Professional Documents
Culture Documents
Siapa dia? Dia mungkin bukan salah satu orang terkenal, dari sisi positif maupun
negatif. Kematiannya mendapat porsi pemberitaan Metro TV karena dia
memang seorang jurnalis TV dengan posisi terakhir sebagai produser di stasiun
TV News swasta pertama di Indonesia itu. Namun dia bukan orang biasa,
Pascalis Lesek adalah seorang pribadi yang luar biasa dan karena itu secuil
kepribadian pria bertubuh kurus namun berjiwa besar ini ingin saya share pada
teman2 kompasianers. Minimal tulisan ini bisa menjadi kenangan yang lebih
awet dari kelemahan memori manusiawiku.
Laiknya, mereka yang merasa kehilangan orang yang dicintai, salah seorang
saudaranya mempertanyakan mengapa orang sebaik Pascal begitu cepat
dipanggil Yang Ilahi, sementara begitu banyak orang jahat yang seakan-akan
dikaruniai umur panjang, kesejahteraan melimpah, dan bisa juga ditambah
dengan kemasyuran. Pertanyaan retoris ini sudah kerap kita dengar. Saya pun
pernah berteriak mempertanyakan hal yang sama saat ibuku meninggal dunia 5
tahun lalu, seakan ingin ikut bersama Corliss Lamont dalam diskursus
humanismenya untuk mencari titik temu antara kontingensi manusia dan
kebebasan manusia di satu sisi serta determinisme ilahi di sisi lainnya.
gayustambunan-420x0.jpg
Mungkin sesederhana itu Gayus memandang hidup. Take it easy, tak perlu pikir
panjang, ibarat memesan makanan di restoran cepat saji atau pun menyantap
mie instan. Statusnya sebagai aparat (apparatus=alat) negara yang mengemban
tugas negara, yang artinya merepresentasikan urusan dua ratusan juta rakyat
Republik ini, apalah itu. Semuanya terlalu ideal. Dan, yang ideal biasanya
dipandang tidak riil, kurang konkret, kurang aktual, lack of objectivity. Yang
paling obyektif adalah tujuan terdekat, saya bekerja untuk mendapatkan duit
dan dengan duit segala urusan hidup lainnya beres. Soal dari mana duit itu,
halal atau tidaknya, itu masalah moral – religius. Soal legal, ilegal atau extra
legal-kah proses kerja dan pendapatan yang saya peroleh, itu hanyalah masalah
hukum yang bisa diatur kemudian.
Di situlah letak perbedaan produk budaya populer dalam diri Gayus dan produk
diskusi analitik dalam diri Pascal, buah dinamika oportunisme pada Gayus dan
humanisme pada Pascal. Pascal dibesarkan di jalur formasi aspek moral yang
kuat, formasi kepribadian berupa disiplin diri & kemandirian yang mengakar,
serta formasi intelektual yang kritis melalui diskusi-diskusi ilmiah. Ketiganya
aspek tersebut membentuk kepribadian Pascal.
Lebih dari itu, ada hal yang paling membedakan Pascal dan Gayus: penampilan
keseharian keduanya. Kesederhanaan Pascal tak ada duanya. Yang mengenal
Pascal tentu tahu hal ini. Anda tak akan percaya dia seorang produser Metro TV
bila berpapasan dengan sosok bertubuh kurus dalam balutan baju singlet dan
celana pendek atau bila bertemu dalam angkot. Jarang terlihat barang
berharga, barang mewah berharga premium menghiasi dirinya. Ia minimalis
dalam arti orisinil. Entahkah dia pengikut Naomi Klein dengan No Logo
Movement-nya, ataukah dia pernah membaca salah satu tulisan Klein, Shock
Doctrine dan No Logo? Saya tidak tahu persis. Yang saya tahu, kesederhanaan
itu sudah ditunjukkan sedari masa saya mengenalnya, di saat ia memulai
pendidikan SMP pada 1989. Maksudku, penampilan kesehariannya tetap
sederhana walaupun ia mampu untuk menonjolkan diri secara lebih wah. Tentu
keluarga, terutama kedua orang tua, sebagai lingkup awal & peletak dasar
watak serta pola tingkah laku berperan besar dalam sisi kepridaan Pascal yang
satu ini.
Dia adalah orang yang tahu diri tanpa perlu ada kontrol sosial berlebihan dari
pihak lain. Dengan level karir saat ini dia sadar bahwa ada hal-hal yang tidak
masuk di akal atau tidak layak jika dipergunakan atau ditampilkannya, tanpa
perlu ada kontrol sosial pihak lain. Lebih dari itu, indokrinasi tidak dibutuhkan
Pascal untuk benar-benar menghayati pengetahuan dasar ekonomi: apa itu
kebutuhan primer, sekunder & tertier. Baginya, yang sekunder dan tertier tidak
bisa didahulukan di atas kebutuhan primer dan bahwa pemenuhan kebutuhan
tertier dst perlu pertimbangan aspek sikon sosial. Apa artinya bila saya
bergembira tapi saudara-saudara dan orang di sekitarku masih
memperjuangkan hal-hal dasariah. Ini sesuatu yang sangat natural &
manusiawi.
Lain halnya Gayus dan rekan-rekan sejawat yang tetap pandai memanfaatkan
rendahnya kesadaran sosial dan pembiaran masyarakat Jakarta akan status
ekonomi. Tanpa malu-malu Gayus dan teman-temannya memamerkan apa yang
tidak layak atau tidak masuk di akal bila dipakai PNS dengan golongan dan
eselon seperti dia. Empati sosial, kesadaran akan realitas hidup mayoritas
masyarakat Jakarta yang ada di depan mata seolah hilang oleh aroma lembaran
rupiah. Soal kesadaran sosial, saya yakin orang seperti Gayus tidak sepenuhnya
buta. Mereka pasti pernah berbagi dengan pengemis, pengamen dll. Hanya
motifnya yang mungkin perlu menjadi pertanyaan. Sekedar untuk mendapat
pujian, apreasiasi, ikut terlibat ataukah suatu kesadaran yang natural dan
manusiawi layaknya Alm. Pascal. Inilah faktor yang menjadikan keduanya bak
langit dan dasar bumi.
Pascal bukan seorang altruis. Tapi dia sadar akan realitas sosialnya sebagai
manusia. Hidup adalah perjuangan untuk memenuhi kepentingan diri sambil
membuka ruang bagi orang lain untuk berkembang dan berkreasi. Pemenuhan
ego tak perlu mengorbankan orang lain. Sebaliknya, harmonisasi antara kedua
unsur tersebut sangat menentukan level humane, tingkat kesejatian eksistensi
kemanusiaan kita. Pascal telah mendekati level itu walaupun di sisi lain ia
harus mengorbankan hal lain, yang membuatnya terlihat tak normal, anomali
bagi kebanyakan warga Jakarta. Ia membuktikan dalam hidupnya bahwa ia tak
mungkin menjadi Gayus bila berada dalam posisi dan kesempatan yang sama.
Sementara itu, kita, saya & Anda, mungkin hanyalah ”gayus-like” , tanpa
kesempatan dan posisi seperti dirinya.
Requiescat in Pace