You are on page 1of 62

AKADEMI TEKNIK TELEKOMUNIKASI

SANDHY PUTRA PURWOKERTO


JL. D.I. PANJAITAN 128 PURWOKERTO

LEMBAR PENGESAHAN

DIKTAT KULIAH MATA KULIAH :

Sistem Komunikasi Satelit

Diketahui dan disahkan pada tanggal 31 Agustus 2006


Oleh

Direktur AKATEL Ketua Program Studi


Sandhy Putra Purwokerto D-III Teknik Telekomunikasi

Rachmat Effendi, BSc. Wahyu Pamungkas, ST.


1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ 1
DAFTAR ISI ................................................................................................. 2
KATA PENGANTAR..................................................................................... 3
BAB I PENGANTAR SISKOMSAT ............................................................... 4
− Dasar dan Pengertian Siskomsat .................................................. 4
− Milestone Satelit System ................................................................ 6
− Menentukan Ketinggian Satelit ...................................................... 7

− Pengenalan Parameter Umum Siskomsat ..................................... 9

− Soal dan Jawaban ......................................................................... 12

BAB II ORBIT SATELIT................................................................................ 15

− Jenis Orbit Satelit .......................................................................... 15

− Jenis Satelit Berdasarkan layananya ............................................. 22


24
− Pergerakan dan Pengendalian Satelit ...........................................

BAB III GROUND SEGMENT DAN SPACE SEGMENT .............................. 27


− Pengenalan Ground Segment ....................................................... 27
− Pengenalan Space Segment ......................................................... 28
− Sub Sistem pada Space Segment ................................................. 30

− Pembagian Transponder Satelit .................................................... 33

BAB IV PENGHITUNGAN PARAMETER SATELIT ................................... 34


− Pointing Antena ............................................................................. 34
− Perhitungan parameter Satelit ....................................................... 36
− Satuan Pengukuran Transmisi Satelit ........................................... 41

− Jarak Pisah Satelit dilihat dari Stasion Bumi .................................. 43

− Slant Range.................................................................................... 45

− Penghitungan Gain Antenna ......................................................... 47

− Menentukan Lebar Berkas ............................................................ 48


50
− Penghitungan Side Lobe ...............................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 51

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan Diktat Kuliah Sistem Komunikasi Satelit ini.
Isi dari Diktat Kuliah Sistem Komunikasi Satelit ini sebagian dari
materi yang seharusnya ada dalam Kurikulum D3 Teknik Telekomunikasi
Akatel SP, diantaranya adalah Pengenalan Siskomsat, Orbit Satelit,
Parameter yang sering digunakan, Ground Segment dan Space Segment
, Manajemen Transponder serta perhitungan tentang ASI ( Adjacent
Satellite Interference ). Penyusunan Diktat ini dimaksudkan untuk
mempermudah mahasiswa dalam mempelajari materi Siskomsat dan
mempermudah Dosen dalam menyampaikan materi dalam perkuliahan.
Meskipun isi dari Diktat kuliah ini belum mencakup semua materi namun
diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan nilai dengan mempelajari isi
dari diktat kuliah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa buku ini masih jauh dari
yang diharapkan. Oleh karena itu, tanggapan dan kritik yang sehat dan
membangun dari para pembaca demi perbaikan Diktat ini sangat penulis
harapkan.

Penulis,

Wahyu Pamungkas, ST

3
BAB I
PENGANTAR SISKOMSAT
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:
Mahasiswa dapat menjelaskan tentang konsep penggunaan satelit, sejarah
penggunaan satelit, serta pengenalan parameter.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :


1. Memahami pengertian satelit
2. Memahami konsep tentang pergerakan satelit, penempatan satelit di orbit.
3. Menghitung ketinggian satelit GEO
4. Memahami blok diagram sistem komunikasi satelit

a Dasar Komsat
• Pengertian Satelit
Satelit pada awalnya merupakan sebuah ungkapan yang mewakili semua
obyek yang mengitari bumi. Planet bumi yang kita tempati sekarang ini
mempunyai obyek-obyek yang mengitari dirinya. Diantara obyek-obyek tersebut
adalah bulan, meteor dan benda angkasa lainya. Masing-masing planet
mempunyai jumlah satelit (bulan) yang berbeda-beda, contoh : bumi hanya satu,
venus minimal ada 4, merkurius ada 8 dll. Planet bumi itu sendiri merupakan
satelit bagi benda angkasa yang lebih besar, matahari contohnya, karena bumi
mengelilingi matarahari. Ingat bahwa selain berputar pada porosnya ( rotasi yang
memakan waktu 24 jam) bumi juga berevolusi yang memakan waktu 365 ¼ hari.
Gambar di bawah ini akan memperjelas uraian di atas:

Gambar Konfigurasi Bumi, Satelit dan Matahari

4
Keterangan:
• Lingkaran kuning : Matahari
• Lingkaran hijau : Planet Bumi sebagai satelit matahari
• Lingkaran abu2 : Bulan sebagai satelit bumi

• Hubungan Satelit dengan Sistem Komunikasi


Sistem Telekomunikasi yang berkembang pasca PD II masih menggunakan
sistem komunikasi hamburan troposfier sebagai media transmisi untuk
menghubungkan dua daerah yang terpisah cukup jauh. Perkembangan
selanjutnya ditemukan teknologi gelombang mikro yang memungkinkan transmisi
dilakukan secara terestrial (tidak melalui atmosfer ). Selanjutnya serat optis
menjadi teknologi yang diharapkan dapat menjawab solusi untuk menyatukan
dunia dalam satu sistem Telekomunikasi. Pertanyaan yang mendasar adalah :
Efektifkah kedua sistem transmisi di atas untuk menyatukan seluruh dunia dalam
sebuah sistem telekomunikasi ? THINK GLOBALLY
Gagasan tentang komunikasi satelit pertama kali dicetuskan Arthur C Clark,
seorang penulis fiksi ilmiah dari Inggris, yang terkenal dalam tulisannya yang
berjudul “EXTRA TERRESTRIAL RELAY” pada tahun 1945. Dia berpendapat
bahwa dengan menempatkan satelit pada orbit equator dengan ketinggian
sedemikian rupa sehingga satelit mempunyai waktu periodik 24 jam, maka posisi
satelit akan selalu tetap terhadap setiap titik di permukaan bumi, sehingga satelit
demikian disebut Satelit Sinkron atau disebut pula “GEOSTATIONARY
SATTELITE”.
Lebih jauh dikembangkan dalam khayalan Arthur C Clarke bahwa satelit
tersebut dapat dipergunakan sebagai repeater (pengulang) untuk keperluan
komunikasi, yaitu dengan menggunakan tiga buah satelit dengan orbit seperti
diatas tetapi terpisah 120 derajat maka komunikasi antara dua tempat dari
hampir seluruh dunia dapat dilakukan, hanya sebagian kecil dari bumi yaitu
daerah kutub utara dan selatan yang tidak tercakup oleh sistem demikian.

5
Gambar Ilustrasi Khayalan Arthur C Clarke

MILESTONE SATELIT SYSTEM

• 1945 Arthur C. Clarke Article: "Extra-Terrestrial Relays"


• 1955 John R. Pierce Article: "Orbital Radio Relays"
• 1956 First Trans-Atlantic Telephone Cable: TAT-1
• 1957 Sputnik: Russia launches the first earth satellite.
• 1960 1st Successful DELTA Launch Vehicle
• 1960 AT&T applies to FCC for experimental satellite communications
license
• 1961 Formal start of TELSTAR, RELAY, and SYNCOM Programs
• 1962 TELSTAR and RELAY launched
• 1962 Communications Satellite Act (U.S.)
• 1963 SYNCOM launched
• 1964 INTELSAT formed
• 1965 COMSAT's EARLY BIRD: 1st commercial communications satellite
• 1969 INTELSAT-III series provides global coverage
• 1972 ANIK: 1st Domestic Communications Satellite (Canada)
• 1974 WESTAR: 1st U.S. Domestic Communications Satellite
• 1975 INTELSAT-IVA: 1st use of dual-polarization
• 1975 RCA SATCOM: 1st operational body-stabilized comm. satellite
• 1976 MARISAT: 1st mobile communications satellite
• 1976 PALAPA: 3rd country (Indonesia) to launch domestic comm. satellite
• 1979 INMARSAT formed.
• 1988 TAT-8: 1st Fiber-Optic Trans-Atlantic telephone cable

6
Tabel Satelit TELKOM yang sudah dan akan diluncurkan

• Bagaimana Menentukan Ketinggian Satelit


Pada khayalan Arthur C Clarke bahwa sebuah satelit yang mengorbit pada
ketinggian tertentu yang mempunyai periode sama dengan periode bumi
berputar akan sangat efektif dalam sistem komunikasi karena antena tidak perlu
untuk mengikuti pergerakan satelit ( lihat ilustrasi video). Untuk bisa menentukan
ketinggian orbit satelit yang dipakai maka diperoleh perhitungan sebagai berikut.
Ketinggian yang diperlukan untuk orbit geostasioner dapat diturunkan dari
dinamika gerak untuk suatu orbit lingkaran pada ketinggian h diatas tanah. Jika
kelilingnya adalah 2 (a+h), di mana a = 6371 km adalah jari-jari bumi
pergerakan dalam sebuah lingkaran. Berarti bahwa kecepatan kelilingnya V
adalah konstant, karena itu waktu satu orbit adalah ;
2 (a+h)
T=

V
Dari mekanika gaya sentripental pada sebuah satelit dengan massa M adalah :

7
MV2
Fs =
a+h

MV2
Mg’ =
a+h
Dimana g’ adalah percepatan gravitasi pada ketinggian satelit dan akhirnya
dihubungkan dengan percepaan gravitasi g = 9,8 m/s pada permukaan bumi oleh
persamaan;

a2
g’ =g …………………………………………………………(1.1)
a+h
Dengan Mensubsitasi persamaan (1.1) ke dalam persamaan (1.2) diperoleh

2
a MV2
Mg = ………………………………………….(1.2)
a+h a+h

Karena itu diperoleh


g
V=a ………………………………………………………(1.3)
a+h
Dengan memasukkan persamaan (1.3) kedalam persamaan (1.1) dan
menyelesaikan untuk h adalah :
h = ( 5075 T 2/3 – 6371 ) km ……………………………………………..(1.4)
Di mana T adalah waktu dalam jam, dengan kenaikan nilai T = 24 jam diperoleh
h = 38,855 km. Dan nilai h ini sebagai ketinggian dari orbit geostasioner.

8
Parameter Umum Sistem Komunikasi Satelit
Dalam menjalankan sistem komunikasi dalam sebuah komunikasi satelit ada
dua elemen dasar yang ikut berperan di dalamnya mereka adalah Stasion Bumi (
Ground Segment ) dan Satelit ( Space Segment ). Stasion Bumi akan
mengirimkan sinyal informasi ke arah satelit dengan menggunakan frekuensi
yang dinamakan Frekuensi Up Link dan sebaliknya satelit sebagai repeater
tunggal di luar angkasa akan meneruskan sinyal informasi ke arah tujuan dengan
menggunakan Frekuensi Down Link. Masing-masing besaran frekuensi up link
dan down link tersebut mengikuti aturan yang distandarisasi oleh ITU-T dengan
mengkategorikan besarnya frekuensi sesuai dengan Band nya seperti di bawah
ini:

TABLE 1

BAND UPLINK (GHz) DOWNLINK (GHz) Bandwidth (MHz)


C 5.9 - 6.4 3.7 - 4.2 500
X 7.9 - 8.4 7.25 - 7.75 500
Ku 14 - 14.5 11.7 - 12.2 500
Ka 27 - 30 17 - 20 Not fixed
30 - 31 20 - 21 Not Fixed

Tabel di atas memperlihatkan susunan Band frekuensi untuk up link dan


down link dari komunikasi satelit yang berlaku secara seragam di seluruh dunia.
Sama seperti aplikasi di komunikasi gelombang mikro maka pertimbangan
pemilihan band frekuensi didasarkan atas tingkat kebutuhan aplikasi satelit
tersebut. Jika sistem komunikasi satelit yang dibangun membutuhkan bandwidth
yang lebar maka lebih baik untuk memilih Band frekuensi yang besar seperti Ku
atau Ka. Sedangkan untuk efisiensi daya maka dipilih band width yang kecil.
Faktor lain yang harus diperhatikan dalam pemilihan band frekuensi adalah
bahwa semakin tinggi frekuensinya maka redaman yang diakibatkan oleh air
hujan akan semakin tinggi. Bagaimana aplikasinya di Indonesia?
Satelit yang ditempatkan di atas ruang angkasa akan menjangkau wilayah
yang luas di daratan bumi. Semakin besar daya yang dipunyai oleh satelit

9
tersebut maka luas wilayah yang dapat dijangkau akan semakin lebar.
Jangkauan wilayah satelit tersebut sering dikenal dengan istilah foot print.

Gambar: Foot Print sebuah satelit

Gambar : Foot Print Satelit Telkom 2

10
11
Contoh Soal:
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sistem komunikasi satelit
2. Jelaskan latar belakang penggunaan SISKOMSAT
3. Sebutkan keuntungan dan kerugian penggunaan SISKOMSAT

12
Jawaban Soal:
1. Sistem komunikasi satelit adalah sistem komunikasi yang menggunakkan
satelit sebagai repeater
2. Latar belakang penggunaan SISKOMSAT
Jarak hubungan antara stasiun cukup jauh (tidak terjangkau oleh sistem
transmisi lainnya)
Medan geografis cukup sulit (tidak memungkinkan untuk dibangun
sistem,transmisi lain)
Untuk keperluan back up
Untuk keperluan HANKAM
Efesiensi penggunaan band frekuensi
Dll.

3. Keuntungan Dan Kerugian Komunikasi satelit.


Keuntungan dari satelit komunikasi diantaranya adalah:
Satelit dengan GSO dapat mencakup daerah yang sangat luas untuk
cakupan seluruh dunia hanya 3 buah satelit.
Propagasi gelombang radionya yang terpanjang justru di luar daerah
atmosfir, sehingga gangguan atmosfir seperti hujan, awan, salju, dan lain-
lain relatif lebih kecil.
Biaya untuk bangun sarana telekomunikasi untuk menghubungkan antara
dua tempat tidak tergantung jarak (untuk tempat-tempat yang terletak
dalam cakupan satelit), mudah dibangun . Tanpa terhalang oleh biaya
akibat sulitnya kondisi geografi.
Memungkinkan dibangun hubungan multiple acces dan broadcast.
Sehingga memudahkan pengumpulan dan penyebaran informasi ke lokasi
yang terpencar.
Setelah satelit tersedia, pembangunan stasiun bumi dengan mudah dan
cepat dapat dilaksanakan dimanapun di dalam daerah cakupan
satelit.VSAT (Very Small Apperture terminal)memungkinkan dipasang
langsung di rumah pelanggan tanpa perlu jaringan lokal.

13
Satelit dengan mudah melayani telekomunikasi tetap dan telekomunikasi
bergerak seperti pesaswat telepon, kapal laut, dan kendaraan bergerak
lainnya.

4. Adapun kerugiannya adalah:


Biaya permulaan sangat tinggi
Untuk luas angkasa harus tersedia peralatan-peralatan:
a. Satelit
b. launcher (kendaran peluncur)
c. Asuransi peluncuran.
d. Stasiun pengendali, baik untuk peluncuran maupun saat
beroperasi.
Untuk luas bumi :
a. Stasiun bumi
b. Hubungan ekor
Jarak satelit GSO cukup jauh, hal ini mengakibatkan delay time yang
cukup lama (600 ms) yang memungkinkan dapat menimbulkan masalah
dalam signaalling dan komunikasi data.
Jika terjadi gangguan pada satelit dapat melumpuhkan seluruh system.

14
BAB II
ORBIT SATELIT

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:


Mahasiswa dapat menjelaskan tentang penempatan satelit dalam orbit,
jenis orbit satelit, jenis satelit berdasarkan layananya dan tentang
pengendalian satelit.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :


1. Memahami jenis orbit satelit beserta karakteristiknya
2. Memahami konsep tentang pergerakan satelit, penempatan satelit di orbit.
3. Mengetahui karakteristik satelit berdasarkan jenis layananya
4. Memahami sistem pengendalian satelit

JENIS ORBIT SATELIT


Jenis-jenis tempat beredarnya satelit mengelilingi permukaan bumi dinamkan
dengan Orbit. Orbit sebuah Satelit dapat dibedakan menjadi 3 macam jenis yaitu:
a. Orbit Stasioner
Merupakan sebuah orbit yang menempatkan satelit untuk terus tetap berada
pada posisinya mengacu pada sebuah titik atau lokasi. Satelit yang
ditempatkan pada orbit stasioner kebanyakan bergerak dari arah timur ke
barat mengikuti pergerakan rotasi bumi. Pada orbit stasioner ini dibedakan
berdasarkan ketinggianya menjadi:
- Low Earth Orbit ( LEO )
Satelit jenis LEO merupakan satelit yang mempunyai ketinggian 320 – 800
km di atas permukaan bumi. Karena orbit mereka yang sangat dekat dengan
bumi, satelit LEO harus mempunyai kecepatan yang sangat tinggi supaya
tidak terlempar ke atmosfer. Kecepatan edar satelit LEO mencapai 27.359
Km/h untuk mengitari bumi dalam waktu 90 menit. Aplikasi dari satelit jenis
LEO ini biasanya dipakai pada sistem Remote Sensing dan Peramalan
Cuaca karena jarak mereka dengan permukaan bumi yang tidak terlalu jauh.
Pada masa sekarang satelit LEO yang mengorbit digunakan untuk aplikasi

15
komunikasi selular. Karena jarak yang tidak terlalu jauh dan biaya yang
murah, satelit LEO sangat banyak diluncurkan untuk berbagai macam
aplikasi. Akibatnya bahwa jumlah satelit LEO sudah sangat padat, tercatat
sekarang ada 8000 lebih satelit yang mengitari bumi pada orbit LEO seperti
pada gambar di bawah ini:

Gambar Jumlah Satelit LEO yang beredar di orbit

Gambar Orbit Satelit LEO

16
Berikut adalah keuntungan dan kerugian satelit LEO:

- MEO (Medium Earth Orbit)


Satelit pada orbit ini merupakan satelit yang mempunyai ketinggian di atas
10000 km dengan aplikasi dan jenis yang sama seperti orbit LEO. Namun karena
jarak yang sudah cukup jauh jumlah satelit pada orbit MEO tidaklah sebanyak
satelit pada orbit LEO. Satelit jenis MEO ini mempunyai delay sebesar 60 – 80
ms dengan keuntungan dan kerugian sebagai berikut:

17
- GEO ( Geostationery Earth Orbit)
Satelit GEO merupakan sebuah satelit yang ditempatkan dalam orbit yang
posisinya tetap dengan posisi suatu titik di bumi. Karena mempunyai posisi yang
tetap maka waktu edarnyapun sama dengan waktu rotasi bumi. Posisi orbit
satelit GEO sejajar dengan garis khatulistiwa atau mempunyai titik lintang nol
derajat.

Gambar Orbit Satelit GEO

Satelit GEO mempunyai jarak sebesar 35786 Km dari permukaan bumi.


Pada satelit dengan orbit GEO inilah yang akan banyak dibahas dan dijadikan
sebagai contoh perhitungan soal. Keuntungan satelit orbit GEO ini salah satunya
adalah dalam mentracking antena pengendalian dari suatu stasion bumi tidak
perlu mengikuti pergerakan satelit karena satelit tersebut sama periodenya
dengan rotasi bumi. Bandingkan dengan tracking antena pada satelit LEO yang
harus mengikuti pergerakan satelitnya yang tidak sama dengan periode bumi
berputar. Kerugian dari satelit orbit GEO adalah karena jarak yang sangat jauh
dari permukaan bumi maka daya pancar sinyal haruslah tinggi dan sering terjadi
delay yang cukup signifikan. Cakupan satelit GEO pun sebenarnya tidak
mencakup semua posisi di permukaan bumi. Lokasi yang berada di kutub utara
dan selatan tidak dapat terjangkau dengan menggunakan satelit GEO karena
foot printnya yang terbatas seperti gambar di bawah ini.

18
Gambar satelit GEO yang tidak bisa mencakup seluruh permukaan bumi
Selengkapnya keuntungan dan kerugian satelit GEO adalah sebagai berikut:

Untuk menunjukan posisi satelit pada orbitnya seringkali digunakan istilah


yang menggantikan bujur dan lintang. Istilah bujur akan diganti dengan
Longitude dan istilah Lintang akan diganti dengan Latitude. Penjelasan dari
longitude dan latitude ada di gambar di bawah ini:

19
Gambar Latitude dan Longitude Bumi

Gambar Posisi Satelit di Orbit GEO

Orbit Polar
Satelit yang mengorbit pada orbit polar merupakan satelit yang mempunyai
inklinasi (penyimpangan) sebesar 90° dari orbit geostationer. Atau boleh
dikatakan bahwa satelit ini mengitari bumi dari arah selatan ke utara. Karena
arah perputaranya yang tidak sinkron dengan arah rotasi bumi maka satelit jenis
polar ini jarang digunakan.

20
Gambar Orbit Sateli Jenis Polar

b Orbit Eliptical
Satelit dengan orbit elips merupakan satelit yang mengorbit dengan bentuk
orbit yang elips terhadap bumi. Dengan bentuk orbit yang ellips tersebut maka
menghasilkan suatu jarak yang tidak sama (sinkron) pada setiap posisi dengan
permukaan bumi. Bentuk orbit eliptical pada sebuah satelit dapat ditunjukan pada
gambar di bawah ini:

Gambar Orbit Eliptical


Pada satelit dengan orbit eliptical maka akan terjadi satu posisi terjauh dari
permukaan bumi dan satu posisi terdekat dari permukaan bumi. Posisi terjauh
dari permukaan bumi dinamakan dengan posisi apogee. Posisi terdekat dengan
permukaan bumi dinamakan dengan posisi perigee.

21
Gambar gabungan orbit satelit

JENIS SATELIT BERDASARKAN LAYANANYA


Dari beberapa satelit yang sudah disebutkan di atas merupakan satelit2 yang
mengorbit pada ketinggian tertentu dan dengan jenis orbit yang berbeda.
Masing-masing satelit tersebut juga didesain untuk aplikasi tertentu seperti
tercantum di bawah ini:

− Fixed Services Satellite


Merupakan satelit yang dedesain untuk melayani panggilan telepon, transmisi
data ( internet) atapun untuk TV Broadcasting. Satelit model ini mempunyai daya
pancar yang rendah sekitar 10 – 20 watts per transmit carrier sehingga
diperlukan antena penerima yang mempunyai diameter cukup besar untuk dapat
menangkap frekuensi downlinknya.

− Direct Broadcast Satelit


Merupakan satelit yang didesain secara khusus untuk melayani aplikasi
Broadcasting TV dan Radio sehingga memerlukan daya yang sangat besar.

22
Daya pada satelit DBS ini berkisar sampai dengan 10 kali lipat daya pada satelit
FSS. Dengan daya yang besar maka user yang ada di Ground Segment dapat
menggunakan antena dengan diameter yang kecil untuk menangkap siaranya.

− Mobile Satelit Services


Merupakan satelit yang khusus diaplikasikan untuk keperluan telepon
nirkabel. Konsepnya sama dengan telepon selular hanya daerah cakupanya
tidak terbatas pada sel yang bersangkutan saja tapi seluas foot print satelit yang
bersangkutan. Satelit ini menggunakan konfigurasi frekuensi up link dan down
link seperti di bawah ini:

− Medium Power Satellite


Merupakan satelit yang mempunyai daya sekitar 50 watt. Karena dayanya
berada diantara FSS dan DBS maka penggunaan satelit ini dikhususkan untuk
aplikasi umum dan juga untuk militer. Konfigurasinya ada di gambar di bawah
ini:

23
Gambar: Konfigurasi umum satelit untuk broadcasting

PERGERAKAN SATELIT
Satelit yang mengitari bumi pada orbitnya akan dikendalikan oleh Master
Control Station di Stasion Bumi. Pengenalian satelit yang berada puluhan ribu
kilometer dari bumi menggunakan sistem otomatis yang didasarkan atas dua
sistem pengendalian sebagai berikut:
− Spin Stablilized Satellite
Merupakan metode pengendalian satelite dengan cara menggerakan body
satelit secara berputar untuk menuju ke suatu posisi tertentu yang diinginkan.
Satelit yang secara teori akan diam pada posisinya di orbit pada kenyataanya
akan bergeser dari orbit yang sebenarnya. Dengan metode Spin Stabillized
Satellite ini dibagi atas empat kontrol dasar yaitu:
Spin Axis Atitude Control System
Merupakan bagian yang akan mengontrol pergerakan satelit dari arah atas
dan bawah atau dengan kata lain tinggi satelit dari permukaan bumi dikendalikan
melalui bagian ini.
Orbit Control System

24
Merupakan bagian yang akan mengontrol pergerakan satelit dari arah barat
dan timur (east – west station keeping) dan simpangan utara- selatan (north –
west station keeping)
Spin Rate Control System
Merupakan bagian yang akan mengontrol kecepatan putar satelit dalam
bergerak kembali ke posisi yang diinginkan.
Active Nutation Control
Merupakan bagian yang mendeteksi posisi satelit pada bujur dan lintang yang
diinginkan. Satelit akan mengirimkan sinyal yang mendakan posisi dirinya
setiap beberapa detik sekali lewat active nutation control.

− Three Axis Body Stabilized


Merupakan pengontrolan posisi satelit berdasarkan sumbu koordinat X, Y dan
Z. Dari ketiga sumbu koordinat tersebut akan dipetakan menjadi posisi pitch, roll
dan yaw. Lebih jelasnya adalah sesuai dengan gambar di bawah ini:

roll

pitch
yaw

Dalam mengendalikan sebuah satelit di ruang angkasa terkadang timbul


beberapa kejadian yang disebabkan oleh konfigurasi orbit dengan lingkungan
sekitarnya termasuk matahari dan bulan. Beberapa kejadian yang mengganggu
kinerja sebuah satelit adalah sebagai berikut:
1. Sun Outage
Merupakan sebuah kejadian di mana satelit berada di tengah antara bumi
dan matahari. Dengan posisi ini maka satelit akan menghalangi sinar matahari

25
yang mengarah ke bumi. Atau dengan kata lain bahwa pada posisi sun outage ini
jarak satelit dengan matahari mencapai jarak terdekat. Dengan jarak yang sangat
dekat antara satelit dengan matahari menyebabkan perangkat yang ada di space
segment juga akan mengalami panas yang meningkat drastis, akibatnya akan
mengurangi performa atau kinerja satelit itu sendiri.

Gambar fenomena Sun Outage


2. Gerhana ( Eclipse )
Merupakan sebuah kejadian di mana posisi satelit terhalang oleh posisi bumi
dari sinar matahari. Akibat dari gerhana ini maka catu daya satelit yang
mengandalkan sinar matahari akan terganggu.Satelit akan mendapat catu daya
dari battere selama gerhana berlangsung. Perpindahan catuan dari solar cell ke
battere terkadang menyebabkan gangguan pada satelit.

Gambar fenomena gerhana pada satelit

26
BAB III
GROUND SEGMENT DAN SPACE SEGMENT

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:


Mahasiswa dapat menjelaskan tentang konfigurasi Ground Segment dan Space
Segment serta dapat mengetahui dasar manajemen transponder.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :


1. Memahami konfigurasi Ground Segment beserta bagian-bagianya.
2. Memahami konfigurasi Space Segment beserta bagian-bagianya.
3. Mengetahui sistem frekuensi re use pada transponder
4. Mendesain sebuah manajemen transponder sederhana

Bagian-bagian Sistem Komunikasi Satelit


GROUND SEGMENT
Stasiun Bumi adalah peralatan yang berfungsi untuk komunikasi. Secara
sederhana konfigurasi stasiun bumi dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Up
HPA/SSPA
Converter

ANTENA

Down
LNA
Converter

PERANGKAT RF (RADIO FREKUENSI)

PERANGKAT IF (INTERMEDIATE FREKUENSI)


DAN BB (BASE BAND)

Gbr. Blok Diagram Stasiun Bumi secara umum

Adapun Keterangan dari masing-masing subsistem di atas adalah :


a. Antena Parabola
Antena Parabola berfungsi sebagai penguat daya dan mengubah dari
gelombang RF terbimbing menjadi gelombang RF bebas dan sebaliknya.
27
b. HPA (High Power Amplifier)
HPA merupakan penguat akhir dari sinyal RF sebelum dipancarkan ke
satelit melalui antenna parabola, input dari HPA adalah sinyal RF dari Up
converter dengan daya rendah sehingga dikuatkan oleh HPA sinyal RF
tersebut mempunyai daya yang cukup untuk diberikan ke antena
selanjutnya dapat dipancarkan ke satelit dengan harga EIRP yang telah
disyaratkan.
c. LNA (Low Noise Amplifier)
Adalah suatu penguat pada arah terima yang berfungsi untuk mempurkuat
sinyal yang diterima dari antenna parobola, LNA harus ditempatkan sedekat
mungkin dengan antena, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan G/ T
(Gain to Noise Temperature Ratio) lebih baik.
d. Up/ Down Converter
Up/ Down Converter terdiri dari dua bagian yaitu bagian Up converter
yang berfungsi mengubah sinyal IF 70 Mhz menjadi sinyal RF 6 Ghz,
sedangkan bagian Down Converter berfungsi mengubah sinyal RF 4 Ghz
menjadi sinyal IF 70 Mhz. Kedua bagian tersebut menggunakan common
transponder synthesizer 5 Ghz. Sehingga up/ down converter ini dapat
dioperasikan pada transponder yang diinginkan.
e. Perangkat IF
Perangkat IF berfungsi untuk memodulasi sinyal suara atau data menjadi
sinyal IF 70 Mhz dan sebaliknya, biasa perangkat ini disebut MODEM
(Modulator Demodulator), adapaun jenis-jenis modem tersebut adalah
tergantung dari sistem yang digunakan, sebagai contoh :
− Untuk sistem SCPC : MODEM SCPC.
− Untuk sistem IDR : MODEM IDR
− Untuk sistem VSAT : MODEM VSAT

SPACE SEGMENT
Satelit merupakan suatu microwave repeater Station (stasiun pengulang
gelombang mikro) yang berfungsi untuk memperkuat sinyal yang berasal dari
stasiun bumi serta memproses translasi frekuensi dari Uplink frequency yang
28
terletak pada lebar bidang frekuensi mulai dari 5,925 Ghz sampai dengan 6,425
Ghz menjadi Downlink frequency dari 3,7 Ghz sampai dengan 4,2 Ghz. Secara
sederhana blok diagram fungsi satelit digambarkan seperti pada gambar berikut:
Sinyal-sinyal RF dari stasiun bumi dengan frekuensi pancar 6 Ghz setelah
diterima oleh antenna akan dilewatkan pada Band Pass Filter (BPF) untuk
melewatkan frekuensi yang dikehendaki saja dan terjadi proses pemisahan
sinyal komado dari sinyal komunikasi.
Sinyal komunikasi yang mempunyai lebar bidang frekuensi 5925 Mhz – 6425
Mhz setelah diperkuat oleh Low Noise Amplifier (LNA) kemudian dicampur
dengan frekuensi 2225 Mhz yang dihasilkan oleh Local Oscillator (LO) sehingga
keluaran mixer merupakan sinyal yang mempunyai lebar bidang frekuensi antara
3700 Mhz – 4200 Mhz. Sebelum sinyal tersebut dipancarkan kembali ke bumi,
terlebih dahulu diperkuat oleh High Power Amplifier (HPA) dan dilkakukan dalam
sebuah Band Pass Filter bersama-sama dengan sinyal yang berasal dari
telemetry transmitter yang berisi antara lain data kondisi peralatan satelit.
Sedangkan sinyal komando akan diproses oleh Command Receiver,
sehingga dapat diditeksi apa isi perintah dari stasiun bumi pengendali utama.
Sinyal komando ini dimaksudkan untuk kegiatan pemeliharaan dan atau
perbaikan peralatan satelit, posisi satelit dan lain sebagainya.

Antena D/C Antena


RF in Rf out
BP LNA MI HPA BP
6 Ghz F X F 4 Ghz

OS
C
To Command Dari Telemetry
Receiver 2,225 Ghz Transmitter

Gbr. Blok Diagram Fungsi Satelit

29
Subsistem pada satelit
Secara garis besar seluruh peralatan yang ada dalam satelit contohnya
satelit palapa A maupun satelit palapa B dapat dikategorikan sebagai berikut :
- Peralatan komunikasi (Communication Subsystem)
- Peralatan catudaya (Power Subsystem)
- Peralatan Komando dan Telemetry (Command and Telemetry Subsystem)
- Peralatan pengontrol satelit
Hubungan antara subsistem tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2

Solar Solar
Cell Cell

Storage Power Command &


batterie Conditionary Telemetry

Position
control
Receiver Freq. Trans I Trasmitter
sub.

Ant
subsystem

antena thruster
Gbr. Blok Diagram Subsistem Satelit

Sedangkan fungsi serta manfaat dari masing-masing peralatan seperti


gambar di atas adalah sebagai berikut :
a. Peralatan komunikasi
Peralatan komunikasi satelit palapa terdiri dari :
30
1. Antena yang berfungsi untuk menerima dan memancarkan sinyal-
sinyal komunikasi bersama dengan sinyal telemetry dari stasiun bumi
dan memancarkan kembali sinyal komunikasi bersama dengan sinyal
telemetry ke Stasiun Bumi.
Antena satelit ada dua jenis yaitu antenna reflector parabola dengan
gain (penguatan) yang tinggi digunakan untuk komunikasi maupun
untuk kontrol, dan pengendali pada saat satelit berada pada posisi
tetap di kedudukan yang telah ditentukan, dan sebuah antena
omnidirectional yang ditempatkan pada ujung atas dari antenna
parabola berfungsi untuk pengiriman maupun penerimaan sinyal
komando dan telemetry pada saat satelit belum pada posisi stasioner.
Antena satelit harus diam tak berputar (despun), sedangkan badan
(body) satelit terus menerus berputar (spinning), maka dari itu antena
satelit yang diam dan badan satelit yang berputar dihubungkan dengan
peralatan rotary join.
2. Microwave repeater yang berfungsi untuk menerima, memperkuat
serta mentranslasikan sinyal-sinyal dari stasiun bumi, untuk
selanjutnya dipancarkan kembali ke stasiun bumi yang dituju.

b. Peralatan catu daya (power subsystem)


Peralatan catu daya dalam suatu satelit terdiri atas sel surya (solar
cell) yang dipasang pada sisi luar badan satelit, battery, bus limiter,
battery charge, reconditioning unit serta peralatan pengontrol. Sel surya
sebagai sumber utama untuk catu daya satelit tetapi pada saat terjadi
gerhanan dimana bayangan bumi mengenai satelit (dalam 1 tahun rata-
rata terjadi gerhana 2 kali dan lama waktu terjadinya gerhana antara 5 –
72 menit), maka catu daya satelit hanya disangga oleh battery.
c. Peralatan kontrol reaksi
Peralatan kontrol reaksi (Reaction Control Subsystem / RCS) berfungsi
untuk memperbaiki/ memelihara posisi satelit pada posisi sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditentukan.
Peralatan unit terdiri dari tangki-tangki propellant (Hydrazine), jet-jet
(Hydrazine thruster), propellant filter, pressure transducer serta pengontrol
31
temperatur. Jet-jet tersebut berfungsi untuk melakukan maneuver
(pengaktifan thruster) jika ada perintah dari MSC dalam rangka
memperbaiki posisi satelit.
b. Peralatan komando dan telemetry
Peralatan komando dan telemetry pada satelit terdiri dari pesawat
penerima komando (Command Receiver) dan pesawat pemancar
telemetry (telemetry Transmitter). Antena bicone (bicone antenna)
digunakan pada satelit berada pada transfer orbit, sedangkan pada saat
satelit berada pada posisi orbitnya digunakan antena grid reflector,
bersamaan dengan sinyal komunikasi dan selanjutnya antena bicone
digunakan sebagai back up. Peralatan telemetry berfungsi untuk
memberikan data informasi ke stasiun pengendali tentang status kondisi,
posisi dan attitude (sikap) satelit serta di gunakan untuk keperluan ranging
tone pada saat satelit berada pada kedudukan transfer orbit, sebelum
mencapai kedudukan stasioner. Peralatan komando terdiri dari 2 set
peralatan yang identik, redundant dan bekerja secara bersamaan untuk
menerima, mendemodulasi serta mendekodekan sinyal-sinyal komando
dari bumi untuk keperluan pemeliharaan dan perbaikan bagian-bagian
yang rusak pada satelit.

Pembagian Transponder Pada Satelit


Lebar bidang frekuensi yang digunakan dalam sistem komunikasi satelit
khusus pada satelit Palapa generasi A dan B adalah sebesar 500 Mhz, yaitu
pada arah pancaran dari stasiun bumi (arah pancaran satelit) adalah 3.700 -
4.200 Mhz. Sifat dari gelombang elektromagnetik adalah mempunyai dua
polarisasi yakni polarisasi horizontal yaitu jika medan listrik dari gelombang
elektromagnetik searah dengan perambatannya dan polarisasi vertical jika
medan listriknya tegak lurus dengan arah perambatannya, kedua polarisasi
tersebut dimanfaatkan dalam sistem komunikasi satelit dengan menggunakan
suatu alat pada subsistem antena yang disebut polarizer (alat untuk memilih
polarisasi), sehingga dalam komunikasi satelit mempunyai dua polarisasi.

32
Lebar bidang frekuensi dalam satu transponder sebesar 40 Mhz, maka
sesuai dengan lebar bidang frekuensi yang digunakan pada satelit terdapat 18
transponder dengan polarisasi vertical dan 18 transponder dengan polarisasi
horizontal dengan demikian jumlah keseluruhannya ada 36 transponder. Namun
demikian dalam operasinya lebar bidang frekuensi transponder yang digunakan
sebesar 36 Mhz, 2 Mhz disisi kiri dan kanan dari spektrum lebar bidang frekuensi
transponder merupakan frekuensi gap (guard band frequency) yang
dimaksudkan untuk pengamanan agar tidak terjadi interferensi antar
transponder.

5945 5985 6025 6065 6105 6145 6185 6225 6265 6305 6345 6385 6465 6505 6545 6585 6625 6665
1V 2V 3V 4V 5V 6V 7V 8V 9V 10V 11V 12V 13V 14V 15V 16V 17V 18V

5965 6005 6045 6085 6125 6165 6205 6245 6285 6325 6365 6405 6485 6525 6565 6605 6645 6685
1H 2H 3H 4H 5H 6H 7H 8H 9H 10H 11H 12H 13H 14H 15H 16 17H 18H

3420 3460 3500 3540 3580 3620 3720 3760 3800 3840 3880 3920 3960 4000 4040 4080 4120 4160
13H 14H 15H 16 17H 18H 1H 2H 3H 4H 5H 6H 7H 8H 9H 10H 11H 12H

3440 3480 3520 3560 3600 3640 3740 3780 3820 3860 3900 3940 3980 4020 4060 4100 4140 4180
13V 14V 15V 16V 17V 18V 1V 2V 3V 4V 5V 6V 7V 8V 9V 10V 11V 12V

Gbr. Pembagian Transponder pada sistem Komunikasi Satelit

Catatan :

BW tiap XPDR 36 MHz


Guard Band 4 MHz
Beacon 4199.875 MHz (Hor)
Beacon 3701.75 MHz (Ver)

33
BAB IV
PENGHITUNGAN PARAMETER SATELIT

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:


Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pointing Antena Stasion Bumi, serta
dapat menghitung interferensi satelit terdekat akibat Side Lobe Antena

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :


1. Menghitung sudut Azimuth dan Elevasi
2. Menghitung parameter umum dalam sistem komunikasi satelit
3. Menggunakan satuan transmisi satelit dengan benar
4. Menghitung Side Lobe antena Stasion Bumi yang menginterferens satelit
tetangga

POINTING ANTENA

Sudut Azimuth dan Elevasi


Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa satelit pada orbit
geostasioner tampak relatif tetap bila dilihat dari bumi, oleh karena itu bila stasion
bumi berada di daerah cakupan satelit, maka dapat saling berkomunikasi dengan
cara mengarahkan antena pengirim atau penerima ke satelit.
Posisi stasion bumi baik stasion bumi pemancar ataupun penerima
memegang peranan penting dalam komunikasi satelit, sedangkan satelit hanya
berperan sebagai pengulang (repeater ) untuk itu stasion bumi harus diletakan
pada posisi yang tepat dan berada pada daerah cakupan satelit agar sinyal yang
dikirim dapat diterima satelit dan dipancarkan kembali pada station penerima.
Untuk meletakan station bumi pada posisi yang tepat agar bisa
berkomunikasi dengan satelit, harus diketahui sudut elevasinya sehingga rug-
rugi yang mungkin terjadi khususnya rugi-rugi pancaran antena dapat
diminimalkan dan daya yang dipancarkan atau yang diterima bisa optimal.
Sudut elevasi (E) adalah sudut yang dihasilkan oleh arah utara sebenarnya
dari titik yang akan kita pasang antena dengan arah vertikal antara satelit dengan
antena. Sudut azimut A teoritis berada diantara 0 dan 360°, tergantung dari

34
lokasi station bumi dengan mengambil titik acuan pada titik subsatelit, sudut
azimut didapat:
1. Sebelah Utara Khatulistiwa
Stasion bumi berada di barat satelit : A = 180° - A’
Stasion bumi berada di timur satelit : A = 180 + A’
2. Sebelah Selatan Khatulistiwa
Stasion bumi berada di barat satelit : A = A’
Stasion bumi berada di timur satelit : A = 360 – A’
Dengan A’ adalah sudut positf, untuk menghitung A’:

tan θs − θ l
A’ = tan –1
sin θ 1

tan longSB − longSat


= tan −1
sin latSB

Menghitung Sudut Elevasi


Sudut Azimuth dan Elevasi diperlukan untuk membantu mengarahkan
posisi antena stasion bumi ke arah antena satelit, sehingga tidak terjadi pointing
loss. Nilai sudut elevasi ini akan dicari untuk masing-masing posisi yang
memungkinkan untuk ditempatkanya stasion bumi. Besarnya sudut elevasi dapat
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

1 − cos 2 ϕ g cos 2 ∆λ
cosθ = (Re+ h)
h 2 + 2 RE ( RE + h)(1 − cos ϕ G cos ∆λ )

dengan:
h= orbit satelit geostasioner (35786 km)
Re= jari-jari bumi (6378)
cosϕ= selisish longitude stasiun bumi dengan satelit
cos∆= nilai latitude dari stasion bumi

35
36
PARAMETER-PARAMETER SISKOMSAT

Noise

Noise secara umum didefenisikan sebagai bentuk signal yang tidak


diinginkan pada sirkuit telekomunikasi. Ada 4 (empat) kategori noise yang perlu
kita ketahui :

• Thermal noise

• Intermodulation noise

• Crosstalk

• Impulse noise

1 Thermal Noise

Thermal noise adalah noise yang muncul pada setiap media transmisi dan
pada setiap perangkat telekomunikasi sebagai akibat dari gerakan elektron
secara acak. Niose ini mempunyai sifat menyebar merata ke seluruh band
frekuensi. Setiap komponen pada perangkat dan setiap media transmisi selalu
memberikan kontribusi thermal noise pada sistem, jika bekerja pada temperatur
di atas temperatur mutlak.

Besaran noise ini biasanya dinyatakan dalam derajat Kelvin. Karena


penyebarannya merata pada seluruh band frekuensi, maka noise ini dinamakan
White noise.

Besarnya thermal noise dirumuskan sebagai berikut:

P n = k . T (W/Hz)

Di mana :

K = konstanta boltzman = 1,3803 × 10 –23 J/°K

T = temperatur mutlak = K

Rumus di atas menyatakan bahwa thermal noise berbanding lurus dengan


bandwidth dan temperatur. Pada bandwidth tertentu thermal noise menjadi :

37
Pn = k . T . B Watt

Contoh :

Suatu amplifier mempunyai effective noise temperatur 100° K pada bandwidth 10


MHz. Berapa besarnya thermal noise dari amplifier tersebut ?

Pn = 10 log 1,3803 × 10 –23 + 10 log 100 + 10 log 107

= -228,6 + 20 + 70

= - 138,6 dBw

2 Intermodulation noise

Intermodulation noise ditimbulkan oleh intermodulation product. Jika kita


memasukkan 2 frekuensi, f1 dan f2 pada sebuah komponen non linier, maka
pada output akan terdapat frekuensi spurious. Frekuensi spurious ini dapat
muncul di dalam atau di luar frekuensi perangkat yang bersangkutan.

Second order : f1 ± f2

Third order : f1 ± 2f2 ; 2f1 ± f2

Fourth order : 2f1 ± 2f2 ; 3f1 ± f2

Misal :

f1 = 100 ; f2 = 101

f1 + f2 = 201 2f1 – 2f2 =2

f2 – f1 =1 3f1 + f2 = 401

2f1 + f2 = 301 3f1 – f2 = 199

2f1 – f2 = 99 f1 + 2f2 = 302

2f1 + 2f2 = 402 f1 – 2f2 = 102

Intermodulasi muncul jika :

• Level setting salah (level input terlalu tinggi).

38
• Dengan level input yang tinggi, maka bekerjanya perangkat akan
dikemudikan pada daerah non linier.

• Salah adjustmen sehingga perangkat bekerja pada daerah non linier.

Distorsi Distorsi
Order 3 Order 5

(3f1-f2) (3f1-f2) f1 f2 (3f1-f2) (3f1-f2)

Produk intermodulasi frekuensi Produk intermodulasi

order 5 order 3 input order 3 order 5

Dampak fatal akibat intermodulasi :

• Terjadi crosstalk

• Broken call atau pembicara terputus tiba-tiba

• Penurunan kualitas kanal

• Penurunan SCR

• Gangguan pada transponder yang berdekatan

3 Crosstalk

Crosstalk adalah pengkopelan yang tidak kita inginkan pada jalur signal. 3
macam penyebab crosstalk, yaitu :

• Electrical coupling antar media trasmisi, contoh : electrical coupling antar


kabel voice.

• Frekuensi respon yang buruk sebagai akibat rusaknya filter atau disain
filter yang jelek

• Non linierity pada sistem multi channel (FDM).

Crosstalk ada 2 macam, yaitu :

• Near end crosstalk

39
• Far end crosstalk

Kedua crosstalk tersebut besarnya harus > 43 dB untuk Long Distance Circuit
dan > 58 dB untuk kabel dari langganan ke sentral.

(Ref. CCITT Rec. G 151 D)

Signal to noise ratio (S/N)

Teknisi transmisi lebih sering berurusan dengan signal to noise ratio (S/N)
dibandingkan dengan kriteria lain.

S/N adalah perbandingan level signal dengan level noise yang dinyatakan dalam
dB.

S / N = 10 log Daya signal (Watt) dB

Noise (Watt)

Atau :

S/N (dB) = level signal (dBm) – level noise (dBm)

Contoh :

Level noise = 5 dBm ; Level signal 20 dBm

S/N = 20 – 5 = 15 dB (lihat jelas gambar berikut)

Untuk memperbesar S/N dapat dilakukan dengan cara :

• Memperbesar daya signal

• Memperkecil daya derau (noise)

• Meperbesar daya signal sekaligus memperkecil daya derau

Level
Signal 20
dBm

Noise 5

S/N = 15 Frekuensi

40
G/T (Figure of Merite)

Gain to Noise Temperatur Ratio (G/T) merupakan ukuran penampilan baik


buruknya (peformance) sistem penerimaan pada suatu SB. Secara matematik
G/T dirumuskan sebagai berikut :

G/T = Gain antena (dB) (dB/°K)

Temperature sistem (°K)

Di mana :

G = penguatan antena Rx

T = temperature sistem (antena / LNA / recevier)

Semakin besar G/T, berarti semakin sensitif dan semakin baik kualitas
penerimaannya. Untuk mendapatkan harga G/T yang besar dapat dilakukan
dengan cara :

• Memperbesar penguatan antena

• Menggunakan penerima dengan temeratur derau yang rendah (semakin


kecil temperatur LNA, semakin baik mutu penerimaannya)

Contoh perhitungannya :

Antena parabola = 5 M, Gain = 43 dB, temperatur LNA = 40° K, Temperatur


sistem penerima = 2°K, berapa G/T?

EIRP (Effectife Isotropic Radiated Power)

EIRP adalah besarnya daya suatu carrier yang dipancarkan oleh suatu
antena, satuannya dinyatakan dalam dB Watt. Harga EIRP adalah hasil
penjumlahan antara daya keluaran HPA dengan penguatan antena dikurangi
dengan redaman IFL (Interfacility Link).

Besarnya EIRP dapat dirumuskan sebagai berikut :

EIRP = P out HPA (dBw) + G antena (dB) – loss IFL (dB)

Harga EIRP dapat diperkecil atau diperbesar dengan cara :

41
• Memperkecil/memperbesar output HPA

• Meperkecil/memperbesar penguatan antena

• Memperpanjang/memperpendek IFL

Contoh perhitungan EIRP :

Output HPA = 30 Watt; Gain antena = 43 dB; Loss IFL = 1,5 dB. Berapakah
besarnya EIRP ?

EIRP = 14,7 dBw + 43 dB – 1,5 dB = 56,2 dBw

Noise figure

Seperti yang diuraikan di atas setiap sirkit pasif dan aktif pada setiap
media trasmisi menyumbangkan noise pada sistem transmisi.

Noise figure adalah perbandingan antara noise yang dihasilkan perangkat


dalam kenyataan dibandingkan dengan noise pada perangkat ideal. Untuk
perangkat linier, noise figure (NF) dinyatakan :

NF = S/N in

S/N out

Dalam dB : NF = S/N in (dB) – S/N out (dB)

Contoh (menghitung S/N in) :

Recevier dengan : NF = 10 dB dan S/N out = 50 dB

NF = S/N in – S/N out

10 = S/N in – 50

S/N in = 60 dB

Satuan Pengukuran Transmisi

Desibel (dB)

42
Suatu saluran menyatakan besaran perbandingan logaritnik daya keluar
dengan daya masuk diamna daya tersebut merupakan harga relatif. Dari defenisi
tersebut, misalkan suatu peralatan mempunyai penguatan 2 kali (input = 1 W,
output 2 W), bila dinyatakan dalam dB, maka penguatan tersebut = 3 dB. Harga
tersebut didapat dari penurunan rumus :

Gain (dB) = 10 log Pout

Pin

= 10 log 2/1

= 3,0103 dB

Misalkan suatu peralatan mempunyai redaman 1/1000 kali (input = 1000


W, output = 1W), bila dinyatakan dalam dB, maka penguatan tersebut = - 30 dB.
Harga tersebut didapat dari penurunan rumus :

Gain (dB) = 10 log P2

P1

= 10 log 1

1000

= - 30 dB

Karena hasilnya negatif, peralatan tersebuut bukan penguatan, tetapi redaman


sebesar 30 dB.

dBm

Satuan harga mutlak suatu perbadningan daya terhadap daya 1 miliwatt


yang dituliskan dengan rumus :

Daya (dBm) = 10 log daya (mW)

1 mW

contoh :

43
suatu amplifier mempunyai penguatan 1 mW, berapa dBm besar penguatan
tersebut ?

Daya (dBm) = 1/1 = 0 dBm

Jadi 1mW = 0 dBm

dBw

Satuan harga mutlak suatu daya terhadap daya 1 Watt

Daya (dBW) = 10 log daya (W)

1W

Contoh :

Misal diketahui daya 13 Watt, berapa dBw daya tersebut ?

Daya (dBw) = 10 log 13 W

1W

= 11,13 dBw

dBm

dBm0 adalah satuan harga mutlak suatu daya dalam dBm yang mengacu
kepada 0 TLP (Zero test level point). 0 TLP setiap titik mempunyai nomial level
yang berbeda-beda dan dinyatakan dalam level dBr (dB referensi) sebagai misal
; nominal level TX VF = -16 dBr = - 16dB. Hubungan antara dBm, dBm0 dan dBr
dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut :

dBm = dBm0 + dBr

Contoh :

- 10 dBm0 0 TLP

44
- 26 dBm - 16 dBm

Suatu titik pengukuran terukur level –26 dBm, di mana level nominal
referensi dari titik ukur tersebut adalah – 16 dBm, maka harga pengukuran
tersebut bila dinyatakan dalam dBm0 adalah – 10 dBm0 yang artinya level pada
titik pengukuran tersebut 10 dB di bawah nominal level.

JARAK PISAH SATELIT


Meskipun telah diketahui jarak pisah antara satelit Telkom 2 dengan
Thaicom dan posisi derajat masing-masing satelit dalam derajat, namun belum
diketahui jarak sebenarnya antara kedua satelit dalam kilometer. Untuk
menentukan jarak tersebut menggunakan rumus berdasarkan gambar 4.1 berikut
ini:

d 2 = 2r 2 − 2r 2 cos β = 2r 2 (1 − cos β )
Parameter-parameter di atas didefinisikan dengan:
θ = jarak pisah antara dua buah satelit dilihat dari antena stasion bumi
β = jarak pisah antara dua buah satelit dilihat dari selisih longitudenya
di = slant range antara stasion bumi dengan satelit
r = orbit geostasioner yang panjangnya 42164 km
d = jarak pisah antara dua buah satelit dalam km.
Dari rumus di atas maka dapat dicari jarak pisah antara satelit Thaicom
dengan satelit Telkom 2 sebagai berikut:
- Longitude Thaicom 120 °
- Longitude Telkom 2 118°

d2 = 2 x 421642 (1 – cos β)
d2 = 2165197,98
d = 1471 km
Hasil perhitungan teknis ini akan selalu berubah-ubah karena satelit akan
selalu bergerak menurut orbitnya sehingga jarak pasti pada suatu waktu akan
sangat sulit ditentukan.

45
Stasion bumi

θ
Orbit GEO β

dB
dA r
Satelit
Thaicom
Satelit Telkom
2

Gambar 4.1 Jarak pisah dua buah satelit dilihat dari stasion bumi

Menentukan Daerah Kemiringan (Slant Range) Stasion Bumi dengan


Satelit.
Daerah kemiringan (slant range) antara stasion bumi dengan satelit
adalah jarak sebenarnya yang diukur dari stasion bumi ditarik garis lurus menuju
posisi satelit di atas. Nilai slant range menggunakan rumus sebagai berikut:

h2 + 2RE (RE + h)(1 − cosϕG cos∆λ)


D=

Di mana:

46
h = orbit satelit geostasioner (35786 km)
Re = jari-jari bumi (6378 km)
cosϕ = selisish longitude stasiun bumi dengan satelit
cos∆ = nilai latitude dari stasion bumi
Nilai slant range diperlukan untuk menghitung lebih lanjut sudut
toposentris antara dua satelit yang dilihat dari stasion bumi. Nilai slant range
yang dihitung mengarah pada slant range ke satelit Telkom 2 dan slant range ke
satelit Thaicom untuk masing-masing posisi stasion bumi yang akan diletakan.
Contoh perhitungan :
Posisi stasion bumi di kota Bogor:
Latitude: 6,57°
Longitude:106,75°

Slant Range Thaicom D2: 35786 2 + (2)(6378)(42164)(1 − cos13,25 cos 6,57)


D= 35978,3 km

Slant Range telkom2 : D2 = 35786 2 + (2)(6378)(42164)(1 − cos11,25 cos 6,57)

D=36033,2 km

Menentukan Jarak Pisah Satelit Dilihat Dari Stasion Bumi


Jarak pisah sebesar 2° antara satelit Thaicom dan Telkom 2 merupakan
jarak pisah antara satelit dalam lingkup orbit geostasioner. Sedangkan jarak
pisah antara dua buah satelit tersebut dilihat dari stasion bumi dicari berdasarkan
Gambat 4.1 di atas. Besarnya nilai jarak pisah kedua satelit (bila dilihat dari
stasion bumi) dengan koordinat tertentu adalah:
d A2 + d B2 − 2r 2 (1 − cos β )
θ = cos −1
(4.3)
2d A d B

dengan nilai konstantanya adalah sama dengan konstanta rumus 4.2 di atas.
Besarnya nilai sudut toposentris tersebut akan berbeda-beda sesuai dengan
posisi stasiun buminya. Sudut Toposentris ini akan berguna untuk menentukan
besarnya side lobe antena yang mengarah ke satelit Thaicom. Untuk daerah
yang terdapat dalam 4 kawasan tersebut akan mempunyai nilai yang berbeda
yang akan berpengaruh terhadap nilai interferens terhadap kedua satelit
47
tersebut. Sebagai contoh, di bawah ini merupakan hasil perhitungan nilai sudut
toposentris untuk masing-masing daerah dalam pembagian seperti di atas:
1) Daerah dalam kawasan Utara Khatulistiwa dan di sebelah barat satelit.
- Nama Kota : Medan
- Slant Range (118) : 36221,67
- - Slant Range (120): 36311,51

-Nilai Sudut Toposentris (θ) =


(36221,67 + 36311,512 − 2165978,98
2
)
2 x36221,67 x35311,51
= 2,32093°
2) Daerah dalam kawasan Utara Khatulistiwa dan di sebelah timur satelit
- Nama Kota : Manado
- Slant Range (120) : 35816,62
-Slant Range (118) : 35843,56

- Nilai Sudut Toposentris (θ) =


(35816,62 + 35843,56 2 − 2165978,98
2
)
2 x35861,62 x35843,56
= 2,3532°
3) Daerah dalam kawasan Selatan Khatulistiwa dan di sebelah barat satelit
Nama Kota : Bogor
Slant Range (120) : 35978,3
Slant Range (118) : 36033,2

Nilai Sudut Toposentris (θ) =


(35978,3 + 36033,2 2 − 2165978,98
2
)
2 x35978,3 x36033,2
= 2,34048°
4) Daerah dalam kawasan Selatan Khatulistiwa dan di sebelah timur satelit
Nama Kota : Ambon
Slant Range (120) : 35888,4
Slant Range (118) : 35930,05

Nilai Sudut Toposentris (θ) =


(35888,4 + 35930,052 − 2165978,98
2
)
2 x35888,04 x35930,05
= 2,342°

48
Menentukan Gain Antenna
Mencari nilai penguatan (gain) antena dimaksudkan untuk mengetahui
karakterisitik antena yang dipergunakan stasion bumi sehingga dapat dicari nilai
side lobe-nya. Gain antena dicari dengan menggunakan rumus 3.9 dengan
mengasumsikan nilai η adalah sebesar 0,6 dan frekuensi yang digunakan adalah
frekuensi up link untuk C-Band sebesar 6 Ghz. Parameter diameter antena akan
ditentukan mulai dari antena sebesar 2,4 m sampai dengan antena sebesar 1,7
meter.
− Untuk antena dengan diameter 2,4 maka nilai Gmax akan bernilai:
Gmax = 10 log η(πDf/c)2
= 10 log 0,6(3,14 x 2,4 x 6x 109 / 3x 108)2
= 41,344 dBi

− Untuk antena dengan diameter 2,2 maka nilai Gmax akan bernilai:
Gmax = 10 log 0,6 (3,14 x 2,2 x 6x 109 / 3x 108)2
= 40,589 dBi

− Untuk antena dengan diameter 2,1 maka nilai Gmax akan bernilai:
Gmax = 10 log 0,6 (3,14 x 2,1 x 6x 109 / 3x 108)2
= 40,185 dBi
Nilai Gmax
Diameter Antena
1. Antena 2,4 Meter 41.334 dBi
2. Antena 2,2 Meter 40,589 dBi
3. Antena 2,1 Meter 40,185 dBi
4. Antena 2 Meter 39,76 dBi
5. Antena 1,8 Meter 38,846 dBi
6. Antena 1,7 Meter 38,35 dBi
Tabel 4.1 Nilai Gain antena berdasarkan diameter

49
Menentukan Lebar Berkas (Beamwidth) θ3dB
Lebar berkas suatu antena sering disebut dengan beam width θ3dB. Harga
ini berarti harga penguatan pada posisi sudut sesuai pengarahan di mana gain
akan bernilai setengah dari nilai maksimumnya. Semakin lebar diameter
antenanya maka nilai θ3dB akan semakin kecil, artinya berkas sinyal yang
dipancarkan akan semakin kohern. Untuk menghitung besarnya lebar berkas
menggunakan rumus 3.11 dengan masing-masing diameter antena berbeda nilai
lebar berkasnya. Hasil perhitungan besarnya lebar berkas berdasarkan diameter
antena adalah sebagai berikut:
θ3dB= 70(λ/D) = 70(c/fD) (derajat)

Nilai θ3dB
Diameter Antena
2,4 m 1,458°
2.2 m 1,59°
2.1 m 1,67°
2m 1,75°
1,8 m 1,94°
1,7 m 2,05°

Tabel 4.2 Nilai Lebar Berkas Antena berdasarkan diameter

Menentukan Besarnya Side Lobe Antena Stasion Bumi


Untuk menentukan besarnya level side lobe antena stasion bumi
digunakan rumus 3.12 dengan asumsi bahwa hasil perhitungan tersebut tidak
boleh melebihi ketentuan dari ITU-T yang mengacu pada rumus 3.15. Besarnya
nilai side lobe tersebut tidak boleh melebihi ketentuan dari ITU-T yaitu sebesar
G = 29 – 25 logθ (Rec.ITU-R S.580-5) berlaku untuk nilai sudut toposentris θ
lebih dari1°. Sebelumnya terdapat aturan yang lama sebesar G = 32 – 25 logθ
(Rec. ITU-R S.580-5) berlaku untuk nilai sudut toposentris θ lebih dari 1° untuk

50
antena yang terpasang sebelum tahun 1995. Besarnya nilai side lobe dicari pada
setiap posisi stasion bumi yang akan diletakan sehingga diketahui level
interferens ke satelit Thaicom. Semakin kecil diameter antena yang dipakai maka
semakin besar nilai sidelobe-nya. Fenomena ini harus dihindari supaya tidak
menimbulkan interferens bagi satelit di dekatnya. Salah satu contoh hasil
perhitungannya adalah sebagai berikut:

Posisi Stasion Bumi: Medan


Sudut Toposentris : 2,32093°
Diameter antena : 2,4 m
G(θ)dBi = Gmaz,dBi - 12 (θ/θ3dB)2 (dBi)
= 41,334 – 12 ( 2,32093 / 1,458 )2
=10.936 (dBi)
Jika kita melihat hasil perhitungan sudut toposentris maka terlihat rata-rata
nilai sudut tersebut berkisar pada nilai 2,3°, oleh karena itu jika aturan dari ITU-T
diaplikasikan maka:
G(θ) = 29 – 25 log 2,3°
= 19,96 dBi
Artinya bahwa nilai side lobe maksimal yang diperbolehkan dipasang pada
suatu wilayah menggunakan antena jenis apapun nilainya tidak boleh melebihi
19,96 dBi. Apabila diperhatikan lebih lanjut pada tabel hasil perhitungan, maka
diameter antena 2 m – 2,4 m aman digunakan karena level side lobenya kecil,
sedangkan untuk antena dengan diameter ≤ 1,9 m akan sangat riskan digunakan
karena side lobenya sudah melebihi ketentuan dari ITU-T. Pada kenyataanya di
lapangan antena dengan diameter tersebut di atas masih banyak digunakan
sehingga kemungkinan menginterferensi satelit terdekat akan sangat besar.

51
LINK BUDGET

Perhitungan Sisi Up-link


1. Menentukan Free Space Loss
Untuk menentukan besarnya nilai free space loss up-link digunakan asumsi
slant range kota Purwokerto ke satelit Telkom 2 dan frekuensi yang digunakan
6 GHz. Maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

2
4πf u d u
Lu = di mana :
c

Lu = free space loss up-link

du = slant range up-link (m)

u = panjang gelombang up-link (m)

fu = frekuensi up-link (Hz)

c = kecepatan cahaya (2,997925 x 108 m/s)

Sehingga untuk menghitung Lu Purwokerto ke Telkom 2 dengan frekuensi


yang digunakan 6 Ghz adalah :

2
9 3
4x x (6 x 10 ) x (35934, 72 x 10 )
Lu = 2,997925 x 108

= 8,167 x 1019
= 10 log 8,167 x 1019
= 199, 121 dB

2. Menentukan daya Carrier Up-link


Daya carrier up-link adalah daya yang diterima oleh antena pada satelit,

setelah daya carrier yang dikirim stasiun bumi mengalami redaman-

52
redaman pada saat up-link. Nilai daya carrier up-link dirumuskan sebagai

berikut:

2
Cu = (EIRP) 4 fudu Gu
L c

dengan:

Cu = daya carrier up-link (dB)

EIRP = Efective Isotropic Radiated Power (dBW)

L = loss tracking + atmosphere attenuation (1,2 – 1,5 dB)

c = kecepatan cahaya (2,997925 x 108 m/s)

fu = frekuensi up-link (Hz)

du = slant range up-link (m)

Gu = penguatan antena satelit (dBi)

Untuk mencari nilai daya carrier up-link, terlebih dahulu dicari nilai EIRP.
Dengan asumsi output HPA (High Power Amplifier) sebesar 30 Watt, gain antena
sebesar 43 dB dan loss IFL sebesar 1,5 dB, maka besarnya nilai EIRP adalah
sebagai berikut:
EIRP = 10 log 30 + 43 – 1,5
= 56,27 dBW

Kemudian untuk mencari besarnya nilai daya carrier up-link digunakan


asumsi slant range kota Purwokerto ke satelit Telkom 2, frekuensi yang
digunakan 6 GHz dan loss tracking + atmosphere sebesar 1,5 dB maka akan
diperoleh nilai sebagai berikut:
Cu = (56,27 – 1,5) + 20 log ((4 x x (35934, 72x 103) x (6 x 109)) /
(2,997925 x 108)) + 43
= 296,891 dBW

53
Menentukan Noise Power Up-link
Noise power up-link dapat diartikan sebagai noise yang mempengaruhi
atau mengurangi daya pada saat suatu stasiun bumi mengirimkan sinyal ke
satelit. Nilai noise power up-link dirumuskan sebagai berikut):
Nu = k Tu B

dengan:

k = konstanta Boltzman (1,38 x 10-23 J/K)

Tu = noise temperatur (K)

B = noise band width (Hz)

Untuk mencari besarnya nilai noise power up-link digunakan asumsi


noise temperatur 300 0K dan noise band width 36 MHz maka diperoleh
hasil sebagai berikut:
Nu = (1,38 x 10-23) x 300 x (36 x 106)
= 1,49 x 10-13
= 10 log 1,49 x 10-13 = -128,266 dB

Menentukan Carrier Power Flux Density


Parameter SFD menyatakan besarnya kerapatan daya pancar stasiun bumi untuk

menjenuhkan/saturasi transponder. Parameter ini menunjukkan tingkat kepekaan

(sensitivitas) dari suatu transponder. Nilai dari daya carrier flux density dirumuskan

sebagai berikut8):

= EIRP (3.4)
2
4 du L

dengan:

= daya carrier flux density (W/m2)

EIRP = Efective Isotropic Radiated Power (dBW)

54
du = slant range up-link (m)

L = loss tracking + atmosphere atenuasi (1,2 – 1,5 dB)

Untuk mencari besarnya nilai carrier power flux density digunakan


asumsi pada perhitungan mencari daya carrier up-link di atas (EIRP = 56,27
dBW, slant range = 35934,72 Km, loss tracking + atmosphere = 1,5 dB)
maka diperoleh nilai sebagai berikut:
= 56,27 – 10 log (4 x x (35934, 72 x 103)2 x 1,5)
= -107,59 dBW/m2

Menentukan Carrier to Noise Ratio (C/N)


Carrier to Noise Ratio (C/N) adalah merupakan nilai perbandingan antara

carrier yang diterima, dengan sinyal noise yang dihasilkan dalam suatu link.

Persamaan up-link untuk transmisi ke satelit dapat ditulis secara langsung dengan

mensubstitusi nilai-nilai parameter sistem komunikasi satelit ke dalam persamaan

dasar link:

4πf u d u G
C / N ..up = EIRPSAT (dBW ) − 20 log + U dB / K − 10 log K − 10 log B − L − BOi dB
c TU

atau jika diketahui nilai dari daya carrier flux density8):


2
C/N UP = 2
sat(dBW/m ) – 10 log 4 2fu + Gu (dB/K) - 10 log k – 10 log B – BOi
c Tu

dengan:

EIRP = Efective Isotropic Radiated Power (dBW)

= carrier flux density (dBW/m2)

fu = frekuensi up-link (Hz)

du = slant range up-link (m)

c = kecepatan cahaya (2,997925 x 108 m/s)

55
Gu = penguatan antena satelit (dBi)

Tu = noise temperatur (K)

k = konstanta Boltzman (1.38 x 10-23 J/0K)

B = noise band width (Hz)

BOi = back off input (dB)

L = loss tracking + atmosphere atenuasi (1,2 – 1,5 dB)

Untuk mencari besarnya nilai C/N up-link digunakan asumsi EIRP


sebesar 80 dBW, loss tracking + atmosphere sebesar 1,2 dB, frekuensi
sebesar 6 GHz, slant range sebesar 35934,72 Km, Gu/Tu sebesar 1,6 dB
dan noise band width 36 MHz maka akan diperoleh nilai sebagai berikut:
C/N UP = 80 – 1,2 – 20 log 4 x x (6 x 109) x (35934, 72 x 103) + 1,6 –
2.997925 x 108

10 log (1,38 x10-23) – 10 log (36 x 106)

= 34,32 dB

D. Perhitungan Sisi Down-link


1. Menentukan Free Space Loss
Free space loss down-link adalah redaman yang dialami sinyal yang dikirim

satelit ketika sedang mengirim sinyal kembali ke suatu stasiun bumi (saat di

angkasa). Besarnya nilai loss tersebut dirumuskan sebagai berikut8):


2 2
Ld = 4 d d = 4 fddd (3.7)
d c

dengan:

Ld = free space loss down-link

dd = slant range down-link (m)

d = panjang gelombang down-link (m)

56
fd = frekuensi down-link (Hz)

c = kecepatan cahaya (2,997925 x 108 m/s)

Untuk menentukan besarnya nilai free space loss down-link digunakan


rumus 3.7 dengan asumsi slant range kota Purwokerto ke satelit Telkom 2
dan frekuensi yang digunakan 4 GHz. Maka perhitungannya adalah sebagai
2
berikut: 9 3
4x x (4 x 10 ) x 35934, 72 x 10
Ld = 2,997925 x 108

= 3,63 x 1019
= 10 log 3,63 x 1019 = 195, 59 dB

2. Menentukan Noise Power Down-link


Noise power down-link dapat diartikan sebagai noise yang mempengaruhi

atau mengurangi daya pada saat satelit mengirimkan sinyal ke suatu stasiun bumi.

Nilai noise power down-link dirumuskan sebagai berikut8):

Nd = k Td B (3.8)

dengan:

k = konstanta Boltzman (1,38 x 10-23 J/K)

Td = noise temperatur (K)

B = noise band width (Hz)

Untuk mencari besarnya nilai noise power down-link digunakan


rumus 3.8, dengan asumsi noise temperatur 300 0K dan noise band width
36 MHz maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Nd = (1,38 x 10-23) x 300 x (36 x 106)
= 1,49 x 10-13
= 10 log 1,49 x 10-13
= -128,266 dB

57
3. Menentukan Carrier to Noise Ratio (C/N)
Carrier to Noise Ratio down-link merupakan perhitungan perbandingan daya

carrier dengan daya noise dari sisi antena pemancar satelit di sisi space segment,

dengan user yang berada di ground segment. Kalkulasi link down-link bisa

diperoleh dengan mensubtitusikan nilai-nilai parameter ke dalam persamaan dasar

link8):

C/N dn = EIRPsaturasi (dBW) – 20 log 4 fddd+ G (dB/K) - 10 log k – 10 log B


c T
– BOo (dB) – L (dB) (3.9)

dengan:

EIRP = Efective Isotropic Radiated Power (dBW) saturasi

fd = frekuensi down-link (Hz)

dd = slant range down-link (m)

c = kecepatan cahaya (2,997925 x 108 m/s)

G/T = figure of merit (dB/K)

k = konstanta Boltzman (1.38 x 10-23 J/0K)

B = noise band width (Hz)

BOo = back off output (dB)

L = loss tracking + atmosphere atenuasi (1,2 – 1,5 dB)

Untuk mencari besarnya nilai C/N down-link digunakan rumus 3.9,


dengan menggunakan asumsi EIRP saturasi sebesar 40 dBW, loss
tracking + atmosphere sebesar 0,9 dB, frekuensi sebesar 4 GHz, slant
range sebesar 35934,72 Km, gain antena sebesar 56,3 dB, noise
temperatur sebesar 160 K, back off output 0 dB dan noise band width 36
MHz maka akan diperoleh nilai sebagai berikut:

58
C/N dn = 40 – 0,9 – 20 log 4 x x (4 x 109) x (35934, 72 x 103) +
8
2.997925 x 10
(34 – 10 log 160) – 10 log (1,38 x10-23) – 10 log (36 x 106)
= 30,80 dB

4. Menentukan C/N Total


Nilai dari C/N total merupakan penjumlahan dari C/N up-link dan C/N down
-link dengan menggunakan rumus sebagai berikut8):
C/NT = ((C/Nup)-1 + (C/Ndn)-1)-1

Untuk mencari nilai C/N total adalah dengan mensubstitusikan nilai


C/N up-link dan C/N down-link di atas ke dalam rumus 3.10, maka akan
diperoleh hasil sebagai berikut:
C/NT = ((34,32)-1 + (30,80)-1)-1
= 16,23 dB

E. Contoh Perencanaan
Pada contoh perencanaan, penulis menggunakan data dari buku “Digital
Satellite Communications Second Edition” karangan Tri T. Ha, halaman 136
– 137. Datanya adalah sebagai berikut:
1. Parameter satelit (single carrier transponder)
- Noise bandwidth = 36 MHz
- G/T = 1, 6 dB/K
- TWTA input back off = 0 dB
- TWTA output back off = 0 dB
- EIRP saturasi = 44 dBW

2. Parameter stasiun bumi


- Diameter antena = 7 m
- Gain antena transmitter = 57,6 dB
- Gain antena receiver = 56,3 dB
59
- Frekuensi up-link = 14,25 GHz
- Frekuensi down-link = 11,95 GHz
- Slant range = 37506 Km
- Tracking loss up-link = 1,2 dB
- Tracking loss down-link = 0,9 dB
- Noise temperature = 160 K
- Daya carrier ke antena = 174 Watt
Dari data tersebut di atas, maka dapat diperoleh sebuah perencanaan
untuk mencari C/N total sebagai berikut:
1. Up-link (14,25 GHz)
- EIRP
Dengan menggunakan rumus 2.14 maka diperoleh nilai:
EIRP = 10 log 174 W + 57,6 dB
= 80 dBW
- Free Space Loss
Dengan menggunakan rumus 3.1 maka diperoleh nilai:
2
FSL = 4 x x (14,25 x 109) x 37506 x 103
2,997925 x 108

= 5,018 x 1020
= 10 log 5,018 x 1020 = 207,006 dB
- Noise Bandwidth
Noise bandwidth up-link akan bernilai:
NB = 10 log 36 x 106
= 75,56 dB Hz
- C/N up-link
Dengan menggunakan rumus 3.5 maka diperoleh nilai:
C/N UP = 80 – 1,2 – 20 log 4 x x (14,25 x 109) x (37506 x 103) +
2.997925 x 108
1,6 – 10 log (1,38 x10-23) – 10 log (36 x 106)
= 26,541 dB

2. Down-link (11,95 GHz)


- Free Space Loss
60
Dengan menggunakan rumus 3.7 maka diperoleh nilai:
2
FSL = 4 x x (11,95 x 109) x 37506 x 103
2,997925 x 108

= 3,529 x 1020
= 10 log 3,529 x 1020
= 207,006 dB
- Noise Bandwidth
Noise bandwidth up-link akan bernilai:
NB = 10 log 36 x 106
= 75,56 dB Hz
- G/T stasiun bumi
Dengan menggunakan rumus 2.15 maka diperoleh nilai:
G/T = 56,3 dB – 10 log 160
= 34, 25 dB/K
- C/N down-link
Dengan menggunakan rumus 3.9 maka diperoleh nilai:
C/N dn = 44 – 0,9 – 20 log 4 x x (11,95 x 109) x (37506 x 103) +
2.997925 x 108
34,25 – 10 log (1,38 x10-23) – 10 log (36 x 106)
= 24,873 dB

3. C/N total
Dengan menggunakan rumus 3.10 maka diperoleh nilai:

DAFTAR PUSTAKA

61
1. G.Winch Robert, “Telecommunication Transmission Systems”, McGraw-Hill,
1993
2. Maral G and Bousqet M, “ SATTELITE COMMUNICATION SYSTEM
(SYSTEM, TECHNIQUES AND TECHNOLOGY), 3rd edition, John Willey and
Son, England
3. Gorham P.W and D.J Rochblatt, “EFFECT OF ANTENA POINTING ERROR
ON PHASE STABILITY AND INFEROMETIC DELAY “, TDA Progress
Report 42-132, 15 Februari 1996
4. R Wetz James, ” SPACECRAFT ATTITUDE DETERMINATION CONTROL”,
Kluwer Academic Publisher, Netherland, 1999
5. ITU - R , Recommendation 740, “ Technical Coordinate Methode For Fixed
Satellite Network”, ITU - R , 1992
6. ITU - R , Recommendation 456.5, “REFERENCE EARTH- STATION
RADIATION PATTERN FOR USE IN COORDINATION AND
INTERFERENCE ASSESSMENT IN THE FREQUENCY RANGE FROM
2 TO ABOUT 30 GHz ”, ITU - R , 1993
7. ITU - R , Recommendation S 741.2, “ CARRIER TO INTERFERENCE
CALCULATION BETWEEN NETWORK IN THE FIXED SATELLITE
NETWORKS”, ITU – R , 1994
8. ITU-T, “ HANDBOOK ON SATTELITE COMMUNICATION: FIXED
SATTELITE SERVICE”, International Sattelite Union, Geneva, 1988

62

You might also like