You are on page 1of 13

STUDI EKOLOGI HUTAN MANGROVE RIAU

I. PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara darat dan laut telah diketahui
mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai penghasil bahan organik, tempat berlindung
berbagai jenis binatang, tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang, sebagai pelindung
pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar, kayu
arang, dan tanin (Soedjarwo, 1979). Masing-masing kawasan pantai dan ekosistem mangrove
memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan keadaan kawasan pantai dan
ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alamiah dan faktor campur tangan
manusia. Ekosistem mangrove yang tumbuh di sepanjang garis pantai atau di pinggiran sungai
yang dipengaruhi oleh pasang surut perpaduan antara air sungai dan air laut. Terdapat tiga
syarat utama yang mendukung berkembangnya ekosistem mangrove di wilayah pantai yaitu air
payau, tenang dan endapan lumpur yang relatif datar. Sedangkan lebar hutan mangrove sangat
bervariasi yang dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut serta jangkauan air pasang di
kawasan pantai tersebut. Pada dasarnya kawasan pantai merupakan wilayah peralihan antara
daratan dan perairan laut. Garis pantai dicirikan oleh suatu garis batas pertemuan antara daratan
dengan air laut. Oleh karena itu posisi garis pantai bersifat tidak tetap dan dapat berpindah
(walking land atau walking vegetation) sesuai dengan pasang surut air laut dan abrasi serta
pengendapan lumpur (Waryono, 1999). Secara umum dapat dimengerti bahwa bentuk dan tipe
kawasan pantai, jenis vegetasi, luas dan penyebaran ekosistem mangrove tergantung kepada
karakteristik biogeografi dan hidrodinamika setempat. Berdasarkan kemampuan daya dukung
(carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk mempengaruhi (assimilative capacity),
serta kesesuaian penggunaannya.
Kawasan pantai dan ekosistem mangrove menjadi sasaran kegiatan eksploitasi
sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih
cenderung menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat dan keuntungan
ekonomis yang diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan. Sebaliknya makin sedikit manfaat dan keuntungan ekonomis, makin ringan pula
kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Dampak-dampak lingkungan tersebut dapat

1
diidentifikasi dengan adanya degradasi kawasan pantai dan semakin berkurangnya luas
ekosistem mangrove.
Secara fisik kerusakan-kerusakan lingkungan yang diakibatkannya berupa abrasi, intrusi
air laut, hilangnya sempadan pantai serta menurunnya keanekaragaman hayati dan musnahnya
habitat dari jenis flora dan fauna tertentu.
Kerusakan kawasan pantai mempunyai pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang hidup di dalam atau di sekitarnya. Kemunduran ekologis mangrove dapat mengakibatkan
menurunnya hasil tangkapan ikan dan berkurangnya pendapatan para nelayan kecil di kawasan
pantai tersebut. Eksploitasi dan degradasi kawasan mangrove mengakibatkan perubahan
ekosistem kawasan pantai seperti tidak terkendalinya pengelolaan terumbu karang,
keanekaragaman ikan, hutan mangrove, abrasi pantai, intrusi air laut dan punahnya berbagai
jenis flora dan fauna langka, barulah muncul kesadaran pentingnya peran ekosistem mangrove
dalam menjaga keseimbangan ekosistem kawasan pantai.
Adanya pertambahan penduduk yang terus meningkat, memacu berbagai jenis
kebutuhan yang pada akhirnya bertumpu pada sumberdaya alam yang ada. Ekosistem
mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas dari tekanan tersebut.
Pada saat ini telah terjadi konversi ekosistem mangrove menjadi lahan pertanian, perikanan
(pertambakan), dan pemukiman yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Padahal kekayaan
flora dan faunanya belum diketahui secara pasti, begitu pula dengan berbagai hal yang terkait
dengan keberadaan ekosistem mangrove tersebut. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah
penanganan konservasi ekosistem mangrove.

II. CIRI DAN KARAKTERISTIK HUTAN MANGROVE

Ekosistem mangrove hanya didapati di daerah tropik dan sub-tropik. Ekosistem


mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik sebagai
berikut:
a. Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal
dari lumpur, pasir atau pecahan karang;

2
b. Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang
pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi
ekosistem mangrove itu sendiri;
c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang
berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur;
d. Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan
terdingin lebih dari 20ºC;
e. Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt;
f. Arus laut tidak terlalu deras;
g. Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat;
h. Topografi pantai yang datar/landai.

Habitat dengan ciri-ciri ekologik tersebut umumnya dapat ditemukan di daerah-daerah


pantai yang dangkal, muara-muara sungai dan pulau-pulau yang terletak pada teluk.

III. KOMPOSISI MANGROVE

III.1. Flora
Vegetasi payau didominasi oleh jenis bakau, api-api, Sonneratia, Bruguiera dan
lainnya (Bratamihardja, 1991). Soerianegara (1987) menyebutkan hutan mangrove sebagai
hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai
yang dipengaruhi pasang surut air laut dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia,
Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus,
Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
Flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi yang dimulai dari pinggir
pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana
(satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada
kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan.

3
Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah (Kusmana
dkk (2003):
1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table),
dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan
kerusakan terhadap anakan.
2. Tipe tanah yang secara tidak langsung memnentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka
air dan drainase.
3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi species terhadap kadar garam.
4. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti
Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
Flora mangrove dapat dikelompokkan kedalam dua kategori (Chapman, 1984 dalam
Kusmana dkk (2003)), yaitu:
1. Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai peran ekologi utama
dalam formasi mangrove, yakni : Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia,
Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Derris, Acanthus, Lumnitzera,
Scyphyphora, Smythea dan Dolichandrone.
2. Flora mangrove peripheral (pinggiran), yakni flora mangrove yang secara ekologi
berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalam
formasi hutan lain, yakni: Excoecaria agallocha, Acrostichum aureum, Cerbera
manghas, Heritiera littoralis, Hibiscus tiliaceus dan lain-lain.

III.2. Fauna
Selain tumbuhan, banyak jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove, baik di
lantai hutan, melekat pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis binatang yang
hanya sebagian dari daur hidupnya membutuhkan lingkungan mangrove. Jenis ini terutama
Crustaceae, Mollusca dan ikan (Atmawidjaja, 1987). Hutan mangrove merupakan tempat
pencarian pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat
bersarang berbagai jenis burung; dan habitat berbagai jenis fauna (Nugroho, Setiawan dan
Harianto, 1991).

4
IV. PENYEBARAN MANGROVE

Hutan mangrove tersebar dari daerah tropika sampai 3Z0LU dan 38'LS. Menurut
Chapman (1975a), berdasarkan penyebaranya hutan mangove di dunia dapat dihagi kedalam
dua kelompok yaitu :

1. The Old World mangrove yang meliputi Afrika Tirnur, Laut Merah, India, Asia
Tenggara, Jepang, Filipina, Australia, Selandia Baru, Kepulauan Pasifik dan Samoa;dan

2. The New World Mangrove yang meliputi pantai Atlantik dari Afrika dan Amerika,
Meksiko, dan pantai Pasifik Amerika, dan kepulauan Galapagos.

Secara umum, hutan mangrove mempunyai keragaman jenis yang rendah. Chapman
(197%) melaporkan bahwa ada 90 jenis tumbuhan mangrove utama di dunia. Hutan mangrove
di daerah Indo-Pasifik mempunyai keragaman jenis yang lebih tinggi (63 species) dibanding
dengan hutan mangrove di Amerika dan Afrika bagian Barat (43 species). Sedangkan daerah-
daerah dari hagian ekuator dari Asia Timur Jauh mempunyai hutan mangove dengan
keragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan mangrove di daerah manapun
juga.

V. MANFAAT MANGROVE
V.1. Pemanfaatan Mangrove
Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Berbagai produk dari
mangrove dapat dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya: kayu
bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kertas, kulit, obat-obatan dan perikanan
(Tabel 2). Melihat beragamnya manfaat mangrove, maka tingkat dan laju perekonomian
pedesaan yang berada di kawasan pesisir seringkali sangat bergantung pada habitat mangrove
yang ada di sekitarnya. Contohnya, perikanan pantai yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan

5
mangrove, merupakan produk yang secara tidak langsung mempengaruhi taraf hidup dan
perekonomian desa-desa nelayan.

Nampaknya produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem
mangrove adalah perikanan pesisir. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi
menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar, dkk, 1992 dan
Burhanuddin, 1993). Kakap (Lates calcacifer), kepiting mangrove (Scylla serrata) merupakan
jenis biota laut yang secara langsung bergantung kepada habitat mangrove (Griffin, 1985).
Menurut Unar (dalam Djamali, 1991) beberapa jenis udang penaeid di Indonesia sangat
tergantung pada ekosistem mangrove.

Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Di Indonesia


hal ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial seperti di perairan sebelah timur
Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya
yang kesemuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih
perawan (Soewito, 1984). Sebaliknya, menurunnya produksi perikanan di Bagansiapiapi,
dimana sebelum perang dunia II merupakan penghasil ikan utama di Indonesia bahkan sebagai
salah satu penghasil ikan utama di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di
daerah sekitarnya (Kasry, 1984).

V.2. Fungsi
Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya
(Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas ekosistem pesisir
(Harger, 1982). Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
a. Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari
makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea, ikan, burung,
biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit seperti
anggrek, paku pakis dan tumbuhan semut, dan berbagai hidupan lainnya;
b. Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin
kencang dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut;

6
c. Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala macam
biota perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan dan binatang laut
lainnya;
d. Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan
limbah organik;
e. Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang dan
kepiting mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran sungai atau
perairan yang melalui ekosistem mangrove;
f. Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
g. Ekosistem mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi .

Ekosistem mangrove sangat peka terhadap gangguan dari luar terutama melalui
kegiatan reklamasi dan polusi. Waryono (1973) ; Saenger et al. (1983), dan Kusmana (1993 )
melaporkan bahwa ada tiga sumber utama penyebab kerusakan ekosistem mangrove, yaitu: (a)
pencemaran, (b) penebangan yang berlebihan/tidak terkontrol, dan (c) konversi ekosistem
mangrove yang kurang mempertimbangkan factor lingkungan menjadi bentuk lahan yang
berfungsi non-ekosistem seperti pemukiman, pertanian, pertambangan, dan pertambakan.

VI. PERANAN SOSIAL EKONOMIS MANGROVE


Contoh pemanfaatan mangrove, baik langsung maupun tidak langsung antara lain:
A. Arang dan Kayu Bakar
Arang mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang
onshyu dari Cina. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000 ton yang
sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan melalui Singapura. Harga
ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton, sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp
700,-/kg. Jumlah ekspor arang mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai
US$ 13.000.000.

B. Bahan Bangunan

7
Kayu mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza sangat cocok
digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat
bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m
dan 6,1 m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,- (Inoue et al., 1999).

C. Bahan Baku Chip


Jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada tahun 1998 jumlah produksi
chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang.
Areal produksinya tersebar di Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di
pasar internasional kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).

D. Tanin
Tanin merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan Xylocarpus
granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industry sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin
juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan lem untuk kayu lapis. Di Jepang tanin
mangrove digunakan sebagai bahan pencelup dengan harga 2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).

E. Nipah
Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat sekitar
hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang dapat bertahan sampai 5
tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan ekonomi yang
cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan
anak-anaknya di waktu senggang.

F. Obat-obatan
Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan R. apiculata
dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata dapat digunakan untuk menghentikan
pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air
rebusan Acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999).

G. Perikanan dan Rehabilitasi Mangrove

8
Sudah diulas di depan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan
menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan
mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya
(Turner, 1977). Dari sini tampak bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi
produktivitas perikanan pada perairan bebas. Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan
lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina
yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Hutan mangrove memberikan
obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang
berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para
wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam.

H. Pariwisata
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui
penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di
sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka
warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.

VII. UPAYA PENANGANAN KONSERVASI EKOSISTEM MANGROVE

Hilangnya ekosistem mangrove karena dikonversikan untuk penggunaan lain sudah


pasti akan berpengaruh negatif terhadap keanekaragaman hayati di daerah tersebut Untuk
menghindari hal tersebut yang perlu dilakukan adalah :
(a) Mengupayakan luasan kawasan konservasi mangrove 20 % dengan dasar pertimbangan
terhadap rasionalisasi penggunaan terbesar dari pemanfaatan lahan mangrove
diperuntukan pertanian, pertambakan, dan permukiman.
(b) Keberadaan dan kondisi mangrove yang sebenarnya perlu diketahui, sebagai dasar untuk
perencanaan dan penetapan kebijakan selanjutnya.
(c) Perlu ditingkatkan pengetahuan tentang peraturan-peraturan;

9
(d) Pengkajian tentang peralihan mangrove menjadi pertambakan atau penggunaan lain harus
didasarkan pada :
1. Kesesuaian lahan untuk tambak (masalah tanah sulfat masam, gambut, pasir) atau
penggunaan lain.
2. Pasang surut dan sumber air tawar.
3. Pensyaratan jalur hijau.
4. Sistem perlindungan kawasan dan kawasan ekosistem lindung.
5. Dampak terhadap lingkungan.
6. Infra struktur seperti pasar, ketersedian bibit dan lain-lain.
7. Pengenaan pajak untuk areal tambak, agar keinginan membuat tambak berkurang.
8. Penetapan beberapa areal mangrove sebagai kawasan lindung.

VIII. PENUTUP

(a) Perlindungan daerah mangrove yang berdekatan dengan muara-muara sungai. Hal ini
untuk menjaga keseimbangan daerah estuaria yang merupakan ekosistem produktif, tetapi
bersifat mudah terganggu (fragile) sehingga sangat perlu untuk konservasi.

(b)Perlindungan daerah mangrove yang berdekatan dengan aktivitas kegiatan nelayan


dimana daerah tersebut merupakan daerah kegiatan pengambilan ikan dan udang. Hal ini
dimaksudkan untuk melindungi tempat pembiakan, berpijah, maupun daerah ruaya dari
berbagai jenis ikan dan udang.

10
IX. DAFTAR PUSTAKA

- Anonymous, 1998. Pesona Alami Mangrove Pantai Timur Surabaya. Kelompok


Pemerhati Lingkungan ECOTON Mahasiswa Biologi FMIPA UNAIR, Surabaya.
- Chapman, V.J. editor. 1977. Wet Coastal Ecosystems. Ecosystems of the World: 1.
Elsevier Scientific Publishing Company, 428 hal.
- Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model
Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan
JICA. Jakarta
- Khairijon. 1999. Analisis dan Laju Dekomposisi Serasah Avicennia marina dan
Rhizophora mucronata Menurut Zonasi di Hutan Mangrove Pangkalan Batang,
Bengkalis, Riau. Prosidings Seminar VI: Ekosistem Mangrove, Pekanbaru, 15-18
September 1998: 297-303. Kontribusi MAB Indonesia No. 76-LIPI, Jakarta.
- Kusmana, C & Onrizal. 1997. Pengenalan Jenis Pohon Mangrove di Teluk Bintuni, Irian
Jaya. IPB Press. Bogor.
- Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
- Zaitunah, Anita. 2005. Meninjau Keberadaan Hutan Mangrove di Indonesia. PPS702.
Pasca Sarjana Program S3 IPB. Bogor.

11
12
13

You might also like