Professional Documents
Culture Documents
Kata orang-orang kampus, teori itu lahir dari cara berfikir deduktif,
yakni mulai dari yang kecil-kecil, kasus-kasus, kejadian-kejadian,
dan sebagainya, yang dilihat, dinilai, dianalisis, kemudian ditarik
garis besar dari kejadian-kejadian itu semua. Maka jadilah teori.
Tapi teori harus diuji terus menerus, dicoba berkali-kali supaya
sahih, dan dapat gunakan, diterapkan, dan sebagainya. Banyak
orang berfikir, semua hal yang ada di dunia ini memang bisa
jelaskan dengan teori-teori. Walaupun tidak semuanya bisa
dijelaskan, tapi itu hanya persoalan waktu. Toh nanti satu saat bisa
terbuka dengan teori-teori yang ada.
Mereka yang percaya dengan teori adalah mereka-mereka yang
ingin menyederhanakan semua yang ada didunia ini, menjadi lebih
sederhana. Ibaratnya, kalau seseorang melihat benda licin, agak
panjang, dan menggeliat di dalam tanah, maka disebutnyalah
cacing. Terus ketemu benda yang sama di tempat lain, maka itu
cacing juga. Begitu seterusnya, asalkan ketemu benda yang
kriterianya sama, maka semuanya dianggap cacing. Akhirnya orang
itu pun buat teori; yang bulat, licin, dan menggeliat, maka itu
adalah cacing. Mudah bukan? Tapi begitulah teori.
Tapi ada juga orang yang tak terlalu percaya (perduli) dengan teori.
Yang penting adalah pengalaman. Banyak teori malah bikin
pusing….katanya! Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman
adalah persentuhan orang yang berfikir dengan apa yang ada di
sekelilingnya, karena ia mengalami langsung, terlibat, merasakan
dengan semua inderanya. Tanpa mengalami secara langsung, maka
semuanya dianggap tidak benar!
Perdebatan Nurul dan Odah itu tak akan pernah berhenti, jika
semua orang terlalu fanatik (atau malas) untuk mencari tau hakekat
dari teori dan praktek. Prinsipnya, teori adalah hasil dari praktek.
Teori akan diuji terus-menerus, karena pengalaman atau praktek
kita di lapangan secara langsung. Teori tak akan pernah tetap,
apalagi teori tentang manusia atau masyarakat. Masyarakat dan
manusia berubah, jadi teorinya juga akan berubah. Jika ada orang
yang mengatakan sebuah teori tentang masyarakat secara
berulang-ulang selama bertahun-tahun dalam hidupnya, maka
sebenarnya ia sudah mati suri. Mereka-mereka itu sudah nyaman
dengan teorinya, dan tak mau keluar dari cangkangnya, dan lama-
kelamaan membusuklah dia. Jika pun ia tetap hidup, maka ia akan
menularkan bau busuk di sekelilingnya. Sangatlah mudah mengenal
orang-orang dengan tipe seperti itu. Misalnya, mereka akan sering
memulai kata-kata dengan; “berdasarkan teori yang ada”…,
“menurut pendapat…”, hakekatnya…” dari sisi anu…”, dan
sebagainya.
Boleh-boleh saja kita belajar dari cara berfikir yang mengidolakan
teori. Tapi lihat dulu, apakah teori itu lahir dari pengalaman dan
tindakan langsung? Jangan-jangan hanya dari bacaan, dengar dari
televisi, bahkan mungkin hanya dari “kata orang”. Bahaya
benerrrrr….! Tapi bagi yang maniak pengalaman, maka menurut
mereka pengalaman adalah yang utama. Mereka tak percaya
dengan pendapat atau pandangan umum, apa kata buku, apa kata
panduan, dan sebagainya. Pengalaman adalah pengalaman, yang
harus didapat melalui interaksi langsung dengan sesuatu.
Pengalaman memang penting, tapi pengalaman tak akan pernah
merubah dunia jika tak dibuat teorinya. Pengalaman harus
dirumuskan, disederhanakan, sehingga bisa dibagikan ke orang lain,
walau tetap mengatakan, bahwa mereka juga harus mencoba,
menguji dan mengalaminya secara langsung di lapangan.
Jadi, jika kita ingin berbuat di masyarakat, maka padukanlah teori
dan praktek atau pengalaman. Praktekkanlah teori yang kita baca,
kita dengar, kita pelajari dan kita yakini. Jika ia tak sesuai, gantilah
ia, bula perlu buang jauh-jauh! Itu kita lakukan, agar kita bisa
berubah, karena dunia dan masyarakat berubah. Begitu juga
sebaliknya, buatlah teori dari praktek-praktek atau pengalaman
kita. Tapi jangan praktek semu seperti, hanya mendengar,
membaca, atau sekedar belajar di bangku-bangku sekolah. Praktek
atau pengalaman adalah bersentuhan secara langsung. Bukan
bersentuhan ecek-ecek, atau seakan-akan melakukan. Artinya,
indera kita, badan kita, memang harus bersentuhan secara
langsung dengan bendanya, dengan orang-orang atau masyarakat
dimana kita bekerja. So…sekali lagi, pengalaman juga bukan
hayalan, bukan mimpi, dan bukan berfikir panjang di belakang meja,
apalagi di atas meja (hehehehe). Pengalaman adalah melakukan…
ya, lakukan dengan tubuh dan semua indera, dengan melibatkan
juga perasaan dan hati kita. Tanpa itu, maka kita menjadi tanaman
buah hydroponik saja, yang hidup menggantung, tak ke tanah, tak
juga ke awan. Semuanya sangat tergantung dari supply atau
pemberian informasi dari orang lain. Men-teorikan praktek berarti
menyumbangkan pengalaman kita kepada orang lain secara
sederhana. Kita tak harus menyuruh orang lain melakukan hal yang
kita lakukan karena hal itu memakan waktu yang panjang. Dengan
men-teorikan pengalaman kita, maka kita menyumbang ilmu
kepada orang lain. Tapi harus diingkat, teori itu harus dialami oleh
orang-orang yang belajar teori. Berdosalah seseorang yang
mengenalkan teori, tapi menyuruh orang lain fanatik dengan teori
itu. Jika itu kita lakukan, maka sama saja dengan kita membunuh
jiwa dan inderanya.
Untuk kita-kita yang hidup di lapangan, mempraktekkan teori dan
men-teorikan praktek merupakan alur hidup yang harus dilakukan
setiap saat. Jangan pernah berhenti dengan sebuah teori, atau
berlari terus tanpa panduan teori. Dengan kata lain, kita harus
menjadi seorang peragu ketika kita memegang dan percaya pada
sebuah teori, dan menjadi penyederhana pengalaman kita, untuk
sebuah teori yang dapat kita bagikan ke orang lain.
Thh
Malam natal, 24 Desember 2010
02:43 wik (waktu indonesia kost)