You are on page 1of 16

Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 November 2010

(ACIS) Ke - 10

TRAKTAT MARAPALAM “ADAT BASANDI SYARA’- SYARA’ BASAN


DI KITABULLAH”
(Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama dalam
Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat)

Ramayulis 

ABSTRAK

Konsensus Traktat Marapalam “Adat Basandi Syara‟ – Syara‟ Basandi Kitabullah” (ABS-SBK)
yang merupakan hasil perjuangan orang Minangkabau, kemudian menjadi filosofi dan jati diri
masyarakat adat dan agama. Secara prinsipil konsensus ini memberikan landasan filosofis, motivasi
keramat dan energi dalam menyalakan spirit perubahan sekaligus sebagai standar dalam menentukan
keabsahan setiap perubahan itu. Dalam kemajuan dan kemunduran akibat perubahan yang dihadapi
sekarang terutama dalam bidang sosio-kultural yang didominasi Barat, maka masyarakat mencari
filternya. Bagi masyarakat Minangkabau consensus dan falsafah Adat Basandi Syara‟ – Syara‟
Basandi Kitabullah” merupakan filter relevan dalam menyaring dampak negatif budaya Barat. Diyakini
dengan penghayatan dan pengalamalan konsesus ini akan efektif menjadi daya tangkal dampak negatif
globalisasi yang sarat dengan pengaruh negatif Barat seperti liberalisme, sekularisme, materialisme,
hedonisme, individualism dsb. Artinya dengan penerapan diktum karamat konsesus Marapalam ini,
masyarakat Minangkabau tidak akan tercabut dari akar budayanya. Karenanya ketika
diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diganti dengan UU No. 32/
2004 plus UU No. 08/2005 Sumatera Barat mengimplementasikan otonomi daerah itu dengan sistim
kembali ke nagari berbasis surau dilandasi Perda No. 9/ 2000 dan direvisi dengan Perda No. 02/
2007, baik otonomi dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya termasuk pendidikan.
Dengan sistem otonomi Sumatera Barat kembali ke nagari yang berbasis surau ini, mengukuhkan
kembali falsafah masyarakat adat ABS – SBK yang menjadi konsesus Marapalam ini.

Pendahuluan

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era global ini dapat dipastikan
membawa perubahan. Ketika perubahan berdampak negatif, masyarakat mencari filter dan
daya tangkal. Masyarakat Minangkabau masih berkeyakinan filter dan daya tangkal
pengaruh negatif global itu adalah agama dan adat. Substansi menjalankan agama dengan
adat itu sudah pernah menjadi konsensus orang Minangkabau dirumuskan tokoh agama
dan adat dikenal dengan “Traktat Marapalam”. Isi rumusan konsensus itu berbunyi: “Adat
Basandi Syara‟ – Syara‟ Basandi Kitabullah” (ABS – SBK). Konsensus ini menjadi energy
menyalakan spirit perubahan orang Minang yang tetap berakar pada budayanya. Karenanya
konsesus ini menjadi jati diri bahkan menjadi falsafah hidup orang Minangkabau dan
diyakini efektif menjadi filter relevan dalam menyaring segala dampak negative termasuk
dampak globalisasi yang didominasi budaya Barat.
128 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

Demikian pula ketika muncul pemikiran kontemporer, menawarkan pelaksanaan


syari‟at Islam di Sumatera Barat, orang Minang menganggap pemikirnya “telmi” (talat
mikir), karena bahasanya tidak pas dengan zaman perkembangan bahkan memundurkan
Minangkabau ke masa lalu, damikian pula bahasanya tidak menggambarkan citra Minang
yang menggunakan bahasa kias. Sejak abad ke-19 sebelum dirumuskan falsafah bangsa
Pancasila, sudah ada konsensus yang menaruh esensi dan substansi mengamalkan syari‟at
Islam itu. Bahasanya tidak menjadi “Negara Islam” dan “mengamalkan Syari‟at Islam”,
tetapi secara faktual sosio-kultural dan historis, orang Minang sudah puya bahasa yang
sudah cukup mengakar dan secara pilosofis melandasi pemikiran orang Minang, yakni
Syarak Mangato Adat Mamakai (SM-AM), sebagai cara jitu untuk mengimplemetasikan
filosofi orang Minang: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK) sebagai isi
konsensus Traktat Marapalam.
Konsensus ABS-SBK ini yang substansi adat yang Islami1 sudah pernah menjadi
landasan filosofis penataan Nagari sebagai wilayah subkultur dan pemerintahan adat yang
disebut Belanda sebagai “Republik Kecil”. Tipe Nagari itu adalah “Nagari ABS – SBK”
dengan bentuk struktur pemerintahannya: (1) fungsi eksekutif dijabat Kapalo Nagari dan
perangkat nagari terdiri dari struktur: manti (sekretaris), bandaro, paga nagari, cati
(pembangunan), pendidikan, (2) fungsi legislatif dijabat Kerapatan Nagari (KN) duduk
sebagai wakil dari unsur Ninik Mamak (NM), unsur Alim Ulama (AU) dan unsur Cadiak
Pandai (CP) dipilih dalam musyawarah KN denan quorum unsur NM, AU, CP, dan (3)
fungsi yudikatif dijabat Ketua Peradilan Nagari.
Setelah Indonesia merdeka terjadi perubahan nagari bahkan pernah nagari
dimarjinalkan dengan diberlakukan UU No.5/ 1979. Sekarang era otonomi yang Sumatera
Barat mengambil sistem “kembali ke nagari berbasis surau” namun pelaksanaannya
setengah hati dan terkesan mengabaikan konsensus Marapalam, ibaratnya, ABS – SBK
konsensus traktat Marapalam itu, seperti “janji tidak terisi”.
Makalah ini mencoba menela‟ah konsensus pemuka adat dan pemuka agama
Minangkabau ini dalam memadukan adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat.
Kajian meliputi (1) Minangkabau pada Masa Pengaruh Hindu dan Budha, (2) Adat
Minangkabau Sebelum Kedatangan Islam, (3) Masuk dan Berkembangnya Islam di
Minangkabau, (4) Proses Terjadinya Konsensus antara Adat dan Syara‟, (5) Implementasi
Adat Basandi Syara‟ – Syara‟ Basandi Kitabullah dalam Kehidupan Masyarakat Minangkabau,
(6) Relevansi “Adat Basandi Syara‟ – Syara‟ Basandi Kitabullah” pada Masa Sekarang.

Minangkabau pada Masa Pengaruh Hindu dan Budha

Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada sebelum datangnya Islam, bahkan


juga telah ada sebelum agama Hindu dan Budha memasuki wilayah nusantara ini, bukanlah
kebudayaan Minangkabau itu telah mencapai bentuknya yang terintegrasi dan mempunyai
kepribadian yang kokoh.2 Oleh karena itu setiap kebudayaan yang datang dari luar yang
dirasakan bertentangan dengan dasar falsafah adatnya tidak dapat bertahan di
Minangkabau.
Kebudayaan luar yang mula-mula masuk ke Minangkabau adalah Hindu/ Budha.
Agama Hindu dan Budha masuk di Minangkabau melalui dua cara ; (1) dengan cara non
RAMAYULIS Traktat Marapalam 129

formal, yaitu melalui jalur dagang dan (2) dengan cara formal yaitu melalui sistem
kekuasaan pihak yang memenangkan perang.
Cara pertama melalui jalur dagang, diketahui Daerah Minangkabau strategis dan
menguntungkan bagi lalu lintas perdagangan, karena di wilayah Timur Minangkabau jalur
perairan Selat Melaka dan di wilayah rantau pesisir jalur pantai barat Sumatera berbasis di
Banda-X, di Pelabuhan Emas Pulau Cingkuk dan Pelabuhan Lada dalam Kesultanan
Indrapura ramai dilalui dan disinggahi kapal dagang asing (India, Persia, Gujarat, Arab,
Cina, Sepanyol, Inggiris, Belanda dll) mengangkut tembakau, kopi, lada, emas dll. Yang
mula-mula datang adalah pedagang dari Hindia. Karena pedagang dari Hindia ini beragama
Budha maka mereka sambil berdagang mengembangkan agama Budha, sehingga agama
itulah yang mula-mula masuk dan berkembang di Minangkabau bagian Timur.
Perkembangan agama Budha pada tahap ini tidak berjalan secara efektif karena di
samping sukar menyesuaikan diri dengan kebudayaan asli juga mendapat gangguan dari
saudagar Persia yang telah menarik penduduk asli ke dalam agama Islam pada abad VII
dan VIII M, hanya saja pengaruh Islam pada waktu itu belum meluas karena kedudukan
saudagar Persia itu digantikan pula oleh saudagar Cina yang juga beragama Budha.
Cara kedua penyiaran agama Budha di Minangkabau mulai berlaku pada waktu raja
Aditiyawarman memerintah di Minangkabau pada tahun 1347-1375 M. Ia adalah seorang
Pangeran dari Majapahit yang dilahirkan dari seorang ibu asal Melayu yang bernama Dara
Jingga.
Dalam suatu perluasan kekuasaan Majapahit ke Pusat pulau Sumatera, Majapahit
mengirim suatu ekspedisi ke Minangkabau dalam perang diplomasi, ekspedisi itu
mengalami kekalahan. Dalam tambo, perang diplomasi itu dilambangkan dengan adu
kerbau. Atas kemenangan kerbau dari Minangkabau, daerah itu kemudian dinamai
Minangkabau.3
Pengaruh yang ditinggalkan agama Hindu/ Budha yang dibawa oleh Aditiyawarman
adalah munculnya pengertian nagari yang berasal dari bahasa pengikut agama Hindu/
Budha yang berdiam di tengah-tengah orang Minangkabau, di samping itu juga terlihat
pada “saluak” dan destar (tutup kepala pakaian kebesaran Penghulu).
Setelah berakhirnya kekuasaan Aditiyawarman di Minangkabau, maka kebudayaan
Hindu/ Budha itupun lenyap dari Minangkabau tanpa meninggalkan pengaruh yang
berarti terhadap adat.

Adat Minangkabau Sebelum Kedatangan Islam

Falsafah adat Minangkabau (sebelum kedatangan Islam) berdasarkan ketentuan


yang ada dalam alam nyata. Alam bagi orang Minangkabau ialah segala-galanya, bukan
hanya sebagai tempat lahir dan tempat mati, tempat hidup dan berkembang, melainkan
juga mempunyai makna filosofis, seperti yang diungkapkan dalam norm mamangannya;
alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Oleh karena itu, ajaran dan
pandangan hidup mereka yang dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah, mamangan, serta
lain-lainya mengambil ungkapan dari bentuk, sifat dan kahidupan alam.4
Alam dan segenap unsurnya mereka lihat senantiasa terdiri dari empat atau dapat
dibagi dalam empat, yang mereka sebut nan ampek (yang empat). Seperti halnya; ada
130 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

matahari, ada bulan, ada bumi, ada bintang; ada siang, ada malam, ada pagi, ada petang;
ada timur, ada barat, ada utara, ada selatan; ada api, ada air, ada tanah, ada angin. Semua
unsur alam saling mengikat, saling berbenturan tapi tidak saling melenyapkan, dan saling
mengelompok tapi tidak saling meleburkan. Unsur-unsur itu dinamis sesuai dengan
dialetika alam yang mereka namakan bakarano bakajadian (bersebab dan berakibat).
Bila alam dengan segala unsurnya itu dikiaskan kepada kehidupan manusia,
sebagaimana mereka mengiaskan alam sebagai tanah air Minangkabaunya, maka
pemahaman unsur alam bermakna sebagai lembaga atau individu dalam masyarakat
mereka. Masing-masing berhak mempertahankan eksistensinya dalam perjalanan hidupnya.
Sebaliknya, setiap lembaga mempunyai kewajiban untuk memelihara eksistensi individu
dalam lembaganya masing-masing, di samping setiap individu pun berkewajiban
memelihara eksistensi lembaganya pula. Sedangkan harmoni dipahamkan sebagai
keselarasan atau kesesuaian hidup sesama lembaga dan sesama individu, antara lembaga
dan individu, dan sebaliknya. Setiap lembaga atau individu mempunyai perbedaan dalam
kadar dan perannya. Oleh kerena, mereka tidak dapat bersatu dengan yang lain, tetapi akan
tetap sama dengan yang lain. Jadi dalam dinamika harmoni, mereka dalam masing-masing
menjadi satu untuk bersama dan masing-masing menjadi sama untuk diri sendiri.
Aturan hidup yang dibuat berdasarkan alam nyata meliputi :
1) Kedudukan orang seorang
2) Hubungan seseorang dengan masyarakat (orang lain)
3) Perekonomian masyarakat5
Adapun yang menjadi sendi dasar adat Minangkabau adalah apa yang sering
dinamakan dengan sistem Tungku Tigo Sajarangan yaitu (1) Alua jo patuik, (2) Anggo jo tanggo,
dan (3) Raso jo pareso.6 Funsionaris Tungku Tigo Sajarangan itu adalah tiga unsur yakni (1)
alim ulama, (2) ninik mamak dan (3) cadiak pandai (cendekiawan).
Yang dimaksud dengan Alua jo patuik adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya
substansi hukum. Anggo jo tanggo dimaksudkan pedoman dasar yang substansinya sama
dengan anggaran dasar/ anggaran rumah tangga pada sebuah kelembagaan.
Sedangkan raso jo pareso dimaksudkan sebagai dasar pri kemanusiaan dan pri keadilan
berfunsi sebagai peraturan perundang-undangan. Jadi sendi dasar adat Minangkabau
ialah: kewajaran (meletakkan sesuatu pada tempatnya), hukum keadilan, prikemanusiaan
dan kebenaran.
Fungsi dari fungsionaris Tungku Tigo Sajaragan (1) fatwa pada ulama, (2) perintah
(untuk dilaksanakan keponakan) pada ninik mamak dan (3) teliti pada cadiak pandai.
Di samping sistem Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin, adat
Minangkabau juga terbagi empat tingkatan yaitu :
1) Adat nan sabana adat, yaitu kenyataan yang berlaku dalam alam, atau sesuatu yang
telah dan terus berjalan sepanjang masa, seperti adat api dan membakar, adat air
membasahi.
2) Adat nan diadatkan, yaitu sesuatu sistem dan atur berprilaku yang dirancang,
dijalankan serta diteruskan oleh nenek moyang yang pertama kali menempati
Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam segala
bidang.
RAMAYULIS Traktat Marapalam 131

3) Adat nan teradat, yaitu kebiasaan setempat yang dapat bertambah, dengan kata lain
adat nan teradat ini dapat saja berbeda antara suatu nageri dengan nageri lainnya.
4) Adat istiadat, merupakan aturan adat Minangkabau yang dibuat dengan kata
mufakat (konsensus) ninik mamak yang menampung segala kemauan dan
kesukaan anak nagari selama menurut ukuran alur dan patut seperti pakaian,
kesenian, ukiran dan lain sebagainya.7
Namun dalam masalah ketuhanan dan kehidupan akhirat tidak terlihat secara nyata
dalam adat Minangkabau karena adat tersebut didasarkan kepada alam nyata. Dalam
pepatah adat dinyatakan :
Panakiak pisau sirauik (pemotong pisau siraut)
Ambiak galah batang lintabung (ambil galah batang lintabung)
Salodang ambiak ka niru (salodang ambil ka niru)
Satitiak jadikan lauik (setetes jadikan laut)
Sakapa jadikan gunuang (sakapa jadikan gunung )
Alam takambang jadikan guru (alam terkembang jadikan guru)
Dalam petatah tersebut terlihat sekali falsafah alam dari adat Minangkabau, begitu
pula dalam pepatah :
Gajah mati maninggakan gadiang (gajah mati meninggalkan gading)
Harimau mati maninggakan balang (harimau mati meningglkan belang)
Manusia mati maninggakan namo (manusia mati meninggalkan nama)
Jadi dari pepatah di atas terlihat ketidakjelasan arah kehidupan setelah manusia
meninggal dilihat dari perspektif syara‟ (Islam).

Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau

Menurut para sejarawan, masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau melalui


tiga tahap :
Tahap pertama, yaitu melalui jalan dagang. Sifat keterbukaan suku bangsa
Minangkabau serta adanya komoditi dagang yang diperlukan, mengundang datangnya
saudagar-asudagar asing untuk memasuki dan mengembangkan pengaruhnya di
Minangkabau. Pada abad VII M, pedagang-pedagang berasal dari India (Hindia), Persia,
Gujarat, Arab, Cina banyak yang datang ke Minangkabau bagian timur untuk membeli
lada, sedangkan pedagang-pedagang tersebut telah memeluk agama Islam. Demikian pula
lewat jalur perairan, pedagang telah mendirikan kloni Arab di daerah pantai Barat
Sumatera. Tidak mustahil pada waktu itu telah berlangsung penyiaran agama Islam secara
tidak resmi, baik melalui pergaulan maupun perkawinan. Penyiaran Islam waktu itu
berjalan dengan baik walaupun tidak terencana, serta mudah berkembang di antara
pribadi-pribadi orang Minangkabau karena ajarannya sederhana mudah dipahami dan
dalam beberapa hal searah dengan kebudayaan dan falsafah adat yang telah berkembang
sebelumnya.8
Tahap kedua, penyiaran agama pada tahap ini terjadi pada saat Pesisir Barat
Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh. Sebagai umat yang berasal dari wilayah
Indonesia yang lebih dahulu memeluk agama Islam, saudagar/ mubaligh Aceh giat
menyiarkan Islam di daerah pesisir yang telah menjadi pengaruh Aceh. Bahkan
132 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

pengislaman Minangkabau secara besar –besaran dan terencana terjadi setelah pesisir
berada di bawah pengaruh Aceh.9 Demikian pula penyebaran Islam berbasis Minang
sebenarnya sudah pula meluas sejak abad ke-15, sampai ke Indonesia Bagian Timur
disebarkan tiga ulama dari Minang yakni Dato‟ Ritimang, Dato‟ Ritiro dan Dato‟
Ribandang. Ke Brunei melalui Serawak dikenal Dato‟ Godam, ke Philipina disebarkan da‟i
Arab asal Minang dikenal Rajo Bagindo (Raja Baguinda) menjadi raja di Buansa dan
putrinya menikah dengan da‟i Arab temannya yang kemudian mendirikan keraja Sulu
Philipina.
Pengembangan Islam secara terencana terjadi setelah 6 orang putra Minangkabau
pergi ke Aceh setelah menamatkan pelajaran dengan Syeikh Tapakis. Mereka ke Aceh
melanjutkan pelajaran ilmu agama Islam kepada seorang ulama besar yaitu Syekh Abdur
Rauf. Mereka 6 orang itu ialah Syeikh Burhanuddin Ulakan (Pariaman) ahli tasauf,
Syeikh Buyung Muda Puluik-puluik Bayang (Pesisir Selatan) ahli ilmu sharaf (morpologi
Arab), Syeikh Muhammad Nasir Koto Panjang Padang ahli tasir, Syeikh Muhsin/
Supayang Solok ahli nahu (sintaksis Arab), Syeikh Padang Ganting Tanah Datar ahli
fiqhi (hukum Islam) dan Syeikh Khalidin (Ipuh) ahli tasauf.
Sepulang 6 ulama Minang dari Aceh itu, mereka mengajarkan agama Islam secara
teratur berbasis pada jaringan surau mereka (di Ulakan Pariaman, Bayang Pesisir Selatan,
Koto Panjang Padang, Supayang Solok, Ipuh dan Padang Ganting Tanah Datar). Jaringan
surau ulama ini berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam dan rami dikunjungi orang-
orang Minangkabau dari seluruh pelosok nageri dan juga dari luar Minangkabau. Melalui
merekalah Islam semakin berkembang sampai ke Darek (daerah dataran tinggi). Dari
kejadian inilah muncul petatah adat “syara‟ mandaki adat manurun”.10
Tahap ketiga, Islam masuk dari daerah pesisir, mendaki dan berkembang ke seluruh
alam Minangkabau. Walaupun di pusat kejaraan Pagaruyung raja masih beragama Budha,
namun sejak abad XV M sebagian daerah Minangkabau telah memeluk agama Islam.
Setelah raja Anggawarman telah memeluk agama Islam, dan mengganti namanya dengan
Sultan Alif, maka secara resmi Islam telah masuk di istana Pagaruyung. Hal ini sangat
berpengaruh sekali bagi perkembangan Islam dan semenjak saat itu seluruh rakyat
Minangkabau resmi memeluk agama Islam. Semenjak itu pulalah dimulai perombakan
lembaga pemerintahan menyesuaikan dengan lembaga yang telah ada dalam Islam. Muncul
lembaga pemerintahan baru di tingkat atas yaitu Raja Ibadat, yang berkedudukan di
Sumpur Kudus, sebagai imbangan terhadap Raja Adat yang berkedudukan di Buo 10 dan
Rajo Alam di Pagaruyung.
Kedatangan agama Islam ke Minangkabau berbeda dengan kedatangan agama
Hindu dan Budha. Agama Hindu dan Budha tidak bertahan lama di Minangkabau, karena
ajarannya banyak yang bertentangan dengan adat Minangkabau. Kedatangan Islam ke
Minangkabau menjadi rahmat (kasih sayang) bagi masyarakat Minangkabau. Hal ini
disebabkan karena masuk dan berkembangnya Islam di tengah adat yang ada sebelumnya,
sejalan dengan pola yang telah ditempuh nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran
Islam, waktu masuk ke tanah Arab sebelumnya juga telah diatur oleh tatanan adat. Pola
yang dimaksud adalah sebanyak mungkin menerima dan menyerap adat yang telah ada dan
disatukan dengan ajaran agama yang datang kemudian.11
RAMAYULIS Traktat Marapalam 133

Islam membawa tatanan tentang apa yang harus diyakini oleh umat atau yang
disebut akidah dan tatanan tentang apa yang harus mereka amalkan, yang disebut dengan
syari'ah atau syara‟. Yang menyangkut dengan akidah ini terutama tentang ketuhanan. Adat
Minangkabau tidak menampakkan bentuknya yang nyata dan hanya mendasarkan kepada
alam nyata. Tidak ditemukan ajaran tentang kehidupan di balik kehidupan nyata ini seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Setelah Islam masuk adat Minangkabau diarahkan secara perlahan-lahan kepada
keyakinan akan alam ghaib (alam akhirat) sebagai tujuan hidup manusia. Jika pada mulanya
adat Minangkabau hanya mengakui alam nyata saja dan dengan pengaruh Islam akhirnya
berubah kepada pengakuan akan adanya alam ghaib (alam akhirat) sebagai tujuan akhir
untuk bertemu dengan sang Pencipta alam nyata ini yaitu Allah swt.

Proses Terjadinya Konsensus antara Adat dan Syara’

Filosofi Adat Basandi Syara‟ – Syara‟ Basandi Kitabullah (ABS – SBK), merupakan
puncak dari persentuhan, perbenturan, penyesuaian dan perpaduan antara adat
Minangkabau yang sudah ada semenjak dari ninik moyang dengan agama Islam yang
datang kemudian.
Lahirnya falsafah ABS – SBK tidaklah muncul begitu saja, akan tetapi melalui masa
yang panjang, bahkan dalam masa yang panjang itu terjadi perbenturan/ konflik antara
adat dan agama Islam. Hal ini terjadi karena adat Minangkabau sudah mempunyai tatanan
kehidupan baik secara individu maupun secara bermasyarakat. Di samping itu Islam yang
datang kemudian juga membawa tatanan dalam kehidupan dalam segala segi dan juga
menuntut ketaatan dari pada pemeluknya. Dengan kedatangan Islam itu bertemulah dua
tatanan kehidupan di alam Minangkabau yang masing-masing menuntut kepatuhan dari
umat/masyarakat penganut/pendukungnya. Dengan demikian mulailah terjadi
persentuhan yang saling tarik menarik antara adat dan agama.
Ada beberapa tahapan yang dilalui dalam rangka menuju kepada bentuk yang
terpadu dan serasi antara adat dan agama Islam, yaitu:
Tahap pertama, adat dan syara‟ (Islam) berjalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang
tidak saling mempengaruhi. Masyarakat Minangkabau menjalankan agamanya dalam
bidang akidah dan ibadah, tetapi yang menyangkut kehidupan sosial, adat lama masih tetap
berlaku, sebagaimana dikatakan oleh pepatah sebagai filosofi adat “Adat Basandi Alur dan
Patut – Syara‟ Basandi Dalil (ABAP – SBD)” (adat berdasarkan aturan dan kepantasan,
syara‟ berdasarkan dalil), maksudnya adalah adat berdasarkan kepada jalur dan kepatutan
dan syara‟ berdasarkan kepada dalil yang terdapat dalam al Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.
Tahap kedua, satu sama lain saling menuntut hak tanpa menggeser kedudukan pihak
lain. Di sinilah muncul filososfi: “Adat Basandi Syara‟ – Syara‟ Basandi Adat (ABS – SBA)”
(adat bersendikan kepada syara‟ dan syara‟ bersendikan kepada adat). Pepatah adat ini
mengandung arti bahwa adat dan syara‟ saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.12
Pada tahap kedua ini terjadi penyesuaian yang mengandung arti bahwa bangunan
lama (adat Minangkabau) dapat dipertahankan dan bangunan baru (ajaran Islam) diterima
adanya. Dalam tanggung jawab keluarga seorang lelaki dalam fungsinya sebagai ayah dan
134 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

sebagai mamak dituntut bias mendistribusikan tanggung jawab sesuai dengan fungsinya
(sebagai ayah atau mamak), misalnya dinyatakan dalam pepatah :
Kaluak paku kacang balimbiang (kelok pakis kacang belimbing),
tampuruang lenggang lenggangkan (tempurung lenggang lenggangkan),
baok bajalan ka Saruaso (bawa berjalan ke Saruaso)
Anak dipangku kamanakan di bimbiang (anak dipangku keponakan di bimbing)
urang kampuang di patenggangkan (orang kampung diperhatikan)
tenggang adaik jan binaso (pelihara adat jangan binasa).

Maksudnya bahwa seorang laki-laki dalam keluarga adalah paman oleh


keponakannya, adat menuntut agar dia menanggung kehidupan keponakannya. Dalam
waktu yang sama dia adalah ayah dari anak-anaknya, syara‟ menuntutnya agar memberi
nafkah anak-anaknya. Di samping itu dia juga anggota masyarakat, maka dia juga harus
memberikan bantuan kepada masyarakat (keponakan).
Tanggung jawab seorang laki-laki di Minangkabau dilaksanakan sebagaimana
digambarkan dalam pepatah sebagai berikut :
Padang banamo panjariangan (Padang bernama Panjaringan)
Tampaik bajalan rang batigo (tempat berjalan orang bertiga)
Mambaok adaik jo pusako (membawa adat dengan pusaka)
Anak dipangku jo pancarian (anak dipelihara dengan hasil pencarian)
Kamanakan di bimbiang jo pusako (keponakan dibimbing dengan harta pusaka)
Rang kampuang di tangguang jo bicaro (orang kampung dibantu dengan fikiran).

Dalam periode tahap kedua ini berkembang surau ninik mamak belum mengajarkan
agama secara kuat yang kuat adat dan ilmu bela diri/ silat. Surau ninik mamak ini didirikan
dalam kampung sukunya memperkuat masjid dan balai adat di nagari. Fungsi surau ninik
mamak di samping tempat belajar adat dan silat masyarakat Minang itu sebagai sumber
mengajarkan nilai budi (prilaku), juga berfungsi tempat tidur keponakan lelaki dari umur 5
tahun ke atas bahkan juga tempat tidur lelaki bujang dan lajang termasuk lelaki yang
bercerai dengan isterinya. Dalam perjalanan surau ninik mamak ini masih terkesan terpisah
dari surau ulama, bahkan surau ninik mamak ini dinilai oleh ulama ada kesan bahwa dalam
pelaksanaan adat terdapat prilaku yang terlarang dalam Islam seperti bersulang,
menyabung ayam, berjudi di samping praktek takhayul, bid‟ah dan c(k)hurafat (TBC).
Fenomena ini menimbulkan perselisihan di antara datuk (penghulu ninik mamak suku) dan
tuanku-tuanku (pimpinan alim ulama). Kemudian dengan kebijakan para datuk dan
tuangku didukung orang tua cerdik pandai dapat kata sepakat perdamaian adat dan
syara‟.13
Tahap ketiga, terjadi konsensus antara adat Minangkabau dengan ajaran Islam.
Tahap ketiga ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh rasa belum puas yang muncul pada diri
sejumlah pemuka agama setempat yang menuntut ilmu keislaman di Arab Saudi. Mereka
ingin mengadakan pemurnian Islam tanpa kenal kompromi mirip gerakan wahabi seperti
yang ditempuh oleh pemuka agama sebelumnya. Pemuka agama yang berpendapat
demikian adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka diilhami oleh
gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh pemurni
RAMAYULIS Traktat Marapalam 135

ajaran Islam di Arab Saudi. Mereka ingin agar bentuk pemurnian yang mereka saksikan
juga dipraktekkan di Minangkabau. Ide ini mendapat dukungan dari ulama lain yang
kebetulan tidak menyukai kompromistis tersebut sehingga terjadi konflik secara terbuka
antara ulama pemurni dan pemuka adat beserta golongan ulama lain yang memihak adat
istiadat Minangkabau. Gerakan pemurnian agama ini dikenal dengan “Kaum Paderi”.
Mereka ingin melaksanakan hukum Islam, baik dalam soal ibadah maupun muamalah
(kemasyarakatan) secara murni. Mereka berpendapat bahwa adat Minangkabau yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam sama dengan adat Jahiliyah dan harus dihabiskan.
Pemberantasan dugaan adat jahiliyah oleh ulama pemurni ajaran Islam ini kemudian
dikenal dengan paderi.
Gerakan paderi yang satu sisi merupakan social movement dalam pemurnian agama
oleh ulama paderi dari perspektif sejarah berbasis di surau-surau ulama paderi itu. Dalam
gerakannya berhadapan langsung dengan sasaran surau ninik mamak. Surau ulama saat itu
berada di papan atas dengan keras memberikan koreksi total terhadap surau ninik mamak/
surau suku yang dianggap sarang TBC (Takhayyul, Bid‟ah dan Churafat) meskipun sudah
menggiatkan pengajaran agama (syara‟). Karena dianggap surau ninik mamak masih
membiarkan adat menganut perilaku bertentangan dengan Islam seperti praktek bersulang
minum tuak, menyabung ayam, judi di samping praktek TBC tadi, maka surau ini banyak
dirobohkan kaum paderi.
Surau ninik mamak sudah berfungsi sebagai sentra pembinaan trilogi masyarakat
Minangkabau yakni agama, adat dan ilmu bela diri/ silat. Surau ninik mamak ini dipimpin
oleh « malim » salah satu unsur dari urang nan-4 jinih (U4J – orang yang mempat jenis).
Unsur orang yang empat jenis ini ialah (1) penghulu (dengan jabatan datuk sebagai pimpinan
teratas setiap suku/ ninik mamak di kampungnya), (2) manti (orang yang cerdik pandai,
juru bicara adat dan agama/ syara‟), (3) malim (orang yang menguasai agama/ syara‟) dan (4)
dubalang (hulu balang/ aparat hankam dalam masyarakat adat Minang). Malim dalam
mengembangkan agama/ syara‟ dan membina masyarakat adat/ kepenakan beragama
berbasis pada surau disebut dengan surau ninik mamak. Malim dibantu pula oleh unsur
pimpinan agama kolektif yakni urang jinih nan-4 (UJ4 – orang jenis yang empat) yakni : (1)
imam, (2) katib (khatib), (3) bila (bilal) dan (4) kadi (qadhi fungsi pembantu pencatat
NTCR/ seperti fungsi penghulu ala Jawa). Malim dengan « orang jinih yang empat » ini
merupakan elit agama membina surau ninik mamak di Minangkabau dan menjadikan surau
itu sebagai « simbol adat » dengan fungsi pusat « budi» (al-akhlaq al-karimah) yang mengajar
anak keponakannya berbudi. Surau inilah yang dirobohkan oleh paderi, karena dianggap
sebagai sarang TBC dan diduga basis pengkhianatan ninik mamak.14 Fenomena konflik
ulama (pemuka agama) paderi dan ninik mamak (pemuka adat) ini kemudian ditunggangi
oleh kepentingan Belanda, pada gilirannya menjadi konflik terbuka dikenal dengan Perang
Paderi abad ke-19 dasawarsa ke-3-4).
Konflik terbuka antara pemuka adat dan pemuka agama (ulama paderi) ini pada
akhirnya terdapat juga titik temu. Mereka orang arif bijaksana. Kepiawaian mereka disebut
dalam adat «lubuk aka tepian budi « (lubuk akal tepian budi), akal tidak pernah terbentur
buntu dan kering, budi tidak pernah terjual. Mereka memperdamaikan adat dan syara‟
dengan bijak ibarat « menarik rambut dalam tepung, rambut tidak putus dan tepung tidak terserak«.
Terwujudlah « konsesus bersama » yang hasilnya secara prinsipil, sangat menentukan
136 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

gerakan penguatan adat dan agama dalam membentengi kehidupan dan memberdayakan
masyarakat Minangkabau ke depan. Kesepakatan (konsensus) antara ulama dan ninik
mamak mengambil tempat di Bukit Marapalam Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat
(sekarang) abad ke-19. Konsensus ini kemudian dikenal dengan sebutan “Traktat
Marapalam” (Perjanjian Bukit Marapalam).
Dalam pembuatan konsensus ini hadir para pemuka adat dan pemuka agama Islam
di Minangkabau. Isi traktat ini tak lain merupakan puncak strategi penyebaran Islam tahap
ke-3 dalam lingkungan masyarakat Minangkabau. Dari hasil konsensus inilah lahir falsafah
adat Minangkabau sebagai isi traktat Marapalam itu yang berbunyi : “Adat Basandi Syara‟ –
Syara‟ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dan dalam implementasinya dirumuskan dengan
strategi Syara‟ Mangato, Adat Mamakai (SM-AM / apa yang dikemukakan oleh syara‟
dilaksanakan oleh adat). Selanjutnya dalam pelaksanaan adat bersendikan kepada syara‟ dan
syara‟ bersendikan pula kepada Kitabullah). Jadi, perinsipnya dalam pelaksanaan adat
Minangkabau adalah tidak bernama adat Minangkabau kalau betentangan dengan Islam.
Tegasnya dalam konsesus Marapalam yang isinya ABS-SBK adalah adat Minangkabau itu
adalah pelaksanaan Islam, sangat Islami, yang kemudian menjadi filosofi kehidupan orang
Minangkabau.
Jika dilihat proses kelahiran falsafah ABS-SBK ini pada tahap pertama, adat dan
Islam berkembang seiring sejalan, tetapi tidak ada titik temu, lalu pada tahap kedua sudah
saling merangkul, maka pada tahap ketiga terjadilah penyesuaian (basandi) dan perdamaian
adat dengan syara‟. Tahap ketiga merupakan puncak proses asimilasi antara adat dengan
syara‟ yang sudah berjalan ratusan tahun.

Implementasi Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS – SBK)


dalam Kehidupan Masyarakat Minangkabau

Dengan adanya konsensus ini, maka secara perlahan-lahan adat Minangkabau


menyesuaikan diri dengan ajaran Islam, baik dalam bidang akidah, dalam bidang ibadah,
maupun dalam bidang muamalah (sosial kemasyarakatan). Bahkan dengan penerapan
konsensus ABS – SBK kemudian ditegaskan adat itu melaksanakan Islam, karenanya tidak
adat Minang namanya kalau bertentangan dengan Islam.
Sebagai implikasinya dapat dilihat dalam bidang kemasyarakatan, Islam
menyempurnakan adat seperti terlihat dalam arsitektur sakral pada bangunan masjid dan
surau, terdapat menara mempunyai struktur yang terdiri atas simbol bangunan adat
(bergonjong) dan simbol arsitektur bangunan Islam (berkubah). Begitu juga arsitektur
bangunan sivil dalam wujud rumah penduduk dan rumah gadang adat mengesankan adat
berdampingan dengan rumah ibadah.
Dalam sistem pemerintahan pada mulanya di Minangkabau hanya ada lembaga Raja
Alam dan Raja Adat yang mengurus pemerintahan adat dan khusus urusan adat, kemudian
dilengkapi dengan ada lembaga Raja Ibadat yang mengurus ibadah (persoalan agama
Islam). Maka terbentuklah lembaga baru dengan nama “Rajo nan Tigo Selo” (Raja yang tiga
bertahta duduk berdampingan), yakni Raja Adat di Buo Lintau, Raja Ibadat di Sumpur
Kudus dan Raja Alam di pusat pemerintahan Pagaruyuang (sekarang ketiga daerah ini
masuk ke wilayah administratif Kabupaten Tanah Datar)”.
RAMAYULIS Traktat Marapalam 137

Di bidang pemerintahan juga dikenal dengan Dewan Menteri dengan nama “Basa
Ampek Balai” (Besar Empat Balai), yakni Bandaro di Sungai Tarab, Indomo di Saruaso,
Tuan Kadi di Padang Gantiang, dan Makhudum di Sumanik (juga di Tanah Datar).
Bandaro, Indomo dan Makhudum merupakan pelaksana tugas bidang pemerintahan dari
Raja Alam di Pagaruyung, sedangkan Tuan Kadi sebagai pelaksana tugas dari Raja Ibadat
untuk mengurus urusan keagamaan. Pada tingkat bawah juga dikenal dengan “penghulu,
manti, dan dubalang”. Setelah Islam masuk, ditambah dengan “malin”. Penghulu dari
kelompok ninik mamak, manti dari kelompok cerdik pandai, dubalang dari kelompok
kaum muda dan malin dari kelompok alim ulama.
Wewenang dan hak/ kepiawaian bicara masing-masing digambarkan dalam pepatah
sebagai berikut :
Kato panghulu kato manyalasai (kata penghulu kata menyelesaikan)
Kato ninik mamak kato barubuang (kata ninik mamak kata bermanfaat
Kato malin kato hakikaik (kata malin kata hakekat)
Kato dubalang kato mandareh (kata dubalang kata tegas/ keras)

Tanggung jawab masing-masing digambarkan dalam pepatah:


Penghulu tagak di pintu adat (penghulu berdiiri di pintu adat)
Malin tagak di pintu syara‟ (malin berdiri di pintu syara‟)
Manti tagak di pintu susah (malin berdiri di pintu kesusahan)
Dubalang tagak di pintu mati (dubalang tagak di pintu mati)

Dalam persyaratan pembentukan sebuah nagari di Minangkabau di samping


persyaratan yang sudah ada menurut adat, yaitu suku nan ampek, balai, labuah, tapian, sawah,
ladang, pandam pakuburan, ditambah lagi syarat baru sesuai dengan tuntutan syara‟, yaitu
surau dan musajik (masjid) tempat ibadah.
Perbenturan antara adat Minangkabau dengan ajaran Islam pernah juga terjadi
karena pilaku pemangku adat yang tidak memahami syara‟ dan t. okoh agama yang tidak
memahami adat. Fenomena benturan/ diperbenturkan adat dan syara‟ itu terkesan dalam
“bidang sosial budaya khususnya seperti menyangkut sistem kekerabatan yang menentukan
bentuk perkawinan, kediaman dan pergaulan, serta pewarisan harta”15 terutama puska
tinggi. Adat Minang menganut sistem kekerabatan matrilinial, sedangkan ajaran Islam
menganut kekerabatan parental. Dalam kehidupan tempat tinggal keluarga menurut adat
adalah secara matrilokal, sedangkan ajaran Islam menghendaki tempat tinggal keluarga
disediakan oleh suami. Sistem kewarisan yang berlaku dalam adat adalah unilateral kolektif
sedangkan menurut ajaran Islam adalah bilateral individual.16
Oleh karena kedua belah pihak (tokoh adat dan syara‟) yang berbeda dalam prinsip,
maka persentuhan dan penyesuaian berlangsung lama dan berlarut-larut. Pada mulanya
terlihat bahwa tidak ada di antaranya yang memberikan tempat ke pada pihak lain.
Keduanya berkelanjutan adanya berdampingan tangan. Berkat kepiawaian dan toleransi
antara pemuka adat dan pemuka agama, secara perlahan-lahan akhirnya dapat diselesaikan
secara konsensus tanpa menghilangkan hal-hal yang bersifat prinsip baik dalam adat
maupun dalam agama.
138 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

Suatu konsensus tentang pembagian harta warisan oleh pemuka adat dan pemuka
agama adalah “Harato pusako dibagi sacaro adaik, harato pancarian dibagi sacaro hukum faraidh”.
Harta pusaka tinggi dalam adat tidak boleh dibagi, tidak boleh dijual dan tidak boleh
digadaikan. Ibarat memiliki sebuah pokok tanaman, buah manisnya boleh dimakan, tetapi
batangnya tidak boleh dijual dan digadai. Harta pusaka tinggi itu dari mamak turun ke
keponakan. Keponakan tidak tahu asal usulnya yang pasti karena tidak baik/ tidak boleh
dijual.
Berarti, harta pencaharianlah yang boleh dibagi menurut hukum Islam (faraidh)
sementara harga pusaka tinggi bukanlah harta dari si mayit atau yang meninggal itu, tetapi
harta turun temurun yang dipusakai dari nenek moyang dahulu, yang dapat dianalogikan
sebagai “wakaf” kaum. Harta pusaka yang waqaf kaum ini umumnya berupa tanah,
termasuk tanah sawah, ladang, bintalak, dan sebagainya, lalu rumah dan harta tak bergerak
lainnya.
Jika harta pusaka tinggi ini juga dibagi, maka itulah yang salah, karena membagi
harta yang bukan punya si mayit. Hukum faraidh, bagaimanapun, sendirinya berlaku untuk
harta pencaharian.
Menurut Mochtar Naim, secara sosiologis, bagaimanapun karena ada keharusan
melindungi kaum yang perempuan dalam setting budaya matrilineal itu, maka bukan saja
tanah dan harta pusaka tinggi lainnya yang tidak dibagi, rumah yang dibikinkan oleh suami
yang meninggal pun tidak dibagi menurut hukum faraidh, tetapi tetap tinggal pada istri dan
anak-anak perempuannya. Ini bisa jatuh kepada masalah “mashalihul mursalah” demi
menjaga muruah dan martabat anggota kaum yang lemah yang perlu dilindungi itu.
Perlakuan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan dalam adat dan budaya
Minangkabau hanya bisa tertandingi oleh hukum Islam yang juga sangat menjunjung tinggi
akan muruah dan martabat wanita.17
Karenanya konsensus ABS – SBK yang mendamaikan adat Minangkabau dan
agama Islam, bisa berjalin berkelindan bagai cincin lekat di jari manis. Praktek ini pernah
dilembagakan secara spasifik dengan era tipe nagari ABS – SBK, namun kemudian bentuk
nagari itu berubah apalagi setelah kemerdekaan struktur dan bentuk wilayah pemerintahan
berubah sesuai peraturan perundang-undangan sampai sekarang ke era otonomi
menerapkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diganti dengan UU No. 32/
2004 plus UU No. 08/2005 dan Sumatera Barat mengimplementasikan otonomi daerah
itu dengan sistim kembali ke nagari berbasis surau dilandasi Perda No. 9/ 2000 dan
direvisi dengan Perda No. 02/ 2007, baik otonomi dalam bidang politik, ekonomi,
maupun sosial budaya termasuk pendidikan. Dengan sistem otonomi Sumatera Barat
kembali ke nagari yang berbasis surau ini bermaksud hendak melaksanakan konsensus
ABS – SBK namun yang berjalan belum maksimal, apakah mungkin karena
pelaksanaannya setengah hati. Islam dan adat dalam hubungannya dengan pembangunan
aspek lain dalam pemerintahan daerah otonomi belum optimal damai, karena terkesan,
membangun agama dan adat baru sloganistik pejabat, tetapi pasilitas amat kecil dibanding
dengan pasilitas pembangunan aspek lainnya, makanya dalam fenomena ini konsensus
ABS – SBK perlu direpitalisasi dalam pemerintahan otonomi Sumatera Barat.
Berbalik kepada persoalan perdamaian adat dan syara‟, dalam Islam yang sama
sekali tidak boleh ditolerir adalah yang berkaitan dengan masalah „akidah dan „ubudiyah,
RAMAYULIS Traktat Marapalam 139

yang kalau dilakukan menjadi syirik dan bid‟ah. Islam sebagai sebuah agama yang di
dalamnya terdapat budaya sangat menyadari akan arti dan keberadaan dirinya, di samping
juga menyadari akan arti dan keberadaan budaya dan masyarakat yang didatanginya. Islam
datang bukan untuk melenyapkan budaya dan nilai budaya dari daerah-daerah yang
dimasukinya, Islam malah memperkayanya. Misalnya masuknya Islam ke Mesir, ke benua
Afrika lainnya, ke Spanyol, ke Persi, ke India dan lain-lain menunjukkan betapa Islam
datang bukan untuk mengikis adat dan budaya-budaya yang ada, tetapi justru memberi jiwa
dan semangat baru dan memperkayanya.
Yang penting yang harus diperkenalkan adalah kredo “tauhid” menggantikan kredo-
kredo lainnya, sementara urusan „amaliyah ijtima‟iyah pada dasarnya sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW yaitu ; “Kamu yang lebih tahu tentang urusan duniamu”. Dari hasil
perkawinan budaya-budaya itulah lahirnya budaya dan peradaban Islam yang bersifat
akomodatif, toleran, integratif dan universal.
Walaupun pada masa-masa tertentu terjadi persengketaan antara adat dan syara‟
(Islam) namun wilayah persengketaan sebegitu jauh lebih pada interpretasi dan praktek
pelaksanaannya dan bukan pada aspek filosofinya. Perbedaan intepretasi dan praktek
pelaksanaan inilah yang sampai saat ini masih mengganjal dan cukup memenuhi ruang-
ruang pengadilan di peradilan adat dan peradilan negeri, baik yang bersifat perdata maupun
pidana sekalipun. Masyarakat Minangkabau bahkan cukup direpotkan dengan masalah
harta ini, terutama dengan perubahan nilai dan pergeseran orientasi nilai yang terjadi
sepanjang abad 20 sampai saat ini.18
Secara sosiologis kita menyaksikan perubahan-perubahan yang cukup signifikan
yang sedang terjadi, baik dalam struktur sosial, ekonomi, politik, dan bahkan kebudayaan
itu sendiri. Masyarakat Minangkabau sedang beranjak dari masyarakat agraris berorientasi
modal lahan/ tanah pusaka ke masyarakat modern yang berorientasi uang. Kehidupan
yang tadinya bersifat komunal beranjak kepada kehidupan yang bersifat individual
didominasi hak private. Kehidupan rural berpindah ke kehidupan urban dan global. Yang
terjadi adalah juga pendangkalan aqidah dan rasa kebersamaan, serta terjadi pergeseran dari
sistem nilai yang bersifat absolut ke sistem nilai yang bersifat relatif.
Masyarakat Minangkabau sebagaimana juga dengan masyarakat lainnya di Indonesia,
sekarang ini sedang menghadapi goncangan-goncangan budaya (culture shocks) yang sangat
hebat akibat tantangan dan serangan yang datang dari berbagai penjuru dunia secara
bertubi-tubi, di samping juga akibat proses pelapukan yang juga terjadi dari dalam sendiri,
yang semua ini bisa membahayakan eksistensi dan keberkelanjutannya sendiri.19
Hanya kesadaran dan keinginan untuk mempertahankan harga diri sebagai orang
Minangkabau yang bisa menyelamatkannya. Proses globalisasi bisa melemahkan dan
melenyapkan semua budaya-budaya daerah tetapi juga bisa menempatkannya sebagai
budaya pemandu, manakala nilai-nilai budaya yang dikandungnya bernuansa global dan
universal, seperti yang dilakukan oleh Jepang setelah perang dunia, bahkan Islam
mempunyai peluang yang lebih besar untuk itu justru karena memiliki nilai budaya yang
bernuansa global dan universal itu. Prinsip kesamaan dan kebersamaan sangat menonjol
dalam Islam, sedang prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum merupakan prinsip
dasar dalam ajaran Islam.20
140 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010

Sehubungan dengan semua fenomena, masalah dan pemikiran sebagai jawabannya


di atas tadi, masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat) pada saat ini tetap
mengasosiasikan diri dengan budaya dan nilai-nilai keislaman. Sebagai indikatornya dapat
dilihat dengan lahirnya beberapa peraturan daerah (Perda) seperti Perda “Kembali ke
Surau”, Perda “Kembali ke Nagari”, Perda “Pemakaian Busana Muslim”, Perda
“Penambahan Mata Pelajaran Tulis Baca al Qur‟an dan Budaya Alam Minangkabau
(BAM)” dalam kurikulum Muatan Lokal pada setiap jenis dan jenjang pendidikan di
Sumatera Barat. Ini semua secara substansial pemerintahan daerah otonomi Sumatera
Barat tetap ingin melaksanakan secara optimal konsensus traktat Marapalam yang isinya
ABS – SBK.

Relevansi ABS - SBK pada Masa Sekarang

Dalam pelaksanaan otonomi daerah sekarang, Pemrov, Kabupaten dan Kota se


Sumatera Barat sudah memilih sistem otonomi “kembali ke nagari berbasis surau”, maka
diktum konsensus traktat Marapalam “Adat Basandi Syara‟ – Syara‟ Basandi Kitabulla (ABS –
SBK) semakin relevan memperkuat identitas sepesifik otonomi daerah di subkultur
Minangkabau, jati diri dan filosofi kehidupan masyarakatnya, energy orang Minang
menyalakan semangat perubahan dan pembaharuan seerta filter dalam menyaring dan
menangkal pengaruh negatif yang datang dari lingstra (lingkungan strategis) lokal, nasional
dan internasional yang disarati pengaruh global. Ada beberapa alasan dalam simpul kecil
sebab.:
1. Diktum Karamat “Adat Basandi Syara‟ – Syara‟ Basandi Kitabullah” (ABS – SBK)
merupakan usaha orang Minangkabau untuk merumuskan jati diri masyarakat
Minangkabau sebagai masyarakat yang beradat dan beragama.
2. Adanya diktum karamat konsensus ABS – SBK ini merupakan landasan dan
motivasi untuk melakukan perubahan masyarakat dan sekaligus sebagai standar
dalam menentukan keabsahan setiap perubahan masyarakat.
3. Dalam menanggulangi dampak negatif dari globalisasi, seperti liberalisme,
sekularisme, materialisme, hedonisme, individualisme maka diktum keramat ini
harus dihayati dan diamalkan oleh masyarakat Minangkabau.
4. Dengan diundangkannya Otonomi Daerah (UU No. 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah diganti dengan UU No. 32/ 2004 plus UU No. 08/2005 Sumatera
Barat mengimplementasikan otonomi daerah itu dengan sistim kembali ke nagari
berbasis surau dilandasi Perda No. 9/ 2000 dan direvisi dengan Perda No. 02/
2007), maka dimungkinkan adanya otonomi dalam berbagai bidang. Otonomi
dalam bidang politik, otonomi dalam bidang ekonomi, otonomi dalam bidang
budaya dan kultural. Pemulihan posisi pada tempat yang proporsional konsensus
falsafah ABS – SBK, kita pandang sebagai bagian dari otonomi dalam bidang sosio-
kultural.
5. Dalam era globalisasi di mana masyarakat cenderung berfikir global, maka
masyarakat perlu memiliki identitas atau jadi diri. Dengan penerapan diktum
karamat konsensus traktat Marapalam ini maka masyarakat Minangkabau tidak akan
RAMAYULIS Traktat Marapalam 141

tercabut dari budayanya, karena ABS – SBK sudah cukup kuat sebagai filter dan
daya tangkal terhadap pengaruh negatif.
6. Kemajuan dan kemunduran yang kita hadapi sekarang dalam bidang sosial budaya
telah didominasi barat, maka masyarakat Minangkabau perlu mencari filternya.
Falsafah Adat basandi syara‟-syara‟ basandi kitabullah” merupakan filter yang sangat
relevan dalam menghilangkan dampak negatif budaya barat.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, Some Note on Kaba Cinduamato (ed) Cornell Modern in Indonesia Report, 1972.
al-Rasuli, Syeikh Sulaiman, Pertalian Adat dan Syara‟, Alih Tulis Hamdan Izmy. Padang:
IAIN-IB Press.
Gazalba, Sidi, Konflik Antara Adat Agama dan Pengaruh Barat, Seminar Islam di
Minangkabau, Padang, 1960.
Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta : Bulan Bintang, 1976.
Idrus Hakimy. Dt. Rajo Panghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau,
Bandung : Remaja Rosyda Karya, 1994.
Naim, Mochtar, Konflik dan Penyesuaian antara Adat dan Syara‟ di Minangkabau, makalah
disampaikan pada Seminar Reaktualisasi ABS-SBK, ICMI Orwil Sumatera Barat, di
Bukittinggi, tanggal 22-23 Januari 2000.
Ramayulis, dkk. Pemahaman Ninik Mamak Pemangku Adat Minangkabau Terhada Nilai-Nilai
ABS-SBK” Padang : IAIN Imam Bonjol Press, 2009.
Ramayulis, Sejarah Pendidikan dan Kebudayaan Islam, Padang : Zaki Press, 2010.
Sjafnir, Dt. Kando Marajo, Sirih Pinang Adat Minangkabau, Pengetahuan Adat Minangkabai
Tematis, Padang: Sentra Budaya dan Pemrov Sumbar, 2006.
Syarifudin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
Jakarta : Gunung Agung, 1984.
YY Dt.Rajo Bagindo, Hakekat Kembali ke Surau Basis Nagari (Belajar dari Pengalaman Sejarah
Sosial Pendidikan Surau di Luak Limo Puluh Koto (Makalah), Sarilamak: Pemkab 50
Kota, 2010.

Endnotes :

Prof. Dr. Ramayulis, guru besar ilmu pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Imam
Bonjol dan PPs. IAIN Imam Bonjol. Tulisan dipersiapkan untuk presentasi Annual
Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 menampilkan kembali Islam Nusantara, di
Banjarmasis, Kalsel, November 2010
1Sjafnir, Dt. Kando Marajo, Sirih Pinang Adat Minangkabau, Pengetahuan Adat

Minangkabai Tematis, Padang: Sentra Budaya dan Pemrov Sumbar, 2006, h. 10


142 Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
2Idrus Hakimy. Dt. Rajo Panghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam
Minangkabau, Bandung : Remaja Rosyda Karya, 1994, h. 16
3Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta : Bulan Bintang, 1976, h. 79
4Ramayulis, dkk. Pemahaman Ninik Mamak Pemangku Adat Minangkabau Terhada

Nilai-Nilai ABS-SBK” Padang : IAIN Imam Bonjol Press, 2009, h. 17


5Idrus Hakimi. Dt. Rajo Panghulu, op cit, h. 18
6Ibid
7Ibid, h. 20
8Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung, 1984, h. 135
9Ibid, h. 136
10Ramayulis, Sejarah Pendidikan dan Kebudayaan Islam, Padang : Zaki Press, 2010,

h. 67
11Amir Syarifudin, op cit, h. 137
12Dalam kaidah hukum Islam disebutkan : al „adah muhkamah
13Syeikh Sulaiman al-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara‟, Alih Tulis Hamdan Izmy.

Padang: IAIN-IB Press, h.23


14Taufik Abdullah, Some Note on Kaba Cinduamato (ed) Cornell Modern in Indonesia

Report, 1972, h. 12
15YY Dt.Rajo Bagindo, Hakekat Kembali ke Surau Basis Nagari (Belajar dari

Pengalaman Sejarah Sosial Pendidikan Surau di Luak Limo Puluh Koto (Makalah),
Sarilamak: Pemkab 50 Kota, 2010, h. 5
16di Gazalba, Konflik Antara Adat Agama dan Pengaruh Barat, Seminar Islam di

Minangkabau, Padang, 1960, h. 3


17Amir Syarifudin, op cit, h. 141
18Mochtar Naim, Konflik dan Penyesuaian antara Adat dan Syara‟ di Minangkabau,

makalah disampaikan pada Seminar Reaktualisasi ABS-SBK, ICMI Orwil Sumatera Barat,
di Bukittinggi, tanggal 22-23 Januari 2000, h. 9
19Ibid, h. 10
20Ibid.

You might also like