You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang Masalah

1
1.2 Rumusan Masalah
Sementara untuk membatasi kajian makalah ini, maka diajukan beberapa pertanyaan
sekaligus sebagai rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana latarbelakang terbentuknya ICMI?
2. Bagaimana pengaruh Habibie sebagai pemimpin dan tokoh ICMI?
3. Bagaimana Perkembangan awal ICMI pada masa Orde Baru ?
4. Bagaimana Dampak dan Pengaruh adanya ICMI?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan latar belakang terbentuknya ICMI.
2. Menjelaskan mengenai pengaruh Habibie sebagai pemimpin dan tokoh ICMI.
3. Mendeskripsikan perkembangan awal ICMI pada masa Orde Baru.
4. Menjelaskan dampak dan pengaruh ICMI.

1.4 Manfaat penelitian


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai upaya untuk memahami lebih dalam mengenai perjalanan organisasi Islam di
Indonesia khususnya masa pemerintahan Orde Baru.
2. Menelusuri sikap dan kebijakan pemerintah Orde baru terhadap masyarakat Muslim.
3. Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan kita tentang Islam pada masa
pemerintahan Orde Baru.
4. Makalah ini diharapakan dapat menjadi rujukan dalam penulisan berikutnya khususnya
mengenai Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).

1.5 Sistematika penulisan


Penulisan makalah ini tersusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini dikemukakan mengenai latar belakang masalah,
perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, Manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.

2
Bab II Pembahasan, yang berisi mengenai pokok-pokok pembahasan mengnai hal yang
penulis kaji yaitu mengenai kelahiran ICMI dan awal perkembangannya, disini penulis akan
menjelaskan dan menjawab semua yang dipertanyakan dalam rumusan masalah.
Bab III Kesimpulan, pada bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan yang penulis
dapatkan setelah mengkaji permasalahan yang telah diajukan sebelumnya.

3
BAB II
IKATAN CENDIKIAWAN MUSLIM INDONESIA
(ICMI)
2.1 Terbentuknuya ICMI
2.1.1 Latar belakang terbentuknya ICMI
Sejak tahun 1966, Indonesia berada dibawah pemerintahan orde baru, suatu rezim
(kekuasaan) yang didukung oleh angkatan bersenjata, dan dipimpin oleh Presiden Soeharto,
seorang pensiunan Angkatan Darat. Orde baru mulai memegang tampuk pemerintahan pada
tanggal 1 Oktober 1965 pada saat terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap enam Jenderal
Angkatan Darat yang didalangi oleh perwira-perwira muda pengawal Presiden Soekarno dan
PKI. Mayor Jenderal Soeharto, yang pada saat itu menjabat sebagai komandan KOSTRAD
mengambil langkah pengamanan di ibukota serta kota-kota lain diseluruh Indonesia. Partai
Komunis Indonesia kemudian dibubarkan, dan ratusan ribu anggota dan pendukungnya dibunuh,
rezim Soekarno yang diduga terlibat dalam pemberontakan PKI disingkirkan dari kekuasaan.
Dari tahun 1960 hingga tahun 1980 didalam pemerintahan orde baru terdapat apa yang
dinamakan golongan ekstrim kanan, yang terdiri dari golongan Muslim yang militan dan
bertujuan mendirikan negara Islam. Secara perlahan-lahan golongan ekstrim kanan disingkirkan
dari pemerintahan dan kehidupan politik. Perlakukan semacam ini tidak terlepas dari kehidupan
politik masa lalu, yaitu pada masa pendudukan Jepang dan masa perang kemerdekaan. Golongan
militer yang berasal dari masa-masa penjajahan dulu, cenderung untuk dikuasai oleh golongan
yang tidak beragama Islam atau non-Islam.
Sampai tahun 1950-an, golongan anti Islam semakin berpengaruh didalam kehidupan
politik, termasuk didalam Angkatan Bersenjata. Didalam sidang parlemen hasil pemilihan umum
tahun 1955 telah diperdebatkan terutama mengenai ediologi negara, yaitu apakah akan tetap
berdasarkan Pancasila atau berubah menjadi negara Islam. Masyumi sebagai salah satu partai
politik Islam terbesar pada tahun 1950 telah berjuang kearah tersebut disidang parlemen sejak
tahun 1957, hingga dibubarkan dengan keputusan Presiden pada tahun 1959. Masyumi sendiri
dibubarkan pada tahun 1960 sebagian disebabkan oleh perjuangannya untuk membentuk negara
Islam, dan yang lebih penting lagi adalah sebagian dari anggotanya terlibat pemberontakan
didaerah pada tahun 1950-an.

4
Pada tahun 1973 dibentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), namun dilarang untuk
menggunakan nama Islam. Pada tahun 1984 semua partai politik diwajibkan untuk menjadikan
Pancasila sebagai azas tunggal, serta mendesak PPP untuk membuka keanggotaannya bagi
mereka yang non-muslim. Semenjak akhir tahun 1960 sampai pertengahan tahun 1980 telah
terjadi beberapa tindak kekerasan yang dituduhkan kepada golongan Islam, seperti pembajakan
pesawat Garuda, pemboman bank milik WNI keturunan Cina, dan peledakan candi Borobudur,
serta bentrokan fisik didaerah-daerah, peristiwa Tanjung Priok dan sebagainya.
Sejak pertengahan tahun 1980 pandangan pemerintah orde baru terhadap Islam mulai
berubah. Sikap resmi pemerintah terhadap beberapa tuntutan kalangan Islam mulai melunak,
sebagai contoh larangan berjilbab disekolah-sekolah dihapuskan, pengajuan ke parlemen tentang
peradilan Islam, modifikasi hukum Islam, hukuman terhadap majalah/tabloid yang dianggap
menghina Nabi besar Muhhammad SAW, penghapusan Porkas/SDSB, dan pembentukan bank
yang didasarkan pada syariat Islam. Pada tahun 1990 Presiden beserta keluarga menunaikan
hukum Islam yang ke lima, yaitu Haji. Dan pada tahun 1991 Presiden Soeharto memberikan
dukungan terhadap berdirinya suatu organisasi cendikiawan Muslim dengan nama ICMI,
dibawah pimpi nan B.J Habibie. Pembentukan ICMI sendiri telah mengundang pihak-pihak yang
pro dan kontra.

2.1.2 Kronologis kelahiran ICMI

Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia disingkat ICMI adalah sebuah organisasi


cendekiawan muslim di Indonesia. ICMI dibentuk pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah
pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990. Di
pertemuan itu juga dipilih Baharuddin Jusuf Habibie sebagai ketua ICMI yang pertama.

Kelahiran ICMI bukankah sebuah kebetulah sejarah belaka, tapi erat kaitannya dengan
perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri. Menjelang akhir dekade 1980-an
dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi.

Seiring dengan itu semangat kebangkitan Islam di belahan dunia timur ditandai dengan
tampilnya Islam sebagai ideologi peradaban dunia dan kekuatan altenatif bagi perkembangan
perabadan dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu

5
berarti hegemoni mereka terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban
lahir dari perasaan Barat yang subyektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang
sedang bangkit kembali sehingga mengancam dominasi peradaban Barat. Kebangkitan umat
Islam ditunjang dengan adanya ledakan kaum terdidik (intelectual booming) yang di kalangan
kelas menengah kaum santri Indonesia. Program dan kebijakan Orde Baru secara langsung
maupun tidak langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern,
berwawasan kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat pada institusi-
institusi modern. Pada akhirnya kaum santri dapat masuk ke jajaran birokrasi pemerintahan yang
mulanya didominasi oleh ?kaum abangan? dan di beberapa tempat oleh non muslim. Posisi
demikian jelas berpengaruh terhadap produk-produk kebijakan pemerintah.

Dengan kondisi yang membaik ini, maka pada dasa warsa 80-an mitos bahwa umat Islam
Indonesia merupakan mayoritas tetapi secara teknikal minoritas runtuh dengan sendirinya.
Sementara itu, pendidikan berbangsa dan bernegara yang diterima kaum santri di luar dan di
dalam kampus telah mematangkan mereka bukan saja secara mental, tapi juga secara intelektual.
Dari mereka itulah lahir critical mass yang responsif terhadap dinamika dan proses pembangunan
yang sedang dijalankan dan juga telah memperkuat tradisi inteletual melalui pergumulan ide dan
gagasan yang diekpresikan baik melalui forum seminar maupun tulisan di media cetak dan buku-
buku. Seiring dengan itu juga terjadi perkembangan dan perubahan iklim politik yang makin
kondusif bagi tumbuhnya saling pengertian antara umat Islam dengan komponen bangsa lainnya,
termasuk yang berada di dalam birokrasi.

2.1.3 Detik-detik Kelahiran ICMI

Kelahiran ICMI berawal dari diskusi kecil di bulan Februari 1990 di masjid kampus
Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. Sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan
kondiri umat Islam, terutama karena “berserakannya” keadaan cendekiawan muslim, sehingga
menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan umat Islam. Masing-masing kelompok sibuk
dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara parsial sesuai dengan aliran dan profesi
masing-masing.

6
Dari forum itu kemudian muncul gagasan untuk mengadakan simposium dengan tema,
“Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas” yang direncanakan akan
dilaksanakan pada tanggal 29 September - 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri dari
Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para
pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo. Dari hasil
pertemuan tersebut pemikiran mereka terus berkembang sampai muncul ide untuk membentuk
wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional. Kemudian para mahasiswa tersebut
dengan diantar Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan Syafi?i Anwar menghadap
Menristek Prof. B.J. Habibie dan meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim
dalam lingkup nasional. Waktu itu B.J. Habibie menjawab, sebagai pribadi beliau bersedia tapi
sebagai menteri harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Beliau juga meminta agar
pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan dukungan secara
tertulis dari kalangan cendekiawan muslim. Sebanyak 49 orang cendekiawan muslim menyetujui
pencalonan B.J. Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan muslim tersebut.

Pada tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya, B.J. Habibie
memberitahukan bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim itu disetujui
Presiden Soeharto. Beliau juga mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim itu diberi nama,
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, disingkat ICMI.

Tanggal 28 September 1990, sejumlah cendekiawan muslim bertemu lagi dalam rangka
persiapan simposium yang akan diselenggarakan bulan Desember. Pada tanggal 25-26
November 1990, sekitar 22 orang cendekiawan yang akan membentuk wadah baru berkumpul di
Tawangmangu, Solo dalam rangka merumuskan beberapa usulan untuk GBHN 1993 dan
pembangunan Jangka Panjang Tahap kedua 1993-2018 serta rancangan Program Kerja dan
Struktur Organisasi ICMI.

Pelaksanaan simposium sempat terganggu oleh gugatan tentang rencana B.J. Habibie
sebagai calon Ketua Umum ICMI karena beliau sebagai birokrat. Kepemimpinannya
dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap kebebasan para cendekiawan muslim. Tanggal
30 November - 1 Desember, panitia secara khusus mengadakan rapat untuk menjawab isu negatif
soal pemilihan Habibie. Dari pertemuan tersebut menghasilkan beberapa komitmen, pertama,

7
berdirinya ICMI merupakan ungkapan syukur umat Islam yang mampu melahirkan sarjana dan
cendekiawan. Kedua, untuk memimpin ICMI diperlukan tokoh cendekiawan muslim yang
reputasi nasional dan internasinal serta dapat diterima oleh umat Islam, masyarakat Indonesia
maupun pemerintah. Ketiga, hanya Unibraw salah satu wahana keilmuan yang cukup pantas
melahirkan organisasi itu, apalagi pemerkasanya adalah mahasiswa univeritas tersebut. Halangan
juga sempat datang dari aparat keamanan setempat. Dalam rapat gabungan antara penyelenggara,
pemda dan aparat keamanan di Surabaya, empat hari menjelang acara, aparat keamanan
mempersoalkan pembentukan organisasi tersebut.. Tapi Abdul Aziz Hosein yang menghadiri
acara tersebut sebagai panitia penyelenggara mengatakan bagaimanapun ICMI akan terbentuk
karena presiden sudah menyetujui dan AD/ART-nya sudah disusun.

Tanggal 7 Desember 1990 merupakan lembaran baru dalam sejarah umat Islam Indonesia
di era Orde Baru, secara resmi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk di
Malang. Saat itu juga secara aklamasi disetujui kepemimpinan tunggal dan terpilih Bahharuddin
Jusup Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Dalam sambutannya beliau
mengatakan bahwa dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan umat Islam,
tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena itu juga
merupakan tugas utama.

2.2 Habibie Sebagai Ketua ICMI


Pigur Habibie sebagai ketua ICMI adalah faktor yang mesti diperhitungkan, tatkala kita
ingin memaparkan posisi dan peran politik ICMI. Sejak menjadi ketua ICMI, Habibie mencuat
keatas pentas politik bukan lagi dalam kapasitasnya sebagai teknolog semata, melainkan sebagai
aktor politik yang kian penting. Hal ini sangat didukung oleh beberapa hal yang berkumpul pada
diri Habibie, antaralain: kecakapannya sebagai ahli rekayasa pesawat terbang berkaliber
internasional, kedudukannya dalam lebih dari 25 posisi strategi, mulai dari menristek hingga
sebagai koordinator harian dewan pembina Golkar, sikap hidup beragamannya yang taat, yang
belakangan menjadi terpublikasiskan ketika ia menjadi calon ketua ICMI, kemampuannya
menangkap “pelajaran politik dari presiden Soeharto yang dianggapnya sebagai guru besar

8
dalam bidang ini ” dan lebih dari semua itu, kesangat-dekatannya dengan presiden Soeharto yang
memungkinkannya berbicara empat mata selama berjam-jam.
Belakangan terbukti pula bahwa Habibie adalah seorang aktor politik yang tidak dapat
diabaikan begitu saja. Hal ini terutama terlihat ketika ia melakukan gebrakan dengan pendekatan
atau rekonsiliasi politiknya terhadap tokoh-tokoh petisi 50 yang sebelumnya tidak perbah
didekati oleh elemen kekuasaan negara. Kemampuan politik Habibie kembali menjadi pusat
perhatian ketika ia berhasil mendorong Munas V Golkar 1993, dengan memilih seorang sipil
pertama untuk jabatan ketua umum DPP Golkar.
Faktor Habibie ini merupakan sebilah pisau bermata dua bagi ICMI. Disatu sisi, pisau itu
bermanfaat bagi ICMI. Sebab, kapasitas dan kapabilitas Habibie membuat ICMI memiliki
payung kepemimpinan yang kuat dan berwiibawa, serta memiliki akses langsung kepemilik
kekuasaan paling konkrit dan luas di Indonesia. Tapi, disisi lain, ia justru merupakan ancaman
bagi ICMI. Kehadiran dan kiprah Habibie sangat potensial untuk membuat ICMI menjadi
terlampau mesra dengan kekuasaan, dan pada gilirannya mengganggu kemandirian ICMI sebagai
aktualisasi politik cendikiawan dan umat. Hal ini menjadi sangat krusial mengingat Habibie
sendiri tampaknya tidak terlampau mempersoalkan masalah kemandirian ICMI. Ini maksudnya
adalah bahwa kedepannya ICMI akan Independen atau tidak? Sehingga, kehadiran Habibie
dalam ICMI adalah sebuah persoalan yang tidak sederhana bagi ICMI.
Masa jabatan Habibie selama 10 tahun yakni dari tahun 1990-1995 dan terpilih kembali
dari tahun 1995-2000. Masa jabatan yang cukup lama, apalagi sebagai ketua pertama ICMI,
sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa Habibie membawa arah ICMI dari awal terbentuknya dan
sosok habibie tidak akan pernah bisa dipisahkan dari ICMI. Dibawah ini terdapat daftar ketua
ICMI dari tahun ketahun.

Muktamar Tanggal Ketua terpilih Periode

6-8 Desember 1990


Muktamar I Baharuddin Jusuf Habibie 1990-1995
di Kota Malang

Muktamar II 7-9 Desember 1995 Baharuddin Jusuf Habibie 1995-2000

9
di Jakarta

Muktamar 9-12 November 2000


Adi Sasono 2000-2005
III di Jakarta

Marwah Daud Ibrahim (Presidium)


Muktamar 4-7 Desember 2005
IV di Makassar Nanat Fatah Natsir (Presidium)
2005-2006
M. Hatta Rajasa (Presidium)
2006-2007
Muslimin Nasution (Presidium)
-
Azyumardi Azra (Presidium)
-
Ketua : Ginandjar Kartasasmita, Prof.
Dr. Ir. H. -

2009 Wakil Ketua : Adi Sasono. H.

2.3 Tujuan dan manfaat dibentuknya ICMI


2.3.1 Tujuan dibentuknya ICMI
Semenjak kelahirannya di penghujung tahun 1990 di kota Malang, ICMI telah mendapat
sangat banyak sorotan dari kalangan masyarakat, baik dari kalangan aktivis organisasi sosial
kemasyarakatan atau dari kalangan politisi. Pro dan kontra bermunculan yang berkaitan dengan
kehadirannya. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Bahkan, ada yang
mengungkapkan dengan kata-kata sinis, yang tentu saja tidak dilakukan secara terbuka, bahwa
ICMI merupakan "Ikatan Calon Menteri Indonesia", atau "Ikatan Cendekiawan Mualaf
Indonesia", atau organisasi yang primordialistik dan sektarian seperti yang diungkapkan oleh
Abdurrahman Wahid.
Reaksi-reaksi yang bermunculan terhadap ICMI tentu saja sangat berkaitan erat dengan
perilaku sejumlah orang di kalangan ICMI sendiri ketika organisasi ini baru saja muncul dan

10
memasuki kancah perpolitikan nasional. Dan salah satu yang sangat menonjol dari itu semua
adalah tingkat keberadaa ketua umum ICMI yang sangat high profile. Menristek Habibie sebagai
ketua umum ICMI merupakan public figure yang sangat dikenal pada hampir semua aktivitas
sosial dan politik serta ekonomi di Indonesia. Di samping sebagai Menristek, Habibie juga
menjadi direktur utama IPTN dan sejumlah industri strategis, seperti PT PAL dan PINDAD.
Bahkan, keseluruhan jabatan yang dimilikinya adalah hampir 30 posisi penting.
Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah "kedekatannya dengan presiden". Oleh
karena itu, kemudian muncul kesan atau persepsi bahwa Habibie merupakan figur yang sangat
didengar oleh presiden dan masuk akal kalau Habibie juga diangap sebagai political brooker,
bagi banyak orang, terutama bagi orang-orang ICMI. Memang, ketika masa-masa pembentukan
Kabinet Pembangunan VI, sangat banyak rumor politik yang beredar. Misalnya, bagaimana
sejumlah tokoh ICMI sudah menggantang asap, berharap untuk menjadi menteri kabinet, bahkan
tidak jarang di antara mereka yang baru saja memasuki rimba raya politik Jakarta.
Pro dan kontra ICMI pun terjadi diberbagai daerah dari berbagai kalangan, seperti di
daerah sekitar Jawa tengah dan Jawa timur, organisasi Islam Lokal melihat pembentukan ICMI
sebagai suatu usaha untuk membentuk Masyumi dengan gaya baru. Sebaliknya banyak perwira-
perwira senior beranggapan bahwa hal ini merupakan ancaman besar dari golongan ekstrim
kanan. Golongan Kristen dan para pemimpin/pemuka minoritas secara diam-diam melihatnya
sebagai semakin kuatnya pertumbuhan penganut politik Islam. Sementara sebagian besar tokoh-
tokoh Islam menyambut baik terbentuknya ICMI.
Abdurrachman Wahid, ketua Nahdatul Ulama/NU justru melihatnya sebagai suatu
kemunduran terhadap sekularism dan primodalism dalam kehidupan politik nasional. Ia
berpandangan, bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia sebaiknya tidak didasarkan kepada
partai politik yang berdasarkan agama. Namun demikian sebagian besar pimpinan dan anggota
NU tidak sependapat dengan Abdurrachman Wahid, bahkan mereka ini menjadi aktivis ICMI.
Ada dua aliran atau pendapat mengapa pemerintah berubah ”kealiran kanan”. Pendapat
pertama menekankan pada kekuatan politik yang menginginkan Islamisasi masyarakat Indonesia
dan kebudayaan. Sedangkan aliran yang lain melihatnya dari aspek yang lebih sempit, yaitu
pertentangan antara kalangan elite penguasa. Dan pandangan yang kedua adalah berdasarkan
argumentasi bahwa Presiden Soeharto pada tahun 1991 telah memberikan dukungan dengan
berdirinya ICMI sebagai suatu kekuatan politik yang potensial. Peranan ICMI dapat dilihat

11
sebagai pola yang strategis didalam politik Orde Baru, dimana Presiden Soeharto telah memilih
pimpinan Golkar dari kalangan luar ABRI yang setia terhadap beliau dan mampu memenangkan
Golkar secara mutlak dalam Pemilu yang akan datang.
Pandangan yang lebih menarik serta persuasif disampaikan oleh Robert Hefner dari
Boston University. Pertama ia percaya bahwa golongan Abangan/Santri memegang peranan
penting didalam kehidupan berpolitik di Indonesia sejak tahun 1950-an. Walaupun sembilan
puluh persen penduduk Indonesia beragama Islam, dalam pemilihan umum tahun 1955 hanya
menang empat puluh persen dari jumlah suara yang berhak memilih. Sebagian besar Santrinisasi
pada tahun 1970-an dan 1980-an merupakan petunjuk dari kepentingan dan budaya politik pada
tahun 1990-an yang berbeda tajam dari tahun 1950-an.
Pandangan Hefner yang kedua adalah banyak dari Santri-Santri baru menjadi anggota
dari kelas menengah yang mendapat pendidikan modern. Pandangan agamanya moderat serta
memiliki toleransi terhadap golongan bukan Muslim dan golongan agama lainnya. Tokoh utama
dari golongan menengah adalah Nurcholis Madjid, seorang pemikir dan penulis yang selama
lebih dari dua puluh tahun mencari dan belajar dari berbagai pandangan mengenai Muslim
sekular. Nurcholis Madjid meraih gelar Ph.D-nya dari University of Chicago. Ia seorang
Profesor di berbagai universitas Islam dan memimpin Yayasan Paramadina.
Pandangan Hefner yang ketiga adalah dukungan Soeharto terhadap kegiatan Islam,
termasuk hubungannya dengan ICMI, didukung sangat kuat oleh kenyataan terjadinya perubahan
dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan menengah di daerah pedalaman. Pendirian
ICMI merupakan langkah penting dalam rangka memperoleh dan mengarahkan moral golongan
menengah didaerah serta pedalaman. Keanggotaan ICMI telah tumbuh dari 11000 pada Agustus
1992 menjadi 40000 pada bulan Maret 1993. Ketuanya B.J Habibie pernah mengatakan untuk
merekrut satu orang dari setiap Muslim menjadi anggota organisasinya.
Hefner menyimpulkan bahwa sejarah ICMI mengingatkan kita, bahwa formula- formula
yang dipergunakan terhadap kegiatan-kegiatan politik dan agama di Indonesia tidak lagi cukup
untuk memahami pembahasan-pembahasan tentang Islam dan budaya di Indonesia. Pandangan
Hefner yang pertama dan kedua pada dasarnya dapat dibenarkan, namun demikian ada hal-hal
penting yang masih perlu dipertanyakan. Dalam mendukung pendapat Hefner, banyak para
pengamat memberikan komentarnya mengenai Islamisasi mesyarakat dan pemerintahan selama
masa Orde Baru.

12
2.3.2 Falsafah Dasar ICMI
1. Carilah titik temu pendapat para Ormas Islam dan para anggotanya.
2. Kembangkan titik-titik temu tersebut menjadi garis temu.
3. Kembangkan garis-garis temu tersebut menjadi permukaan – permukaan temu.
4. Rekatkan sepanjang masa sampai ke akhirat permukaan-permukan temu terseut dengan
ajaran kitab suci Al-Qur’an.
2.3.3 Prinsip Dasar ICMI
Adapun Prinsip Dasar ICMI yaitu 5 K :
1. Meningkatkan Kwalitas Berpikir
2. Meningkatkan Kwalitas Bekerja
3. Meningkatkan Kwalitas Berkarya
4. Mneingkatkan Kwalitas Iman dan Taqwa seimbang dengan penguasaan Kwalitas Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
5. Meningkatkan Kwalitas Hidup.
2.3.4 Manfaat ICMI
Tampilnya ICMI kepermukaan panggung politik Indonesia memberikan banyak
pendapat mengenai apa manfaat dari dibentuknya ICMI?. Dalam hal ini penulis lebih terbuka
dalam menganalisis manfaat dari ICMI, karena setiap kalangan pasti mempunyai pendapat yang
berbeda. Tarikan ICMI dalam panggung politik nasonal sangat kuat nuansanya sebagai bentuk
perjuangan umat Islam untuk mendapatkan akses dari negara. ICMI tampaknya juga
diformat sebagai politik Islam yang santun dan tidak mengancam status-quo regim. Bahkan
analis lain dari Hefner lebih melihat bahwa ICMI lebih sebagai produk regim yang mulai
mencari legitimasi baru dari umat Islam yang mayoritas. Sementara orang lain mensinyalir
bahwa ICMI adalah kekuatan Politik Islam dari kalangan cendikiawan Muslim untuk
mencoba menawarkan Islam secara lebih terlembaga tanpa harus melakukan bentuk oposisi
dan mempertentangkan dengan asas kenegaraan.

Fenomena ICMI menjadi sangat transparan sebagai media politik Islam ketika SU
MPR 1993 (dua tahun setelah ICMI dibentuk) dimana ICMI dianggap mampu memberikan
kontribusi dalam mendekatkan hubungan dengan negara, sekaligus menempatkan posisi pribadi-
pribadi muslim dalam lembaga strategis. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah ICMI, pada

13
tahun 1995 tampaknya terjadi pergeseran makna tentang pola ini, ICMI difahami sebagai
kendaraan politik (menjadi Islam Politik) dari pribadi-pribadi yang ingin menduduki
kekuasaan. Hal ini pulalah yang kemudian memancing kontroversial tentang kinerja
ICMI, yang kemudian ICMI semakin tersudutkan dalam titik nadir dengan menempatkan
ICMI sebagai sebuah media korporatis negara untuk mengkooptasi kekuatan Islam. Bahkan
sinyalemen ini semakin menguat dengan tampilnya Habibie sebagai Wakil Presiden, dan
akhirnya menjadi presiden, di mana susunan kabinet Reformasi Pembangunan lebih diwarnai
sosok ICMI dibandingkan ormas yang lain.

2.4 Perkembangan ICMI


2.4.1 ICMI Bersama Habibie
Ketika ICMI dilahirkan di Malang, banyak kalangan ketika itu menilai konstalasi peta
politik berubah, meskipun ICMI bukan sebuah partai politik, tapi individu-individu didalamnya
banyak dikenal ketokohannya seperti Imanuddin Abdurrahim, M. Amin Rais, Nurcholis Madjid,
Dawam Raharjo dan tokoh lainnya. Awal pembentukan ICMI membuat rezim pada masa itu
khawatir akan pengaruhnya, namun posisi Habibie ketika itu menjadi jaminan bahwa ICMI tidak
akan bermain api dengan penguasa ketika itu, yaitu Presiden Soeharto.
Tak bisa dipungkiri bahwa ICMI akan mampu melahirkan tokoh-tokoh pemimpin
nasional yang cerdas, kritis dan memang akhirnya banyak tokoh-tokoh ICMI yang duduk
dipemerintahan. Disatu sisi ICMI membuat umat Islam bangga ketika itu, dan setelah itu tidak
sedikit mereka menjadi orang-orang yang mewarnai dan mengambil keputusan di pemerintahan.
Suasana ini membuat banyak para tokoh mulai berani menyuarakan susuatu yang tidak adil.
Kasus "terpanas" adalah Free Fort, sekitar tahun 1997 Amien Rais yang ketika itu sebagai
Dewan Pakar ICMI bersuara lantang bahwa pembagian hasil tambang emas Free Fort lebih
menguntungkan pihak luar. Kasus Free Fort ini membuat Soeharto ketika itu menjadi berang,
lalu meminta kepada Habibie agar Amien Rais "disingkirkan" dari ICMI. Permintaan ini
membuat Habibie dilematis karena ia dekat dengan Amien Rais, sementara Soeharto ketika itu
penguasa yang sangat kuat. Akhirnya Amien Rais sendiri mengundurkan diri dari Dewan pakar
ICMI setelah melihat posisi Habibie seperti itu.
Ketika era reformasi yang digulirkan mahasiswa tahun 1998 membuat banyak tokoh
turun untuk mendirikan dan bergabung dengan partai politik, dengan tujuan dapat memperoleh

14
kekuasaan. Reformasi bergulir dengan cepat, Soeharto turun, Dwifungsi ABRI di cabut, UUD
1945 diamandemen. Perubahan ini berjalan demikian cepat, sementara itu ICMI seperti
kenderaan kosong. Hiruk pikuk reformasi, disikapi dengan berbagai kepentingan-kepentingan
jangka pendek bagaimana bisa menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, atau anggota dewan.
Meskipun demikian ruh kecendikiawanan para tokoh dan mahasiswa Islam masih hidup.
Meskipun geliatnya secara politis tidak bergema dengan lincah di kanca nasional, hal ini kuat
terlihat setelah Habibie tidak lagi memimpin ICMI. Terasa ada sesuatu semangat yang hilang
ketika itu, mungkin "icon" imtaq dan iptek melekat pada vigur Habibie. Akhirnya, realitas
perjalanan ICMI dan geraknya pada muktamar ke IV di Makasar belum melahirkan hasil-hasil
yang dipandang dan dirasakan langsung oleh umat. Orang-orang "tua" di ICMI pasca muktamar
tidak terlihat geliatnya, terlebih-lebih diberbagai wilayah dan daerah. Apakah ICMI mati suri?.

2.4.2 Perjalanan ICMI Selanjutnya


Mengapa ICMI Gagal Membidani Perubahan? Pernyatan tersebut, menjadi penting
karena terikat dengan berbagai gagasan dasar ICMI tentang : (1) pembangunan manusia
seutuhnya dan masyarakat seluruhnya, (2) Pembangunan dan perubahan sosial, serta (3)
keterampilan dan responsibilitas. Mengapa semua itu, harus terbuai pasca kejatuhan B.J. Habibie
yang menjadi icon ICMI?.
Mungkin salah, tetapi bisa jadi justru benar bahwa terjadi sebuah kudeta spiritualistik
tentang gagasan organisasi kecendikiawanan muslim yang digagas oleh sekumpulan pemuda-
mahasiswa di malang. Ketika para pemuda muslim itu “memaksakan” sebuah spirit cendekiawan
muslim untuk sebuah perubahan, maka sekelompok para cendekiawan senior merasa diberikan
justifikasi ruang yang lebih elegan dalam politik. Sejauh apapun itu diingkari, akan semakin
dirasakan dalam perjalanan ICMI di era Reformasi.
ICMI secara sadar mengkooptasi diri dengan politik, dengan melakukan proses penetrasi
partisipasi massif (mobilisasi kekuatan islam di Indonesia) dua tahun sejak berdiri sampai pada
pemilu tahun 1992. sekali lagi tidak dapat dipungkiri, bahwa peran ICMI menjadi sangat
fundamental dibidang politik pasca pemilu tahun 1992, sehingga muncullah anekdot plesetan
tentang ICMI sebagai sinonim dari Ikatan Calon Menteri Indonesia. Meskipun dari ruang politik
itu, ICMI mampu melakukan terobosan-terobosan penting dibidang ekonomi.

15
Tetapi yang pasti, 5 tahun pasca terbentuknya, ICMI telah “dikuasai” oleh segerombolan
para cendikiawan muslim yang patrilinial. ICMI difeodalisasi dalam sebuah hirarkhi pendidikan
yang formalistik meski tidak sepenuhnya terjadi, ICMI telah menjadi hegemoni yang tidak lagi
egaliter. Posisi cendikiawan muslim muda, digradasi dalam sebuah lembaga bernama Majelis
Sinergi Kalam (Masika) sebuah ruang sempit yang disisakan untuk generasi muda.
Spritualisme cendekiawan muda muslim yang menjadi akar dari terbentuknya ICMI,
tidak setengahnya ditangkap dan dikembangkan. ICMI berubah menjadi sebuah “monster” dalam
perspektif politik Indonesia, yang dinilai oleh presiden Soeharto saat itu, sebagai sebuah
kekuatan berbahaya yang harus diakomodasi kepentingangnya untuk menutupi segala kejahatan-
kejahatan orde baru. Maka jadilah ICMI sebagai sebuah organisasi maha penting untuk sebuah
sarana kepentingan politik bagi serombingan para cendekiawan-cendekiawan muslim. Dalam
periode politik 1992-1997 sangat sulit menemukan cendekiawan muslim di Indonesia yang tidak
tergabung dalam ICMI.
Spritualisme pemuda yang menggagas ICMI semakin tidak relevan hingga detik-detik
akhir hayat pemerintah orde baru. ICMI bahkan tidak secara signifikan mengambil peran
formalistic dari sebuah gelombang besar spiritual para pemuda yang memiliki kepekaan
komitmen terhadap perubahan, bahkan sebelumnya, Amien Rais seorang tokoh cendekiawan
muslim yang memilki kepekaan dan komotmen terhadap perubahan di pecat dari ICMI.
Gelombang besar itu, tidak saja menjatuhkan segala benteng ideologis orde baru, tetapi
menjadi sebuah awal dari tsunami bagi organisasi ICMI yang terlibat sangat sentral dalam masa-
masa akhir orde baru. Puncak dari tsunami itu adalah penolakan laporan pertanggung jawaban
preside B.J. Habibie dalam siding MPR/DPR. Hungga sewindu reformasi berlalu, sampai pada
muktamar ke IV ICMI di Makssar bulan Desember 2005, ICMI belum sepenuhnya pulih untuk
kembali mengembang “pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya”.

2.4.3 ICMI MUDA


Desember 2005 di Makassar, spirit para cendekiawan muslim muda di Malang
mengalami sebuah metastase sejarah. Menjadi sebuah latar depan dari kemunculan kembali
spirit dasar tentang perubahan yang di bingkai dari kesadaran tentang pluralitas, demokrasi, dan
egaliter. Keyakinan tentang pentingnya sebuah visi strategis dalam mengusung sebuah tanggung

16
jawab besar yang “terlanjur” dilekatkan di pundak para cendekiawan muslim Indonesia melalui
ICMI tepat 15 tahun yang lampau.
Metastase sejarah itu bertumpu pada dua subtansi. Pertama adalah substansi historis
tentang peran sentral para pemuda dan kesetiaanya dalam mengawal sebuah perubahan, sejak
berdirinya Boedi oetomo yang memberikan sebuah arah perubahan gerakan nasionalisme di
Indonesia, lalu di cetuskannya sumpah pemuda yang menjadi kostruksi bangsa Indonesia,
“penculikan” soekarno yang dibarengi dengan “pemaksaan” untuk memproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia yang menjadi titik tumpu berdirinya Negara Republik indonesia,
hingga pendudukan kantor MPR/DPR yang menjadi awal berlangsungnya reformasi di Indoesia.
Kedua, metastase sejarah juga bertumpu pada ruang depan melalui konsep long march
tahap II yang dikemukakan oleh bapak B.J Habibie dalam muktamar IV ICMI di Makassar akhir
tahun 2005. Fase kedua ICMI adalah sebuah fase global yang membuat tugas ICMI tidak
semakin ringan. Kesadaran tentang perjuangan untuk membangun kualitas manusia (5 K ICMI)
akan semakin membutuhkan energi yang besar, sebuah energi dinamis yang progresif yang
umumnya dimiliki oleh para cendekiawan muslim muda.
Metastase sejarah itu muncul melalui gagasan tentang organisasi dalam payung ideologis
ICMI yang menghimpun para cendekiawan-cendekiawan muslim muda yang setiap tahunnya
jutaan ditelurkan dari pendidikan-pendidikan formal akademik di seluruh Indonesia. Sebuah
organisasi yang menghimpun para cendekiawan muslim muda yang sifatnya lebih strategis dan
sinergik dengan ICMI daripada Majelis Sinergi Kalam (Masika).
Seperti halnya spirit awal daripada pemuda muslim di Malang yang dalam situasi hujan,
dingin, dan basah di Makassar digagas tentang ICMI Muda disambut dengan sebuah visi
strategis yang tidak berubah, ICMI Muda disambut dengan sangat egaliter oleh Bapak B.J.
Habibie dan Bapak Muislimin Nasution selaku ketua umum ICMI, sebagai jawaban strategis dan
visioner atas tantangan-tantangan ICMI melakoni fase perjalanan panjang tahap ke II.
ICMI muda atau para cendekiawan muslim muda Indonesia yang berproses secara sehat
dalam visi dan misi ICMI, adalah sebuah simbolisasi dari kebangkitan ICMI. Hanya dalam
hitungan minggu, gagasan tentang organisasi cendekiawan muslim muda dibawah payung ICMI
mendapat tanggapan dan respon positif dari lebuh dari seribu tokoh-tokoh cendekiawan muslim
muda dari seluruh Indonesia yang melakukan deklarasi terbentuknya ICMI Muda di berbagai dan
daerah. Terlepas Dari kontroversi internal ICMI atas kuatnya respon organisasi yang lebih

17
spesifik menaungi para cendekiawan muda di lingkungan ICMI. Para cendekiawan muslim muda
yang mendeklarasikan ICMI Muda, sesungguhnya berangkat dari sebuah respon atas fenomena
internal ICMI dan bertumpu pada komitmen sebagai cendekiawan muslim muda untuk
melakukan partisipasi strategis secara langsung terhadap pembangun masyrakat madani di
Indonesia.
Para cendekiawan muslim muda yang tergabung dalam deklarator ICMI Muda se-
Indonesia adalah sebuah cerminan konsep pluralitas, demokrasi, dan egaliter. Berbagai kalangan
tokoh cendekiawan muslim muda yang memiliki komitmen terhadap perubahan tergabung,
membuat ICMI Muda lekat dengan konsep “pelangi”. Para cendekiawan Muslim Muda dari
kalangan akademisi, politisi, budayawan, seniman, wartawan, LSM, pengusaha, dll dan dari
berbagai latar belakang organisasi seperti KNPI, HMI, KAMMI,PMII, IMM, Hizbut Tahrir,
Muhammadiyah, NU, dan sebagainya bergabung dalam sbuah spirit yang sama. Spirit yang
berkecambah di Malang.
Berbeda dengan organisasi massa lainnya yang menempatkan organisasi kepemudaannya
hanya dalam misi pengkaderan. ICMI MUDA lebih mengarah pada sebuah gerakan yang kurang
lebih sejajar dengan ICMI. Seperti sebuah laras senapan yang secara bersamaan dapat
memberikan kekuatan penetrasi yang lebih dahsyat untuk melakukan perubahan-perubahan
social menuju masyrakat Madani. Bahkan ICMI Muda siap untuk menjadi sebuah anak panah
dari sebuah busur bernama ICMI untuk melakukan perubahan-perubahan strategis. ICMI Muda
yang menhimpun dan mengakomodasi para cendekiawan muslim muda Indonesia, adalah sebuah
“nyawa” dari “jiwa” ICMI. Dan ICMI adalah sebuah “jiwa” bagi ICMI Muda. Relasi “jiwa”
dari “nyawa” adalah sebuah relasi subtansial yang terkait dengan adanya komitmen, respon, visi,
dan misi yang sama. Jiwa tanpa nyawa adalah sebuah nihilitas, sama konteksnya jika nyawa
tanpa jiwa. Jiwa dan nyawa adalah sebuah sinergi kesatuan tentang hidup dimana tubuh
bertumpu.

2.5 Pengaruh ICMI


Seperti yang sudah diutarakan diatas bahwa terjadinya pro dan kontra terhadap
terbentuknya ICMI, namun hal itu kembali lagi terhadap kepentingan setiap anggota ICMI
karena setiap orang pasti mempunyai kepentingan masing-masing walaupun terdapat dalam
sebuah ikatan yang bernama ICMI.

18
Persoalan yang muncul sejak kelahiran ICMI adalah tarik menarik antara kepentingan
intelektual murni dengan kepentingan politik. Pengembangan struktur organisasi ICMI
cenderung mengikuti jejak birokrasi. Hampir seluruh gubernur, bupati atau wali kota, dan rektor
menjadi dewan pembina atau dewan penasihat. Tak pelak lagi, ICMI dan birokrasi menjadi
berapat-rapatan. Buah pergerakan bandul lonceng ICMI ke kekuatan politik birokrasi,
mengesankan ICMI menjadi instrumen penting politik birokrasi. ICMI seperti menjadi
tunggangan Soeharto untuk mendekati umat Islam yang selama sekitar 20 tahun dipinggirkan
secara politis maupun ekonomis. Tetapi, tidak banyak yang menyadari ini. Orang seperti
Lukman Harun malah menganggap inilah saat bulan madu umat Islam dan pemerintah.
Tarik menarik ini menjadi konflik yang merebak setelah Amien Rais melempar gagasan
suksesi di Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya tahun 1993. Soeharto harus lengser pada
tahun 1998. Pada akhirnya Amien Rais berhenti dari posisi Ketua Dewan Pakar ICMI setelah
tidak mau mengendurkan kritiknya soal Busang, Freeport, KKN Soeharto, dan suksesi.
Tidak lama berkah yang diperoleh ICMI dengan kemesraannya bersama Soeharto karena
penguasa Orde Baru lebih 30 tahun itu terjungkal oleh gerakan reformasi. Salah satu tokoh
gerakan itu adalah Amien Rais yang dipecat dari ICMI. Namun pada saat itu Habibie malah naik
menjadi Presiden menggantikan Soeharto, sebenarnya ICMI tahu posisinya tidak
menguntungkan dalam pusaran arus besar kehidupan bangsa. Habibie ditempatkan sebagai
simbol kekuatan status quo yang berhadapan dengan kekuatan reformasi. Tampaknya ICMI tak
mau meninggalkan Habibie sendirian. Apalagi banyak kepentingan ICMI yang dipertaruhkan
bersama nasib Habibie. Misalnya, banyak menteri yang dari ICMI seperti Muladi, Muslimin
Nasution, Malik Fadjar, Juwono Sudarsono, Akbar Tandjung, Ali Alatas, Adi Sasono. Dipegang
pelaksana harian Ketua Umum Achmad Tirtosudiro, ICMI sering ditampilkan sebagai pembela
rezim Habibie. Dengan demikian ICMI semakin masuk pusaran besar politik praktis kepentingan
sesaat. Tidak jarang orang yang menyindir, seharusnya ICMI menjadi partai politik saja bersama
masa eforia kelahiran partai politik.
Setelah Habibie gagal memperpanjang masa jabatannya, ICMI terkesan tidak tahu harus
berbuat apa. Dari pendukung rezim yang berkuasa, seharusnya ICMI mengambil peran oposisi
pada masa rezim Abdurrahman Wahid ini. Apalagi kenyataannya, Abdurrahman Wahid
meneruskan aksi serangan dengan membabat habis orang-orang ICMI. Akan tetapi, bisa
dipahami kalau ini sulit dilakukan ICMI. Karena tidak pernah punya pengalaman mengkritisi

19
rezim yang berkuasa. Selama ini ICMI lebih menjadi legitimator kebijakan rezim Soeharto dan
Habibie. Di samping itu, tampaknya juga dipengaruhi oleh garis Habibie yang tetap ingin
memelihara hubungan baik dengan Abdurrahman Wahid agar tidak dijadikan sasaran tembak.
Keterlibatan Habibie selama 25 tahun di kabinet Soeharto, bukan mustahil ada celah untuk
dijadikan sasaran tembak.
Dari pemeparan diatas penulis menyimpulkan bahwa pengaruh ICMI adalah : (1) Antara
pemerintahan Soeharto pada tahun 1990an dengan Islam mulai adannya hubungan baik, apapun
itu tujuannya. (2) dari hubungan baik tersebut maka keterbukaan orang-orang Islam atau
organisasi-organisasi Islam terhadap birokrasi pemerintahan ataupun permasalahan pemerintahan
mulai ada. (3) terlepas dari kedekatan antara Habibie dengan Soeharto, maka pasca jatuhnya
rezim Soeharto maka Habibie menjadi pengganti Soeharto. (4). Pasca reformasi ICMI masih
menjadi organisasi Muslim yang kuat dan berpengaruh di Indonesia. (5) naiknya Abdurahman
Wahid menjadi Presiden selanjutnya adalah sebagain dari pengaruh adanya ICMI.

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

21
DAFTAR PUSTAKA

Aditjondro, G. J. (20060. Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki berkaki 3: Istana, Tangsi


dan Partai penguasa. Yogyakarta : LKIS
Hisyam, M. (2003). Krisis masa kini dan Orde baru. Jakarta: yayasan Obor.
Wahid, A et al. (1995). ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi. Bandung:Mizan
------. (2009). Latar Belakang/ Kelahiran Icmi. [Online]. Tersedia:
http://www.facebook.com/pages/ICMI-IKATAN-CENDEKIAWAN-MUSLIM-SE-
INDONESIA/49031612241?v=info. [Selasa, 5 Oktober 2010].

-----. (2009). Dewan Pakar ICMI Periode 2005-2010. [Online]. Tersedia:


http://www.facebook.com/notes.php?id=49031612241#!/note.php?note_id=60198486088.
[Selasa, 5 Oktober 2010].

Anwar, Ahyar. (2007). Metastase Historis Cendikiawan Muda Islam Indonesia Dalam
Globalmorfosis. [Online]. Tersedia:http://icmimuda.org/index.php?
option=com_content&task=view&id=40&Itemid=33. [Selasa, 5 Oktober 2010].

22
Parewangi, AM Iqbal. (2007). ICMI Muda, Meretas Jalan Sejarah. [Online]. Tersedia:
http://icmimuda.org/index.php?option=com_content&task=view&id=110&Itemid=31.
[Selasa, 5 Oktober 2010].

-----. (----). Sejarah Kelahiran ICMI. [Online]. Tersedia: http://icmijabar.or.id/?p=21. [Selasa, 5


Oktober 2010].

Liddle,R William. (----). ISLAM dan POLITIK di Masa Orde Baru. [Online].
Tersedia:http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/08/05/0088.html. [Selasa, 5
Oktober 2010].

23

You might also like