You are on page 1of 37

PENGGUNAAN TEKNOLOGI POLYMERASE

CHAIN REACTION SEBAGAI ALAT DETEKSI


DINI PADA PENYAKIT LEPRA

DISUSUN OLEH
FRANZ SINATRA YOGA
NIM 04081001071
RAHMAN SETIAWAN
NIM 04081001112

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2010
LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Karya Tulis Ilmiah : Penggunaan Teknologi Polymerase Chain Reaction


sebagai Alat Deteksi Dini pada Penyakit Lepra
2. Penulis : Franz Sinatra Yoga
NIM 04081001071
Rahman Setiawan
NIM 04081001112

Palembang, 1 Juni 2010


Mengetahui,

Pembantu Dekan III Dosen Pembimbing

dr. Syarif Husin, MS Dr. dr. Mgs. Irsan Saleh., M. Biomed


NIP 19611209-199203 1 003 NIP 19660929-199601 1 001
ABSTRAK

Salah satu kemajuan yang luar biasa pada setengah abad terakhir ini
adalah berkembang pesatnya teknologi DNA dalam bidang kedokteran. Salah satu
pusat perhatian peneliti akhir-akhir ini adalah teknik Polymerase Chain Reaction.
PCR dapat membuat miliaran salinan segmen DNA target dalam beberapa jam,
jauh lebih cepat daripada pengklonan sepotong DNA yang butuh berhari-hari
dengan membuat plasmid rekombinan dan membiarkannya bereplikasi di dalam
bakteri. PCR telah digunakan untuk memperkuat DNA dari berbagai macam
sumber DNA dari sedikit darah, jaringan, atau air mani yang ditemukan di tempat
kejadian perkara kriminal. DNA dari sel embrionik tunggal untuk diagnosis
kelainan genetik sebelum kelahiran dan DNA gen virus dari sel yeng terinfeksi
oleh virus. Dengan demikian, diharapkan dengan penggunaan PCR penegakan
diagnosis untuk penyakit infeksi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tepat
Salah satu permasalahan dalam bidang kedokteran adalah pendeteksian
dini suatu penyakit yang sulit dilakukan. Salah satu contohnya adalah penyakit
lepra. Potensi penularan penyakit lepra di Indonesia masih tinggi. Penyebab
tingginya penularan lebih disebabkan karena sulitnya deteksi dini penyakit lepra.
Ketika memakai BTA, pasien yang dinyatakan sudah negatif oleh bakteri lepra
sebenarnya belum sembuh betul. Pemeriksaan yang lebih spesifik dan sensitif ini
berguna untuk mencegah penularan bakteri lepra di masyarakat Indonesia. Sebab,
mengetahui masih ada atau tidaknya bakteri lepra yang hidup dalam tubuh
manusia sampai saat ini masih sulit dilakukan. Karena bakteri lepra tidak dapat
dibiakkan melalui media di laboratorium
Kemungkinan penerapan teknologi Poyimerase Chain Reaction dalam
mendeteksi kelainan endokrin reproduksi wanita adalah kemampuan teknologi ini
untuk mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit kulit yang sering kita anggap
ringan. Teknologi ini diyakini akan lebih efisien dibanding dengan teknologi
diagnosis konvensional karena pada teknologi Polymerase Chain reaction,
penyakit lepra dapat dideteksi sedini mungkin sebelum terjadi manifestasi klinis
yang lebih lanjut karena 88% pasien lepra yang datang ke dokter sudah berada
dalam stadium lanjut.

Kata Kunci : teknologi DNA, polymerase chain reaction, penyakit lepra


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Mahakuasa atas segala rahmat dan
kasih-Nya kepada kita selama ini. Terlebih dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawab sebagai mahasiswa, sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Karya ilmiah ini disusun berdasarkan literatur yang ada, disamping itu
diambil dalam berbagai situs internet. Karya ilmiah ini memberikan suatu aspirasi
bagi mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan khususnya
tentang Penggunaan Teknologi Polymerase Chain Reaction sebagai Alat Deteksi
Dini pada Penyakit Lepra. Di sisi lain, banyak manfaat yang dapat diperoleh pada
setiap mahasiswa dalam melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai harapan
bangsa.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya ilmiah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan arahan dari seluruh
dosen, khususnya dosen pembimbing, yaitu Dr. dr. Mgs. Irsan Saleh., M. Biomed
dan para dosen yang melakukan seleksi karya tulis ilmiah Sriwijaya Medical
Scientific Olympiade dalam penyempurnaan karya ilmiah ini. Dengan tangan-
tangan terbuka penulis menerima berbagai saran, kritik, dan arahan dari pembaca
khususnya rekan-rekan mahasiswa.
Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara
moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga karya ilmiah ini
dapat berguna bagi kita semua.

Palembang, 1 Juni 2010

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... ii
ABSTRAK............................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR........................................................................................... iv
DAFTAR ISI......................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Perumusan masalah............................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................. 3
1.4 Manfaat................................................................................................ 3
BAB II TELAAH PUSTAKA...............................................................................4
2.1. DNA (Deoxyribonucleid acid)........................................................ 4
2.1.1.Karakteristik Kimia DNA…………………........................... 5
2.1.2. Replikasi DNA……………………………........................... 5
2.1.3. Isolasi DNA............................................................................ 5
2.2. Metode Reaksi Rantai Polimerase (Polymerase Chain Reaction).... 6
2.2.1. Teknik Dasar Amplifikasi PCR............................................. 7
2.2.2. Denaturasi untai ganda DNA................................................. 8
2.2.3. Primer Annealing................................................................... 9
2.2.4. DNA Polymerase extension................................................... 10
2.2.5. Sequencing............................................................................. 12
2.2.6. Prinsip Dasar DNA Sequencing.............................................12
2.2.7. Cara Klasik.............................................................................13
2.2.8. Dye Primers dengan Label Berbeda...................................... 14
2.2.9. Dye-Terminators Sequencing.................................................15
BAB III METODE PENULISAN......................................................................... 17
BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS................................................................... 18
4.1. Kemungkinan aplikasi dari PCR.............................................. 18
4.1.1 Peranan Primer dalam PCR.................................................... 19
4.1.2. Analisis Primer Spesifik 18kDA pada Penyakit Leprae.... 19
4.1.3. PCR- Analisis Sekuen......................................................... 21
4.2.Perbandingan Metode Diagnosis pada leprae, dengan
menggunakan uji BTA dan PCR.................................................. 23
4.3. Aspek Farmakoterapi dan Pentingnya Deteksi Dini Lepra...... 24
BAB V PENUTUP................................................................................................ 26
5.1. Kesimpulan .............................................................................. 26
5.2. Saran......................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 28
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.............................................................................. 30
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Siklus dasar PCR. A. Sistem tiga temperatur yang berbeda. B.


Kenaikan hasil amplifikasi menunjukkan pertumbuhan sigmoid. .
Gambar 2. Reaksi skematis proses amplifikasi.
Gambar 3. Amplifikasi
Gambar 4. Amplifikasi eksponensial
Gambar 5. Proses Cycle Sequencing
Gambar 6. Prinsip Sanger Method dengan primer labelling
Gambar 7. Prinsip Sanger Method dengan primer fluorescent labelling yang
berbeda-beda
Gambar 8. Visualisasi Metode Sanger
Gambar 9. Prinsip Sanger Method dengan dye dideoxy terminator
Gambar 10. Contoh Electropherogram
Gambar 11. Nucleotide sequences of a segment of the 18-kDa antigen gene and
amino acid sequencesof 18-kDa HSP peptide from different samples
Gambar 12.Representative electropherogram of 18-kDa antigen gene. The
sequence from 143 to 160 bp alone is shown for clarity.
Gambar 13. The mutation at codon 53(ACC→GCC) in the folP gene.
A: Wild type M. leprae. B: M. leprae from the relapsed case
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit lepra adalah penyakit yang di sebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit ini memiliki manifestasi klinis seperti anastesia
pada daerah lesi tubuh manusia. Penyakit ini bisa menular melalui kontak
langsung dengan penderita. Potensi penularan penyakit lepra di Indonesia masih
tinggi. Penyebab tingginya penularan lebih disebabkan karena sulitnya deteksi
dini penyakit lepra. Ketika memakai BTA, pasien yang dinyatakan sudah negatif
oleh bakteri lepra sebenarnya belum bisa dikatakan sembuh. Masih ada kuman
dalam tubuhnya yang tidak dapat dideteksi. Pemeriksaan yang lebih spesifik dan
sensitif diperlukan untuk mencegah penularan bakteri lepra di masayarakat
Indonesia. Sebab, mengetahui masih ada atau tidaknya bakteri lepra yang hidup di
dalam tubuh manusia sampai saat ini masih sulit dilakukan karena bakteri leprae
tidak dapat dibiakkan melaui media di dalam laboratorium. Untuk penelitian pada
bidatang pun terbatas. Hanya dapat dilakukan pada armadillo dan kera jenis
tertentu saja.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat menghasilkan
teknologi yang semakin tinggi pula. Dengan semakin berkembangnya kajian
biologi molekular, tanpa disadari kita sudah berada di depan revolusi iptek yang
akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan
manusia, khususnya aspek medis. Pengklonan DNA dalam setiap sel merupakan
metode terbaik untuk mempersiapkan gen tertentu atau urutan DNA lainnya
dalam jumlah banyak. Akan tetapi, ketika sumber DNA sedikit atau tidak murni,
suatu metode yang disebut PCR bisa melakukan lebih cepat dan lebih efektif.
PCR, reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction), merupakan teknik di
mana setiap fragmen dapat diperkuat (diamplifikasi/ disalin beberapa kali) dengan
cepat tanpa menggunakan sel. DNA diinkubasi dalam tabung reaksi dengan DNA
polimerase jenis khusus, suatu pasokan nukleotida, dan potongan pendek DNA
untai-tunggal sintetik yang berfungsi sebagai primer untuk sintesis DNA. Ingat
bahwa DNA polimerase membutuhkan primer karena polimerase ini dapat
menambahkan nukleotida hanya pada rantai nukleotida yang telah ada
sebelumnya. Secara otomatis, PCR dapat membuat miliaran salinan segmen DNA
target dalam beberapa jam, jauh lebih cepat daripada pengklonan sepotong DNA
yang butuh berhari-hari dengan membuat plasmid rekombinan dan
membiarkannya bereplikasi di dalam bakteri.
Kunci dari mudahnya otomatisasi PCR adalah DNA polimerase yang tidak
biasa, yang pertama kali diisolasi dari bakteri yang hidup dalam sumber air panas.
Tidak seperti bagian besar protein, enzim ini dapat menahan panas yang
dibutuhkan untuk memisahkan untai-untai DNA pada tahap awal setiap siklus.
Yang sama mengesankannya seperti kecepatan PCR adalah kekhususannya.
Primer menentukan urutan DNA yang diperkuat. Misalnya PCR dapat digunakan
untuk memperkuat gen spesifik sebelum pengklonan lebih lanjut di dalam sel.
PCR membuat gen dengan fragmen DNA yang sangat berlimpah, dengan
demikian menyederhanakan tugas berukutnya untuk mencari suatu klon yang
membawa gen itu. Penggunaan PCR ini memungkinkan pendeksian dini suatu
penyakit secara lebih spesifik dan sensitif dengan menggunakan primer-primer
yang sudah ada.

1.2. Perumusan Masalah


Adapun perumusan masalah dalam karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Bagaimana kemungkinan cara penggunaan PCR dalam mendiagnosis
kelainan penyakit lepra?
2. Apakah PCR cukup efektif dan efisien dalam mendiagnosis penyakti
lepra?
3. Apa saja keuntungan dan kerugian penggunaan PCR sebagai alat diagnosis
dini penyakit lepra?
1.3. Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan cara penggunaan penggunaan PCR dalam
mendiagnosis kelainan penyakit lepra.
2. Untuk menilai efektifitas dan efisiensi teknologi PCR dalam mendiagnosis
penyakti lepra.
3. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian penggunaan penggunaan
PCR sebagai alat diagnosis dini penyakit lepra di negara Indonesia.

1.4. Manfaat
Hasil penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Masyarakat
2. Para pekerja kesehatan
3. Pemerintah
4. Pengembangan ilmu pengetahuan
5. Penelitian lebih lanjut mengenai diagnosis dengan PCR
BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1. DNA (Deoxyribonucleid Acid)


Asam deoksiribonukleat, lebih dikenal dengan DNA (bahasa Inggris:
deoxyribonucleic acid), adalah sejenis asam nukleat yang tergolong biomolekul
utama penyusun berat kering setiap organisme. Di dalam sel, DNA umumnya
terletak di dalam inti sel. Secara garis besar, peran DNA di dalam sebuah sel
adalah sebagai materi genetik; artinya, DNA menyimpan cetak biru bagi segala
aktivitas sel.

2.1.1. Karakteristik Kimia DNA


DNA merupakan polimer yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu
gugus fosfat, gula deoksiribosa, dan basa nitrogen. Sebuah unit monomer DNA
yang terdiri dari ketiga komponen tersebut dinamakan nukleotida, sehingga DNA
tergolong sebagai polinukleotida.
DNA terdiri atas dua untai yang berpilin membentuk struktur heliks
ganda. Pada struktur heliks ganda, orientasi rantai nukleotida pada satu untai
berlawanan dengan orientasi nukleotida untai lainnya. Hal ini disebut sebagai
antiparalel. Masing-masing untai terdiri dari rangka utama, sebagai struktur
utama, dan basa nitrogen, yang berinteraksi dengan untai DNA satunya pada
heliks. Kedua untai pada heliks ganda DNA disatukan oleh ikatan hidrogen antara
basa-basa yang terdapat pada kedua untai tersebut. Empat basa yang ditemukan
pada DNA adalah adenin (dilambangkan A), sitosin (C, dari cytosine), guanin (G),
dan timin (T). Adenin berikatan hidrogen dengan timin, sedangkan guanin
berikatan dengan sitosin.

2.1.2. Replikasi DNA


Replikasi merupakan proses pelipatgandaan DNA. Proses replikasi ini
diperlukan ketika sel akan membelah diri. Pada setiap sel, kecuali sel gamet,
pembelahan diri harus disertai dengan replikasi DNA supaya semua sel turunan
memiliki informasi genetik yang sama . Pada dasarnya, proses replikasi
memanfaatkan fakta bahwa DNA terdiri dari dua rantai dan rantai yang satu
merupakan "konjugat" dari rantai pasangannya. Dengan kata lain, dengan
mengetahui susunan satu rantai, maka susunan rantai pasangan dapat dengan
mudah dibentuk.
Proses replikasi DNA ini merupakan proses yang rumit namun teliti.
Proses sintesis rantai DNA baru memiliki suatu mekanisme yang mencegah
terjadinya kesalahan pemasukan monomer yang dapat berakibat fatal. Karena
mekanisme inilah kemungkinan terjadinya kesalahan sintesis amatlah kecil.

2.1.3. Isolasi DNA


Isolasi DNA gen bakteri dari sel terinfeksi yang kita ambil dengan biopsi
dapat kita dapatkan dengan melakukan ultrasentrifugasi. Densitas dari DNA kira
kira sama dengan konsentrasi larutan cesium chloride, CsCl (1,6 -1,8 g/ml).
Sentrifugasi dari larutan CsCl dengan rotasi yang tinggi (400.000 rpm) dengan
kekuatan 105 kali lebih kuat dari kekuatan gravitasi mengakibatkan terbentuknya
gradien densitas dalam larutan. Bila DNA terdapat dalam larutan CsCl yang
disentrifugasi, ia akan bergerak menuju posisi keseimbangan.
Sentrifugasi CsCl bertujuan untuk membersihkan DNA dari RNA dan
protein. Densitas DNA sedikit lebih besar dari 1,7 g/cm3, dimana densitas RNA
lebih dari 1,8 g/cm3 dan protein mempunyai densitas kurang dari 1,3 g/cm3. Pada
akhirnya DNA akan berada di tengah tabung, RNA akan berada didasar tabung,
dan protein mengapung di atas.
Perjalanan partikel yang terlarut dalam ultrasentrifugasi merupakan hasil
dari dua proses. Difusi (dari daerah dengan konsentrasi tinggi menuju daerah
konsentrasi rendah) dan sedimentasi karena kekuatan sentrifugasi. Secara umum
kecepatan difusi dari molekul berbanding terbalik dengan berat molekul. Molekul
yang berukuran besar akan berdifusi lebih lambat dari yang berukuran kecil. Di
sisi lain, sedimentasi meningkat seiring bertambahnya berat molekul. Terlihat
bahwa makromolekul dalam ekstrak akan mencapai posisi keseimbangan pada
ultrasentrifugasi membentuk sebuah cincin material.

2.2. Metode Reaksi Rantai Polimerase (Polymerase Chain Reaction)


Reaksi rantai polimerase merupakan suatu metode untuk membuat salinan
segmen spesifik dari suatu DNA. Metode ini jauh lebih cepat daripada pengklonan
gen dengan DNA plasmid atau DNA faga yang seluruhnya dilakukan in-vitro.
Materi awal untuk PCR adalah suatu larutan DNA untai ganda yang mengandung
urutan nukleotida yang ditargetkan untuk disalin. Saintis menambahkan jenis
DNA polimerase yang resisten panas (yang mengkatalis reaksi) suatu pasokan
yang terdiri dari keempat nukleotida (untuk disusun menjadi DNA baru dan
primer. Primer ini dibutuhkan agar DNA polimerase dapat memulai sintesis DNA.
Primer yang digunakan dalam PCR ini merupakan molekul DNA rantai tunggal
sintetik yang pendek, primer ini komplementer terhadap ujung-ujung DNA target
sehingga menentukan segmen DNA tertentu yang akan diperkuat :
1. DNA dipanasi secara singkat untuk memisahkan untainya
2. Didinginkan untuk membiarkan primer berikatan dengan ujung-ujung
urutan target melalui ikatan hidrogen suatu primer
3. DNA polimerase menambahkan nukleotida pada ujung 3’ primer dengan
menggunakan untai DNA yang lebih panjang sebagai cetakannya. Dalam
waktu lebih kurang 5 menit urutan DNA yang panjangnya bisa mencapai
seratus pasang basa telah dilipatgandakan. Larutan ini kemudian
dipanaskan lagi, memulai siklus pemisahan untai yang lain, pengikatan
primer, dan sintesis DNA. Siklus ini berjalan berulang-ulang hingga
urutan target telah terduplikasi semua. Sampai kira-kira 20 siklus, hampir
semua molekul DNA yang dihasilkan akan terdiri atas urutan target yang
tepat
2.2.1. Teknik Dasar Amplifikasi PCR
Proses PCR merupakan proses siklus yang berulang meliputi denaturasi,
annealing dan ekstensi oleh enzim DNA polimerase. Sepasang primer
oligonukleotida yang spesifik digunakan untuk membuat hibrid dengan ujung-5’
menuju ujung-3’ untai DNA target dan mengamplifikasi untuk urutan yang
diinginkan. Dasar siklus PCR ada 30-35 siklus meliputi:
– denaturation (95°C), 30 detik
– annealing (55–60°C), 30 detik
– extension (72°C), waktu tergantung panjang pendeknya ukuran
DNA yang diinginkan sebagai produk amplifikasi.
Peningkatan jumlah siklus PCR diatas 35 siklus tidak memberikan efek
yang positif, seperti yang terlihat pada gambar1B

Gambar 1. Siklus dasar PCR. A. Sistem tiga temperatur yang berbeda. B.


Kenaikan hasil amplifikasi menunjukkan pertumbuhan sigmoid.
2.2.2. Denaturasi untai ganda DNA
Materi awal untuk PCR adalah suatu larutan DNA untai ganda yang
mengandung urutan nukleotida yang ditargetkan akan disalin. DNA diinkubasi
dalam tabung reaksi dengan DNA polimerase jenis khusus, suatu pasokan
nukleotida, dan potongan pendek DNA untai-tunggal sintetik yang berfungsi
sebagai primer untuk sintesis DNA. Denaturasi untai ganda DNA merupakan
langkah yang kritis selama proses PCR. Temperatur yang tinggi pada awal proses
menyebabkan pemisahan untai ganda DNA. Temperatur pada tahap denaturasi
pada kisaran 92-95ºC, suhu 94ºC merupakan pilihan standar.

Gambar 2. Reaksi skematis proses amplifikasi.


Kunci dari mudahnya otomatisasi PCR adalah DNA polimerase yang tidak
biasa, yang pertama kali diisolasi dari bakteri yang hidup dalam sumber air panas.
Tidak seperti bagian besar protein, enzim ini dapat menahan panas yang
dibutuhkan untuk memisahkan untai-untai DNA pada tahap awal setiap siklus.

2.2.3. Primer Annealing


Primer Annealing, pengenalan (annealing) suatu primer terhadap DNA
target tergantung pada panjang untai, banyaknya kandungan GC, dan konsentrasi
primer itu sendiri. Primer menentukan urutan DNA yang diperkuat. Ingat bahwa
DNA polimerase membutuhkan primer karena polimerase ini dapat menambahkan
nukleotida hanya pada rantai nukleotida yang telah ada sebelumnya.
Primer yang digunakan dalam PCR ini merupakan DNA untai tunggal
sintetik yang pendek dan komplementer terhadap ujung DNA target sehingga
menentukan segmen DNA tertentu yang akan diperkkuat. Primer disusun dari
sintesis oligonukleotida sepanjang 15-32bp dan primer ini harus mampu
mengenali urutan yang akan diamplifikasi. Untuk standar amplifikasi sepasang
primer akan mempunyai kisaran pasangan basa sekitar 20 basa panjangnya pada
tiap primernya.
Amplifikasi akan lebih effisien bila temperatur annealing tidak kurang dari
37ºC agar tidak terjadi mispriming. Oleh karena itu, pada temperatur sekitar 55ºC
akan dihasilkan amplifikasi produk yang mempunyai spesifitas yang tinggi.
Primer ini akan menempel pada urutan nukleotida yang sesuai dengan urutan
primer itu sendiri, dan menempel pada posisi ujung-5’ dari untai DNA target yang
telah terurai pada proses sebelumnya.
Annealing temperatur antara primer yang digunakan harus berkisar antara
1°C. Ujung 3’ dari setiap primer harus G atau C, akan tetapi hindari susunan
nukleotida G/C berturut-turut tiga pada ujung ini, misal CCG, GCG, GGC, GGG,
CCC, GCC. Pada penentuan atau penyusunan sepasang primer, penting
diperhatikan urutan primer tidak saling komplementer sehingga membentuk
dimer-primers, berikatan satu sama lain, atau membentuk hairpins. Hal lainnya
hindari menyusun primer pada daerah DNA repetitif. Selain itu, faktor homologi
urutan nukleotida dengan urutan DNA target sangat mempengaruhi kestabilan
ikatan keduanya. Semakin tinggi prosentase homologi semakin stabil ikatan yang
terbentuk.

5´-ACCGGTAGCCACGAATTCGT-3´
|| | || ||| ||
3´-TGCTTAAGCACCGATGGCCA-5´

Gambar 3. Bentuk dimer-primer dari sepasang primer

2.2.4. DNA Polymerase extension


Pada tahap extension ini terjadi proses pemanjangan untai baru DNA,
dimulai dari posisi primer yang telah menempel di urutan basa nukleotida DNA
target akan bergerak dari ujung 5’ menuju ujung 3’ dari untai tunggal DNA.
Proses pemanjangan atau pembacaan informasi DNA yang diinginkan sesuai
dengan panjang urutan basa nukleotida yang ditargetkan. Pada setiap satu kilobase
(1000bp) yang akan diamplifikasi memerlukan waktu 1 menit. Sedang bila kurang
dari 500bp hanya 30 detik dan pada kisaran 500 tapi kurang dari 1kb perlu waktu
45 detik, namun apabila lebih dari 1kb akan memerlukan waktu 2 menit di setiap
siklusnya. Adapun temperatur ekstensi berkisar antara 70-72°C.
Dalam waktu 5 menit urutan DNA target telah digandakan. Larutan ini
kemudian dipanaskan lagi, memulai siklus denaturasi, annealing, dan extension.
Siklus ini berjalan berulang ulang sehingga urutan target telah terduplikasi
berjalan berulang kali. Tetapi ada batasan praktis untuk jumlah salinan yang dapat
dibuat, yang sering dipaksakan oleh akumulasi kesalahan dalam salinan salinan
DNA (versi mutasi in vitro). Untuk mempersiapkan jumlah segmen DNA yang
lebih banyak, PCR dapat diikuti dengan pengklonan DNA dalam sel.
Gambar 4. Amplifikasi eksponensial

Tabel 1 Amplifikasi Geometrik (X=2 n)

Siklus PCR Jumlah Relatif Molekul

1 2

2 4

3 8

4 16

5 32

6 64

10 1.024

20 1. 048.576

30 1.073.741.824
2.2.5. Sequencing
DNA sequencing adalah metode yang digunakan untuk menentukan urutan
basa nukleotida (adenine, guanine, cytosine dan thymine) pada molekul DNA.
Saat ini teknik DNA sequencing sudah memasuki tahap baru yang mengarah pada
large scale atau high-throughput sequencing yang memungkinkan jutaan bahkan
miliaran basa nukleotida DNA dapat ditentukan urutannya.Meskipun begitu,
teknik lama berbasis chain-termination masih umum digunakan, bahkan sangat
efisien untuk menentukan sekuen DNA fragmen pendek (masih dalam hitungan
kilobasa). Jadi ditemukannya teknik DNA Sequencing yang lebih canggih tidak
serta merta bakal menggantikan mesin-mesin capillary sequencing yang
umumnya telah ada di berbagai laboratorium biologi molekuler di seluruh dunia.

2.2.6. Prinsip Dasar DNA Sequencing


DNA sequencing menggunakan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) sebagai pijakannya. DNA yang akan ditentukan urutan basa ACGT-nya
dijadikan sebagai cetakan (template) untuk kemudian diamplifikasi menggunakan
enzim dan bahan-bahan yang mirip dengan reaksi PCR, namun ada penambahan
beberapa pereaksi tertentu. Proses ini dinamakan cycle sequencing.

Gambar 5. Proses Cycle Sequencing (Image from appliedbiosystems.com)

Jadi yang membedakan cycle sequencing dengan PCR biasa adalah:


1. Primer yang digunakan hanya satu untuk satu arah pembacaan, tidak dua
(sepasang) seperti PCR
2. ddNTPs (dideoxy-Nucleotide Triphosphate) adalah modifikasi dari dNTPs
dengan menghilangkan gugus 3′-OH pada ribosa.

Pada akhir cycle sequencing, yang dihasilkan adalah fragmen-fragmen


DNA dengan panjang bervariasi. Jika fragmen-fragmen tersebut dipisahkan
dengan elektroforesis, maka akan terpisah-pisah dengan jarak antar fragmennya
satu basa-satu basa. Lalu bagaimana caranya menentukan urutan basa DNA dari
produk cycle sequencing ini?

2.2.7. Cara Klasik


Metode yang pertama kali dikembangkan oleh Frederick Sanger pada
tahun 1975, yaitu dengan melakukan reaksi cycle sequencing pada empat tabung
terpisah yang masing-masing berisi semua pereaksi yang dibutuhkan. DNA
polimerase ditambahkan bersama sama keempat campuran deoksiribonukleosida
trifosfat (dATP, dCTP, dGTP, dTTP; secara keseluruhan disebut sebagai dNTP-
deoksiribonukleotida) dan keempat campuran dideoksiribonukleosida trifosfat
(ddATP, ddCTP, ddGTP, ddTTP; secara keseluruhan disebut sebagai ddNTP-
dideoksiribonukleotida).
Setelah reaksi cycle sequencing selesai, keempat hasil reaksi tersebut
dilarikan pada gel electrophoresis sehingga fragmen-fragmen yang dihasilkan
dapat terpisah. Urutan basa DNA dapat ditentukan dengan mengurutkan fragmen
yang muncul dimulai dari yang paling bawah (paling pendek). Fragmen DNA
dapat divisualisasi karena primer yang digunakan dilabel dengan radioaktif atau
fluorescent. Pada teknik lain, bukan primer yang dilabel melainkan dNTP.
Gambar 6. Prinsip Sanger Method dengan primer labelling (Image from noaa.gov)

2.2.8. Dye Primers dengan Label Berbeda


Agar proses pemisahan fragmen pada gel electrophoresis bisa digabung
dalam 1 lajur saja, digunakanlah pelabel fluorescent dengan 4 warna berbeda
untuk setiap reaksi cycle sequencing.

Gambar 7. Prinsip Sanger Method dengan primer fluorescent labelling yang


berbeda-beda (Image from appliedbiosystems.com)

Dengan teknik ini visualisasi dan penentuan urutan basa dapat dilakukan
dengan lebih mudah karena keempat reaksi dipisahkan dalam satu lajur
electrophoresis dengan 4 warna berbeda.
Gambar 8. Visualisasi Metode Sanger

2.2.9. Dye-Terminators Sequencing


Metode yang lebih simple akhirnya ditemukan juga. Yaitu dengan
memberi label ddNTP dengan 4 label fluorescent yang berbeda-beda untuk
ddATP, ddCTP, ddGTP dan ddTTP. Dengan demikian, reaksi cycle sequencing
dapat dilakukan dalam 1 tabung reaksi dan dirun pada satu lajur gel
electrophoresis saja. Sangat simple dan cepat.

Gambar. 9. Prinsip Sanger Method dengan dye dideoxy terminator


(Image from appliedbiosystems.com)

Dengan ditemukannya mesin Automated Capillary Sequencer, proses


pemisahan fragmen dan pembacaan urutan basa DNA dapat dilakukan dengan
lebih simple, cepat dan terotomatisasi. Jumlah kapiler pada mesin ini bervariasi,
mulai dari 1, 4, 16, 48 hingga 96 kapiler dalam satu mesin, semakin banyak
jumlah kapiler, semakin banyak pula jumlah sampel DNA yang bisa ditentukan
urutan basanya. Hasil pembacaan mesin sequencer disebut electropherogram,
yaitu peak-peak berwarna yang menunjukkan urutan basa DNA-nya.
Gambar 10. Contoh Electropherogram (image from ggpht.com)

Teknik DNA Sequencing yang berbasis fragment analysis saat ini tidak
hanya digunakan untuk menentukan urutan basa-basa DNA semata, tapi bisa
dikembangkan untuk berbagai aplikasi, seperti penentuan SNP (Single Nucleotide
Polymorphism), analisa keragaman genetik seperti DNA Microsatellite dan AFLP
(Amplified Fragment Length Polymorphism), community analysis seperti tRFLP
(Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism) dan segudang aplikasi
lainnya.
BAB III
METODE PENULISAN

Untuk mencapai tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini, maka
metode yang diambil dalam menyusun karya tulis ilmiah ini yaitu dengan
menentukan topik dan permasalahan yang akan dibahas sebagai sumber awal.
Kemudian diadakan pengkajian terhadap literatur yang berhubungan dengan
Penggunaan PCR sebagai alat deteksi dini penyakit lepra dengan cara studi
internet dan studi kepustakaan yang berhubungan dengan pembahasan pada
penulisan karya ilmiah ini.
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS

4.1. Kemungkinan aplikasi dari PCR


Perkembangan bioteknologi modern di awal tahun 1970-an telah
membuka cakrawala baru dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai
disiplin ilmu bergerak bersama dalam proses pengembangan teknik-teknik yang
digunakan dalam penelitian biologi molekuler. Kajian aktivitas terpadu antar
ilmu-ilmu biologi, biokimia, genetika, mikrobiologi, teknik kimia, komputasi, dan
biofisika menggunakan pendekatan biologi molekuler untuk menghasilkan suatu
barang dan jasa yang terkait dengan perkembangan IPTEK. Reaksi Polimerase
Berantai atau dikenal sebagai Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu
bentuk kemajuan dari integrasi disiplin ilmu dalam hal pengklonan DNA.
Pada prinsipnya, PCR merupakan proses sintesis enzimatik untuk
mengamplifikasi nukleotida. PCR sendiri dirancang pada tahun 1985 dan telah
memberikan dampak besar pada penelitian biologis dan bioteknologi. Secara
otomatis, PCR dapat membuat miliaran salinan segmen DNA target dalam
beberaapa jam, jauh lebih cepat daripada pengklonan sepotong DNA yang butuh
berhari-hari dengan membuat plasmid rekombinan dan membiarkannya
bereplikasi di dalam bakteri. PCR telah digunakan untuk memperkuat DNA dari
berbagai macam sumber DNA dari sedikit darah, jaringan, atau air mani yang
ditemukan di tempat kejadian perkara kriminal. DNA dari sel embrionik tunggal
untuk diagnosis kelainan genetik sebelum kelahiran dan DNA gen virus dari sel
yeng terinfeksi oleh virus. Dengan demikian, diharapkan dengan penggunaan PCR
penegakan diagnosis untuk penyakit infeksi dapat dilakukan dengan lebih cepat
dan tepat.
Kloning DNA dalam setiap sel tetap merupakan metode terbaik untuk
mempersiapkan gen tertentu atau urutan DNA lainnya dalam jumlah banyak.
Pengklonan DNA pada awalnya digunakan dengan menggunakan plasmid bakteri,
plasmid-plasmid tersebut diisolasi dari bakteri dan kita selipkan DNA yang akan
kita klon. Selanjutnya, plasmid dimasukan ke dalam sel lagi dan dibiakkan secara
in vitro, akhirnya kita sampai pada tahap penyaringan koloni untuk gen yang kita
harapkan dan merupakan hal yang paling sulit. Tetapi pada kasus leprae, patogen
penyakit lepra yaitu Mycobacterium leprae tidak dapat dibiakkan secara in vitro.
PCR merupakan teknik di mana setiap fragmen dapat diperkuat
(diamplifikasi/disalin beberapa kali) dengan cepat tanpa menggunakan sel. Oleh
karena itu, PCR bisa melakukan pengklonan DNA tersebut dengan lebih cepat dan
lebih efektif. Sehingga diharapkan bisa menjadi pemeriksaan penunjang yang
berguna untuk penegakan diagnosis penyakit leprae.

4.1.1. Peranan Primer dalam PCR


Beberapa teknik analisis keanekaragaman genetik seperti RAPD, RFLP,
dan DGGE membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari suatu
organisme. Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida
khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan
dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang
primer, makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok
organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk
mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut.
Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer,
komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus
dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik.
Keberhasilan teknik ini lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan efisiensi
dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan
teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau
sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi.

4.1.2. Analisis Primer Spesifik 18kDA pada Penyakit Leprae


Mycobacterium leprae, agen penyebab kusta, merupakan salah satu dari
beberapa bakteri patogen dan diketahui tidak dapat dibiakkan secara in vitro.
Telah banyak kajian biologi molekuler yang telah dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mengkarakterisasi protein-protein antigenik imunodominan
dari M. leprae (Hunter dkk., 1990; Rivoire dkk., 1994; Pessolani dan Brennan,
1996). Beberapa gen yang telah diidentifikasi untuk antigen-antigen ini juga telah
berhasil dikloning dan diurutkan (Thole dkk., 1995). Diantaranya, sebuah antigen
18-kDa, yang merupakan anggota dari kelompok protein kejut panas (HSP),
diketahui spesifik bagi M. leprae. Gen 18-kDa secara khusus teraktivasi selama
pertumbuhan intraseluler dan bisa terlibat dalam kelangsungan hidup M. leprae
dalam makrofage (Dellagostin dkk., 1995).
Antigen HSP 18-kDa dari M. leprae termasuk kedalam famili protein kejut
panas kecil yaitu famili alfa-crystallin dan dilaporkan sebagai antigen sel-T utama.
Gen yang mengkodekan gen HSP ini telah berhasil diklonkan dan dan sekuensi.
Gen antigen 18-kDa, HSP berbobot molekul rendah ini sangat spesifik untuk M.
Leprae. walaupun gen-gen dengan homologi sekuensi terbatas dilaporkan pada M.
avium, M. scrofulaceum, M. gordonae, M. chelonei, M. intracellular dan M.
habana berdasarkan analisis hibridisasi Southern. Akan tetapi, probe yang
dirancang untuk menargetkan antigen 18-kDa menghibridisasi pada DNA
manusia, mencit atau armadillo. Dengan demikian. Gen ini telah digunakan
sebagai target untuk beberapa penelitian dalam pendeteksian M. leprae dari
sampel-sampel kusta dengan menggunakan PCR dan RT-PCR.
Ada beberapa metode berbasis PCR-spesifik untuk mendeteksi DNA
Mycobacterium leprae, tetapi amplikon DNA cukup besar. Sebagai contoh,
primer-primer yang menargetkan gen antigen 36-kDa dan digunakan secara umum
untuk tujuan diagnostik menghasilkan produk 530-bp. Metode-metode ini
menargetkan bagian genom M. leprae yang berbeda dan menghasilkan amplikon-
amplikon yang relatif besar (320 – 530 bp) dibanding dengan yang digunakan
secara rutin untuk pendeteksian M. tuberculosis (123 bp).
Ini bisa menjadi kekurangan ketika menguji sampel-sampel dimana DNA
kemungkinan rusak dan terfragmentasi.
Primer-primer yang dirancang oleh Hartskeerl dkk. didasarkan pada gen
antigen 36-kDa dan masih digunakan oleh banyak laboratorium. Walaupun
amplikonnya memiliki ukuran 530-bp, para peneliti melaporkan bahwa model ini
memungkinkan pendeteksian bakterium tunggal. Williams dkk menggunakan
primer untuk gen antigen 18-kDa M. leprae yang menghasilkan sebuah produk
360-bp dan dapat mendeteksi sedikitnya 100 M. leprae dalam siapan biopsi kulit
manusia tidak-terinfeksi yang dibiakkan, adapun urutan sekuens primer dari M.
leprae 18-kDa adalah Forward primer 5ATGCTGATGCGTACTGACCC dan
reverse primer 5TTAGGCATCTATGATTTCGT. Plikaytis dkk. melaporkan
sebuah reaksi PCR dua-tahapan nested yang mengamplifikasi produk luar 578-bp
dan produk dalam 347-bp dari groEL M. leprae (antigen 65-kDa) dan dapat
mendeteksi sedikitnya 3 fg DNA, yang bisa sama dengan jumlah yang ditemukan
dalam sebuah basilus tunggal.
Primer spesifik gen antigen 18-kDa memiliki sensitifitas yang lebih besar
dibanding primer yang umum digunakan seperti dilaporkan oleh Hartskeerl dkk,
jika dibandingkan dengan primer-primer gen antigen 36-kDa, primer luar gen
antigen 18-kDa 100-kali lipat lebih sensitif.. Salah satu alasan untuk perbedaan ini
adalah ukuran target yang lebih kecil. Primer yang menargetkan gen antigen 18-
kDa memberikan produk luar 136 bp dan produk dalam 110 bp sedangkan primer
spesifik gen antigen 36-kDa yang menghasilkan produk 530-bp karena ini lebih
besar kemungkinannya menghasilkan uji PCR yang berhasil terhadap DNA yang
rusak dan terfragmentasi.
Dengan demikian, primer spesifik M. leprae yang dirancang berdasarkan
pasangan-pasangan primer yang ada telah terbukti spesifik untuk M. leprae..
sensitive. Disimpulkan bahwa primer-primer baru ini merupakan sebuah sarana
yang bermanfaat dan akurat untuk mendeteksi DNA M. leprae yang rusak atau
terdapat dalam kadar yang sangat rendah.

4.1.3. PCR- Analisis Sekuen


Analisis sekuen merupakan suatu teknik yang dianggap paling baik untuk
melihat keanekaragaman hayati suatu kelompok organisme. Teknik ini
berkembang setelah orang menciptakan mesin DNA sequencer. Pada prinsipnya
polimorfisme dilihat dari urutan atau sekuen DNA dari fragmen tertentu dari suatu
genom organisme. Untuk melihat keanekaragaman jenis dapat dilakukan melalui
analisis sekuen gen 16S-rRNA bagi organisme prokaryota atau 18S-rRNA bagi
organisme eukaryota. Perbandingan sekuen rRNA merupakan alat yang baik
untuk mendeduksi hubungan filogeni dan evolusi di antara organisme bacteria,
archaebacteria, dan eukaryot (Weisburg et al., 1991).
Sekuen yang dihasilkan dibandingkan dengan basis data (data-base) untuk
gen 16SrRNA dan 18S-rRNA tersedia dan disimpan misalnya dalam Gene-Bank,
dan dapat diakses misalnya melalui http:/// www.ebi.ac.uk maupun dengan
menggunakan program BLAST dari The National Center for Biotechnology
Information World Wide Web server.

Gambar 11. Nucleotide sequences of a segment of the 18-kDa antigen gene and
amino acid sequencesof 18-kDa HSP peptide from different samples.
Gambar 12. Representative electropherogram of 18-kDa antigen gene. The
sequence from 143 to 160 bp alone is shown for clarity.

4.2. Perbandingan Metode Diagnosis pada leprae, dengan menggunakan uji


BTA dan PCR
Diagnosis penyakit didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien,
histopatologi dan penunjukkan basilus tahan asam dalam hapusan atau biopsi
skin-slit. Akan tetapi, batas deteksi berdasarkan mikroskop adalah c. 104
basilus/mL. Untuk meningkatkan kesensitifan dan kespesifikan pendeteksian M.
leprae, beberapa peneliti telah melaporkan metode-metode berdasarkan PCR.
dr Cita Rosita Sigit Prakoeswa SpKK dalam disertasinya mengatakan
bahwa “Ketika memakai BTA, pasien yang dinyatakan sudah negatif oleh bakteri
lepra sebenarnya belum sembuh betul. Masih ada kuman yang hidup dalam
tubuhnya yang tidak dapat dideteksi,”
Sharma dkk. meneliti material biopsi dari pasien-pasien India dan
menemukan perbedaan gen antigen 18-kDa dengan menggunakan DNA M. leprae
sebagai template. Para peneliti ini melaporkan kesensitifan 100% pada sampel
yang positif basilus-tahan-asam dan kesensitifan 71% pada sampel yang negatif
basilus-tahan-asam. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa mRNA antigen 18-
kDa pada 81% kasus yang positif AFB dan 75% kasus yang negatif AFB,
sehingga menandakan korelasi yang dekat. Hasil ini mendukung keterpercayaan
analisis RT-PCR dalam identifikasi gen.

4.3. Aspek Farmakoterapi dan Pentingnya Deteksi Dini Lepra


Selama in para dokter sangat jarang menemukan pasien lepra dalam
stadium dini. Hal ini ditandai dengan tangan dan kaki penderita yang cacat. Selain
itu sekitar 88% pasien menderita lepra tipe basah (multibasiler) yang sangat
menular kepada orang lain. Penularan bisa melalui kontak dengan pasien lepra.
Fakta ini menunjukkan bahwa seharusnya penangan penyakit lepra harus
dilakukan dengan serius dan deteksi dini penyakit ini sangat penring dilakukan.
World Health Organization merekomendasikan pengguanaan multidrug
pada terapi lepra. Kombinasi obat yang digunakan terdiri dari dapsone, rifampin,
dan ofloksasin. Kombinasi obat ini telah mengurangi jumlah penderita leprae
namun dari data-data yang di dapatkan, kasus relaps pada penderita leprae masih
tinggi. Resistensi obat antilepra telah diteliti sejak tahun 1964. Resistensi ini
berhubungan dengan mutasi gen Gen folP pada kodon 53 (ACCGCC) sehingga
mengubah asam amino threonine menjadi alanine.

Gambar 13. The mutation at codon 53(ACC→GCC) in the folP gene.


A: Wild type M. leprae. B: M. leprae from the relapsed case
Mutasi pada kodon ini dapat menyebabkan resistensi obat antilepra.
Teknologi PCR akan membantu kita mendeteksi gen yang mengalami mutasi
sehingga kita dapat mengetahui apakah bakteri M. Leprae telah mengalami
resistensi terhadap obat tertentu. Teknologi ini akan lebih simpel dibandingkan
metode pembiakan bakteri dan uji resistensi pada mencit selama 12 bulan. Dengan
mengetahui metode uji resistensi ini maka penggunaan terapi yang tepat dapat
diterapkan untuk menuntaskan penyakit ini.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
PCR merupakan teknik di mana setiap fragmen dapat diperkuat
(diamplifikasi/disalin beberapa kali) dengan cepat tanpa menggunakan sel. Oleh
karena itu, PCR bisa melakukan pengklonan DNA tersebut dengan lebih cepat dan
lebih efektif. Sehingga diharapkan bisa menjadi pemeriksaan penunjang yang
berguna untuk pendeteksian dini dan penegakan diagnosis penyakit leprae.
Pemeriksaan yang lebih spesifik dan sensitif ini berguna untuk mencegah
penularan bakteri lepra di masyarakat Indonesia. Sebab, mengetahui masih ada
atau tidaknya bakteri lepra yang hidup dalam tubuh manusia sampai saat ini masih
sulit dilakukan. Karena bakteri lepra tidak dapat dibiakkan melalui media di
laboratorium. Untuk penelitian pada binatang pun terbatas. Hanya pada armadillo
dan kera jenis tertentu saja dapat dilakukan.
Selain itu sekitar 88% pasien menderita lepra tipe basah (multibasiler)
yang sangat menular kepada orang lain. Penularan bisa melalui kontak dengan
pasien lepra. Sementara itu, pasien yang datang ke dokter sangat jarang berada
dalam stadium dini. Hal ini ditandai dengan tanan dan kaki penderita cacat.
Uraian di atas menyarankan bahwa metode diagnostik yang paling
potensial saat ini untuk diterapkan dalam mendeteteksi secara dinipenyakit kusta
adalah teknologi Polymerase Chain Reaction. Keterbatasan biaya dapat menjadi
penghambat penerapan teknik diagnosis yang membutuhkan instrumen dan bahan
yang mahal ini di Indonesia. Tetapi dengan dukungan penuh dari pemerintah dan
seiring dengan berkembangnya automatisasi serta komersialisasi dari metode
molekuler akan dapat dirancang aplikasi teknologi ini secara efisien, yang akan
bermuara pada makin terintegrasinya teknologi Polymerase Chain Reaction ke
dalam praktek klinik.
5.2. Saran
Sebagai penutup, penulis mengajak pemerintah, para pekerja kesehatan,
pemerhati IPTEK, akademisi, pengusaha, dan seluruh komponen masyarakat
Indonesia untuk mulai meningkatkan perhatiannya pada teknologi Polymerase
Chain Reaction yang tepat guna bagi bangsa dan masyarakat Indonesia karena
kemajuan suatu bangsa dimulai dari peningkatan kualitas hidup dan pemanfaatan
sumber daya manusianya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Booth, R.J., et al. Homologs of Mycobacterium leprae 18-Kilodalton and


Mycobacterium tuberculosis 19-Kilodalton Antigens in Other
Mycobacteria. Infect Immun 1993; 61: 1509-1515
2. Campbell, Neil A, Jane B. Reece. 2002. Biology (edisi ke-5). Terjemahan
oleh: dra. Rahayu Lestari, drs. Ellyzar I.M. Adil, Nova Anita, S.Si, dkk).
Jakarta: Erlangga. halaman 298-314, 388-413.
3. Chae, Gue-Tae, et al. Mycobacterium leprae to assess the efficay of multi-
drug therapy for leprosy.J Med Microbiol 2002; 51: 417-422
4. Donoghue, H.D., J. Holton, and M. Spigelman. PCR primers that can
detect low levels of Mycobacterium leprae DNA. J Med Microbiol 2001;
50: 177-182
5. Fatchiyah. Polymerase Chain Reaction: Dasar Teknik Amplifikasi DNA
dan Applikasinya. Malang 2006
6. Garrett, Reginald H. and Vharles M. Grisham. 2007. Biochemistry update
third edition. United States of America: Thomson learning. Halaman 337-
343, 373
7. Hartskeerl RA, De Wit MYL, Klaster PR. Polymerase chain reaction for
detection of Mycobacterium leprae. J Gen Microbiol 1989; 135: 2357-
2364
8. Hirawati, et al. Detection of M. Leprae by reverse transcription-PCR in
biopsy specimens from leprosy cases: a preliminary study. J Commun Dis
2006; 38: 280-287
9. Ivette, Lopez-Roa Rocio, Fafutis-Morris Mary,and Matsuoka Masanori.
A drug resistant leprosy case detected by DNA sequence analysis from a
relapsed Mexican leprosy patient. Rev Lationam Microbiol 2006; 48: 256-
259
10. Marques, M.A.M., et al. Further biochemical characterization of
Mycobacterium leprae laminin-binding protein. Braz J Med Biol Res
2001; 34: 463-470
11. Murray, Robert K, Darryl K. Granner, Victor W. Rodwell. 2006. Harper’s
Illustrated Biochemistry (edisi ke-27). Terjemahan oleh: dr. Brahm U.
Pendit. Jakarta : EGC. Halaman 304-414.
12. Nakata, Noboru, et al. Nucleotide sequence of the Mycobacterium Leprae
katG region. Journal of Bacteriology 1997; 179: 3053-3057
13. Shabaana, A.K., S.P. Shankernayan, and K. Dharmalingam.
Mycobacterium leprae 18-kDa heat shock protein gene in polymorphic.
Current science 2003; 84: 64-70
14. Shanmugam, Anusuya and Jeyakumar Natarajan. Computational genome
analyses of metabolic enzymes in Mycobacterium leprae for drug target
identification. Bioinformation 2010; 4: 393-395
15. Wichitwechkarn, Jesdawan, et al. Detection of Mycobacterium leprae
infection by PCR. Journal of Clinical Microbiology 1995; 33: 45-49
16. Young, Douglas. 2002. Leprosy- new opportunities in basic science.
Working papar for the Scientific working group meeting on leprosy
research. Geneva, 26-28 februari 2002
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Rahman Setiawan


2. Tempat/ Tangggal lahir : Jambi/ 18 September 1990
3. Institusi : FK Unsri
4. Alamat : Jl. Mayor mahidin no. 93,
palembang
5. Handphone : 081994862740
6. Karya- Karya yang Pernah Dibuat :
a. Tata cara Upacara Pengobatan Suku Anak Dalam Jambi
b. Korelasi antara Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas dengan Tingkat
Kedisiplinan Pengendara
c. Pengaruh Pemberian Dana BOS dengan Tingkat Kehadiran Siswa
SMA PGRI IV Jambi
d. Koralasi antara Angka Kemiskinan dengan Indeks Pembangunan
Manusia
e. Identifikasi Tanaman Obat Tradisiona Di Taman Nasional Bukit 12
Jambi
7. Penghargaan-Penghargaan Ilmiah :
a. Juara 1 International Biology Olympiade Tingkat Provinsi Jambi
2006
b. Juara II International Biology Olympiade Tingkat Kota Jambi 2007
c. Finalis Olimpiade Sains Nasional bidang Biology di Semarang
2006
d. Finalis Pertukaran Pelajar Budaya Indonesia-Singapore di Jakarta
2007
e. Juara II Honda Best Student Tingkat Kota Jambi 2007
f. Juara II Honda Best Student Tingkat Provinsi Jambi 2007
g. Finalis Nasional AHMBS Jakarta 2007
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Franz Sinatra Yoga


2. Tempat/ Tangggal lahir : Aceh/ 18 Oktober 1990
3. Institusi : FK Unsri
4. Alamat : Jl. Mayor mahidin no.117.
Palembang
5. Handphone : 085769382203
6. Karya- Karya yang Pernah Dibuat :
a. Menghapus Bayang Bayang Korupsi Untuk Langkah ke Depan
Bangsa
b. Budidaya Ikan kerapu Sebagai Investasi Provinsi Bengkulu
c. Disiplin Masyarakat dalam Peningkatan Pekerti Bangsa
d. Belajar Kimia Meningkatkan Kecerdasan Emosi dan Spiritual
Berdasar pada Nilai Nilai Islam
7. Penghargaan-Penghargaan Ilmiah :
a. Juara II Karya Tulis Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2007
Tingkat Provinsi Bengkulu
b. Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Fakultas Hukum FH UNIB 2007
tingkat Provinsi Bengkulu
c. Juara I LCT Biologi FKIP UNIB 2005
d. Juara III LCT Kimia 2007 tingkat Provinsi Bengkulu
e. Juara II LCT Kimia 2008 tingkat Provinsi Bengkulu
f. Chemis#8 Chemical Idol 2008 Ganesha Operation cabang
Bengkulu

You might also like