You are on page 1of 24

3. Pemerolehan Bahasa (Psikoliguistik).

Pada aliran linguistik manapun bahasa selalu dikatakan memiliki tiga


komponen : sintakstik, fonologi, dan semantik (Dardjowidjojo, 2003:18). Dari
tiga kompenan aliran linguistik tersebut, yang akan menjadi fokus dalam tulisan
ini adalah komponen fonologinya. Yaitu akan memfokuskan pada ujaran-ujaran
yang dikeluarkan oleh seorang anak penderita autis. Komponen fonologi bersifat
interpretif. Komponen ini menangani ihwal yang berkaitan dengan bunyi. Bunyi
merupakan simbol lisan yang dipakai oleh manusia untuk menyampaikan apapun
yang ingin disampaikan. (Dardjowidjojo, 2003:20).
Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa dia harus dapat
meramu bunyi-bunyi yang dia dengar itu sedemikian rupa sehingga bunyi-bunyi
itu membentuk kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam kontek di
mana kata-kata itu dipakai. (Dardjowidjojo, 2003:29).
Pada anak normal seperti yang diungkapkan Dardjowidjojo bahwa
kepentingan ujaran pada anak bertitik tolak pada sudut pandang anak sehingga
macam ujaran yang muncul juga mencerminkan kepentingan anak ini. Anak akan
memperhatikan kepentingan dia sendiri sehingga apapun yang menjadi hal utama
bagi anak akan didahulukan. Peran kelayakan ujaran juga terarah ke dalam
sehingga ujaran untuk meminta sesuatu pasti lebih dahulu dikuasai dari pada
macam ujaran yang lain (Dardjowidjojo, 2000:44). Ketika pelajaran bernyanyi
sedang berlangsung, maka sesekali anak akan diminta untuk bernyanyi sendiri
dengan terlebih dahulu bertanya kepada mereka. Ketika sebuah keinginan anak
mulai muncul maka mereka akan merespon dengan baik. Ketika seorang anak
memberikan respon, maka respon itu harus disalurkan secepat mungkin.
Mengenai pengembangan kemampuan percakapan, anak juga secara
bertahap menguasai aturan-aturan yang ternyata ada dan harus diikuti. Suatu
percakapan mempunyai tiga komponen: (1) pembukaan, (2) giliran, (3) penutup.
Dalam pembukan harus ada ajakan dan tanggapan (Dardjowidjojo, 2000:45).
Dengan memberikan pelajaran bernyanyi maka diharapkan proses dengan melalui
tahapan-tahapan tersebut akan bisa diamati secara seksama.
Moskowitz, Pine, Barton & Tomasello dalam Dardjowidjojo
mengungkapkan bahasa yang kita pakai untuk anak mempunyai ciri-ciri khusus
(1) kalimatnya pendek-pendek, (2) tidak mengandung kalimat majemuk, (3) nada
suara biasanya tinggi, (4) intonasinya agak berlebihan, (5) laju ujaran tidak cepat,
(6) banyak redundansi, (7) banyak memakai sapaan. (Dardjowidjojo, 2000:49).
Orang pada umumnya tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa
merupakan suatu keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa terasa
lumrah karena memang tanpa diajari oleh siapapun. Seorang bayi akan tumbuh
bersamaan dengan pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu sampai dengan satu
setengah tahun seorang bayi mengeluarkan bentuk-bentuk bahasa yang telah dapat
kita identifikasikan sebagai kata. Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua
kata dan akhirnya menjadi kalimat yang kompleks menjelang umur empat atau
lima tahun (Dardjowidjojo, 2003:1). Seorang anak penderita autis mengalami
keterlambatan dan bahkan hambatan dalam berbiacara. Oleh karena itu proses
normal seperti yang diungkapkan pendapat di atas kurang tepat, karena
pemerolehan bahasa seorang anak penderita autis mengalami keterlambatan.
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang dipakai oleh
anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomuniksi dan berinteraksi antara
sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.
(Dardjowidjojo, 2003:16). Meskipun anak-anak penderita autis tesebut
mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi dan berbahasa, tetapi mereka tetap
mempunyai keunikan. Bahkan ada di antara mereka yang menciptakan bahasa
mereka sendiri. Kemampuan pemerolehan bahasa adalah sesuatu yang unik untuk
manusia. (Dardjowidjojo, 2003:5)
Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: a)
komprehensi, yaitu proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga
mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang
dimaksud, b) produksi, yakni, proses-proses mental pada diri kita yang membuat
kita dapat berujar seperti yang ita ujarkan, c) landasan biologis serta neurologis
yang membuat manusia bisa berbahasa, d) pemerolehan bahasa, yakni, bagaimana
anak memperoleh bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:7).
http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?
info=artikel&infocmd=show&infoid=34&row=1
PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA
April 14, 2009 at 6:39 am (Pemerolehan Bahasa)

oleh Safriandi

1. Proses Pemerolehan Bahasa Pertama

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di


dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa
ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa.
Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu
seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa
pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama,
sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer,
2003:167).

Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua


proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya.
Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua
proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses
penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak
disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa
sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki
performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses,
yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses
pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-
kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan
menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).

Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur


dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang
tidak terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut.
Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu
mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja
ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan
performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.

Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam


memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang
sama dalam memperoleh bahsa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini,
Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan
ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa
pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya
dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh
pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal
kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep
universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang
universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh
tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah
yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan
wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.

2. Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Pertama

Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata
bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. B1 diperolehnya
dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari
bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada
ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia.

Pengetahuan mengenai pemerolehan bahasa dan tahapnya yang paling pertama di


dapat dari buku-buku harian yang disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu
psikolinguistik. Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh
melalui rekaman-rekaman dalam pita rekaman, rekaman video, dan eksperimen-
eksperimen yang direncanakan. Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap
pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik dan linguistik. Akan tetapi,
pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap pralinguistik
itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena bunyi-bunyi seperti
tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-mata,
yaitu respons otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk
digendong, dan perasaan senang. Oleh karena itu, tahap-tahap pemerolehan
bahasa yang dibahas dalam makalah ini adalah tahap linguistik yang terdiri atas
beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata
(holofrastis); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic
speech).

2.1 Vokalisasi Bunyi

Pada umur sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk
teriakan, rengekan, dekur. Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi
konsonan atau vokal. Akan tetapi, bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan
bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan tadi merupakan bahasa?
Fromkin dan Rodman (1993:395) menyebutkan bahwa bunyi tersebut tidak dapat
dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang
dihasilkan oleh bayi ini adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi
bahasa/tahap cooing.

Setelah tahap vokalisasi, bayi mulai mengoceh (babling). Celoteh


merupakan ujaran yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da. Adapun
umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43)
menyebutkan bahwa tahap ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan.
Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur
6 bulan. Tidak hanya itu. ada juga sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh
terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat
saja. Yang perlu diingat bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada
perkembangan neurologi seorang anak.

Pada tahap celoteh ini, anak sudah menghasilkan vokal dan konsonan yang
berbeda seperti frikatif dan nasal. Mereka juga mulai mencampur konsonan
dengan vokal. Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti dengan vokal.
Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial
nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah K-V. Ciri lain
dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, stuktur silabel K-V ini kemudian
diulang sehingga muncullah struktur seperti:

K1 V1 K1 V1 K1 V1…papapa mamama bababa…

Orang tua mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu
meskipun apa yang ada di benak tidaklah kita ketahui. Tidak mustahil celotehan
itu hanyalah sekedar artikulatori belaka (Djardjowidjojo, 2005:245).

Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai


segmen-segmen fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan
untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan
sequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-kata. Cara anak-anak mencoba
menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori hypothesis-
testing (Clark & Clark dalam Mar’at 2005:43). Menurut teori ini anak-anak
menguji coba berbagai hipotesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi
yang benar.

Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak


memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan sebagai berikut:

(1) menghilangkan konsonan akhir

blumen bu

boot bu

(2) mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal:

batre batebring bin

(3) menghilangkan silabel yang tidak diberi tekanan


kunci ti

semut emut

(4) reduplikasi silabel yang sederhana

pergi gigi

nakal kakal

Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh memory


span yang terbatas, kemampuan representasi yang terbatas, kepandaian artikulasi
yang terbatas (Mar’at 2005:46-47).

Apakah tahap celoteh ini penting bagi si anak. Jawabannya tentu saja
penting. Tahap celoteh ini penting artinya karena anak mulai belajar
menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang benar dan membuang bunyi ujaran yang
salah. Dalam tahap ini anak mulai menirukan pola-pola intonasi kalimat yang
diucapkan oleh orang dewasa.

2.2 Tahap Satu-Kata atau Holofrastis

Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran
yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-
benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai
menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. pada
usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna
dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut
tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang
diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya
minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di
sini).

Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi
sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat
juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.

Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini
mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu
sendiri atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu
perasaan, untuk memberi nama kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata
yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti
m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u,e.

2.3 Tahap Dua-Kata, Satu Frase


Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri
atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap
holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna,
pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan
konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek +
predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan
jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat
terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani
sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu”
yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.

2.4 Ujaran Telegrafis

Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-
word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu
membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata
anak berkembang dengan pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan
kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa. Contoh dalam tahap ini
diberikan oleh Fromkin dan Rodman.

“Cat stand up table” (Kucing berdiri di atas meja);

“What that?” (Apa itu?);

“He play little tune” (dia memainkan lagu pendek);

“Andrew want that” (Saya, yang bernama Andrew, menginginkan itu);

“No sit here” (Jangan duduk di sini!)

Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap
dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia
dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman
(1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan
sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang
anak untuk menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “He
go out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara
penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang
benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dsb.
Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat “penguatan negatif”,
misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus
terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu
benar.

Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikologi
dan ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-
aturan dan menyusun tata bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan
kemajuan-kemajuan yang sama meskipun semuanya menunjukkan kemajuan-
kemajuan yang reguler.

Selain tahap pemerolehan bahasa yang disebutkan di atas, ada juga para ahli
bahasa seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa
anak.

Tahap 1: Mendengkur

Tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam minggu. Bunyi yang
dihasilkan mirip dengan vokal tetapi tidak sama dengan bunyi vokal orang
dewasa.

Tahap 2: Meraban

Tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan. Tahap meraban
merupakan pelatihan bagi alat-alat ucap. Vokal dan konsonan dihasilkan secara
serentak.

Tahap 3: Pola intonasi

Anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang dihasilkan mirip dengan
yang diucapkan ibunya.

Tahap 4: Tuturan satu kata

Pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan
tuturan satu kata. Pada usia ini anak memperoleh sekitar lima belas kata meliputi
nama orang, binatang, dan lain-lain.

Tahap 5: Tuturan dua kata

Umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai beberapa ratus
kata. Tuturan hanya terdiri atas dua kata.

Tahap 6: Infleksi kata

Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan. Dalam bahasa
Indonesia yang tidak mengenal istilah infleksi, mungkin berwujud pemerolehan
bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan atau
akhiran.

Tahap 7: Bentuk Tanya dan bentuk ingkar


Anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya seperti apa, siapa,
kapan, dan sebagainya. Di samping itu anak juga sudah mengenal bentuk ingkar.

Tahap 8: Konstruksi yang jarang atau kompleks

Anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya dilakukan


secara keliru. Anak juga memperoleh kalimat dengan struktur yang rumit, seperti
pemerolehan kalimat majemuk.

Tahap 9: Tuturan yang matang

Pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimat-kalimat seperti orang
dewasa.

Proses Perkembangan Bahasa Anak

1. Fonologi

Anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi


yang belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari
dengan bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah
mampu mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang
dipelajarinya.

2. Morfologi

Pada usia 3 tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan
fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering
terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia
sampaikan. Anak terus memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun.

3. Sintaksis

Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat


gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberapa tahap, yaitu melalui
peniruan, melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara
menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat.

4. Semantik

Anak menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan


bentuk. Misalnya, anak sudah mengetahui makna kata jam. Awalnya anak hanya
mengacu pada jam tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata
tersebut untuk semua jenis jam.

4. Teori-teori tentang Pemerolehan Bahasa Pertama


4.1 Teori Behaviorisme

Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati


langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response).
Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap
rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut
dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.

Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah


pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata
tersebut. Apabila sutu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia
tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah
yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan
hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.

B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal
Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini.
Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan
kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan
perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha
menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak
menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada
reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.

Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky


mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak
bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan
inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini
dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini.

Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan


menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak
semua perilaku berasal dari stimulus-response.

4.2 Teori Nativisme

Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat


dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia.
Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku
berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola
perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan
memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat
dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak
dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari
orang dewasa.
Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga
mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme
juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat
untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD).
Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang
digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan
di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.

Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh
masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh
bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya
sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana lazimnya
seperti anak yang dipelihara oleh srigala (Baradja, 1990:33).

Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam
waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga
memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi
bahasa.

4.3 Teori Kognitivisme

Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan
salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif.
Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada
perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-
urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer,
2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang
menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat
menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga
dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.

Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah


perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk
keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada.
Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda
yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat
mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai
menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir
dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang
diucapkan anak.

4.4 Teori Interaksionisme

Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil


interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa.
Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan
“input” dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah
memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin
anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.

Sebenarnya, menurut hemat penulis, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan
bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi. Benar jika ada teori yang
mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada
LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah
dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah
dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah
kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Akan tetapi, yang tidak dapat
dilupakan adalah lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan
berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.

5. Kesimpulan

Pemerolehan bahasa pertama adalah proses penguasaan bahasa pertama oleh si


anak. Selama penguasaan bahasa pertama ini, terdapat dua proses yang terlibat,
yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini tentu saja
diperoleh oleh anak secara tidak sadar.

Ada beberapa tahap yang dilalui oleh sang anak selama memperoleh bahasa
pertama. Tahap yang dimaksud adalah vokalisasi bunyi, tahap satu-kata atau
holofrastis, tahap dua-kata, tahap dua-kata, ujaran telegrafis. Selain tahap
pemerolehan bahsa seperti yang telah disebutkan ini, ada juga para ahli bahasa,
seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak.
Tahap-tahap yang dia maksud adalah mendengkur, meraban, pola intonasi, tuturan
satu kata, tuturan dua kata, infleksi kata, bentuk tanya dan bentuk ingkar,
konstruksi yang jarang atau kompleks, tuturan yang matang. Meskipun terjadi
perbedaan dalam hal pembagian tahap-tahap yang dilalui oleh anak saat
memperoleh bahasa pertamanya, jika dilihat secara cermat, pembahasan dalam
setiap tahap pemerolehan bahasa pertama anak memiliki kesamaan, yaitu adanya
proses fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik.

Bagaimana sebenarnya proses pemerolehan bahasa pertama ini? Ada beberapa


teori pemerolehan bahasa yang menjelaskan hal ini, yaitu teori behaviorisme,
nativisme, kognitivisme, interaksionisme. Keempat teori ini memiliki sudut
pandang yang berbeda dalam menjelaskan perihal cara anak memperoleh bahasa
pertamanya.

oleh Safriandi

http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-pertama/
KAMIS, 04 JUNI 2009

TAHAP PEMEROLEHAN BAHASA


1. Kurang dari 1 tahun
- Belum dapat mengucapkan kata-kata,
- Belum menggunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya,
- Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa.
(Eimas, lewat Gleason, 1985: 2, dalam Zuchdi, 1996: 4)

2. 1 tahun
- Mulai mengoceh,
- Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya)
- Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik.
(Gleason, 1985: 2)
- Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-ciri
perkembangan yang universal.
- Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan
memiliki arti konkrit (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar
anak).
- Mulai pengenalan semantik (pengenalan makna).

3. 2 tahun
- Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata.
- Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan
dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan atau
bentuk lain yang seharusnya digunakan.
- Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan
bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu
terjadinya peristiwa.
- Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek.

4. Taman Kanak-kanak
- Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata,
- Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan
berbagai bentuk kalimat,
- Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru.

5. Sekolah Dasar
- Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis,
- Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa.
6. Remaja
- Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya
identitas diri (merupakan usia yang sensitif untuk belajar berbahasa)
(Gleason, 1985: 6)

7. Dewasa
- Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu
dengan yang lainnya dalam perkembangan bahasa (sesuai dengan
tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerjaan

PRAKIRAAN UMUR FASE-FASE PERKEMBANGAN KOGNITIF


MENURUT PIAGET FASE-FASE PERKEMBANGAN KEBAHASAAN

Lahir s/d 2 tahun

Periode sensorimotor. Anak memanipulasi objek di lingkungannya dan


mulai membentuk konsep Fase fonologis. Anak bermain dengan bunyi-
bunyi bahasa mulai mengoceh sampai menyebutkan kata-kata sederhana

2 s/d 7 tahun

Periode Praoperasional.
Anak memahami pikiran simbolik, tetapi belum dapat berpikir logis

Fase Sintaktik.
Anak menunjukkan kesadaran gramatis, berbicara menggunakan kalimat

7 s/d 11 tahun
Periode Operasional.
Anak dapat berpikir logis mengenai benda-benda konkrit

Fase Semantik.
Anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep dalam kata

PADA AWAL USIA SEKOLAH MERUPAKAN PERIODE


BERKEMBANGNYA KREATIFITAS KEBAHASAAN YANG DIISI DENGAN
SAJAK, NYANYIAN, DAN PERMAINAN KATA.
SETIAP ANAK MENCOBA MENGEMBANGKAN PENGGUNAAN
BAHASA YANG BERSIFAT KHAS.
ANAK-ANAK BELAJAR MENEMUKAN HUMOR DALAM PERMAINAN
KATA(Owen, 1992: 354)
pada periode usia sekolah perkembangan bahasa yang paling jelas
tampak adalah perkembangan semantik dan pragmatik, di samping
mempelajari bentuk-bentuk baru, anak belajar menggunakannya untuk
berkomunikasi dengan lebih efektif.(Obler, 1985, dalam Owen, 1992: 355)

KEMAMPUAN META LINGUISTIK , YAITU KESADARAN YANG


MEMUNGKINKAN PENGGUNA BAHASA BERPIKIR TENTANG BAHASA
DAN MELAKUKAN REFLEKSI, JUGA MAKIN BERKEMBANG PADA
USIA SEKOLAH. HAL INI TERCERMIN DALAM PERKEMBANGAN
KETERAMPILAN MEMBACA DAN MENULIS.(Owen, 1992: 335)

Pada usia prasekolah anak belum memiliki keterampilan bercerita secara


sistematis. Baru setelah periode usia sekolah proses kognitif meningkat
sehingga memungkinkan anak menjadi komunikator yang lebih efektif.

Anak mulai mengenal adanya berbagai pandangan mengenai suatu topik.


Mereka dapat mendeskripsikan sesuatu, tetapi masih bersifat personal
dan tidak mempertimbangkan makna informasi yang disampaikan bagi
pendengar. Informasi tersebut biasanya tidak selalu benar karena
bercampur dengan khayalan

Anak berumur lima dan enam tahun menghasilkan berbagai macam


cerita. umumnya berisi tentang hal-hal yang terjadi di dunia sekitarnya.
Cerita-cerita tersebut mencerminkan budaya dan suasana dan
pengembangan yang berbeda-beda. Cerita-cerita tersebut misalnya
penjelasan tentang kejadian. Cerita pengalaman sendiri, dan cerita fiksi
(owens, 1992: 359)

Kemampuan membuat cerita tersebut hendaknya sudah diperkenalkan


kepada anak didik pada usia prasekolah, meskipun dengan
penyederhanaan. Lebih dari itu mereka hendaknya dilatih
mengekspresikan pikiran dan perasaan secara sistematis dan santun.

Pada kelas dua sekolah dasar anak mulai dilatih menggunakan kalimat
yang agak panjang dengan konjungsi: dan, lalu, dan kata depan: di, ke,
dari. Anak sudah dapat dilatih bercerita kejadian secara kronologis.

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN MEMBUAT CERITA

ANAK BERUMUR ENAM TAHUNSUDAH DAPAT BERCERITA


SEDERHANA TENTANG SESUATU YANG MEREKA LIHAT.
KEMAMPUAN INI SELANJUTNYA BERKEMBANG SECARA TERATUR
SEDIKIT DEMI SEDIKIT .

PADA USIA TUJUH TAHUN ANAK MULAI DAPAT MEMBUAT CERITA


YANG AGAK PADU. MEREKA MULAI DENGAN MENGEMUKAKAN
MASALAH, RENCANA MENGATASI MASALAH, DAN PENYELESAIAN,
MESKIPUN BELUM JELAS SIAPA YANG MELAKUKANNYA.

PADA UMUR DELAPAN TAHUN ANAK-ANAK MENGGUNAKAN


PENANDA AWAL DAN AKHIR DARI SEBUAH CERITA. KEMAMPUAN
MEMBUAT ALUR CERITA YANG AGAK JELAS BARU MULAI
DIPEROLEH ANAK-ANAK PADA USIA LEBIH DARI DELAPAN TAHUN.
STRUKTUR CERITA YANG DIBUATNYA MENJADI SEMAKIN JELAS.

PERBEDAAN BAHASA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Anak perempuan

1. Menghindari bahasa yang berisi umpatan dalam percakapan dan


cenderung menggunakan kata-kata yang lebih sopan: silakan, terima
kasih, selamat jalan, dsb.
2. Ekspresi emosional yang digunakan lebih halus, misalnya: Oh
sayangku, Ya Allah, dsb.
3. Cenderung menggunakan bahasa tidak langsung dalam meminta
persetujuan dan lebih banyak mendengarkan. Perannya dalam
percakapan adalah sebagai fasilitator.
4. Lebih banyak berbicara secara berpasangan dengan teman akrabnya
dan saling menceritakan rahasianya

Anak Laki-laki

1. Ekspresi emosional cenderung menggunakan kata-kata kasar misalnya


umpatan: sialan, bedebah, dsb.
2. Cenderung menggunakan bahasa secara langsung dan bersifat
memberitahu, karena laki-laki menganggap perannya dalam percakapan
adalah pemberi informasi.
3. Kurang banyak berbicara, tetapi lebih banyak berbuat. Pada
perkembangan ke tingkat dewasa seorang ayah lebih banyak
menggunakan perintah ketika berbicara dengan anak laki-laki, dan lebih
banyak menginterupsi pembicaraan anak perempuannya.

Selama periode sekolah sampai dewasa, setiap individu meningkatkan


jumlah kosa kata dan makna khas istilah secara teratur melalui konteks
tertentu. Dalam proses tersebut seseorang menyusun kembali aspek-
aspek kebahasaan yang telah dikuasainya. Hasil dari proses tersebut
tercermin dari kata-kata yang digunakannya, misalnya dengan
penggunaan bahasa figuratif, atau kreativitas berbahasa yang begitu
pesat.

Keseluruhan proses perkembangan semantik dari awal sekolah dasar ini


dapat dihubungkan dengan keseluruhan proses kognitif (owen, 1992:
374).

Ada dua jenis penambahan makna kata secara horisontal. Anak semakin
mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna
yang tepat. Adapun penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata
yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat (Owens, 1992: 375)

Kemampuan anak di kelas-kelas rendah dalam mendefinisikan kata-kata


meningkat dengan dua cara; Pertama secara konseptual dari definisi
berdasar pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial atau
makna yang dibentuk bersama. Kedua anak bergerak secara sintaksis
dari definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan
hubungan yang kompleks (Owens, 1992: 376)

Bahasa Figuratif memungkinkan pengguna bahasa menggunakan bahasa


secara kreatif, imajinatif, tidak secara literal, untuk menciptakan kesan
emosional atau imajinatif. Termasuk jenis bahasa ini adalah ungkapan,
metafora, kiasan, dan peribahasa.

Ungkapan, adalah pernyataan pendek yang telah digunakan bertahun-


tahun dan tidak dapat dianalisis secara gramatikal. Contoh, rumah makan,
kamar kecil, makan hati, kepala batu, ringan tangan, dsb.

Metafora dan kiasan adalah bentuk ucapan yang membandingkan benda


yang sebenarnya dengan khayalan. Perbandingan dinyatakan secara
implisit, misalnya, suaranya membelah bumi. Sedangkan kiasan
sebaliknya, yaitu perbandingan dinyatakan secara eksplisit. Contoh, dua
gadis itu seperti pinang dibelah dua.

Peribahasa adalah pernyataan pendek yang sudah dikenal yang berisi


kebenaran yang terterima, pikiran berguna atau nasehat. Contoh, Sesal
dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Menepuk air di dulang
terpercik muka sendiri. dsb.

Bahasa figuratif lebih dapat dipahami dalam konteks daripada secara


terpisah
Makna bahasa figuratif disimpulkan pada penggunaan berulang-ulang
dalam konteks yang berbeda-beda.
Kejelasan metaforik, yakni hubungan makna literal dan figuratif akan
memudahkan penafsiran. Contoh, tutup mulut akan lebih mudah dipahami
dari pada makan hati, sedangkan anak berumur 7 – 9 tahun menafsiran
peribahasa secara literal.

Perkembangan Morfologis dan Sintaksis

Perkembangan bahasa pada periode usia sekolah mencakup


perkembangan secara serentak (simultan) bentuk-bentuk sintaktik yang
telah ada dan perolehan bentuk-bentuk yang baru. Perluasan kalimat
menggunakan frase verba dan nomina. Fungsi-fungsi kata gabung dan
kata ganti juga diperluas, termasuk tambahan struktur bentuk pasif.

Prosesnya diawali dengan mempelajari bentuk-bentuk morfem yang


semula bersifat hafalan, kemudian diikuti dengan membuat kesimpulan
kasar tentang bentuk dan makna fonem, dan terakhir barulah membentuk
kaidah. Proses ini rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan
berlangsung terus sampai pada masa adolesen

Bentuk Kalimat

1. Bentuk pasif dapat dibalik


2. Bentuk pasif tidak dapat dibalik yang pelakunya berupa instrumen

3. Bentuk pasif tidak dapat dibalik yang pelakunya manusia

Contoh:
1. “Ani dikejar Amir” dapat dibalik “Amir dikejar Ani”.
2. “Mangga dilempar dengan batu” tidak mungkin “Batu dilempar dengan
mangga”
3. “Buku saya dipinjam oleh Jono” tidak mungkin dibalik “Jono dipinjam
oleh buku saya”

TINGKATAN PENGGUNAAN

Anak-anak biasanya menggunakan bentuk pasif yang dapat dibalik dan


yang tidak dapat dibalik dalam jumlah seimbang, namun sering
mengalami kesulitan dalam membuat kalimat dan menafsirkan kalimat
pasif yang dapat dibalik
Bentuk kalimat yang digunakan

Umur 8 tahun lebih banyak menggunakan bentuk pasif yang tidak dapat
dibalik

Umur 11 – 13 tahun lebih banyak menggunakan bentuk pasif yang tidak


dapat dibalik yang pelakunya manusia,
Penggunaan “dan” pada awal¬ kalimat mulai jarang muncul,
Pada umur 12 tahun mulai sering menggunakan¬ kata penghubung yang
menghubungkan klausa “karena”, “jika”, “supaya”.

Catatan:

- Anak-anak sering mengalami kesulitan dan kebingungan dalam


menggunakan “karena”, “dan”, “lalu”. Sebagai contoh, untuk mengatakan
“Saya tidak masuk sekolah karena saya sakit” sering diucapkan “Saya
sakit karena saya tidak masuk sekolah”
- Pemahaman secara konsisten baru terjadi pada kurang lebih umur 10
sampai 11 tahun.
- Penggunaan kalimat dengan kata sambung “karena” lebih mudah
dipahami daripada “meskipun”. Contoh, “Saya memakai payung karena
hujan” lebih mudah daripada “Saya memakai payung meskipun hujan”.

Umur/jenjang Perkembangan Membaca

Sebelum 6 tahun Fase pramembaca

Fase 1
6 tahun±
Mempelajari perbedaan huruf dan perbedaan angka yang satu dengan
yang lainnya, sampai akhirnya mengenal huruf dan angka secara
keseluruhan.

7 atau 8 tahun
Umumnya anak telah memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata,
dan kata yang diperlukan untuk membaca (pengetahuan ini umumnya
diperoleh di sekolah).

Fase 2
Kelas 3 dan 4
Dapat menganalisis kata-kata yang tidak diketahuinya menggunakan pola
tulisan dan kesimpulan yang didasarkan konteksnya.
Fase 3
Kelas 4 sampai Kelas 2 SLTP
Membaca tidak lagi hanya pengenalan tulisan tetapi pada pemahaman.

Fase 4
Akhir SLTP sampai dengan SLTA
Penggunaan keterampilan tingkat tinggi misalnya, inferensi(penyimpulan),
dan pandangan penulis untuk meningkatkan pemahaman

Fase 5
Perguruan tinggi
Dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dengan pengetahuan yang
dimilikinya, dan menanggapi secara kritis apa yang dibacanya (Owens,
1992: 400-401)

Ada kesejajaran antara perkembangan membaca dan menulis. Pada


umumnya penulis yang baik adalah pembaca yang baik, demikian juga
sebaliknya. Proses menulis dekat dengan menggambar dalam hal
keduanya mewakili simbol tertentu. Namun, menulis berbeda dengan
menggambar. Hal ini diketahui anak ketika berumur sekitar 3 tahun
(Owens, 1992: 403).

Umur/jenjang Kemampuan
6 tahun (kelas 1 dan 2)
- Kurang memperhatikan format, jarak tulis ejaan, dan tanda baca.
- Belum memperhatikan pembaca, dan masih bersifat egosentrik.

Kelas 3 dan 4
- Mulai memperhatikan pembaca,
- Mulai merevisi dan menyunting tulisannya

Pada periode usia sekolah terjadi perkembangan kemampuan


menggunakan kalimat dengan lengkap baik secara lisan maupun secara
tertulis. Terjadi pula peningkatan penggunaan klausa dan frase yang
kompleks serta penggunaan kalimat yang bervariasi

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA

Pendekatan

Seperangkat asumsi yang saling berkaitan, dan berhubungan dengan sifat


bahasa, serta pengajaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar teoritis
untuk suatu metode.

Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi yang


menganggap bahwa bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang pada
dasarnya dilisankan; dan adalagi yang menganggap bahwa bahasa
adalah seperangkat kaidah.

Dari asumsi-asumsi tersebut menimbulkan adanya pendekatan-


pendekatan yang berbeda, yakni:

1)Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti


berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.
Tekanannya pada pembiasaan.

2)Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa


berartiberusaha untuk memperoleh kemampuan berkomunikasi secara
lisan. Tekanannya pada pemerolehan kemampuan berbicara.

3)Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa yang


harus diutamakan ialah pemahaman akan kaidah-kaidah yang mendasari
ujaran. Tekanannya pada aspek kognitif bahasa, bukan pada kemampuan
menggunakan bahasa.

METODE

Metode Pembelajaran bahasa adalah rencana pembelajaran bahasa,


yang mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis
bahan yang akan diajarkan, serta kemungkinan diadakan remidi dan
bagaimana pengembangannya.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa suatu metode ditentukan berdasarkan


pendekatan yang dianut; dengan kata lain pendekatan merupakan dasar
penentu metode yang digunakan.

Secara garis besar metode mencakup:


1. pemilihan dan penentuan bahan ajar
2. penyusunan serta kemungkinan pengadaan remidi dan pengembangan
bahan ajar tersebut, dengan mempertimbangkan:
a. tingkat usia
b. tingkat kemampuan
c. kebutuhan
d. latar belakang lingkungan siswa
e. disusun berdasarkan tingkat kesukaran
Disamping itu guru juga harus merencanakan pula pengevaluasian,
remidial, dan pengembangan bahan ajar.

Teknik

Teknik pembelajaran merupakan cara guru menyampaikan bahan ajar


yang telah disusun (dalam metode), berdasarkan pendekatan yang dianut.

Teknik yang digunakan guru bergantung pada kemampuan masing-


masing guru, karena teknik juga berkaitan dengan siasat atau mencari
akal agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar dan berhasil
dengan baik.

Pertimbangan dalam menentukan teknik pembelajaran antara lain: situasi


kelas, lingkungan, kondisi siswa, dsb.

PENDEKATAN-PENDEKATAN
Dalam
PEMBELAJARAN BAHASA

Pendekatan Tujuan

Pendekatan tujuan dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap kegiatan


pembelajaran yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu ialah
tujuan yang hendak dicapai. Jadi proses pembelajaran ditentukan oleh
tujuan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan itu sendiri.

Dengan berdasarkan tujuan, maka yang terpenting ialah tercapainya


tujuan, yakni siswa memiliki kemampuan tertentu sebagaimana tujuan
yang telah ditetapkan.
Contoh:
Untuk pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran yang ditetapkan ialah
“Siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman atau
informasi dari bacaan”, maka yang penting adalah siswa memiliki
kemampuan mengarang. Adapun bagaimana metode dan teknik
pembelajarannya bukanlah masalah yang diutamakan.

Penerapan pendekatan tujuan sering dikaitkan dengan cara belajar tuntas


yang berarti suatu kegiatan belajar mengajar dianggap berhasil apabila
sedikitnya 85% dari jumlah siswa yang mengikuti pelajaran itu menguasai
minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan guru dengan melalui evaluasi.

PENDEKATAN STRUKTURAL

Pendekatan ini dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahwa bahasa


sebagai seperangkat kaidah. Atas dasar itu maka timbul pemikiran bahwa
pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah
bahasa atau tata bahasa. Pembelajarannya pun harus menitikberatkan
pada aspek-aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis. Pengetahuan
tentang pola-pola kalimat, pola kata, suku kata, menjadi sangat penting.
Dengan kata lain pada pendekatan ini aspek kognitif bahasa diutamakan.

PENDEKATAN KOMUNIKATIF

Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang dilandasi oleh


pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi
merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa.

Bahasa tidak hanya dipandang sebagai seperangkat kaidah tetapi lebih


luas lagi, yakni sebagai sarana untuk berkomunikasi. Jadi di sini bahasa
ditempatkan sebagaimana fungsinya yaitu fungsi komunikatif.

Menurut Littlewood (1981) pendekatan komunikatif didasari pemikiran:

1. Pendekatan komunikatif membuka pandangan yang lebih luas tentang


bahasa, yang tidak terbatas pada tata bahasa dan kosakata saja, tetapi
juga pada fungsi komunikatif bahasa.

2. Pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang luas


dalam pembelajaran bahasa.

Catatan:

Uraian-uraian di atas mungkin merupakan teori-teori yang sangat


mendasar, oleh sebab itu agar dicapai pembelajaran berbahasa yang
sesuai perlu mengacu pada model dan strategi terkini, yaitu pembelajaran
inovatif.
http://mbahbrata-edu.blogspot.com/2009/06/tahap-pemerolehan-
bahasa.html

You might also like