Dimulai pada Reptilia II (1974/1975-1978/1979), pemerintah
Indonesia secara lebih tegas mulai melaksanakan berbagai peraturan pada pemrosesam lokal, setiap pemegang konsesi diharuskan memroses 60% dari hasil dalam 10 tahun produksi awal (Lauriat dan Sacerdoti, 1977). Untuk menunjukkan keseriusan, pemerintah memberlakukan pajak ekspor gelondongan mentah pada tahun 1977 dan melipatgandakannya pada tahun 1978 sampai 20%. Karena gelondongan mentah diminta importir Jepang, dan hanya terdapat sedikit pasar untuk kayu lapis Indonesia, dapat dimengerti bahwa pemegang konsesi tidak berbondong-bondong mendirikan penggergajian dan pabrik kayu lapir. Biaya untuk mendirikan pabrik adalah mahal, terutama pabrik yang terakhir, sekitar 2 kali biaya yang dibutuhkan untuk Taiwan dan Singapura (Lauriat dan Sacerdoti, 1977). Walaupun berbagai insentif disediakan dalam bentuk masa bebas pajak, sanksi juga dikenakan dengan pengurangan area babat yang diizinkan bagi perusahaan- perusahaan yang menolak untuk mematuhi. Bahkan dimana pabrik-pabrik telah dibangun, kapasitas yang terpasang hanya digunakan separuh pada tahun 1980, masih lebih menguntungkan mengekspor gelondongan mentah. Batas akhir untuk melengkapi penggantian secara bertahap ekspor kayu mentah ditentukan pada tahun 1985, dengan plafon 4 juta meter kubik pada tahun 1982 dan 1 ½ juta meter kubik pada tahun 1984 (Englan, 1986). Beberapa pemegang konsesi mengundurkan diri pada saat itu, tetapi juga terdapat serbuan untuk menempatkan persediaan kayu gelondongan di pasar sehingga ekspor naik ke tingkat paling tinggi sampai sekarang pada tahun 1979 dan 1980. Jatuhnay harga yang diikuti dengan kekeringan parah dan kebarakan besasr di Kalimantan Timur pada tahun 1982 dan 1983 sebagai akibatnya membawa penurunan produksi selama beberapa tahun. Sementara itu, berbagai perusahaan mengamati pinjaman dari berbagai bank lokal dan ada peningkatan pesat jumlah pabrik kayu lapis yang dibangun selama tahun 1980-an. Pada tahun 1989 ada 114 parik, 27 diantaranya di Kalimantan Timur, 38 di provinsi Kalimantan lainnya. Maluku dengan 12 pabrik juga patut diperhatikan, sedangkan Riau memimpin Sumatera dengan 9 pabrik di pulau ini. Irian hanya mempunyai 1 pabrik dan Sulawesi 2 pabrik (Indonesian Commercial Newsletter ICN: 25 September 1994). Munculnya pemrosesan kayu lapis mempertanggungjawabkan pertumbuhan beberapa konglomerat besar yang sekarang benar-benar mengendalikan industri kayu. Perusahaan-perusahaan ini secara bertahap telah menyerap konsesi-konsesi yang berdekatan, mengamankan persediaan kayu gelondongan di beberapa provinsi yang berbeda dan bergerak menguasai semua aspek pemrosesan. Kelompok-kelompok terbesar memiliki sebuah sekumpulan pabrik. Beberapa kelompok mempunyai kapal angkutan sendiri, juga berbagai kepentingan di luar kayu. Kelompok Barito Pacific adalah yang terbesar, dengan 10 pabrik kayu lapis dan sekitar 10% kapasitas dengan konsesi hutan meliputi 2 juta hektar di Kalimantan Tengah, Maluku, dan Irian Jaya serta areal-areal luas penghutanan kembali untuk bubur kayu dan kertas terutama di Sumatera Selatan (ICN: 27 januari 1992). Ketuanya Prayogo Pangestu, aslinya berasal dari keluarga Cina miskin di Singkawang, Kalimantan Barat, yang baru-baru ini memegang kendali “Constructions and supply house” (CASH), sebuah perusahaan sabah yang dimiliki seorang cina dengan berbagai kepentingan termasuk proyek-proyek penghutanan kembali, konsesi kayu, perusahaan kayu lapis sabah, Papua Nugini dan Shanghai (Ng, 1994; Wangkar dan Attamimi, 1994). Ada kesan bahwa Prayogo dan Lee, direktur pelaksana CASH, mungkin ebrtujuan mendapatkan beberapa konsesi kayu yang luas milik Sabah Foundation di Sabah.
Reboisasi, Perkebunan Hutan, serta Bubur Kayu dan Kertas
Keputusan Presiden yang diberlakukan pada tahun 1980 menentukan bahwa semua pemegang konsesi diharuskan melaksanakan operasi regenerasi dan penghutanan kembali pada wilayah konsesi. Mereka diminta membayar dana reboisasi uangnya akan dikembalikan. Uang yang dipungut, sebesar 4 juta dolar per meter kayu bulat dan dinaikan menjadi 7 juta dolar pada tahun 1989. Menurut Djamaludin hanya 11% dari total 528 pemegang konsesi pada tahun 1987 telah melaksanakan secara penuh ketentuan penanaman kembali tatau program penanaman penyuburan.. Pada tahun 1989 sistem TPI diganti nama menjadi TPTI, sistem penebangan selektif dan penanaman, lebih jauh menekankan desakan pemerintah mengenai regenerasi dan penanaman kembali. Biaya reboisasi ditingkatkan menjadi 10 dolar dan menjadi pajak yang ditarik oleh pemerintah untuk digunakan dalam pembangunan perkebunan kayu industri dan rehabilitasi tanah (Djamaludin, 1991). Pada tahun ini dimunculkan lebih lanjut; skala perhitungan yang mencerminkan distrik penebangan dan tipe kayu; biaya untuk produk hutan campuran di Kalimantan sekarang 16 dolar, di Maluku 13 dolar (ICN: 26 April, 1993). Meskipun peringatan-peringatan tentang bahaya, monokulturasi (WALHI/YLBHI, 1992) dan berbagai penilaian lebih awal bahwa perkebunan bukan merupakan jawaban terhadap masalah regenerasi alam (IIED/GOI, pemerintah berkomitmen menciptakan daerah-daerah hutan industri (Hutan Tanaman Industri, HTI), ditanami dengan spesies yang tumbuh pesat seperti Acacia Manginum, Euccalptus Urophylla dan Paraserianthes Falcataria. Rencana ini mengubah 4,4 juta hektar “hutan tak produktif’ dengan hasil di bawah 20 meter kubik per hektra, ke dalam HTI pada akhir abad (Indonesian dan Tropcal Foresty Action Programme, 1991). Padang rumput, semak belukar dan tanah yang gundul, sebaliknya juga merupakan prioritas tinggi untuk proporsi kayu bubur dan pohon-pohon kayu/batang gergajian dalam perkebunan ini akamn menjadi sekitar 40/60 pada tahun 2000. Namun demikian, ada ketakutan bahwa kualitas sebagaian besar kayu yang tumbuh cepat ini tidak akan cocok untuk tujuan tertentu selain bubur kayu. Acacia manganium misalnya, menderita pembusukan bagian tengah dan mudah mendapat serangan serangga yang mengurangi kualitasnya. Dengan tanah- tanah tandus di banyak distrik kemampuan perkebunan memproduksi tanaman-tanaman berikutnya di luar yang pertama juga dipertanyakan. Telah lama ada pabrik-pabrik kertas kecil di Jawa yang menggunakan bagasse dan industri gula, jerami padi dan kertas daur ulang sebagai bahan mentah. Penggunaan kayu besar bagi pabrik bubur kayu atau gabungan pabrik bubur kayu dan pabrik kerta, didirikan di luar Jawa, hanya akhir-akhir ini saja. Teknologi sekarang menuntut bahwa pabrik bubur kayu yang baru mempunyai kapasitas 300.000 ton dan pabrik kerta sekurangnya berkapasitas 150.000 ton per tahun secara berturut-turut (ICN: 28 September 1992). Sumatera memimpin dengan 3 pabrik besar yang memproduksi bubur kayu dan 8 buah lagi direncanakan. Kalimantan pada akhirnya mungkin mempunyai 12 pabrik, 10 di Kalimantan Timur dan 2 di Kalimantan Barat (meski belum satu pun yang dibangun) dan ada rencana mendirikan 3 atau 4 pabrik di Irian Jaya (ICN: 28 September 1992; WALHI/YLBHI, 1992). Kebanyakan pabrik ini akan bergantung pada produksi baru dari perkebunan hutan yang memerlukan sekurangya 7 tahun untuk menjadi matang. Karenanya, pendirian perkebunan demikian atau persediaan sumber daya lain yang terjamin adalah perlu, sebelum pabrik-pabrik lebih lanjut dibangun. Pabrik-pabrik yang ada di Sumatera seperti Inti Indorayon Utama (IIU) (Sumatera Utara) dan Indah Kiat (Riau) menghadapi kesulitan dalammenjamin bahan-bahan mentah dan tanah untuk HTI dan telah dituduh merusak hutan dengan membabi buta. Terdapat kasus terkenal yang melibatkan IIU dimana sekelompok wanita ditahan karena merusak eucalypus yang ditanam di tanah desa yang mereka nyatakan telah diambil tanpa referensi sistem-sistem tradisional mengenai pengalihan tanah dari kompensasi kecil (WALHI/YLHBI, 1992). Indah Kiat yang baru-baru ini memperbesar kapasitas bubur kayu hingga 790.000 ton per tahun telah dilaksanakan karena telah menebang habis banyak hutan produktif saat tersedianya persediaan kayu-kayu perkebunan. Tiga pabrik kerta di bangun di Kalimantan Timur selama lima tahun berikjutnya dan kekhawatiran yang sama telah muncul ke permukaan mengenai masalah bahan mentah: hanya 20 dari 93 konsesi aktif sekarang ini mempunyai HTI dan banyak dari produk ini telah diperuntukkan bagi industri-industri baru yang menggunakan kayu seperti papan serat, semacam kayu lapis yang lebih murah (Kompas, 7, 18 Maret 1994). Dick mencatat bahwa porposal PT Kiani Kerta (di dalamnya terdapat kepentingan Bob Hasan) untuk pabrik bubur kayu/proyek perkebunan dekat Tanjung Redeb akan melibatkan tebang habis dan peralihan 200.000 hektar hutan alam yang bagus dengan nilai persediaan 40-50 meter kubik per hektar, jauh bergeser dari tanah-tanah belukar yang diharuskan digunakan untuk usaha demikian (Dick, 1991). Suatu keuntungan yang diperkirakan bertambah sebagai hasil perluasan perkebunan hutan adalah pekerjaan lokal yang kabarnya menghasilkan. Namun di kebanyakan daerah penghutanan lebih suka mempekerjakan orang-orang jawa atau tenanga transmigrasi daripada orang- orang setempat. Kegiatan reboisasi secara formal dihubungkan dengan transmigrasi melalui skema HTI-trans yang menjadikan para pendatang sebagai tenaga kerja perkebunan, seperti dilukiskan ketua salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat hutan sebagai ‘sama’ dengan perbudakan dalam samaran modern’ (Economic and Business Reviev Indonesia: 7 May 1992).
Penetapan Penggunaan Tanah, Penggundulan Hutan dan Masalah
Penduduk Hutan Satu segi manajemen hutan yang tidak terjadi sampai 1980/1983,s etelah sebagian besar daerah konsesi telah mantap, adlah pembagian perkebunan hutan ke dalam zona-zona penggunaan tanah yang telah ‘disetujui’. Zona-zona ini diidentifikasikan sebagai hutan proteksi, hutan produksi terbagats hutan produksi biasa, hutan konversi, tanam dan cadangan. Penggunaan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) berarti bahwa Undang- Undang Pokok Kehutanan sekarang diperkuat. Sebuah proyek pemetaan yang diorganisasi oleh Departemen Transmigrasi dan dilaksanakan oleh sebuah tim Inggris yang mencari-cari tempat-tempat yang ccok untuk pemukiman transmigrasi di masa depan, akhirnya memberikan peta-peta dasar yang paling akurat untukpenilaian tipe penggunaan tanah da kategori vegetasi meskipun informasi yang disajikan dalam serial peta berskala 1 : 250.000 merupakan refleksi situasi sekitar tahun 1982. Laporam-laporan Perencanaan Fisik Daerah untuk Transmigrasi (RePPProt) secara kirtis meneliti batas-batas TGHK, menyarankan beberapa perubahan. Departemen Kehutanan juga diikutsertakan dalam sebuah investasi ekstensif seperti “RePPProt’ yang menggunakan gambar satelit yang ada untuk memetakan keadaan hutan-hutan. Proyek ini agak lambat dalam menerbitkan hasil-hasilnya dan mungkin disusul dengan berbagai kejadian. Studi Bank Dunia telah mencatat suatu perluasan bertahap dari kekuasaan Departemen Kehutanan melalui perluasan kategori-kategori tanah hutan. Jauh lebih banyak dibandingkan dengan dianggap hutan pada tahun 1967 atau 1972 sekarang dimasukkan di bawah kontrol mereka (World Bank, 1990). Hal ini menjadi penting ketika penanaman berpindah-pindah (yang mencakup beragam sistem pertanian yang dipraktekan baik oleh masyarakat tradisional maupun non-tradisional, diklasifikasikan sebagai tidak sah di bawah Undang-Undang Pokok Kehutanan yang sekarang tampak sedang terjadi (Owen Davies, 1993). Sebuah inisiatif dari pemerintah telah berjalan melalu para pemegang konsesi dan mendorong mereka mengubah sistem pertanian orang-orang yang hidup dalam konsesi-konsesi mereka. Begitu sistem pertanian masyarakat dilihat berjalan di luar hukum, menjadi lebih mudah menggusur mereka dari tanah-tanah yang telah diduduki secara tradisional agar sebuah bentuk penggunaan tanah pengganti dapat diterapkan seperti perkebunan hutan. Tanah di balik batas-batas kebutuhan formal (kecuali hutan-hutan konversi) secara hukum tidak dapat diberikan hak milik sehingga orang tidak pernah dapat memperoleh hak-hak pemuoihan secara penuh atas tanah-tanah tradisional mereka (World Bank, 1994). Para migran spontan tidak dapat menerima persewaan yaang mungkin mendorong mereka mengambil sistem-sistem yang lebih berkesinambungan. Pemerintah Indonesia baru-baru ini melakukan latihan propaganda yang mempertaruhkan berbagai aktifitas Departemen Kehutanan dan yang lainnya serta menyatakan bahwa sistem TPTI dapat terus berlanjut. Mereka mengutip angka reboisasi yang lebih rendah dari Dick sebagai angka yang tepat, tetapi mereka tidak mengulangi kesimpulan-kesimpulan yang lain mengenai masalah ini.