Professional Documents
Culture Documents
EDITORIAL
MEMPERBAHARUI SIKAP
AGAMA-AGAMA TERHADAP MASALAH HIV/ AIDS
Lingkup persoalan HIV/ AIDS bukanlah semata-mata persoalan medis, yang mana lembaga-
lembaga keagamaan tidak mempunyai kompetensi untuk melakukan tindakan apapun terhadap
masalah yang ditimbulkan oleh virus ini. Pada masalah ini terdapat dimensi sosial yang penting
diperhatikan ketika berupaya menghambat laju penyebaran dan pendampingan pada orang-orang
yang terinfeksi (sering disingkat ODHA: Orang Dengan HIV/ AIDS). Untuk maksud ini mutlak
dibutuhkan keterlibatan masyarakat untuk bersama-sama menghadapi masalah yang terkait dengan
kualitas hidup manusia dan komunitasnya.
Sayangnya mengenai persoalan HIV/ AIDS ini terdapat persepsi dan sikap tertentu yang
berkembang didalam masyarakat yang tidak mendukung upaya-upaya pencegahan meluasnya
penyakit ini, bahkan sebaliknya, pada banyak kesempatan dan dalam taraf tertentu menambah
penderitaan ODHA dan keluarganya.
Ada peran aktif yang sesungguhnya dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga, pimpinan,
imam, maupun para pengajar agama yang terjun langsung didalam kehidupan masyarakat yang
mana hal itu terlambat dilaksanakan karena berbagai salah persepsi terhadap persoalan ini.
Salah Persepsi
Hingga saat ini masih banyak umat beragama yang beranggapan bahwa AIDS adalah
penyakit yang dialami seseorang sebagai hukuman dari Tuhan, sebagaimana Tuhan pernah
menghukum umat Nabi Luth (seperti yang terekam di dalam kitab suci agama Kristen dan Islam),
atau itu suatu karma dari perbuatan buruk. Oleh karena itu di beberapa kalangan muncul rasa
antipati terhadap ODHA, menganggap mereka sebagai orang yang amoral yang sedang
menanggung akibat perbuatannya. Tidaklah sedikit cerita yang mengisahkan bagaimana ODHA
dikucilkan dan 'dihukum' oleh masyarakat hingga mengalami kesakitan berkepanjangan dan
kesepian sampai ajal menjemput. Padahal diantara para ODHA adalah istri-istri yang budiman dan
anak-anak yang suci. Tidak sedikit pula gambaran bagaimana lembaga-lembaga agama,
ruhaniawan, alim ulama yang dalam kasus lain begitu peduli, namun untuk kasus ini jangankan
mengklarifikasi pandangan masyarakat tentang HIV/ AIDS tapi justru membiarkan begitu saja
kematian dalam penderitaan berkepanjangan. Sangat mungkin ketidakpedulian itu berlatar belakang
ketidaktahuan.
2
Ketidaktahuan menimbulkan kegelapan hati dan jauh dari tindakan bijak, yang terutama
tampak dalam aksi pengucilan terhadap para ODHA. Masyarakat yang terlibat aksi pengucilan
terhadap ODHA kemungkinan beranggapan, pertama karena kekhawatiran akan tertular penyakit
ini menyentuh atau bertatapan saja dapat menyebabkan terinfeksi virus ini. Kedua, sebagai
kelanjutan dari anggapan bahwa ODHA adalah orang yang sedang menanggung akibat dari
tindakan yang melanggar susila maka orang yang menemani ODHA pun dianggap sebagai bagian
dari 'orang yang amoral' atau orang yang setuju dengan tindakan-tindakan amoral. Ternyata
prasangka melahirkan prasangka juga. Tanpa disadari akhirnya muncul anggapan pemikiran bahwa
masalah HIV/ AIDS adalah masalah moral. Masalah menjadi berlarut-larut karena tokoh
masyarakat (dan khususnya tokoh-tokoh agama) membiarkan diri dalam ketidakpahaman terhadap
HIV/ AIDS.
Akibat aksi 'penghukuman' yang dilakukan masyarakat ini, jarang orang yang beresiko
tertular virus ini dengan sukarela memeriksakan darah atas kesadaran sendiri, akibatnya para
ODHA tidak dapat berperan aktif dalam menghambat penularannya kepada orang lain.
Ketika masyarakat mulai menyaksikan dalam berbagai laporan media tentang anak-anak dan
para istri yang setia-budiman menjadi ODHA, hal ini tidak dengan sendirinya menimbulkan
dorongan pada masyarakat untuk mengoreksi sikap-sikap mereka. Demikian juga pihak-pihak yang
dianggap kompeten untuk berbicara masalah moralitas tidak dengan sendirinya menjadi terusik
untuk mengklarifikasi pandangan-pandangannya dan menyampaikan pada masyarakat
pendukungnya.
Banyak problem kemanusiaan yang terlambat ditanggapi agama-agama, salah satunya adalah
permasalahan HIV/ AIDS.
Tidak ada cara lain bagi institusi-institusi keagamaan selain memperbaharui wacana yang
dikembangkan agar lebih bisa menjadi berkat, rahmat dan memberi damai dalam kehidupan. Agama
sudah seharusnya menjadi ‘obat’ bagi masalah kehidupan (termasuk masalah HIV/ AIDS),
bukannya menjadi ‘racun’ yang memperburuk masalah[]
Salam
Redaksi
4
FOKUS
PERANAN ROHANIWAN DALAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS :
REFLEKSI PENGALAMAN
Esthi Susanti H.
Aktifis bekerja di Yayasan HOTLINE Surabaya
Pendahuluan
Peranan agama baik rohaniawan maupun institusinya dalam penanggulangan HIV/ AIDS,
baik pencegahan maupun dukungan, perawatan dan pengobatan dari awal hingga sekarang belum
memiliki makna yang kongkrit. Bahkan peranannya nyaris tidak terdengar karena yang terlibat baru
ditingkat individu. Itu pun peranan yang lebih berada pada tataran teknis, mendampingi orang-orang
yang mengalami masalah psikologis dan spiritual. Peranannya dibidang wacana untuk
menghilangkan atau mengurangi stigma dan diskriminasi yang begitu kronis belum nampak.
Agama dalam pengertian orang dan institusinya memiliki peranan besar dalam mengatasi
masalah HIV/ AIDS. HIV/ AIDS tidak hanya berurusan dengan masalah penyakit namun berurusan
dengan masalah perilaku dan kemanusiaan. Siapa lagi yang bisa berbicara perilaku yang
bertanggung jawab dan tentang kematian yang beradab, baik, dan bermartabat kalau bukan
rohaniwan. Sayangnya peranan tersebut belum dijalankan karena terpenjara oleh banyak faktor.
kondom, media massa mengangkat kontroversi kondom dan masyarakat yang berperilaku risiko
tinggi tidak mau menggunakan kondom. Penggunaan kondom di kalangan pelacur sampai hari ini
belum naik secara berarti.
Lalu bagaimana peranan agamawan dalam situasi tersebut? Rancangan penanggulangan
yang hanya difokuskan pada surveilens dan pencegahan di kalangan pelacur tidak memberi ruang
gerak yang banyak pada agamawan untuk berkontribusi. Bahkan wacana yang digulirkan oleh
media massa yang dengan rajin memberi laporan tentang temuan kasus HIV di kalangan pelacur
berdasarkan hasil surveilens, digunakan oleh agamawan untuk ikut memberikan penilaian buruk.
Beberapa tahun setelah laporan periodik temuan kasus HIV di kalangan pelacur,
mengundang gerakan untuk melakukan penutupan lokalisasi pelacuran. Di Jawa Timur telah terjadi
penutupan lokalisasi di beberapa kabupaten dan kota. Penutupan lokalisasi pelacuran ternyata justru
menambah masalah karena pelacurnya tidak berhenti bekerja namun berpindah tempat yang tidak
bisa dipantau oleh pihak kesehatan. Program pencegahan infeksi menular seksual dan HIV menjadi
sulit dilaksanakan.
Dalam kerangka pekerjaan tersebut memang agamawan tidak bisa diharapkan banyak,
kecuali berbicara tentang larangan berzinah dan yang paling moderat hanya bisa berbicara tentang
jangan melakukan kesalahan dua kali dengan menulari HIV pasangannya. Dalam kerangka ini
kelompok moderat bisa menerima kondom dalam kacamata darurat dan tidak menimbulkan
masalah yang lebih besar dalam kaitannya dengan penularan pada pasangan seksnya.
Masalah yang timbul kemudian adalah LSM pendamping pengguna napza itu berhadapan
dengan masalah hukum. Masyarakat umum yang terancam keluarganya menjadi korban meminta
penegakan hukum yang tegas. Sedangkan pengetahuan tentang aspek perilaku dan kesehatan yang
begitu kompleks tidak dipahami oleh masyarakat. Narkotika adalah masalah sosial baru yang besar
sehingga seluk beluknya belum diketahui semua.
Dengan demikian polisi dihadapkan pada dilema: memenuhi tuntutan masyarakat yang
menghendaki penegakan hukum yang tegas atau mengikuti kesepakatan Badan Narkotika Nasional
dengan Menkokesra tentang harm reduction jarum suntik yang banyak dilakukan oleh LSM dengan
menggunakan tenaga bekas pengguna narkotika sebagai penyuluhnya. Nampaknya hingga sekarang
polisi mengikuti UU yang ada, yang belum mengakomodir isu pencegahan HIV/ AIDS. Karena itu
kerja sama polisi dengan LSM pendamping pengguna napza belum berjalan dengan baik. Malah
beberapa dari mereka dimasukkan penjara karena terbukti memegang barang terlarang tersebut.
Dalam situasi seperti itu sebenarnya rohaniwan bisa berkontribusi memecah dilema tersebut
dengan membantu membangun tatanan yang memungkinkan penegakan hukum dilakukan sekaligus
pencegahan HIV bisa dilakukan dengan tenang dan efektif. Dengan kata lain rohaniwan bisa
mengurangi tekanan ke polisi sehingga memberi ruang yang aman pada polisi untuk ikut
menanggulangi HIV/ AIDS.
Napza suntik menjadi masalah yang begitu serius. Banyak generasi muda antara usia 20
sampai dengan 30 tahun banyak terinfeksi HIV dari jarum suntik tidak steril tersebut. Napza suntik
telah masuk ke banyak keluarga kaya maupun miskin dan semua kelompok masyarakat yang ada.
Namun hingga sekarang belum ada kepemimpinan yang tegas untuk mengatasi masalah tersebut.
Korban sudah begitu banyak namun kendala sistem buatan manusia belum bisa diatasi. Mengapa
rohaniwan tidak maju ke publik untuk mengatasi dilema tersebut?
yang ditinggal seolah harus menyimpan aib dari penyakit tersebut. Belum lagi kisah bunuh diri
ketika mengetahui status dirinya yang positif HIV terjadi di beberapa daerah.
Begitu banyaknya drama kemanusiaan yang terjadi namun hingga sekarang belum
mengundang rohaniwan bersatu meluruskan situasi yang tidak manusiawi tersebut. Seolah mereka
layak mendapatkan semua itu karena perbuatan di masa lampau. Lalu apa arti pertobatan dan
pengampunan yang diajarkan di semua agama?
Saat ini peranan rohaniwan sangat dibutuhkan baik di tataran praktis mendampingi Orang
Dengan HIV/ AIDS maupun di tataran pelurusan wacana agar stigma bisa dihilangkan/ dikurangi
sehingga diskriminasi tidak terjadi di mana-mana.
FOKUS
MELONGOK SEGI MEDIS AIDS
DAN POTENSI TIMBULNYA DISKRIMINASI
Tuti Parwati Merati
Direktur Yayasan Citra Usadha Indonesia
Pendahuluan
Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul
karena tubuh tertular Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu virus yang menimbulkan
penurunan kekebalan tubuh. Sindrom ini lebih dikenal dengan nama AIDS, sebuah kata yang masih
banyak ditakuti orang. Ini disebabkan belum ditemukan vaksin pencegah penularan dan
penyembuhnya selama hampir seperempat abad sejak kasus pertama AIDS ditemukan di Amerika
Serikat pada tahun 1981. Walaupun obat penghambat perkembangbiakan HIV yang tergolong
Retrovirus dari famili Lentivirus ini sudah ditemukan lima tahun setelah HIV diketahui sebagai
penyebab AIDS, namun obat yang disebut anti-retrovirus (ARV) tersebut belum dapat
menyembuhkan pasien AIDS. ARV tidak dapat membunuh HIV tetapi hanya menghambat
pertumbuhan HIV. Kenyataan inilah yang menyebabkan timbulnya ketakutan orang terhadap AIDS.
Orang takut tertular HIV karena bila tertular pasti fatal akibatnya dan bila sakit, sakitnya tidak bisa
disembuhkan.
Disamping alasan medis yang menyebabkan orang takut dengan AIDS, juga ada banyak
stigma yang melekat pada AIDS. Dilihat dari aspek sosio-historisnya, penderita AIDS dikenal
terlebih dahulu pada mereka yang berasal dari kelompok perilaku risiko tinggi (KPRT) seperti
penjaja seks komersial (PSK) baik perempuan atau laki-laki, pecandu narkoba suntik, kelompok
homoseks, waria dan sebagainya sehingga tidak jarang mereka mengalami diskriminasi. Kita juga
tahu bahwa tanpa terkena HIV/ AIDS pun kelompok tersebut diatas sudah dianggap ”rendah” dan
didiskriminasi oleh masyarakat. Diskriminasi terhadap penderita AIDS pun terjadi dalam pelayanan
kesehatan karena petugas takut tertular HIV pada saat merawat dan melakukan pekerjaannya. Di
bidang pekerjaan timbul keraguan apakah orang yang terkena HIV/ AIDS masih dapat dan kuat
untuk bekerja, disamping juga takut tertular HIV dari teman kerjanya yang seorang ODHA (orang
yang terkena AIDS). Mereka tidak ingin nama kantor atau usaha bisnis mereka tercemar karena
mempekerjakan orang dengan stigma AIDS, orang homo, dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri
diskriminasi tidak hanya berasal dari masyarakat umum atau orang lain tetapi juga dari teman dekat
dan bahkan keluarga terdekat. Didalam rumah alat-alat makan/ minum ODHA dipisahkan sehingga
tidak tercampur dengan orang lain.
10
Kenyataannya pada saat ini secara global telah terdapat lebih dari 40 juta orang tertular HIV
dan pada tahun 2002 di Indonesia, berdasarkan perkiraan badan kesehatan dunia WHO, terdapat
sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV. Kenyataan lain yang penting adalah orang yang
terkena HIV tidak hanya dari kelompok perilaku risiko tinggi (KPRT) tetapi orang yang melakukan
transfusi darah seperti penderita hemofili, isteri atau suami, bayi-bayi yang baru lahir pun banyak
yang tertular tanpa disadari dan para pemakai narkoba yang kebanyakan remaja. Lalu bagaimana
caranya sehingga ketakutan terhadap HIV/ AIDS tidak ditujukan pada penderitanya (yang disebut
dengan ODHA) tetapi waspada terhadap penularannya sehingga kita dapat bersikap dan berperilaku
proporsional?
Oleh karena itu pemahaman tentang kumpulan gejala penyakit HIV/AIDS, penularannya,
pencegahannya, perlakuan terhadap penderitanya sangatlah penting. (Catatan: Istilah di Indonesia
untuk orang yang telah terinfeksi HIV dan yang sudah dalam stadium AIDS disebut Orang Dengan
HIV/ AIDS (ODHA).
Penularan HIV
HIV menular melalui hubungan seksual yang tidak aman atau berganti-ganti pasangan (baik
hubungan heteroseks maupun homoseks) atau melalui pemakaian jarum suntik yang tidak steril/
tercemar, terutama terjadi pada pemakaian bersama di antara pengguna narkotika suntikan.
Disamping itu dapat juga menular dari ibu yang mengidap HIV ke bayi yang dikandung atau yang
disusuinya. Mengapa demikian? Karena dalam tubuh seorang pengidap HIV, HIV berada paling
banyak di dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu. Kontak langsung dengan bahan-
bahan tersebut akan dapat menularkan HIV dari satu orang ke orang lain. Penularan dari ibu hamil
ke bayi terutama terjadi pada saat persalinan (60-75 %), namun dapat pula terjadi sesudah
melahirkan yaitu saat menyusui (12-15%), atau saat dalam kandungan (25-40 %). Total penularan
dari ibu ke janin bervariasi antara 20-45% untuk negara berkembang dan 15-30% untuk negara
maju. Dengan memakai obat antiretroviral maka penularan dari ibu ke janin ini dapat ditekan dan
diturunkan hingga 6-7%.
Setelah menular melalui cara-cara tersebut, selanjutnya didalam tubuh, target utama HIV
adalah sel darah putih yang disebut sel limfosit T helper atau disebut juga sel limfosit CD4 dimana
HIV akan menyatu dengan sel limfosit ini lalu berkembang biak bertambah banyak sehingga dari
satu sel limfosit akan terbentuk ribuan HIV. Berbagai jenis sel dapat diserang oleh HIV terutama sel
darah putih limfosit CD4 sehingga lambat laun sistim kekebalan tubuh akan menurun secara
bertahap, baik secara fungsi maupun jumlah. Pada akhirnya tidak hanya kekebalan imunitas seluler
yang terganggu tetapi juga kekebalan humoral sehingga mudah sekali terjadi infeksi oportunistik
yang muncul dalam berbagai macam penyakit dan kanker.
11
Tidak Menular
Walaupun hampir semua cairan tubuh mengandung HIV, namun dalam jumlah yang
demikian kecil tidak terbukti bisa menularkan HIV misalnya air liur, keringat, air seni, air mata, air
ketuban dan cairan otak.
HIV tidak menular lewat kontak sosial. Misalnya hidup bersama dalam satu rumah/ kamar,
berjabatan tangan, berpelukan, berciuman pipi, memakai bersama alat makan dan minum, berenang
di kolam yang sama, gigitan nyamuk atau serangga lainnya, batuk dan bersin, atau memakai kamar
mandi/ toilet yang sama. Demikian juga tidak terjadi penularan melalui fasilitas umum seperti
telepon, bis, kereta api, gedung bioskop, sekolah atau tempat kerja. Jadi sangat tidak beralasan
kalau kita menjauhi ODHA hanya karena takut tertular.
Perkembangan Penyakit
Pada umumnya sebagian besar orang dengan HIV akan sampai di stadium AIDS dalam
waktu antara 5-10 tahun (rata-rata 6 tahun). Ada sebagian kecil yang menjadi AIDS dalam waktu
lebih cepat, sekitar 3 tahun dan sebagian kecil lainnya perlu waktu yang lama sampai belasan tahun
(long term non progressor).
Kerusakan sistim kekebalan tubuh secara bertahap terlihat dalam perkembangan perjalanan
penyakit, mulai dari tanpa gejala sama sekali sampai ke keadaan klinis dengan gejala yang berat.
Perlu diketahui dalam tahap awal seseorang yang terkena HIV masih tanpa gejala, namun orang
tersebut sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain melalui cara-cara yang telah disebutkan
tadi. Adapun tahap-tahap perkembangan penyakit ini adalah sebagai berikut:
1. Stadium Infeksi Primer :
Ini adalah saat penularan HIV, yang biasanya tidak ada gejala tetapi pada 30-60% setelah 6 minggu
terinfeksi orang dapat mengalami gejala seperti gejala influenza, berupa demam, lelah, sakit pada
otot dan sendi, sakit menelan, dan pembengkakan kelenjar getah bening. Ada juga yang
menunjukkan gejala radang selaput otak (meningitis aseptic), demam, sakit kepala sampai terjadi
kejang dan kelumpuhan saraf otak. Gejala ini biasanya sembuh sendiri tanpa pengobatan khusus.
2. Stadium tanpa gejala :
Stadium ini merupakan lanjutan dari infeksi primer yang dimulai sejak terinfeksi atau setelah
sembuh dari gejala infeksi primer sampai beberapa bulan/ tahun setelah infeksi. Selama bertahun-
tahun tidak terlihat gejala, bahkan yang bersangkutan tidak mengetahui dan tidak merasa dirinya
telah tertular HIV karena tetap merasa sehat seperti biasa. Pada stadium ini hanya tes darah saja
yang dapat memastikan bahwa yang bersangkutan telah tertular HIV.
3. Stadium dengan gejala (ringan atau berat) :
12
Setelah melewati masa beberapa tahun tanpa gejala, akan mulai timbul gejala yang ringan pada
kulit, kuku dan mulut berupa infeksi jamur pada kuku, sariawan berulang dan radang sudut mulut
atau bercak-bercak kemerahan pada kulit. Gejala pada mulut berakibat penurunan nafsu makan,
kadang malah terjadi diare ringan. Timbul penurunan berat badan (BB) yang tidak mencolok
(kurang dari 10% BB sebelumnya). Sering juga ada infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang,
tapi penderita masih dapat beraktivitas seperti biasa.
Kemudian dengan berjalannya waktu, gejala seperti itu akan semakin berat. Beberapa gejala
tersebut diatas bisa timbul secara bersamaan sekaligus. Sering terjadi infeksi paru (pneumonia)
bakterial yang berat atau berupa tuberkulosis (TBC) paru yang berat. Aktivitas sudah menurun dan
karena sakit dalam bulan terakhir penderita berada di tempat tidur hampir 12 jam sehari.
4. Stadium AIDS:
Pada tahap ini berat badan (BB) menurun lebih dari 10% dari BB sebelumnya, ada pneumonia yang
berat, Toksoplasmosis otak, demam terus menerus atau berulang lebih dari satu bulan, diare karena
berbagai sebab, misalnya jamur kriptosporidiosis, virus sitomegalo (CMV), infeksi virus herpes,
jamur kandida pada kerongkongan (kandidiasis esophagus), jamur saluran nafas, atau infeksi jamur
jenis lain seperti histoplasmosis, dan koksidioi-domikosis. Disamping itu dapat juga ditemukan
kanker kelenjar getah bening atau kanker Kaposi Sarkoma. Aktivitas sangat kurang dan dalam
bulan terakhir penderita berada di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari karena sakit.
Pencegahan
Setelah mengetahui bagaimana sifat dan cara penularan HIV, dapat disimpulkan cara
pencegahannya agar kita tidak tertular. Tergantung siapa anda dan posisi anda. Ada beberapa cara
pencegahan, yaitu: ABCDE.
A: Abstinence atau puasa, maksudnya tidak melakukan hubungan seks atau tidak mengkonsumsi
narkoba.
B: Be faithful, yaitu saling setia pada pasangan.
C: Condom, selalu memakai kondom dalam setiap hubungan seks tidak aman.
D: Don't inject, jangan pernah mencoba narkoba.
E: Education, cari dan dapatkan informasi yang benar tentang HIV/ AIDS/ IMS dan Narkoba.
Perlu ditambahkan, bahwa sering terjadi kekeliruan pada sebagian orang yang mengira
bahwa dengan minum obat antibiotik dapat mencegah penularan HIV, minum 'obat kuat' dapat
mencegah HIV, merasa kondisi badan sehat akan kebal terhadap HIV, dan lain-lain. Semua itu
tidak benar sama sekali, karena antibiotika, obat kuat dan kondisi sehat sama sekali tidak dapat
mencegah penularan HIV apabila kita melakukan perilaku berisiko tinggi tersebut.
13
Kesimpulan
Sangat tidak mungkin untuk bisa mengenali seseorang yang tertular HIV dalam stadium
awal hanya dengan melihat penampilan fisik atau jasmani saja. Hanya tes darah (HIV Ab) saja yang
dapat memastikan hal ini. Dalam tahap infeksi awal yang berlangsung bertahun-tahun, seseorang
yang terkena HIV masih tanpa gejala, namun orang tersebut sudah dapat menularkan HIV kepada
orang lain melalui cara-cara yang telah disebutkan tadi. Bila seseorang merasa ada risiko, baik
sekali bila melakukan tes darah ini, karena bisa melakukan upaya pencegahan penularan selanjutnya
pada isteri/ suami dan orang yang dikasihinya. Demikian juga pengobatan dengan ARV dapat
diberikan dengan lebih dini.
Dalam tubuh orang yang terinfeksi, HIV berada paling banyak di dalam darah, air mani,
cairan vagina dan air susu ibu. Kontak langsung dengan bahan-bahan tersebut akan dapat
menularkan HIV dari satu orang ke orang lain. Walaupun HIV terdapat juga dalam hampir semua
cairan tubuh, namun dalam jumlah sangat sedikit tidak terbukti bisa menular misalnya air liur,
keringat, air seni, air mata, dan air ketuban. Karena itu dengan menghindari atau berhati-hati
terhadap bahan yang mengandung HIV dalam jumlah yang berpotensi untuk menular, petugas
kesehatan dapat melakukan upaya proteksi sehingga tidak tertular HIV saat melakukan tindakan
medis, terutama bedah, bedah tulang, cabut gigi, pengambilan darah dan sebagainya.
HIV tidak menular lewat kontak sosial. Misalnya hidup bersama dalam satu rumah/ kamar,
berjabatan tangan, berpelukan, berciuman pipi, memakai bersama alat makan dan minum, berenang
di kolam yang sama, gigitan nyamuk atau serangga lainnya, batuk dan bersin, atau memakai kamar
mandi/ wc yang sama. Demikian juga tidak terjadi penularan melalui fasilitas umum seperti telepon,
bis, kereta api, gedung bioskop, sekolah atau tempat kerja. Jadi sangat tidak beralasan kalau kita
menjauhi ODHA hanya karena takut tertular.
Dalam kaitannya dengan perawatan ODHA baik dilingkungan rumah sakit maupun
perawatan di rumah perlu dijelaskan bahwa tidak terjadi penularan HIV melalui batuk, memegang
pasien, membantunya bangun, memapah saat berjalan, memberi makan/ minum, menyuapi,
memandikan, dan sebagainya. Semua hal tersebut dapat dilakukan seperti halnya merawat orang
sakit lainnya tanpa merasa takut tertular HIV.
Walaupun belum ada vaksin pencegah AIDS, tapi sekarang sudah ada ARV yang dapat
'mengobati' AIDS sehingga kualitas hidup ODHA menjadi baik, namun harus diminum
selamanya.[]
14
OPINI
RESPON AGAMA ISLAM TERHADAP PROBLEM SOSIAL
PENANGGULANGAN HIV/ AIDS DAN NARKOBA
Maria Ulfah Anshor
Ketua Pimpinan Fatayat NU Periode 2000-2004
1
Lihat Pers Meliput AIDS oleh Syaiful W. Harahap diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta tahun 2000.
15
penggunaan darah yang terinfeksi serta pemakaian alat yang sudah disterilisasi dan menggunakan
jarum yang sekali pakai.
HIV/ AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1987 pada seorang turis
Belanda yang meninggal di Bali. Setahun kemudian ditemukan pula warga negara Indonesia yang
pertama, seorang laki-laki berusia 35 tahun meninggal pula karena AIDS di Bali. Setelah itu
penyebaran HIV/ AIDS di Indonesia terus meningkat dan penyebarannya hampir di semua propinsi
meskipun dengan prevalensi yang tergolong rendah. Data tahun 1997-1999 ditemukan sebanyak
933 kasus, terdiri dari HIV sebanyak 680 dan AIDS sebanyak 253 kasus.
Dari data tersebut 60,6 % diantaranya adalah laki-laki, 35,7 % perempuan dan 3,7 % tidak
diketahui jenis kelaminnya.4 Pada tahun 2001 meningkat sebanyak 2.575 kasus, 671 di antaranya
AIDS. Dan hingga 31 Maret 2003, sebanyak 3.614 kasus, terdiri dari 2.556 HIV positif dan 1.058
AIDS (dari berbagai sumber). Jumlah yang tercatat tersebut jauh lebih kecil jika dibanding dengan
prevalensi yang sesungguhnya, karena ada fenomena gunung es, dimana penderita masih
menyembunyikan bahwa dirinya terinfeksi.
Dalam perkembangan HIV/ AIDS sejak pertama ditemukan kecenderungannya
menggambarkan bahwa di negara-negara miskin dan negara berkembang jumlahnya terus
meningkat seperti di Afrika, Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara kecuali Thailand. Ini
berbeda dengan di negara-negara maju yang grafiknya mulai mendatar. Penurunan kasus tersebut
bukan karena faktor obat atau vaksin tetapi karena keberhasilan strategi penanggulangan yang
efektif ditunjang oleh pendidikan dan kesadaran yang tinggi dalam menggunakan kondom sebagai
salah satu cara pencegahan, sehingga mampu mengurangi penyebaran HIV. Sementara biaya
perawatan bagi ODHA dari kelompok masyarakat tidak mampu menjadi tanggung jawab Negara.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Meskipun tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Negara, tetapi setidaknya ada kebijakan yang dapat memfasilitasi upaya peningkatan ekonomi bagi
ODHA dan keluarganya agar dapat membeli obat untuk menjaga kondisi tubuhnya.
I7:70: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan".
Namun ironisnya, hingga saat ini masih banyak kalangan agamawan (dari Islam) yang
meyakini bahwa fenomena HIV/ AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan atau identik dengan kaum
Luth yang menyukai homoseksual, sebagaimana yang dikisahkan Tuhan dalam Al-Qur'an surat
7/Al-A'raf : 80-84, surat 27/ An Naml: 56. Begitu juga norma masyarakat masih banyak yang
menganggap bahwa HIV/ AIDS adalah penyakit menular seksual. Padahal bila dilihat dari cara
penularannya HIV/ AIDS sesungguhnya bukan merupakan penyakit seksual, karena orang yang
tidak melakukan hubungan seks dengan penderita HIV pun bisa tertular seperti penularan melalui
transfusi darah, jarum suntik, pisau cukur, dan sebagainya. Pandangan tokoh agama dan masyarakat
tersebut harus diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/ AIDS supaya tidak dianggap
sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya karena terjebak pada lingkaran
normatif yang tidak menguntungkan ODHA.
Begitu juga pandangan mengenai kondom sebagai salah satu cara pencegahan HIV/ AIDS
hingga saat ini masih kontroversial karena dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar
nikah, dianggap melegalisisir perzinahan dan sebagainya. Pandangan tersebut menurut saya tidak
menyelesaikan persoalan karena membiarkan orang yang terinfeksi HIV berhubungan seks tanpa
kondom sama dengan membiarkan penularan HIV. Apalagi kalau hubungan seksual dengan
berganti-ganti pasangan, semakin banyak pasangan semakin banyak yang tertular dan lebih
berbahaya (madlarat) dibanding kalau menggunakan kondom.
Pandangan tersebut hendaknya diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah
fiqhiyyah yaitu "memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah yang lebih
membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian kondom sebagai salah satu cara
pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan melarang kondom
disosialisasikan. Meskipun tidak menutup kemungkinan bisa saja disalahgunakan, tetapi tidak bisa
digeneralisir dengan suatu kemungkinan yang belum terjadi. Sedangkan hubungan seks tanpa
kondom dengan orang yang sudah terinfeksi pasti terjadi penularan.
Dalam penanggulangan HIV/ AIDS perlu pendekatan yang holistik, yaitu selain strategi
umum harus ada strategi khusus dengan pendekatan yang berbasis pada kondisi-kondisi spesifik
yang melekat pada penderita HIV/ AIDS dan problem-problem sosial yang mereka hadapi seperti
kemiskinan, kesehatan lingkungan dan sebagainya. Bahkan faktor kemiskinan harus dilihat sebagai
bagian di dalam penanggulangan HIV/ AIDS. Kelompok masyarakat miskin termasuk yang rentan
pula tertular HIV/AIDS, karena perilaku masyarakat baik dalam pelayanan kesehatan, di sekolah, di
tempat kerja, di tempat-tempat umum masih mendiskriminasikan ODHA, apalagi yang berasal dari
17
keluarga miskin. Orang yang miskin semakin dimiskinkan karena tertular HIV/ AIDS. Dan dari
kelompok yang miskin tersebut yang paling miskin dan menderita adalah kaum perempuan, karena
secara ekonomi umumnya mereka bergantung pada suami atau pasangan yang juga umumnya
miskin.
Selain itu, menciptakan suasana yang kondusif dengan cara meningkatkan kepedulian dan
tanggung jawab terhadap upaya menanggulangi HIV/ AIDS dengan melibatkan semua institusi
yang terkait baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, dunia usaha serta lembaga masyarakat
dan LSM.
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS harus melibatkan perempuan dengan
strategi pencegahan dan penanggulangan secara holistik, yakni pencegahan HIV tidak hanya dari
sisi medis, tetapi dari berbagai dimensi yang secara langsung maupun tidak dapat menjadi faktor
penentu terhadap penularan HIV/ AIDS. Termasuk di dalamnya dampak kebijakan-kebijakan
pembangunan nasional yang mengakibatkan akses perempuan secara ekonomi dibatasi, terbatasnya
peluang kerja bagi perempuan, menyebabkan perempuan migrasi ke kota bahkan ke luar negeri
karena sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan sebagainya.
Dalam bentuk mikro misalnya melakukan analisis terhadap pola hubungan gender yang
timpang, relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan, mengapa pendidikan perempuan rendah,
perempuan menjadi miskin, perempuan menjadi korban kekerasan, perempuan menjadi objek
eksploitasi seksual dan sebagainya. Kondisi tersebut merupakan akar permasalahan yang
mengakibatkan perempuan rentan terhadap nenyebaran HIV. Dari situ diharapkan penyebaran HIV/
AIDS yang terjadi karena faktor ketimpangan gender, kemiskinan struktural pada perempuan dan
sebagainya dapat teratasi
Daftar Bacaan
Harahap, Syaiful W., Pers Meliput AIDS, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional,
Strategi Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS 2003-2007.
Maria Ulfah Anshor, HIV/AIDS Prevention Through The Religious Approach in Nahdlatul Ulama,
Kualalumpur: 5th International Congress on HIV/ AIDS in Asia Pasific, Oct 23-27, 1999.
Mukhotib MD, Mengurai Sikap Pesantren Terhadap Isu HIV, Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan
Fatayat NU, 2002
Siyaranamual, R. Siyaranamual, Etika dan Hak Pewabahan HIV/ AIDS, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1997.
Syahlan dkk, AIDS dan Penanggulangannya: Bahan Bacaan untuk Peserta Didik Keperawatan,
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1997.
19
UN AIDS, Summary Booklet of Best Practices, Geneva: Joint United Nation Programme on HIV/
AIDS (UNAIDS), 1999.
Zubairy Djoerban, HIV/ AIDS dan Hak Asasi Manusia, membidik AIDS, Yogyakarta: Galang
Press, 2000.
20
OPINI
HIV DAN AIDS DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN
Emmy Sahertian
Caretaker Direktur Eksekutif Yayasan PALMA
Pendahuluan
Berbicara tentang AIDS dari sudut pandang iman Kristen tidak terlepas dari bagaimana
pergumulan gereja-gereja menghadapi epidemik AIDS yang telah menghancurkan hidup dari
hampir sebagian penduduk bumi ini. Pertanyaan mendasar yang selalu muncul dibenak umat adalah
"Mengapa Tuhan Allah mengizinkan virus HIV hidup?" "Apakah AIDS merupakan kutukan Allah
kepada manusia yang telah melakukan dosa perzinahan?"
Pertanyaan-pertanyaan diatas telah mendorong sebagian besar umat, yang juga adalah basis
masyarakat, menarik garis hitam antara mereka dengan para penderita HIV/ AIDS. Dalam catatan
para relawan kemanusiaan ternyata sikap tersebut justru telah melahirkan tindakan diskriminatif,
isolasi, perlakuan yang tidak berperikemanusiaan serta ketakpedulian terhadap para penderita.
Penderita AIDS diposisikan sebagai manusia "pendosa". Opini moral ini tampaknya lebih
berbahaya dari virus HIV itu sendiri.
Menyadari akan kondisi demikian maka Dewan Gereja-gereja se-Dunia, melalui komisi
kesehatannya mengadakan suatu studi teologis mendalam tentang isu HIV/ AIDS agar menjadi
pedoman bersama gereja-gereja sedunia, lebih khusus lagi bagi umat secara individu. Dasar iman
Kristen yang menjadi dasar menyikapi epidemik AIDS adalah : Bagaimana kita memahamai teologi
Penciptaan, tubuh dan seksualitas manusia, teologi penderitaan dan kematian, pengharapan dan
kebangkitan dengan pola pendekatan pelayanan yang dilakukan oleh Yesus Kristus dalam KASIH.
Teologi Penciptaan.
Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama melukiskan bahwa semua yang disebut sebagai
makhluk hidup selalu berada dalam suatu relasi : Relasi antara Tuhan dan manusia serta makhluk
lain, baik manusia dan non-manusia, relasi antara sesama makhluk hidup, baik manusia dan non-
manusia. "Relasi" tersebut merupakan simpul yang menentukan kualitas kehidupan secara utuh
(tubuh, jiwa, roh, dan sosial). Relasi yang merupakan inisiatif Allah dengan ciptaannya berjalan
secara konstan, dan tidak pernah berhenti, meskipun sering makhluk ciptaan-Nya menghentikan
atau murtad. Salah satu cirikhas keilahian Allah adalah setia dalam relasi dengan makhluknya di
samping kasih, adil dan berdaulat atas ciptaan-Nya.
Relasi Allah dengan makhluk ciptaan-Nya adalah relasi yang dinamik. Artinya makhluk
ciptaan-Nya diberi ruang untuk bergerak dan bertumbuh dalam kebebasan tetapi yang bertanggung-
21
jawab terhadap panggilan hidupnya. Dalam relasi yang dinamik inilah maka manusia yang bebas
tersebut menjadi berisiko tinggi untuk jatuh ke dalam dosa (Kej.3).
Kitab Kejadian melukiskan secara realistik bahwa manusia sebagai mahkota ciptaan dalam
kebebasannya selalu memilih jalan yang penuh risiko berujung pada maut atau jatuh ke dalam dosa.
Hal ini mempengaruhi harmonisasi relasi baik antara manusia dengan Allah maupun antar sesama
makhluk. Terjadi penindasan, pembunuhan, ketidak adilan, ketimpangan alam yang membuat
manusia menderita. Dalam kondisi yang demikian manusia mengalami penderitaan yang
komprehensif (fisik, jiwa, roh dan sosial). Manusia dihadapkan dengan maut dan kematian. Sejak
itu bumi dan segala isinya berada pada kondisi yang sangat berisiko tinggi untuk menderita. Disebut
sebagai bumi yang sakit dan membutuhkan penyelamatan atau penyembuhan. Dalam kerangka
inilah maka HIV/ AIDS menjadi bagian dari bentuk penderitaan dunia itu.
Meminta perhatian gereja-gereja untuk mengembangkan suatu iklim dan tempat yang penuh
cinta kasih, penerimaan, dan dukungan bagi mereka yang rentan atau yang telah terkena
HIV/ AIDS tanpa memandang latar belakang agama,suku, status sosial maupun keberadaan
personal seseorang.
Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi pada basis pemahaman teologinya
dalam rangka merespons tantangan HIV/ AIDS
Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi masalah-masalah etik yang timbul
karena pandemik ini, bagaimana menginterpretasikannya ke dalam konteks lokal dan
menawarkan panduan bagi mereka yang menghadapi kesulitan dalam menentukan pilihan.
Meminta perhatian gereja supaya terlibat aktif dalam berbagai diskusi di masyarakat
mengenai isu-isu etik yang muncul karena HIV/ AIDS, dan mendukung warga jemaatnya,
khususnya yang melayani dibidang kesehatan, yang menghadapi kesulitan menentukan
keputusan etis dalam hal pencegahan dan perawatan.
C. Kesaksian Gereja sehubungan dengan masalah yang berkepanjangan dan faktor-faktor yang
dapat memberikan pengharapan
24
Meminta perhatian gereja-gereja untuk menyadari, mengakui bahwa ada hubungan antara
AIDS dan kemiskinan, dan mengadvokasi upaya promosi keadilan dan pembangunan yang
berkelanjutan.
Meminta perhatian gereja untuk memberi perhatian khusus pada situasi yang dapat
memperluas kerentanan terhadap AIDS seperti isu pekerja migran, pengungsian darurat
dalam jumlah besar serta isu aktifitas seks komersial.
Lebih khusus lagi, gereja-gereja perlu bekerja sama dengan kelompok perempuan di mana
selama ini mereka berjuang untuk hak dan martabat mereka serta mengaktualisasikan
keterampilan mereka secara maksimal.
Meminta perhatian gereja-gereja untuk membina dan melibatkan kaum muda dan para pria
dalam rangka pencegahan penyebaran HIV/ AIDS
Meminta perhatian gereja-gereja untuk memahami secara penuh tentang anugerah
seksualitas manusia dalam konteks pertanggung jawaban personal, relasi dengan orang lain,
keluarga dan iman Kristen.
Meminta perhatian gereja-gereja untuk memperhatikan pandemik penyalah gunaan NAPZA
dan bagaimana peranannya dalam penyebaran HIV/ AIDS, serta mengembangkan program
yang efektif dalam hal perawatan, penurunan adiksi, rehabilitasi dan pencegahan.
Penutup
Akhirnya saya menyunting apa yang dikatakan Kristus kepada para muridNya sebagai basis
AIkitabiah pemahaman Kristiani dalam menyikapi HIV/ AIDS yaitu Mat. 25: 35-36 dan 45: 35-36:
“Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus kamu memberi Aku minum;
ketika Aku seorang asing kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi
Aku pakaian; ketika Aku sakit kamu merawat Aku; ketika Aku di dalam penjara kamu mengunjungi
Aku (Mat. 25: 35-36). Dan 45: 35-36: “Maka la akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu
sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina
ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” Suatu identifikasi empatis bersama mereka yang
paling hina dan menderita sebagai etika pelayanan Kristiani yang berporos pada Kristus.
Referensi:
1. Palma & PGI. Peran Gereja menghadapi AIDS, terjemahan atas publikasi WCC: Facing AIDS,
The Challenge, The Churches'Response, Jakarta, 1997
2. AIDS Working Group WCC, Guide to HIV/ AIDS Pastoral Counseling, Geneva, 1990
3. Report of LWF Youth Consultation, Malaysia, November, 2001
4. Report of LWF Pan Africa Leadership Consultation on HIV/ AIDS. Nairobi, May. 2002
25
OPINI
HIV/ AIDS DAN NARKOBA
DALAM PERSPEKTIF KATOLIK
Hampir setiap hari mass media menampilkan berita kasus HIV/ AIDS dan narkoba. Harian
Kompas saja selama bulan September 2004 telah memuat lebih dari 4 kali berita mengenai hal
tersebut dalam berbagai kolom. Ini berarti setiap minggu 1 berita; belum harian lain. Menurut Al
Bachri Husin, persoalan narkoba di Indonesia telah memasuki gelombang ketiga. Gelombang
pertama, epidemik narkotika terjadi pada tahun70-an, ditandai dengan penggunaan dan
penyalahgunaan ganja. Pada pertengahan tahun 1995 dengan masuknya heroin ke Indonesia
terjadilah gelombang kedua epidemik narkotika di Indonesia. Gelombang ketiga dimulai awal tahun
27
2003 dengan masuknya kokain ke Indonesia. Pada tahun 2002 kokain yang berhasil disita di
bandara Soekarno-Hatta sebesar 2.314 gram, pada tahun 2003 meningkat menjadi 28.556 gram
(Kompas, 14/ 9/ 2004). Tahun 2004 sudah ada penyitaan 8 kilogram kokain di Bandara Soekarno-
Hatta (Kompas, 3/9/2004).
orang, prevalensinya 0,5-5% dan di kalangan narapidana, dari 15.443 orang, prevalensinya 15-25%
(Kompas, 3/9/2004).
Kasus-kasus HIV/ AIDS semakin meningkat. Bulan Desember 2003 ada 4.091 kasus dengan
perincian 2720 kasus HIV dan 1.371 kasus AIDS. Selang selama 6 bulan kemudian terjadi
peningkatan yang cukup mencolok yakni 4.389 kasus, terdiri dari 2.864 kasus HIV dan 1.525 kasus
AIDS. Propinsi yang paling banyak ditemui kasus HIV/ AIDS antara lain DKI Jakarta dengan
jumlah kasus 1.219, Papua dengan 1.036 kasus, Jawa Timur 495 kasus, Bali 352 kasus, Riau 291
kasus, dan Jawa Barat 248 kasus. Sementara itu kasus HIV/ AIDS jika dilihat dari kelompok umur,
memperlihatkan gambaran yang mengkhawatirkan. Dari 4.389 kasus, 1.392 atau 31,7% adalah
kelompok usia 15-29 tahun yang terdiri dari kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 176 kasus dan
kelompok usia 20-29 tahun sebanyak 1.225 kasus (Kompas, 10/9/2004).
Sebenarnya kasus HIV/ AIDS pertama kali secara resmi ditemukan tahun 1981 di Amerika
Serikat tetapi para ahli meyakini bahwa pada saat itu banyak manusia di seluruh dunia yang sudah
terinfeksi HIV. Diperkirakan pada tahun 1980 ada sekitar 100.000 orang di seluruh dunia terinfeksi
HIV. Sebagian besar orang yang tertular virus itu tidak menyadari bahwa mereka sedang tertular.
Sekarang, lebih dari 30 juta orang, termasuk 1 juta anak, hidup dengan HIV. 2
Cara penularan HIV melalui tiga media: melalui kontak darah (pemakaian jarum suntik yang
tidak steril dan secara bergantian, transfusi darah dan kontak langsung dengan darah orang yang
mengidap virus HIV), melalui cairan kelamin (air mani, cairan vagina dan hubungan seksual) dan
melalui keturunan (dari ibu ke anak). Virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang
kemudian menyebabkan AIDS. Virus ini menyerang salah satu jenis sel darah putih yang bertugas
untuk mengobati dan menangkal infeksi. Sel darah putih ini termasuk limfosit yang disebut T-4 sel
atau CD-4. Virus ini juga mempunyai kemampuan untuk menyamarkan genetiknya menjadi genetik
sel yang ditumpanginya.
Refleksi
Berdasarkan data-data tersebut kita dapat menarik beberapa keprihatinan pokok yang
berkaitan dengan saudara kita yang terkontaminasi oleh HIV/ AIDS dan narkoba. Pertama, kita
perlu menempatkan mereka yang terkena HIV/ AIDS sebagai pribadi yang utuh dengan segala
dimensinya, yang sungguh mengharapkan bantuan. Saudara kita yang terkena HIV/ AIDS sadar
atau tidak mengalami proses dehumanisasi karena kesalahpahaman, stigmatisasi dan diskriminasi.
Mereka sebenarnya adalah korban, entah karena kesalahan mereka sendiri atau bukan, tetapi pada
saat ini yang mereka butuhkan bukan khotbah tetapi pertolongan untuk mengembalikan
2
Lihat hal.22-23 dalam Ancaman HIV dan Kesehatan Masyarakat oleh Bdk, Reuben Granich-Jonathan Mermin
diterbitkan oleh Insist Press Yogyakarta tahun 2003.
29
keluhurannya sebagai manusia. Bukan saatnya untuk saling menyalahkan, tetapi bersama-sama
mencari cara-cara yang bijaksana untuk bertindak.
Kedua, sadar atau tidak mereka menjadi objek dari segala macam bentuk penyalahgunaan
obat-obatan tanpa kebebasan mengatakan tidak. Seakan-akan ada suatu sistem dan struktur yang
menempatkan manusia sebagai objek dan bukan subjek yang bertanggungawab atas hidup dan
segala keputusan yang diambilnya. Sistem seperti itu mesti mendapatkan perhatian dalam
penanganan masalah ini secara tuntas agar jangan semakin banyak generasi muda kita yang hilang.
3
Lihat hal.2 dalam Evangelum Vitae (Injil Kehidupan) seri Dokumen Gerejawi No. 41 oleh Paus Yohanes Paulus II,
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta tahun 1996.
4
Ibid hal. 6.
30
serius sikap hormatnya terhadap hidup manusiawi serta martabatnya, menghasilkan semacam
proses makin gelapnya kemampuan mengenai kehadiran Allah Penyelamat yang hidup.
Kalau kesadaran akan Allah disingkirkan maka segala sesuatu menjadi tak bermakna. Alam
yang semula adalah 'mater' ( ibu, ibu pertiwi) sebagai sumber dan pemangku kehidupan, kini
diturunkan menjadi 'materia', dan masih direduksi lagi dalam aneka manipulasi. Hubungan antar
manusia sangat dimiskinkan karena sangat materialistis. Keberadaan manusia diukur berdasarkan
'apa yang mereka miliki, perbuat dan hasilkan'. Demikian juga peranan suara hati sebagai intisari
keberadaan manusia menjadi tak bermakna. Padahal ‘di lubuk hati nuraninya' manusia menemukan
hukum, yang tidak diterimanya dari diri sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu
menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari
yang jahat. 5
Keprihatinan Pastoral
Ancaman serius dari HIV/ AIDS dan narkoba di satu pihak dan panggilan luhur untuk
membela martabat manusia di pihak lain menimbulkan keprihatinan yang mendalam akan
terciptanya tatanan kehidupan yang manusiawi (baca: 'budaya kehidupan'). Kita masing-masing
wajib menyediakan diri untuk melayani hidup. Itu sesungguhnya suatu tanggungjawab semua orang
yang meminta kegiatan terpadu dalam kebesaran jiwa oleh semua anggota dan segala pelaku. Akan
tetapi komitmen umat itu tidak mengesampingkan atau mengurangi tanggung jawab masing-masing
perorangan, yang oleh Tuhan dipanggil 'menjadi sesama' bagi setiap orang “Panggilan dan
lakukanlah itu”.
Dalam konteks tersebut, kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba dapat mengungkapkan
beberapa hal yang lebih mendasar. Pertama, nilai-nilai kebenaran agama tidak mewujud dan
menjadi bagian dari identitas kehidupan. Artinya, agama-agama sedang mengalami krisis identitas
yang mendalam. Ada kecenderungan penghayatan agama berhenti pada simbol-simbol keagamaan.
Akibatnya, agama menjadi suatu kategori sosial-budaya (bahkan politik) yang kosong. Agama-
agama tidak lagi hidup!
Kedua, “konsekuensi langsung dari krisis identitas tersebut ialah kekosongan hati nurani.
Hati nurani tidak dipahami sebagai inti manusia yang paling dalam, tempat Allah menuliskan
hukum-hukum-Nya, dan sumber dari cinta dan perbuatan-perbuatan baik”. 6
Ketiga, tempat pendidikan hati nurani pertama-tama dan utama adalah keluarga. Di dalam
keluargalah, setiap orang mengalami pola asuh dan pengalaman eksistensial sebagai manusia.
Namun pada saat yang sama sendi-sendi kehidupan keluarga mengalami kekosongan dahsyat.
5
Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 16, Dokumentasi dan Penerangan KWI , Obor Jakarta tahun 1993.
6
Lihat hal.95 pada Membangun Masyarakat Basis Yang Berhati Nurani oleh Yong Ohoitimur dalam Spektrum No.3
tahun XXX/ 2002.
31
Kesibukan orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidup serta membanjirnya arus globalisasi telah
membuat keluarga kehilangan 'hak'nya untuk mendidik hati nurani setiap anggotanya.
Kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba mengubah kecenderungan manusia dari 'mater'
sumber kehidupan menjadi 'materia'. Karena itu dibutuhkan solidaritas global untuk
mengembalikan martabat manusia sebagai pembangun kebudayaan hidup. Mereka hidup dalam
kondisi 'perbudakan yang berat' dan mereka harus dibebaskan dari padanya. Oleh karena itu
penyembuhannya tidak dapat dicapai melalui cara yang diterapkan pada orang yang berbuat
kesalahan etis atau melalui hukum yang represif, melainkan melalui proses rehabilitasi, tanpa
membiarkan kesalahan yang mungkin dijalankan oleh mereka, proses yang mendukung
pembebasan dari kondisi mereka serta reintegrasi mereka. Karena itu sangat penting usaha-usaha
untuk mengenal orang-orang dan memahami dunia batin mereka, mengantar mereka kepada
penemuan ulang martabat mereka sebagai pribadi, membantu mereka bangkit lagi dan
mengembangkan sebagai subyek yang aktif, sumber-sumber daya pribadi, yang telah ditiadakan
oleh HIV/ AIDS atau penggunaan narkoba, melalui reaktivasi mekanisme-mekanisme kehendak
yang penuh kepercayaan, diarahkan kepda cita-cita yang aman dan luhur. 7
Arah pastoral pendampingan secara umum berkaitan dengn kasus HIV/ AIDS dan narkoba
ditujukan kepada dua hal. Pertama, terciptanya masyarakat basis multikultural yang berhati nurani.
Disini multikultural dimengerti sebagai sikap hidup atau pandangan dasar dinamika kehidupan
bersama yang bebas dari diskriminasi dan rintangan-rintangan yang bisa menghambat individu-
individu dari berbagai latar belakang kultural untuk mendapatkan kesempatan pengembangan diri
serta untuk berpartisipsi dan berkontribusi dalam masyarakat secara adil dan setara. Dalam
masyarakat seperti itu identitas setiap agama tidak berhenti pada simbol melainkan pada sikap
hidup, tindakan yang santun.
Kedua, mengembangkan cara berpikir dan hati nurani yang baru. Dalam kondisi masyarakat
sekarang ini, setiap orang beriman mesti terlibat lebih penuh dalam kehidupan bermasyarakat.
Keterlibatan itu terfokus pada transformasi sosial dan kultural yang efektif, yakni sebagai penabur
dan pelaku budaya kehidupan. Pembentukan hati nurani bangsa yang sehat secara manusiawi
menjadi tugas penting dan mendesak untuk menyelamatkan masyarakat dari kondisi yang koruptif
dan merusak.
Ketiga, percepatan untuk kedua hal di atas dicapai dengan pendidikan sebab pendidikan
berarti membudayakan kasih. Pendidikan menjadi pintu gerbang perubahan untuk membina
generasi muda yang bernurani dalam masyarakat plural.
7
Lihat hal.94 dalam Piagam Panitia Kepausan untuk Reksa Pastoral Kesehatan, Piagam bagi Pelayanan Kesehatan,
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta tahun 1994.
33
Suatu Strategi?
Strategi yang bisa dipikirkan adalah menyiapkan paroki atau komunitas-komunitas umat
beriman sebagai 'keluarga kedua' dimana setiap orang dengan bebas datang dan memperoleh
34
kesegaran hidup manusiawi. Komunitas yang demikian dapat mengubah orang menjadi lebih santun
dan manusiawi.
“Seorang guru besar Sosiologi (John Hopkins) pernah menugaskan mahasiswanya untuk
mengadakan penelitian pada kalangan remaja di suatu daerah kumuh di kota Baltimore. Mahasiswa
itu harus menganalisa situasi remaja itu dan coba meramalkan masa depan mereka. Analisa situasi
remaja dan ramalan tentang masa depan mereka itu harus dituangkan dalam karya tulis.
Karya tulis dari hampir semua mahasiswa memaparkan tentang situasi yang menyedihkan
dari para remaja di daerah kumuh itu. Mereka meramalkan hampir pasti 90% dari remaja itu akan
berurusan dengan polisi dan penjara di kemudian hari.
Dua puluh tahun kemudian seorang Sosiolog lain kebetulan membaca karya tulis para
mahasiswa tentang para remaja di daerah kumuh di kota Baltimore itu. Ia ingin mengetahui apakah
ramalan dalam karya tulis itu sudah menjadi kenyataan. Ia menugaskan mahasiswanya untuk
membuat penelitian berhubungan dengan hal itu.
Para mahasiwa berhasil menemui 180 dari 200 orang mantan remaja daerah kumuh
Baltimore tersebut. Hasil wawancara mereka dengan orang-orang itu sungguh mencengangkan.
Hampir semua mantan remaja itu sukses dalam hidupnya, hanya 4 orang yang pernah berkenalan
dengan penjara. Ramalan dari para mahasiswa 20 tahun lalu itu ternyata jauh meleset. Lalu para
mahasiswa berusaha untuk mencari tahu mengapa keajaiban itu bisa terjadi.
Dalam wawancara dengan 180 orang yang sudah hidup sukses itu, mereka selalu menyebut-
nyebut satu nama, yaitu nama seorang kepala sekolah menengah pada saat mereka belajar di
sekolah itu. Kepala sekolah itu mempunyai andil besar untuk kesuksesan mereka. Namanya Ny.
O'Rourke. Sekarang sudah pensiun dan tinggal di panti jompo!
Ketika para mahasiswa menemuinya dan menanyakan apa saja yang telah dibuatnya
sehingga hampir semua anak didiknya sukses dalam hidup. Ny. Rourke mengatakan bahwa ia tidak
bisa mengingatnya lagi. Dia hanya tersenyum dan mengatakan: “Rasanya saya masih mengingat
mereka semua dan masih mencintai mereka seperti dulu sewaktu mereka masih remaja! Ah, betapa
menyenangkan anak-anak itu!”
Penutup
Alkisah, ada seorang yang terperosok ke dalam lubang. Orang itu berteriak minta tolong.
Kebetulan ada pejalan kaki lewat dekat lubang itu. Ia menolong tetapi tangannya tak mampu
menggapai orang itu. Dengan menyesal dia pergi. Tak berapa lama lewat pula seorang dengan
tongkat. Ia pun menolongnya dengan tongkat. Apa daya ketika hampir terangkat, tongkat itu patah.
Lewat pula seorang rabi. Dia mendengar rintihan orang itu dan masuk ke lubang lalu menyuruh
naik lewat pundaknya sambil berkata: “Pergilah dengan damai!”[]
35
OPINI
BUDDHA DHARMA & HIV/AIDS
Hudoyo Hupudio, M.P.H
Pensiunan Departemen Kesehatan dan Wakil Direktur ASA/FHI
Pendahuluan
Penyakit HIV/ AIDS telah melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia, tanpa ada tanda-
tanda surut. Malah sebaliknya, di banyak wilayah di dunia, termasuk di Indonesia, jumlah penduduk
yang terserang terus meningkat dengan pesat.
HIV/ AIDS, melebihi penyakit apa pun, mempunyai dampak yang luas terhadap kehidupan
fisik, mental, sosial, spiritual dari Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA), anggota keluarganya,
masyarakat di sekitarnya, serta masyarakat luas.
Tulisan ini bermaksud untuk merenungkan apa yang dapat disumbangkan oleh Agama
Buddha (Buddha Dharma = ajaran Buddha) untuk mengurangi masalah dan meringankan
penderitaan dari berbagai pihak tersebut di atas.
Individu
Seorang yang dinyatakan terinfeksi HIV akan mengalami goncangan mental yang amat
hebat. Ini disebabkan karena penyakit HIV/ AIDS dilihat sebagai penyakit yang “tidak ada obatnya”
dan “selalu berakibat fatal” serta adanya persepsi bahwa pengidap HIV/ AIDS adalah orang yang
“bermoral bejat”. Ini karena penularan HIV sebagian besar terjadi melalui penggunaan alat suntik
yang tidak steril oleh para pengguna obat, dan melalui hubungan seksual yang tidak terlindung dan
berganti-ganti pasangan. Persepsi-persepsi seperti ini selain meluas di kalangan masyarakat, juga
dialami oleh ODHA sendiri, dan anggota keluarganya yang mendampingi dan merawatnya. Sebagai
akibat dari persepsi-persepsi yang keliru tersebut, para ODHA selalu menghadapi berbagai bentuk
stigmatisasi dan diskriminasi dalam kehidupannya sehari-hari.
Dari kalangan agama sendiri, sering kali terjadi para pemuka agama menambah stigmatisasi
dan diskriminasi tersebut dengan menekankan “dosa” yang dianggap telah dilakukan oleh para
ODHA. Seruan untuk “bertobat” sering digunakan untuk memberikan stigma dan
mendiskriminasikan para ODHA.
36
Masyarakat
Perlakuan diskriminatif dan stigmatisasi oleh masyarakat terhadap para ODHA
menimbulkan penderitaan yang luar biasa bagi ODHA dan keluarganya. Untuk menghindari hal itu,
sering kali mereka berusaha menutupi fakta bahwa dirinya atau anggota keluarganya adalah ODHA.
Keadaan ini menimbulkan situasi dimana upaya untuk menjangkau para ODHA mengalami
banyak rintangan. Oleh karena risiko penularan HIV/ AIDS banyak tergantung pada perilaku
manusia, maka pada gilirannya, situasi ini menyulitkan berbagai upaya untuk mengurangi risiko
penularan HIV/ AIDS lebih lanjut.
Apakah yang dapat disumbangkan Agama Buddha (Buddha Dharma) di dalam situasi
masyarakat yang penuh penindasan dan penderitaan seperti ini?
individual itulah yang terdapat secara permanen dalam batin seorang arahat, sampai ia meninggal
dunia. Ke mana seorang arahat setelah meninggal, tidak dapat ditangkap lagi oleh kesadaran
empiris manusia, oleh karena kesadaran individual seorang arahat sudah tidak ada lagi bahkan
selagi ia masih hidup. Yang tinggal adalah sesuatu yang universal di atas.
Sang Buddha mengajarkan jalan yang dapat ditempuh manusia untuk mengakhiri 'aku'-nya
dan dengan demikian mencapai pembebasan/ nirvana; jalan itu dikenal sebagai “Jalan Suci
Berunsur Delapan.” Secara singkat, kedelapan unsur dari Jalan Suci itu dapat diringkas menjadi tiga
kelompok: (1) Sila (Moralitas); (2) Samadhi (konsentrasi & meditasi) dan (3) Pannya (Kearifan).
Jalan Suci ini sangat relevan dengan topik tulisan ini, yakni bagi para ODHA, keluarganya
dan masyarakat luas.
ketenangan' menghasilkan keheningan dan ketenangan batin, yang bisa sangat mendalam. Keadaan
ini sangat bermanfaat untuk memperkuat batin dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Di sinilah
peran 'meditasi ketenangan' dalam memperkuat batin para ODHA dan keluarganya pada khususnya.
Namun 'meditasi ketenangan' tidak bisa menghasilkan Kearifan (pannya), yang dibutuhkan untuk
tercapainya Pembebasan.
Sedangkan 'meditasi pencerahan' (vipassana-bhavana) adalah jenis meditasi yang unik,
yang hanya terdapat dalam ajaran Sang Buddha. Di dalam 'meditasi pencerahan' tidak digunakan
satu obyek meditasi yang diamati terus-menerus. Alih-alih, praktek 'meditasi pencerahan' pada
dasarnya adalah “mengamati segala fenomena badan & batin yang muncul pada setiap saat, tanpa
bereaksi sedikitpun, tanpa menolak atau melawan bila tidak enak, tanpa melekat bila enak.” Apabila
pengamatan (observation, being aware) ini dilakukan terus-menerus, maka pada waktunya kelak
terbukalah pencerahan-pencerahan terhadap sifat/ hakekat eksistensi sebagaimana tersebut di atas,
yakni anicca, dukkha dan anatta. Pencerahan ini akan membebaskan batin dari loba, dosa dan
moha, dan pada akhirnya melenyapkan 'aku' (diri, ego, atta).
Bagi seorang ODHA & keluarganya, 'meditasi pencerahan' merupakan cara yang langsung
dan ampuh untuk menyadari/ melihat hakekat dari dirinya dan eksistensi pada umumnya, dan
dengan demikian terbebas dari penindasan batinnya oleh penyakitnya. Batin yang bebas berarti
tidak lagi terobsesi oleh keputusasaan, kemurungan, rasa bersalah, rasa tidak berguna dan
sebagainya. Batin yang bebas berarti menerima dengan ikhlas, tenang dan seimbang segala sesuatu
yang terjadi pada diri sendiri dari saat ke saat. Batin yang bebas berarti memiliki energi ekstra untuk
dimanfaatkan secara optimal. Batin yang bebas berarti mendukung pengobatan antiretroviral yang
dijalani untuk meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, suatu prinsip hubungan batin-jasmani
(mind-body) yang telah dikenal dengan baik dalam disiplin psiko-neuro-imunologi.
Pannya (Kearifan)
Dengan menjalankan sila dan samadhi secara baik dan berkesinambungan, maka berangsur-
angsur akan tumbuh kearifan dalam batin orang yang bersangkutan. Kearifan ini adalah kesadaran
dan realisasi dari segala sesuatu yang telah dijelaskan di atas. Hanya kesadaran seperti itulah yang
bisa mengubah hidup manusia. Manfaatnya bagi para ODHA & keluarganya tidak perlu diuraikan
lagi.
Penutup
Semoga uraian singkat tentang Agama Buddha (Buddha Dharma) dalam kaitannya dengan
HIV/ AIDS ini dapat mengilhami para ODHA & keluarganya serta masyarakat luas untuk menggali
dan memanfaatkan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam ajaran Sang Buddha, tanpa perlu
berpindah agama.[]
40
OPINI
PANDANGAN DAN LANGKAH-LANGKAH HINDU
DALAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN NARKOBA
(DUKUH SAMIAGA)
Om Swastiastu,
Hindu memandang AIDS bukan sebagai suatu penyakit kutukan dari Tuhan, tetapi lebih
disebabkan penyakit sosial, yang adalah efek kurang berhasilnya sistim pendidikan baik formal
maupun informal, yang berakibat kurang terisinya moral dan mental masyarakat khususnya generasi
muda kita tentang ajaran-ajaran moral dan etika kemasyarakatan seperti yang diatur oleh setiap
agama.
Kondisi seperti ini tidak bisa didiamkan terus menerus dan merupakan tantangan bagi kita
untuk mengambil sikap secara bijaksana dan secara kongkrit dalam mengimplementasikannya
dalam gerakan saling bahu membahu untuk membantu mereka yang sudah terinfeksi HIV dan terus
mengkampanyekan di dalam setiap kesempatan tentang penyakit ini.
Virus HIV terdapat dalam cairan darah, cairan sperma, dan cairan vagina yang dapat
menular melalui kontak darah atau cairan tersebut. Virus HIV tidak dapat dilumpuhkan oleh sel-sel
darah putih, karena virus HIV dapat memproduksi sel sendiri yang dapat merusak sel darah putih
dan merupakan sejenis retrovirus atau virus yang dapat berkembang biak dalam darah manusia.
Gejala AIDS baru bisa diketahui antara 5 - 10 tahun setelah tertular HIV, karena orang yang
terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala spesifik apapun bahkan sesudah masa AIDS.
Dengan mengetahui proses penularan HIV bisa dicegah dengan langkah-langkah yang
bijaksana, yaitu bila berhubungan badan dengan penderita biasakan menggunakan kondom,
menghindari tranfusi darah dengan penderita atau menghindari penggunaan yang sudah terinfeksi
serta selalu mensterilkan alat suntik atau menggunakan alat sekali pakai.
Sejak pertengahan tahun 1971 pemerintah kita telah membentuk badan koordinasi
penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap obat terlarang sesuai dengan Inpres No 6 /
1971. Karena melihat besarnya peredaran obat terlarang di Indonesia sepertinya badan ini tidak
mampu membendung penyelundupan yang terjadi. Semenjak itulah kasus-kasus narkoba tetap
menghiasi mass media kita bahkan sampai saat ini walaupun dengan ancaman hukuman berat
bahkan hukuman mati tetapi para pengedar masih menggila mengingat keuntungan materi yang bisa
diraup walaupun harus mengorbankan nilai-nilai moral dari sisi kemanusiaannya.
Untuk kasus HIV / AIDS, baru muncul di Indonesia pada tahun 1987 di kawasan wisata Bali
yang dibawa oleh wisatawan Belanda. Semenjak itulah diperkirakan di Bali khususnya dan
Indonesia umumnya sudah mulai masuk virus yang mematikan ini yang terbukti dengan
meninggalnya orang pertama dari Indonesia yang mengidap virus HIV / AIDS pada tahun 1988.
Setelah itu penyebaran HIV/ AIDS di Indonesia terus meningkat dan merata di semua propinsi
meskipun penyebarannya relatif rendah. Dari data-data yang ada menunjukkan setiap tahunnya
terjadi peningkatan penderita yang kentara (diketahui oleh pihak medis) dan diperkirakan jauh lebih
banyak lagi yang tidak kentara yang merupakan carrier (pembawa) virus HIV yang akan sangat
mudah penyebarannya.
Disinilah diperlukan pendidikan dan penerangan-penerangan yang benar tentang HIV/ AIDS
sehingga penyebarannya dapat dihambat dengan pengetahuan yang benar tentang proses
penyebarannya. Dalam perkembangannya sejak pertama ditemukan kecenderungannya
menggambarkan bahwa di negara-negara miskin dan negara berkembang jumlahnya terus
meningkat dibandingkan dengan negara-negara maju. Bukan disebabkan oleh obat dan vaksin tetapi
karena keberhasilan di dalam penanggulangan yang efektif ditunjang pendidikan dan kesadaran
moral yang tinggi.
Misalnya, sangat dilarang melakukan hubungan badan dengan yang bukan pasangan yang
sah. Diajarkan juga agar setiap umat dapat selalu menjaga kebersihan, baik fisik maupun spiritual.
Di sini diharapkan agar orang Hindu selalu hidup bersih secara badaniah dan rohaniah. Maksudnya
agar tidak menyimpang dari rel agama.
Hindu menganggap seks itu adalah sesuatu yang murni dan luhur sehingga tidak dibenarkan
melakukannya di sembarang tempat atau dengan sembarang orang yang bukan pasangannya.
Khususnya di Bali, aturan seks yang sehat diatur di dalam beberapa kitab lontar dan kitab-kitab
Wariga yang melarang pada hari-hari tertentu untuk melakukan senggama. Beberapa contoh
misalnya :
1. Dilarang melakukan hubungan badan pada hari prawani (1 hari sebelum bulan penuh dan
bulan mati).
2. Pada saat purnama (bulan penuh) dan tilem (bulan mati).
3. Pada penanggal lan pengelong 8 (di tengah-tengah antara purnama dan tilem atau
sebaliknya).
4. Di hari kelahiran yang bersangkutan.
5. Hari-hari keagamaan (dalam satu bulan tidak kurang dari 4 hari).
6. Dan ada beberapa ketentuan lagi.
Jadi secara keseluruhan di dalam Hindu benar-benar sudah diatur bersenggama yang sehat
yang merupakan bentuk riil agama dalam usaha mencegah terjadinya senggama yang tidak sah
sehingga dapat menjauhkan masyarakat dari kemungkinan terjangkit virus HIV/ AIDS yang
disebabkan dari hubungan seks. Walaupun tidak menutup kemungkinan terjadinya penularan dari
sebab-sebab lain. Disinilah peran pendeta (ulama Hindu) untuk terus memberikan pembinaan pada
setiap kesempatan kepada masyarakat yang tentunya juga selalu dibantu oleh lembaga umat
tertinggi (Parisada) untuk selalu menginformasikan tentang HIV/ AIDS dan bagaimana
penyebarannya.
penderita bisa menapak kehidupannya dengan lebih baik. Dan bagi penderita yang meninggal dunia,
juga mendapat perlakuan yang sama seperti layaknya bukan penderita.
Kesimpulan
Pencegahan dan penanggulangan HIV / AIDS merupakan suatu tindakan yang harus
dilakukan bersama-sama dan berkesinambungan oleh komponen masyarakat (tokoh agama,
kesehatan, pemerintah dan masyarakat lingkungan) yang selalu bersumber dari ajaran agama. Dari
sini penyebaran HIV / AIDS bisa diperkecil dan bisa mengurangi jatuhnya korban yang sia-sia.
Mudah-mudahan kebersamaan di antara kita (umat beragama) diharapkan dapat meningkatkan
upaya pencegahan terjadinya penularan HIV / AIDS.
Om Tat Sat
44
DIALOG
BELAJAR DARI KESAKSIAN
Pada tanggal 30 September – 3 Oktober 2004 Institut DIAN/ Interfidei Yogyakarta bekerjasama
dengan Gedong Gandhi Ashram, Yayasan Citra Usadha Indonesia, dan Uluangkep mengadakan
kegiatan Studi Agama dan Masyarakat di Candi Dasa, Karangasem, Bali. Salah satu acara dalam
kegiatan ini adalah sharing pengalaman ODHA, yaitu Putu Utami dan Dayan. Kita akan belajar
bersama dari pengalaman berikut.
Oleh karena sifat-sifat seperti itulah maka kita jadi sulit untuk mengenali. Satu-satunya cara
untuk bisa menuntaskan atau memberikan jawaban yang agak pasti yaitu pemeriksaan darah. Darah
kita ambil kemudian dilakukan tes yang namanya tes antibodi HIV, tes untuk mengetahui
bagaimana respon tubuh kita terhadap suatu kuman yang dalam hal ini virus. Kalau itu positif
berarti dalam tubuh kita sudah masuk atau tertular HIV. Bisa saja orang itu tidak merasa sakit atau
orangnya bisa saja sudah sakit tetapi tidak kelihatan. Banyak yang tidak tahu, yang kelihatan sehat
tidak merasa apa-apa bahwa mereka sudah terkena AIDS. Spektrumnya, spektrum keluhan dari
yang tidak ada keluhan sampai yang sakit sangat luas. Seandainya kita berkumpul dalam jumlah
populasi 100 orang, kita tidak bisa melihatnya dengan jelas secara kasat mata bahwa ini AIDS dan
ini tidak.
Itu juga merupakan suatu hambatan untuk mendiagnosa. Dokter pun sulit, jadi perlu
pemeriksaan lanjutan. Tetapi masyarakat sendiri sebenarnya sudah bisa mengira-mengira misalnya,
pernahkah mereka merasa berperilaku yang entah menjadi sebab atau akibat sehingga dia tertular.
Sebenarnya dengan merasakan itu, dia sudah memberikan suatu kunci, misalnya sudah memakai
narkoba suntikan. Tidak semua mereka akan terkena tetapi kalau mereka sudah pernah merasa
pinjam jarum, mereka sudah harus memeriksakan diri karena tingginya revalensi atau kejadian HIV
di kelompok pemakai narkoba suntik. Itu kunci-kunci yang cukup terang tetapi perlu
disosialisasikan.
Disamping itu obatnya belum ada. Karena obat belum ada lalu orang merasa untuk apa juga
tahu dan melakukan tes kalau dokter tidak bisa mengobati! Itu yang menyebabkan kesulitan. Ini
bukan merupakan penyakit yang biasa. Terlebih-lebih dengan pandangan-pandangan sosial,
pandangan masyarakat terhadap para pengidap atau mereka yang sudah tertular. Sebenarnya suatu
virus bisa mengenai semua orang tetapi tentu saja ada beberapa orang yang lebih berisiko daripada
yang lain. Kebetulan saja yang lebih beresiko adalah yang lebih dulu muncul, diidentifikasi oleh
masyarakat sebagai yang terkena AIDS. Itu lalu menjadi suatu stigma bagi AIDS. Mereka yang
kena biasanya dikenal sebagai pekerja seks bebas, pemakai narkoba suntik. Kemudian dibuat
generalisasi seolah-olah yang terkena adalah mereka yang memang didalam masyarakat sudah
dipandang agak miring sedikit. Mereka dari kelompok yang tidak mendapat simpati dari
masyarakat. “Biarkan saja, itu adalah hukuman bagi mereka” pandangan yang beredar di
masyarakat. Padahal mereka tidak melihat misalnya orang yang tertular karena terlahir saja dari
ibunya yang HIV positif atau juga karena suaminya menulari dia padahal dia tidak pernah terlibat
seks bebas.
Dalam penyampaian informasi ini saya akan dibantu oleh dua orang dari Bali Plus: Putu
Utami dan Dayan. Mereka akan bergantian menyampaikan apa yang mereka ketahui, alami sendiri
46
maupun pengalaman dengan teman-teman yang mereka ajak bekerja untuk HIV/ AIDS. Jadi saya
mengajak dua orang, satu laki-laki dan satunya wanita. Silahkan!
atau main judi di rumah, sekarang kok sepi suasananya. Saya berpikir positif saja. Waktu ke
Bedugul keluarga sempat menyinggung apakah tidak kena AIDS. Saya sempat berpikir tidak
mungkin. Disitu saya belum ada informasi, informasi dari dokter pun belum ada, akhirnya
kebetulan Om saya dokter, dia mengajak saya ke laboratorium.
Saya ingat sekali diajak ke laboratorium dan saya bilang untuk apa saya ikut dan dia bilang
suami kamu mau tes lagi kok kamu tidak tahu. Ternyata informasinya itu lebih banyak dari mertua
saya. Dokter sudah banyak memberikan informasi ke mertua saya. Saya sama sekali tidak tahu.
Saya berpikir itu isu-isu biasa yang tidak perlu saya indahkan karena saya dalam posisi hamil,
kuliah dan kerja. Saya tidak mau berpikir masalah itu. Akhirnya saya diajak ke lab. Dengan
santainya petugas mengambil darah saya, saya tanya untuk apa ambil darah. Dia bilang untuk
kesehatan janin. Pada waktu itu saya berpikir untuk kesehatan janin, ah yang penting janin saya
sehat. Dan tidak berpikir sedikitpun bahwa darah saya diambil untuk HIV/ AIDS. Sampai di rumah
saya berpikir yang penting Om ngajak saya ke lab berarti dia memperhatikan saya, memperhatikan
keluarga saya. Tetapi tiba-tiba pada saat saya diberi informasi di rumah sakit, ada dokter muda yang
menyampaikan bahwa saya terinfeksi. Saya berpikir ada infeksi apa di perut, mungkin janin saya
cacat begitu. Pokoknya saya berpikir bagaimana janin saya sehat dan psikologis saya sehat karena
saya tahu orang yang hamil itu harus positif thinking, tidak boleh sedih dan secara psikologis harus
dijaga.
Sampai saya sempat ke dokter praktek mengantar suami bertemu Dokter Tuti. Saya dikejar
oleh Om saya agar bertemu Ibu Tuti. Saya diajak ke ruang prakteknya Ibu Tuti dan waktu itu
sempat diberikan informasi dasar tentang HIV/ AIDS meskipun waktu itu belum ada hasil apa-apa.
Tapi terlintas di kepala jangan-jangan benar apa yang dikatakan keluarga bahwa suami saya AIDS.
Akhirnya saya berpikir itu tidak mungkin karena saya orang keluarga baik-baik, saya orang yang
tidak tersentuh dengan yang begitu-begitu. Akhirnya saya sharing dengan ibu saya dan bilang
mungkinkah suami saya terkena HIV dan dia bilang tidak kita kan bukan orang-orang yang
berzinah. Pokoknya jangan berpikir ke arah situ. Sampai saya mau melahirkan, waktu itu umur
kehamilan 9 bulan, seminggu mau melahirkan sempat Ibu Tuti memberikan saya obat antileterpiral,
dan bilang obat ini harus diminum. Terus saya cerita sama mertua saya ini obat apa. Dan dia bilang
yang penting obat itu sehat untuk saya dan itu harus diminum. Akhirnya saya minum seperti biasa
tetapi pada saat saya mau melahirkan di USG, di situ akhirnya Ibu Tuti masuk. Saya ketakutan
waktu itu bukan karena HIV/ AIDS tapi karena belum bayar.
Sampai sekarang saya masih ingat belum bayar karena saat itu saya tidak bawa uang. Saya
takut sekali dan berpikir jangan-jangan ditagih sekarang, padahal cuma Rp.1.500,- yang saya
pegang di dompet. Mungkin kesannya Ibu Tuti, ini mungkin pasien saya takut sudah dapat
informasi. Dari situ Ibu Tuti menginformasikan HIV/ AIDS, informasi dasar sampai Ibu
48
menyimpulkan suami saya HIV positif dan saya terinfeksi. Di situ saya sampai langsung luluh tidak
berpikir masalah uang lagi dan berganti ketakutan masalah HIV/ AIDS-nya. Namun begitu lama-
lama akhirnya saya tahu bahwa saya itu adalah penderita AIDS. Saya tahu bahwa HIV tidak ada
obatnya dan anak saya pasti tertular. Dengan informasi dari Ibu Tuti yang langsung saya pikirkan
adalah bagaimana supaya orang tidak tahu, semua orang di keluarga saya tidak boleh tahu. Sempat
sama Ibu Tuti agar jangan menyampaikan ke mana-mana cukup saya sendiri yang tahu, bagaimana
saya nanti di kampus, bagaimana nanti di tempat kerja. Akhirnya di dalam mobil itu saya diam dan
keluarga sebetulnya sudah tahu dan memahami kondisi saya yang depresi sehingga sampai di
rumah saya berpikir sama siapa saya harus curhat, sama siapa saya harus berbagi, apakah orang tua
saya? Saya tidak mau membebani orang tua saya yang sudah tua. Saya berpikir saya harus pergi
dari sini namun tidak mungkin karena suami saya dalam kondisi sakit. Rasanya pokoknya harus
menghindari suasana yang menakutkan dan mengerikan itu, dan saya harus keluar dari masalah ini
hari ini juga. Sempat disitu ada keinginan untuk bunuh diri. Jadi berkecamuk disitu. Ibu saya
mungkin ada feeling yang tidak enak, akhirnya datang ke rumah dan curhat kepada saya.
Akhirnya ibu saya datang ke tempat saya tinggal, curhat dan dia mendapatkan stigma
diskriminasi di rumah, kok saya tidak diijinkan ke pura. Ada Om saya nyeletuk bilang ke ibu bahwa
saya HIV/ AIDS dan menyuruh ibu saya agar tidak memperbolehkan saya kesana, juga ibu saya
tidak diperbolehkan kesana karena ibu sering tidur sama saya. Disitu akhirnya curhat, berbagi, ibu
juga berbagi karena sama-sama tidak ada tempat. Terus bagaimana solusinya. Akhirnya 3 hari diam,
solusi tidak ada, jalan keluar tidak ada, akhirnya sebulan kemudian baru saya berpikir alternatif
terakhir, seperti yang disampaikan Ibu Tuti masih terlintas, yaitu kalau ada apa-apa, butuh informasi
lebih lanjut hubungi saya. Disitu saya berpikir bahwa jalan keluarnya harus ke Ibu Tuti. Saya tidak
berani keluar karena di rumah sakit waktu proses persalinan pun, saya lihat dokter-dokter
berkumpul, mertua saya juga shock tidak berani ke dokter, terus keluarga tidak ada yang datang
pada saat saya melahirkan. Sempat muncul di media bahwa HIV/ AIDS sudah menyentuh ibu
rumah tangga tepat dengan tanggal saya melahirkan, tidak ada nama cuma inisial saja. Tapi itu
membuat keluarga tambah takut untuk berkunjung ke rumah. Sampai akhirnya setelah saya bertemu
dengan Ibu Tuti, disitu saya sampaikan unek-unek saya bahwa media begini, siapa membongkar
rahasia kalau bukan Ibu, kayaknya sumbernya ini adalah Ibu sendiri. Saya mau menyalahkan Ibu
Tuti tapi bagaimana. Saya mau keluar dari Bali dan anak saya tinggalkan, semua saya tinggalkan.
Di situ Ibu Tuti memberi jalan keluar agar saya main ke LSM, di Yayasan Citra Usadha. Nasehat
itu tidak langsung saya telan semua. Cuma yang saya pikirkan unek-unek saya sudah keluar semua.
Akhirnya dua bulan kemudian datang teman saya namanya Oken dan saya curhat sama dia
bahwa suami saya sudah meninggal, dia sakit tipes dan Oken pun sebagai pendengar yang baik.
Sebagai aktivis AIDS, saya tidak tahu, kebetulan dia teman SMA, dia seakan-akan memberikan
49
penyuluhan tentang HIV/ AIDS, ada keluarga saya disitu dan dia akhirnya diusir oleh keluarga
saya. Betul-betul shock sekali keluarga pada waktu itu. Sampai akhirnya 3 bulan kemudian, ada
seminar HIV/ AIDS dan wanita. Waktu itu saya diundang Oken. Karena diusir dari rumah saya
akhirnya Oken mencari ibu saya untuk mengundang saya ke seminar HIV /AIDS itu. Mendapat
undangan itu saya berpikir jangan jangan orang-orang disitu banyak wartawan, jadi ketakutan saya
berlebihan, jangan jangan orang-orang sudah tahu kalau saya keluar rumah. Saya memang tetap di
rumah tidak berani ke mana-mana, Undangan ini apakah akan menjernihkan, memberikan solusi
buat saya atau tambah beban dan masalah baru lagi. Akhirnya dia telpon saya dan
menginformasikan bahwa ini penting sekali, ini masa depan saya. Akhirnya saya hadir disana dan
berkomunikasi. Solusinya ke Citra Usada dan saya akhirnya mencari informasi yang bagus tentang
HIV/ AIDS. Bagaimana untuk masa depan saya selanjutnya.
Setelah saya bergabung ikut seminar ternyata komunitas masyarakat peserta di seminar itu
kok tidak tahu bahwa saya positif HIV/ AIDS. Akhirnya saya main ke Citra Usadha dengan ibu
kandung saya sendiri dan saya lihat teman-teman di Citra Usadha tidak tahu semua status saya
berarti benar-benar dirahasiakan. Hanya beberapa teman saja yang tahu dan hanya beberapa dokter
saja yang tahu status saya. Di situ baru saya merasa bahwa saya bisa beraktivitas seperti biasa dan
harus ketemu Ibu Tuti bagaimana supaya bisa ikut sebagai volunteer di Citra Usada. Akhirnya saya
bergabung di Citra Usadha sampai akhirnya di Citra Usadha saya diberikan skill building. Sebelum
proses konseling sempat Ibu Tuti menyinggung ada orang HIV positif di Jakarta, dia orang yang
cantik, Mbak Suzana Murni waktu itu, dia sering ke luar negeri, dia punya potensi waktu itu kalau
ODHA yang bisa berbahasa inggris akan mendapatkan kesempatan ke mana-mana. Jadi yang akan
memberikan wajah ke masyarakat bahwa ODHA tidak perlu ditakuti hanya ODHA sendiri. Dia
punya peran untuk memutuskan mata rantai cara penularan HIV/ AIDS. Jadi intinya ODHA punya
peran penting dalam program penanggulangan HIV/ AIDS.
Dayan ( ODHA ) :
Saya mau cerita mungkin 3 menit tentang ada seorang anak yang dilahirkan dari keluarga
menengah, anak terakhir dan anak yang cukup berprestasi di sekolah berumur 14 tahun. Anak ini
sempat mengikuti kejuaraan nasional pencak silat di Jakarta, setelah itu dia juara kelas. Kemudian
mencoba sekolah di Jakarta dan di Jakarta dia kenal dengan narkoba, awalnya ganja, pil penenang
dan akhirnya dia bertemu dengan rajanya heroin dan lucunya anak ini sudah mencoba
menggunakan jarum suntik. Di Jakarta sekian lama anak ini akhirnya datang ke Bali masih terus
dengan kebiasaan lamanya. Anak ini yang dulu prestasinya bagus sudah tidak mau sekolah. Yang
tadinya punya bakat, bakatnya sia-sia sampai akhirnya dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara
karena pemakaian narkoba suntiknya. Setelah keluar dari penjara 1 tahun 2 bulan dia masih terus
menggunakan narkoba sampai suatu hari dia dijemput oleh temannya diantarkan ke panti
rehabilitasi narkoba. Dan setelah di situ seminggu ada namanya voluntery councelling & testing dan
anak ini dites pada tanggal 20 Desember 2001 hasilnya diterima. Dua minggu kemudian ternyata
anak itu positif HIV dan sekarang dia ada di depan teman-teman sedang bercerita. Jadi itulah
kejadian saya secara singkat dan memang awalnya dunia kiamat, dunia gelap tidak mau terima.
Saya tahu bahwa HIV/ AIDS itu penyakitnya orang homoseksual bukan pengguna jarum suntik,
penyakit orang bule bukan penyakit orang Indonesia apalagi saya dari Manado tidak mungkin.
Ternyata kalau seperti yang dibilang Soni Tulung: anda belum beruntung. Saya duduk di sini
sekarang, saya bilang saya beruntung.
Saya pernah 1 hari di Gianyar tanya sama bapak begini: ”Pak, pendapat bapak tentang HIV/
AIDS bagaimana? Dan dia bilang mau dibakar terus saya tanya sama ibu, katanya mau dibuang ke
hutan. Terus saya tanya adik, katanya mau dikarungi dibuang ke laut. Ini seram-seram reaksi orang-
orang karena mereka tidak tahu seperti apa ODHA itu, yang ada di gambaran mereka mungkin
media massa di awal-awal HIV menggambarkan HIV/ AIDS ada tengkoraknya. Tapi setelah saya
bilang bagaimana kalau ODHA itu anak bapak, adik anda mau dikarungin, apakah kalau ODHA itu
cucu ibu mau dibuang ke hutan? Dan ini yang sering terjadi. Epidemi yang di masyarakat terutama
orang beragama. Dalam suatu perjalanan ke Bandung karena kebetulan ada teman di sana, di Geger
Kalong, kami sempat kesana. Mereka bilang tolong beri saya informasi yang banyak tentang HIV/
AIDS. Ternyata banyak tokoh-tokoh agama dan bahkan masyarakat serta orang-orang yang
mengurusi HIV/ AIDS kadang-kadang tidak mengerti HIV itu apa. Dan acara ini mungkin jadi awal
yang baik dimana teman-teman bisa menahan dengan baik, tentang HIV/ AIDS. Rasa takut itu
wajar, takut karena tidak tahu itu hal yang lumrah tapi kalau sudah tahu masih takut itu kurang ajar.
Ibu saja tidak percaya kalau saya HIV positif karena mungkin gambaran teman-teman orang HIV/
AIDS itu seperti yang dikatakan bapak tadi kurus, tinggal tulang, meskipun ada juga yang gemuk.
Tetapi kalau dari segi psikologis, mental ODHA punya keuntungan disitu. Bahwa hanya kita yang
51
mengerti bagaimana ODHA itu. Secara diam-diam Dokter Tuti belajar juga dari kita dan kita juga
belajar dari Dokter Tuti. Ada tanggung jawab dan peran masing-masing yang tidak bisa dipisahkan,
tokoh agama pun demikian.
M. Yos Da Putra :
Saya langsung saja kepada Mas Dayan. Dalam kehidupan sehari-hari, saya bilang disini,
dalam kegiatan sebagai seorang aktivis LSM apakah ada perubahan dari segi kesehatan dan
psikologis? Begitu saja terima kasih.
Diana Surjanto :
Saya mungkin menindaklanjuti tadi, ada harapan mau tahu lebih banyak tentang HIV/
AIDS. Itu mungkin dijelaskan bagaimana cara penularannya agar mereka benar-benar tahu tentang
HIV/ AIDS sehingga tidak takut lagi. Terima kasih.
Luh de Suryani :
Terima kasih. Mbok Putu sama Bli Dayan, saya sangat memberikan apresiasi untuk Mbok
Putu sama Bli Dayan yang bilang bahwa ODHA-lah yang berperan luar biasa memutus jaringan
penularan lebih lanjut. Dalam pengalaman bertahun-tahun yang Mbok Putu dan Bli Dayan alami
begitu, hal-hal apa yang paling emosional yang dialami?
52
Diana Surjanto :
Saya dengar HIV bisa menular lewat nyamuk tapi belakangan ini ada orang yang
mengatakan bahwa lewat nyamuk tidak bisa. Kalau begitu yang benar yang mana.
53
Dayan (ODHA):
Mengenai aktivis sama emosi. Terus terang, sekarang ini saya anggap saya manusia yang
punya 3 bonus; yaitu kecanduan, HIV dan Hepatitis C. Ketiga-tiganya yang membawa kabar buruk
sekaligus kabar baik buat saya, dimana ketiga penyakit ini belum ada obatnya. Tapi bukan berarti
saya tidak bisa bekerjasama dengan ketiganya. Untuk kecanduan, saya ikut perkumpulan atau
filosofi narkotika. Saya juga belajar meditasi untuk deal dengan emosi-emosi kecanduan saya.
Kemudian untuk HIV dan Hepatitis C, saya belajar tegar karena satu tujuan saya selama saya bisa
bekerjasama dengan virus yang ada dalam tubuh saya, saya bisa adakan treatment dengan dia dan
mengenai waktu tadi saya terapkan delapan tiga, 8 jam untuk kerja, 8 jam untuk tidur, 8 jam untuk
diri saya sendiri. Itu balancing buat saya dimana dalam keseharian teman-teman saya itu heran.
Saya kerja dari pagi jam 07.30 WITA bahkan sampai jam 24.00 WITA belum pulang karena ke
mana-mana dan saya nikmati. Saya tidak tahu darimana energi itu mengalir, darimana kekuatan itu
datang, cuma yang jelas tujuan saya satu jika ada yang butuh pertolongan. Tapi saya menolong
bukan berarti saya menolong buta. Saya menolong, saya harus tahu dan saya belajar dari diri saya
sendiri, banyak alat yang bisa saya pakai, salah satunya adalah alat untuk mengukur udara sampai di
titik mana sistem kekebalan tubuh saya, sampai dimana saya bisa merawat diri saya sendiri
disamping semakin banyak informasi semakin banyak saya terlibat dengan advokasi pengobatan
karena saya cenderung kepada advokasi pengobatan. Saya juga banyak informasi tentang penyakit
AIDS. Banyak persepsi tentang penyakit AIDS namun banyak orang yang tidak mati dengan AIDS.
AIDS itu adalah sekumpulan gejala penyakit dan itu berbeda dengan HIV. Itu yang paling inti.
Orang HIV akan bisa hidup lama sampai ke stadium yang bisa dikategorikan bahwa orang ini sudah
berada didalam gejala penurunan sistem kekebalan tubuhnya sendiri. Mungkin Dokter Tuti bisa
menjelaskannya.
54
Dayan (ODHA):
Kurang lebih 1,5 tahun saya tawar menawar dengan diri sendiri, dengan lingkungan dan
sebenarnya saya lebih prioritas kecanduan saya daripada HIV. HIV saya prioritaskan nomor dua,
saya cenderung untuk memprioritaskan pemulihan dari sisi kecanduan saya karena itu yang ternyata
55
menjadi istilahnya setir dalam kehidupan saya dan entah dari kehidupan kecanduan itu yang
menyebabkan saya hancur dan sebagainya. Tapi di sisi lain HIV itu justru semacam pemicu saya
untuk sadar "Hei itu bisa terus begini" dan saya harus lakukan sesuatu cuma melakukan apa,
bagaimana, kapan, itu saya tidak tahu. Dan saya bersyukur punya seorang teman dan satu kelompok
yang kita ketemunya orang-orang HIV itu sendiri. Di kelompok kami, kelompok pecandu yang
positif itu, kita saling berbagi dan saling berempati. Itu yang menyelamatkan saya disamping ada
beberapa kesempatan-kesempatan yang saya dapatkan dari jaringan nasional. Saya juga ikut
jaringan nasional untuk orang-orang HIV. Saya pernah ketemu dengan orang HIV dari Papua,
Banjarmasin, Balikpapan, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Medan, Riau, Ghana, Thailand, bahkan
saya kurang lebih hampir sudah ketemu dengan 1000 orang ODHA yang ternyata deal
emosionalnya sama dengan saya. Saya bisa nyambung, bisa duduk 2 jam hanya ngomongin isu-isu
kehidupan saya dan bagaimana saya deal dengan kehidupan saya. Dan kalau emosi yang Mbak
bilang tadi saya pernah shock dibilang orang HIV tidak boleh kawin lalu bagaimana.
Tapi ternyata saya bisa bahkan saya berpikiran begini, kalau saya HIV positif maka cari saja
cewek HIV positif. Ini deal-deal yang saya lewati dan yang ada dalam pikiran saya, yang kadang-
kadang itu pengaruh dari sisi kecanduan saya. Jadi sisi kecanduan saya, yang mendesak saya
melakukan beberapa hal, setelah saya bisa mengatasi sisi kecanduan saya maka saya bisa berpikir
jernih. Ada yang bilang kok bisa punya anak. Karena virus HIV bukan di cairan sperma namun di
cairan mani, beruntung cuma di air mani, masih ada strategi lagi dengan pencucian sperma akhirnya
istri saya bisa hamil. Jadi banyak kabar baik kalau mau informasi. Tapi sayangnya informasi-
informasi seperti ini khususnya di masyarakat belum banyak terdengar dan itu yang menjadi
tanggung jawab saya sendiri sebagai ODHA untuk memberikan gambaran bahwa orang HIV itu
tidak ada tengkorak. Orang HIV itu belum sakit, tidak cuma di tempat tidur saja. Itu tanggung
jawab yang saya ambil, tanggung jawab yang lain mungkin bisa anda ambil.
cara supaya mereka makin pendek fasenya, karena di fase yang pendek itu bisa melakukan hal-hal
yang membahayakan. Dia bisa menularkannya kemana-mana, misalnya di komplek-komplek
karena tidak ingin tertular sendiri. Reaksi agresif seperti itu bisa kita redam agar mereka tidak
membahayakan bagi lingkungan. Sebab setelah mereka bisa menerima maka tidak ada sesuatu hal
yang istimewa dari mereka. Sekarang menjadi sangat istimewa karena ada fase-fase itu di puluhan
juta masyarakat
Dayan (ODHA):
Jaringan ODHA Nasional punya pertemuan setiap tahun dan disana kita ada inisiatif untuk
menyetop penularan yang kita sebut dengan HIV STOP DISINI. Tapi itu adalah kesadaran dari
orang HIV untuk tidak menularkan kepada orang lain. Jadi itu peran kami. Dari orang HIV secara
nasional kita sudah sepakat bahwa penularan akan distop dari orang yang sudah terinfeksi HIV dan
saya rasa itu peran yang cukup baik, dihargai disamping peran-peran yang lain. Itu saja.
terbuka dengan pasangannya. Ada banyak masalah emosional yang berkaitan dengan pengurangan
penularan yang lebih banyak. Salah satunya adalah bagaimana pada saat kita hamil bila kita positif
HIV. Jadi peran saya disini biasanya Ibu Tuti kontak ke saya, ada teman yang sudah positif HIV
ternyata anaknya negatif. Jadi apa yang dilakukan pada waktu itu. Saya betul-betul sebagai orang
yang konseling sebaya, artinya sesama yang positif HIV, sesama perempuan dalam kondisi yang
hamil tapi secara medis saya kurang tahu cuma saya berbagi dalam kaitan dengan masalah-masalah
psikologis. Tapi saya juga berikan solusi, kalau dengan kondisi seperti itu jangan melakukan
sesuatu yang negatif saja. Disitu kita punya peran yang cukup penting secara psikologis untuk
membangun motivasinya. Yang kedua, kaitannya dengan masalah untuk pencegahan itu.
Perempuan disini sangat penting misalnya isu-isu perempuan yang diangkat yang lebih dominan.
Istilahnya begini, kalau dia sering berganti-ganti pasangan, kalau dia pecandu atau perempuan yang
mantan pecandu itu berbeda sekali dengan laki-laki yang pecandu, perempuan stigmanya lebih tebal
lagi. Disitu saya tidak bisa memberikan solusi untuk perempuan yang pecandu. Jadi kita akhirnya
rangkul teman-teman yang positif HIV yang mantan pecandu perempuan. Akhirnya dia bisa
memberikan solusi itu. Berbeda sekali misalnya seperti yang terlanjur hamil sebelum menikah.
Kompleks sekali masalahnya. Ada teman yang bisa diajak berbagi untuk masalah itu.
Loli :
Terima kasih. Saya mau bertanya HIV berbeda dengan AIDS. AIDS adalah kumpulan gejala pada
stadium terakhir orang terkena virus HIV. Sampai sejauh mana orang yang mengidap HIV akan
terkena AIDS dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi sampai ke level AIDS.
Diana Surjanto :
Saya mau bertanya mungkin sharing saja dari Mbak Putu sama Bli Dayan. Bagaimana dalam proses
interaksi dengan masyarakat, mungkin sekarang, apakah ditutupi atau terbuka karena saya rasa itu
sangat dilematis. Kita terbuka, orang akan menjauhi karena pendidikan yang kurang, pengetahuan
masyarakat kurang. Tapi kalau kita tertutup juga bagaimana rasanya, kita juga merasa bersalah
mungkin karena kurang berhati-hati atau bagaimana.
58
Dayan (ODHA):
Waktu saya pulang ke Manado, dari lima yang saya mintai pendapat kebetulan masih
keluarga saya terdapat berbagai macam pendapat yang berbeda. Pada saat itu saya pikir tanggung
jawab saya adalah saya harus mengatakan apa yang terjadi. Saya sudah aktif di sebuah LSM
mungkin suatu saat nama atau foto saya disebut disana dan apa yang akan terjadi kalau keluarga
tahu dari orang lain, justru akan lebih menakutkan. Itu tanggung jawab yang coba saya ambil dan
dengan berbagai konsekuensi kapan lagi saya sempat bilang. Syukur sekarang hubungan kami baik
sekali. Mereka jadi heran karena saya sekarang masih belum mati karena tertular HIV. Karena
anggapan mereka seminggu lagi saya meninggal. Memang stigma dan kecenderungan
ketidaktahuan yang menyebabkan ada pendapat bermacam-macam.
paham mengenai masalah-masalah itu. Jadi tidak mudah juga harus melihat tempat dimana kita bisa
terbuka dan tertutup.
Bapak Sadra :
Saya masih agak bingung karena penyebabnya katanya melalui jarum suntik. Tapi orang pertama
yang kena siapa, dan bagaimana dia kena? Saya mendengar cerita dari tamu asing yang datang ke
sini dari Afrika, dia cerita sebenarnya virus HIV/ AIDS itu dikembangkan di Afrika oleh orang
putih dengan maksud menghabisi orang hitam. Yang masih saya tanyakan dalam hati, sejak kapan
HIV ada, lalu penyebarannya? Masalah seks dengan suami istri itu kan anaknya nanti nyambung-
nyambung. Tapi kalau dengan jarum suntik itu yang masih kabur, kira-kira seperti apa itu?
positif berarti virusnya sudah ada sejak tahun 1959, tetapi tidak menimbulkan penyakit/ wabah pada
manusia. Mereka perlu evolusi/ perkembangannya secara pelan-pelan dan mungkin ada seleksi
alamiah.
Virus yang ada sekarang sudah melalui seleksi spesies, sudah mungkin tadi dikatakan ada di
kera, mirip-mirip susunannya, karena itu bagaimana yang dari kera ke manusia menularnya. Sampai
sekarang masih terbagi bentuk virusnya, tidak bisa dikatakan HIV itu virus yang dari kera meloncat
ke manusia. Masing-masing ada virusnya tetapi memang mirip. Tetapi pada kera tidak
menimbulkan penyakit yang sama seperti pada manusia. Cuma bentuk/ strukturnya yang sama.
Yang jelas HIV itu sudah ditemukan pada darah yang tersimpan tahun 1959 tetapi menimbulkan
wabahnya baru tahun 1980-an. Jadi hampir 20 tahun dia berevolusi baru menimbulkan pewabahan/
sakit. Manusia sudah terinfeksi tetapi belum menunjukkan sakit karena dia paling tidak 10 tahun
tidak ada gejala dan melalui seleksi alam juga. Mungkin HIV yang awal-awal itu tidak begitu ganas
atau virolen dibandingkan dengan hidrasi kemudiannya sampai akhirnya sekarang namanya HIV.
Itu baru bisa menimbulkan penyakit pada manusia dan bisa ada gejalanya.
Kalau penularan dari suami-istri ke anak tidak 100 % ke anak. Tadi Bapak mengatakan
kalau orangtuanya sudah terinfeksi, nanti anaknya pasti akan kena. Bisa menular pada bayi. Jadi
pada waktu Putu hamil suaminya positif kita berikan obat untuk mengurangi jumlah virus sehingga
mungkin karena obat itu atau Putu masih bagus kondisinya jadi si bayi tidak tertular. Jadi belum
tentu. Dulu dikatakan sekitar 20 sampai 45 % kemungkinan wanita hamil menularkan AIDS. Tetapi
sekarang dengan adanya obat-obat untuk mengurangi jumlah HIV, menekan perkembangannya itu,
obat ARP namanya lalu menurun dibawah 10 % bahkan sampai 7 %. Karena itu Dayan mengatakan
kabar baik untuk dirinya karena boleh menikah dan masih mungkin punya anak yang tidak
terinfeksi, jadi “stop sampai disini” masih mungkin dilakukan. Dan kalau dari jarum sudah pasti
karena itu jarum jangan dipakai dari satu orang ke orang lain tanpa disterilkan apalagi tusuk jarum
yang untungnya jarumnya kecil tidak ada lubangnya, kalau yang ada lubangnya itu lebih parah lagi.
Tapi bagaimana pun virus Hepatitis lebih cepat menularnya lewat jarum. Jadi tetap harus direndam
bayclin dulu atau mungkin alkohol dan sebagainya terus dikeringkan baru dipakai. Lebih baik dia
tidak kita tolong kalau jarumnya belum steril daripada kita ingin menolong dia siapa tahu ada bonus
negatif yang lain ikutan disana.[]
61
DIALOG
PERSOALAN SOSIAL BUDAYA SEPUTAR HIV/AIDS
Institut DIAN/ Interfidei Yogyakarta pada tanggal 30 September – 3 Oktober 2004 mengadakan
Studi Agama dan Masyarakat di Candi Dasa, Karangasem, Bali. Acara ini diselenggarakan dengan
bekerjasama dengan Gedong Gandhi Ashram, Yayasan Citra Usadha Indonesia, dan Uluangkep.
Studi ini mengupas tentang kepedulian agama-agama terhadap masalah sosial, khususnya masalah
HIV/ AIDS yang kasusnya di Indonesia semakin meningkat. Berikut adalah hasil studi kelas tentang
persoalan sosial budaya seputar HIV/ AIDS.
Esthi Susanti :
Kalau berbicara tentang HIV, penyebab utamanya adalah virus. Pada waktu sehat seseorang
bisa saja tertular HIV. Kita belum bisa membedakan antara HIV dan AIDS. Dari ibu yang terkena
HIV ke balitanya pasti akan menularkan HIV. Selama ini kita mendapatkan pengetahuan tentang
HIV kebanyakan dari media. Jadi dari seluruh informasi yang didapat, kebanyakan terdapat di
rumah sakit yaitu fokusnya pada pasien.
Orang selalu mengatakan bahwa HIV itu adalah penyakit. Image yang dibangun oleh media
massa kebanyakan salah bahwa orang yang sakit seperti ini sekarang sudah dikatakan tidak
bermoral, dikaitkan dengan kotor dan sebagainya. Stigma ini menimbulkan diskriminasi, penderita
diusir dari tempat tinggalnya atau keluarganya. Di Jawa Timur ada yang sampai jualannya tidak
laku. Itu penolakan/ isolasi dari komunitas. Jika dia bekerja dipecat dari pekerjaan, kalau sekolah
tidak boleh sekolah dan ditolak oleh pelayanan kesehatan yang banyak. Kalau di Jawa Timur
setelah dites HIV, semuanya langsung dikirim ke RS Dokter Sutomo. Ini sebenarnya lingkaran
setan. Kalau seseorang sudah tahu dia positif, dia harus memberitahu ke dokter supaya tidak perlu
putar-putar mencari persoalan. Tapi kalau dia mengaku, susternya atau dokternya kaget maka
terjadi perlakuan-perlakuan yang menyakitkan hati. Inilah masalahnya. Apa sebenarnya perbedaan
HIV dengan Hepatitis? Ini sama-sama karena virus, satu dengan stigma dan satunya tidak, satunya
dengan label negatif dan satunya tidak ada label. Yang membedakan itu adalah imajinasi kita.
Sebenarnya keduanya sama. Justru Hepatitis jauh lebih cepat menular berapa kali lipat namun ini
tidak ada stigmanya sehingga kita biasa saja.
Kita sebenarnya terpapar oleh banyak soal. Studi tentang virus ini menjadi mendalam. Kalau
tidak salah seperti SARS itu bisa cepat dilacak karena sebelumnya ada studi tentang HIV. Itulah
jasanya. Sebetulnya kalau kita cepat, seperti dalam buku yang saya baca berisi wawancara dengan
penemu virus dari Amerika, sebenarnya HIV lebih bisa dikendalikan di dunia ini. Namun karena
62
semakin lama semakin bermutasi sehingga virus banyak ragamnya, maka pengendaliannya akan
semakin sulit. Seperti ditemukan tahun 1959 kemudian bermutasi ada HIV 1 dan HIV 2, dan ini
sangat rumit. Sebetulnya kita harus cepat bisa mengendalikan virus ini. Fokus kita adalah
bagaimana caranya kita bisa menundukkan atau mengalahkan virus ini, bukan ke orangnya, bukan
kemana-mana. Bagaimana kita bersama-sama berperang melawan virus ini, termasuk orang yang
sudah positif. Kalau teman-teman sekalian mendengar testimoni ODHA, selalu ada cerita
bagaimana dia deal dengan virus yang ada didalam tubuhnya, spirit dalam mengembangkan
kekuatan spiritualnya atau mentalnya untuk menghadapi virus ini. Baik yang sakit atau yang tidak
sebetulnya kita ini berperang melawan virus ini sehingga kita juga harus mengupayakan bagaimana
virus ini bisa dikendalikan atau dikalahkan. Itu adalah usaha dan bukannya menyerang. Kalau kita
menyerang orangnya, kita menjadi tidak peduli dengan virusnya. Tapi kalau kita mencoba
mengendalikan virus ini, apa yang berkembang, lalu kita akan berbicara tentang hidup sehat.
Berhadapan dengan virus ini, kalau tubuh kita sehat maka daya tahan tubuh kita berarti meningkat
dan bisa dipertahankan. Pola hidup kita sehat dan banyak cara-cara hidup sehat yang dapat kita
kembangkan. Tidak hanya untuk yang sakit tapi kita belajar bagaimana kita bisa menghargai tubuh
kita, menghargai wadah. Itu yang harus kita upayakan.
HIV juga sangat berkaitan dengan perilaku, kalau di kedokteran disebutkan, yaitu ada
perilaku beresiko tinggi, sedang, kemudian rendah. Setiap orang punya potensi terinfeksi HIV, jadi
jangan berpikir, mungkin karena aku tidak berhubungan seks bebas, aku tidak bertransfusi terus aku
tidak pakai jarum suntik berganti-ganti tidak akan terkena virus ini, jadi kita tidak tahu. Apalagi
kalau virus ini sudah mencapai tahap yang lebih lanjut. Mungkin sekali kita tertular lewat suntik
silikon atau kerok jerawat karena universal tricolsin belum diterapkan di banyak salon, karena salon
tidak masuk ke dalam dinas kesehatan namun masuk ke dalam dinas pariwisata, tidak ada kontrol,
tidak ada pendidikan tentang universal tricolsin.
Kalau sekarang kita tinjau dari public health sebetulnya bisa langsung tembak. Marketing
itu memutus penularan secara efisien. Kalau saya positif lalu berhubungan seks dengan yang negatif
tapi yang negatif supaya tidak tertular, dilindungi kondom. Ini persentase tinggi memutus rantai
penularan. Kondom memutus rantai penularan secara efisien, lalu juga jarum suntik steril. Jadi
kondom, jarum suntik termasuk universal partner notification. Kalau seseorang positif,
pasangannya dicari supaya penyebarannya dipotong. Kondom dan jarum suntik ini yang populer
dan selalu dipasarkan. Jika dikaitkan dengan perempuan secara sosial budaya itu berelasi timpang
karena perempuan harus tunduk pada suami, suami sebagai pencari nafkah utama dan sebagainya,
lalu programnya adalah pemberdayaan. Berdaya menghadapi suami yang suka “jajan”, bagaimana
supaya suami pakai kondom atau minta cerai. Jadi program pemberdayaan ini abstrak kalau ditinjau
dari public health karena tidak memotong penularan secara efisien. Pemberdayaan itu bersifat
63
politis. Pemberdayaan bisa aspeknya ekonomi yaitu punya pekerjaan, pemberdayaan bisa aspek
sosial yaitu dia ikut mengambil keputusan, pemberdayaan bisa berdimensi politis. Pemberdayaan
ini menjadi tidak populer karena sebetulnya di masa yang akan datang dan sekarang sudah banyak
perempuan yang terinfeksi dari pasangannya, terutama perempuan muda. Sebetulnya perempuan
muda bisa melindungi diri dari HIV.
Terus jalan keluarnya apa kalau program pemberdayaan ini adalah sebuah program yang
tidak tajam dan kelihatan hasilnya? Bagi saya yaitu yang pertama perempuan muda atau perempuan
jangan diisolir atau terasing dari diskusi tentang infeksi saluran reproduksi, infeksi menular seksual
dan HIV/ AIDS. Selama ini mereka terisolir karena itu penyakitnya orang nakal, penyakitnya
pelacur karena itu tidak perlu mereka tahu karena kelakuannya baik. Perempuan harus dapat akses,
harus mengerti karena dia produktif apalagi kalau dia seksual aktif. Itu hak untuk mendapat
informasi lengkap, benar dan jelas. Bagi perempuan itu penting karena informasi yang lengkap,
benar dan jelas itu sebetulnya memberdayakan, mencerahkan, membuat orang bisa membebaskan
orang. Jadi saya kira begitu.
Kalau kita sekarang tarik problem sosialnya yang konkrit, saya kira di Bali masih ada orang
(ODHA) yang ditolak oleh lingkungannya, dipecat dari pekerjaan, lalu ditolak oleh layanan
kesehatan, namun pendidikan saya belum dengar. Itu problem sosial yang ada. Lalu kalau yang
potensial problem sosialnya adalah aspek jender. Kemudian yang dikaitkan dengan agamawan
sebetulnya banyak ODHA ini meninggal dengan, kalau istilah agamanya, bermartabat. Tapi kalau
pakai istilah valiatif, itu meninggal dengan tenang atau bisa tertawa.
Dari teman-teman saya yang melakukan pendampingan pada orang yang mau meninggal,
banyak meninggalnya itu dalam keadaan kesakitan. Ada teman saya yang sampai saat ini masih
trauma dengan situasi itu. Valiatif adalah kanker yang stadium lanjut. Program itu sampai sekarang
tidak mau masuk pendampingan ke ODHA. Ini sebetulnya tugas kita supaya kalau orang mati bisa
dengan tersenyum, dengan bermartabat sebagai manusia. Kalau itu masalah maka harus kita hadapi,
misalnya apakah kita tertular waktu memandikan, bagaimana pencegahannya, itu sudah ada
prosedurnya. Kalau dengan universal tricolsin orang tidak akan tertular. Tapi kalau kita
membiarkan orang meninggal karena kesakitan, itu merupakan kesalahan yang besar. Sebetulnya
ini satu segi yang penting dan perlu dikembangkan oleh orang beragama. Banyak orang memilih
meninggal dengan cantik sekali. Misalnya dalam suatu buku, ada satu orang Amerika yang kena
kemunduran tulang. Itu adalah buku tentang cara mati yang luar biasa. Pada waktu kesehatannya
mundur sekali, dia minta prosesi kematiannya diperagakan pada waktu dia hidup. Itu luar biasa.
Orang bisa membayangkan sampai dia meninggal. Kalau kita bisa punya cara-cara mati yang
bermartabat dan cantik ini, kita akan melihat hidup ini indah. Ini yang saya kira perlu diisi.
64
Kita harus memikirkan bagaimana mati dengan cantik, bermartabat, anggun dan elegant.
Orang-orang yang mati dengan AIDS, banyak yang mati dengan menakutkan, tidak ada orang yang
mau datang dan sangat tergantung pada perjuangan individu ini. Seperti Dayan dan Putu, dia
diterima dan melawan sendirian. Kita seharusnya mendukung orang yang lemah. Orang yang
terinfeksi fisiknya jauh lebih lemah. Jangan kita membiarkan mereka melawan sendirian.
Kemenangan-kemenangan seperti Dayan dan Putu itu adalah kemenangan individu dan bukan
kemenangan kita sebagai kelompok manusia. Seperti Susana Murni, tokoh HIV yang meninggal
dan sewaktu meninggal banyak yang datang bahkan tidak ada yang jijik, dicium, mayatnya
diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Namun tidak terjadi pada semuanya, satu banding berapa,
yang lain itu dikubur dengan diam-diam pada waktu malam. Tadi Putu tidak cerita waktu suaminya
meninggal dikuburkan jam 10 malam hanya dihadiri oleh beberapa orang karena takut, tidak ada
yang mau memandikan mayatnya. Ada juga yang dikubur dengan plastik. Itu semakin membuat kita
dikalahkan oleh virus ini. Ini berarti kita membiarkan saudara kita mati dengan cara itu dan
membiarkan teror berkembang di lingkungan kita. Bagaimana kita mengubah image ini. Karena
sebetulnya kematian itu juga dimensinya banyak yaitu ada kematian fisik, ada kematian sosial.
Banyak dari kita menjadi pembunuh secara sosial. Pada waktu kita menyatakan dia perlu diisolasi,
pada waktu kita biarkan dia mati dengan seperti itu, kita berposisi sebagai pembunuh secara sosial.
Kita harus berperang melawan virus. Bagaimana gema yang muncul itu adalah gema
harapan. Kita ikut menjadi pembunuh karena ada kondisi. Kalau orang stres daya tahan tubuhnya
menurun, padahal HIV yang diserang adalah daya tahan tubuh. Jadi mengapa ada orang yang
umurnya bisa lebih panjang, bisa lebih pendek. Itu tergantung daripada dukungan keluarga,
dukungan kelompoknya termasuk juga bagaimana dia bisa menerima penyakit itu atau tidak.
Penerimaan terhadap virus ini penting bagi yang bersangkutan. Kalau sekarang diberitakan di koran
dan keluarganya tidak tahu, tahunya dari koran. Pada waktu libur ini diberitakan di Jawa Pos, ada
perempuan dari Madura melihat di Jawa Pos ada nama suaminya dan asalnya disebutkan sebagai
positif HIV. Pada waktu saya datang ke rumah sakit Dokter Sutomo, dia bergulung-gulung
menangis karena disebut daerah asalnya di koran itu sehingga ia malu dan berlanjut lagi dia sampai
hari ini tidak berani pulang ke kampungnya di Madura. Anak sulungnya mau membunuh
wartawannya, terus pasien ini juga mau bunuh diri. Problemnya adalah orang ini baru dites 1 kali.
Seseorang dinyatakan positif itu kalau tesnya 3 kali. Ini standar absolut, harus lewat 3 kali tes. Hasil
tes 1 ini memang positif lemah karena pakai rapid test, tapi banyak yang positif lemah kemudian
menjadi negatif. Jawa Pos pernah menulis pada waktu dites sekali, ternyata hasilnya negatif tetapi
diberitakan sudah positif. Tidak ada ganti rugi, sampai suaminya mau menempeleng dokternya.
Satunya lagi baru diduga karena gejalanya mirip-mirip seperti tifus, mencret, panas, berat badan
turun dan sebagainya. Meskipun tidak semua orang dengan gejala seperti ini, tapi sudah ditulis.
65
Kasihan sekali ibu ini, dia minta tolong kepada saya supaya namanya direhabilitasi dan sudah saya
urus ke Jawa Post, namun Jawa Post minta harus ada pernyataan dari dokter bahwa kalau kena
paru-paru tidak otomatis HIV. Padahal dokter dari RS Dokter Sutomo tidak mau memberikan
keterangan hari itu juga. Jadinya saya bingung untuk mengembalikan spirit dari keluarga ini.
Persoalannya banyak sekali.
Kalau sekarang kita bisa bersatu mengatasi masalah ini, saya kira persoalan ini bisa kita
ubah. Jangan biarkan ini menjadi teror. Kita sebetulnya sudah dikalahkan. Sekarang mengapa ARP
murah padahal dulu mahal sekali. Desember yang lalu Indonesia bisa memproduksi, harganya
menjadi murah Rp. 380.000,-. Tapi APBN mensubsidi sehingga ada yang gratis atau yang murah.
Kita bisa sampai pada kondisi itu sebetulnya dimulai pada Deklarasi Doho yaitu para agamawan
bersatu membuat deklarasi menyatakan bahwa dunia usaha tidak boleh mengambil keuntungan dari
penderitaan orang lain. Jadi access opened harus untuk semuanya. Tekanan agamawan ini berhasil
sehingga ada dispensasi tentang hak paten. Kemudian generik di India bisa diproduksi, kemudian
Thailand, Indonesia. Ini jasanya agamawan yang bersuara menyuarakan suara kemanusiaan. Kalau
tidak kita akan dikalahkan virus ini. Suaranya pesimistis sekali kalau baca koran, jadi jangan
percaya koran 100 %.
Kalau dari studi yang saya lakukan adalah misalnya mengambil narasumber dari
tetangganya. Kalau mau berbicara mengenai penyakit, apalagi sekarang ini perkembangannya
begitu kompleks, tidak semua dokter tahu HIV. Saya aktif mendampingi kasus HIV tahun 1990.
Saya jauh lebih pintar dari dokter misalnya yang baru lulus. Orang alergi dengan masalah ini.
Celakanya karena koran tidak mempunyai policy tentang pemberitaan HIV akibatnya prosedur-
prosedur biasa dalam penulisan itu dipakai. Misalnya narasumber itu suaminya, jadi ada perempuan
yang positif kemudian suami ini menjadi narasumber. Ia membuat pernyataan bahwa istrinya
terinfeksi HIV karena tertular dari tetangga. Di seluruh literatur tidak ada yang tertular dari tetangga
karena hubungan sosial. Itu berarti orang membangun teror karena mengambil narasumber yang
tidak tahu apa-apa. Tidak ada orang yang mau disalahkan dan selalu menyalahkan orang lain.
Ada lagi dari anggota Friend Plus, kelompok dukungan dari Surabaya, saya tahu persis dari
mana dia tertular. Waktu keluarganya diwawancarai mengatakan:”adik saya tertular karena dia
bergabung LSM peduli AIDS dan tertular setelah bergabung”. Jadi jangan percaya pada koran. Itu
justru yang harus diluruskan. Ungkapan ‘tertular dari tetangga’ itu berapa kali ditulis. Itu sering
mengambil narasumber-narasumber yang memberi ilmu sesat atau informasi sesat. Dengan begitu
kita tidak membangun persepsi yang keliru sehingga kita melakukan dosa yang mungkin tidak kita
sadari. Kita menjadi ikut ambil bagian terhadap kekalahan kita sebagai manusia. Saya kira itu suatu
dimensi. Masalahnya sekarang kalau ngomong kondom dan jarum suntik. Ini masalah teknis. Yang
kita butuhkan adalah supaya virus ini bisa segera dikendalikan. Itu bukannya menyetujui hubungan
66
seks bebas, narkotika. Ini situasi darurat, virus ini perlu segera dikalahkan sehingga ada policy-
policy teknis. Tapi kalau semua orang bisa memenuhi peraturan agama, mengikuti hidup
berdasarkan agama itu bagus sekali. Itu yang kita dukung. Masalahnya sekarang ada problem riil di
masyarakat dimana ada keinginan agar virus ini bisa dikendalikan, diputus supaya tidak
menimbulkan kepanikan sosial atau krisis sosial yang terjadi.
Kalau dikaitkan dengan agama, yang perlu disuarakan adalah harapan. Lalu penghargaan
kita kepada kehidupan termasuk orang yang lemah dan sakit, hidup yang dia miliki, bagaimana
supaya dia kembali bangkit kemudian bisa mempersiapkan dirinya hidup sehat dan sebagainya. Jadi
suara harapan dan suara penghargaan kita kepada kehidupan ini yang perlu kita wujudkan. Kalau
yang teknis-teknis, kita biarkan saja. Ini memang tugas public health, tugasnya orang yang bekerja
di bidang kesehatan. Tapi kalau orang agama tidak mau ngomong, tidak ada yang mengharuskan.
Selama ini kelihatannya orang agama ini dipaksa suruh ngomong yang teknis ini.
Padahal justru levelnya sudah lebih tinggi dan pada level value. Kalau kita ngomong value,
dibalik ini ada value yang mulia yaitu bagaimana setiap orang bertanggung jawab atas perilakunya
sendiri. Tapi kita tidak demikian, kita suka menyalahkan orang lain. Kita tidak diajar untuk
mengambil seluruh tanggung jawab terhadap tubuh kita, perbuatan kita sendiri. Juga tentang value
menghormati hak orang lain dengan tidak memberi penyakit. Itu tidak dikembangkan dan kita
berbicara tentang itu. Kita menghormati orang lain dengan tidak menulari, menjaga diri sendiri,
kemudian tidak menulari orang lain. Ini adalah value-nya, bukan value yang dipertentangkan, bukan
value yang mengajari ganti-ganti pasangan. Kita mengambil keputusan tidak ada yang mendukung
value negatif seperti itu. Tetapi itu dipahami keliru. Saya berharap diskusi yang akan datang kita
bisa mengambil bagaimana kita bisa bersuara bersama menyuarakan harapan dan bisa mengalahkan
virus ini. Gema optimistik yang kita kumandangkan sambil kita berdoa kita ikut berperang melawan
virus ini, bukan berperang melawan orang atau sesama kita.
Kita melihat di Bali dan secara umum manusia dimana saja, terhadap sesuatu yang kita
belum tahu, naluri kita pingin tahu untuk mencobanya lebih lanjut, seperti Dayan. Namun kalau
sudah kecanduan sangat berbahaya. Jadi perilaku kita secara umum ingin coba-coba. Kemudian di
Bali saya lihat banyak sekali masyarakat suka meniru apalagi meniru hal-hal yang dianggap sukses.
Kemudian ada kebiasaan kita atau tradisi seperti tadi Mbak Esthi banyak mengatakan pengucilan-
pengucilan di masyarakat Bali.
Banyak sekali kita melihat di dalam awig-awig, paling tidak di kampung saya, kalau ada
penyakit yang dianggap awig (sakit gede) itu adalah penyakit kelamin atau sipilis jaman dulu.
Orangnya dikucilkan, dikeluarkan dari kampung, dibuatkan perumahan dekat kuburan dan orang
dilarang berkomunikasi dengan orang itu. Lepra juga tergolong sakit gede dan diperlakukan seperti
itu. AIDS sampai saat ini belum ada yang menyebut dan syukur begitu. Ini yang saya lihat perilaku
kita di Bali. Dalam kaitannya dengan pariwisata khususnya di daerah ini kita hanya melihat
ruangnya saja, kalau kita jujur. Teman saya, medical antropologist dari Swiss yang dibantu oleh
temannya, seorang dokter umum tapi ahli operasi tangan, melakukan penelitian terhadap penyakit
tropis disini, menanyakan aktivitas ini. Saya bilang akan ada dialog tentang penyakit AIDS. Dia
bilang inilah Bali. Ketika ditanya bagaimana mengembangkan pariwisata Bali, dia sangat setuju
sekali karena dia melihat ‘dolar’-nya. Tapi apakah kamu tahu pariwisata itu temannya pelacuran
dan narkoba? Satu hal yang tidak mungkin dipisahkan. Mungkin seperti di Thailand, begitu terbuka
segala macamnya sehingga mungkin kontrolnya lebih mudah untuk mengendalikan penyakit seperti
itu.
Tapi justru yang paling susah itu sembunyi-sembunyi. Saya melihat di Candi Dasa ini, saya
tidak tahu di daerah lain seperti apa jelasnya tapi kalau menduga-duga mungkin tidak jauh berbeda
dengan disini. Saya takut bahkan sudah ada kasus pedofilia itu. Belakangan anak-anak muda disini,
mulai beranggapan kalau berperilaku seperti turis asing adalah perilaku yang sekarang trendy.
Kalau tidak berperilaku seperti itu berarti anda bukan siapa-siapa dan orang kampungan. Lalu
mulailah semir rambut, jemur di matahari sampai hitam dan pemudanya pada kesempatan tertentu
mencari ikan di tambak ikan kemudian pesta dengan tamu. Saya lihat sampai pagi dengan memutar
musik.
Kalau kita berharap seperti tadi, ada tokoh agama, tokoh adat yang berperan. Yang jelas
mereka belum mengenal bahaya daripada perilaku seperti itu karena sampai saat ini penyuluhan-
penyuluhan sangat minim, baik yang dilakukan oleh LSM ataupun dari pihak pemerintah. Paling
selama pengalaman saya hanya penyuluhan tentang narkoba. Di kampung saya pernah sekali oleh
Dr. Wimpi Pakahila tapi hanya singkat sekali, selama 2 jam dengan masyarakat, sudah itu selesai.
Jadi semestinya kalau kita ingin mengembangkan pariwisata disini kita harus berpikir jauh-jauh hari
sebelumnya karena ada pengalaman Kuta, Ubud yang sudah berkembang sedemikian rupa. Kenapa
68
kita tidak mencoba melihat? Kenapa turis datang ke Karangasem? Apa yang dicari di Karangasem?
Dari survei turis-turis yang datang ke Karangasem, kita tahu yang datang kesini biasanya mereka
melakukan penelitian karena Karangasem konsekuen dengan desa-desa tua. Kenapa tidak dari sana
kita berangkat mengembangkan pariwisata. Dulu pemerintah mengatakan pariwisata Bali pariwisata
budaya, tetapi tanda-tanda pariwisata budaya itu berkaki berapa, bertelinga berapa, matanya seperti
apa, tidak pernah ada penjelasan yang jelas dan menjadi jargon yang sangat kabur. Tapi yang jelas
sampai saat ini memang sudah ada kasus narkoba yang sampai masuk ke pengadilan, di tangan
penegak hukum. Kalau sudah sampai ada penegak hukum maka sangat patut kita curigai bahwa
kasus yang tidak terlihat banyak, seperti kasus HIV/ AIDS positif ini. Ini yang belum saya dengar,
rencana yang pasti dari Pemda khususnya Dinas Pariwisata di dalam mengelola kepariwisataan. Itu
yang saya lihat dalam gejolak masyarakat Bali. Kemudian saya ingin bercerita sedikit. Perilaku
orang sakit di Bali - karena saya punya pengalaman di klinik, saya sudah praktek tusuk jarum 2
tahun lebih - jadi masyarakat yang sakit berkeinginan kalau sakit datang ke dokter, dikasih obat
sakitnya sembuh. Pulang ‘minum-minum’ lagi, begadang, di tempat ‘kotor’ tetapi tidak ingin sakit
lagi. Demikian juga ketika bicara kepada saya ketika dia sakit. Pertama katanya sekali saya tusuk
sudah hilang, dia tidak datang-datang lagi padahal saran saya mungkin ada asam urat yang
mengakibatkan pembengkakan sehingga harus mengurangi makan makanan yang dilarang. Dia sulit
melawan kehendaknya seperti itu. Bagaimana kita bisa menghindarkan diri tanpa mengubah
perilaku kita sehari-hari. Jadi menurut saya sebagai pengobat tradisional, kita percaya bahwa
minimal 50 % dari penyakit itu disebabkan oleh kita sendiri, dan yang paling banyak berperan
adalah mental. Kalau kita sudah kena penyakit, yang paling banyak berperan di pikiran kita. Kalau
di pikiran kita hanya berpikir sakit terus maka akan tambah parah sehingga sering saya kutipkan
kepada masyarakat yang datang berobat. Saya kutipkan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi yaitu
setiap penyakit yang ada di bawah matahari ini ada obatnya. Oleh karena itu cari obatnya. Kalau
ketemu anda harus bersyukur, kalau tidak jangan kecewa. Inti dari itu adalah upaya.
Kemudian ada lagi perilaku masyarakat Bali yang sulit kita lawan, bukan hanya masyarakat
yang tidak berpendidikan tapi yang berpendidikan tinggi juga, yaitu ketika kita sakit, menuding
orang lain. Bagaimana orang membuat sakit hanya dengan mantra. Ada orang yang ditusuk-tusuk
dari jauh, dia mengalami kesakitan. Kita sebagai orang beragama percaya Tuhan Maha Kuasa dan
Maha Besar tapi pada kenyataannya anda tidak percaya pada Tuhan namun percaya pada berita
angin yang tidak tentu. Coba kalau tetangga anda tidak melakukan itu maka anda tidak akan kena.
Mungkin dari kecil budaya Bali dicekoki seperti itu. Oleh karena itu barangkali didalam melawan
dimulai dari perilaku kita. Kita coba sedikit mendalami. Saya selalu bilang bahwa hal-hal yang
menjanjikan kenikmatan secara badaniah akan selalu membawa akibat yang sangat negatif.
Barangkali peran agama sekarang yang pertama adalah ceramah dari tokoh Hindu baru Pedanda
69
Gunung, namun itu masih sangat kurang. Tapi dalam upacara saya lebih sering mendengar
khotbahnya saudara muslim. Saya sering bertanya dalam hati, teman-teman saya di Hindu yang
sudah mempelajari Weda kapan dia berbuat seperti itu.
Ini cerita singkat dari saya tentang bagaimana perilaku kita di Bali, mudah-mudahan ada
teman yang menambahkan atau ada cerita yang salah sehingga nanti dikoreksi. Jangan kita
dikalahkan oleh virus, virus yang menteror kita, padahal virus tidak bisa berpikir dan tidak bisa
ngomong. Kita berbuat tetapi mengapa kita mesti dikalahkan oleh binatang kecil yang melihatnya
saja melalui mikroskop.
Luh De Suryani :
Dari pengamatan terbatas saya terutama di masyarakat Hindu Bali. Masalah ODHA, apakah
orang ini masih hidup ataupun sudah mati, tidak pernah saya temukan dibicarakan dalam ruang
publik, misalnya di parum atau rapat dalam desa adat. Ini dianggap masalah yang sangat private
dan harus ditanggung sendiri akibat salah pati yaitu penyakit asusila dan sejenisnya atau kotor.
Dalam beberapa kasus di desa-desa adat sangat berbeda kebiasaannya atau tanggapannya mengenai
beberapa hal. Kemarin misalnya, masalah kembar siam, ada beberapa desa yang menghapus
pengucilan dan ada juga yang tidak. Masalah AIDS belum pernah saya temui warga banjar
membahasnya, apakah pernah ada orang meninggal karena AIDS di Bali kemudian diijinkan untuk
dikubur di desa adatnya atau memang disembunyikan oleh aparat desa, kita tidak tahu apakah orang
yang meninggal karena HIV/ AIDS ini termasuk orang yang meninggal salah pati dalam agama
Hindu. Kemudian pranata adat ini mulai diseragamkan oleh desa pekraman, akan ada MDP yang
sepertinya tidak akan bisa diinterfensi keputusan-keputusan adatnya yang sangat mengatur
masyarakat adat. Mungkin dari sana kita membahasnya dalam forum ini supaya masing-masing
pemuka adat terutama Hindu terbuka mengenai penyakit ini. MDP mempunyai kekuasaan yang luar
biasa untuk mengatur desa-desa adat masyarakat Bali umumnya. Jadi permasalahannya penyakit ini
belum diakui atau masih private.
kita sebagai LSM atau kita yang punya kepentingan terhadap pemerintah agar memberikan
semacam perlindungan terhadap wanita sehingga tahu bagaimana seharusnya berbuat.
Bejo Utomo :
Yang ingin saya sampaikan adalah stigma negatif dari masyarakat terhadap penderita AIDS.
Sangat wajar ketika stigma masyarakat tentang AIDS mengerikan. Itu karena masyarakat kita
adalah masyarakat menengah ke bawah yang pendidikannya rendah, informasinya kurang sehingga
mereka mengatakan bahwa informasi yang diperoleh hanya setengah-setengah. Kebanyakan
ceramah-ceramah ditujukan pada masyarakat menengah ke atas. Saya kira ini persoalan yang cukup
menarik ketika masyarakat bawah mengetahui informasi itu hanya setengah-setengah sehingga
terjadi sebuah image bahwa AIDS sangat mengerikan, sehingga penderitanya harus diisolasi dari
masyarakat. Ini hal yang pertama. Kemudian yang kedua tentang free sex dan saya kira free sex
maupun akhirnya AIDS adalah lemahnya kontrol sosial, artinya masyarakat dengan adanya sifat
individualis akibat modernisasi menjadi cenderung cuek/ tidak peduli. Jadi yang terjadi didalam
masyarakat dibiarkan saja. Saya sepakat tentang bagaimana memfungsikan lembaga adat karena di
Bali mau tidak mau lembaga adat seperti ini sangat berperan. Ketika lembaga adat kurang informasi
tentang AIDS maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ini saya kira salah satu solusi bagaimana
memberdayakan atau mensosialisasikan AIDS ke lembaga adat atau pemimpin agama, bagaimana
mereka berperan dalam upaya penanggulangan ini.
agamawan karena saya pikir agamawan tidak mengerti dengan yang ada di lapangan. Kesalahan
kolektif yang kedua itu adalah pada pers. Saya dulu seorang jurnalis. Kita tempatkan wartawan
sebagai peliput berita tapi kita tarik juga bersama-sama, kita beri akses informasi yang sama. Kita
sepakat kalau kita punya goal yang sama menyuarakan optimisme. Ada goal yang sama yang perlu
kita capai agar virus bisa dikalahkan. Indonesia memperoleh kemerdekaan karena ada goal yang
sama juga. Tapi saya tidak tahu bagaimana menyuarakan kelompok agama di Bali karena ini tidak
saya kuasai. Tapi betul yang dikatakan Luhde, bahwa AIDS dipersepsikan oleh kelompok agama
sebagai penyakit yang memalukan dan berhubungan dengan moral.
Tapi saya yakin trend ini akan berubah drastis karena yang terinfeksi oleh narkoba banyak
dan menyerang kelompok terhormat. Di Surabaya ada anak dokter yang terinfeksi. Di Jakarta
perawat dan anak jaksa. Bukan hanya karena seks tapi karena narkoba juga. Saya yakin dalam
waktu dekat ini sudah bukan masalah private, tetapi sudah menjadi masalah publik. Di Jawa Timur
kita sudah bisa meyakinkan masyarakat termasuk pemimpin-pemimpinnya dan itu menjadi masalah
publik sehingga Perda-nya ditandatangani serta didukung MUI. Itu yang melakukan adalah kita.
Kita aktivis yang bekerja di belakang layar tapi bisa meng-goal-kan ini menjadi isu publik sehingga
kelompok agamawan pun sepakat bahwa ini isu publik yang harus kita perangi. Kalau di Bali saya
tidak tahu bagaimana gerakan ini bisa dimulai agar virus ini bisa dikendalikan.
Tentang pemberdayaan perempuan, sebetulnya perempuan itu apakah salah dididik atau
bagaimana? Seperti Putu ditulari dari suaminya dan dia ketakutan pada waktu dia dinyatakan
terinfeksi HIV. Dia bilang agar jangan memberitahu mertuanya agar dia tidak diasingkan. Seperti
istri yang saya dampingi yang jadi korban media itu, dia sibuk menyelamatkan anaknya, reputasi
keluarganya dan lupa dengan dirinya, kemungkinan dirinya juga sudah terinfeksi. Memang
perempuan sudah dikonstruksi seperti itu. Seperti perempuan sekarang sudah menjadi korban ingin
lagi mengorbankan diri. Bagaimana supaya pemerintah melakukan perlindungan? Persoalannya
bukan diluar masyarakat terhadap perempuan. Hantunya itu adalah berada dalam diri kita sendiri.
Kita sebagai perempuan dilatih untuk memelihara, melakukan perdamaian hubungan sosial, dilatih
untuk mengalah namun sekarang bagaimana kita bisa mengubah agar sekarang tidak seperti itu lagi.
Sekarang minimal ke anak perempuan, bagaimana anak perempuan dilindungi, konstruksi sosial
atau pendidikan yang kita berikan ke anak perempuan relevan dengan jaman ini. Saya hormati betul
orang yang mau menjadi ibu dan luar biasa. Kita perlu menyelaraskan agar sesuai dengan
kedudukan anak perempuan sekarang sehingga mengurangi hantu yang ada dalam diri kita sendiri.
Dalam hal memberikan masukan juga perlu diperhatikan dan perlu ada suntikan baru
sehingga perempuan menjadi lebih berdaya, mampu menjawab jaman ini. Kemudian tentang
pendidikan rendah, stigma negatif pada masyarakat. Memang kalau kita mau strategis yang digarap
adalah sumber pencetak pengetahuan ini yaitu koran. Problemnya itu ada pada persepsi yang keliru
72
dan merupakan akar dari persoalan. Kalau kita bisa mengatasi persoalan itu dengan benar, teror itu
tidak akan terjadi. Bidan kelahiran termasuk perilaku beresiko tinggi, berdarah-darah dan sering
tidak memakai hanskum, kacamata. Saya ke kelompok IBI (Ikatan Bidan Indonesia) Jawa Timur.
Pada waktu mereka rapat semua menolak kata HIV dan mereka bilang tidak ada urusannya dengan
saya. Apakah itu tidak seram. Orang yang perilakunya beresiko tinggi tapi tidak mau menghadapi.
Kalau saya mengidentifikasi diri, saya termasuk perilaku beresiko tinggi karena itu kalau saya
sekarang ingin melakukan persalinan, saya memakai universal tricolsin supaya tidak tertular atau
menulari. Kita pengecut. Saya betul-betul shock waktu melihat sikap bidan seperti itu.
Memang untuk menjadi penceramah, penulis berita, penyiar berita, kita punya informasi
sudah dijamin oleh UU untuk mendapat informasi yang benar. Jadi kalau memberikan informasi
harus benar, lengkap dan jelas. Sering penceramah melanggengkan kesalahan karena
pengetahuannya terbatas. Lalu dia sendiri melanggengkan stigma. Pada waktu dia menjadi
penceramah lupa bahwa dia bekerja pada areal publik yang duplikasinya tidak hanya berefek pada
satu orang. Dia lupa bahwa ada sikap profesional sebagai penceramah dan sikap pribadi yang harus
dibedakan. Seperti yang dikatakan Gandhi jangan ada panggung depan, panggung belakang sama.
Itu lebih powerfull. Pada waktu memberikan informasi ke orang lain, dia harus sadar bahwa
informasi ini tidak ditujukan untuk satu orang sehingga dia harus membangun suatu sikap yang
menyelamatkan, mengamankan ke kelompok banyak, kalau tidak dia melanggengkan stigma yang
ada.
Kemudian mengenai free sex. Jaman sudah berubah dan modernisasi sudah dimulai 5 abad
yang lalu. Saya sangat setuju bahwa efek negatif dari modernisasi adalah hancurnya komunitas
sehingga seseorang menjadi lebih individualistik. Menurut saya perlu ada revitalisasi dan jangan
berpatokan pada masa lalu, jamannya berubah. Kalau modernisasi ini sebagai pilihan pembangunan
yang penting bagaimana komunitas tetap bisa menjalankan fungsinya dan menyesuaikan diri
dengan modernisasi yang berjalan sehingga lembaga adat tidak bisa mengambil seluruh wilayah
ruang yang ada. Kalau seluruh kekuasaan diserahkan kepada lembaga adat dan kita pada satu pihak
ingin modernisasi maka akan menjadi kacau. Ada satu peperangan luar biasa yang tidak produktif.
Bahasa lembaga adat dan bahasa modernisasi harus dipahami dan dikawinkan menjadi sesuatu yang
produktif. Tidak bisa lembaga adat diseragamkan dan semuanya diberikan karena perilaku juga
sudah komersial. Kecuali kalau dia tidak komersial, kecuali kalau dia melakoni dan tidak ikut arus.
Kita jangan memberikan kekuasaan pada orang yang tidak bisa melakoni. Menghadapi free
sex memang merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dihapuskan dan malah sudah semakin
menjadi-jadi. Kalau dibandingkan jaman saya dengan jaman sekarang, saya sendiri agak kaget.
Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana memberikan kekuatan pada anak itu untuk
menghadapi. Kita sebagai orang tua sangat menghormati dan sangat menjunjung tinggi value yang
73
bagus dan tidak justru melanggengkan free sex. Menurut saya itu kita dapat memberikan
pemberdayaan melalui pendidikan seksualitas atau pendidikan keterampilan hidup. Caranya adalah
informasi yang lengkap, jelas dan benar. Kalau memberikan informasi narkotik jangan sampai
ngomong yang otaknya rusak, tapi nikmatnya harus juga diberitahu. Seluruh proses tentang
narkotika diberikan sehingga mereka mengerti dan memikirkan akibat buruk yang disebabkan.
Termasuk juga pendidikan seksualitas yaitu tidak bisa tahan dan mau apa. Ngomong kondom pun
harus diajarkan dan bukan berarti mengajarkan memakai kondom. Jadi intinya adalah mengelola
hasrat. Kalau kita menghilangkan hasrat, kita menjadi sombong. Yang harus kita ajari adalah
bagaimana hasrat ini dikelola, kita hadapi. Sebagai orang dewasa harus dihadapi dan dipikirkan
bagaimana dikendalikan dan bukan hanya dikontrol dan diberitahukan hanya yang buruk-buruk
agar takut. Jadi mengenai free sex, jalan keluarnya adalah dengan memberikan pendidikan
seksualitas atau keterampilan hidup. Kesimpulannya adalah antara jurnalis dan agama perlu ada
saling bahu-membahu namun perlu juga ada provokator yang membuat subsistem-subsistem bisa
melakukan peranannya dalam memerangi virus ini. Dan harus diupayakan agar seiring sejalan.
Kalau dari segi kesehatannya, Bali ini mempunyai level nasional karena juga mempunyai
jaringan dari luar negeri. Masalah mati bermartabat itu memang belum dimunculkan. Karena
penemuan obat ARP mengubah peta penanggulangan. Ini langkah pertama yang dilakukan oleh
Interfidei. Dalam masalah ini perlu dicari siapa provokatornya dan ini penting sekali. Kalau
masalah strategi provokator perlu dicari yang benar-benar bisa membangkitkan dengan arah yang
baik ke depan. Seperti yang dilaksanakan di Manado, ada yang diteror oleh masyarakat karena dia
sebagai provokator terhadap instansi kesehatan yang menggunakan jarum suntik yang tidak
disterilkan. Dia sebenarnya memperjuangkan aspirasi rakyat. Jangan memaksakan bahasa public
health tapi jiwanya sama, kalau kita mau mendorong orang ke arah perubahan. Kalau ngomong
tentang perubahan, saya jadinya optimis. Dan kalau kita ketemu dengan orang yang tepat kita jadi
berbahagia karena perubahan dimungkinkan. Jadi kita cari orang yang tepat sehingga terjadi
perubahan sambil diiringi dengan doa. Dua tahun yang lalu masyarakat mengajukan Perda ke
pemerintah dan itu haknya eksekutif dan legislatif.
Kalau kondom sama dengan melokalisasikan pelacuran, itu sudah ditangkap. Saya
ngomong, jangan letakkan masalah di kepala, kita berusaha singkirkan masalah yang menimpa diri
kita. Ketakutan-ketakutan kita singkirkan. Kita jangan pakai pendapat yang menghalangi langkah
kita. Saya menghilangkan persepsi negatif dan ternyata bisa. Di agama ada penciptaan pertama dan
tugas kita meneruskan menjadi kedua, yaitu meneruskan karya penciptaan pertama. Dalam diri saya
sudah ada kemampuan untuk menciptakan. Potensi itu saya manfaatkan optimal dengan imajinasi
dan membongkar cara berpikir yang lama. Kita bisa mengambil perubahan jika punya sikap
manajemen.
74
Bapak Sadra :
Menanggapi seperti usulan agar provokasi tentang ini dilakukan melalui lembaga adat. Kita
perlu mencari yang lebih lengkap seperti yang ada dalam PERDA No.3. Tapi perlu diketahui bahwa
proses terjadi PERDA No. 3 adalah proses kekecewaan dimana pada jaman ORBA kalangan
intelektual budayawan Bali yang sangat vokal mengatakan bahwa lembaga adat digunakan sebagai
advokasi oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya sehingga lembaga adat lumpuh. Lalu
muncullah ide-ide untuk merevitalisasi lembaga adat itu. Tapi saya kurang setuju itu ditetapkan
dengan tergesa-gesa karena kita tidak mensosialisasikan sebelumnya. Karena sosialisasi perlu
masukan dari kalangan masyarakat, baru kemudian kita sempurnakan sehingga semua masyarakat
dapat menerima dengan baik.
Untuk memahami bahasa PERDA itu sangat sulit. Saya sudah sampaikan kepada DPRD,
adalah tugas yang berat untuk menggamblangkan bahasanya agar masyarakat mengerti. Justru
DPRD mengatakan bagaimana lembaga adat akan mensosialisasikan nanti. Akibatnya sekarang
banyak masyarakat terutama di Karangasem belum mengerti isi dari PERDA tersebut. Kalau
bendesa adat diberikan pengertian ini, mungkin belum mengerti karena bendesa-nya tamat SD,
bagaimana kita bisa menanamkan ini. Saya juga kurang mengerti mengapa AIDS ini mempunyai
gambaran yang begitu menakutkan padahal penyakit yang menakutkan seperti itu masih ada banyak
seperti Hepatitis B. Hanya stigmanya tidak seperti orang kena AIDS. Stigmanya kalau orang kena
hepatitis B perutnya besar itu berarti kena magic dan penangkalnya dicarikan dukun. Di Thailand,
pelacur-pelacur diberikan ceramah oleh germonya bahwa mereka tidak akan kena. Kalau di Bali
berupa rajah-rajah (bekal-bekal magic) sehingga pelacur-pelacur itu mau saja melakukan itu. Bali
adalah juara Keluarga Berencana di Indonesia, hanya Keluarga Berencananya sistem Banjar. Setiap
ada rapat Banjar, orang dari (program) Keluarga Berencana memberi pencerahan sehingga
diterima dengan baik dan jangan mengharapkan mereka yang tidak bisa berbicara.
Mengenai jender saya merasa terganggu karena di daerah saya berbeda dengan di daerah
lain. Saya diundang oleh teman-teman untuk bicara masalah itu. Di Bali perlakuan jelas sekali yaitu
wanita mendapat tekanan yang sangat banyak dan mungkin interpretasi agamanya yang keliru
padahal kalau kita melihat Tuhan dilambangkan dengan manusia yang punya muka dua. Jadi satu
mukanya perempuan satu mukanya laki. Jadi maknanya kedudukan perempuan dan laki-laki adalah
sama. Hak laki-laki dan perempuan di kampung saya sama sehingga tidak ada perasaan risih.
Barangkali mengapa laki-laki begitu meremehkan wanita dan wanita mengalah adalah perasaan
secara fisik. Tetapi ingat tadi dikatakan yang keras jangan dilawan dengan yang keras. Seperti
pepatah Cina, pohon yang lemah dibelai angin, pohon yang keras ditumbangkan. Jadi kalau ada
angin menyapu pohon kita, kita harus lemas.[]
75
DIALOG
PERANAN AGAMA DALAM MENGHADAPI HIV/AIDS
Salah satu acara dalam kegiatan Studi Agama dan Masyarakat di Candi Dasa, Karangasem, Bali
tanggal 30 September – 3 Oktober 2004 adalah diskusi Tentang peranan Agama dalam masalah
HIV/AIDS. Berikut ini merupakan hasil diskusi tersebut.
Komang Triartika :
Kelompok kami mendiskusikan tentang kekuatan moral dan spiritual yang diharapkan dari
agama-agama dalam menghadapi dan menangani masalah HIV/ AIDS, mengapa masyarakat yang
notabene adalah umat beragama masih sulit menerima kenyataan berkaitan dengan persoalan
HIV/AIDS, dan apa yang perlu dilakukan supaya agama-agama tidak menjadi sesuatu yang semata-
mata hanya diyakini tetapi juga di implementasikan.
Kekuatan moral dan spiritual yang diharapkan dari agama-agama berkaitan dengan
permasalahan HIV/ AIDS, yaitu:
1. Nilai cinta kasih terhadap sesama,
2. Solidaritas kemanusiaan,
3. Mengubah image dari masyarakat tentang HIV AIDS,
4. Mengidentifikasi diri dengan sesama dan yang menderita HIV/ AIDS,
5. Intropeksi diri sebelum menyalahkan orang lain,
6. Meditasi.
Sedangkan masyarakat atau umat beragama masih sulit menerima kenyataan mengenai
persoalan HIV/ AIDS disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kurangnya informasi HIV/ AIDS baik kepada masyarakat maupun kepada pemuka agama,
2. Penafsiran agama secara tekstual dan doktrinal oleh pemuka agama;
3. Keterpisahan agama, dalam hal ini pemahaman agama, dari aspek kehidupan lain atau
terpisah dari realitas kehidupan, agama lebih mengedepankan hubungan manusia dengan
Tuhan;
4. Sulitnya komunikasi antara pemuka agama dengan umatnya dikarenakan adanya jarak/ gap.
Hal yang dapat dilakukan agar agama-agama tidak hanya menjadi sesuatu yang diyakini
tetapi juga diimplementasikan dalam kehidupan sosial adalah:
1. Dengan menumbuhkan kepekaan agama terhadap realita sosial,
2. Perubahan paradigma berpikir tentang agama itu sendiri (agama tidak hanya berada di
tempat ibadah),
76
Marianus Marchelus :
Saya ingin menjelaskan tentang implementasi agama dengan menumbuhkan kepekaan
terhadap realita sosial. Kami menemukan bagaimana tokoh-tokoh agama dan umat kurang
memahami realitas sosial. Kita tidak tahu kenapa bisa seperti ini, apakah karena tokoh agama
kurang menghadirkan realita ke tengah umatnya ataukah karena pribadi yang ditokohkan oleh umat
bukanlah tokoh agama. Jadi kegiatan keagamaan hanya sebatas di gereja, masjid dan tempat-tempat
ibadah lain. Agama tidak dijadikan suatu keyakinan bahwa keberpihakan terhadap orang tertindas
juga merupakan bagian dari kewajibannya.
Diana Surjanto :
Saya akan menambahkan tentang masalah kekuatan spiritual dan moral yang diharapkan
dari agama. Pada intinya kekuatan spiritual dan moral seperti nilai cinta kasih, solidaritas
kemanusiaan, pengidentifikasian diri, introspeksi dan meditasi adalah untuk mengubah image
HIV/AIDS yang berkembang di dalam masyarakat. Agama disini lebih diharapkan untuk
membangun image baru tentang HIV/AIDS dimana sebenarnya penderita HIV/AIDS bukanlah
untuk dijauhi dan dicap salah tetapi bagaimana kita menimbulkan sifat empati kepada mereka.
Selain mengubah image juga menghilangkan jarak antara agama dengan penderita HIV/ AIDS.
I Nyoman Sadra:
Disini muncul beberapa hal berkaitan dengan perubahan paradigma berpikir tentang agama
itu sendiri agar agama-agama tidak hanya menjadi sesuatu yang diyakini tetapi juga
diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Tadi saya sempat melontarkan ide, barangkali kita
harus lebih memahami atau lebih mencari makna kata ‘agama’ itu, khususnya jika dikaitkan dengan
permasalahan HIV/ AIDS. Misalnya saja penolakan agama terhadap realitas HIV/ AIDS. Apakah
penolakan ini bagian dari ajaran kitab suci atau bagaimana? Kesimpulan saya bahwa saya
khususnya belum betul-betul memahami sebenarnya agama itu apa, untuk apa kita beragama dan
77
kalau tidak beragama bagaimana. Itu perlu dipertanyakan dan apakah ciri-ciri orang beragama itu
dapat diketahui secara fisik misalnya seseorang sembahyang dengan cara sedemikian sesuai dengan
apa yang diajarkan agama dan pada saat tertentu, apakah itu sudah dapat dikategorikan sebagai
orang beragama?
Saya tertarik ketika Bapak Hudoyo mengatakan bahwa kita harus ‘mengidentifikasi diri’
kepada orang yang sakit seperti itu. Jadi di dalam kehidupan, kita harus mampu mengidentifikasi
diri kita terhadap saudara kita yang paling menderita, kemudian kita harus merenungkan tentang
tindakan apa yang harus kita lakukan.
Diana Surjanto :
Saya ingin. menanggapi persoalan mengenai perubahan paradigma berpikir tentang agama
itu sendiri. Kalau ditanya apakah agama itu, menurut saya, agama adalah kepercayaan atau aliran.
Dikarenakan konteks kita sekarang adalah di dalam forum yang membahas masalah agama, jadi
masing-masing kita sudah mengerti dan hal itu tidak perlu diperdebatkan lagi. Tentang perihal doa,
doa tidak hanya sembahyang secara kusuk di tempat-tempat ibadah tapi lebih kepada perbuatan dan
tingkah laku yang baik. Jadi menurut saya doa hanyalah sebagai sarana pengendalian diri atau
kontrol diri.
Marianus Marchelus :
Saya ingin mengatakan bahwa sudah saatnya tokoh-tokoh agama di dalam membumikan
agama harus turun langsung ke lapangan, ke dalam pusat-pusat kegiatan masyarakat. Intinya adalah
bahwa sekarang agamawan atau siapa saja bukan saatnya lagi untuk bicara saja tapi harus terjun
masuk ke persoalan-persoalan itu.
M. Yos Da Putra :
Menarik sekali mengenai apa yang disampaikan oleh Pak Sadra tadi tapi memang menurut
saya ini memang butuh sharing yang lebih mendalam dan lebih terbuka dan bisa menghadirkan
semua elemen dari berbagai latar belakang. Kalau menurut saya mengenai perubahan paradigma
berpikir sebenarnya saya lebih melihat kepada komitmen umat beragama dalam menghayati dan
mengimplementasikan apa yang dipercaya dan diimani. Seperti yang telah disampaikan oleh
seorang pendeta bahwa kitab suci hanya ditempatkan di ruang yang hampa. Iman menuntut kita
untuk mempraktekkannya di dalam realitas sosial dalam artian bahwa kita menghadirkan realitas
Allah dalam diri orang-orang yang tertindas termasuk orang-orang yang terkena HIV/ AIDS.
Bejo Utomo :
Seandainya Indonesia mengakui umat yang tidak beragama maka saya akan mendaftarkan
diri sebagai umat yang tidak beragama. Terkait dengan perubahan paradigma baru, saya berpikir
lebih baik bagi saya untuk tidak beragama daripada beragama karena saya melihat justifikasi
stratifikasi yang paling besar adalah di dalam agama itu sendiri. Permasalahan yang mendasar
adalah bagaimana kita mengubah paradigma beragama tersebut. Kalau Diana Surjanto mengatakan
bahwa agama harus elastis atau fleksibel, bagaimana akhirnya nanti ajaran-ajaran agama ketika
agama mengikuti perkembangan dunia. Kalau tokoh-tokoh agama bisa melihat realitas yang ada,
mereka tidak akan sekedar menjustifikasi bahwa free sex itu haram, kemudian mabuk dan judi itu
juga haram, tetapi ada sebuah upaya dari tokoh-tokoh agama untuk melihat faktor-faktor yang
melatarbelakangi perbuatan haram itu.
mengatakan bahwa umatmu sudah hidup dengan HIV Positif. Akhirnya saya menempuh hal yang
paling praktis yaitu menemui pendeta yang memang jemaatnya terkena HIV positif dan saya
katakan umatmu sudah terkena HIV positif dan minta untuk digembalakan. Saya ingin
menyederhanakannya agar kita jangan sampai berpikir bahwa sulit sekali untuk pergi ke petinggi-
petinggi agama, padahal kalau kita bisa mendekatinya secara manusiawi maka tidak sesulit yang
kita pikirkan.
Listia :
Memang sering kali persoalan sosial atau persoalan manusia kadang-kadang mengusik
wacana keagamaan itu sendiri, seperti persoalan jender, persoalan pluralisme agama-agama. Seperti
pengalaman Pendeta Emi, adanya fenomena HIV/AIDS juga membuat Gereja untuk belajar dan
mau mengadaptasi persoalan yang dihadapi. Saya kira serumit apapun agama tapi tetap isinya
adalah manusia, yaitu sesuatu yang masih bisa kita jangkau dan masih bisa kita ajak bicara.
Elga J. Sarapung :
Tadi Listia sempat mengatakan agama itu isinya adalah manusia dan menurut saya manusia
itu bukan agama kalau tidak peduli pada manusia lain.
Listia :
Saya kira pikiran yang banyak beredar disini adalah bagaimana identitas tidak menjebak kita
ke dalam satu kelompok, solidaritas yang terbatas hanya untuk orang-orang tertentu.
Bejo Utomo :
Permasalahan yang paling mendasar ketika kita berbicara masalah pluralisme adalah
kefanatikan yang timbul bagi mereka yang tidak pernah melihat kebenaran orang lain. Saya kira
yang hadir disini adalah bapak-bapak dan teman-teman yang pluralis dan lebih melihat kehidupan
riil, tetapi masalah utamanya adalah mereka yang komunitasnya adalah komunitas yang
menganggap dirinya paling benar.
80
I Nyoman Sadra :
Masalah fanatisme memang yang menghambat perjuangan kita bersama sampai saat ini.
Kalau itu yang terjadi maka saya harus mengatakan bahwa dengan kenyataan itu kita sudah
menolak keberadaan Tuhan.
Marianus Marchelus :
Saya mencoba untuk memberikan jalan keluar bagi permasalahan ini. Saya pikir kata
kuncinya disini adalah sinergis diantara elemen agama. Saya mempunyai contoh: kami melakukan
advokasi di komunitas anak jalanan. Kemudian masyarakat melihat dan menganggap bahwa itu
adalah Kristenisasi. Ini berarti tidak adanya satu pemahaman yang sama dalam menghadapi
persoalan-persoalan kemasyarakatan.
lain sebagainya. Dan untuk itu membutuhkan semacam breaking eyes untuk memecahkan
kebekuan-kebekuan spiritual yang selama ini dibangun.
I Nyoman Sadra :
Saya kira kesimpulannya disini adalah tantangan kita variatif, jadi masing-masing kelompok
agama akan mempunyai tantangan yang berbeda-beda. Terutama dalam diskusi kita yang beragama
Hindu barangkali mempunyai tantangan yang lebih berat dari pada teman-teman yang beragama
lain karena persoalannya sangat kompleks sekali. Jadi di kalangan teman-teman Hindu memerlukan
komitmen yang sangat kuat untuk meneruskan perjuangan ini.
Ujang Nuryanto :
Tadi disinggung masalah penyampaian informasi, memang di sini dibutuhkan semacam
strategi. Setelah saya mendengarkan strategi yang Ibu Emi paparkan tadi hati saya menjadi tergerak
yaitu kita hanya membutuhkan strategi yang paling baik. Yaitu dengan tidak membuat
ketersinggungan antara sesama, sedangkan masalah sampai atau tidaknya informasi itu biarkanlah
waktu yang akan menentukan.
Luh De Suriyani :
Ketika Ibu Emi bercerita banyak tentang hal ini, untuk masuk ke pemuka-pemuka agama,
kadang kala itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Tapi memang kita dituntut untuk menambah
secara konsep teologi kita dengan praktek dan ilmiahnya.
Bejo Utomo :
Menyangkut permasalahan pertama saya kira sangat wajar ketika tokoh-tokoh agama belum
terlalu berperan terhadap permasalahan ini. Karena mau tidak mau harus diakui bahwa sebenarnya
tokoh-tokoh agama masih disibukkan oleh permasalahan-permasalahan intern agama sehingga
untuk melihat realitas sosial kelihatannya sangat kurang. Kalau kita mau masuk dalam lingkup
82
mereka, sebenarnya sangat menguntungkan sebab mereka sangat berpengaruh sekali ketika
berbicara di masyarakat. Hanya yang menjadi kendala utama apakah bisa teman-teman LSM atau
teman-teman yang peduli HIV/AIDS ini masuk dalam ruang lingkup mereka.
Ujang Nuryanto :
Disini saya melihat sepertinya pemuka-pemuka agama itu hanya menunggu informasi.
Semoga ada semacam perubahan yang cukup mengejutkan setelah acara kita ini, minimal generasi
muda bukan hanya menunggu tentang informasi HIV/AIDS tapi juga mencari secara luwes.
I Made Sukarma :
Memang tanggapan-tanggapan ini sangat baik, terus terang saya sebenarnya awam kalau
membicarakan masalah agama, adat maupun lembaga-lembaga yang lain. Jadi yang ingin saya
sampaikan barangkali berkaitan dengan pertanyaan apa yang perlu dilakukan supaya agama-agama
tidak menjadi sesuatu yang semata-mata hanya untuk dipercaya tapi untuk diimplementasikan.
Mungkin yang perlu digarisbawahi disini adalah diimplementasikan, seperti yang disampaikan Ibu
Suster tadi jangan sampai hanya melayani umat atau jemaat saja sehingga untuk mensosialisasikan
hal-hal yang berkaitan dengan persoalan HIV belum tersentuh sama sekali.
Sa'roni :
Saya akan mencoba untuk mendefinisikan ‘agama’ menurut pertanyaan Bapak Sadra tadi.
Saya akan mencoba menjawab bahwa agama adalah suatu norma atau aturan-aturan yang meng-ikat
kita agar kita tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Misalnya dilarang melakukan
hubungan seksual dan untuk melegalkan hubungan tersebut ada suatu ikatan yang disebut dengan
pernikahan.
Rolyna Rumansyah :
Menanggapi tentang agama, dari kitab suci memang free sex atau seks bebas itu dilarang
menurut agama. Kalau kita membahas itu lagi berarti kita kembali ke latar belakang HIV/ AIDS.
83
Dan ternyata HIV itu tidak hanya tertular pada orang yang melakukan free sex saja tapi juga
penggunaan jarum suntik dan hal-hal lainnya.
Pande Puspita :
Sebenarnya saya sudah banyak mendapat pelajaran tentang HIV/ AIDS dan saya semakin
mengerti melalui diskusi ini. Saya juga menjadi lebih tahu bagaimana menghindari maupun
menyikapinya. Dan mengenai agama, saya tidak akan banyak berkomentar, saya takut
menyinggung karena didalam lingkungan keluarga saya sendiri ada dua agama yang sering kali
menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam pengambilan sikap.
Listia :
Ada yang menarik dari pengalaman Pande mengapa orang menjadi takut tersinggung ketika
berbicara soal agama, apalagi ketika itu menyangkut perbedaan agama. Saya ingin menanggapi
pendapat Pande bahwa kita perlu masuk dalam wacana karena wacana itu terkait dengan realitas.
M. Yos Da Putra :
Soal dialog tiga wacana tadi, saya bukan berarti menolak untuk melakukan dialog tiga
wacana dalam konteks ini. Karena ini soal waktu dan kita sendiri punya fokus tapi kalau memang
kita sepakat untuk masuk dalam dialog tiga wacana soal pluralism kemudian bagaimana kita keluar
dari ketakutan akan perbedaan. Kalau saya menanggapi ketakutan akan perbedaan sebenarnya
diakibatkan karena setiap ada dialog antar iman, antar etnis dan dialog antar suku yang biasanya
dikedepankan adalah persamaan-persamaannya. Kita tidak pernah melihat perbedaan-perbedaan itu
sebagai suatu kekayaan multikultur. Dari perspektif agama secara institusinya belum bisa menerima
perbedaan-perbedaan ini karena resistensinya yang begitu kuat kemudian masih sangat konservatif.
Jadi gerakan-gerakan seperti bagaimana kita bisa menerima semua perbedaan paling tidak itu
berangkat dari wahana-wahana yang kecil sampai kepada hal yang paling besar. Sekarang begitu
banyak isu-isu yang sangat menghantam kekuatan-kekuatan multikultur dan pluralism ini.
Kemudian kalau kita berbicara soal pasar yang sangat mempengaruhi pergeseran-pergeseran nilai
lokal, ini sebenarnya yang membangkitan gerakan-gerakan fundamental yang akhirnya tidak bisa
menerima apa yang menjadi perbedaan-perbedaan itu. Saya kira kalau kita berbicara soal dialog tiga
wacana yang berkaitan dengan ini memang harus dilihat dalam semua aspek ada aspek historis, civil
society dan pasar.
84
Listia :
Kita perlu masuk dalam wacana ini karena kita akan melakukan kerjasama, kita tidak
mungkin jalan sendiri-sendiri. Kita harus punya konsep dan gagasan yang bisa kita
pertanggungjawabkan, mengapa kita melakukan ini bersama-sama kepada Gereja, kepada Masjid,
kepada Pura dan lain sebaginya. Karena saya merasa globalisasi di sisi lain juga untuk kelompok-
kelompok tertentu yang memberikan mereka semacam eksistensi.
I Nyoman Sadra :
Dalam menangani realitas persoalan sosial seperti ini memang mau tidak mau kita harus
bekerja bersama. Oleh karena itu perlu dibentuk jaringan-jaringan. Tentang bahasan perbedaan ini
barangkali menjadi masukan kecil saja, memang realitasnya kita berbeda tapi yang penting
bagaimana kita bisa saling memahami. Barangkali yang perlu digali secara mendalam adalah
kenapa kita lebih resisten terhadap perbedaan-perbedaan ini, apa yang sebenarnya menyebabkan itu
ada. Kalau hal itu ada titik temu maka dengan lapang dada kita akan menerima perbedaan ini, tetapi
jawabannya memang tidak mudah. Jadi penekanan saya adalah mari kita terima realitas perbedaan
ini untuk dapat saling mengerti. Saya melihat sebenarnya banyak sekali persamaan antara kita tapi
kita sendiri yang membuat itu menjadi berbeda dan berakibat kepada kesalahpahaman.
Marianus Marchelus :
Saya pikir dialog tiga wacana dalam scope dialog orang-orang dari berbagai agama sangat
perlu untuk membongkar ketakutan-ketakutan, ketidaktahuan satu agama terhadap agama yang lain.
Saya pikir itu sering kami lakukan di tingkat generasi muda di Denpasar, misalnya ketika saya
bertemu dengan teman muslim, saya mengucapkan assalamu’alaikum dan tidak ada persoalan bagi
mereka.
Pande Puspita :
Sebaiknya kita kembali ke pemahaman orang tentang agama. Kalau dia memahami
kebersamaan untuk saling mengerti perbedaan-perbedaan, itu kembali kepada individunya, dia
memahami atau tidak perbedaan-perbedaan tersebut. Jadi tidak perlu melibatkan konteks wacana
karena dengan wacana orang diberikan pengertian. Jadi dari pribadinya dia paham tetapi dari hati
nuraninya dia paham atau tidak?
Diana Surjanto :
Kalau saya melihat tentang perbedaan agama ini, sebenarnya itu tidak perlu dipandang
sebagai perbedaan. Karena semua agama mengajarkan hal-hal yang baik hanya saja yang
85
membedakan adalah ritualnya saja. Kemudian kenapa timbul banyak sikap fanatisme dari kalangan
umat beragama? Saya melihatnya kemungkinan ada peran dari pemuka agama yang mungkin
menganggap agamanyalah yang paling benar. Jadi di dalam diri pemuka agama harus ada
perubahan cara berpikir yang lebih menghargai sesama umat beragama.
Bejo Utomo :
Berbicara masalah fanatisme, memang sebuah kewajiban bagi umat beragama untuk fanatik
terhadap agamanya itu. Tapi yang menjadi masalah bagaimana kita menginterpretasikan
kefanatikan itu ketika kita berbicara dengan umat agama lain. Kita disini memang sangat menyadari
perbedaan. Yang menjadi masalah utama adalah mereka yang belum menyadari perbedaan itu,
mereka yang masih menerjemahkan kitab suci secara tekstual, mereka yang tidak pernah
menginterprestasikannya sesuai dengan permasalahan di lingkungan sekitarnya
.
Suster Maria Chalista :
Kalau persoalan itu dikembalikan kepada pimpinan agama, kita seakan-akan menyalahkan
pimpinan agama, seperti apa yang dikatakan Diana. Saya rasa pimpinan agama tidak mengajarkan
hal-hal yang aneh. Tapi kenyataannya umat yang diajari tersebut tidak melaksanakan secara konkrit.
Jadi itu bukan salah dari pimpinan agama tetapi pribadi yang melaksanakan itu.
Diana Surjanto:
Menanggapi Suster, mungkin yang saya tekankan disini bahwa itu bukan dimaksudkan
untuk seluruh pemuka agama karena setiap ajaran agama sebenarnya baik, yang menjadi
permasalahannya adalah tokoh-tokohnya. Jadi mungkin sebagian besar tokoh agama benar tetapi
ada juga yang tidak benar seperti yang saya katakan tadi. Kenapa saya mengatakan demikian karena
jika semua tokoh, pemuka agama menyampaikan hal yang benar dan menghargai sesama manusia
kenapa harus ada sikap fanatisme. Darimana timbul sikap itu kalau tidak dibangun dari pemuka
agama itu sendiri. Kalau semua pemuka agama menginterpretasikan ajaran agamanya dengan benar,
bagaimana cara menghormati orang lain maka tidak akan muncul fanatisme.
Pande Puspita :
Saya setuju dengan Suster bahwa itu kembali kepada pribadinya, apakah dia benar-benar paham dan
benar-benar mengerti. Jika dia paham maka perbedaan tersebut pasti tidak akan ada.
Listia :
86
Diskusi ini bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tetapi bahwa kesalahan itu mungkin ada dimana-
mana. Jadi tidak berarti kemudian pemimpin itu tidak bersalah dan tidak berarti juga umat itu yang
selalu bersalah. Mungkin juga umat melakukan ini karena diberi informasi yang salah oleh
pemimpinnya, tapi mungkin juga pemimpinnya yang salah. Kita mau diskusi ini menuju kepada
arah perubahan bukan mengarah kepada siapa yang salah karena semuanya berpotensi untuk salah.
Mungkin diskusi lebih lanjut bisa kita peruncing di rencana tindak lanjut.
I Nyoman Sadra :
Saya hanya ingin berkomentar mengenai Hindu yang saya kenal yang mana Gandhi
menerjemahkan agama dalam bentuk action, dalam bentuk tindakan. Yang membuat saya ingin
bergabung dengan Gandhi adalah ketika dia ditanyakan apa pesan anda untuk Dunia? Maka dia
menjawab pesan saya adalah apa yang saya lakukan bukan apa yang saya katakan. Jadi Gandhi itu
mempunyai 3 prinsip yaitu: kebenaran, ahimsa, welas-asih.
Listia :
Jadi wacana yang disukai anak muda sekarang adalah multikultural. Ada yang menarik dari
Gandhi yaitu dia sudah membaca gerakan pasar. Dan dia dengan melucuti bajunya, dia menanam
sendiri apa yang mau dia konsumsi, dia benar-benar sudah memposisikan diri dan sadar bahwa akan
ada gerakan besar yang melindas semua orang. Saya pikir memang yang menarik dari Gandhi
adalah bahwa identitas itu bukan ego dan identitas itu perlu tapi yang terpenting jiwa kita tidak
terikat oleh sesuatu yang institusional.
Marianus Marchelus :
Kalau di tingkat kita yang sering bertemu dengan orang-orang dari berbagai agama, saya
pikir tidak masalah. Tapi bagaimana dengan umat-umat agama yang berada di daerah yang hampir
tidak pernah berbicara tentang perbedaan atau berdialog antar agama, saya pikir persepsinya masih
seperti dulu.
Listia :
Kita berbicara tentang pluralisme. Ketika kita berbicara saja dan tidak masuk ke dalam persoalan
maka itu akan menjadi lain. Oleh karena itu disitulah kita akan belajar dan akan memperoleh
pencerahan.[]
87
DIALOG
PERSEPSI MASYARAKAT DAN PERAN LEMBAGA-LEMBAGA MASYARAKAT
DALAM PERMASALAHAN HIV/ AIDS
Berikut ini adalah hasil diskusi tentang bagaimana persepsi masyarakat dan sejauh mana lembaga-
lembaga yang ada dalam masyarakat mengambil peran dalam masalah HIV/ AIDS. Apa yang dapat
kita lakukan, mengubah persepsi ataukah terjebak didalam persepsi tersebut?
Listia:
Kita akan membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan persepsi masyarakat, bahkan
mungkin persepsi kita sendiri, tentang penyakit HIV/ AIDS. Ternyata persepsi kita sering tidak
tepat karena informasi yang kita terima tidak lengkap, mungkin juga sesat. Informasi yang tidak
lengkap tentang penyakit ini sering tersebar di dalam masyarakat melalui media kemudian
dikonsumsi oleh semua orang termasuk kaum berpendidikan dan para elit agama. Kita akan
mencoba mempelajari persoalan-persoalan ini secara lebih jelas melalui suatu diskusi kelompok.
Kelompok 1 membahas tentang peranan lembaga masyarakat dalam permasalahan HIV/ AIDS dan
kelompok 2 membahas tentang peranan media massa dalam permasalahan ini.
dengan masalah ini. Pemerintah juga harus mengurusi masalah ini. Stakeholders dalam masyarakat
harus ambil bagian dan tidak ada satu bagian pun yang tidak terlibat dalam masalah ini. Kemudian
mensosialisasikan HIV ke media yang disenangi masyarakat. Kita masuk melalui kebiasaan
mereka.
Diana Surjanto:
Tadi mungkin tentang harapan supaya pemerintah perlu ikut mengurusi masalah HIV belum
dijelaskan. Kemudian permasalahan lembaga adat, lembaga adat memiliki ketergantungan dengan
pemerintah desa sehingga untuk menggerakkan desa adat atau lembaga adat dapat dilakukan secara
proaktif melalui pemerintah desa.
Hudoyo Hupudio :
Sebetulnya pemerintah sudah menyadari bahwa hal ini tidak hanya menyangkut masalah
kesehatan. Sekalipun peran Depkes sangat besar dan memimpin tetapi dengan kesadaran itu, sejak
beberapa tahun dan sudah cukup lama dibentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). KPA mulai
dari tingkat nasional yang berada di bawah Menkokesra bukan di bawah Menkes dimana ada
beberapa departemen seperti Depkes, Depdiknas, Pariwisata, dan Departemen Agama sampai di
tingkat propinsi dan di tingkat kabupaten kota. Seharusnya ada KPA propinsi dan KPA kabupaten/
kota. Tentang masalah kepedulian, kepemimpinan dan dana, banyak KPA-KPA yang belum
berfungsi karena kepemimpinan dan kepedulian dari pejabat kurang dan terutama dana yang juga
kurang. Struktur ini namanya komisi seperti komisi perempuan, komisi gizi dan sebagainya dan
bukan badan. Kalau badan mudah sekali mendapatkan uang seperti BKKBN. Tapi saya setuju
sekali KPA-KPA diberdayakan. Bagaimanapun KPA di Bali dengan BNN.
kasus AIDS, Bali termasuk yang pertama melaporkan kasusnya. Jadi kegiatan di Bali rata-rata lebih
maju dibandingkan dengan propinsi yang lain. Beberapa sudah mempunyai program sampai ke
desa, misalnya salah satu dari KPAD Bali yang sudah mempunyai program KIE (Komunikasi,
Informasi, Edukasi) dengan sistem Banjar, tetapi tergantung dana, kalau dananya ada maka
berjalan,. Juga sudah ada termasuk pelatihan pada seka teruna/ teruni. Memang awal penelitiannya
melalui LSM. Seberapa jauh fungsi seka teruna dan bagaimana fungsi yang bisa dijalankan oleh
seka teruna. Pada awalnya fungsinya sama dengan lembaga adat, yaitu seka teruna tidak
mempunyai kegiatan kesehatan, tapi hanya untuk keagamaan, ritual dan masalah lain. Kita sudah
berhasil memasukkan isu kesehatan lewat HIV di dalam agenda seka teruna. Kalau melihat
lembaga adat yang lain tentunya bisa kita masukkan isu HIV/ AIDS secara bertahap walaupun ada
dari program pemerintah yang datangnya sekali-sekali yang terus-menerus tinggal di tempat
tersebut. Itulah sebenarnya yang paling penting, yaitu untuk menjaga kesinambungan program,
dilakukan atau tidak dilakukannya program. Hanya saja di atas kertas itu berdasarkan kesepakatan
atau sangat tergantung dari individu-individu yang ada dan terlibat di ujung tombak yang terkecil.
Di Bali istilahnya seka teruna, banjar dan lain sebagainya. Walaupun menggebu-gebu disana, kalau
kita tidak melakukan percuma saja. Pendekatannya memang dari multi-pihak, pemerintah dari
struktur atas kemudian dari bawah kita juga harus mulai. Kemudian LSM-LSM biasanya langsung
bergerak ke ujung tombak ini. Sedangkan pemerintah mulai dari atas yaitu dari strategi kebijakan
yang digarap lebih banyak. LSM seperti LSM yang ada ini kita tujukan langsung kepada orang-
orangnya agar lebih dikenal dan lebih familiar padahal semua pihak sudah melakukan.
Hudoyo Hupudio :
Saya tertarik pada persoalan pemberdayaan karena menyangkut langkah di masa depan
dimana ada komunikasi lembaga-lembaga adat dan lembaga-lembaga yang concern pada HIV/
AIDS. Kemudian masalah sosialisasi melalui media, kalau ini memang ingin didokumentasikan
perlu dicantumkan bahwa dalam pemberdayaan tersebut diikutsertakan para ODHA karena jauh
lebih efektif daripada kita hanya bicara-bicara dan sebenarnya kita akan memberi ‘wajah’ pada
HIV/AIDS.
Bejo Utomo :
Saya ingin menambahkan tentang pemberdayaan desa adat, bagaimana kita bisa menuntut
desa adat untuk peduli akan HIV/ AIDS apabila mereka belum tahu? Langkah konkritnya
kemungkinan, saya membayangkan, desa adat itu di masa mendatang mempunyai perpustakaan,
balai banjar sebagai tempat belajar yang bukan hanya sebagai tempat rapat atau membuat bazzar
pada Galungan dan Kuningan. Tentu hal itu perlu kerjasama dari semua pihak. Masalahnya
91
sekarang pemerintah hanya berhubungan dengan desa adat kalau ada perlunya saja misalnya ada
KB.
DIALOG
MENATA HARAPAN
HIV/ AIDS masih menyandang predikat sebagai sesuatu yang menakutkan. Karena predikat
ini maka banyak sekali yang kemudian memperlakukan Orang Dengan HIV/ AIDS secara
diskriminatif. Perlukah HIV/ AIDS ditakuti secara berlebihan? Atau tidak lebih baik bagi kita untuk
memberanikan diri mengetahui lebih dalam agar kemudian dapat mengahadapi secara tepat?
Berikut rangkuman harapan dari para peserta.
Diana Surjanto :
Sangat berharap agar semua manusia bisa terhindar dari HIV/ AIDS dan sangat mendukung
agar bisa dicari pencegahannya agar tidak ada lagi korban yang lebih banyak
Luh De Suryani :
Sangat mendukung sekali apabila cepat dicari pencegahannya agar generasi muda tidak ada
lagi yang menjadi korban dari HIV/ AIDS.
Kadek Sudiani :
Harapan saya ketika kita menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi baik itu HIV/ AIDS
atau narkoba, kita bisa menyelesaikan persoalan ini secara bathin dulu sebab kalau hanya
berdasarkan ajakan-ajakan secara material saja masalah tidak akan pernah selesai. Jadi
permasalahannya perbaikan secara batin.
didapatkannya itu berasal dari suaminya dan dia tertular. Jadi saya menanyakan apakah ini karma,
penyakit kutukan atau apakah Tuhan berperan dalam hal ini. Itu saja.
Bapak Sadra :
Kita sepakat menamakan ini penyakit sosial yaitu penyakit yang sangat menyebar di
kalangan masyarakat dan oleh karenanya penyelesaiannya pun harus kita selesaikan secara sosial
yang artinya banyak orang yang harus terlibat dalam kepedulian terhadap HIV. Kepedulian
mengenai HIV dan narkoba, saya punya pengalaman yang kecil. Mengenai narkoba saya pernah
kena tipu ketika saya di India berkumpul dengan 11 orang menyewa sebuah rumah. Saya bergilir
dengan teman-teman memasak karena masak sendiri di rumah tersebut dan saya tidak tahu awalnya
bahwa rumah itu rumah ganja. Ganja tumbuh di halaman rumah dimana-mana seperti rumput. Jadi
kambing makan ganja, kelinci makan ganja, kijang makan ganja, babi dan sapi semua makan ganja.
Lalu saya duduk di suatu tempat ada orang yang membakar sampah dan ternyata itu adalah ganja.
Ada orang dari Australia yang bawa sayur ternyata itu adalah daun ganja. Itu adalah pengalaman
saya tentang ganja. Ganja itu dijemur dan dijadikan rokok sehingga saya seperti mempunyai pikiran
yang tidak terkendali.
Kemudian saya pernah mengunjungi pusat rehabilitasi AIDS. Sangat menakutkan karena
hanya tinggal tulang dan kulit, rambut tidak berwarna. Dari melihat itu saya bayangkan kalau ini
menyebar sangat bahaya. Akhirnya saya berpikir itu sangat menakutkan. Tapi kalau sudah
kecanduan sulit untuk dihindari. Saya selalu ikut seminar dan kebanyakan topiknya adalah
mengenai agama. Kerusuhan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kerusuhan yang disebabkan oleh
agama karena itu penyebabnya adalah manusia sendiri.
Timbul pertanyaan peranan agama itu apa, padahal khotbah jalan terus manusia kok berlaku
tidak baik jalan terus juga, salahnya dimana? Kita harus diskusikan apakah jalan agamanya yang
salah atau kita yang tidak menerapkan atau kita salah interpretasi terhadap ajaran itu. Di kalangan
Hindu sendiri saya kecewa ketika sekolah saya mendengar karena kata ‘agama’ dari bahasa
sansekerta, 'a' yaitu tidak dan 'gama' yaitu bergerak. Jadi agama adalah sesuatu yang tidak bergerak
atau langgeng. Binatang apapun kalau dia langgeng atau batu tidak bergerak, apakah itu agama?
Muncul pertanyan-pertanyaan seperti itu artinya ada bait-bait kitab suci yang barangkali perlu kita
diskusikan sehingga kita mempunyai pemahaman, apakah kita hanya bisa mengatakan itu jelek, itu
salah dan mengenai permasalahan seperti ini sampai saat ini kita belum melihat saja solusi-solusi
yang ditawarkan.
Jadi harapan saya sederhana saja dari pertemuan ini semakin banyak kita berkumpul disini
semakin banyak orang yang akan peduli terhadap hal ini dan masing-masing dari kita ada yang bisa
membantu masyarakat paling tidak sosialisasi tentang penyakit AIDS.
97
Marianus Marchelius :
Saya berharap sekali dengan adanya diskusi ini dapat dicarikan solusi bagaimana
kedepannya menanggulangi AIDS. Saya pribadi sudah melihat dengan kepala saya sendiri
bagaimana teman saya mati mengenaskan. Harapan saya terutama generasi muda jangan sampai
tertular. Memang ini penyakit masyarakat yang harus segera dibarantas.[]
98
DIALOG
MENUJU PRAKSIS
Elga J Sarapung :
Kita sekarang coba memikirkan kira-kira apa yang akan kita lakukan setelah ini. Ada
komitmen yang kita sendiri katakan, betapa pentingnya untuk bekerjasama, melakukan sesuatu
yang konkrit dengan action. Itulah yang benar-benar menjadi harapan kami dengan kegiatan ini.
Apa output yang konkrit sebagai dasar follow up nantinya dari kegiatan ini. Ada nilai yang ingin
kita buktikan, ada nilai yang ingin kita katakan. Dengan nilai itu kita bukan hanya ingin
mewujudkan komitmen, tapi sungguh-sungguh bahwa kita terbuka tentang agama. Agama kalau
tidak konkrit dan tidak menyentuh kemanusiaan maka bukan agama namanya, bagaimana kita
membuktikan itu. Jadi ada solidaritas, cinta kasih dan menghargai yang berdasarkan motivasi dan
tujuan kemanusiaan. Seperti yang telah diusulkan, bahwa perlu ada tim. Sekarang yang perlu kita
pikirkan tim itu seperti apa, tentu saja dengan dasar ada spirit bersama dalam bentuk kerjasama
antar agama atau dialog antar agama. Kemarin juga sudah didiskusikan beberapa metode
pendekatan, ada yang dalam bentuk penyuluhan, ada yang dalam bentuk media baik media cetak
ataupun elektronik, diskusi, stiker, poster, kesenian dan masih banyak lagi yang lain. Sedangkan
medianya bisa lewat sekolah, lewat agama-agama, institusi agama, media adat, LSM dan lain-lain.
Sekarang sesudah kegiatan ini, kita mau melakukan apa dengan isu HIV/ AIDS ini di Bali. Dalam
proposal kami kalau teman-teman membaca dan masih ingat kami mengusulkan kalau bisa
Karangasem menjadi pilot project ke depan. Tapi itu mungkin program jangka menengah. Sekarang
untuk sederhananya kami menyiapkan poster dan stiker, itu merupakan follow up jangka pendek
dari kami. Bagaimana kita menyebarkan itu supaya dengan poster dan stiker orang juga bisa
mendapat informasi tentang HIV/ AIDS ini. Itu merupakan salah satu kegiatan kita tapi mungkin
ada usul lain, kira-kira seperti apa, dalam bentuk apa dan bagaimana melakukannya. Mulai dari hal
sederhana dulu yang memang paling mampu kita lakukan sesuai kemampuan kita baik kemampuan
waktu, tenaga dan lain-lain.
99
Diana Surjanto :
Mungkin kalau dari saya rencana tindak lanjutnya untuk jangka pendek saja. Seperti yang
kita ketahui kita disini masing-masing membawa organisasi atau ada juga dari individu. Mungkin
yang organisasi bisa mengadakan semacam pelatihan mengenai HIV/ AIDS dengan teman-teman
yang terlibat dalam organisasi itu. Disamping itu juga bisa mensosialisasikan kepada teman-
temannya yang berada di luar organisasi.
Ujang Nuryanto :
Mungkin ini sekedar saran, kalau bisa untuk action-nya karena dikatakan tadi Karangasem sebagai
pilot project. Ashram ini sudah terkenal sekali di sini, jadi saya pribadi siap kalau dibentuk panitia
kecil untuk lingkup Karangasem dahulu, setelah itu bisa berkembang scope-nya.
Bejo Utomo :
Saya sepakat dengan Ujang. Artinya setelah teman-teman selesai ini ada semacam tindak lanjut
yang ingin saya tawarkan. Kalau kita memang fokus ke Karangasem, saya sepakat kita menyentuh
kalangan muda artinya disini bagaimana kita melibatkan teman-teman di Teruna-Teruni, apalagi
kalau didukung Bapak Sukarma sebagai institusi kepolisian, dan teman-teman yang sering
berkecimpung di dalam organisasi kegiatan kemahasiswaan dan lain sebagainya.
Marianus Marchelus :
Kalau saya mungkin sama dengan Yos, kita sendiri punya komunitas yang cukup banyak pesertanya
barangkali kami berangkat dari sini dulu yang kami bisa. Kemudian kita punya media yang dikelola
oleh keuskupan yang juga nantinya bisa melalui media ini, kalau isu-isu seperti ini sepertinya media
kami bisa memuatnya.
Luh De Suriyani :
Terus terang saya belum memetakan sebenarnya apa yang dibutuhkan oleh Karangasem, dan
permasalahannya apa? Mungkin Ibu Tuti bisa sharing sedikit permasalahan di Karangasem. Apa
yang bisa kita dilakukan dalam jangka waktu pendek? Sambil mencari strateginya. Sementara kalau
grand design-nya bisa lebih luas dari Karangasem. Dimanapun bisa kita lakukan. Saya pikir disini
kita harus cari siapa saja yang mengelola isu-isu ini, kemudian partner-nya Ibu Tuti sendiri siapa?.
I Made Sukarma :
Rencana tindak lanjut yang mungkin direncanakan tadi juga sudah disampaikan oleh rekan-rekan
khusunya di wilayah Karangasem. Mungkin sebagai target disebutkan kaum muda menurut saya
100
juga perlu ditambahkan yaitu wilayah kawasan wisata karena wilayah ini sangat rentan dengan
HIV/ AIDS. Kalau wisata di Karangasem mungkin Candi Dasa termasuk juga kaum mudanya yang
telah disampaikan tadi, wilayah Buitan. Termasuk di Tulamben karena kami kebetulan pernah tugas
di wilayah itu yang merupakan kawasan wisata yang perlu kita adakan pendekatan-pendekatan baik
secara penyuluhan melalui media cetak, elektronik ataupun kegiatan-kegiatn sosial seperti ini.
Listia :
Ini sinyalemen adanya persoalan-persoalan di sekitar pariwisata, kemudian siapa yang akan
melakukan ini, targetnya adalah kaum muda.
Listia :
Pertanyaan Luh De ini sangat baik, perlu ada identifikasi persoalan. Apa persoalannya, kita mau
melakukan apa dan apakah kita bisa jalan bersama-sama?
Luh De Suriyani :
Mungkin bisa dimulai dari scope yang paling cair yaitu teman-teman remaja, saya tidak tahu
persoalannya secara jelas tapi saya sangat bersedia terlibat dalam kelompok-kelompok ini. Saya
yakin dari tempat sekecil apapun isu-isunya akan menjadi besar kalau memang solidaritasnya
bagus.
Listia :
Yang mau merancang kita berkampanye itu siapa? Mungkin Ujang punya komitmen seperti itu?
Karena yang menggagas belum ada tapi yang membantu sudah ada.
101
Ujang Nuryanto :
Menurut saya teman-teman semua mau membantu tapi kalau scope-nya untuk seluruh Karangasem?
Sedangkan kalau sekedar untuk Buitan mungkin saya sendiri masih bisa, namun tetap dengan
bimbingan Ibu Tuti.
Bejo Utomo :
Saya kira kalau misalnya Ujang mau membuat seminar Seka Truna-truni se-Karangasem namun
Ujang hanya didukung oleh kawan-kawan yang ada disini tanpa didukung oleh Ibu Tuti, Bapak
Sadra, Ibu Elga dan lain sebagainya, maka tidak akan berjalan dengan bagus. Jadi harapan saya
kalau kita memang mau merencanakan suatu rencana tindak lanjut ada semacam sinergi, mari kita
berjalan bersama-sama. Saya menawarkan tadi kalau kita menyentuh ke akar rumput ini
memerlukan waktu yang banyak. Seandainya kita melakukan pelatihan semacam ini kemudian kita
fokuskan kepada teman-teman Seka teruna saya kira sangat relevan sekali.
I Made Sukarma :
Kalau memang masalah kegiatan barangkali bukan tenaga teknis di bidang ini, jadi saya
informasikan kalau narkoba kita sudah punya wadah untuk BNK di Karangasem, Badan Narkoba
Kabupaten. Organisasi ini diketuai oleh wakil Bupati dan tim yang memberikan penyuluhan itu
banyak, ada dari kesehatan yaitu dokter, dari Kesbanglinmas, kepolisian dalam hal dampak dari
pada penyalahgunaannya seperti ancaman hukuman. Kalau kerjasama dengan seka Truna-truni kita
memang tidak secara langsung tapi Kesbanglinmas mengirim surat kepada setiap kecamatan. Jadi
kalau memang betul-betul ini akan dilaksanakan barangkali perlu dipersiapkan tenaga teknis yang
kira-kira lebih tahu untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat.
Luh De Suriyani :
Saya pikir nanti di Budakeling bisa kita mulai pendekatan sosial mengenai ini. Untuk momennya
tentu saja teman-teman Dian Interfidei dan yang lain sudah kerja keras untuk memulai ini dan
mungkin bisa dilanjutkan disana. Saya tidak tahu persis bagaimana nanti komunikasi kita dengan
teman-teman di Budakeling, saya pikir kita lanjutkan hubungannya dari sana. Jadi saya minta Ibu
Elga atau Mbak Listia bisa menceritakan formatnya bagaimana dan untuk tindak lanjutnya itu
102
mungkin kita bisa kontak person ke masing-masing desa dengan kita semua, saya pikir akan bisa
berlanjut dari sana.
Listia :
Ini sebenarnya komitmennya sudah mulai muncul walaupun belum begitu jelas. Ibu Suster juga
saya kira bisa ikut. Mungkin Ibu Tuti sendiri ingin menyampaikan sesuatu silahkan.
Dr.Tuti Parwati :
Kayaknya dari Ida Nyoman Triatmaja bilang, kita mulai kecil-kecilan dari Ashram sebagai
tempatnya panitia, supaya lebih dekat untuk mengadakan pertimbangan kalau untuk Karangasem.
Disamping tadi dimana pun mereka berada bisa lokal, tapi kita bicarakan yang untuk Karangasem.
Dan tadi Seka terunanya Budakeling sudah siap jadi walaupun tergantung nanti disepakati dimana
tempatnya tetapi akan lebih dekat disini. Misalnya Citra Usadha yang sudah ada di Karangasem
juga. Seperti pos Citra Usadha yang sudah ada, karena kekurangan dana jadinya tidak bisa
dijalankan lagi.
I Nyoman Sadra :
Kalau memang teman-teman mempunyai komitmen untuk melanjutkan ini, saya kira Ashram kalau
hanya fasilitas tempat dan saya sebagai individunya disini siap saja bekerjasama dengan teman-
teman. Tapi jangan nanti saya yang dipilih menjadi ketuanya.
Elga Sarapung :
Saya kira sudah semakin jelas. Saya akan menambahkan soal kerjasama kita baik Ashram,
Citra Usadha, Uluangkep dan Interfidei, aku bekerja sama baik sebagai individu atau kelompok
organisasi sehingga jaringan kita semakin luas untuk mensosialisasikan langkah ke depan yang
lebih konkrit. Untuk langkah jangka pendek ke depan kita targetkan apa yang akan kita lakukan.
Apakah kegiatan ini kita targetkan setiap bulan. Tapi paling tidak kita bisa berdiskusi untuk mencari
pengalaman serta solusinya. Tadi ada usulan penyuluhan kepada kaum muda. Kalau kita sepakat
ada penyuluhan atau model seperti ini kepada kelompok itu, bagaimana kita melakukan, kapan dan
koordinasinya seperti apa. Kita lakukan dengan cara yang sederhana dulu.
I Nyoman Sadra :
Tadi pagi kita masuk ke dalam identitas. Karena kalau kita masuk ke sebuah komunitas maka
pertanyaan pertamanya adalah anda siapa. Oleh karena itu usul saya, bagaimana kalau dibentuk
sebuah wadah dulu yang mempunyai identitas kemudian baru kalau kita katakan birokrasi seperti
pemuda Mesjid, Hindu. Kita mengadakan pendekatan serta memberi informasi tentang penyakit
HIV/ AIDS ini. Kalau secara individu, masuk ke desa orang lain kadang-kadang dikucilkan.
Sasaran kita pemuda, pemudanya dari kalangan berbagai agama. Kalau ingin membentuk wadahnya
sebaiknya dipikirkan dulu.
Bejo Utomo :
Saya sepakat apa yang dikatakan oleh Bapak Sadra bahwa ketika kita bicara disini dan
berlatarbelakang identitas yang berbeda saya kira cukup relevan ketika kita membuat jaringan
identitas agama, kemudian menyelenggarakan semacam pelatihan. Jadi lebih efektif dan lebih
mudah ketika kita mengadakan penyuluhan ini berangkat dari ketersediaan Bapak Sadra sebagai
104
tuan rumah, saya lebih optimis kegiatan ini akan terlaksana misalkan teladan itu diikuti oleh tokoh-
tokoh teruna-teruni dan diadakan disini. Untuk berbicara lebih teknis lagi saya kira seperti yang
saya sampaikan bahwa kawan-kawan membentuk sebuah identitas yang kegiatan dengan bermodal
niat, motivasi dari hati nurani. Sedangkan Bapak Sadra bermodal tempat, saya kira ada faktor-faktor
lain yang mendukung untuk pelaksanaan kegiatan ini.
Luh De Suriyani :
Saya berpikir kita mulai dari hal yang sangat sederhana, bagian dari itikad. Pertama kita dimulai
dari pengumpulan alat-alat peraga seperti brosur, leaflet, kalau memungkinkan nanti kita hunting
dimana. Nanti kita kumpulkan kemudian kita drop ke beberapa teman-teman yang kita kenal dulu.
Mungkin saya akan drop ke suatu daerah di dusun Pekarangan, kemudian teman yang lain mungkin
di Buitan. Pertama karena teman-teman mungkin banyak yang tidak mengenal HIV/ AIDS sehingga
kita butuh alat peraga. Yang kedua semacam poster kita tempel di banjar-banjar. Saya pikir
memungkinkan untuk itu. Kemudian di suatu desa kita bertemu dan ngobrol biasa saja, sudah
melihat poster itu kita akan berbagi info. Kemudian nonton videonya.
Marianus Marchelus :
Memang susah berangkat dari hal seperti itu. Tetapi saya sepakat dengan Luh de tadi, kita mulai
dari apa yang kita bisa dulu, paling tidak spirit kebersamaan. Misalnya untuk konteks Denpasar.
Paling penting adalah pemetaan persoalan kemudian pemetaan kelompok strategis disana seperti
ada yayasan. Tetapi bagi kawan-kawan yang dari Denpasar akan ada spirit mulai dari apa yang kita
bisa. Saya kira kita berangkat dari pengalaman jangan sampai kita sudah membentuk wadah
kemudian terbentur dengan hal-hal teknis lalu kita mundur.
Listia :
Mungkin ini yang perlu. Ada persoalan yang agak rutin memikirkan bagaimana kita bisa melakukan
sesuatu berkaitan dengan isu HIV/ AIDS dan narkoba ini. Berarti dalam hal ini dengan membentuk
LSM, lalu mengadakan pertemuan yang agak rutin.
105
Bejo Utomo :
Saya kira apa yang saya sampaikan cukup konkrit namun masih ada yang mengambang. Artinya
bukan berarti saya terjebak dalam permasalahan teknis. Seperti contoh acara ini, ada berbagai pihak
yang secara sinergis bekerjasama. Artinya ada Ashram, Interfidei, Uluangkep, Citra Usadha,
mereka bekerja sesuai porsi-porsi dan ketika kita bicara rencana tindak lanjut kita jalan sesuai porsi
akhirnya akan gampang. Kita bermodal niat sebagai tenaga teknis, mungkin Ibu Tuti sebagai
donatur. Saya kira akan lebih konkrit. Misalkan kalau kita buat pamflet saya kira tidak mungkin.
Kalau pamflet misalnya Yayasan Citra Usadha punya pamflet dan kita bekerja bersama, saya kira
tidak akan terjebak masalah teknis.
Ujang Nuryanto :
Maksudnya adalah setelah kita bentuk itu baru kita bentuk renstra-nya. Soal waktu, target, siapa
yang mem-back up saya kira itu nanti kalau sudah ada komitmen untuk membentuk wadah yang
informal. Daripada kita selalu berkutat dengan hal teknis. Paling tidak awalnya kita punya spirit
berangkat dari hal-hal yang kita bisa.
Marianus Marchelus :
Saya kira spirit sudah ada. Seperti yang dikatakan Ujang dia sudah siap untuk wilayah Karangasem
kemudian kerjasama dengan Luh de dan teman-teman disini. Tadi Bejo bilang apakah nanti
beberapa orang-orang penting ini seperti Yayasan Citra Usadha, Ashram, Interfidei apakah
mendukung. Kami generasi muda biasa bekerja karena punya semangat, teknis memang tetapi ini
mengganggu proses atau kelancaran action-nya. Saya bukan bilang soal dana, yang tanpa dana pun
bisa kami buat tapi paling tidak ada suatu dukungan misalnya kalau di lapangan kami menemukan
kesulitan, paling tidak ada pihak yang kami bisa berkomunikasi. Jadi bukan berarti teknis soal uang.
Elga J. Sarapung :
Sebenarnya tadi sudah jelas bahwa kita perlu saling mendukung satu sama yang lain dan jangan
bersikap pesimis. Dari diskusi terakhir kita akan coba yang jangka pendek, kalau sepakat yang 6
bulan ke depan kita akan bikin apa. Kita akan mengadakan penyuluhan tempat di Tulamben,
Budakeling. Kita bisa daftar beberapa tempat untuk tahap ini. Kegiatannya ada penyuluhan, wadah
bersama (pokja kelompok antar iman), lalu mengadakan persiapannya di Ashram. Sesudah ini
kapan kita akan bertemu lagi disini untuk membicarakan lebih detail tentang bagaimana persisnya
kegiatan ini akan kita lakukan. Persiapan-persiapan kapan tanggalnya, siapa yang akan bicara,
siapa-siapa yang akan kita undang. Jadi lebih teknis ke pertemuan penyuluhan itu. Kita butuh sarana
atau alat-alat peraga yang mendukung. Target kita adalah kaum muda. Kalau kita sudah sepakat kita
106
menghubungi satu lokasi dulu baru kita memilih mana yang harus dipilih. Walaupun tadi ada
sedikit penjelasan kalau kita memilih Budakeling, kapan sesudah ini kita bikin pertemuan lagi.
I Nyoman Sadra :
Tambahan sedikit kalau dalam jangka pendek kita berbuat saya pikir yang paling mungkin kita
kerjakan sasarannya adalah sekolah SMA. SMA di daerah-daerah pariwisata karena pengaruh
wisata sangat besar, berupa narkoba dan seks bebas. Kalau Budakeling masih terisolasi dan
fanatisme terhadap hal-hal yang tabu cukup tinggi. Jadi yang rentan adalah daerah ini, kalau SMA,
kita pilih SMA Manggis, Darma Kerthi. Yang dua ini paling memungkinkan karena dekat Ashram.
Kalau kita mau mengadakan penyuluhan disana kita bisa koordinasi dengan kedua sekolah ini
karena pendirinya adalah saya.
Elga J Sarapung :
Sekarang ada dua usul namun target tetap sama yaitu kaum muda. Tapi sekarang kaum muda dalam
bentuk komunitas kaum muda yang ada di suatu desa, di suatu tempat. Tapi ada usul lain kita coba
ke sekolah-sekolah yaitu SMA. Lokasinya juga ada dua, apakah di Budakeling untuk kaum muda
yang secara umum atau di daerah wisata sekitar sini yaitu Manggis. Kegiatan yang sama,
penyuluhan dan saya kira yang lain sama. Wadah kita sementara kita namakan kelompok kerja. Kita
bentuk kegiatan nanti yaitu penyuluhan dimana membutuhkan alat-alat peraga yang memang
profesional.
I Nyoman Sadra :
Tambahan pertimbangannnya begini, kalau kita mengumpulkan anak-anak desa di seka teruna-
teruni mereka punya sangkepan tertentu. Kalau kebetulan pada hari mereka mengadakan pertemuan
orangnya Ibu Tuti tidak bisa saya kira akan menjadi tarik ulur. Saya kira kalau di sekolah jauh lebih
gampang dan di sekolah itu bukan berasal dari satu desa saja tapi sudah berasal dari beberapa desa
adat. Jadi getarannya semakin kuat.
Listia :
Yang ada dalam pikiran saya kelompok kerja ini tidak hanya melakukan satu kegiatan saja. Karena
ini pokja antar iman mungkin baik jika bersama-sama datang ke komunitasnya Ujang dan bicara
soal ini disana. Bersama-sama komunitas di Budakeling. Kemudian di komunitas Gereja karena ada
Suster, jadi suster yang juru bicara. Kalau kita ingin mengajak seka teruna kalau mereka tidak
mengerti juga percuma. Mungkin tidak kalau di antara waktu-waktu yang tersisa ada kunjungan-
kunjungan dalam pokja ini tidak hanya orang per orang tapi antar komunitas itu juga ada relasi.
107
Listia :
Jadi yang bicara cuma dari Citra Usadha dan nanti Suster berdasarkan dari gerejanya. Soal HIV-nya
nanti kita minta tolong teman-temannya Putu. Kita saling bantu dan bukan suster yang nanti
membahas HIV-nya.
Bejo Utomo :
Saya ingin memfokuskan ke hal itu. Mengenai usul saya, saya lebih menekankan pada usul pertama
saya yaitu ada semacam pelatihan atau pertemuan semacam ini, bukan penyuluhan. Misalnya 2 hari
dan pesertanya tokoh-tokoh kaum muda. Artinya setelah acara bisa mentransformasi apa yang
diperoleh oleh teman-teman. Saya kira ini lebih efektif dan sekali kerja jangkauannya sangat luas.
Dr.Tuti Parwati :
Sudah mulai tergambar, goresan-goresannya sudah mulai terbentuk, walaupun bentuknya masih ada
2 macam dimana yang satu fokusnya adalah HIV/ AIDS dan narkoba tapi yang lainnya tidak hanya
untuk HIV/ AIIDS dan narkoba tetapi juga supaya mendapat dampak sampingan daripada kegiatan
ini. Karena itu kelompok kerjanya antar iman. Jadi tidak satu kelompok yang kemudian menyuluh
ke kelompok masing-masing. Tapi kita ke suatu komunitas tertentu. Jadi kelihatan kita bisa bekerja
dengan baik, bersama-sama dalam action untuk menyentuh kemanusiaan yang kita semua perlu. Itu
suatu tindakan praktis, contoh yang tidak perlu dikampanyekan lagi dan merupakan contoh yang
kita bawa ke lapangan. Itu sebenarnya dampak sampingan yang tadi diusulkan. Disamping itu kalau
namanya pokja antar iman lalu isunya hanya terbatas tapi kita jangan memikirkan isu yang terbatas
108
dan hanya membicarakan itu-itu saja namun makin lama makin mulai dengan isu kemanusiaan.
Akhirnya kita sentuh mulai dengan HIV/ AIDS, narkoba yang semua kita akan alami sesudah itu
kita bicarakan. Mengenai pembicaranya siapa yang kita akan ajak harus dipilih, perlu menampilkan
ODHA, perlu menampilkan lembaga lain seperti yayasan atau lembaga lain yang kompeten untuk
memberikan informasi itu. Kita ajak mereka dan undang sehingga mereka terlibat juga dengan kita.
Misalnya dari Yayasan Citra Usadha kita minta mantan pecandu yang bicara. Tapi tetap ada
rencananya kapan.
Elga J Sarapung :
Kalau kita lihat usulan kita sudah semakin maju. Konsentrasi tetap pada HIV. Wadah ini kita
namakan pokja antar iman. Kegiatan yang akan kita adakan untuk langkah ke depan adalah
penyuluhan, diskusi bersama dan pelatihan. Tempat di komunitas masing-masing, bisa di sekolah-
sekolah maupun di kelompok desa. Sekretariat bersama adalah Gedong Gandhi Ashram. Kalau ini
bisa kita sepakati akan bagus.
Alfred Benediktus :
Saya mengusulkan bagaimana teman-teman membentuk tim pokja dulu nanti mereka yang
menentukan, baru setelah ini kita pertemuan dimana dan siapa yang akan terlibat supaya lebih
konkrit.
109
Bejo Utomo :
Saya kira dari ketiga kegiatan itu terlalu banyak yang kita pikirkan. Saya kira harus mengambil satu
kegiatan yang kita putuskan sekarang, itu yang pertama. Kemudian yang kedua mengenai
pertemuan saya sudah bicara dengan Ujang. Sebenarnya dalam pokja antar iman ini perlu
koordinator teknis. Saya sepakat Ujang, ini langsung konkrit karena Ujang sering ke Denpasar,
kalau boleh minta ijin Bapak Sadra pertemuannya di Ashram karena lebih enak dan dekat dengan
teman-teman yang lain.
Ujang Nuryanto :
Menurut penilaian saya Ida Nyoman Triatmaja kayaknya mantap dan lebih konkrit untuk menjadi
koordinator. Karena disini mungkin mayoritas Hindu, kalau pakai embel-embel kejawaan seperti
nama saya kurang mendapat respon dari masyarakat. Kita coba koordinatornya yang lokal.
Luh De Suriyani :
Ini komitmen pribadi yang bersifat sangat manusiawi, menggugah rasa kemanusiaan siapa pun.
Semua orang kerja, semua orang sibuk namun komitmen pribadi saya, saya akan mulai dari
komunitas yang terdekat dengan saya karena rasa primodial atau rasa feodal itu tidak bisa
dipungkiri. Kadang-kadang rasa emosional kita lebih nyaman di tempat yang terdekat dengan kita.
Menurut pribadi saya, saya akan coba mengumpulkan alat-alat peraga dari teman-teman di
Denpasar kemudian minta penjelasan dari Ibu Tuti. Saya akan drop ke dusun Pekarangan. Yang
kedua pokja antar iman, baiklah saya akan coba datang.[]