You are on page 1of 5

Antara Alm Pascalis Lesek & Gayus Tambunan – In Memoriam 2 pekan

meninggalnya Pascalis Lesek

Siapa dia? Dia mungkin bukan salah satu orang terkenal, dari sisi positif maupun
negatif. Kematiannya mendapat porsi pemberitaan Metro TV karena dia
memang seorang jurnalis TV dengan posisi terakhir sebagai produser di stasiun
TV News swasta pertama di Indonesia itu. Namun dia bukan orang biasa,
Pascalis Lesek adalah seorang pribadi yang luar biasa dan karena itu secuil
kepribadian pria bertubuh kurus namun berjiwa besar ini ingin saya share pada
teman2 kompasianers. Minimal tulisan ini bisa menjadi kenangan yang lebih
awet dari kelemahan memori manusiawiku.

Pascal sudah terbaring di peristirahatan kekal dan tidur dalam kebebasan


sejati. Ya, tidur dalam kebebasan adalah salah satu kekhasannya. Berbaring
seenaknya di lantai , di atas tikar, karpet atau kasur dengan kaki yang
diselonjorkan terbuka, dan tangan yang terentang bebas, sesuatu yang jamak
terlihat sebelum penyakit perlahan-lahan merenggut warna kebebasan itu
sejak empat tahun silam. Dia sudah terbaring selamanya, bukan dalam posisi
idealnya karena sekarang tangannya dikatupkan di dada, tapi dalam simbolisasi
makna yang sama: kebebasan dan kedamaian. Bukan hanya itu, saya kira. Ada
ekspresi keterbukaan yang terselip di sana.

Lebih dari sekedar ekspresi, keterbukaan terhadap orang lain adalah


kesehariannya. Di mana pun dia tinggal, di sana pula adik-adik dan saudara-
saudaranya disertakan. Bukan hanya mereka, tempat tinggalnya selalu terbuka
untuk semua teman dan kenalan. Rumahnya adalah tempat membuang penat
bagi mereka yang tergerus kesibukan kerja. Rumahnya adalah tempat bersenda
gurau saat teman-teman lama bertemu. Rumahnya adalah naungan sementara
bagi mereka yang menganggur dan pondokan bagi mahasiswa. Kediamannya
adalah saksi berbagai cerita perjuangan teman-teman yang mencoba bertahan
hidup di Ibukota. Kediamannya adalah tempat pertemuan dan pertautan suka
dan duka, keseriusan dan kejenakaan, permainan dan strategi, kopi dan rokok,
dan berbagai hal kontraris lain yang saling melengkapi. Yang pasti, rumahnya
adalah ruang kebersamaan. Keterbukaan dan rasa kebersamaan itu yang
membuat kontrakannya jauh dari sepi. Bisa dibilang almarhum telah
memperoleh perbagai kelengkapan immaterial dari hidup berkeluarga,
meskipun hingga ajal menjemput ia masih tetap memilih hidup single.

Keterbukaan dan kebersamaan jugalah yang merupakan sisi personalitas Pascal


yang menjadikan dirinya Sang Jembatan, tanpa bermaksud menyamakan dia
dengan Barack Obama (The Bridge adalah judul biografi Barack Obama yang
merepresentasikan sosok presiden AS pertama dari kalangan Afro-Amerika). Ia
menjadi jembatan relasi sosial antara teman, tanpa perlu memiliki akun
Facebook (Akun twitter-nya dibuat dan diisi oleh salah seorang teman produser
Metro TV). Ia menjembatani kepentingan ekonomi saudara-saudara seasal pun
yunior yang kekurangan. Ia juga menjadi link yang menghubungkan kalangan
senior dan yunior dan konektor berbagai kepentingan karena style khasnya yang
menjadi access card untuk dekat dan masuk ke kedua poros secara natural.
Tentu, teman-teman aktivis ’98 dan organisasi mahasiswa yang pernah
diikutinya, PMKRI, lebih paham kelebihan Pascal yang satu ini. Dan,
pekerjaannya sendiri sebagai awak media sudah menjadi point of reference,
betapa besar arti temanku ini sebagai mediator berbagai berita bagi jutaan
pemirsa TV.

THE NEWS MAKER

Laiknya, mereka yang merasa kehilangan orang yang dicintai, salah seorang
saudaranya mempertanyakan mengapa orang sebaik Pascal begitu cepat
dipanggil Yang Ilahi, sementara begitu banyak orang jahat yang seakan-akan
dikaruniai umur panjang, kesejahteraan melimpah, dan bisa juga ditambah
dengan kemasyuran. Pertanyaan retoris ini sudah kerap kita dengar. Saya pun
pernah berteriak mempertanyakan hal yang sama saat ibuku meninggal dunia 5
tahun lalu, seakan ingin ikut bersama Corliss Lamont dalam diskursus
humanismenya untuk mencari titik temu antara kontingensi manusia dan
kebebasan manusia di satu sisi serta determinisme ilahi di sisi lainnya.

Saat pertanyaan tersebut diarahkan padaku setelah 2 pekan kematian temanku


ini, sudah ada jarak antara sentimentalitas dan rasionalitas, ada ruang antara
kesedihan dan kenangan akan kebesaran pribadi Pascal dalam memoriku yang
menyisakan kans untuk berpikir rasional. Berita Gayus yang melintas sekilas di
layar TV menjadi inti jawaban saya yang sekenanya tapi cukup rasional
menurut mereka. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa saya juga manusia
dengan segala aspek kontingensinya yang tak layak menjustifikasi personalitas
manusia lain sebagai jahat atau baik, juga tanpa bermaksud ’beriman’ pada
ajaran Nietzsche mengenai afirmasi hidup.

Kondisi psikologis, kerap disebut situasi kebatinan, sangat berperan dalam


menentukan kesehatan seseorang. Menurutku, ”orang baik” biasanya memiliki
pertarungan kebatinan yang lebih dalam, perang psikologis antara idealisme
spiritual dan realitas sosial & manusiawi. Ibarat baju putih yang akan lebih
muda terlihat nodanya, setiap pilihan sikap adalah keputusan yang diambil
berdasarkan sinkronisasi ’dua unsur berjarak dua jengkal’, otak & hati,
keseimbangan rasio dan rasa. Singkatnya, orang baik sering dianggap banyak
pertimbangan antara ego dan socius, antara aku/kami dan dia/mereka, antara
tenggang rasa dan tega.

Konkretnya lebih mudah dipahami dalam perbandingan dengan orang terkenal


seperti The News-Maker, Gayus Tambunan. Orang seperti Gayus akan tetap
terlihat ceria dalam persidangan mega kasus pajaknya sekalipun. Tak ada yang
terlalu membebani pikiran, pilihan sikap, dan keputusannya. Baginya, ada
tawaran datang untuk menyelesaikan kasus pajak secara simpel. Pihak sebelah
tidak terlalu dirugikan bahkan bisa dikatakan untung, dan saya/kami pun tidak
terlalu direpotkan (urusan birokrasi hukum hingga administrasi). Apalagi, ini yg
penting, transfer miliaran menjadi imbalan. Kesadaran Gayus belum muncul
sekalipun status terdakwa dan tahanan sudah mengikat dirinya. Ia tetap
menyempatkan dirinya bergembira ria dan menikmati hidup dengan pelesiran
ke Bali.

gayustambunan-420x0.jpg

Mungkin sesederhana itu Gayus memandang hidup. Take it easy, tak perlu pikir
panjang, ibarat memesan makanan di restoran cepat saji atau pun menyantap
mie instan. Statusnya sebagai aparat (apparatus=alat) negara yang mengemban
tugas negara, yang artinya merepresentasikan urusan dua ratusan juta rakyat
Republik ini, apalah itu. Semuanya terlalu ideal. Dan, yang ideal biasanya
dipandang tidak riil, kurang konkret, kurang aktual, lack of objectivity. Yang
paling obyektif adalah tujuan terdekat, saya bekerja untuk mendapatkan duit
dan dengan duit segala urusan hidup lainnya beres. Soal dari mana duit itu,
halal atau tidaknya, itu masalah moral – religius. Soal legal, ilegal atau extra
legal-kah proses kerja dan pendapatan yang saya peroleh, itu hanyalah masalah
hukum yang bisa diatur kemudian.
Di situlah letak perbedaan produk budaya populer dalam diri Gayus dan produk
diskusi analitik dalam diri Pascal, buah dinamika oportunisme pada Gayus dan
humanisme pada Pascal. Pascal dibesarkan di jalur formasi aspek moral yang
kuat, formasi kepribadian berupa disiplin diri & kemandirian yang mengakar,
serta formasi intelektual yang kritis melalui diskusi-diskusi ilmiah. Ketiganya
aspek tersebut membentuk kepribadian Pascal.

Lebih dari itu, ada hal yang paling membedakan Pascal dan Gayus: penampilan
keseharian keduanya. Kesederhanaan Pascal tak ada duanya. Yang mengenal
Pascal tentu tahu hal ini. Anda tak akan percaya dia seorang produser Metro TV
bila berpapasan dengan sosok bertubuh kurus dalam balutan baju singlet dan
celana pendek atau bila bertemu dalam angkot. Jarang terlihat barang
berharga, barang mewah berharga premium menghiasi dirinya. Ia minimalis
dalam arti orisinil. Entahkah dia pengikut Naomi Klein dengan No Logo
Movement-nya, ataukah dia pernah membaca salah satu tulisan Klein, Shock
Doctrine dan No Logo? Saya tidak tahu persis. Yang saya tahu, kesederhanaan
itu sudah ditunjukkan sedari masa saya mengenalnya, di saat ia memulai
pendidikan SMP pada 1989. Maksudku, penampilan kesehariannya tetap
sederhana walaupun ia mampu untuk menonjolkan diri secara lebih wah. Tentu
keluarga, terutama kedua orang tua, sebagai lingkup awal & peletak dasar
watak serta pola tingkah laku berperan besar dalam sisi kepridaan Pascal yang
satu ini.

Dia adalah orang yang tahu diri tanpa perlu ada kontrol sosial berlebihan dari
pihak lain. Dengan level karir saat ini dia sadar bahwa ada hal-hal yang tidak
masuk di akal atau tidak layak jika dipergunakan atau ditampilkannya, tanpa
perlu ada kontrol sosial pihak lain. Lebih dari itu, indokrinasi tidak dibutuhkan
Pascal untuk benar-benar menghayati pengetahuan dasar ekonomi: apa itu
kebutuhan primer, sekunder & tertier. Baginya, yang sekunder dan tertier tidak
bisa didahulukan di atas kebutuhan primer dan bahwa pemenuhan kebutuhan
tertier dst perlu pertimbangan aspek sikon sosial. Apa artinya bila saya
bergembira tapi saudara-saudara dan orang di sekitarku masih
memperjuangkan hal-hal dasariah. Ini sesuatu yang sangat natural &
manusiawi.

Lain halnya Gayus dan rekan-rekan sejawat yang tetap pandai memanfaatkan
rendahnya kesadaran sosial dan pembiaran masyarakat Jakarta akan status
ekonomi. Tanpa malu-malu Gayus dan teman-temannya memamerkan apa yang
tidak layak atau tidak masuk di akal bila dipakai PNS dengan golongan dan
eselon seperti dia. Empati sosial, kesadaran akan realitas hidup mayoritas
masyarakat Jakarta yang ada di depan mata seolah hilang oleh aroma lembaran
rupiah. Soal kesadaran sosial, saya yakin orang seperti Gayus tidak sepenuhnya
buta. Mereka pasti pernah berbagi dengan pengemis, pengamen dll. Hanya
motifnya yang mungkin perlu menjadi pertanyaan. Sekedar untuk mendapat
pujian, apreasiasi, ikut terlibat ataukah suatu kesadaran yang natural dan
manusiawi layaknya Alm. Pascal. Inilah faktor yang menjadikan keduanya bak
langit dan dasar bumi.

Pascal bukan seorang altruis. Tapi dia sadar akan realitas sosialnya sebagai
manusia. Hidup adalah perjuangan untuk memenuhi kepentingan diri sambil
membuka ruang bagi orang lain untuk berkembang dan berkreasi. Pemenuhan
ego tak perlu mengorbankan orang lain. Sebaliknya, harmonisasi antara kedua
unsur tersebut sangat menentukan level humane, tingkat kesejatian eksistensi
kemanusiaan kita. Pascal telah mendekati level itu walaupun di sisi lain ia
harus mengorbankan hal lain, yang membuatnya terlihat tak normal, anomali
bagi kebanyakan warga Jakarta. Ia membuktikan dalam hidupnya bahwa ia tak
mungkin menjadi Gayus bila berada dalam posisi dan kesempatan yang sama.
Sementara itu, kita, saya & Anda, mungkin hanyalah ”gayus-like” , tanpa
kesempatan dan posisi seperti dirinya.

Salut Pascal & Beristirahatlah dalam Kedamaian Abadi bersama-NYA

Requiescat in Pace

You might also like