Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
FAKULTAS KEPERAWATAN
MANADO
2010
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
c. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi
yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk
memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
e. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien
dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk
memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan
yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat
beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika
kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya
hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu memiliki
otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang
kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling
percaya.
g. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga
privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan
klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun
dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan
bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan
pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus
dihindari.
h. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
b. PENGERTIAN EUTHANASIA
"Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan
kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Banyak ragam pengertian euthanasia yang sudah muncul saat ini. Ada yang
menyebutkan bahwa euthanasia merupakan praktek pencabutan kehidupan
manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit
atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukuan dengan cara
memberikan suntikan yang mematikan. Saat ini yang dimaksudkan dengan
enthanasia adalah bahwa seorang dokter mengakhiri kehidupan pasien terminal
dengan memberikan suntikan yang mematikan atas permintaan pasien itu
sendiri. Sekitar dua puluh tahun yang lalu tindakan medis ini disebut ”
euthanasia aktif “.
Belanda, salah satu Negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum
kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh
Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yaitu :
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan
untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan
yang juga diatur dalam PP. 18 Tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah
berhentinya fungsi jantung paru, tidak bisa dipergunakan lagi Karena teknologi
resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru yang semua terhenti, kini
dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk
berkembang kempis kembali.
Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Oleh karena itu, jika
batang otak telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusia itu
secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan demikian kalangan medis
sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi (DNR, do not
resuscitation).
Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam World Medical
Asembly tahun 1968 yang dikenal dengan deklarasi Sydney. Disini dinyatakan
bahwa penentuan saat kematian di kebanyakan Negara merupakan tanggung
jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan seseorang sudah mati dengan
menggunakan kriteria yang lazim tanpa bantuan alat-alat khusus, yang telah
diketahui oleh semua dokter.
Hal penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian
tersebut sudah tidak dapat dibalikkan lagi (irreversible), meski menggunakan
teknik penghidupan kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat
yang sungguh-sungguh memuaskan dapat digunakan untuk penentuan saat mati
ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut.
d. JENIS EUTHANASIA
Euthanasia dapat digolongkan menjadi beberapa macam, ditinjau dari
berbagai sudut pandang senagai berikut.
Adapun suatu tindakan bantuan bunuh diri atau bunuh diri berbantuan
yang sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. . Hal ini
terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk
membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan(misalnya dokter),
namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat
dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas
pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh
dr. Jack Kevorkian.
1. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002 , yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di
dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami
sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya.Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum
Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih
dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
2. Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di
dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan,
meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern
Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU
tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali
dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali.
3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir
September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan
tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya
tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya
prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya
upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
4. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di
Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya
secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin
lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon,
yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya
eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas
(Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya
menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang
diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas
boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan
meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga
kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di
antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu
saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter
kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta
memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada
dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa
keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh
berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan,
jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
5. Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga
negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya
sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942,
yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh
diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila
motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri."
6. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan
Britania Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik
Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin
untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled
newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi
eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya
secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu
legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan
melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain
daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi
Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas
menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.
7. Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang
eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of
Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut.
8. Republic Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan
pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia
dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil
bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut
sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara,
namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara
tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangan tersebut.
9. India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan
mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan
dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan
tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas
kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah
diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah
yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu
pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia
secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun eutanasia di luar
kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.
10. China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum.
Eutansia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana
seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk
melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi
menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6
tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court)
menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng
menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk
disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas
dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia
meninggal dunia dalam kesakitan.
12. Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang
eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum
(yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit
Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan
dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita
sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi
catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah.
Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy
killing dalam arti kata eutanasia aktif.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-
maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Eutanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan
memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang
dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Eutanasia negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada
eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah
aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan
tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan
itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit,
sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan
hukum sebab-akibat.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam
alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah
kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala
binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan
menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav
v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan
tindakan euthanasia.
B. ABORSI
Jika aborsi untuk alasan medis, aborsi adalah legal, untuk korban
perkosaan, masih di grey area, aborsi masih diperbolehkan walaupun tidak
semua dokter mau melakukannya. Kasus perkosaan merupakan pilihan yang
sulit. Meskipun bisa saja kita mengusulkan untuk memelihara anaknya hingga
lahir, lalu diadopsikan ke orang lain, itu semua tergantung kematangan jiwa si
ibu dan dukungan masyarakat agar anak yang dilahirkan tidak dilecehkan oleh
masyarakat.
Untuk kehamilan diluar nikah atau karena sudah kebanyakan anak dan
kontrasepsi gagal perlu dipirkirkan kembali karena masih banyak orang
mendambakan anak.
Perempuan berhak dan harus melindungi diri mereka dari eksploitasi orang
lain, termasuk suaminya, agar tidak perlu aborsi. Sebab aborsi, oleh paramedis
ataupun oleh dukun, legal atau illegal, akan tetap menyakitkan buat wanita,
lahir dan batin meskipun banyak yang. menyangkalnya. Karena itu kita harus
berupaya bagaimana caranya supaya tidak sampai berurusan dengan hal yang
akhirnya merusak diri sendiri. Karena ada laki-laki yang bisa seenak
melenggang pergi, dan tidak peduli apa-apa meskipun pacarnya/istrinya sudah
aborsi dan mereka tidak bisa diapa-apakan, kecuali pemerkosa, yang jelas ada
hukumnya.
Jadi solusinya bukan cuma dari rantai yang pendek, tapi dari ujung rantai
yang terpanjang, yaitu : penyuluhan tentang seks yang benar.
Jika tidak ingin hamil gunakan kontrasepsi yang paling aman dan
kontrasepsi yang paling aman adalah tidak berhubungan seks sama sekali.
Segala sesuatu itu ada resikonya. Untuk itu sebelum bertindak, orang harus
mulai berpikir : nanti bagaimana bukannya bagaimana nanti.
Keputusan aborsi juga dapat keluar dalam waktu yang singkat, dan setelah
melewati waktu krisis, bisa saja keputusan aborsi dibatalkan karena ada
seseorang yang mendampingi memberikan support, dan dia tidak jadi
mengaborsi.
Penyebab Abortus
Perdarahan
Kerokan pada kehamilan yang sudah agak tua atau pada mola hidatidosa
terdapat bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya
dilakukan transfusi darah dan sesudah itu, dimasukkan tampon kasa ke
dalam uterus dan vagina.
Infeksi
Apabila syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka bahaya
infeksi sangat besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat menyebar ke
seluruh peredaran darah, sehingga menyebabkan kematian. Bahaya lain
yang ditimbulkan abortus kriminalis antara lain infeksi pada saluran telur.
Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan lagi.
Lain-lain
Komplikasi yang dapat timbul dengan segera pada pemberian NaCl
hipertonik adalah apabila larutan garam masuk ke dalam rongga
peritoneum atau ke dalam pembuluh darah dan menimbulkan gejala-gejala
konvulsi, penghentian kerja jantung, penghentian pernapasan, atau
hipofibrinogenemia. Sedangkan komplikasi yang dapat ditimbulkan pada
pemberian prostaglandin antara lain panas, rasa enek, muntah, dan diare.
Komplikasi yang Dapat Timbul Pada Janin: Sesuai dengan tujuan dari
abortus itu sendiri yaitu ingin mengakhiri kehamilan, maka nasib janin
pada kasus abortus provokatus kriminalis sebagian besar meninggal.
Kalaupun bisa hidup, itu berarti tindakan abortus gagal dilakukan dan janin
kemungkinan besar mengalami cacat fisik.
Ditinjau dari aspek hukum, pelarangan abortus justru tidak bersifat mutlak.
Abortus buatan atau abortus provokatus dapat digolongkan ke dalam dua
golongan yakni: 1. Abortus buatan legal Yaitu pengguguran kandungan yang
dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Populer juga disebut dengan abortus provocatus therapeticus, karena alasan
yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan
nyawa ibu. Abortus atas indikasi medik ini diatur dalam Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan:
PASAL 15: 1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. 2) Tindakan
medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) hanya dapat dilakukan: a.
Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau
suami atau keluarganya; d. Pada sarana kesehatan tertentu. 3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
PASAL 349 Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348,
maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengn sepertiga
dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan
dilakukan.
Selain KUHP, abortus buatan yang ilegal juga diatur dalam Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan:
PASAL 80 Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap
ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)
Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya pelayanan
kesehatan yang memadai. Apalagi bila aborsi dikategorikan tanpa indikasi medis,
seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat kontrasepsi dan lain-
lain. Ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif dari keluarga atau masyarakat
akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan pengguguran kandungan secara
diam-diam tanpa memperhatikan resikonya .
Aborsi aman bila:
Hak-hak pasien
I. PENGERTIAN TRANSPLANTASI
a. Donor Hidup
Donor hidup adalah orang yang memberikan jaringan/organnya kepada
orang lain (resepien). Sebelum memutuskan untuk menjadi donor,
seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi, baik
resiko dibidang medik, pembedahan, maupun resiko untuk kehidupannya
lebih lanjut sebahai kekurangan jaringan/organ yang telah dipindahkan.
Disamping itu, untuk menjadi donor, seseorang tidak boleh mengalami
tekanan psikologis. Hubungan psikis dan emosi harus sudah dipikirkan
oleh donor hidup tersebut untuk mencegah timbulnya masalah.
d. Resipien
Resipien adalah orang yang menerima jaringan/organ orang lain. Pada
dasarnya, seorang penderita mempunyai hak untuk mendapatkan
perawatan yang dapat memperpanjang hidup atau meringankan
penderitaannya. Seorang resipien harus benar-benar mengerti semua hal
yang dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan
transplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar bagi
kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa hasil
transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu disadari
bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan
yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan
datang.
f. Masyarakat
Secara tidak langsung masyarakat turut menetukan perkembangan
transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan para cendekiawan,
pemuka masyarakat, atau pemeluk agama diperlukan untuk mendidik
masyarakat untuk lebih memahami maksud dan tujuan luhur usaha
transplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan
organ yang segera diperlukan, atas tujuan luhur, akan dapat diperoleh.
2. Pasal 14
Pengambilan alat atau jaringa tubuh manusia untuk keperluan
transplantasi atau bank mata dari koran kecelakaan yang meninggal
dunia, dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga terdekat.
3. Pasal 15
Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh
manusia diberikan oleh calon hidup, calon donor yang bersangkutan
terlebih dahulu diberikan oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter
konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibat dan kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi. Dokter yang merawatnya harus yakin
benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya
arti dari pemberitahuan tersebut.
4. Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu
kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
5. Pasal 17
Dilarang memperjual-belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
6. Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dalam
semua bentuk keadaan dari luar negeri.
Paus Pius XII setuju dengan pemahaman belas kasihan ini dan juga
tafsiran yang lebih luas dari prinsip totalitas; sebab itu beliau
memaklumkan transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup secara
moral diperkenankan. Bapa Suci menggarisbawahi point bahwa donor
mempersembahkan korban diri demi kebaikan orang lain. Paus Yohanes
Paulus II juga menegaskan point ini, “… Setiap transplantasi organ tubuh
bersumber dari suatu keputusan yang bernilai luhur: yakni keputusan
untuk memberi satu bagian dari tubuhnya sendiri tanpa imbalan demi
kesehatan dan kebaikan orang lain. Di sinilah tepatnya terletak keluhuran
tindakan ini, suatu tindakan yang adalah tindakan kasih sejati. Bukan
sekedar memberikan sesuatu yang adalah milik kita, melainkan
memberikan sesuatu yang adalah diri kita sendiri….” (Amanat kepada
Partisipan dalam Kongres Transplantasi Organ, 20 Juni 1991, No. 3).
C. Malpraktik
Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk
dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian
malpraktek adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter dalam
hubungannya dengan pasien. Menurut Black’s Law Dictionary
mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or
unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional
services to exercise that degree of skill and learning commonly applied
under all the circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage
to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis,
melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan),
akuntan, perbankan, dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut
World Medical Association (1992) adalah:
Perawat telah terlibat dalam banyak tindakan lalai atau malpraktik profesional,
contohnya :
1. kesalahan terapi intravena yang menyebabkan infiltrasi atau flebitis.
2. luka bakar pada klien karena terapi panas yang tidak tepat pemantauannya.
3. jatuh yang menyebabkan cidera pada klien.
4. kesalahan menggunakan tehnik aseptik ketika diperlukan.
5. kesalahan menghitung spon, instrumen, atau jarum dalam kasus operasi.
Perawat harus melakukan semua prosedur secara besar. Mereka juga harus
menggunakan penilaian profesional saat mereka menjalankan program dokter dan
juga terapi keperawatan mandiri dimana mereka berwewenang. Setiap perawat yang
tidak memenuhi standar praktik atau perawatan yang dapat diterima atau melakukan
tugasnya dengan ceroboh berisiko dianggap lalai.
Karena malpraktik adalah kelalaian yang berhubungan dengan praktik
profesional, kriteria berikut harus ditegakkan dalam gugatan hukum malpraktik
terhadap seorang perawat :
1. perawat (terdakwa) berhutang tugas pada klien (penggugat).
2. perawat tidak melakukan tugas tersebut atau melanggar tugas perawatan.
3. klien cidera.
4. baik penyebab aktual dan kemungkinan mencederai klien adalah akibat dari
kegagalan perawat untuk melakukan tugas.
Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dan perawat dengan dakwaan
melakukan malpraktik makin meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini
menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat
lebih menyadari kewajiban dan tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan penuh
tanggung jawab. Di negara- negara maju tiga besar dokter spesialis menjadi sasaran
utama tuntutan ketidaklayakan dalam praktik, yaitu spesialis bedah, anastesi dan
kebidanan dan penyakit kandungan.
Walaupun UU No. 6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan sudah dicabut oleh
UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, namun perumusan malpraktik/kelalaian
medik tercanutm pada pasal 11b masih dapat dipergunakan yaitu: dengan tidak
mengurangi ketentuan–ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan
lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratif
dalam hal sebagai berikut :
1. melalaikan kewajiban.
2. Melakukan suatu hal yang tidak seharusnya tidak boleh dilakukan oleh
seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya, maupun
sumpah sebagai tenaga kesehatannya.
Penanganan Malpraktik
Walaupun dalam KODEKI telah tercantum tindakan-tindakan yang seharusnya
tidak dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Akan tetapi
sanksi bila terjadi pelanggaran etik tidak dapat diterapkan dengan seksama.Dalam
etik sebenarnya tidak ada batas –batas yang jelas antara boleh atau tidak, oleh karena
itu kadang kala sulit memberikan sanksi-sanksinya.
Tugas P3EK adalah untuk menangani kasus-kasus malpraktik yang tidak dapat
ditanggulangi oleh MKEK, dan memberi pertimbangan usul-usul kepada pejabat
yang berwenang. Jadi instansi pertama yang menangani kasus malpraktik etik adalah
MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK
maka akan dirujuk ke P3EK provinsi dan jika P3EK provinsi tidak mampu
menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK pusat.
A. KESIMPULAN
B. SARAN