You are on page 1of 17

KITAB AL-FARAIDH

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqih II
Dosen Pengampu: Amin Farih M.A.g

Disusun Oleh:

Khoirul Anam 093111058


M. Wafiq Amali 093111072

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
KITAB AL-FARAIDH

I. PENDAHULUAN

Ilmu artinya pengetahuan. Al-Faraidh artinya bagian-bagian yang tertentu.


Kalau satu bagian disebut Fariidhah. Di dalam Islam terpakai dengan arti Ilmu
Pembagian Pusaka. Sabda Rasulullah: Belajarlah Al-Qur’an dan ajarkanlah dia
kepada manusia, dan belajarlah Faraidh dan ajarkanlah dia, karena sesungguhnya
aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua
orang berselisihan, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang mengkhabarkan
kepada mereka(hukumnya), (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’i). Oleh sebab umat
Islam telah memperhatikan Hadits tersebut dan telah mementingkan sungguh-sungguh
urusan Faraidh, maka, di zaman ini, kalau ada dua orang yang berselisihan faham
tentang suatu pembagian, maka keputusannya bisa didapati dari sunnah-sunnah yang
sudah dikumpulkan.

Adapun perkataan Rasulullah, bahwa ilmu Faraidh akan dilupakan orang dan
akan tercabut daripada umatnya itu, memang telah terbukti kalau kita perhatikan
kepandaian orang-orang dahulu disbanding dengan orang-orang sekarang. Kita bisa
lihat, beberapa Ulama’ yang besar-besar, pintar dalam ilmu ini dan itu, tetapi dalam
ilmu Faraidh, terdapat kosong atau kurang. Kalau kita fikirkan betul-betul, niscaya
kita dapat tahu, bahwa dalam umat Nabi Muhammad zaman belakangan, memang
sedikit sekali orang yang pandai Ilmu Faraidh.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Definisi Faraidh dan Ahli Waris

B. Rukun-Rukun, Sebab-Sebab, dan Penghalang-Penghalangnya Pusaka

C. Hijab, Ashobah, dan Furudhul Muqaddarah

D. ‘Aul dan Radd

E. Pusaka Rahim dan Wasiat

2
III. PEMBAHASAN

A. Definisi Faraidh dan Ahli Waris

1. Definisi Faraidh

Faraidh, jama’ dari Fariidhah. Kata ini diambil dari Fardhu. Fardhu
dalam istilah ulama’ Fiqih Mawaris islah bagian yang telah ditetapkan oleh
Syara’. Masalah-masalah mawaris di dalam syari’at Islam, merupakan salah
satu pembahasan Ilmu Fiqih yang terpenting. Ahli Fiqih telah mendalami
masalah-masalah yang berpautan dengan Warisan, dan menulis buku-buku
mengenai masalah-masalah ini, dan menjadikannya suatu Ilmu yang berdiri
sendiri dan menamakannya ilmu Mawaris atau Ilmu Faraidh. Orang yang
pandai dalam Ilmu ini dinamakan Faridh, Fardhi, Faraidhi, Firridh.1

Sedangkan ilmu Faraidh didefinisikan oleh para Ulama’ sebagai berikut:


Ilmu Fiqih yang berkaitan dengan pembagian Harta Pusaka, pengetahuan
tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta
pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik Harta Pusaka.2

2. Ahli Waris

Laki-laki yang jadi warits:

a) Anak laki-laki
1
Teungku Muhammad Hashbi, Fiqih Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), Cet. 1,
Hlm. 5.
2
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), Cet. 1, Hlm.
2.

3
b) Cucu Laki-laki, yaitu anak Laki-laki bagi anak Laki-laki, dan
seterusnya, yaitu Cucu Laki-laki bagi anak Laki-laki hingga ke bawah

c) Ayah

d) Datuk, yaitu Ayah bagi Ayah, hingga ke atas, yakni datuk bagi Ayah
dan datuk bagi Datuk, dan seterusnya, dari pihak Laki-laki

e) Saudara Laki-laki Seibu Sebapak

f) Saudara Laki-laki sebapak, lain Ibu

g) Saudara Laki-lakiseibu, lain bapak

h) Keponakan Laki-laki seibu sebapak, yaitu anak Laki-laki bagi saudara


laki-laki seibu sebapak

i) Keponakan Laki-laki Sebapak, yaitu anak Laki-laki bagi saudara Laki-


laki Sebapak

j) Paman Seibu Sebapak, yaitu saudara Laki-laki Seibu Sebapak bagi


bapak

k) Paman sebapak, yaitu saudara laki-laki sebapak bagi bapak

l) Sepupu (misan) laki-laki seibu sebapak, yaitu anak laki-laki bagi


paman seibu sebapak

m) Sepupu (misan) laki-laki sebapak, yaitu anak laki-laki paman sebapak

n) Suami

o) Laki-laki yang memerdekakan

Perempuan-perempuan yang jadi warits:

a) Anak perempuan

b) Cucu perempuan , yaitu anak perempuan bagi anak laki-laki atau anak
perempuan bagi cucu laki-laki, hingga kebawah

4
c) Ibu

d) Nenek dari sebelah ibu, yaitu ibu bagi ibu, ibu bagi nenek, dan
seterusnya

e) Nenek dari sebelah bapak, yaitu ibu bagi bapak, ibu bagi datuk dan
seterusnya

f) Saudara perempuan seibu sebapak

g) Saudara perempuan sebapak

h) Saudara perempuan seibu

i) Isteri

j) Perempuan yang memerdekakan3

B. Rukun-Rukun, Sebab-Sebab, dan Penghalang-Penghalangnya Pusaka

1. Rukun-Rukun Pusaka

Rukun-rukun pusaka ada tiga:

a) Muwarrits, yaitu orang yang meninggalkan hartanya

b) Warits, yaitu orang yang ada hubungan dengan orang yang telah
meninggal, seperti kekerabatan dan perkawinan

c) Mauruts, yaitu harta yang menjadi pusaka. Harta ini dalam istilah fiqih
dinamakan mauruts, mirats, irts, turats, dan tarikah 4

2. Sebab-Sebab Pusaka

Adapun kriteria seseorang menerima waris ada tiga hal, yaitu:

a) Hubungan kekerabatan
3
A. Hasan, Al-Faraidh, Ilmu Pembagian Waris, (Surabaya: Pustaka perempuan ogressif, 2003),
Hlm. 23.
4
Teungku Muhammad Hashbi, Op. Cit., Hlm. 27.

5
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang
mewariskan dengan yang mewarisi, kerabat-kerabat itu dapat digolongkan
kepada 3 golongan, yakni:

 Furu’, yaitu anak turunan si mayyit

 Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan


adanya si mayyit

 Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si


mayyit melalui garis menyamping

b) Hubungan perkawinan

Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling


mewarisi antara suami dan istri. Hak saling mewarisi itu selama hubungan
perkawinan itu masih tetap berlangsung. Jika mereka telah bercerai, maka
tidak ada lagi hak saling mewarisi, kecuali dalam keadaan talak Raj’i yang
masih dalam masa Iddah.

c) Hubungan karena sebab Al-Wala’

Al-wala’ adalah apabila ada seseorang memerdekakan budak, maka


apabila orang yang dimerdekakan tadi mati, maka orang yang
memerdekakan mendapat warisan.5

Tiga criteria untuk mendapatkan hak waris mewarisi telaah disepakati


oleh para ulama’. Di samping itu, ada suatu hal lagi yang oleh ulama’
Syafi’iyyah dan ulama’ Malikiyyah dijadikan criteria untuk memperoleh
hak waris mewarisi, yaitu jurusan keislaman. Ini berarti andaikata seorang
Muslim mati, tidak mempunyai ahli waris sama sekali atau mempunyai
ahli waris tetapi hartanya tidak habis dibagi, maka peninggalan tersebut
harus diserahkan ke kas perbendaharaan Negara.

3. Penghalang-Penghalang Pusaka

5
Hasbiyallah, Op. Cit., Hlm. 12.

6
Halangan untuk menerima waris adalah hal-hal yang menyebabkan
gugurnya hak ahli waris dari mendapatkan harta peninggalan muwarrits.
Adapun halangan tersebut adalah:

a) Pembunuh, semua ulama’ sepakat bahwa pembunuhan dapat


menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak waris.

b) Beda agama, seseorang terhalang untuk mewarisi, apabila antara ahli


waris dan muwarrits berbeda agamanya.

c) Perbudakan, seorang hamba tidak bisa jadi waris dan tidak pula bisa
jadi orang yang meninggalkan harta buat diwarisi, karena selama belum
merdeka, ia jadi milik bagi tuannya bersama sekalian hak miliknya.6

C. Hijab, Ashobah, dan Furudl Muqaddarah

1. Hijab

Hijab secara harfiyyah berarti terhalang, sedangkan secara istilah adalah


terhalangnya ahli waris dari memperoleh warisan, baik secara keseluruhan
maupun hanya sebagian saja.

Hijab terdiri dari dua macam, yakni:

a) Hijab Hirman

Hijab hirman adalah terhijabnya seorang ahli waris dalam


memperoleh warisan secara keseluruhan. Hijab hirman ada dua, yaitu:

 Hijab hirman bil syahshi, yaitu terhalangnya ahli


waris dari memperoleh warisan disebabkan berkumpul dengan ahli
waris lain yang lebih dekat.

 Hijab hirman bil washfi, yaitu terhalangnya ahli


waris dari memperoleh warisan disebabkan memiliki sifat yang bisa
menghalangi dari memperoleh warisan.

6
A. Hasan, Op. Cit., Hlm. 33.

7
b) Hijab Nuqshan

Hijab nuqshan adalah terhijabnya seorang ahli waris dalam


memperoleh warisan hanya sebagian saja, hanya pengurangan bagian yang
diperolehnya.7

2. Ashobah

Ashobah menurut bahasa berarti kekerabatan seorang laki-laki dengan


ayahnya. Dinamakan ashobah karena mereka mengelilinginya. Kata ashoba
artinya mengelilingi untuk melindungi dan membela. Adapun menurut istilah
yang digunakan dalam ilmu waris, ashobah adalah ahli waris yang tidak
mempunyai bagian yang tegas ditentukan dalam Al-Qur’an dan Nash atau
bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris Ashhabul Furudh.

Macam-macam ashabah:

a) Ashabah Binafsihi

Ashabah Binafsihi yaitu kerabat laki-laki yang bernisbah kepada


mayit tanpa diselingi oleh orang perempuan . Ketentuan ini mengandung
dua pengertian, yaitu bahwa antara mereka dengan si mati tidak ada
perantara sama sekali, seperti anak laki-laki dan ayah, dan terdapat
perantara tetapi perantaranya bukan orang perempuan , seperti cucu laki-
laki dari anak laki-laki.

b) Ashabah Bil Ghoiri

Ashabah Bil Ghoiri adalah adalah setiap wanita yang mempunyai


fardhu, yang dalam menerima ashabah memerlukan kepada yang lain dan
dia bersekutu dengan yang lain. ‘Ashabah Bil Ghoiri itu ada empat, yaitu:

 Anak perempuan sekandung bersama anak laki-laki


sekandung

 Cucu perempuan bersama cucu laki-laki

7
Agus Maghfur Murod, Al-Miftah fi ‘Ilmil Faraidh, (Mranggen: TN., TT.), Hlm. 22.

8
 Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-
laki sekandung

 Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki


seayah

Apabila salah seorang ahli waris dari perempuan -perempuan


tersebut bersama mu’ashshibnya yang sama derajat dan kekuatannya, ia
menjadi ashabah bil ghoiri.

c) Ashabah Ma’al Ghoiri

Ashabah Ma’al Ghoiri adalah setiap perempuan yang memerlukan


orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak
berserikat dalam menerima sisa harta warisan. Orang yang menjadikan
ashabahnya tetap menerima bagian menurut fardhnya sendiri. Ashabah
ma’al ghoiri ini, terbatas pada dua wanita saja, yaitu saudara perempuan
sekandung dan saudara perempuan seayah.8

3. Furudl Muqaddarah

Furudhul muqaddarah terdiri dari 6 macam, yaitu: 2/3, 1/3, 1/6, 1/2, 1/8
dan 1/4.

Pembagiannya secara rinci akan kami terangkan di bawah ini

a) Kaidah bapak

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan anak

• 1/6, ketika berkumpul dengan anak

• 1/6 & sisa, ketika berkumpul dengan anak & seluruh ahli
warisnya perempuan

b) Kaidah kakek (Abul Abi)

8
Hasbiyallah, Op. Cit., Hlm. 34.

9
• Mahjub, ketika berkumpul dengan bapak atau kakek yang lebih
dekat

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan bapak & anak

• 1/6, ketika berkumpul dengan anak & tidak berkumpul dengan


bapak

• 1/6 & sisa, ketika berkumpul dengan anak & seluruh ahli
warisnya perempuan

c) Kaidah anak laki-laki

• ashabah

d) Kaidah anak perempuan

• Ashabah, ketika berkumpul dengan anak laki-laki

• 1/2, ketika sendirian dan tidak ada anak laki-laki

• 2/3, ketika berbilangan dan tidak ada anak laki-laki

e) Kaidah cucu laki-laki dari anak laki-laki

• Mahjub, ketika berkumpul dengan anak laki-laki

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan anak laki-laki

f) Kaidah cucu perempuan dari anak laki-laki

• Mahjub, ketika berkumpul dengan anak laki-laki

• Ashabah, ketika berkumpul dengan cucu laki-lakidari anak


laki-laki

• 1/2, ketika sendirian dan tidak ada yang mengashabahkannya

• 2/3, ketika berbilangan dan tidak ada yang mengashabahkannya

• 1/6, ketika berkumpul dengan satu anak perempuan

g) Kaidah ibu

10
• 1/3, ketika tidak berkumpul dengan anak & saudara yang
berbilangan (secara mutlak)

• 1/6, ketika berkumpul dengan anak atau saudara yang


berbilangan (secara mutlak)

• 1/3 nya sisa, ketika dalam permasalahan Gharrawain

h) Kaidah suami

• 1/2, ketika tidak berkumpul dengan anak

• 1/4, ketika berkumpul dengan anak

i) Kaidah istri

• 1/4, ketika tidak berkumpul dengan anak

• 1/8, ketika berkumpul dengan anak

j) Kaidah nenek (dari segala arah)

• Mahjub, ketika berkumpul dengan ibu. Tapi ketika berkumpul


dengan bapak, maka yang mahjub hanya nenek dari arah bapak

• 1/6, ketika tidak berkumpul dengan ibu. Dan untuk nenek dari
arah bapak, harus tidak berkumpul dengan ibu dan ayah

k) Kaidah saudara laki-lakisekandung

• Mahjub, ketika berkumpul dengan anak laki-laki /cucu laki-


lakidari anak laki-laki /bapak

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan orang-orang tersebut

l) Kaidah saudara perempuan sekandung

• Mahjub, ketika berkumpul dengan orang-orang yang


memahjubkan saudara laki-lakisekandung

11
• Ashabah, ketika berkumpul dengan saudara laki-
lakisekandung/kakek/anak perempuan /cucu perempuan dari anak
laki-laki

• 1/2, ketika sendirian dan tidak ada yang mengashabahkannya

• 2/3, ketika berbilangan dan tidak ada yang mengashabahkannya

m) Kaidah saudara laki-lakisebapak

• Mahjub, ketika berkumpul dengan anak laki-laki /cucu laki-


lakidari anak laki-laki /bapak/saudara laki-lakisekandung/saudara
perempuan sekandung yang ketika memperoleh ashabah ma’al ghair

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan orang-orang tersebut

n) Kaidah saudara perempuan sebapak

• Mahjub, ketika berkumpul dengan orang-orang yang


memahjubkan saudara laki-lakisebapak

• Ashabah, ketika berkumpul dengan saudara laki-


lakisebapak/kakek/anak perempuan /cucu perempuan dari anak laki-
laki

• 1/2, ketika sendirian dan tidak ada yang mengashabahkannya

• 2/3, ketika berbilangan dan tidak ada yang mengashabahkannya

• 1/6, ketika berkumpul dengan saudara perempuan sekandung


biasa

12
o) Kaidah saudara (Laki-laki dan perempuan ) seibu

• Mahjub, ketika berkumpul dengan anak laki-laki /cucu laki-


lakidari anak laki-laki /bapak/kakek/anak perempuan /cucu perempuan
dari anak laki-laki

• 1/3, ketika berbilangan dan tidak ada yang memahjubkannya

• 1/6, ketika sendirian dan tidak ada yang memahjubkannya

p) Kaidah keponakan laki-lakidari saudara laki-lakisekandung

• Mahjub, ketika berkumpul dengan orang-orang yang


memahjubkan saudara laki-lakisebapak/saudara laki-
lakisebapak/saudara perempuan sebapak yang memperoleh ashabah
ma’al ghair

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan orang-orang tersebut

q) Kaidah keponakan laki-lakidari saudara laki-lakisebapak

• Mahjub, ketika berkumpul dengan orang-orang yang


memahjubkan keponakan laki-lakidari saudara laki-
lakisekandung/keponakan itu sendiri

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan orang-orang tersebut

r) Kaidah paman (‘amm) sekandung

• Mahjub, ketika berkumpul dengan orang-orang yang


memahjubkan keponakan laki-lakidari saudara laki-
lakisebapak/keponakan itu sendiri

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan orang-orang tersebut

s) Kaidah paman (‘amm) sebapak

• Mahjub, ketika berkumpul dengan orang-orang yang


memahjubkan paman (‘amm) sekandung/paman itu sendiri

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan orang-orang tersebut

13
t) Anak laki-lakinya paman (‘amm) sekandung

• Mahjub, ketika berkumpul dengan orang-orang yang


memahjubkan paman (’amm) sebapak/paman itu sendiri

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan orang-orang tersebut

u) Anak laki-lakinya paman (‘amm) sebapak

• Mahjub, ketika berkumpul dengan orang-orang yang


memahjubkan anak laki-lakinya paman (‘amm) sekandung/paman itu
sendiri

• Ashabah, ketika tidak berkumpul dengan orang-orang tersebut9

D. ‘Aul dan Radd

1. Aul

‘Aul menurut bahasa adalah curang, menyimpang dari kebenaran, hilang


atau dikalahkan. Sedangkan menurut istilah adalah menambah saham-saham
ashhabul furudh atas asal masalah, lantaran furudh memerlukan tambahan atau
dengan kata lain, ‘aul adalah bagian ahli waris yang berhak mendapat warisan
ada lebih banyak daripada harta peninggalan si mati. Sesudah diperiksa oleh
‘ulama’ faraidh, terdapat bahwa ‘aul itu hanya ada di masalah 6, 12, dan 24,
tidak di lainnya.10

2. Radd

Apabila jumlah saham para ahli waris lebih kecil daripada asal
masalahnya, maka memerlukan penyelesaian setepat-tepatnya agar harta
peninggalan yang akan dibagi tidak ada sisa yang tidak terbagikan. Ini yang
disebut dengan radd, yaitu: penambahan pada bagian-bagian ahli waris dan
pengurangan pada saham-sahamnya.

9
Agus Maghfur Murod, Op. Cit., Hlm. 11-21.
10
A. Hasan, Op. Cit., Hlm. 101.

14
Dalam ilmu waris, sisa tersebut harus dikembalikan lagi kepada ahli
waris yang berhak menerimanya menurut perbandingan besar kecilnya fardh
atau saham yang mereka terima masing-masing. Semua ahli waris berhak
menerima kelebihan kacuali suami dan istri.11

E. Pusaka Rahim dan Wasiat

1. Pusaka Rahim

Apa bila para ahli waris telah sepakat untuk menunda pembagian waris
sampai janin dalam kandungan itu lahir, tidak menimbulkan masalah. Karena
kelahiran anak itu dapat membantu penyelesaiannya apakah ia lahir dalam
keadaan hidup atau mati, apakah ia laki-laki atau perempuan dan apakah
hanya seorang diri atau kembar. Tetapi yang menjadi masalah, bila ahli waris
menghendaki disegerakan untuk pembagian harta waris. Mengenai hal ini, Al-
Qaffal berpendapat bahwa peninggalan mayit harus ditahan dulu sampai anak
yang masih dalam kandungan itu lahir, kendati para ahli waris menginginkan
untuk segera dibagikan.12

2. Wasiat

Wasiat ialah suatu perjanjian mengikat untuk menantikan sesuatu atau


memberi kebaiakn berupa harta kekayaan setelah seseorang wafat, dengan demikian
wasiat terbagi dua :

a) Wasiat kepada orang yang akan membayarkan utang, atau memberi


hak, atau mengawasi anak-anaknya yang kecil sampai mereka dewasa.
b) Wasiat tentang sesuatu yang menjadi tanggung jawab orang yang
diberi wasiat.13
Syarat-Syarat Wasiat
11
Hasbiyallah, Op. Cit., hlm. 54.
12
Ibid, hlm. 82
13
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Terj. Rachmat, sumpeno, Minhajul Muslim (Pola Hidup
Muslim), (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991), Hlm. 144

15
a) Mengenai orang yang diberi wasiat harus ada yang diperhatikan,
diantaranya harus seorang muslim, berakal dan rasyid (dewasa) karena
selain orang tersebut tidak boleh diserahi tanggung jawab atas hak-hak
pengawasan anak-anak.
b) Orang yang sakit diisyaratkan berakal, mumayyiz (terpuji) dan pemilik
atas yang diwasiatkannya.
c) Barang yang di wasiatkan harus yang mubah (halal). Sesuatu yang
haram tidak boleh di wasiatkan seperti halnya bila seseorang berwasiat
melakukan niyahah (meratap) atas kematian, atau mewasiatkan harta untuk
diberikan kepada gereja atau untuk sesuatu bid’ah yang benci (makruh)
atau untuk suatu majlis hura-hura atau maksiat.
d) Pihak yang diberi wasiat di isyaratkan menerima wasiat tersebut, jika
menolaknya, maka wasiat tersebut batal dan setelah itu dia tidak
mempunyai hak apa-apa.14

IV. KESIMPULAN

Ilmu Faraidh merupakan Ilmu Fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta
pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada
pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik harta pusaka.

Kriteria seseorang yang menerima Waris ada 3 hal yaitu karena hubungan
Perkawinan, Kekerabatan, dan sebab Wala’. Di dalam Ilmu Faraidh ada Istilah Hijab
dan Ashabah, Hijab itu ada dua, yaitu Hijab Hirman dan Hijab Nuqshan, sedangkan
Ashabah ada tiga, yaitu Ashabah Bi Nafsihi, Bil Ghairi, Dan Ma’al Ghairi

V. PENUTUP

Demikian makalah ini kami susun, kami menyadari tentunya dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, dan masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
guna perbaikan makalah yang akan datang. Semoga dibalik segala kekurangan yang

14
Ibid, Hlm. 142-143

16
ada, makalah ini dapat memberikan perubahan dalam penyusunan makalah yang akan
datang. Sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, A., 2003. Al-Faraidh, Ilmu Pembagian Waris, Surabaya: Pustaka perempuan
ogressif.
Hasbiyallah, 2007. Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Hashbi, Muhammad, Teungku, 2010. Fiqih Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Jabir, Abu bakar, 1991. terj. Rachmat, Sumpeno, Minhajul Muslim (Pola Hidup
Muslim), Bandung : Remaja Rosdakarya.
Murod, Maghfur, Agus, TT. Al-Miftah fi ‘Ilmil Faraidh, Mranggen: TN.
Rachman, Asyumi A, Dkk, 1986, Ilmu Fiqh 3, Jakarta : Departemen Agama

17

You might also like