You are on page 1of 17

Puisi Amir Hamzah Bukan Sastra Sufi  

Senin, 28 Juni 2010 | 14:45 WIB

http://www.tempointeraktif.com/hg/sastra_dan_budaya/2010/06/28/brk,20100628-
259138,id.html

TEMPO Interaktif, Jakarta - Meskipun selama ini puisi-puisi sastrawan Pujangga Baru,
Amir Hamzah, sering dimasukkan sebagai karya sufistik, pengamat sastra Arief Bagus
Prasetyo cenderung menolaknya.

"Amir Hamzah bahkan dimasukkan dalam antologi sastra sufi yang disusun oleh Abdul
Hadi W.M.. Tapi, menurut saya, Amir Hamzah menjadi satu-satunya pengarang yang
bukan sufi dalam antologi itu," kata Arif dalam diskusi "Mendaras Amir Hamzah" di
Freedom Institute, Jakarta, Kamis (24/6) malam. Acara yang dipandu Nirwan Dewanto
itu juga menghadirkan Sapardi Djoko Damono sebagai pembicara.

Buku Sastra Sufi: Sebuah Atologi karya Abdul Hadi itu memuat karya-karya penyair
mistikus dan filsuf Islam terkemuka, seperti Jalaludin Rumi, Al-Hallaj, Rabiah Al-
Adawiyah, Hamzah Fansuri, Yasadipura I, Yasadipura II dan Raja Ali Haji.

Arif juga mengutip pandangan Goenawan Mohamad yang menekankan keresahan Amir
Hamzah dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai masalah pokok dalam karya Amir. A
Teeuw, kata Arif, juga mengakui hubungan Amir dengan kesastraan sufi.

Namun, Arif menunjukkan bahwa ada kontras yang nyata antara puisi sufistik dan puisi
Amir. Dia mengutip "Syair Perahu" karya Hamzah Fansuri yang menyatakan "Hamba
dan Tuhan tiada berbeda sebagai ekspresi persatuan penuh antara Tuhan dan manusia.
Tapi, puisi "Turun Kembali" karya Amir justru mempertanyakan persatuan mistis itu
("Adakah begini jadinya/aku hamba engkau penghulu") dan kemudian disangkal ("Aku
dan engkau berlainan").

Menurut Arif, kumpulan puisi Nyanyi Sunyi karya Amir mengantisipasi lahirnya puisi-
puisi yang disebut Afrizal Malna berspirit "teologi-tanpa-bersama-dewa" dalam khazanah
sastra Indonesia. Sejak Amir, terbentang jalan panjang kesunyian teologis, suatu
kontinum religiusitas penuh luka, yang dilalui banyak penyair, seperti Chairil Anwar,
Surtardji Calzoum Bachri, dan Acep Zamzam Noor.

Adapun Sapardi menampilkan puisi Amir Hamzah sebagai puisi gelap. "Bukan karena
puisi Amir sukar dipahami karena belum menguasai sepenuhnya bahasa Indonesia, tapi
justru oleh penguasaan tingkat tinggi," kata penyair yang puisinya paling sering dikutip di
kartu undangan perkawinan itu.

Sapardi mencontohkan puisi "Hanya Satu" karya Amir yang dimuat dalam antologi sajak
"Puisi Baru" yang disusun Sutan Takdir Alisjahbana. Takdir merasa perlu memberi 10
catatan kaki untuk puisi itu, terutama untuk arti kata yang dianggap sulit oleh pembaca
karena arkhaik.
AMIR HAMZAH
PAHLAWAN ROMANTIS TRAGIS

http://sastra-indonesia.com/2010/10/amir-hamzah-pahlawan-romantis-tragis/

Posted by PuJa on October 5, 2010

Petrik Matanasi *

http://sejarah.kompasiana.com/

Biarlah daku tinggal disini. Sentosa diriku disunyi sepi.


Tiada berharap tiada meminta. Jauh dunia disisi dewa.

Puisi itulah yang terukir pada nisan orang terkenal bernama Amir Hamzah. Serorang
pujangga yang namanya terus disebut dalam sejarah, khususnya sejarah sastra di
Indonesia. Pujangga Amir Hamzah telah memberikan sumbangan besarnya dalam dunia
sastra Indonesia.

Amir Hamzah adalah pahlawan yang bernasib malang—seperti halnya Oto


Iskandardinata—yang menemui ajal ditangan segelintir revolusioner buta diawal
kemerdekaan sebuah negara bernama Republik Indonesia. Sentimen terhadap feodalisme
diawal kemerdekaan Indonesia sangatlah wajar. Kebencian kaum kromo kepada kaum
feodal yang bebrabad-abad menjadi sumber penderitaan kaum kromo. Bagaimanapun
kematian Amir Hamzah di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946—seperti juga Oto
Iskandardinata—menjadi titik noda dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.

Amir Hamzah yang pahlawan Nasional itu tidak hanya hanya dikenal sebagai seorang
pujangga besar di zamannya. Amir Hamzah, semasa belajar di Jawa pernah melibatkan
diri dalam dunia pergerakan nasional Indonesia.

Sajak dan hidup Amir Hamzah

Amir Hamzah telah digolongkan dalam deretan penyair angkatan pujangga baru—Sutan
Takdir Alisyahbana, Armin Pane juga Sanusi Pane—yang paling berpengaruh. Sebagai
penyair—seperti judul buku H.B. Yassin—Amir Hamzah dinobatkan sebagai “Raja
Penyair Pujangga Baru” yang menjadi bahan pembicaraan menarik bagi penikmat sastra
Indonesia. Amir Hamzah dianggap sebagai simbol peralihan kebudayaan dan masyarakat
aristokrat feodal ke aspirasi-aspirasi persamaan derajat dalam kehidupan Indonesia
modern; ketegangan ini nampak pada konflik pribadi sekitar pernikahannya.

Tema dan sikap yang diusung Amir Hamzah dalam sajak-sajaknya, agak bersifat
romantik. Sajak-sajak dalam kumpulan pertamanya, Buah Rindu, adalah kemurungan dan
kerinduan seorang pemuda rantau dari Sumatra yang merindukan kampung halamannya.
Nyanyian Sunyi, kumpulan sajaknya yang lain, adalah pergulatan seorang pemuda yang
meninggalkan kesetiaannya dari dunia baru menuju sebuah dunia yang relijius.
Menurut buku Amir Hamzah: Radja Penjair Pujangga Baru, Yassin menulis, Buah Rindu
memuat 25 sajak, satu diantaranya terdiri dari 4 bagian dan satu dari dua bagian.
Kumpulan ini ditandai oleh kata-kata: iba, menangis, duka, sendu, merana, rindu, air
mata dan lainnya yang menyatakan kesedihan. Juga kata-kata yang menggambarkan
suasana jiwanya seperti: kelana, merantau, cinta, asmara, ratap. Kata-kata seperti: duhai
dan wahai dipakai sebagai seruan. Yassin menangkap ketidakimbangan jiwa sang penyair
—Amir Hamzah—dalam sajak Berdiri Aku:

Dalam rupa maha sempurna


Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mengetjap hidup bertentu tudju.

Tertangkap dari sajak diatas penyair merindukan kehidupan yang bahagia dimasa
depannya. Dalam sajak lainnya, Nyanyi Sunyi, Amir menggambarkannya kegoncangan
jiwanya ketika dirinya terpaksa menikah dengan putri Sultan Langkat.

Amir yang dibiayai Sultan Langkat itu pernah jatuh cinta pada seorang gadis lain—Elik
Sundari—dalam perantauannya hingga dengan paksa dinikahkan dengan putri yang
mungkin tida dia cintai sepenuh hati itu. Amir yang sedang kuliah hukum di Recht Hoge
School, Jakarta dipanggil pulang untuk menikah dan menggantikan ayahnya sebagai
datuk bendahara di Langkat. Dalam sajak Selalu Sedih yang dimuat dalam Pujangga Baru
edisi 7 Januari 1937 Amir menuliskan sajak—mungkin untuk Elik Sudari, kekasih yang
ditinggalkannya—yang melukiskan dirinya yang tidakberdaya:

Hatiku sajang selalu sedih


Selalu sendu semata salah
Sekedjap mengetjap kasih
Paksa datang menjuruh lepas

Hidup badan tiada berdaja


Dalam genggaman orang lain
Kemana kata kesana mara
Boneka daging tiada berasa

Dalam pergolakannya dia menikmati kesunyiannya itu, Amir menuliskan: “Sunyi itu
duka. Sunyi itu kudus, Sunyi itu lupa, sunyi itu lampas.” Dalam sunyi Amir berhubungan
dengan Tuhan-nya, menyelami rahasia hidup sampai akhirnya ia terperosok dalam
filsafat mistik.

Kumpulan sajak Nyanyi Sunyi kemungkinan ditulis di Jakarta semasa menjadi


mahasiswa sekolah tinggi hukum (1934-1936). Masa-masa dimana Amir dianggap
sedang mempersiapkan diri menjadi seorang pegawai sebagai persiapan pualang ke
Langkat setelah kematian ayahnya. Banyak yang menyebut: saat itu Amir sedangan
mengalami krisis diri teramat dalam. Hal ini berpengaruh dalam puisi-puisinya. Tema
utama Nyanyi Sunyi adalah pencarian penyelesaian masalah pribadi melalui pengalaman
relijius; usaha mencapai kesatuan mistik dengan Tuhan—manunggaling kawulo Gusti—
disela-sela ketidakmampuannya mengatasi kontradiksi antara cinta dan kekejaman.
Keduanya merupakan sifat Tuhan dalam hubungannya dengan manusia.

Persatuan dengan hakikat ketuhanan terhalang oleh perasaan duniawi yang tidak bisa
ditiadakan. Sifat-sifat Tuhan yang samar-samar itu tidak jarang berubah menjadi
kekejaman yang angkuh. Seperti dalam “Padamu Jua” yang sering mendapat pujian,
setidaknya pada generasi Pujangga Baru:

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap


Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau rupa tiada


Suara sayup
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila dasar


Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari bukan kawanku….

Amir Hamzah pernah diangggap destruktif terhadap bahasa-bahasa lama disatu sisi dan
secara gemilang dalam kemunculan bahasa-bahasa baru. Puisi Nyanyi Sunyi juga
dianggap duistere poezie (puisi gelap). Menurut H.B. Yassin, sangat tidak mukngkin kita
mengerti Amir Hamzah, jika kita membaca Nyanyi Sunyi tanpa membekali diri dengan
pengetahuan sejarah dan agama (Islam).
Ada pengaruh-pengaruh Melayu dalam sajak-sajak Amir Hamzah. Ini bukan hal aneh,
Amir Hamzah—yang terlahir di tanah Melayu—didalam tubuhnya memang mengalir
darah Melayu. Dalam penggunaan metafora terdapat pengaruh Persia dan India tanpa
harus menghilangkan kemelayuannya. Contoh puisi Amir Hamzah yang memiliki corak
Hinduisme terdapat dalam akhir puisi “Naik-naik.” Puisi itu terukir indah pada nisan
makam penyairnya. Bagian dari puisi itu telah saya tulis diawal tulisan ini.

Riwayat Amir Hamzah Dalam pergerakan Nasional

Amir Hamzah alias Amir Hamzah Pangeran Indera Putra, terlahir—tanggal 28 Februari
1911 di Tanjung Pura, Langkat—sebagai putra Tengku Bendahara Paduka Radja
Kerajaan Langkat. Langkat adalah Kesultanan kecil di pesisir timur Sumatra Utara.
Keluarganya yang bangsawan telah memberinya kesempatan mempelajari banyak hal;
mulai dari perdababn Islam di Melayu; juga peradaban barat.

Ayahnya, adalah penggemar sejarah dan sastra Melayu—seperti halnya orang-orang tua
pada masa itu. hal ini kelak mempengaruhi Amir Hamzah. Sering kali ayahnya
mengadakan malam-malam pertemuan dimana orang-orang membaca hikayat-hikayat
Melayu lama seperti Hikayat Amir Hamzah, Bustanus-salatun dan lain sebagainya. Cerita
yang paling diminati disana adalah cerita nabi-nabi, Qususul Anbia, namun dibacakan
dalam bahasa Melayu. Tidak jarang Amir Hamzah juga disuruh membacakan hikayat-
hikayat itu oleh ayahnya.

Amir Hamzah yang masih kecil ketika itu suka sekali dengan sastra-sastra Melayu,
kendati hanya mendengarkan saja. Membacakannya mungkin sebuah kesenangan
tersendiri bagi Amir Hamzah kecil.

Amir mulai menikmati pendidikan sekulernya di Hollandsche Inlandsche School Tanjung


Pura—sekolah dasar pribumi untuk anak-anak orang terpandang—lantaran ayahnya
orang penting di kesultanan Langkat. Setamat dari sana Amir melanjutkan ke sekolah
menengah pertamanya—Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—di Medan. Amir
hanya menjalani sekolah menengahnya ditahun pertama saja. Di tahun kedua sampai
tamat dia jalani di Christelijke MULO Mendjangan.

Bakat menulis Amir makin terasah ketika dia mengambil jurusan sastra timur di
Algemene Middelbare School (AMS)—di Solo. Pendidikan tertinggi yang pernah
diraihnya adalah di Recht Hoge School—sekolah tinggi Hukum zaman Belanda—di
Jakarta, walau hanya samapai kandidat II.

Selama disekolah menengah-lah Amir Hamzah menerima pengaruh dari berbagai aliran
sastra-sastra dunia. Amir Hamzah menerima semuanya tanpa harus kehilangan akarnya:
kebudayaan Melayu. Tidak hanya Amir Hamzah saja yang menerima pengaruh
kesusastraan dari luar ketika duduk di bangku sekolah-sekolah sekuler Belanda tingkat
menengah seperti MULO atau AMS; Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane. Hampir
semua penyair yang pernah muda atau belajar di sekolah menengah Belanda model
MULO atau AMS pada dekade 1930an, mulai mengenal sastra-sastra dunia dari sekolah
menengahnya. Chairil Anwar yang bukan angkatan Pujangga Baru juga mengenal
kesusastraan—modern barat—dari sekolah Belanda, kendati sekolahnya hanya sampai
kelas II MULO.

Ketika belajar di RHS—bersama Sutan Takdir dan Armin Pane—ditahun 1933


mendirikan Majalah Pudjangga Baru. Majalah ini terbit teratur sampai masuknya Tentara
Pendudukan Jepang di Indonesia. Tulisan Amir Hamzah yang pernah dimuat diantaranya
terdapat terjemahan Setanggi Air dan Bhagawad Gita.

Kendati seorang bangsawan (Langkat) Sumatra, dirinya mau bergabung dengan Jong
Java—Perkumpulan pemuda Jawa—yang tentu saja anggotanya pemuda dari Jawa. Amir
Hamzah terbukti telah meninggalkan sifat kedaerahannya; jadi Amir layak dicap sebagai
Nasionalis. Sebagai orang Melayu dirinya menganut: “dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung.” Terbukti dia berhasil menyesuaikan diri dan bergaul dengan tokoh-tokoh
Jawa macam: Raden Panji Singgih atau Kanjeng Raden Tumenggung Wedyodi. Di Solo,
ketika masih belajar di AMS, Amir tergabung dalam Indonesia Muda bersama Armin
Pane. Amir pernah mewakili Indonesia Muda cabang solo dalam Kongres Indonesia
Muda yang diadakan di Solo dari tanggal 29 Desember 1930 sampai 2 Januari 1931.

Keterlibatannya pada dunia pergerakan tidak lepas dari pergaulannya dengan kawan-
kawannya di sekolah. Solo, yang merupakan kota dengan masyarakat feodal, juga
menerima pengaruh pergerakannya sendiri. Riwayat pergerakan Amir Hamzah dalam
organisasi politik, tidaklah terlalu menonjol. Amir Hamzah lebih dikenal dalam
keterlibatannya di majalah sastra Pujangga Baru maupun puisi-puisinya. Keterlibatan
Amir Hamzah dalam dunia pergerakan nasinal tidak banyak yang mencatat. Nama Amir
Hamzah sendiri lebih sering dicatat dalam buku-buku sastra atau pelajaran bahasa atau
sastra Indonesia dari pada dalam buku yang mengulas dunia pergerakan nasional selama
dekade 1930an.

Dunia pergerakan secara tidak langsung ditinggalkan ketika dirinya dipanggil pulang
pada tahun 1936, sebelum kuliah hukumnya di RHS selesai. Sepulangnya di Langkat,
Amir menikah dengan Putri Tuhara, anak perempuan dari Sultan Langkat waktu itu.
Latar belakang-nya yang pernah kuliah di RHS, juga mempengaruhi kedudukan-nya di
masyrakat. Dia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai datuk bendahara kesultanan
Langkat yang telah meninggal sebelum dipanggil pulangnya Amir. Tahap kehidupan
Amir Hamzah di RHS, adalah tahap diri mempersiapkan diri menjadi pegawai dengan
belajar ilmu hukum—termasuk hukum modern dan adat.

Kepulangannya ke Langkat—yang mungkin tidak dia inginkan itu—telah memisahkan


dirinya dengan dunia pergerakan juga dengan gadis yang dia cintai. Dia harus
menanggung hidup yang tidak dia ingini: menikahi putri Sultan Langkat—yang
membiayai membiayai pendidikannya di Jawa, termasuk menemukan jati dirinya sebagai
penyair.

Raja Penyair Pujangga Baru


Semula Amir berkenalan dengan sastra Belanda melalui penguasaan bahasa Belanda-nya
yang dipelajarinya di HIS dan MULO. Amir mengenal sastra Belanda sejak duduk di
MULO Jakarta. Di AMS semakin mengasah kemampuan menulisnya. Amir juga mulai
mengenal sastra-sastra timur (Asia). Penulisan Amir lebih kearah sastra. Beberapa
karangannya tentang kesusastraan India, Arab dan Persia kemudian dimuat di Pudjangga
Baru pada tahun 1934.

Kendati berkenalan dengan sastra Belanda, tidak ada bukti langsung yang mempengaruhi
karya-karya Amir Hamzah. Walau demikian diantara penyair Pujangga Baru lainnya,
hanya Amir yang saja yang mendekati hakekat romantik Eropa, yang menjadi tonggak
budaya pada zaman itu. Namun atas dasar ini pula puisinya mengakui sepenuhnya
tonggak budaya tradisonal. Dibanding yang lainnya pula puisi Amir Hamzah dianggap
mampu menggabungkan dengan sempurna individualisme barat dengan persajakan
Melayu tradisional. Amir gemar menggunakan metafora, namun untuk tujuan
pembaharuannya. Dirinya juga menggunakan pola-pola penggubahan puisi tradisional,
namun dia memfungsikannya untuk tujuan individualisme yang terdapat dalam tonggak
budaya modern. Disatu sisi Amir menggunakan menggali kebudayaan melayu dimana dia
berasal; kebudayaan modern barat yang diperolahnya disekolah-sekolah Belanda yang
dia jalani dimasa perkembangannya; juga nasionalisme yang dia wakili dalam Indonesia
Muda. Ketiganya adalah sebuah dialektika dalam kehidupan penyair Amir Hamzah.
Puisinya menunjukan dinamisme budaya dan potensi kreatif yang terkandung dalam
gerakan kebangsaan Indonesia masa pergerakan.

Amir Hamzah ,selain memberi sumbangan untuk dunia sastra Indonesia, juga kepada
dunia sastra Melayu. Dari Amir Hamzah, bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang
unik sampai saatb sekarang ini. Diakui dalam puisi Buah Rindu, terlihat bahwa Amir
Hamzah telah memberikan warna modern dalam suara dan lagu pantun-pantun Melayu.

Judul buku H.B. Yassin: Amir Hamzah: Radja Penjair Pujangga Baru (1962) telah
menobatkan Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Dalam dunia pergerakan
nasional sendiri Amir Hamzah bukanlah orator handal seperti Sukarno. Belum ada bukti
yang menyatakan Amir Hamzah adalah daftar incaran PID Belanda yang selalu
menghantui kaum pergerakan. Amir Hamzah bukan pembuat petisi seperti Soetardjo.
Amir Hamzah hanya seorang penyair pada zamannya yang memberi warna dalam dunia
sastra Indonesia. Lebih bijak jika kita menyebut bahwa Amir Hamzah adalah pejuang
kesusastraan di Indonesia—kala itu bernama Hindia Belanda—pada lapangan
kesusastraan dengan karya-karyanya yang Indonesiasentris. Bersama penyair-penyair
pada zamannya, Amir Hamzah telah memberi identitas baru bagi sastra Indonesia asli
setelah pengembaraannya mereduksi pengaruh-pengarus sastra dunia, baik barat maupun
timur.

*) Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan, tinggal di Jogja. Kuliah
sejarah 7 tahun di UNY. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang
humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Filed under: Canting


 
  ► e-ti/  
  BIODATA  
Nama:
Tengku Amir
Hamzah Indera
Putera
Lahir:
Tanjung Pura,
Langkat,
Sumatera Utara,
28 Februari
1911
Meninggal:
Kuala Begumit,
20 Maret 1946

Ayah:
Tengku
Muhammad
Adil

Pendidikan:
- Sekolah
Menengah
Langkatsche
School (HIS)
- MULO di
Medan dandi
Jakarta,
- Aglemeene
Middelbare
School (AMS)
jurusan Sastra
Timur di Solo,
- Sekolah
Tinggi Hukum
di Jakarta

Karir:
Sasatrawan,
Penyair
- Wakil
Pemerintah
Republik
Indonesia untuk
Langkat yang
berkedudukan
di Binjai, 29
Oktober 1945-
20 Maret 1946

Karya:
kumpulan sajak
Buah Rindu,
Nyanyi Sunyi,
Setanggi Timur,
Terjemah
Baghawat Gita

Penghargaan:
Diangkat
sebagai
Pahlawan
Nasional pada
tahun 1975
     
 
AMIR HAMZAH HOME
► Selamat datang di situs gudang pengalaman
ENSIKONESIA (ENSIKLOPEDI TOKOH
INDONESIA) ► Thank you for visiting the
experience site  ► NANTIKAN TAMPILAN BARU
TOKOHINDONESIA.COM  ► Biografi Jurnalistik  
► The Excellent Biography  ► Database Tokoh
Indonesia terlengkap yang tengah dikembangkan
menjadi Ensiklopedi Tokoh Indonesia online  ►
Anda seorang tokoh? Sudahkah Anda punya "rumah
pribadi" di Plasa Web Tokoh Indonesia?  ► Silakan
kirimkan biografi Anda ke Redaksi Tokoh
Indonesia ► Dapatkan Majalah Tokoh Indonesia di
Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Gunung
Mulia, Drug Store Hotel-Office & Mall dan Agen-
Agen atau Bagian Sirkulasi Rp.14.000 Luar
Jabotabek Rp.15.000 atau Berlangganan
Rp.160.0000 (12 Edisi) ► Segenap Crew Tokoh
Indonesia Mengucapkan Selamat Ulang Tahun
Kepada Para Tokoh Indonesia yang berulang tahun
hari ini. Semoga Selalu Sukses dan Panjang Umur ►
► Selamat datang di situs gudang pengalaman
ENSIKONESIA (ENSIKLOPEDI TOKOH
INDONESIA) ► Thank you for visiting the
experience site  ► NANTIKAN TAMPILAN BARU
TOKOHINDONESIA.COM  ► Biografi Jurnalistik  
► The Excellent Biography  ► Database Tokoh
Indonesia terlengkap yang tengah dikembangkan
menjadi Ensiklopedi Tokoh Indonesia online  ►
Anda seorang tokoh? Sudahkah Anda punya "rumah
pribadi" di Plasa Web Tokoh Indonesia?  ► Silakan
kirimkan biografi Anda ke Redaksi Tokoh
Indonesia ► Dapatkan Majalah Tokoh Indonesia di
Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Gunung
Mulia, Drug Store Hotel-Office & Mall dan Agen-
Agen atau Bagian Sirkulasi Rp.14.000 Luar
Jabotabek Rp.15.000 atau Berlangganan
Rp.160.0000 (12 Edisi) ► Segenap Crew Tokoh
Indonesia Mengucapkan Selamat Ulang Tahun
Kepada Para Tokoh Indonesia yang berulang tahun
hari ini. Semoga Selalu Sukses dan Panjang Umur ►

CARI
web tokohindonesia
Amir Hamzah, Tengku (1911-1946)

Sastrawan Pujangga Baru


 

Tokoh Indonesia 28/02/2009: Amir Hamzah lahir sebagai seorang manusia penyair pada
28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia seorang sastrawan
Pujangga Baru. Pemerintah menganugerahinya Pahlawan Nasional. Anggota keluarga
kesultanan Langkat bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Indera Putera, ini wafat di
Kuala Begumit, 20 Maret 1946 akibat revolusi sosial di Sumatera Timur.

Sebagai seorang keluarga istana (bangsawan), ia memiliki tradisi sastra yang kuat.
Menitis dari ayahnya, Tengku Muhammad Adil, seorang pangeran di Langkat, yang
sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Sang Ayah (saudara Sultan Machmud), yang
menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai,
Sumatra Timur, memberi namanya Amir Hamzah adalah karena sangat mengagumi
Hikayat Amir Hamzah.

Sejak masa kecil, Amir Hamzah sudah hidup dalam suasana lingkungan yang
menggemari sastra dan sejarah. Ia bersekolah di Langkatsche School (HIS), sekolah
dengan tenaga pengajar orang-orang Belanda. Lalu sore hari, ia belajar mengaji di
Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi
Langkat.

Setamat HIS, Amir melanjutkan studi ke MULO di Medan, tapi tidak sampai selesai. Ia
pindah ke MULO di Jakarta. Di Jawa perkembangan kepenyairannya makin terbentuk.
Apalagi sejak  sekolah di Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur di
Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak pertamanya. Di sini ia memperkaya diri
dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia lainnya.

Kegemaran dan kepiawian menulis saja itu berlanjut hingga saat ia melanjutkan studi di
Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Dalam kumpulan sajak Buah Rindu yang ditulis antara
tahun 1928 dan t1935, tapak perubahan lirik pantun dan syair Melayunya menjadi sajak
yang lebih modern.

Tahun 1931, ia telah memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo. Pergaulannya dengan
para tokoh pergerakan nasional itu telah mewarnai dunia kesusasteraannya. Sebagai
sastrawan dan melalui karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Amir telah
memberikan sumbangan besar dalam proses perkembangan dan pematangan bahasa
Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia. Dalam suratnya kepada Armijn Pane pada
bulan November 1932, ia menyebut bahasa Melayu adalah bahasa yang molek.

Bagi Amir, Bahasa Indonesia adalah simbol dari kemelayuan, kepahlawanan dan
keislaman. Hal ini tercermin dari syair-syair Amir yang merupakan refleksi dari
relijiusitas, dan kecintaannya pada ibu pertiwi serta kegelisahan sebagai seorang pemuda
Melayu.

Secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang berhasil dicatat. Di antaranya 50
sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli
dan 1 prosa terjemahan. Karya-karyanya tercatat dalam kumpulan sajak Buah Rindu,
Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita.

Ia memang seorang penyair hebat. Perintis kepercayaan diri para penyair nasional untuk
menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, sehingga semakin meneguhkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan. Amir seorang enyair besar Pujangga Baru, yang
kepenyairannya membuat Bahasa Melayu-Indonesia mendapat suara dan lagu yang unik
yang terus dihargai hingga saat ini. Ia penyair yang tersempurna dalam bahasa Melayu-
Indonesia hingga sekarang.

 
Amir adalah tiga sejoli bersama Armijn Pane dan SutanTakdir Alisyahbana, yang
memimpin Pujangga Baru. Mereka mengelola majalah yang menguasai kehidupan sastera
dan kebudayaan Indonesia dari tahun 1933 hingga pecah perang dunia kedua.
 

Pemerintah RI kemudian mengapresiasi jasa dan sumbangsih Amir Hamzah ini dengan
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1975.

Selain itu, penghargaan atas jasa Amir Hamzah terlihat dari penggunaan namanya
sebagai nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia
di Kuala Lumpur, dan nama masjid di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
 

Namun akhir hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata
berakhir tragis. Setelah pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah
Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai (saat itu Amir adalah
juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai), kemudian terjadi revolusi sosial pada Maret
2006. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap feodal dan kurang memihak
kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah.

Amir Hamzah meninggal akibat revolusi sosial di Sumatera Timur itu, justru pada awal
kemerdekaan Indonesia. Kala itu, ia hilang tak tentu rimbanya. Mayatnya ditemukan di
sebuah pemakaman massal yang dangkal di Kuala Begumit. Konon, ia tewas dipancung
hingga tewas tanpa proses peradilan pada dinihari, 20 Maret 1946, dalam usia yang relaif
mati muda, 35 tahun. Ia dimakamkan di pemakaman mesjid Azizi, Tanjung Pura,
Langkat. Di makamnya terukir dua buah syairnya.

Pada sisi kanan batu nisan, terpahat bait sajak;

Bunda, waktu tuan melahirkan beta


Pada subuh embang cempaka
Adalah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda

Tuan aduhai mega berarak


Yang meliputi dewangga raya
Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musafir lata

Pada sisi kiri batu nisannya, terpahat ukiran bait sajak:


Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita

Sampaikan rinduku pada adinda


Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia

Apa kesalahannya sehingga ia diperlakukan seperti itu? 'Kesalahannya' hanya karena ia


lahir dari keluarga istana. Pada saat itu sedang terjadi revolusi sosial yang bertujuan
untuk memberantas segala hal yang berbau feodal dan feodalisme. Banyak para tengku
dan bangsawan istana yang dibunuh saat itu, termasuk Amir Hamzah.  ►tsl

*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)


 

Referensi:

- Abrar Yusra (ed), 1996. Amir Hamzah--1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair.
Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
- http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/hamzah.html

- http://personage.melayuonline.com/?a=UlZWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D=
- http://id.shvoong.com/social-sciences/1686930-amir-hamzah/
- Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman oleh: Sutan Takdir Alisjahbana

- Wikipedia

Amir Hamzah
 

 
 

Dalam diri seorang penyair, ada dua aspek yang sering diperbincangkan, yaitu realitasnya
sebagai seorang manusia, dan kapasitasnya sebagai seorang penyair. Dua realitas ini
berjalan seiring, saling mempengaruhi dan saling menjelaskan. Semua penyair adalah
manusia, namun, tidak semua manusia menjadi penyair. Amir Hamzah adalah seorang
manusia penyair. Karena kepenyairannya, ia menjadi terkenal sebaliknya, karena sisi
kemanusiaannya yang terlahir sebagai seorang anggota keluarga kesultanan Langkat, ia
kemudian dibunuh.

Ia terlahir sebagai putera dari seorang keluarga istana, sebuah posisi politik yang tidak
selamanya menguntungkan. Sebab ia tak kuasa untuk memilih, apalagi menolak, apakah
menjadi bagian dari rakyat jelata, atau bangsawan istana. Lahir pada 28 Januari 1911 di
Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, Amir tumbuh dan berkembang dalam suasana
harmonis keluarga sultan. Sebagaimana kerajaan Melayu lainnya, Langkat juga memiliki
tradisi sastra yang kuat. Lingkungan istana inilah yang pertama kali mengenalkan dunia
sastra pada dirinya. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil adalah seorang pangeran di
Langkat yang sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Pemberian namanya sebagai
Amir Hamzah disebabkan ayahnya yang sangat mengagumi Hikayat Amir Hamzah.

Dalam lingkungan yang seperti itulah, kecintaan Amir terhadap sejarah, adat-istiadat dan
kesusasteraan negerinya tumbuh. Lingkungan Tanjungpura juga sangat mendukung
perkembangan sastra Melayu, mengingat penduduknya kebanyakan berasal dari Siak,
Kedah, Selangor dan Pattani. Dalam masa pertumbuhannya di Tanjungpura, ia
bersekolah di Langkatsche School, sebuah sekolah dengan tenaga pengajar orang-orang
Belanda. Di sore hari, ia belajar mengaji di Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas
istana Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi Langkat. Setelah tamat HIS, Amir
melanjutkan studi ke MULO di Medan. Tidak sampai selesai, ia  pindah ke MULO
Jakarta.
 

Saat umurnya masih 14 tahun. Disamping lingkungan istana Langkat dan kota
Tanjungpura, perkembangan kepenyairan Amir Hamzah juga banyak dibentuk selama
masa belajarnya di Jawa, sejak sekolah menengah di MULO Jakarta, Aglemeene
Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur di Solo, hingga Sekolah Tinggi Hukum
di Jakarta. Semasa studi di Jawa inilah, terutama ketika masih di AMS Solo, Amir
menulis sebagian besar sajak-sajak pertamanya.

Pada tahun 1931, ia pernah memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo ia bergaul
dengan para tokoh pergerakan nasional dan telah memberikan sumbangan tak ternilai
pada dunia kesusasteraan. Ia telah memberikan sumbangan tak ternilai dalam proses
perkembangan dan pematangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia,
melalui karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, bahasa
Melayu adalah bahasa yang molek, yang tertera jelas dalam suratnya kepada Armijn Pane
pada bulan November 1932.

Bahasa Indonesia bagi Amir adalah simbol dari kemelayuan, kepahlawanan, dan juga
keislaman. Syair-syair Amir adalah refleksi dari relijiusitas, kecintaan pada ibu pertiwi
dan kegelisahan sebagai seorang pemuda Melayu. 

Selama hidupnya Amir telah menghasilkan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa
liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Secara
keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang berhasil dicatat. Karya-karya tersebut
terkumpul dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan
terjemah Baghawat Gita. Dari karya-karya tersebutlah, Amir meneguhkan posisinya
sebagai penyair hebat. Amir adalah perintis yang membangun kepercayaan diri para
penyair nasional untuk menulis karya sastranya dalam bahasa Indonesia, sehingga posisi
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan semakin kokoh.

Penghargaan terhadap jasa dan sumbangsih Amir Hamzah terhadap bangsa dan negara
Indonesia baru diakui secara resmi pada tahun 1975, ketika Pemerintah Orde Baru
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Dalam tataran simbolik lainnya,
penghargaan dan pengakuan terhadap jasa Amir Hamzah ini bisa dilihat dari penggunaan
namanya sebagai nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Kuala Lumpur, dan nama masjid di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Amir Hamzah lahir dan besar di tengah revolusi, dan revolusi juga yang telah
menguburnya. Ia meninggal akibat revolusi sosial di Sumatera Timur pada bulan Maret
1946, awal kemerdekaan Indonesia. Saat itu, ia hilang tak tentu rimbanya. Mayatnya
ditemukan di sebuah pemakaman massal yang dangkal di Kuala Begumit. Ia tewas
dipancung tanpa proses peradilan pada dinihari, 20 Maret 1946, ia meninggal dalam usia
yang relaif mati muda, 35 tahun. Kesalahannya saat itu adalah, ia lahir dari keluarga
istana. Karena pada saat itu sedang terjadi revolusi sosial yang bertujuan untuk
memberantas segala hal yang berbau feodal dan feodalisme. Sebagai korbannya, banyak
para tengku dan bangsawan istana yang dibunuh, termasuk Amir Hamzah sendiri. Saat
ini, di kuburan Amir Hamzah terpahat ukiran dua buah sajaknya.

You might also like