You are on page 1of 22

CSD Center for the Study of Democracy

An Organized Research Unit


University of California, Irvine
www.democ.uci.edu

TERJEMAHAN :

Selama abad ini dua gelombang ekspansi demokratis yang telah termasuk
periode dramatis perkembangan teori dan empiris dalam ilmu sosial.*_
Yang pertama terjadi setelah pergantian abad, ketika Woodrow Wilson,
Harold Gosnell, Walter Lippman dan lainnya meneliti kembali sifat dari
politik dalam demokrasi massa moderen. Periode kedua setelah Perang
Dunia Kedua. Berusaha untuk mengenali kebutuhan untuk demokrasi yang
stabil dan berhasil dan faktor – faktor yang menentukan demokrasi
dalam antar perang Eropa. Periode ini termasuk para ilmuwan seperti
Barrington Moore, Hannah Arendt, Gabriel Almond, Raymond Aron dan
Seymour Martin Lipset.
Kita sekarang hidup melalui tiga periode fermen demokratis yaitu
menghasilkan gerakan dramatis penelitian akademis pada tema – tema dari
demokratisasi dan politik demokrasi. Sistem politik dari Eropa Tengah
dan Eropa telah mengalami proses menakjubkan atas perubahan rezim.
Tekanan populer telah bergerak kedepan proses demokrasi di Asia Timur,
bertingkat dari gerakan pengaruh orang – orang di Filipina pada
reformasi demokratis di Korea Selatan dan Taiwan. Gelombang demokrasi
pemilu telah menciptakan kebebasan baru untuk publik ini dan teori baru
dan pertanyaan politik untuk para ilmuwan sosial. Untuk pertama kalinya
saksi transisi dari komunisme ke demokrasi dan sifat dan tujuan dari
transisi ini adalah tidak jelas. Sama halnya, ekspansi dari demokrasi pada
masyarakat berakar daam tradisi non Barat memunculkan pertanyaan
tentang dasar populer dalam masyarakat ini.
Sebagaimana transisi demokrasi ini terjadi, tantangan baru pada
proses demokratis mengembangkan bangsa industri menghadapi masalah
perubahan struktur ekonomi, kekuatan baru atas perubahan budaya dan
hubungan baru antara warga negara dan pemerintah. Keragaman budaya
dan fragmentasi etnis adalah masalah umum baru untuk negara – negara
Eropa di Timur dan Barat. Permintaan politik dinyatakan oleh para ahli
lingkungan, gerakan wanita dan grup warga negara lainnya adalah
menghadapi hampir semua masyarakat industri yang maju. Pola baru dan
kembangan dari partisipasi politik adalah fenomena umum dalam bangsa
ini. Sebanding umumnya adalah pertanyaan tentang sifat berubah dari
prilaku pemilihan dan pilihan elektoral dalam demokrasi industri maju.
Dimana saja, nampaknya, pertanyaan – pertanyaan baru tentang sifat dari
demokrasi berkembang.
Terlalu cepat memberitahu apakah periode dari perubahan politik
ini akan menghasilkan tipe kemajuan teoritis dan empiris yang dibarengi
dua periode sebelumnya. Tentu saja alat – alat ilmiah kita adalah lebih
rumit daripada periode sebelumnya dan pengetahuan kita tentang
masyarakat dan politik adalah lebih besar.. Even ini memberikan
kesempatan khusus untuk menguji teori kita, mengembangkan batasan
pengetahuan dan mengembangkan teori baru. Kita normalnya mengamati
sistem politik kita dalam keadaan seimbang, ketika stabilitas dan
perubahan tambahan mendominasi hasil kita. Sekarang kita mempunyai
kesempatan untuk meneliti pertanyaan atas perubahan fundamental dan
adaptasi yang sering menuju inti dari kepentingan teoritis, tetapi yang
kita jarang mengamatinya secara langsung.
Tugas dari esai ini adalah untuk meninjau beberapa penelitian
utama dalam prilaku komparatif politiki. Adalah tidak mungkin untuk
memberikan tinjauan komprehensif dari bidang ilmu dalam beberapa
halaman (See Dalton and Wattenberg, 1993; Klingermann and Fuchs,
1995; Kaase and Newton, 1995). Namun, kita fokus pada beberapa bidang
utama penelitian. Saya memilih bidang ini atas dua alasan. Pertama, saya
percaya bahwa bidang ilmu ini telah membuat kemajuan penelitian yang
signifikan dalam tahun – tahun terbaru. Kedua, meskipun contoh ini
adalah sebagian besar didapat dari penelitian tentang kemajuan
masyarakat industri, mereka juga relevan pada proses transisi unuk
kemunculan demokrasi. Ini adalah bidang ilmu yang kita dapat
kembangkan pengetahuan kita sekarang dalam konteks gelombang global
dari demokrasi.

Budaya Politik dan Demokratisasi


Salah satu dari konsep ilmu paling berpengaruh untuk muncul dari
gelombang sebelumnya dari studi – studi demokratisasi adalah konsep
budaya politik. Gabriel Almond dan Sidney Verba’s (1963) studi seminal,
The Civic Culture, menyatakan bahwa lembaga dan pola tindakan dalam
sistem politik harus sesuai dengan budaya politik dari bangsa. Studi – studi
kulturalis telah menjadi sangat penting dalam studi demokratisasi,
sebagaimana analis berusaha untuk kenali kebutuhan budaya dari
demokratisasi (Almond and Verba, 1963, 1980; Almond, 1996; Verba,
1965; Baker, Dalton and Hildebrandt, 1981; McDonough et al 1995; Weil,
1989).
Tiga jenis studi kulturalis adalah paling nampak dalam literatur
demokratisasi. Pertama adalah teori “ budaya civic/umum” dari Almond
dan Verba. Mendapatkan bukti dari lima masyarakat demokratis, mereka
mengadakan budaya politik bangsa mengeluarkan pengaruh independen
pada prilaku sosial dan politik. Budaya membentuk norma untuk prilaku
dimana para anggota dari masyarakat menyatakan dan secara umum
mengikuti, bahkan jika mereka secara personal tidak membagi norma –
norma ini. Ini adalah dengan sebagian besar penelitian berpengaruh dalam
bidang ini; pekerjaan diselesaikan bersama jalurnya yang banyak dan tidak
dibatasi pada sistem demokratis (lihat Tinjauan dalam Almond and Verba,
1980). Pendekatan kedua adalah teori “budaya kewenangan” (Eckstein,
1966). Karya Eckstein adalah secara khusus relevan pada pertimbangan
yang ada karena membahas aspek dinamika dari budaya dan peran budaya
dalam proses perubahan politik (Eckstein, 1988, 1990, 1996). Aaron
Wildavsky mengembangkan tiga versi berbeda untuk mengembangkan
tipologi budaya berdasarkan pada empat gaya kehidupan berbeda. Dia
mendasarkan tipe ini pada hubungan sosial dan nilai - nilai yang mereka
nyatakan.
Disamping kekuasaan heuristik dan interpretif dari konsep budaya
politik, beberapa sarjana memunculkan pertanyaan tentang ketepatan dan
kekuatan prediktif dari konsep (Elkins and Simeon, 1979; Laitin, 1995);
para sarjana lain dari demokratisasi mempertanyakan apakah budaya
memainkan peran apapun (Sebagai contoh DiPalma, 1990, Schmitter et
al., 1986). Max Kaase (1983) menyatakan bahwa pengukuran politik
budaya adalah seperti “berusaha untuk memaku jell kedalam dinding.”
Yaitu, konsep kekurangan ketepatan dan sering menjadi subjektif,
deskripsi sterotip dari bangsa daripada konsep pengukuran secara empiris.
Sebagian analis melihat budaya politik secara virtual dalam segala hal
yang menyentuh kehidupan politik, lainnya memandangnya sebagai
kategori residu yang menjelaskan efek kausal budaya. 1 Budaya politik
sering berdasarkan pada survey pendapat publik pada satu bangsa. Dalam
desain penelitian adalah sulit untuk mengisolasi peran dari budaya dalam
mempengaruhi pola nasional dari prilaku politik.
Bahkan sebelum gelombang terbaru dari transisi demokratis, studi
budaya politik menikmati kelangsungan kepentingan akademis. Didapat
pada Studi Nilai Dunia tahun 1981, Ronald Inglehart menyajikan bukti
baru pada kesesuaian antara sikap politik umum dan stabilitas politik
untuk 22 bangsa (Inglehart, 1990, ch. 1). 2. Robert Putnams (1993)
penelitian tentang pengembangan dari pemerintahan regional di Italia
memberikan testimoni yang paling impresif dalam mendukung teori
budaya (Lihat juga Putnam, 1973). Putnam menggunakan hambatan
imajinatif dari pengukuran untuk membandingkan kinerja dari
pemerintah regional di Italia. Dia menemukan bahwa tradisi hirarki dari
Selatan, adalah predictor paling berpotensi dari kinerja pemerintahan
mereka. Bahkan lebih mengatakan, Putnam menunjukan bahwa faktor
budaya adalah lebih berpengaruh daripada perbedaan ekonomi antar
wilayah dan bahwa pola budaya menggambarkan pengaruh yang telah
menghasilkan renaisance dalam studi budaya (also see Putnam, 1995;
Inglehart, forthcoming; Tarrow, 1996; Reisinger, 1995).
Gelombang demokratisasi terbaru memperbaiki kepentingan dari
pertanyaan tentang kesesuaian antara sistem budaya dan politik dan
memunculkan sekumpulan pertanyaan penelitian untuk penelitian budaya
politik. Normalnya, lembaga politik dan prinsip dasar dari rezim adalah
konstan; maka sulit untuk mempelajari interaksi antara perubahan
lembaga dan budaya. Akan teatpi, perubahan terbaru dalam bentuk rezim
dalam banyak bangsa menciptakan kesempatan baru untuk mempelajari
kesesuaian antara pilihan budaya dan lembaga. Pada tingkatan apa
perubahan politik di Eropa Timur muncul dari ketidakpuasan publik
dengan rezim lama? Pada tingkatan apakan prospek untuk demokrasi di
Wilayah ini dinilai oleh dukungan publik mereka untuk politik
demokratis? Sebagai contoh, kita dapat meneliti bagaimana warga negara
mengevaluasi sistem politik berbeda berdasarkan pada pengalaman real,
maka menguji hubungan antara norma politik dan pilihan lembaga dalam
cara yang secara umum tidak memungkinkan. Lebih umum, peristiwa
terbaru membangkitkan debat masa lampau tentang keberlanjutan budaya
dan cara – cara dimana norma budaya dapat dirubah (Almond and Verba,
1980). Penelitian Eckstein juga menyarankan bahwa budaya politik dapat
dipelajari dalam masyarakat (Eckstein, 1988, 1990, 1996). Pendalaman
dan luas dari norma budaya sesuai dengan demokrasi dapat menjadi faktor
penting dalam menjelaskan pelajaran dari transisi politik sekarang terjadi
diseluruh dunia.
Hampir setelah Tembok Berlin jatuh, survey para peneliti pindah ke
timur. Kita segera membentuk banyak penemuan tentang hasil dari sikap
politik Rusia dan Eropa Timur dan ini termasuk banyak studi budaya
politik. Sebagai contoh, beberapa grup para peneliti telah menemukan
level sangat mengejutkan untuk mendukung prinsip demokrasi dasar
dalam bekas Uni Soviet (Miller et al., 1993; Gibson et al., 1992; Finifter
and Mickiewicz, 1992). Selain itu, penelitian dari bangsa Eropa Timur
menyatakan gambaran sama dari persetujuan publik umum tentang norma
dan prosedur demokratis (Mishler and Rose, 1996; Dalton,
menggambarkan norma budaya yang bertahan atau respon temporer pada
peristiwa trauma politik, publik dalam sebagian besar negara paska
Komunis mulai pengalaman mereka dengan demokrasi dengan
mendukung dukungan substansial untuk prinsip demokratis. Kemenangan
Boris Yeltsin pada tahun 1996 pemilu presiden Rusia, setelah beberapa
tahun kesulitan kondisi sosial dan dengan tantangan kuat dari para
komunis, adalah perjanjian dari bagaimana nilai Rusia berbeda dari
pandangan kita akan Uni Soviet. Daripada Apati atau keramahan yang
menyambut demokrasi setelah transisi dari negara – negara otoriter sayap
kanan, legasi budaya dari komunisme di Eropa Timur nampak menjadi
sangat berbeda.
Rangkaian studi sebanding adalah muncul unuk Asia Timur. Doh
Shin dan koleganya membuat survey mengesankan bukti tentang sikap
demokratis di Korea Selatan (Shin et al., 1989; Shin and Chey, 1993).
Disamping dukungan keraguan untuk demokrasi, dasar budaya dari
demokrasi nampak ekstensif. Ada penelitian sama tentang Taiwan,
dimana transisi pada demokrasi telah dibarengi dengan dukungan sikap
diantara publik (Chu, 1992). Mungkin bukti paling menarik berasal dari
studi dari republik rakyat Cina. Bahkan dalam lingkungan meragukan,
Andrew Nathan and Tianjian Shi menemukan prinsip – prinsip tersebut
(Nathan and Shi, 1993). Seseorang dapat mempertanyakan apakah
pendapat ini sesuai melekat untuk menggantikan budaya politik yang
bertahan, tetapi bahkan dukungan ini dari norma adalah tanda positif
tentang prospek untuk demokrasi.
Secara ringkas, ilmu sosial telah membuat kemajuan besar dalam
sepuluh tahun terakhir dalam mengembangkan bukti empiris mendukung
tesis kesesuaian budaya dan dalam mengumpulkan bukti baru dari
kepercayaan warga negara dalam kemunculan demokrasi. Namun,
keberhasilan empiris ini belum diseimbangkan oleh tipe inovasi teoritis
dan kreativitas yang menandai dua gelombang demokratisasi sebelumnya.
Para ilmuwan politik harus melakukan lebih daripada mengumpulkan data
baru sebuah pertanyaan lama dari survey penelitian – meskipun replikasi
adalah penting dan elemen bernilai dari ilmu. Untuk bergerak pada
bidang kedepan, sekarang adalah waktunya untuk meminta pertanyaan
tambahan. Sebagai contoh, apakah ada tetapi satu “ budaya umum” yang
sesuai dengan kerja dari sistem demokratis. Pengalaman akan
menyarankan abhwa ada keragaman dari budaya demokratis, sebagaimana
cara – cara untuk menetapkan budaya, yang memerlukan pemetaan dan
studi lebih lanjut (Flanagan, 1978; Seligson and Booth, 1993; Almond and
Verba, 1980). Sama pentingnya, konseptualisasi kita dari elemen budaya
politik dan antarhubungan mereka, telah membuat kemajuan sedikit relatif
sejak studi Budaya umum.
Lebih umum, banyak dari gelombang baru penelitian empiris
dalam bangsa demokrat tidak mengembangkan ikatan teoritis dari
penelitian budaya politik. Tes model berlawanan dari Almond/Verba,
Eckstein dan Wildavsky harus menemuakn media kaya dalam pengalaman
politik baru ini. Sama pentingnya, karena dunia adalah dalam perubahan,
kita sekarang dapat menguji teori budaya sebagai alat prediktif. Kita dapat
menguji bagaimana kesesuaian antar budaya dan lembaga berkembang,
karena banyak bangsa berada dalam proses transisi (see, for example,
McDonough et al., 1995; Rose and Mishler, 1994; Evans and Whitefield,
1995, Rohrschneider, 1996). Usaha untuk menguji teori perubahan budaya
atau teori tentang asal usul non politik dari budaya politik adalah bidang
penelitian yang subur selama periode tidak biasa atas perubahan politik.
Ada banyak pertanyaan lain yang melibatkan kreasi norma budaya dan
identitas politik dan saling melengkapi antara pilihan personal dan norma
sosial yang diterima. Telah ada kemajuan tetapi bukan serangan depan
pada menteorikan tentang dunia yang muncul dari gelombang
demokratisasi sebelumnya.
Pola terbaru dari penelitian dapat menyajikan pencapaian ilmu
dewasa; dengan instrumen yang berkembang baik dan pertanyaan
penelitian, penelitian terbaru menjadi tambahan daripada karya teoritis
kreatif dari gelombang demokratis sebelumnya. Masih, saya melihat
potensi kreativitas teoritis sebagaimana sejauh ini kehilangan kesempatan
dari gelombang demokratisasi.

Partisipasi Politik dan Demokratisasi


Elemen esensial dari demokrasi adalah melibatkan publik. Demokrasi
memerlukan kewarganegaraan aktif, karena melalui pembahasan,
kepentingan populer dan pelibatan dalam politik dimana tujuan
masyarakat harus ditetapkan dan dilakukan dalam sebuah demokratisasi.
Tanpa pelibatan publik dalam proses, demokrasi kekurangan baik
legitimasi dan unit pemandu.
Pertanyaan sentral dalam partisipasi penelitian melibatkan level
sesuai dari pelibatan dalam demokratisasi. Satu bentuk dari penyelidikan
ini telah menganalisis variasi lintas silang dalam level pengambilan
voting. Penelitian ini secara implisit menyatakan level lebih tinggi dari
pengambilan suara adalah ciri positif untuk demokratisasi. Secara umum
ini adalah benar; bangsa demokratis dengan level tinggi kehadiran dalam
pemilu nasional adalah lebih berhasil dalam melibatkan warga negara
mereka dalam proses politik. 4. Sama halnya, level kehadiran tinggi
dalam pemilu demokratis pertama di Eropa Timur adalah ditafsirkan
sebagai tanda positif untuk demokrasi muda (Dalton, 1996, ch. 3; Putnam,
1995; Topf, 1995a) dan penurunan dalam partisipasi di Eropa timur telah
menghadirkan pertimbangan baru tentang vitalitas dari demokratisasi.
Penelitian tentang sumber dan sifat dari partisipasi politik
memberikan kita pandangan baru pada pengembangan ini. Partisipasi
penelitian menemukan tingkat kehadiran secara nasional disebabkan oleh
sekumpulan faktor. Sistem registrasi pemberi suara dan prosedural pemilu
lainnya adalah pengaruh utama pada level kehadiran secara nasional.
Dengan sebagian perkiraan, sebagai contoh, partisipasi dalam pemilu
Amerika akan meningkat dengan setidaknya sepuluh persentase poin jika
sistem Eropa dari registrasi digunakan (Wolfinger and Rosenstone, 1980).
Kemunculan tersebut juga didorong ketika bangsa – bangsa menjadwalkan
pemilu pada akhir pekan, ketika lebih banyak pemberi suara dapat
menemukan waktu untuk mengunjungi tempat penarikan suara. Selain itu,
sistem proportional representation/ PR (proporsi perwakilan) nampak
menstimulasi partisipasi ketika dibandingkan pada pluralitas berdasarkan
sistem daerah anggota tunggal. G.Bingham Powell (1980, 1986) dan
Markus Crepaz (1990) menunjukan bahwa kompetisi politik adalah
pengaruh kuat lainnya pada tingkat partisipasi. Robert Jackman (1987)
telah mengadakan analisis komplementer yang menunjukan bahwa insentif
struktural untuk pengambilan suara sangat mempengaruhi tingkat
perubahan. Dia menemukan bahwa sejumlah pilihan partai dan struktur
bangsa dari pengaruh legislatif adalah prediktor langsun dari perubahan.
Singkatnya, level perubahan nasional menggambarkan beragam faktor
lembaga dan kondisi politik yang relatif independen dari vitalitas proses
demokratis mendasar. 5
Penelitian empiris juga telah menempatkan pengambilan suara
dalam konteks lebih luas dari bentuk lain tindakan politik. Ketika tingkat
perubahan telah menurun, ada ekspansi dipertimbangkan dari partisipasi
warga negara dalam memprotes, kepentingan grup publik sukarela dan
bentuk lain dari tindakan politik tidak konvensional (Barnes, Kaase et al.,
1979; Jennings and Van Deth, 1990; Topf, 1995b; Verba et al, 1995).
Gerakan sosial baru, seperti grup lingkungan dan gerakan wanita,
mengembangkan pengetahuan kelas menengah. Metode ini telah
menyebar lintas grup politik lain dan sekarang telah menjadi elemen
standar dari partisipasi politik (Kaase, 1989). Selain itu, orientasi
kebijakan mempengaruhi potensi tindakan langsung metode mewakili
ekspansi signifikan dari cara – cara publik mempengaruhi proses
demokratis.
Eropa Barat melibatkan lebih banyak pengalaman langsung dengan
politik tidak konvensional sejak revolusi demokrasi pada akhir tahun
1980an yang normalnya diisi oleh demonstrasi publik terhadap rezim
lama. Namun, di awal tahun 1990an Survey Nilai Dunia menemukan level
tinggi partisipasi protes oleh publik dalam beberapa negara Eropa Timur
(Inglehart, forthcoming); orang – orang juga memainkan peran penting
dalam pelembagaan dari demokrasi di Filipina dan reformasi demokratis
di Korea Selatan.
Disamping pola sama ini dari protes, sumber protes dalam bangsa
demokratis ini adalah banyak berbeda dari menetapkan demokrasi Barat.
Ekspansi protes diantara Orang Barat muncul sebagai ekstensi dari hak
demokratis untuk mengarahkan bentuk tindakan; itu adalah ekspansi dari
politik konvensional pada cara – cara lain dan sangat digunakan oleh
pendidikan lebih baik dan secara politik lebih rumit. Protes dalam
demokratisasi bangsa sering adalah tantangan pada susunan politik lama.
Seperti gelombang sebelumnya dari protes dalam demokrasi Barat, tetap
sebuah metode disenchantment oleh mereka dengan kekuasan politik
terbatas. Setelah mengembangkan lembaga politik demokrasi
konvensional, politik tidak konvensional mewakili metode altrernatif
tindakan.
Selain itu, warga negara dalam negara – negara bekas komunis
nampaknya ada sedikit keraguan tentang mengembangkan lembaga
demokrasi representatif sebagaimana dipraktekan di Barat (Rohrschneider,
1996). Pola dari masyarakat sipuil dan kesukarelaan yang mendorong
warga negara melakukan gerakan dalam banyak Eropa Barat adalah
dikarenakan oleh gaya kompetitif dari politik pemilu dipraktekan di Barat.
Bahkan partai – partai politik demokratis menggunakan stigma partai
simbolisme yang dipraktekan oleh rezim lama. Maka, seseorang melihat
banyak Eropa timur menginginkan model alternatif dari partisipasi
demokratik, meskipun ketepatan bentuknya masih tidak jelas. Satu
ilustrasi dari ini dapat dilihat di Jerman, semua negara Eropa baru
mempunyai ketentuan konstitusional untuk Referendum dan pemilu
langsung yang tidak ditawarkan oleh beberapa wilayah Barat.
Secara ringkas, level partisipasi dan beragam metode tindakan
politik adalah secara umum berkembang dalam masyarakat industri yang
maju dan dalam cara – cara yang lebih fundamental dalam kemunculan
demokrasi. Tujuan utama dari masyarakat demokratis adalah untuk
mengembangkan partisipasi warga negara dalam proses politik dan
karena itu meningkatkan kendali populer dari para elit politik. Karena itu,
peningkatan dalam protes dan aktivitas warga negara lain secara umum
harus menyambut pengembangan. Gaya baru ini dari partisipasi warga
negara menempatkan lebih banyak kendali terhadap aktivitas politik
dalam tangan dari warga negara. Perubahan ini dalam partisipasi
membuat permintaan lebih besar pada partisipan. Aktivitas ini juga dapat
meningkatkan tekanan publik pada para elit politik. Partisipasi warga
negara menjadi lebih dekat berhubungan pada pengaruh warga negara.
Pengembangan tindakan juga dapat memunculkan masalah
berpotensial. 6. Sebagai contoh, Sidney Verba dan koleganya (1995) baru
– baru ini telah memfokuskan perhatian pada apakah sifat perubahan
dari partisipasi politik akan meningkatkan ketidaksamaan dalam pelibatan
politik dan maka mempengaruhi, dalam proses demokratis (Juga Parry et
al., 1992; Verba et al., 1978). Metode tindakan langsung memerlukan
inisiatif personal lebih besar dan keahlian politik lebih besar. Karena itu,
pelibatan politik menjadi lebih tergantung pada keahlian dan sumber
disajikan oleh status sosial. Situasi ini dapat meningkatkan gap partisipasi
antara grup status individual rendah dan status lebih tinggi. Sebagai
pendidikan lebih baik mengembangkan pengaruh politik mereka melalui
metode tindakan langsung, para warga negara yang kurang berpendidikan
dapat menjadi tidak mampu bersaing pada waktu yang sama. Namun,
tingkat partisipasi dari individual dengan status rendah dapat berkurang
sebagaimana aktivitas mobilitas partai berkurang. Secara politik aktif
dapat menjadi lebih berpengaruh, sedangkan yang kurang aktif melihat
pengaruh mereka berkurang. Ironisnya, seluruh peningkatan dalam
pelibatan politik dapat menandai pertumbuhan bias status sosial dalam
partisipasi warga negara dan pengaruhnya, yang berada dibawah cita –
cita demokratis.
Tantangan untuk menetapkan dan memunculkan demokrasi adalah
untuk mengembangkan kesempatan bagi warga negara untuk
berpartisipasi dalam proses politik dan berarti mempengaruhi keputusan
mempengaruhi kehidupan mereka. Untuk memenuhi tantangan ini juga
memastikan persamaan hak – hak politik dan kesempatan yang akan
menjadi lebih sulit untuk dijamin dengan bentuk partisipasi baru ini.

Perubahan Nilai dan Modernisasi


Bidang lain dimana prilaku politik dapat dibandingkan telah membuat
urutan utama melibatkan studi perubahan nilai. Penelitian prilaku awal
meneliti hubungan antara pengembangan dari masyarakat industri dan
perubahan nilai dari publik (sebagai contoh Inkeles and Smith, 1974).
Dalam dua dekade terakhir penelitian ini telah membahas proses lebih
lanjut yang membarengi pengembangan dari industri maju atau paska
industri, masyarakat.
Tesis Ronald Inglehart tentang perubahan nilai paska material
(Inglehart 1977, 1990 forthcoming; Abramson and Inglehart, 1995) telah
memperbaiki kerangka kerja yang luas digunakan untuk mempelajari
perubahan mempengaruhi publik massa dalam kemajuan demokrasi
industri. Inglehart mendasarkan penjelasan akan perubahan nilai pada dua
premis/dalil. Pertama, dia menyarankan bahwa prioritas nilai dasar publik
ditentukan oleh hipotesis kelangkaan: Individual menempatkan nilai
terbesar pada hal – hal yang relatif suplai singkat. 7 Bagian kedua dari
teori Inglehart adalah hipotesis sosialisasi: prioritas nilai individual
menggambarkan kondisi yang umum selama tahun – tahun pradewasa
seseorang. Kombinasi dari kedua hipotesis menghasilkan model umum
formasi nilai: prioritas nilai dasar individual dibentuk awal dalam
kehidupan dalam reaksi pada kondisi sosialekonomi (personal dan
masyarakat) dari periode ini dan setelah terbentuk, nilai ini cenderun
bertahan dalam penampilan perubahan selanjutnya dalam kondisi
kehidupan.
Inglehart menyatakan bahwa kekuatan sosialekonomi merubah
industri masyarakat Barat yang merubah kelangkaan relatif dari tujuan
bernilai dan karena itu menilai prioritas dari publik Barat. Generasi lama
tetap lebih mungkin untuk menekankan material tradisional, tujuan sosial,
seperti kesejahteraan ekonomi, keamanan sosial, hukum dan aturan, nilai –
nilai relijius dan pertahanan nasional yang kuat. Setelah tumbuh dalam
lingkungan dimana tujuan ini nampak relatif terjamin, yang muda
merubah maksud mereka terhadap tujuan “ paska material” dari ekspresi
diri, kebebasan personal, persamaan sosial, pemenuhan diri dan
mempertahankan kualitas kehidupan.
Apa yang signifikan tentang tesis paskamaterial Inglehart adalah
relevansi luas untuk mempelajari kemajuan masyarakat industri. Konsep
dia atas perubahan nilai adalah segera berguna dalam menjelaskan banyak
dari perubahan politik mempengaruhi bangsa – bangsa ini: kepentingan
pertumbuhan publik dalam lingkungan dan isu kualitas hidup lainnya,
perubahan dalam pola partisipasi dan dukungan untuk gerakan sosial baru.
Nilai paska material dapat dihubungkan pada tema demokratisas
dalam dua cara. Pertama nilai orientasi paska material secara parsial
menetapkan sifat dari politik dalam masyarakat industri maju.
Kepentingan ini mengarah pada formasi dari gerakan baru warga negara
yang aktif dan partisipan vokal dalam proses demokratis. Gerakan
lingkungan dan grup wanita, sebagai contoh, telah menekan agenda
politik alternatif (Dalton, 1994a; Geib, 1989). Sering isu ini telah
menempatkan mereka dalam konflik dengan menetapkan kepentingan
ekonomi, seperti lobi bisnis dan serikat buruh. Gerakan sosial baru ini
telah digabungkan dengan Partai Sayap Kiri Baru atau Partai Hijau yang
mendukung posisi mereka dalam arena pemilu dan parlementer (Muller-
Rommel, 1989; Kitschelt, 1989). Singkatnya, orientasi ini berkontribusi
pada banyak dari kontroversi politik yang sekarang membagi grup publik
dan politik dalam kemajuan demokrasi industri.
Selain itu, paskamaterial menekan untuk perubahan dalam gaya
politik demokratis. Paskamaterialisme dihubungkan pada perubahan
tindakan dari Publik Barat (Barnes, Kaase et al., Jennings and van Deth,
1990). Paskamaterialis kemungkinan menggunakan bentuk tidak
konvensional dari tindakan politik digambarkan dalam bagian sebelumnya.
Sama halnya, grup warga negara dan partai hijau meminta ekspansi dari
proses demokratis untuk mengijinkan pelibatan publik lebih besar dalam
pembuatan kebijakan dan kebijakan administrasi. Paskamaterialis
mendukung grup pendukung warga negara, referendum dan bentuk lain
dari demokrasi langsug terhadap gaa demokrasi perwakilan kedalam
pertanyaan – apa yang dinamakan Literatur “ Krisis Demokrasi”
Klingeman and Fuchs, 1995) -- dengan menciptakan debat antara
demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipator.
Tesis paskamaterial juga menyoroti nilai berlawanan dari bangsa
tersebut sekarang menjalani transisi demokratis di Eropa Barat dan Asia
Timur. Telah ada usaha untuk mengembangkan konsep paskamaterial
pada masyarakat ini (Inglehart and Siemenska, 1990; Inglehart,
forthcomin; Gibson and Duch, 1994), tetapi ini nampak sebuah hipotesis
penelitian yang dapat dipertanyakan. Inglehart merumuskan
paskamaterialisme sebagai konsekuensi dari kemajuan industrialisme dan
masyarakat ini secara umum bukan pada tahap dari perkembangan ini.
Kita harus karena itu mengharapkan bahwa publik dan elit di Eropa Timur
dan Asia Timur akan menempatkan tekanan lebih besar pada tujuan
material yang mendominasi politik dari demokrasi Barat. Sebagai contoh,
ketika Belanda dapat berusaha untuk menjadi paskamaterialis, Poles
berharap untuk mencapai ekses materialis dimana Belanda telah terbiasa.
Selain itu, bangsa demokratis harus menempatkan beban lebih besar
dalam mengembangkan bentuk lembaga dari partisipasi politik dan dapat
ingin untuk menghindari penyebaran partisipasi demokrasi didukung oleh
paskamaterialis. Ini menyarankan kemunculan signifikansi dalam tujuan
segera dari demokrasi industri maju dan kemunculan demokrasi. 8
Keduanya menempatkan bangsa yang menjadi lebih demokratis, tetapi
dengan definisi berbeda dari apa yang dimaksud demokrasi dan bagaimana
itu harus berfungsi.

Perubahan Pemilu
Pemilu adalah prosedural sentral dari representasi dalam demokrasi
moderen dan penelitian masa lalu telah menghasilkan kemajuan dramatis
dalam pengetahuan kita tentang bagaimana para pemilih mencapai
keputusan mereka.
Tema utama dalam penelitian pemilu kontemporer melibatkan
perubahan dalam faktor – faktor yang mempengaruhi keputusan
pengambilan suara. Pilihan politik dalam sebagian besar demokrasi Barat
secara tradisional disusun oleh kelas, relijius, dan divisi sosial lain.
Karena individual sering kurang dipersiapkan untuk menangani dengan
kompleksitas politik, mereka menyandarkan pada isyarat politik dari
referensi grup eksternal dalam mencapai keputusan politik mereka. S elain
itu, lembaga sosial seperti serikat dan gereja adalah aktor politik utama,
mempengaruhi baik elit politik dan keanggotaan mereka. Seymour Lipset
dan Stein Rokkans meringkas posisinya dalam kesimpulan terkenal:”
sistem kepartaian tahun 1960an mewakili, tetapi dengan sedikit
pengecualian signifikan, struktur ruang tahun 1920an” (1967, p 50).
Penelitian pemilu awal sebagian besar substansi Lipset dan klaim Rokkan.
Sebagaimana tema stabil in, ruang berdasarkan voting menjadi
kebijakan konvensional, perubahan dramatis mulai untuk mempengaruhi
sistem partai yang sama. Partai – partai yang berdiri adalah disajikan
dengan permintaan baru dan tantangan baru dan bukti dari perubahan
partisan menjadi jelas. Dalam dekade, pertanyaan dominan berubah dari
menjelaskan adanya politik pemilu untuk menjelaskan perubahan
elektoral (Dalton et al 1984; Crewe and Denver, 1985).
Tumbuhnya penekanan pada perubahan pemilu mulai dengan bukti
bahwa divisi kelas dan agama berkurang dalam pengaruhnya. Sebagai
contoh, Lipset menunjukan pengurangan dalam level voting kelas untuk
beberapa negara demokrasi Barat (Lipset, 1981: appendix).
Mengkolaborasikan penelitian berasal dari Australia (McAllister, 1992),
Britain (Franklin, 1985), Jerman (Baker et al., 1981), Japan (Watanuki,
1991) dan demokrasi industri maju lainnya (Inglehart, 1990; Lane and
Ersson, 1991; Nieuwbeerta, 1995). Salah satu hasil utama dari generasi
terakhir penelitian pemilu menyatakan bahwa posisi sosial tidak lagi
menentukan posisi politik sebagaimana ketika penyesuaian sosial
terhambat, 9
Mark Franklin dan koleganya memenuhi sebagian besar bukti
paling komprehensif mendukung kesimpulan ini (Franklin et al., 1992)
Mereka melacak kemampuan dari sekumpulan karakteristik sosial
(termasuk kelas sosial, pendidikan, pendapatan, keagamaan dan jender)
untuk menjelaskan pilihan partisan. Lintas empat belas demokrasi Barat,
mereka menemukan pengurangan konsisten dalam dampak voting dari
struktur sosial. Tingkat dan waktu dari penurunan ini beragam lintas
bangsa tetapi produk akhir tetap sama. Mereka menyimpulkan dengan
kebijakan konvensional baru dari perbandingan penelitian pemilu: “ Satu
hal yang dipunyai hingga sekarang menjadi cukup nampak adalah hampir
semua dari negara – negara telah mempelajari bagaimana
penurunan….dalam kemampuan ruang sosial pada struktur individual
pilihan voting” (Franklin et al., 1992: p. 385).
Dalam banyak demokrasi barat pengurangan pengaruh ruang grup
pada pilihan pemilu adalah paralel dengan pengurangan dalam
kemampuan dari partisan attachment (atau identifikasi partisan) untuk
menjelaskan prilaku politik. Kelebihan dari identifikasi partisan telah
melemah dalam beberapa demokrasi Barat selama generasi masa lampau
(see review in Dalton, 1996). Sama halnya, voting dan fenomena lain
menunjukan bahwa warga negara tidak lagi voting karena partai. Perot’s
sangat menunjukan pada tahun 1992 American presidential election,
hancurnya sistem partai Jepang atau terobosan Berlusconi dalam politik
Italia memberikan ilustrasi grafis dari bagaiamna partai lemah
menghubungkan potensi untuk substansi kerentanan pemilu.
Penurunan sebelumnya jangka panjang berdasarkan pada posisi
sosial atau kepartisipasian harus merubah basis untuk prilaku pemilihan
untuk faktor – faktor jangka pendek, seperti citra kandidat dan isu
pendapat. Ada bukti bahwa tata baru pemilu memasukan perubahan
terhadap citra kandidat dalam pilihan pemilu Amerika dan data
perbandingan ada untuk demokrasi barat lain (Bean and Mugham, 1989;
Bean, 1993). Selain itu, ada tanda dari tumbuhnya personalisasi
kampanye politik dalam demokrasi Barat; kesempatan foto, wawancara
personal, diskusi dan bahkan debat kandidat di televisi menjadi standar
pemilihan yang adil (Kaase, 1994).
Penurunan dalam pengaruh jangka panjang dalam pemberian suara
telah meningkatkan potensi untuk isu pengambilan suara. Mark Franklin
(1985) menunjukan bahwa pengurangan pengaruh pada kekuatan jangka
panjang pada keputusan voting Inggris adalah diseimbangkan dengan
peningkatan dampak isu pengambilan suara. (Juga Baker et al., 1981,
ch.10; Van der Eijk and Niemoeller, 1983; Rose and McAllister, 1986).
Oddbjorn Knutsen (1987) dan lainnya menghubungkan isu kepentingan
pada pengurangan ruang sosial sebelumnya. 10 dalam meninjau bukti dari
studi komparatif mereka dari prilaku pemberian suara, Mark Franklin et
al (1992, p 400). Mendukung poin ini, menyimpulkan: “ Jika semua isu
kepentingan untuk para pemilih telah diukur dan memberikan beban
mereka, maka kemunculan isu pemberian suara akan mengkompensasi
lebih atau kurang tepatnya untuk penurunan dalam ruang politik.
Untuk kemajuan demokrasi industri, pengembangan ini
mempunyai potensi tidak pasti untuk sifat dari proses pemilihan
demokratis (Dalton, 1996; Klingemann and Fuchs, 1995). Perubahan ini
dapat memperbaiki atau melemahkan kualtas dari proses demokratis dan
representasi dari kepentingan politik publik. Sifat dari kepercayaan politik
kontemporer berarti bahwa pendapat publik adalah secara simultan
menjadi lebih terlibat dan kurang dapat memperkirakan ketidakpastian
mendorong partai – partai dan para kandidat untuk menjadi lebih sensitif
pada pendapat publik, setidaknya pendapat dari mereka yang memberikan
suara. Isu motivasi para pemberi suara adalah lebih mungkin setidaknya
setelah suara mereka didengar, bahkan jika mereka tidak diterima. Selain
itu, kemampuan para politisi untuk mempunyai komunikasi tanpa media
dengan para pemberi suara dapat memperkuat hubungan antara para
politisi dan orang – orang. Pada beberapa tingkatan, individualisasi dari
pilihan pemilu mengembalikan gambaran sebelumnya dari para pemberi
suara bebas yang terinformasi yang kita telah temukan dalam teori
demokrasi klasik (Popkin, 1991).
Pada waktu yang sama, ada potensi sisi gelap pada kekuatan baru
ini dalam politik pemilihan. Kemunculan isu politik tunggal mengurangi
kemampuan masyarakat untuk menangani dengan isu politik yang
mengeluarkan kepentingan khusus, seperti defisit anggaran Amerika.
Kaum elit yang membawa isu publik dapat menekankan kinerja terbaru,
dapat menghasilkan definisi sempit dari rasionalitas yang sangat
berbahaya pada demokrasi sebagai “pembekuan” pembagian sosial. Selain
itu, kontak langsung tanpa mediasi antara para politisi dan warga negara
membuka potensi untuk ekstrimisme politik dan demagoguery (pemimpin
politik yang mencari dukungan dengan mengungkapkan keinginan populer
dan perkiraan daripada menggunakan argumen rasional) . Baik gerakan
politik ekstrem saya kanan dan sayap kiri kemungkinan diuntungkan dari
lingkungan politik baru ini, setidaknya dalam jangka pendek
Untuk kemunculan demokrasi, ada kesamaan nampak pada
gambaran dari pilihan pemberian suara kita baru saja gambarkan.
Kemunculan sistem partai tidak mungkin berdasarkan pada pembagian
grup stabil, khususnya ketika transisi demokratis telah terjadi cukup cepat,
sebagaimana dalam pelibatan yang dapat memandu prilaku mereka. Maka,
pola pilihan pemilu dalam banyak demokrasi baru t dapat melibatkan
faktor jangka pendek yang sama - citra kandidat dan isu posisi - yang
baru – baru ini mendapatkan keunggulan dalam politik pemilu dari
kemajuan demokrasi industri.
Kesamaan baru ini adalah hanya buatan, akan tetapi. Mereka tidak
mencapai dibawah permukaan dari proses pemilihan.Kemajuan industri
maju mengalami evolusi dalam pola pilihan pemilu yang mengalir dari
penguraian kesesuaian lama dan pelibatan partai, pengembangan
pemilihan yang lebih rumit dan usaha untuk bergerak diluar batasan
perwakilan demokrasi. Kekuatan pemilu baru dalam demokrasi Barat
juga berkembang dalam setting pemilu dimana grup tradisional –
berbasis dan petunjuk partisan masih mengeluarkan pengaruh signifikan,
meskipun menghilang.
Sistem partai demokratik baru dari Eropa timur dan Asia Timur
menghadapi tugas mengembangkan struktur dasar pilihan pemilu –
kerangka kerja politik dimana Lipset dan Rokkan membahas secara
historis untuk Barat. Ini mewakili kesempatan unik untuk mempelajari
proses ini secara ilmiah; untuk meneliti bagaimana pelibatan partai baru
mengambil tempatnya, hubungan antara grup sosial dan bentuk – bentuk
partai, citra partai berkembang dan warga negara belajar proses mewakili
demokrasi. Kerangka kerja Lipset/Rokkan dapat memberikan kerangka
kerja untuk mempelajari bagaimana bentuk identitas politik baru. Akan
tetapi, sekarang kita dapat mempelajari proses ini dengan alat – alat
ilmiah dari penelitian empiris. Selain itu, kreasi sistem partai dalam dunia
global televisi, pengetahuan lebih besar tentang politik pemilu (dari level
elit dan publik) dan secara fundamental para pemilih berbeda adalah tidak
mungkin untuk mengikuti pola Eropa Barat pada tahun 1920an.
Untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan ini kita akan memerlukan
pandangan dinamis pada proses ini dari partisan dan perubahan pemilu.
Jarang terlalu cepat untuk menentukan bagaimana para ilmuwan sosial
akan merespon pada tantangan ini. Telah ada pengembangan
mengesankan dari dasar empiris dalam demokrasi baru ini –
pengembangan yang menggunakan berdekade – dekade dalam beberapa
Demokrasi Barat. Ada banyak dorongan tanda – tanda dan studi empiris
mengesankan berasal dari Eropa Timur dan Asia Timur. Tes
sesungguhnya, bagaimanapun, adalah apakah para ilmuwan fokus pada
pertanyaan umum ini atau sederhana menjadi peniru dari ilmuwan
sebelumnya di Barat.

Perubahan Publik: Kesimpulan


Dalam setiap bidang dibahas dalam essai ini, warga negara memajukan
masyarakat industri telah melakukan perubahan signifikan selama
generasi masa lampau. Masing – masing dari bidang ini adalah tergantung
lainnya, namun perubahan dalam setiap bidang cenderung untuk
mendorong perubahan dalam bidang lain. Ketika diambil bersama,
seseorang dapat mengamati tren terhadap apa yang kita sebut
individualization of politics (individualisasi politik). Ini melibatkan
perubahan dari pembuat keputusan pemilu berdasarkan pada grup sosial
dan atau petunjuk partai terhadap gaya yang lebih individual dan gaya
orientasi kedepan dari pilihan politik. Namun tergantung pada partai elit
dan grup referensi, lebih banyak warga negara sekarang berhubungan
dengan kompleksitas dari politik dan membuat keputusan politik sendiri.
Sama halnya, disamping tergantung pada metode tersusun dan melembaga
dari partisipasi politik, lebih banyak warga neara berubah pada beragam
metode demokrasi langsung, bertingkat dari grup komunitas ke gerakan
sosial. Apa yang berkembang adalah pola eclectic (pemilu) dan egosentrik
dari tindakan warga negara. Daripada secara sosial tersusun dan relatif
dari jaringan personal homogen, publik kontemporer adalah lebih mungkin
untuk mendasarkan keputusan mereka pada pilihan kebijakan, penilaian
kinerja atau citra kandidat.
Elemen penting dalam pola perubahan ini adalah media massa
moderen. Hubungan antara individual dan media keduanya berkontribusi
pada tren ini dan mendorong mereka (Semtko et al., 1991). Media
kontemporer memberikan para pemilih dengan keragaman lebih besar
dari sumber informasi, dan berpotensi pandangan lebih kritis dai aktor
politik seperti partai – partai, serikat buruh dan industri. Akses pada
beragam media lingkungan memungkinkan publik agar menjadi selektor
aktif dari informasi daripada konsumen pasif dari petunjuk politik
diberikan oleh lainnya. Selain itu, kemampuan untuk melihat para
kandidat dan para pemimpin parlementer tentang televisi mengarahkan
para pemilih memberikan lebih banyak perhatian pada atribut personal
dari politisi, seperti kompetensi dan integritas. Ekspansi tahun 1992
kampanye presiden Amerika kedalam forum media baru mengilustrasikan
poin ini dan pengembangan sama eksis dalam demokrasi Barat lainnya
sebagaimana teknologi komunikasi baru merubah pola aliran informasi.
Individualisasi politik juga menunjukan dirinya sendiri dalam
meningkatkan heterogenitas dari kepentingan isu publik. Isu paska
material paham lingkungan, hak – hak wanita dan pilihan gaya hidup
telah ditambahkan untuk segera memenuhi agenda penuh dari kemajuan
industri demokrasi. Selain itu, warga negara lebih menjadi terbagi
kedalam beragam isu publik khusus. Daripada politik menjadi tersusun
oleh manfaat grup, yang sering menggambarkan petunjuk sosial, warga
negara sekaran fokus pada isu khusus sekarang atau kepentingan personal.
Ketika diambil bersamaan, pengembangan ini menyarankan bahwa
sifat dari politik warga negara dalam masyarakat industri maju adalah
dalam proses transformasi. Politik kontemporer akan menjadi lebih mudah
dan kerangka kerja untuk keputusan politik berubah dari lembaga
masyarakat ke individual. Selain itu, individual merubah kriteria
pembuatan keputusan mereka dari faktor – faktor jangka panjang, seperti
loyalitas grup dan pelibatan partai berpengaruh, pada pertimbangan jangka
pendek dari pilihan kebijakan dan evaluasi kinerja. Warga negara juga
nampak lebih mau untuk bertindak pada pilihan mereka dan mereka
memiliki keahlian politik dan sumber untuk digunakan baik cara – cara
politik konvensional dan tidak konvensional. Singkatnya, baik kerentanan
dan kecepatan dari perubahan politik nampak menjadi meningkat dan pola
perubahan ini telah menjadi tren dominan pada masa kita.
Sebagaimana perubahan ini dalam masyarakat industri maju
kedepan, kita hanya hidup dari apa yang baru saja dinyatakan menjadi
peristiwa politik paling signifikan dari masa hidup kita; hancurnya
Kerajaan Soviet dan gelombang demokratisasi global. Sebagaimana
masyarakat industri maju dilibatkan kedalam bentuk baru dari politik
demokratis, kita menyaksikan pengembangan awal dari demokrasi dalam
tata baru bangsa – bangsa.
Gelombang demokratisasi di Eropa Timur, Asia Timur dan Afrika
menyentuh pada paling inti dari banyak pertanyaan dasar kita tentang sifat
dari politik warga negara dan karya dari proses politik. Normalnya, kita
mempelajari sistem demokratis yang berada pada keseimbangan dan
berspekulasi pada bagaimana keseimbangan ini diciptakan (atau
bagaimana berubah dalam cara – cara kecil). Selain itu, selama
gelombang sebelumnya dari transisi demokratis alat – alat nilai sosial
empiris adalah tidak tersedia untuk studi prilaku politik secara langsung.
Gelombang demokratisasi baru maka memberikan kesempatan unik untuk
mengarahkan pertanyaan dalam mengenali formasi, kreasi dari budaya
politik (dan kemungkinan bagaimana warisan budaya berubah), penetapan
perhitungan awal voting (penarikan suara) dan proses dinamis
menghubungkan norma – norma politik dan prilakunya. Pertanyaan ini
mewakili beberapa dari isu penelitian fundamental dari masa kita.
Jawabannya tidak hanya akan menjelaskan apa yang terjadi selama
gelombang demokratisasi ini, tetapi dapat membantu kita dalam
memahami lebih baik prinsip – prinsip dasar dari bagaimana fungsi warga
negara dalam proses demokratis.

You might also like