ke dalam ekstase. Dikabarkan seorang wartawan
Pemberita Kemadjuan melaporkan, dalam bulan Mei 1928, bahwa ia telah begitu
terpesona oleh apa yang digambarkan oleh Soekarno, sehingga dengan tiba-tiba saja ia
percaya bahwa ia sudah merdeka. Seorang pejabat tinggi pangreh praja bukannya
mencatat apa yang dikatakan oleh Soekarno, melainkan malahan dengan penuh semangat
bertepuk tangan pada akhir pidatonya, sehingga tidak lama kemudian ia dipecat dari
jabatannya. Pada satu rapat umum di Batavia, ketika Soekarno terpaksa menghentikan
pidatonya untuk beberapa saat, sekitar 1.600 orang tetap di tempat mereka masing-
masing tanpa memperdulikan udara yang panasnya tak tertahankan lagi, karena takut
tempat mereka akan diserobot orang lain jika mereka meninggalkannya ( Bernhard
Dahm, 1987 : 127 – 128 )

Sesudah pimpinan PKI, Soekarno adalah orang pertama yang mengerti, bahwa massa dan
gerakan massa adalah merupakan kunci ke arah kemerdekaan Indonesia. Tak henti-
hentinya Soekarno berkeliling ke seluruh Jawa untuk berpidato. Ia selalu mengingatkan
kepada para pendengarnya tentang keagungan negeri ini pada masa lalu, berbicara
mengenai kegelapan hari ini dan masa cerah pada hari esok. Ia memupuk kesadaran
nasional bangsa, Soekarno berseru agar mereka tidak mengharapkan rasa kasihan dari
kaum penjajah, sambil menunjukkan, bahwa dewan-dewan yang dibentuk tidak ada
gunanya, dan akan tetap seperti itu, kendatipun orang-orang Indonesia asli yang menjadi
mayoritas di dalamnya. Soekarno mengajak untuk menuntut diserahkannya kemerdekaan
sekarang juga. Ketika para oponen Soekarno, sambil membantah mengeluarkan alasan,
bahwa “rakyat belum siap”, ia menjawab “Indonesia merdeka sekarang! Setelah itu baru
kita mendidik, memperbaiki kesehatan rakyat dan negeri kita. Hayolah, kita bangkit
sekarang”

PNI telah menjadi partai massal, ia aktif di kalangan buruh, petani dan kaum borjuis-kecil
di kota-kota. Kongres I PNI di Surabaya pada bulan Mei 1928 telah mengesahkan
Program Partai, yang terdiri dari dua bagian, yaitu Program Maksimun dan Program
Kerja. Di dalam Program Maksimum tercantumkan tujuan dari partai itu, yaitu

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 1
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

didirikannya suatu tatanan masyarakat baru yang lebih progresif yang mampu untuk
memperbaiki kehidupan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia dengan jalan
pencapaian kemerdekaan politik.

PNI telah mengumandangkan bahwa ia mewakili kepentingan-kepentingan dari sebagian


besar penduduk, yaitu rakyat kecil – kamu Marhaen. Dari sinilah nama ideologi yang
diciptakan oleh Soekarno – Marhaenisme. Yang paling penting dalam Marhaenisme
adalah aspek anti-kolonialnya dan persatuan dari seluruh lapisan masyarakat sebagai
syarat utama untuk bisa mencapai kemerdekaan nasional.

Soekarno telah berusaha untuk di dalam Marhaenisme menyatukan tiga ideologi, yang
menurut keyakinannya mempunyai nilai-nilai yang sangat berharga dalam perjuangan
pembebasan nasional. Itu adalah nasionalisme dari bangsa tertindas; Islamisme, yang
diartikan olehnya tidak hanya sebagai Islam an sich namun juga sebagai suatu agama dan
ajaran politik yang anti-kolonial. Marxisme, atau lebih tepatnya, hanya beberapa
aspeknya. “ Marxisme itulah yang membuat saya punya nasionalisme berlainan dengan
nasionalisme Indonesia yang lain …” demikian ditulisnya. Kedalam Marhaenisme,
Soekarno juga telah memasukkan beberapa ide dari sosialisme aliran borjuis–kecil, dasar
“sosialisme Islam”, dan “ide-ide tradisional”, walaupun yang diambilnya hanyalah aspek-
aspek yang senada dengan gagasannya mengenai demokrasi, mengenai perjuangan anti-
imperiailis. Sebagai akibatnya, terbentuklah ajaran yang elektis, yang secara keseluruhan
mengandung sifat-sifat yang subyektif dan idealis.

Para ideologi Marhaenisme menyatakan, bahwa berbedanya dengan Barat di Indonesia


tidak ada kesenjangan kelas-sosial yang dratis, tidak ada juga perjuangan kelas. Mereka
mengutamakan kesatuan nasional, sambil menandaskan, bahwa semua harus memusatkan
tujuannya ke arah kemerdekaan. Walaupun Soekarno mengakui teori perjuangan kelas, ia
mengatakan, bahwa ia selalu berusaha memperkokoh jiwa bangsa tidak sebagai
kesadaran kelas, seperti yang biasa terdapat dalam gerakan buruh, tapi sebagai kesadaran
bangsa, kesadaran nasional, sebagai nasionalisme. Dalam negeri kolonial, pertentangan-
pertentangan kelas itu menjadi searah dengan pertentangan nasional, begitulah ia
mengajarkan.

Soekarno mengajukan Marhaenisme sebagai dasar ideologi, bukan sebagai ideologi


persatuan sementara dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, namun sebagai
persatuan yang kokoh-kuat dan langgeng, yang sangat diperlukan bagi dibentuknya di
Indonesia suatu “masyarakat baru yang adil dan makmur. Memang tidak disebutkan jalan
yang konkret untuk menuju ke masyarakat baru ini, semuanya dikonsentrasikan kepada
masalah pembentukan suatu front yang luas dari seluruh bangsa demi untuk mencapai
kemerdekaan. Walaupun Marhaenisme mempunyai sifat-sifat yang eklektis dan tidak
konsekwen, namun ia telah memainkan peranan yang sangat berarti dalam menggalang
lapisan masyarakat luas Indonesia dalam perjuangan mencapai kemerdekaan nasional dan
pembebasan dari kaum penjajah asing.

Soekarno mengajarkan, bahwa sarana utama dalam perjuangan melawan kaum penjajah
adalah tidak bekerja sama dan pemboikotan kepada segala jenis “dewan perwakilan”

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 2
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang dibentuk oleh administrasi penjajah, ia menerangkan bahwa PNI menolak politik
kerja sama, sebab sudah benar-benar diyakini, bahwa PNI dan pemerintah mempunyai
“kepentingan yang berbeda”, “Kepentingan yang saling bertentangan” Tak jemu-jemunya
ia mempropagandakan ide ini.

Soekarno banyak sekali melakukan kegiatan. Siang hari ia berpidato di lapangan yang
penuh dihadiri masyarakat, malamnya di ruangan yang tidak begitu besar, paginya di
gedung-gedung bioskop. Pengaruh dari pidatonya sangat memukau. Para hadirin
menghirup kata-katanya, sedetikpun ia tak pernah kehilangan kontak dengan mereka, ia
mendapat semangat dari reaksi, pengertian dan sambutan para pendengarnya. Kesuksesan
Soekarno yang utama bukan disebabkan oleh mendalamnya analisa-analisa yang
diberikan, namun justru oleh karena imajinasinya yang hidup, oleh energinya dan juga
kecakapannya berbicara. Dalam hal ini tidak seorang pun dari pemimpin politik
negerinya yang bisa dalam hal, bahwa ia merupakan seorang ahli jiwa yang cemerlang,
yang dengan cepat mampu menyerap kehendak dari saudara-saudara sebangsanya.

Di antara pendengar Soekarno terdapat tidak sedikit para pegawai pemerintah dan polisi
yang menguping dan mengawasi segala tingkah-polanya. Tentu, Soekarno mempunyai
cara sendiri dengan mana ia sering mengecoh agen-agen kolonial. Ia sering menggunakan
ungkapan-ungkapan dan dialek setempat, yang tidak dipahami oleh orang-orang asing,
atau melengkapi kata-katanya dengan mimik muka, gerakan tangan atau badan yang
menggamblangkan apa yang ia maksudkan, ia berusaha mengambil tempat-tempat yang
tidak biasa untuk mengadakan pertemuan dengan para pemimpin gerakan lainnya.
Propaganda dan agitasi dari para pemimpin PNI membuahkan hasil jumlah anggotanya
meningkat gerakan pemuda menjadi lebih aktif.

Sesudah Kongres ke-2 PNI yang telah berlangsung di Yogyakarta pada bulan Mei 1929,
kegiatan partai ini memasuki periode baru – “Tahap bekerja, tahap melakukan aksi “. PNI
makin melipatkan propaganda di desa-desa, mulai membentuk serikat-serikat sekerja. Itu
telah memperkuat kecurigaan polisi, bahwa mereka mempunyai persoalan dengan
“organisasi komunis terselubung”, Memang, dalam syarat-syarat terlarangnya PKI,
banyak juga orang-orang komunis yang aktif dalam organisasi massa ini.

Proses konsolidasi gerakan pembebasan nasional dan makin meningkatnya keradikalan


PNI telah membangkitkan kekhawatiran besar di kalangan penguasa kolonial. Pemerintah
bersiap-siap untuk menghancurkan partai ini Pada akhir tahun 1929 di negeri iti telah
beredar berita, bahwa pada tahun 1930 akan turun “Ratu Adil“, bahwa rakyat akan
dibebaskan, pajak-pajak akan dihapuskan dan akan datang, saatnya kehidupan yang adil
makmur. Keyakinan mantap terhadap “peristiwa besar yang akan datang pada tahun
1930” ini lebih berakar kepada mitos messiah, ketimbang propaganda-propaganda partai.
Negeri ini menjadi bergolak dan penuh dengan berbagai desas-desus. ( Kapitsa M.S. &
Maletin N.P.,2009 : 42 – 48 )

Selama tahun 1929 kekhawatiran yang menghinggapi para pejabat daerah, gubernur
setempat dan pemerintah Batavia adalah mengenai kemungkinan bahaya yang
ditimbulkan oleh PNI, dan bukannya bahaya-bahaya lain. Hal ini jarang dikemukakan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 3
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

secara terbuka, tetapi kekhawatiran utama itulah yang tergambar dalam semua laporan-
laporan resmi Hal ini dapat dilihat dalam desakan panglima komandan militer agar
gubernur jendral pada bulan Februari melarang semua anggota militer menjadi anggota
PNI atau mengikuti rapat-rapat PNI. Ia khawatir bila PNI berhasil menyusupkan
pengaruhnya ke dalam lingkungan militer akan timbul sikap tidak setia kepada
pemerintah.

Sementara PNI aktif dalam organisasi-organisasi buruh, terutama di Surabaya dan


Bandung, dan anggota-anggotanya mengajar di sekolah-sekolah nasional dan terlibat
dalam organisasi-organisasi pemuda, maka hal yang menjengkelkan masyarakat Eropa
adalah rapat-rapat umum yang besar-besar. Format pertemuan-pertemuan tersebut
memang kemudian mengecil, tapi frekwensinya setelah kongres bulan Mei semakin
meningkat dengan kecenderungan yang semakin kuat untuk menyelenggarakan rapat-
rapat tersebut dua kali atau lebih pada malam yang sama satu kota. Ini berarti
menghimpun massa yang lebih banyak, memamerkan kekuatan partai dan memberi
beban yang terlalu berat bagi polisi setempat dan intel politik. Amanat dalam pidato
masih yang sama, tetapi dengan lebih langsung menunjuk pemerintah dan masyarakat
Eropa, sebagiannya sebagai reaksi terhadap karangan-karangan yang kritis dalam pers
Eropa yang mengusulkan penumpasan PNI.

Yang menjadi duri bagi pihak pejabat pemerintah bukan hanya pidato-pidato Soekarno
dalam rapat-rapat umum PNI. Mereka juga menjadi jengkel oleh tindakan-tindakan yang
lebih simbolis seperti nyanyian Indonesia Raya pada permulaan dan penutupan setiap
rapat. Hal ini oleh beberapa kalangan luas dalam masyarakat Eropa dianggap sebagai
suatu tantangan kepada kekuasaan Belanda. Semenjak dinyanyikan pertamakali pada
bulan Oktober 1928, lagu ini telah menjadi pokok–pangkal keluhan yang terus-menerus
dari pejabat-pejabat setempat kepada jaksa agung dan gubernur jendral. Gubernur jendral
mengeluarkan instruksi-instruksi yang melarang diambilnya tindakan, karena ia yakin
bahwa setiap intervensi yang tergesa-gesa akan semakin memperkuat kedudukan lagu
tersebut sebagai lagu kebangsaan.

Para pemimpin PNI cukup sadar bahwa pemerintah mengamati mereka secara ketat dan
siap mengambil tindakan bila mereka lengah melakukan pengawasan terhadap kegiatan-
kegiatan cabang. Tampaknya Pengurus Pusat PNI meninjau kembali secara terperinci
prinsip-prinsip, organisasi dan metode-metode partai dan mempertimbangkan kegiatan-
kegiatan partai dalam kerangka peringatan-peringatan keras dari pemerintah bahwa
toleransinya hampir mendekati batas. Sejak bulan Mei 1929 diumumkan bahwa PNI telah
memasuki tahap kedua yaitu tahap pemantapan dirinya sebagai partai massa, bahwa ia
mulai merekut anggota baru dan meningkatkan propagandanya. Untuk kembali kepada
politik yang dianut pada tahun 1927 dan 1928, dengan tekanan utama pada bidang
organisasi, pembinaan suatu inti dengan sejumlah kecil anggota dan dengan penampilan
yang lebih hati-hati di depan umum, berarti hanya akan menghancurkan momentumnya
sendiri. Hal ini akan sungguh-sungguh merusak kepercayaan terhadap PNI di mata
orang-orang yang telah dibangunkan dari kejumudan politik oleh seruan-seruan yang
lantang dari partai agar mereka bersatu melawan Belanda untuk mencapai Indonesia
Merdeka. Ini tidak berarti bahwa sampai bulan September mereka samasekali tidak

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 4
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

fleksibel dalam menyelenggarakan kegiatan mereka sehari-hari, tetapi sekali fase


perkembangan yang kedua ini sudah dimulai mereka tak mempunyai banyak pilihan
kecuali harus maju terus. ( John Ingleson, 1983 : 105 - 113)

Selama dua tahun terakhir itu pemerintah Hindia Belanda mengikuti dengan seksama
kegiatan-kegiatan PNI, tetapi secara diam-diam membiarkannya. Gubernur Jendral
A.C.D de Graeff adalah seorang penyabar yang memiliki rasa kemanusian; ia adalah
teman Indenburg dengan tokoh-tokoh politik Etis lainnya. Berbeda dengan Fock,
pendahulunya yang bersikap keras, ia menjadi contoh seorang pembaru, dan
pengangkatannya pada tahun 1926 nampaknya melopori kembali cita-cita pemerintahan
etis Gubernur Jendral Van Limburg Stirum, ketika beberapa tahun sebelumnya ia telah
menjadi anggotanya. Pada awal masa tugasnya, ia dihadapkan pada pemberontakan PKI,
yang diselesaikannya dengan tindakan-tindakan kekerasaan. Tetapi didorong oleh
harapannya untuk memajukan hubungan antara masyarakat Indonesia dengan pemerintah
Hindia Belanda ia tidak ingin menjalankan sikap keras terhadap nasionalisme baru yang
lahir setelah peristiwa pemberontakan itu. Namun kesabaran seorang pejabat bukannya
tidak terbatas dan di luar kemauannya, de Graeff mendapat tekanan keras dari unsur-
unsur masyarakat kolonial Belanda, baik dari dalam maupun dari luar pemerintahannya,
untuk membatasi kebebasan bergerak PNI. Mereka bertanya mengapa pemimpin-
pemimpinnya dibiarkan bebas berkeliaran dari satu ujung ke ujung lain Pulau Jawa untuk
mempropagandakan pemberontakan? Dan ketika pidato-pidato Soekarno semakin
berkobar membakar kesadaran massa, semakin sulit bagi de Graeff menentang mereka
yang mendesaknya untuk bertindak.

Reaksi Pemerintah

Pada bulan Desember Soekarno direncanakan berbicara di depan kongres PPKI kedua
pada tanggal 25 – 27 di Solo. Setelah pamit dengan Inggit Ganarsih, Soekarno berangkat
bersama Gatot Mangkupradja menggunakan mobil. Dari kongres ini ia berangkat ke
Yogyakarta untuk berbicara di depan suatu rapat pada 28 Desember. Rapat itu selesai
tengah malam dan bersama dengan Gatot kemudian berangkat ke rumah Mr Sujudi,
seorang pengacara, untuk menginap. Di sinilah pada pagi buta itu, terdengar ketukan
pintu. Seorang perwira polisi Belanda mendesak pintu terbuka dan dengan diiringi polisi-
polisi pribumi ia masuk memeriksa. Ia mengenali korban yang dicarinya. Soekarno dan
Gatot Mangkupradja ditangkap. Tawanan-tawanan ini digiring tanpa pamit ke kantor
polisi dan langsung mereka jebloskan ke dalam sel selama 24 jam. Pada subuh pagi
lusanya, mereka dimasukan ke kerata api menuju Bandung, keduanya langsung
dimasukkan ke penjara Bandung. Keesokan harinya dua tokoh PNI lainnya, Maskun dan
Supriadinata, juga dimasukkan ke penjara yang sama.

Penangkapan ini merupakan bagian dari penangkapan besar-besaran yang dilakukan


Belanda terhadap tokoh-tokoh PNI. Sebagian besar dibebaskan kembali beberapa hari
kemudian setelah diperiksa. Namun Soekarno dan tiga tokoh lainnya di tahan terus untuk
diinterogasi dan kemudian dihadapkan pengadilan. Dengan ini berakhirlah periode yang
boleh dikatakan longgar bagi perjuangan PNI. Dan ketika akhirnya perkara mereka

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 5
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

disidangkan di pengadilan, maka yang diadili itu bukan saja pemimpin-pemimpin


nasionalisme tetapi juga gerakan nasionalisme itu sendiri ( John D Legge, 1985 : 129 –
131 )

Pers nasionalis menyatakan rasa kaget dan kecewa terhadap tndakan-tindakan


pemerintah. Sungguh keterlaluan bahwa PNI diperlakukan tidak beda dengan PKI,
padahal PNI selalu konsisten menolak kekerasaan. Para pembaca diminta dengan sangat
supaya tetap tenang dan yakin bahwa partai itu bersih dari tuduhan-tuduhan yang
dilontarkan kepadanya. Pers Eropa juga turut mendapat kecaman, sebagian karena pers
itu selalu menghendaki adanya campur tangan pemerintah selama tahun 1929, dan
sebagian lagi karena pers itu juga menyatakan kegembiraan secara terang-terangan atas
terjadinya penangkapan tersebut. Dengan nada menantang diterangkan bahwa bahkan
disingkirkannya pemimpin-pemimpin partai tidak akan mematahkan gerakan nasionalis
malahan justru hanya akan mendorongnya melakukan aktivitas yang lebih hebat.

RP Singgih dar iPPKI, dalam surat kabarnya Timboel, menyimpulkan perasaan kaum
kooperator dan non-kooperator sebagai sama saja, dengan mengatakan bahwa campur
tangan itu merupakan “akhir suatu era“ di mana harapan besar golongan nasionalis yang
semula ditujukan terhadap de Graeff itu ternyata tidaklah pada tempatnya. Menurut RP
Singgih, penangkapan-penangkapan itu merupakan kekeliruan besar yang dilaksanakan
atas desakan para penasehat yang memperoleh informasi salah. Apabila pemerintah tidak
ingin membiarkan kekeliruan, maka hendaknya para pemimpin PNI dibebaskan dan para
penasehat itu dipecat, dan pemerintah paling tidak mempunyai kewajiban moral untuk
menyelenggarakan proses pengadilan bukannya mengambil tindakan adminsitratif
terhadap mereka yang ditangkap. Pendapat-pendapat ini diulang-ulang melalui koran-
koran golongan nasionalis sampai beberapa bulan berikutnya dan disokong oleh anggota-
anggota Indonesia di Volksraad. Akibatnya bagi seorang gubernur jendral yang peka
terhadap pandangan orang-orang Indonesia, berpendapat bahwa keadilan dan kebijaksaan
politik memerlukan pengadilan terbuka untuk para pemimpin PNI.

Pada awal Januari 1930 ketika sudah jelas bahwa mereka yang ditangkap itu akan ditahan
untuk beberapa waktu. Sartono dan Anwari mengambil alih alih pimpinan Pengurus
Pusat PNI. Sartono dan Anwari mengeluarkan suatu perintah kepada pengurus-pengurus
cabang dan para anggotanya agar menghentikan semua kegiatan politik atas nama partai
sampai ada ketentuan lebih lanjut. Tidak disebutkan apa alasannya, namun para anggota
di yakinkan lagi bahwa partainya tidak bersalah dari semua tuduhan-tuduhan yang
dilontarkan oleh pemerintah. Sampai ada anjuran lain, dari pengurus pusat, cabang-
cabang harus membatasi diri hanya pada kegiatan sosial dan ekonomi. Sartono
mengulangi instruksinya itu dalam sebuah pernyataan berikutnya kepada cabang-cabang
PNI pada permulaan bulan Juni, sambil menyuruh mereka untuk tidak usah mengadakan
pertemuan-pertemuan untuk merayakan HUT partai yang ketiga.

Pada tingkat cabang reaksi anggota biasa terhadap campurtangan pemerintah itu tentunya
sangat mengecewakan pimpinan partai. Selama dua setengah tahun para pemimpin sudah
berusaha keras menciptakan keanggotaan yang sadar politik yang akan memungkinkan
partai itu mampu bertahan terhadap setiap tindakan pemerintah. Tetapi reaksi langsung

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 6
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dari kebanyakan anggota PNI, adalah rasa takut dan khawatir kalau-kalau mereka juga
menjadi sasaran tindakan pejabat-pejabat setempat. Dalam minggu pertama atau kedua,
setelah penangkapan, ratusan orang menyerahkan kembali kartu anggota kepada pejabat
setempat. Karena secara pribadi tidak ingin terlibat dan pasti karena takut pada kasak-
kusuk yang berlebihan, tentang maksud pemerintah, maka di beberapa daerah lebih dari
separuh jumlah anggota yang terdaftar, secara terbuka mencuci-tangan dari
keterlibatannya dalam partai. Sebagaimana halnya Sarekat Islam dan PKI sebelumnya,
maka kartu anggota PNI oleh banyak orang dipandang sebagai jimat, yang memberikan
harapan bagi pemiliknya untuk memperoleh hidup yang baik bila PNI mengalahkan
Belanda, Segera setelah partai itu goyah pada Januari 1930 disertai desas-desus yang
tersiar mengenai nasib Soekarno, maka kartu anggota yang sama tersebut kehilangan nilai
magisnya dan bahkan menjadi barang yang menjadi beban. Tetapi, pada akhir Januari,
ketika goncangan akibat campur tangan pertama itu sampai tingkat tertentu telah reda
maka arus pengembalian kartu anggota sedikit demi sedikit mereda pula, dan barangkali
merupakan petunjuk bahwa orang yang buru-buru ke luar dari partai adalah mereka yang
masuk karena demam penerimaan anggota yang meningkat tahun 1929. ( John Ingleson,
1985 : 131 – 134 )

Penjara Banceuy adaah sebuah lembaga tua. Di kemudian hari Soekarno mengenang
ulang ketidaknyamannya – sel tahanan yang kecil, tempat buang air yang primitif, dan
rasa sengsara akibat terisolasi. Hal-hal yang disebutnya itu, merupakan hal-hal yang
terjadi beberapa lama sebelum ia diizinkan menerima kunjungan seorang pun, bahkan
juga Inggit. Dan oleh karenanya hubungan–hubungan manusiawinya terbatas dengan para
penjaga -penjaga dan polisi-polisi yang menginterogasi dirinya.

Interogasi-interogasi terhadap para tahanan, nampaknya tidak terarah. Di bawah


peraturan hukum Hindia Belanda tahun 1919, Pemerintah Hindia Belanda mempunyai
kewenangan untuk menindak secara ringkas kasus-kasus semacam ini. Pemerintah Hindia
Belanda dapat menahan Soekarno dan kawan-kawannya tanpa diadili ataupun bahkan
dapat mengirimnya dengan segera ke pembuangan, seperti yang dilakukan terhadap
tahanan politik dari waktu ke waktu. Mengapa kali ini Pemerintah memutuskan untuk
menindaknya melalui proses formal peradilan dengan segenap resiko yang mungkin
dihadapinya? Tidakkah terdapat bahaya bahwa proses peradilan yang terbuka akan
memberi kemungkinan bagi para terdakwa untuk mengukuhkan diri dalam peran martir?
Seandainya pun tidak, dalam cara itu mereka lebih besar dari yang telah mendapatkan
simpati khalayak yang bahkan lebih besar dari yang telah mereka dapatkan dari aksi-aksi
politik mereka ?

Sepucuk surat dari Gubernur Jendral de Graeff kepada van Limburg Stirum, sesaat
sesudah pembukaan persidangan, menampilkan kesan bahwa nampaknya terdapat
berbagai motif. Pengajuan para terdakwa ke hadapan sebuah proses peradilan untuk
memberi kesan bahwa Pemerintah bertindak adil – suatu pemerintahan yang tunduk pada
prosedur-prosedur hukum yang memadai – dan bukan hanya suatu wasit yang menindas
setiap oposisi terhadapnya. Dirasakan pula bahwa pengajuan para terdakwa ke forum
pegadilan akan menyadarkan para pemimpin nasionalis tentang bahaya ekstremisme dan
supaya mereka lebih bersikap moderat di kemudian hari. Tetapi peluang-peluang seperti

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 7
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

itu masih sangat spekulatif sifatnya; sesungguhnya terdapat kemungkinan yang sama
bahwa pengadilan akan menampilkan kekuasaan dan sikap permusuhan Pemerintah, yang
dengan demikian memperkuat rasa nasionalisme, atau sebaliknya akan memperjelas
perlunya sikap moderat. Pikiran-pikiran demikian pasti menentukan hakikat pembelaan
yang akan diajukan oleh Soekarno.

Para tahanan tersebut dianjurkan untuk secara resmi diwakili oleh Sujudi, Ketua Dewan
Pimpinan Daerah Cabang PNI Jawa Tengah – yang merupakan tamu Soekarno di saat
penahananya – Sartono seorang bekas anggota PI dan saat itu adalah Wakil Ketua PNI,
Sastromuljono dan Idi Prawiradiputra. Tetapi Soekarno, yang dalam pertimbangannya
sendiri merasa pasti bahwa ia akan dihukum, menyampingkan semua bantuan
professional dan nasihat untuk bersikap moderat. Dengan contoh kasus Hatta yang terjadi
sebelumnya, ia memutuskan untuk menangani sendiri kasusnya dan bermaksud untuk
menjadikannya sebuah persitiwa politik. Hal ini memberikan suatu titik tolak, tempat
kasus nasionalis dapat ditampilkan secara lugas dan dramatis. Setelah delapan bulan
penahanan mereka berlalu, akhirnya keempat orang tersebut di ajukan ke depan
pengadilan. Sementara itu dari hari ke hari, Soekarno memanfaatkan sebagian besar
waktunya untuk menyusun pembelaannya dengan kertas dan tinta yang dikirimkan dari
luar penjara serta kotak kakusnya sebagai meja. Apa yang kemudian lahir daripadanya
bukan sekedar keabsahan badan pengadilannya, melainkan pada seluruh situasi kolonial
yang keabsahan badan peradilan tersebut menjadi sebuah bagiannya. Ketika akhirnya
kasus itu disidangkan, Soekarno telah siap dengan sebuah pidato pembelaan yang
panjang lebar, longgar strukturnya, dibumbui banyak kata-kata ulangan, serta penuh
dengan gairah semangat dan retorika yang khas Soekarno.

Sidang pemeriksaan di Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 18 Agustus 1930 jam
08.15 pagi di bawah pimpinan Hakim Ketua Mr R Siegenbeek van Heukelom. Sidang
memeriksa bukti-bukti selama 27 hari, sampai 29 September. Keempat terdakwa dituduh
telah bersalah melanggar pasal-pasal 153 bis, 169 dan 171. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Pasal 153 KUHP Hindia Belanda mengkategorikan perbuatan-perbuatan
berbicara ataupun menulis, baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai tindak
pidana yang mengakibatkan kekacauan masyarakat. Pasal 169 melarang oraganisasi-
organisasi, yang menganjurkan para anggotanya menyerang pemerintahan kolonial ; dan
pasal 171 berkaitan dengan laporan-laporan palsu yang dirancang dengan tujuan
mengacaukan ketenangan publik. Sedangkan pasal 153 itu sendiri, ruang lingkupnya
mencakup segala macam aksi kegiatan apa pun dari pihak kaum nasionalis, dan
sesungguhnya boleh jadi telah memadai untuk menyatakan kegiatan-kegiatan Soekarno
sebagai melawan hukum, tanpa perlu mendakwanya lagi sebagai telah menyusun
komplotan. (John D Legge, 1985 : 133 – 135 )

Selama berminggu-minggu, saksi utama untuk penuntut umum, yakni Komisaris Polisi
Albreghs dari Bandung, berusaha dengan sia-sia untuk membuktikan adanya “subversi
komunis” yang dilakukan oleh partai yang dipimpin Soekarno. Baginya, hubungan yang
akrab antara orang-orang nasionalis dan orang-orang komunis selama Studieclub tampak
mencurigakan seperti juga kenyataan adanya sejumlah bekas anggota PKI yang
memasuki PNI setelah partai komunis itu dilarang. Tetapi bahwasanya dari sekian

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 8
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

banyaknya bahan bukti yang telah disita tidak diketemukan satu pun dokumen yang
memberatkan terdakwa, merupakan bukti yang jelas bahwa orang-orang komunis – yang
pada waktu itu bermarkas di Singapura – tidak mungkin telah mempengaruhi PNI.

Selain itu, pihak penuntut umum berusaha untuk menunjukkan adanya hubungan yang
langsung antara PNI dan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda. Mengingat bahwa
sampai kuartal keempat 1929 Perhimpunan Indonesia telah berafiliasi dengan Liga
Menentang Penindasan Kolonial ( League against Colonial Oppresion), penuntut umum
mengharap akan dapat menyimpulkan adanya pengaruh komunis yang tidak langsung.
Tetapi Soekarno tetap bertahan – dan memang benar – pada pernyataannya bahwa Partai
Nasional Indonesia merupakan partai yang mandiri. Walaupun ada beberapa persamaan
prinsip, seperti non-kooperasi dan menolong diri sendiri., tidak ada kontak yang lebih
erat. Walaupun kebanyakan anggota PI yang kembali ke Indonesia menduduki posisi-
posisi penting dalam PNI, dan bahkan walaupun semua orang yang ikut mendirikan PNI,
kecuali Tjipto Mangunkusumo dan Soekarno, pernah menjadi anggota Perhimpunan
Indonesia, kenyataannya adalah bahwa perkembangan PNI di bawah pimpinan Soekarno,
sedikit pun tidak sesuai dengan gagasan-gagasan PI, karena selama itu ia tidak
mementingkan upaya-upaya untuk “mempersiapkan rakyat “

Itulah yang dapat diangkat dari keterangan yang telah diberikan oleh 113 orang saksi
yang dipanggil. Keterangan-keterangan mereka, yang terkadang diberikan secara naïf
sekali, telah menghadirkan kembali dalam ruang sidang hari-hari yang sarat dengan
desas-desus dari kuartal ketiga tahun 1929. Begitulah, umpamanya, seorang saksi
bernama Aspai menerangkan bahwa ia pernah mendengar bahwa kemerdekaan akan tiba
dalam suatu bulan Januari, walaupun ia tidak tahu yang pasti. Seorang saksi lainnya,
Nailun, menerangkan pernah mendengar bahwa pada 1930 akan terjadi suatu
pemberontakan, tapi ia tidak tahu terhadap siapa pemberontakan itu ditujukan. Lebih dari
30 orang saksi dengan salah satu cara menghubung-hubungkan PNI dengan ramalan-
ramalan Jayabaya, dan empat belas saksi dalam keterangan mereka yang terpisah satu
sama lain mengatakan bahwa dalam rapat-rapat PNI telah diumumkan bahwa
kemerdekaan akan datang pada 1930, apabila Perang Pasifik digunakan untuk memaksa
pemerintah menyerahkan kekuasaannya.

Jelaslah bahwa pernyataan-pernyataan yang dihubung-hubungkan dengan Perang Pasifik


telah menimbulkan tanggapan yang lebih kuat dalam kesadaran rakyat dibandingkan
dengan tema-tema propaganda lainnya dari partai itu. Baik tema mengenai usaha
menolong diri sendiri maupun tema mengenai setan-setan kapitalisme dan imperialisme,
yang secara terus-menerus dipermaklumkan sebagai musuh bebuyutan, tidak dapat
dilukiskan dengan cara yang setidak-tidaknya agak jelas oleh bagian terbesar saksi-saksi
di ruang sidang pengadilan ”Saya sudah lupa” adalah jawaban yang sering diberikan atas
pertanyaan mengenai soal-soal itu.

Sekarang hukum juga percaya bahwa dimasukkannya Perang Pasifik ke dalam


propaganda PNI merupakan bukti tentang adanya niat jahat Soekarno terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Dalam sidang hari kedua, tidak kurang dari empat kali
Soekarno ditanya, apa yang akan dilakukan oleh PNI seandainya Perang Pasifik itu

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 9
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

benar-benar pecah. Empat kali Soekarno memberi jawaban mengelak “soal itu belum
pernah dipertimbangkan, PNI tidak punya urusan dengan soal itu, dan sebagainya.

Dalam pemeriksaan, hakim ketua mengemukakan hubungan antara propaganda PNI dan
ramalan Jayabaya, dan bertanya kepada Soekarno, apakah ia pernah menggambarkan
Perang Pasifik sebagai terkabulnya ramalan itu menyangkut kepergian orang-orang kulit
putih. Dengan nada marah Soekarno menjawab bahwa ia telah menggunakan Perang
Pasifik sekadar sebagai suatu titik tolak, “hanya karena saya ingin mendidik rakyat saya
secara positif dan tidak mengelabui mereka dengan harapan-harapan palsu” Dalam
menghadapi ancaman perang dan bahaya-bahayanya, rakyat haruslah lebih bersatu,
supaya lebih mampu mengatasi kebutuhan ekonomi dan kesulitan-kesulitan lainnya.

Dalam kenyataannya, Soekarno tidak pernah dengan sengaja berusaha menarik


keuntungan dari kepercayaan rakyat itu seperti yang telah dilakukan orang-orang
komunis dalam periode sebelum terjadinya pemberontakan (1926), ketika mereka
menyatakan bahwa seorang Ratu Adil akan segera tiba dan bahwa ia tidak akan
mengakui sebagai warganya setiap orang yang tidak memiliki kartu anggota. Soekarno
bersikap seperti yang telah dilakukan oleh Tjokroaminoto, yang selalu berupaya untuk
memberikan suatu makna baru kepada ramalan itu, dan yang dengan demikian
menafsirkan Ratu Adil mula-mula sebagai “kemerdekaan” kemudian sebagai “partisipasi
dalam pemerintahan“ dan akhirnya sebagai “kedatangan sosialisme”

Ketika ramalan-ramalan Jayabaya dibangkit-bangkit juga di sekitar dirinya dalam kuartal


keempat 1929, hal itu disebabkan oleh karisma yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang
suka menyebut diri utusan Ratu Adil. Mereka tidak memiliki karisma itu karena tidak
percaya sebagaimana rakyat percaya, dan hanya memanfaatkan kepercayaan itu
Soekarno, sebaliknya, dengan akrab dengan alam pikiran rakyat. Hal itu ia jelaskan
kepada majelis hakim selama berlangsungnya pemeriksaan, dengan menggunakan Ratu
Adil itu sendiri sebagai contoh. ( Bernhard Dahm, 1987 : 145 – 149 )

Dari permulaan pengadilan menjadi jelas bagi Soekarno, kawan-kawannya dan para
pembela bahwa perkara itu haruslah berpegang erat pada etiket dan prosuder hukum.
Tetapi kenyataan bahwa Soekarno dan kawan-kawan jauh hari telah dituduh melakukan
tindakan subversif sebelum peradilan menunjukkan adanya komplotan rekayasa penguasa
kolonial terhadap perkara tersebut. Sidang pengadilan hanya sekedar akan menjatuhkan
hukuman berat bagi mereka. Dengan demikian bagi Soekarno daripada membuang waktu
untuk membela diri dari segi dakwaan maka akan lebih bermanfaat baginya untuk
melakukan pembelaan dengan mengupas segala aspek sistem kolonial rasis. Dan sebagai
yang akan kita lihat bahwa taktik itu memang cukup jitu dalam orasi pembelaan yang
dipersiapkan dengan cepat, pembelaan yang kemudian tersohor dengan nama “Indonesia
Menggugat” yang kemudian menjadi dokumen penting dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia yang sangat dicintainya. Sebenarnya lama sebelum pembelaan Soekarno yang
dibacakannya dalam dua hari sidang, ia telah memperhitungkan isu-isu politik yang nyata
ketika itu seperti tuduhan bahwa PNI sekedar pewaris PKI yang terlarang, hubungan
mesra dengan PNI di Leiden sebagai telah diracuni oleh komunis lewat Liga di Berlin,
Maka tidak aneh jika hakim ketua dan komisaris polisi Bandung sebagai saksi berusaha

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 10
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

keras untuk membeberkan hubungan tersebut dengan pasal 153 bis, suatu pasal yang
telah dikenakan pada PKI yang terlarang.

Pidato Pembelaan

Soekarno menyadari benar bahwa dalam dua hari itu ia akan menjadi pusat perhatian
dalam panggung pertunjukan. Dengan segala ketrampilannya sebagai orator, ia
menyampaikan pembelaan maraton yang piwai, penuh dengan data resmi tak terbantah
dalam membeberkan pesannya. Dengan istilah-istilah penuh tenaga. Hal itu
dipersiapkannya dalam tujuh setengah bulan sejak hari pertama ia ditahan di penjara
Banceuy dan berlangsung terus sampai ia mulai diajukan ke pengadilan dalam bulan
Agustus. Dalam banyak hal pembelaan Soekarno merupakan percakapan diri yang
impresif, dan dengan jelas memberikan sketsa tajam, kuat, dan meyakinkan dalam
kerangka argumen Indonesia, dengan dipenuhi gagasan dalam bahasa-bahasa Eropa serta
sumber-sumber pemikiran politik Barat. Dengan demikian pembelaan itu lebih dekat
dengan semangat Barat daripada getaran pemikiran intelektualisme Indonesia dengan
referensi pada aliran sosial demokrat dan sarekat buruh Eropa yang menjadi ajaran
intelektual bagi PNI dan sama sekali tidak pada pandangan PKI yang terlarang. Ini
merupakan upaya untuk menangkis peradilan dengan membuat berbagai argumen mereka
menjadi tak berarti. Sejak permulaan pengantarnya Soekarno menyatakan bahwa
‘pengadilan itu sepenuhnya adalah pengadilan politik, dengan demikian diperlukan
pengertian bahwa isu-isu politik tak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa hal itu
merupakan bentuk dasar dari karakter PNI dan menjadi sumber tujuan dasarnya ”Masalah
politik tersebut membentuk dasar pemikiran tetapi juga jiwa keempat terdakwa. Dengan
demikian ia percaya pada para hakim bahwa“ kami para terdakwa akhirnya sampai pada
penjelasan yang lebih mendalam, bukan saja untuk memelihara tingkat netralitas yang
tegas, tetapi juga sadar akan kenyataan kami tidak membuat propaganda sekedar untuk
kepercayaan politik kami, Sebaliknya kami ingin tuan-tuan mempelajari tujuan,
lingkungan dan aksi-aksi PNI, agar tuan-tuan dapat menilai dan mengerti pandangan
politik kami beserta arti dan maksud dari pernyataan serta aksi kami. Cuma itu, dan
Cuma itu saja tujuan pembelaan kami.” ( Bob Hering , 2003 : 213 - 214 )

Bagi Soekarno, keasyikan pengadilan memperhatikan pidato-pidatonya selama tiga tahun


terakhir, nampaknya tidak mengenai sasaran dan tidak berarti. Ketika pada 1 Desember ia
tampil untuk mengucapkan pembelaan yang disusunnya sendiri menjelang akhir
pembelaannya ia memberikan perhatian khusus terhadap pertanyaan-pertannyaan
tersebut, namun sebagian besar pembelannya itu dalam tingkat yang cukup berbeda. Ia
menyoroti, dalam arti seluas-luasnya, hakikat imperialisme, menekankan karakternya
yang sistimatis, menelusuri pengaruhnnya terhadap Indodnesia, dan berusaha
menempatkan PNI dalam konteks sejarah tersebut.

Soekarno mengawali pembelaannya dengan menyoroti pengadilan itu sendiri. Dengan


dalih, bahwa tujuan pidato pembelaannya adalah untuk menunjukkan pada persidangan
tentang tujuan dan sifat-sifat PNI, ia menunjuk pada sifat-sifat elastis dari dasar yuridis
tuduhan terhadapnya. Ia juga memperingatkan para hakim yang memeriksanya, agar

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 11
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menentang penggunaan hukum sebagai senjata politik. Dari sini ia mengupas secara
terperinci hakikat kapitalisme dan imperialisme.

Pusat analisisnya adalah pembelaan antara imperalisme kuno dan imperailisme modern.
Ada persamaan antara keduanya. Semua imperialisme, baik yang kuno maupun modern,
mencakup pengendalian perekonomian rakyat atau bangsa lain oleh suatu kekuasaan
metropolitan. Namun, menurut Soekarno, terdapat suatu perbedaan penting antara
imperialisme Portugis dan Spanyol atau operasi East India Company milik Inggris dan
VOC Belanda dia Asia Tenggara di satu pihak, dan jenis pengaruh yang ditimbulkan oleh
kekuasaan-kekuasaan imperialisme dari akhir abad ke-19 di pihak lain. Imperialisme
modern adalah anak dari kapitalisme modern Secara luas ia mengutip berbagai sumber
pemikiran – seperti Troelstra, seorang sosialis Belanda, dari H.N. Braisford, Otto Bauer,
Engels, Schumpeter dan Thomas Moon -,lalu ia merumuskan pendapatnya bahwa segala
bentuk kapitalisme modern, baik dalam bentuk sistem mandat, penempatan daerah-
daerah protektorat, maupun bentuk pengambilalihan total tanah-tanah jajahan, merupakan
produk dari kebutuhan ekonomi, yakni kebutuhan untuk mendapatkan pasaran baru,
ataupun untuk memperoleh hak khusus dalam investasi. Dalam zaman lampau, upaya
mencari keuntungan-keuntungan dagang itu telah membawa Inggris, Perancis, Spanyol,
Portugal dan Negeri Belanda, ke kancah persaingan penguasaan berbagai bagian dunia –
Amerika, India, Timur Jauh dan Asia Tenggara. Akan tetapi dengan perkembangan
kapitalisme modern, upaya pencarian kemungkinan bagi investasi dan berbagai
kesempatan untuk mengeksploitasi rakyat-rakyat jajahan, telah menambah sebuah
tekanan baru untuk mendorong hasrat menguasai yang tidak puasnya Kerajaan Inggris
Raya khususnya, merasa berkepentingan untuk memblokade dan membatasi ekspansi
saingan-saingannya menancapkan benderanya di bagian baru muka bumi, dan kendatipun
demikian, tetap tanpa rasa puas ingin menguasai Imperialisme telah bersifat merajalela ke
seluruh muka bumi. Telah menjadi suatu proses lapar. Barangkali terdapat keuntungan-
keuntungan sebagai hasil sampingan ekspansi tersebut, yang barangkali membawa
pengetahuan, perkembangan dan peradaban kepada bangsa-bangsa yang terbelakang.
Tetapi, bukan itu yang merupakan tujuan-tujuan dasar imperialisme. Tujuan dasarnya
adalah keuntungan.

Sebagian dari analisanya ini dipaparkan dalam ungkapan-ungkapan yang bersifat


Marxistis. Bertolak dari penilaiannya mengenai kapitalisme sebagai sebuah sistem yang
memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi, tanpa kaitan argumentasi yang erat
Soekarno kemudian melanjutkan bahwa imperialisme adalah konsekuensi dari ekspor
modal guna mencegah merosotnya nilai modal didalam negeri. Sampai sejauah ini ia
berjalan selaras dengan analisis Lenin dalam bukunya Imperialisme. Ia juga menguraikan
tentang kurangnya daya konsumi dari negeri kapitalis itu sendiri dan menekan perlunya
pasaran-pasaran baru. Tetapi tidak satu pun dari analisisnya ini disusun secara sistimatis.
Kesiapannya untuk memetik dari sekian banyak sumber merupakan ciri dari sifat tidak
sistimatisnya pendekatan terhadap persoalan. Tetapi, hal ini adalah persitiwa yang
berkaitan dengan peradilan dan bukan sebuah seminar akademis. Dan penelanjangan
Soekarno terhadap imperalisme itu tersebar ke seluruh dunia dan menimbulkan rivalitas,
konflik serta eksploitasi dalam rentetannya, mempunyai suatu kegemilangan tersendiri.
( John D Legge, 1985 : 133 – 138 )

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 12
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sesudah menganalisa imperialisme secara umum, Soekarno kemudian meninjau


peranannya di Indonesia. Menurut Soekarno imperalisme Belanda berawal dengan
kedatangan VOC (Verenigde Oost-Indische Company). Dengan berapi-api ia
menggambarkan kelakuan kejam Jan Pieterzoon Coen, yang hari wafatnya yang ketiga
ratus masih diperingati dengan setahun sebelumnya, diserang sedemikian rupa. Memang
benar bahwa mantan gubernur jendral ini dianggap sebagai orang pahlawan Belanda,
tetapi di dalam sejarah kebangsaan Belanda orang juga lebih suka meloncati kekejaman-
kekejaman Coen ketika memberantas penduduk kepulauan Belanda dalam usahanya
untuk merampas monopoli cengkih dunia. Juga sistem tanam paksa, yang oleh Soekarno
dilukiskan sebagai “ tali pecut yang dipukulkan ke kepala dan punggung rakyat kami,” –
sejak diungkapkan oleh Mutatuli dalam bukunya yang berjudul Max Havelar, hanya
sedikit pendukungnya di kalangan Belanda. Kecaman imperalisme Soekarno di didukung
oleh sejumlah besar pengarang Belanda seperti Snouck Hurgronye, Gonggrijp, Kiestra,
Veth, dan Henriiete Roland Holst- seperti dibuktikan olehnya dengan kutipan yang
berlimah-limpah : Memang benar “, demikian Soekarno mengakhiri bagian uriannya ini.
“kejahatan-kejahatan VOC dan kejahatan-kejahatan tanam paksa itu terjadi di masa
lampau, tetapi jantung nasional kami masih belum bisa melupakannya.

Menurut Soekarno, imperialisme modern telah menyalahgunakan bumi Indonesia sebagai


tempat untuk menggali bahan-bahan dasar sebagai pasaran untuk hasil produksinya yang
berlebihan, makin lama makin sebagai “daerah operasi untuk menanamkan modal sebesar
ratusan, ribuan, bahkan jutaan gulden,” Di sini pun Soekarno mengajukan salah tema
kesayangannya “surplus ekspor”. Di mana sebelum itu menurut perhitungnya jumlah
surplus ekspor ini beberapa ratus juta gulden, berdasarkan informasi dari J van Gelderen,
kepala Biro Statistik kali ini menyebutkan angka satu setengah milyar ; dalam nilai
mutlak pun surplus ekspor ini termasuk yang tertinggi di dunia. Agaknya Ketua Hakim
van Heukelon mulai tidak enak hati mendengar bagaimana terdakwa, dalam uraiannya
tentang imperialisme modern, menggambarkan betapa besar jumlah uang yang disedot
oleh negeri asal van Heukelom dari tanah jajahannya, juga karena ia tahu bahwa
penghasilan pribadinya sendiri untuk sebagian besar tergantung pada surplus ekspor ini
Walaupun demikian, ia tidak menyela ucapan-ucapan kritis yang tidak kenal takut ini,
juga ketika pembicara berteguh bahwa yang ia maksud bulan pemerintah Belanda,
melainkan imperialisme dalam arti yang abstrak.

Ada empat faktor yang menjadi ciri imperialisme modern. Yang ia sebut pertama-tama
ialah politik divide et impera pemerintah Belanda, dan sebagai contoh yang paling
mutakhir ia mengemukakan tekad pemerintah Hindia Belanda untuk membuka Bali untuk
kegiatan-kegiatan misi. Maksud yang terselubung di belakangnya, demikian tutur
Soekarno, ialah untuk membangun suatu penyangga Katolik antara Jawa dan kepulauan
Sunda, sama seperti zending menjadikan tanah Batak penyangga antara Aceh dan
Minangkabau yang beragama Islam. Ciri kedua dari imperialisme modern itu adalah
bahwa penduduk asli tetap dibiarkan bodoh. Di sini Soekarno mengajukan penulis
Belanda Augusta de Wit sebagai saksi yang mendukung, pendapatnya ini. Ia ini berkata,
”Ketidakadilan sudah berlangsung terlampau lama; jiwa telah tumbuh menurut
strukturnya. Kemampuan berpikir menjadi kerdil dan bengkok.” Sebagai faktor ketiga ia

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 13
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menyebut perasaan orang Belanda bahwa mereka lebih dari orang Indonesia. Sebagai
ilustrasi si pengucap pidato yang suka membaca itu mengutip kata-kata pastor E.G.J.M.
van Lith, seorang pastor yang progresif : “ Tetapi walaupun mereka (para kolonisiator
modern) sama sekali tidak sama seperti pencuri-pencuri cengkih zaman itu, mereka tetap
membagi dalam warisannya. Mereka semua telah menarik hibah dari harta yang
diwariskan oleh Oost-Idische Compagnie yang terkenal itu.” Dan sebagai faktor keempat,
Soekarno menyebutkan politik asosiasi. Politik ini mencoba mengaburkan pertentangan
kepentingan yang fundamental antara “sini” dan “sana“ ( Lambert Giebels , 2001 : 118 –
121)

Pada akhir bagian ini Soekarno mengutip deskripsi JH Boeke “para petani Jawa yang
menjadi miskin tidak mampu memberikan pengaruh apa pun untuk meningkatkan
kehidupannya sendiri dan Huender bahwa “ pendapatan rata-rata keluarga pribumi yang
terdiri dari 5 orang hanya sebesar 5 sen seorang sehari. Mengenai meningkatkan
kemiskinan di antara penduduk pribumi, Soekarno berkesimpulan bahwa Imperialisme
modern membikin rakyat bumiputera menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh
belaka dan membikin Hindia Belanda menjadi si buruh di dalam pergaulan-pergaulan
bangsa-bangsa. ( Bob Hering , 2003 : 217 )

Apakah imperialisme modern, yang begitu membuat seram situasi hati ini, bisa ditumpas
tanpa pertumpahan darah? Jawaban atas pertanyaan ini agaknya tidak sesuai dengan
bayangan yang diberikan Soekarno tentang suatu revolusi damai. Ia tidak tahu bagaimana
bentuk tahap terakhir imperialisme kelak. Merangkum kata-kata Karl Kausky, tentang hal
ini ia berakata. ”Sama seperti kami tidak mau menumpahkan darah, kami tidak bisa
menahan kaum imperialiis untuk keinginan merdeka bangsa Indonesia dalam darah’ Jadi
golongan “sana” sendiri yang akan menentukan babak terakhir kolonialisme . ( Lambert
Giebelas , 2001 : 122 )

Pada bagian berikutnya Soekarno menjelaskan bagaimana timbul dan berkembangnya


pergerakan. Secara ringkas ia menjelaskan perjuangan kemerdekaan selama ratusan
tahun, di antaranya bangsa Belanda yang membebaskan dirinya dari penindasan Spanyol.
Hal ini mula-mula mengemuka di Eropa, akhir-akhir ini di Afrika dan Asia, dan menurut
Soekarno juga Indonesia terutama sejak 1908. Dengan mengutip seorang anggota
Majelis Rendah Belanda J.W. Albarda bahwa pergerakan Indonesia “ akan maju yang tak
diragukan lagi akan mencapai tujuannya yakni kemerdekaan rakyat Indonesia dari
kekuasaan kolonial.” Di samping itu ia juga mengutip Dr H Kraemer yang menyatakan
bahwa orang sama sekali salah sangka bahwa apa yang disebut kebangunan Timur itu
hanya menjadi soal lapisan intelektual yang tipis dan jumlahnya sangat kecil. Mau tidak
mau rakyat murba yang diam itu juga ikut mendidih dalam kancah persoalan itu.
Pendapat dari C Snouck Hurgronye dikutip juga. Islamolog terkemuka tersebut
menyatakan bahwa sumbernya dari dulu dan sekarang bukan pemupukan beberapa ribu
kaum intelektual, yang terlampau banyak mendapat pendidikan Barat dan tak bisa
ditampung oleh masyarakat bumiputera, tapi rasa perlawanan di mana-mana terhadap
penjajahan, rasa perlawanan yang kadang-kadang tampak keluar dan kadang-kadang
tinggal terbenam,

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 14
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bagian terpanjang pembelaannya, Soekarno dengan panjang lebar menjelaskan tentang


PNI. Bagian ini merupakan ini dari penting dari pembelaannya. Ia menjelaskan bahwa
yang dilakukan PNI adalah membimbing dan mempersiapkan pengikutnya untuk
mencapai tujuan revolusioner dalam konsep tanpa ada urusan dengan kegiatan kriminal
subversif. Soekarno menekankan bahwa prinsip-prinsip PNI tidaklah berbeda dengan
gerakan buruh di Eropa dan Amerika dalam arti bahwa bahwa kaum buruh harus
memenangkan perjuangan politik untuk melaksanakam sosialisme. Dalam hubungan ini
ia mengutip paragraph sebelas petunjuk SDAP Belanda, yang menyatakan bahwa” kaum
proletar hanya bisa mematahkan perlawanan kaum feodal terhadap usaha membikin alat-
alat perusahaan partikelir menjadi milik umum dengan mengambil kekuasaan politik “
Atau dengan kata lain , “ rakyat yang dijajah hanya bisa mematahkan perlawanan kaum
imperialis terhadap pekerjaan memperbaiki kembali semua susuaan pergaulan hidup
nasionalnya dengan mengambil kekuasaan pemerintahan , yakni mengambil kekuasaan
politik’

Dengan demikian maka PNI hendak memastikan tugasnya menjadi agen perubahan.
Menghadapi proses perubahan besar revolusioner serta evolusi sistematis, yang
diperlukan maka PNI tetaplah waspada menghadapi kemungkinan bahwa hal itu berubah
menjadi transisi berdarah. PNI menekankan cara-cara tanpa kekerasaan, bahwa
“perjuangan kita bukanlah dengan pedang atau senapan atau bom atau dengan cara
kekerasan sebagai disebut dalam 153 dan 169. Sekalipun “sejak permulaan PNI adalah
partai revolusioner, kami tidak menghendaki suatu pemberontakan maupun melanggar
karena kami menghendaki percepatan perubahan”. Kemudian dikutipnya buku Der Weg
zur Macht dari Karl Kautsky “sosial demokrasi adalah suatu partai yang revolusioner,
tapi bukan suatu partai yang bikin revolusi-revolusi. PNI juga bermaksud menyusun dan
membikin matang rakyat untuk itu. PNI adalah revolusioner tidak karena apa-apa
melainkan hanya karena PNI ingin perubahan yang lekas dan radikal. Pendeknya PNI
tidak memerlukan bom, dinamit, golok, bedil sebagai senjata karena jika semangat sudah
sadar dan bangkit dan berkobar-kobar di dalam kalbu rakyat lebih hebat kekuasaanya dari
seribu bedil dari seribu meriam. Lalu Soekarno mengutip Srikandi India Sarojini Naidu
yang menyatakan “Siapa bisa merantai suatu bangsa kalau semangatnya tak mau
dirantai? Siapa bisa membinasakan suatu bangsa kalau semangatnya tak mau
dibinasakan?. Pada akhir bagian ini ia menjelaskan apa yang disebutnya “semangat
organisasi :, kemudian diikuti dengan penjelasan gerakan di lapangan untuk
merealisasikan kekuatan organisasi PNI. ( Bob Hering, 2003 : 218 – 221 )

Martir Kaum Nasionalis

Pengadilan terhadap Soekarno, Gatot Mangkupradja, Maskun dan Supriadinata dibuka di


Pengadilan Kabupaten Bandung pada 18 Agustus 1930. Selesai pada tanggal 29
September, dan pada tanggal 22 Desember keputusan dijatuhkan. Soekarno dihukum 4
tahun penjara, Gatot 2 tahun, Maskun 20 bulan dan Supriadinata 15 bulan.

Telah diperkirakan bahwa sebelum pemeriksaan dimulai Soekarno merasa yakin bahwa
dirinya mungkin sekali akan dinyatakan bersalah, dan oleh karena itu ia bertekad untuk

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 15
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

membela dirinya sendiri dengan menggunakan forum yang disediakan oleh pengadilan
untuk keuntungan politik yang sebesar-besarnya. Meskipun tak ada keraguan lagi di
antara para pejabat pemerintah Hindia Belanda bahwa mereka bisa dengan mudah
membuktikan pelanggaran berdasarkan pasal 153, namun mereka berselisih pendapat
mengenai kemungkinan membuktikan pelanggaran berdasarkan pasal 169. Pembuktikan
terhadap pasal 153 saja merupakan kemenangan yang harganya terlalu mahal dan seakan-
akan membenarkan bahwa kegiatan-kegiatan PNI masih berada dalam batas-batas
Undang-undang Hindia Belanda. Para pengacara dalam kalangan pemimpin PNI
mestinya sudah yakin juga akan hal ini. Baik mereka maupun Soekarno sendiri punya
alasan-alasan untuk merasa optimis bahwa mereka akan bisa dengan berhasil menangkis
tuduhan-tuduhan utama berdasarkan pasal 169.

Kerasnya hukuman, terutama yang dijatuhkan pada Soekarno mengejutkan baik para
pemimpin yang dinyatakan bersalah itu sendiri maupun kelompok yang lebih luas dari
kaum nasionalis. Penangkapan-penangkapan itu telah mencengangkan kebanyakan kaum
nasionalis dan pada bulan-bulan sebelum sidang pengadilan banyak orang merasa yakin
bahwa keempat orang pemimpin itu mungkin akan dibebaskan sama sekali atau paling-
paling mendapat hukuman ringan. Meskipun ada gangguan yang terus menerus,
intervensi serta penggunaan ancaman pidana terhadap kaum nasionalis dalam sejarah
keterlibatan politik mereka yang pendek, dalam barisan mereka ini masih tetap ada
sedikit kepercayaan terhadap keadilan sistem hukum Belanda. Hukuman-hukuman yang
dijatuhkan itu mengarah kepada penghancuran terhadap kepercayaan ini. Bukan cuma
kaum nasionalis saja yang merasa tertekan oleh kerasnya hukuman itu. Profesor JMJ
Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Batavia dengan keras mengutuk dasar hukum
keputusan berdasarkan pasal 169, dengan alasan bahwa bukti-bukti yang diajukan
merupakan pelanggaran terhadap prinsip luhur dan tradisi lama hukum Belanda.
Meskipun timbul protes-protes demikian, hukuman itu tetap dikukuhkan oleh Dewan
Hakim pada waktu diajukan permohonan naik banding dalam bulan April 1931.

Penolakan Dewan Hakim terhadap permohonan naik banding tersebut merupakan


pukulan pahit bagi para pejuang nasionalis namun setidak-tidaknya mengakhiri ketidak-
pastian di kalangan mereka sejak Desember 1929. Pemimpin-pemimpin PNI yang lain
yang hanya maju-mundur selama satu setengah tahun terakhir ini, kini yakin bahwa
mereka tahu di mana mereka berdiri dan suatu saat akan bisa kembali lagi ke arena
politik. Suatu gerakan nasionalis sekuler harus dibangkitkan yang luar biasa dalam
perjuangan nasional merupakan senjata propaganda yang baru dan tak ternilai. ( John
Ingleson, 1983 : 153 – 155 )

Pidato pembelaan Soekarno tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.


Untuk keperluan penerjemahan pidato pembelaan Soekarno ke dalam bahasa Belanda, M
Husni Thamrin mengirimkan kepada JE Stokvis versi terbitan bahasa Belanda dengan
dana nasional Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Kebangsaan Iindonesia (PPPKI),
Arbeiderspers dari partai buruh bersedia mencetaknya sementara Sjahrir siap untuk
melakukan terjemahan. Pada akhir Juli 1931 Sjahrir menyelesaikan pekerjaannya dengan
judul Indonesie Klaagt Aan. Sjahrir telah mengirimkan langsung satu kopi terjemahannya
kepada Soekarno untuk diperiksanya. Tetapi sayangnya buku terjemahan tersebut

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 16
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

diterbitkan tanpa diperiksa lebih dahulu oleh Soekarno. Lagi pula Soekarno sendiri
merasa bahwa tidak memungkinkan bagi dirinya untuk memeriksa kembali sejak ia
persiapkan di penjara Banceuy karena kepustakaan yang diperlukan tak diperbolehkan
untuk dikunjungi. Dalam pengantarnya Sjahrir menjelaskan bahwa dalam terjemahannya
ia telah menghilangkan bagian-bagian tertentu agar lebih mudah bagi pembaca Belanda.
Ia merasa bahwa “hal itu tidak akan mengurangi arti pembelaan Soekarno yang asli,
karena kebesaran nama Soekarno sebagai pembicara dan pemimpin yang padu yang
sangat menjiwai jutaan rakyat Indonesia. Dengan demikian penerjemah sangat sadar akan
kenyataan bahwa keindahan bahasanya menjadi berkurang meskipun terjemahan ini
masih memancarkan Soekarno. Begitu banyak kutipan membuat buku ini juga
bermaanfat bagi pembaca di Barat dan penyebaran pikirannya yang berharga. Melalui
Soekarno suara rakyat Indonesia menggema dalam perlawanan pembelaan dan gugatan.
Bertumpuk-tumpuk buku edisi bahasa Belanda dari pembelaan Soekarno sampai di
Batavia pada permulaan Februari 1932 dan gara-gara persoalan sampul buku tersebut
disita polisi dan setelah gambar sampul – Van Heuts menatap ke bawah pada beberapa
mayat terbungkus kafan - diganti, peredaran buku tersebut menjadi tidak terganggu.
( Bob Hering, 2003 : 236 – 237 )

Sesudah keputusan Pengadilan Negeri menjadi tetap, tiga orang tawanan yang lain
dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Sukamiskin terletak kira-kira lima belas kilometer
dari Bandung, di Jalan Pos Besar. Gedungnya baru saja selesai dan untuk zaman itu
termasuk amat modern. Gedung itu dirancang oleh teman dan guru Soekarno.,Wolf
Schoemaker. Sel tempat Soekarno dikurung bernomer 233, dan terletak di lantai pertama
di ujung salah satu sayap; sel-sel lain didekatnya tetap kosong. Sel-sel Sukamiskin tidak
luas, berukur dua kali tiga meter, tetapi penataannya cukup praktis : tempat tidur, toilet,
daun meja yang menempel pada tembok dan terali besi terdapat di bagian atas dinding.
Waktu masuk penghuninya dicukur gundul dan diberi pakaian penjara yang terbuat dari
kain katun kasar. Tata tertib Sukamiskin - rumah tahanan untuk kriminal-kriminal
berbangsa Eropa – yang pegawainya untuk sebagian besar berbangsa Belanda, amat
disiplin, berlainan dengan keadaan di Indonesia pada umumnya. Untuk giliran makan dan
mandi, setiap kelompok diberi waktu beberapa menit. Selain pada waktu makan, istirahat
dan mandi, para tawanan hampir tidak bisa berhubungan. Kelakuan para penjaga tidak
menyalahi peraturan, tetapi mereka menjaga jarak. Selama di Sukamiskin, ia tidak pernah
dianiaya, tetapi ia lebih menderita karena tidak ada kontak manusiawi. Kedua teman
sepenjaranya, Gatot dan Maskoen, jarang dijumpainya. Masa tahanan yang harus diliwati
Soekarno di Sukamiskin yang bersih dan modern itu dirasakan jauh lebih berat daripada
bulan-bulan penahannya di gedung reot di Banceuy, dengan sel-selnya yang kotor dan
prasarana yang serba kurang. Di sana ia berhasil memperoleh pelayanan istimewa,
sementara para tahanan dan penjaga pribumi bergaul dalam suasana yang hampir bersifat
kekeluargaan.

Di dalam keputusan Pengadilan Negeri ditetapkan bahwa mereka yang dihukum tidak
diperbolehkan bekerja di luar gedung penjara. Hakim sebenarnya bermaksud
meringankan hukuman yang diberikan, namun oleh Soekarno hal itu malah dirasakan
sebagai memberatkan. Para pengacaranya sia-sia berusaha mengikutsertakan klien
mereka di dalam regu-regu pekerja yang siang hari harus bekerja di udara terbuka.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 17
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sebaliknya, Soekarno diperkerjakan di bagian penjilidan penjara dan di sana ia harus


membuat blocnote. Pekerjaan membosankan, yang terdiri dari memotong kertas, menarik
garis dan mengikatnya menjadi blocnote ; sebuah kegiatan yang cepat membuatnya
bosan. Sedang beberapa waktu itu diberi pekerjaan yang lebih cocok, yaitu di bagian
statistik. Setiap dua minggu Inggit diperbolehkan mengunjunginya. Kunjungan-
kunjungan itu bagi Soekarno menjadi titik-titik terang di dalam kehidupannya. Akan
tetapi, bagi Inggit bukan hal yang mudah. Soekarno senantiasa mengharapkan Inggit
mengajak Omi, yang waktu itu sudah berumur lima tahun. Namun, Inggit kadang-kadang
kekurangan uang untuk menyewa delman sehingga ia terpaksa berjalan kaki dan kalau
hari hujan mereka harus bernaung di bawah atap-atap warung atau lumbung padi
sepanjang jalan. Inggit menyaksikan betapa suaminya, yang sebenarnya bersifat easy
going, di Sukamiskin makin lama makin murung. Ia tidak dapat berbuat banyak untuk
meringankan nasibnya. Kalau ia datang berkunjung mereka hanya boleh bertemu di ruang
tamu yang dijaga, itu pun hanya untuk waktu yang singkat. Kontak badaniah dilarang
bahkan cium saja tidak diperbolehkan. Dengan setia Inggit Garnsaih selalu membawa
kue-kue bikinanya sendiri, dan di dalam kue-kue itu ia selalu menyembunyikan surat-
surat kecil berisi cerita-cerita yang tidak berani ia utarakan di depan para penjaga.
( Lambert Giebels , 2001 : 133 – 136 )

Pada saat berada dalam penjara kali inilah, Soekarno menempatkan diri lebih dekat pada
studi tentang Islam dibandingkan waktu-waktu sebelunya. Buku-buku dapat
dikirimkan kepadanya hanya sesudah diperiksa dengan teliti. Buku-buku politik tetap
tidak diizinkan, meskipun bahan-bahan dari perpustakaan penjara terdapat amat
sedikit. Tetapi untuk Al-Qur”an, Alkitab dan karya-karya bersifat komentar tentang
agama masih mungkin diperolehnya. Soekarno menggambarkan dirinya telah
menemukan Islam untuk pertama kalinya. Tetapi apa yang terjadi sesungguhnya
hampir merupakan kebalikannya Soekarno tidak pernah memeluk Islam dengan
sepenuh hati, secara doktriner utuh, sebagaimana diinginkan para pemimpin
organisasi-organisasi muslim. Lebih tepat apabila dikatakan bahwa ia memperdalam
apresiasinya tentang Islam, dan kemudian menambahkannya para pengaruh ideologi
lain yang telah meresap ke dalam model sinkretis priyayi Jawa. Dan kendatipun ia
melihat dirinya sendiri sebagai seseorang yang berupaya terus-menerus mencari
sintesis antara pemikiran yang bersifat sekuler dan religius, kaum santri sejati selalu
menghargainya dengan rasa curiga. ( John D Legge , 1985 : 143 – 144 )

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 18
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pada pagi hari tanggal 31 Desember, Soekarno melangkah ke luar dari penjara
Sukamiskin di Bandung sebagai seorang yang bebas. Ia disambut oleh sebuah panitia
sebagai seorang yang bebas. Ia disambut oleh sebuah panitia yang terdiri dari wakil-
wakil sebagian besar organisasi nasionalis yang terpenting, baik yang politis maupun
bukan, dan segera terlihat lagi dalam gerakan nasionalis. Hari berikutnya, ia
berangkat ke Surabaya untuk mengikuti Kongres Indonesia Raya sambil mampir di
Yogyakarta untuk menemui Ki Hadjar Dewantara. Situasi di stasiun Surabaya
beberapa jam sebelum kedatangannya merupakan bukti betapa mendalamnya
perasaan yang telah dibangkitkannya baik secara pribadi maupun secara dalam
kedudukannya sebagai simbol perjuangan Indonesia. .Masa yang melimpah
diperkirakan sebanyak 5.000 orang di mana-mana dijual kembang merah-putih yang
kemudian dipersunting juga oleh banyak orang dan taksi-taksi mengibarkan bendera
“nasional“ merah-putih. Kegembiraan dan peranan penuh harapan memuncak ketika
kereta api yang membawa Soekarno muncul di stasiun. Sewaktu ia terlihat di pintu
gerbong, pekikan gembira “ hidup Soekarno” diteriakkan oleh massa, disusul
nyanyian Indonesia Raya dan “Mars Sukarno“. Bila itu semua belum cukup sebagai
bukti tentang mistik yang sudah bertumbuh di sekitar dirinya, maka suasana serupa
di luar hotel dapat memperkuat bukti tersebut.

Setelah beristirahat di hotel dan sesudah menemui pemimpin-pemimpin nasional dan


pemimpin-pemimpin setempat yang terus mengunjunginya di kamarnya,
pemunculan Soekarno yang pertama secara resmi di depan umum setelah dua tahun,
terjadi pada malam harinya di Gedung Nasional di Surabaya. Menurut rencana, ia
akan tiba jam 8.30 malam, tetapi sejak jam 6 gedung tersebut telah penuh sesak.;
biasanya gedung tersebut hanya menampung 1.600 orang, tetapi saat itu dipenuhi
oleh 3.000 orang, di samping beratus-ratus orang tak bisa masuk dan hanya
berkerumun di luar di pintu masuk. Sewaktu jam kedatangannya semakin dekat
kegairahan pengunjung terus meningkat dan sementara mereka menunggu
kegembiraan itu terus ditiup-tiup dengan nyanyian lagu-lagu patriotik. begitu datang,
Soekarno terus dipanggul dan dibawa ke podium melewati massa yang bersorak-
sorai, yang sempat dibuat hening sebentar untuk kemudian melepaskan pekikan-
pekikan yang menggemuruh “Hidup Soekarno”

Dalam pidato penyambutannya, Sutomo, ketua PPPKI dan ketua Kongres Indonesia
Raya, menggemakan kembali perasaan beribu-ribu orang Indonesia yang kesadaran
politiknya telah ditumbuhkan oleh pidato-pidato Soekarno Bahkan mereka yang tidak
sependapat dengannya masalah-masalah ideologi dan taktik, terpesona oleh
kepribadiannya dan sangat mengaggumi penampilannya di depan politik. Saat itu semua
perbedaan pribadi dan politik dikesampingkan ketika Sutomo menganggap sebagai
seorang martir nasional. Dalam jawaban yang singkat Soekarno mengatakan kepada
pendengarnya bahwa ia akan menyampaikan sebuah pidato penting mengenai gerakan
kebangsaan pada malam berikutnya bila mereka ingin mendengarkan amanat yang telah
dibawanya bagi mereka dari Surabaya.

Pada malam berikutnya hadir kembali massa yang meluap dan tatkala Sutomo
mempersilahkan Soekarno untuk menyampaikan pidatonya, maka sorak-sorai dan

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 19
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pekikan .”Hidup Bung Karno” menggemuruh di seluruh ruangan. Pemain orkes


memainkan lagu “Mars Ir Soekarno“ dan Soekarno berjalan menuju ke podium diiringi
tepuk tangan yang memekakan telinga, tetapi, sebagaimana sering terjadi sebelumnya,
begitu ia mulai berbicara, maka sekonyong-konyong ada keheningan yang memukau
seluruh ruangan. Pidato tersebut bukanlah salah pidatonya yang terbagus, meskipun bagi
pendengarnya yang demikian bergairah untuk hanya melihat dan mendengarkan
Soekarno, pidato itu dengan sendirinya sudah mencukupi. Pidato terasa kekurangan
drama emosional dan retorik yang mewarnai pidato-pidatonya sebelum ia dipenjarakan.
Hiruk-pikuk selama dua hari yang baru lalu, setelah ia dua tahun terpisah dari rakyat
banyak, yang memberinya makanan rohani, barangkali karena terjadi seketika,
dirasakannya terlalu melelahkan. Bagaimanapun juga ia tidak memerlukan waktu yang
lama untuk mendapat kembali api oratorisnya meskipun dalam 1932 dan 1933 ia
nampaknya tidak pernah sepenuhnya mampu mencapai kembali puncak-puncak
keagungannya yang konsisten yang pernah diperlihatkannya pada tahun 1928-1929.
( John Ingleson,1983 : 177 – 179 )

Walaupun beberapa orang pemimpin gerakan pembebasan nasional melebihi Soekarno


dalam kecakapan berorganisasi ataupun kemampuan dalam mengurusi persoalan-
persoalan rutin, namun tidak seorang pun yang menandinginya dalam bidang seni untuk
meyakinkan massa, menggerakkan massa. Kekuatan Soekarno terletak tidak hanya dalam
keberanian dan kerevolusioner pidato-pidatonya, tidak hanya dalam kecakapan berbicara,
tetapi juga dalam hal, bahwa ia adalah orang yang mengenal benar-benar jiwa rakyat,
bisa berbicara dengan massa dengan bahasa yang mereka pahami. Soekarno sendiri
menyatakan bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk mengutarakan ideal-idealnya
dengan cara mentalitas Indonesia, yang telah membikinnya menjadi pemimpin gerakan
rakyat yang nyata-nyata diakui.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 20
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Adams, Cindy. 1984. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.


Jakarta : Gunung Agung .

Alfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta : PT


Gramedia.

Dahm , Bernhard. 1987. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta :


LP3ES.

Giebels, Lambert. 2001. Soekarno. Biografi 1901 – 1950. Jakarta : Grasindo

Hering, Bob. 2003 Soekarno – Bapak Indonesia Merdeka . Jakarta :


Hasta Mitra.

Ingelson, John. 1983. Jalan Ke Pengasingan . Pergerakan Nasionalis


Nasionalis Tahun 1927 – 1934. Jakarta : LP3ES.

Ingelson, John,” Sukarno, PNI dan Perhimpunan Indonesia,” dalam Colin


Wild dan Peter Carey (ed) 1981.. Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi
Sejarah. Jakarta : PT Gramedia.

K H, Ramadhan. 1988. Kuantar ke Gerbang . Kisah cinta Inggit dengan


Bung Karno. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Legge, John D. Sukarno . Sebuah Biografi Politik . Jakarta : Pustaka Sinar


Harapan.

M.S, Kapitsa & Malettin N.P. 2009. Soekarno. Biografi Politik. Bandung :
Ultimus .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 21
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Paget, Roger K .1975. Indonesia Accuses! Soekarno”s Defence Oration in


The Political of 1930. Kuala Lumpur : Oxford University Press.

Penders, C.L.M. 1975. The Life and Times of Sukarno. Kuala Lumpur :
Oxford University Press.

Sukarno. 1983. Indonesia Menggugat . Jakarta : Inti Idayu Press.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 22
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like