You are on page 1of 32

http://sigodang.blogspot.com/2008/11/variasi-bahasa.

html

Variasi Bahasa
Variasi Bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang
dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan
dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi
bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya
keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi
variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan
keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi
fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka raga.
Namun Halliday membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai (dialek) dan
pemakaian (register).
Chaer (2004:62) mengatakan bahwa variasi bahasa itu pertama-tama
kita bedakan berdasarkan penutur dan penggunanya, Adapun penjelasan variasi
bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Variasi bahasa dari segi penutur
a. Variasi bahasa idioiek
Variasi bahasa idioiek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan. Menurut
konsep idioiek. setiap orang mempunyai variasi bahasa atau idioleknya masing-
masing.
b. Variasi bahasa dialek
Variasi bahasa dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu.
Umpamanya, bahasa Jawa dialek Bayumas, Pekalongan, Surabaya, dan lain
sebagainya.
c. Variasi bahasa kronolek atau dialek temporal
Variasi bahasa kronolek atau dialek temporal adalah variasi bahasa yang
digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, variasi bahasa
Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada tahun lima
puluhan, dan variasi bahasa pada masa kini.
d. Variasi bahasa sosiolek
adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial
para penuturnya. Variasi bahasa ini menyangkut semua masalah pribadi para
penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan,
keadaan sosial ekonomi, dan lain scbagainya.
e. Variasi bahasa berdasarkan usia
Variasi bahasa berdasarkan usia yaitu varisi bahasa yang digunakan berdasarkan
tingkat usia. Misalnya variasi bahasa anak-anak akan berbeda dengan variasi
remaja atau orang dewasa.
f. Variasi bahasa berdasarkan pendidikan, yaitu variasi bahasa yang terkait dengan
tingkat pendidikan si pengguna bahasa. Misalnya, orang yang hanya
mengenyam pendidikan sekolah dasar akan berbeda variasi bahasanya dengan
orang yang lulus sekolah tingkal atas. Demikian pula, orang lulus pada tingkat
sekolah menengah atas akan berbeda penggunaan variasi bahasanya dengan
mahasiswa atau para sarjana.
g. Variasi bahasa berdasarkan seks
Variasi bahasa berdasarkan seks adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis
kelamin dalam hal ini pria atau wanita. Misalnya, variasi bahasa yang digunakan
o!eh ibu-ibu akan berbeda dengan varisi bahasa yang digunakan oleh bapak-
bapak.
h. Variasi bahasa berdasarkan profesi, pekerjaan, atau tugas para penutur Variasi
bahasa berdasarkan profesi adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis
profesi, pekerjaan dan tugas para penguna bahasa tersebut. Misalnya, variasi
yang digunakan oleh para buruh, guru, mubalik, dokter, dan lain sebagninya
tentu mempunyai perbedaan variasi bahasa.
i. Variasi bahasa berdasarkan tingkat kebangsawanan
Variasi bahasa berdasarkan lingkal kebangsawanan adaiah variasi yang lerkail
dengan lingkat dan kedudukan penuliir (kebangsawanan atau raja-raja) dalam
masyarakatnya. Misalnya, adanya perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh
raja (keturunan raja) dengan masyarakat biasa dalam bidang kosa kata, seperti
kata mati digunakan untuk masyarakat biasa, sedangkan para raja menggunakan
kata mangkat.
j. Variasi bahasa berdasarkan tingkat ekonomi para penutur
Variasi bahasa berdasarkan tingkat ekonomi para penutur adalah variasi bahasa
yang mempunyai kemiripan dengan variasi bahasa berdasarkan tingkat
kebangsawanan hanya saja tingkat ekonomi bukan mutlak sebagai warisan
sebagaimana halnya dengan tingkat kebangsawanan. Misalnya, seseorang yang
mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi akan mempunyai variasi bahasa yang
berbeda dengan orang yang mempunyai tingkat ekonomi lemah. Berkaitan
dengan variasi bahasa berdasarkan tingkat golongan, status dan kelas sosial para
penuturnya dikenal adanya variasi bahasa akrolek, basilek, vulgal, slang,
kulokial, jargon, argoi, dan ken. Adapun penjelasan tentang variasi bahasa
tersebut adalah sebagai berikut:
1. akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi
darivariasi sosial lainya;
2. basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan
dipandang rendah;
3. vulgal adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pada pemakai bahasa yang
kurang terpelajar atau dari kalangan yang tidak berpendidikan;
4. slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia;
5. kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari yang
cenderung menyingkat kata karena bukan merupakan bahasa tulis. Misalnya dok
(dokter), prof (profesor), let (letnan), nda (tidak), dll
6. jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok sosial
tertentu. Misalnya, para montir dengan istilah roda gila, didongkrak, dll;
7. argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh profesi tertentu dan
bersifat rahasia. Misalnya, bahasa para pencuri dan tukang copet kaca mata
artinya polisi;
8. ken adalah variasi sosial yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek penuh
dengan kepura-puraan. Misalnya, variasi bahasa para pengemis.
2. Variasi bahasa dari segi pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau funsinya disebut
fungsiolek atau register adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu
digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer,
pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Variasi bahasa dari segi
pemakaian ini yang paling tampak cirinya adalah dalam hal kosakata. Setiap
bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan
dalam bidang lain. Misalnya, bahasa dalam karya sastra biasanya menekan
penggunaan kata dari segi estetis sehingga dipilih dan digunakanlah kosakata
yang tepat.
Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat
sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan
mudah; komunikatif karena jurnalis harus menyampaikan berita secara tepat;
dan ringkas karena keterbatasasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan
waktu (dalam media elektronik). Intinya ragam bahasa yang dimaksud di atas,
adalah ragam bahasa yang menunjukan perbedaan ditinjau dari segi siapa yang
menggunakan bahasa tersebut.
3. Variasi bahasa dari segi keformalan
Variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya, Chaer (2004:700)
membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu:
a. Gaya atau ragam beku (frozen)
Gaya atau ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang
digunakan pada situasi-situasi hikmat, misalnya dalam upacara kenegaraan,
khotbah, dan sebagai nya.
b. Gaya atau ragam resmi (formal)
Gaya atau ragam resmi adalah variasi bahasa yang biasa digunakan pada pidato
kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat, dan lain sebagainya.
c. Gaya atau ragam usaha (konsultatif)
Gaya atau ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim
dalam pembicaraan biasa di sekoiah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang
berorientasi pada hasil atau produksi.
d. Gaya atau ragam santai (casual)
Gaya bahasa ragam santai adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi
yang tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib
pada waktu istirahat dan sebagainya.
e. Gaya atau ragam akrab (intimate)
Gaya atau ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para
penutur yang hubungannya sudah akrab. Variasi bahasa ini biasanya pendek-
pendek dan tidak jelas.
f. Variasi bahasa dari segi sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan.
Misalnya, telepon, telegraf, radio yang menunjukan adanya perbedaan dari
variasi bahasa yang digunakan. salah satunya adalah ragam atau variasi bahasa
lisan dan bahasa tulis yang pada kenyataannya menunjukan struktur yang tidak
sama.

http://16arief.wordpress.com/2009/03/31/pengertian-
bilingualismkedwibahasaan/

A. Arti Kedwibahasaan
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang
dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua
bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosialinguistik secara umum, bilinguslisme
diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman
1975:73).
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai
kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya
(disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa
keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu
disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga
dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa
disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).
Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah
multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni
keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya
dengan orang lain secara bergantian.
B. Definisi Kedwibahasaan
Telah diketahui bahwa secara harfiah kedwibahasaan adalah kebiasaan
menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dibawah ini adalah
pendapat-pendapat atau definisi tantang kedwibahasaan oleh para pakar ahlinya.
Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut:
1. Robert Lado (1964-214)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau
hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan
dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
2. MacKey (1956:155)
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa.
Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau
lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same
individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan
kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal,
semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
3. Hartman dan Stork (1972:27)
Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau
masyarakat ujaran. 4. Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang
sama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai
penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two
languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama
seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.
5. Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka
pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik
secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.
Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two
languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding
without speaking.
6. Oksaar
Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus
diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya
masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa
Belanda dan Perencis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan
bahasa Swedia. Di Montreal Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara
bergantian oleh warganya, sehingga warga montreal dianggap sebagai
masyarakat dwibahasawan murni. Jadi dapat diambil kesimpulan dari definisi-
definisi diatas bahwa kedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua
bahasa atau lebih oleh seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan
secara bergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa
secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu
atau oleh masyarakat.
C. Pembagian Kedwibahasaan
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi
kedwibahasaan, yaitu :
1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu
bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain.
Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai
oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri
sendiri-dendiri.
2. Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama
baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf
penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai
B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan
dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan
didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil
ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya. Ada beberapa pendapat lain oleh
pakar kedwibahasaan dalam tipologi kdwibahasaan diantaranya adalah:
1. Baeten Beardsmore (1985:22)
Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception
bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang
sedang dalam proses menguasai B2.
2. Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam
masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
a. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing
bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan
maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b. Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang
berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama
tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku
yang dipakai oleh masyarakat itu.
3. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)
Tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan
kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
a. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif
atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua
bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa
(menyimak, berbicara, membaca, dan menulis)
b. Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif
atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism)

Kedwibahasaan dan Diglosia

Kajiaan Teoretis

Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan


(Chaer, 2004:84). Dari istilah yang dikemukakan oleh Chaer di atas, dapat
dipahami bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan
pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari.
Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan
atau bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (Aslinda dkk., 2007:23), ia
menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‘The practice of alternately using two
language’, yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara
bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian
menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut
dengan kelancaran yang sama. Artinya bahasa kedua tidak dikuasai dengan
lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan
bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat
individu mengenal bahasa tersebut.
Hal di atas tidak sejalan dengan pengertian bilingualisme menurut
Bloomfield (Aslinda dkk., 2007:23) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan
adalah native like control of two languages. Menurut Bloomfiled mengenal dua
bahasa berarti mampu menggunakan dua sistem kode secara baik. Pendapat
Bloomfiled tersebut tidak disetujui atau masih banyak dipertanyakan karena
syarat dari native like control of two languages berarti setiap bahasa dapat
digunakakn dalam setiap keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama
seperti bahasa pertama yang digunakan penuturnya.
Selain kedua pengertian menurut dua ahli di atas, ada juga Diebold (Chaer,
2004:86) yang menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada
tingkat awal (incipient bilingualism). Menurut Diebold, bilingualisme tingkat
awal ini ‘…yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama oleh
anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan.
Pada tahap ini bilingualisme masih sederhana dan dalam tingkat rendah’.
Jika melihat pernyataan Diebold, benar kiranya apabila kedwibahasaan
yang banyak digunakan oleh orang-orang adalah kedwibahasaan atau
bilingualisme pada tingkat awal. Dalam kegiatan sehari-hari tentunya kita pun
tanpa disadari hampir selalu melaksanakan bilingualisme pada tingkat awal ini.
Namun, kebanyakan orang pada masa sekarang cenderung tidak menguasai
kedua bahasa yang digunakannya dengan tepat.
Selain itu, Chaer (2004:86) mengutip pendapat Lado bahwasanya
bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang sama
baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan
dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya. Pendapat Lado tersebut rasanya
mendukung pernyataan Diebold tentang incipient bilingualisme, karena Lado
tidak menyebutkan sebagaimana Bloomfiled bahwa penguasaan seseorang yang
menganut bilingualisme terhadap bahasa keduanya harus sama dengan bahasa
pertama yang digunakan.
Terlepas dari ada atau tidaknya pengetahuan seseorang mengenai sistem
kedua bahasa yang digunakan, setidaknya penutur telah mengenal bahasa atau
istilah-istilah bahasa yang digunakannya. Hal itu senada dengan Chaer
(2004:84) yang mengemukakan,
Untuk dapat menguasai dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua
bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat
B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya
(disingkat B2).
Selanjutnya, Mackey dan Fishman (Chaer, 2004:87), menyatakan dengan
tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara
bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur.
Menurut Mackey dan Fishman, dalam membicarakan kedwibahasan tercakup
beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode,
percampuran/campur kode, interferensi, dan integrasi. Pengertian bilingualisme
menurut Mackey dan Fishman inilah yang dirasa sangat relevan bagi penulis.
Permasalahan mengenai kedwibahasaan kiranya terasa erat sekali dengan
perkembangan kebahasaan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa
Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka (bahasa
daerah) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Penggunaan bahasa
daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama, sementara penggunaan
bahasa Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa kedua. Penggunaan
bahasa yang seperti itu disebut sebagai diglosia (Aslinda dkk., 2007:26).
Pengertian diglosia boleh dikatakan sama dengan bilingualisme, tetapi
diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur,
yakni terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam. Berkenaan dengan
hal di atas, Ferguson (Alwasilah, 1990:136) memberikan batasan diglosia seperti
di bawah ini.
Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari
dialek-dialek utama suatu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku
atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda,
sangat terkodifikasikan (sering kali secara gramatik lebih kompleks) dan lebih
tinggi, sebagai wahana dalam keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan
dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran
lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan
dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian
masyarakat apa pun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa.
Dari penjelasan di atas, persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia
adalah persoalan dialek yang terdapat dalam masyarakat tutur, misalnya dalam
suatu bahasa terdapat dua variasi bahasa yang masing-masing ragamnya
mempunyai peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam variasi
tersebut bergantung kepada situasi.
1. Bilingualisme atau Kedwibahasaan

Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannnya dua buah


bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang biasa dibahas apabila
membicarakan bilingualisme.
Jika melihat batasan bilingualisme yang dipaparkan oleh Bloomfield
(Aslinda, 2007:23), seseorang dapat disebut sebagai bilingual apabila mampu
menggunakan B1 (bahasa pertama atau bahasa ibu) dan B2 (bahasa kedua)
dengan sama baiknya. Namun, permasalahannya bagaimana cara mengukur
kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap penguasaan kedua bahasa
yang digunakannya? Selanjutnya, yang menjadi permasalahan adalah
mungkinkah seseorang dapat menggunakan B2-nya dengan kualitas yang sama
baik dengan B1-nya. Apabila ditemui penutur yang mampu menguasai B2-nya
sama baik dengan B1-nya, maka penutur tersebut tentunya mempunyai
kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menggunakan kedua bahasa
tersebut.
Pada pembahasan ini, selanjutnya kita akan membahas pendapat yang
dikemukakan oleh Mackey yang menyebutkan bahwa dalam membicarakan
kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi,
pertukaran atau alih kode, percampuan atau campur kode, interferensi, dan
integrasi.
Pertama, masalah tingkat kaitannya adalah dengan sejauh mana sesorang
mampu menjadi seorang dwibahasawan atau sejauh mana seseorang mampu
mengetahui bahasa yang dipakainya. Masalah tingkat dalam pembahasan
bilinguaisme menurut Alwasilah (1990:125) berkaitan dengan tingkat
kemampuan berbahasa seseorang. Kemampuan berbahasa seseorang akan
nampak dari empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis. Menurutnya, dalam keempat keterampilan tersebut akan
mencakup fonologi, gramatik, leksis, semantik, dan stailistik. Jika diambil
kesimpulan, masalah tingkat ini adalah masalah yang berkaitan dengan
pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap bahasa yang dipakainya.
Kedua, fungsi kaitannya dengan pengertian untuk apa seseorang
menggunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam kehidupan pelakunya. Hal
ini berkaitan dengan kapan seseorang yang bilingual menggunakan kedua
bahasanya secara bergantian. Masalah fungsi ini menyangkut masalah pokok
sosiolinguistik yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan,
dan dengan tujuan apa (Chaer, 2004:88). Penggunaan bahasa pertama oleh
seorang penutur, misalnya bahasa pertamanya bahasa Sunda, hanya akan
digunakan dengan semua anggota masyarakat tutur yang menggunakan bahasa
Sunda pula. Penggunaan bahasa pertama tersebut juga akan terbatas hanya pada
situasi-situasi tertentu, misalnya ketika dalam percakapan sehari-hari dalam
ruang lingkup keluarga dan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat biasa.
Namun, dalam situasi-situasi tertentu pula bahasa pertama tidak dapat
digunakan. Misalnya dalam kegiatan pendidikan di sekolah, walaupun guru dan
murid menggunakan B1 yang sama (misalnya Bahasa Jawa), akan tetapi dalam
hal ini hanya bahasa Indonesialah yang dapat digunakan, sebab bahasa
Indonesia yang menjadi bahasa kedua guru dan murid tersebut merupakan
bahasa nasional yang berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Ketiga, pertukaran atau alih kode adalah sampai seberapa luaskah
seseorang dapat mempertukarkan bahasa-bahasa itu dan bagaimana seseorang
dapat berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain. Keempat, campur kode terjadi
bilamana seseorang mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa
dalam suatu situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa. Pertukaran
atau alih kode biasanya selalu berkaitan dengan percampuran atau campur kode.
Campur kode biasanya terjadi dalam situasi-situasi yang santai atau nonformal.
Dalam situasi berbahasa yang formal jarang terjadi campur kode, kalaupun
terjadi campur kode itu hanya sebagai akibat tidak adanya padanan yang tepat
dalam bahasa yang sedang digunakan.
Kelima, interferensi adalah bagaimana seseorang yang menganut
bilingualisme menjaga bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan seberapa jauh
seeorang itu mampu mencampuradukkan serta bagaimana pengaruh bahasa yang
satu dalam penggunaan bahasa lainnya. Interferensi berarti adanya saling
mempengaruhi antarbahasa. Interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata
bahasa, kosakata dan makna bahkan budaya – baik dalam ucapan maupun
tulisan – terutama kalau seseorang sedang mempelajari bahasa kedua
(Alwasilah, 1990:131). Ciri yang menonjol dalam interferensi adalah
peminjaman kosakata dari bahasa lain, alasannya adalah perlunya kosakata
untuk mengacu pada obyek, konsep, atau tempat baru. Maka, meminjam
kosakata dari bahasa lain akan lebih mudah daripada menciptakan kosakata
baru. Hanya saja, kosakata-kosakata hasil pinjaman yang biasa dipakai dalam
bahasa Indonesia telah disesuaikan ejaannya dengan ejaan bahasa Indonesia.
Keenam, integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah
dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya shingga
pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa asing.
Pengintegrasian unsur serapan ke dalam suatu bahasa tidak sama pada setiap
wilayah. Adakalanya integrasi hanya terjadi pada suatu dialek, bahkan
adakalanya integrasi itu terjadi pada sebuah desa asalkan unsur tersebut
menunjukkan ciri-ciri integrasi. Istilah integrasi ini sama halnya dengan istilah
konvergensi menurut Alwasilah (1990:134). Ia mengutip pengertian konvergensi
dari Webster’s New Collegiate Dictionary sebagai ‘kegiatan bertemu dan
terutama bergerak menuju kesatuan dan keseragaman’. Konvergensi ini sebagai
tindak lanjut dari interferensi. Apabila kosakata hasil pinjaman tersebut sudah
disetujui, ini berarti kata-kata itu telah dikonversi ke dalam bahasa baru, yaitu
telah bertemu dan masuk ke dalam bahasa baru.
2. Diglosia

Jika dalam bahasa Indonesia hanya terdapat satu ragam baku, maka dalam
bahasa tertentu ditemukan situasi yang berbeda yang di dalamnya terdapat dua
ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati. Hal tersebut biasa disebut
sebagai diglosia. Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus ketika
dua ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat
bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu.
Pembahasan diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam bahasa rendah
(ditandai dengan R) dan ragam bahasa tinggi (ditandai dengan T) dalam suatu
kelompok masyarakat.
Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi
masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam
situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran
berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa
rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-
hari dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam
sastra rakyat.
Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa
dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali,
Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda
dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur
tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag
(ragam kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang
atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat
paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya
mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat
pemakainya.
Ragam-ragam tersebut menduduki fungsi sosial, walaupun sekarang fungsi
sosial tersebut sulit dicari. Dahulu, ragam bahasa seperti dalam bahasa Sunda
dan bahasa Jawa benar-benar digunakan sesuai dengan tingkatan sosial
masyarakatnya juga sesuai situasi. Dalam bahasa Jawa misalnya, krama inggil
dipakai untuk sastra (termasuk tembang), sedangkan untuk percakapan sehari-
hari menggunakan bahasa ngoko. Begitu juga dalam bahasa Sunda, ketika
seorang anak berbicara dengan seorang guru tidak bisa menggunakan bahasa
loma, tetapi harus menggunakan bahasa lemes. Namun, sekarang hal tersebut
sulit sekali untuk dicari.
Pemakaian suatu ragam dalam bahasa-bahasa daerah itu bukan didasarkakn
atas topik pembicaraan, melainkan oleh siapa (golongan atau kelas) dan untuk
siapa. Dalam masayarakat Bali, terdapat kasta-kasta dalam masyarakatnya, ada
suatu aturan pemakaian ragam bahasa. Misalnya, kasta rendah harus
menggunakan bahasa rendah untuk sesamanya dan bahasa tinggi untuk kasta
yang lebih tinggi.
Namun, menurut Fishman dalam Sumarsono (2007:39), pengertian diglosia
seperti telah dibahas di atas merupakan teori yang sudah dianggap klasik. Jika
menurut Ferguson, diglosia itu mengacu kepada kondisi ‘dua ragam dalam satu
bahasa hidup berdampingan dalam guyup bahasa, dan masing-masing ragam
itu mempunyai peran atau fungsi tertentu’, maka Fishman mengembangkan
gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas. Menurutnya, diglosia
adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada pendistribusian lebih dari
satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai tugas-tugas komunikasi
berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada perbedaan
linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya
dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda.
Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu
mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula.
Dicontohkan Sumarsono (2007:40), di sebuah kota besar di Indonesia
terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping
bahasa Indonesia. Menurut Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda dengan
bahasa Indonesia dan msing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula.
Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan
dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan
bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai
misalnya dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja
(bahasa resmi dalam rapat), dan dalam ranah keagamaan (khotbah).

http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-
kemerdekaan/interferensi-dan-integrasi/

INTERFERENSI DAN INTEGRASI BAHASA


Oleh pusatbahasaalazhar

1. Pendahuluan
Bahasa selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan
perubahan itu terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya.
Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kontak pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan
lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh bahasa yang lain.
Proses saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain
tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat
lepas dari masalah di atas. Saling mempengaruhi antarbahasa pasti terjadi,
misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu memiliki
sifat terbuka. Menurut Weinrich (dalam Chaer dan Agustina 1995:159) kontak
bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama
secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencakup semua tataran.
Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi
terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito (1985:39-40)
mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian
oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam keadaan
saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling mempengaruhi
antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan
muncul, baik secara lisan maupun tertulis.

Adanya kedwibahasaan juga akan menimbulkan adanya interferensi dan


integrasi bahasa. Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan
yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih
dari satu bahasa, yang disebabkan karena adanya kontak bahasa.

Selain kontak bahasa, faktor penyebab timbulnya interferensi menurut Weinrich


(dalam Sukardi 1999:4) adalah tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam
menghadapi kemajuan dan pembaharuan. Selain itu, juga menghilangnya kata-
kata yang jarang digunakan, kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa
sumber. Kedwibahasaan peserta tutur dan tipisnya kesetiaan terhadap bahasa
penerima juga merupakan faktor penyebab terjadinya interferensi.

2. Interferensi dan Integrasi

2.1 Interferensi

Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan


rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang
disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran)
suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata
bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa
interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang
tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis),
kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito,1985:55).

Interferensi, menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi


sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke
dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995:
168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma
dari salah satu bahasa atau lebih.

Untuk memantapkan pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini


akan diketengahkan pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sisiolinguistik yang
telah mendefinisikan peristiwa ini.

Menurut pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh


Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan
dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain
yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya
penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem
bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat
bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan,
menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai
akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam
bahasa atau dialek kedua.

Abdulhayi (1985:8) mengacu pada pendapat Valdman (1966) merumuskan


bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan
pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari
(bahasa kedua). Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur
negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.

Pendapat lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131)


mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan
Stonk, bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya
kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa
lain mencakupi pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata. Suhendra
Yusuf (1994:67) menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan
interferensi antara lain perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman
kosakata.

Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187) menyatakan bahwa


interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa
lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi
(fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik
bahasa penerima.

Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling


dominan dalam perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan
kosakata seperti bahasa Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak
dapat terlepas dari interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan
budaya dan alam lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa yang
satu kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi
juga tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima.

Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga
ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/
kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap
bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa.
Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna
dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap
keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar
belakang munculnya interferensi.

Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi,
morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu
dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165)

Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur


pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup
unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau
bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa
sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.

Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan
beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya.
Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber.
Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik.

Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat
disimpulkan bahwa.

1. kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan


dwibahasawan.
2. interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam
bahasa lain
3. unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat
menimbulkan dampak negatif, dan
4. interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang
geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).

Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain


yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari
bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan
(Chaer dan Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115)
menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan
dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat
keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah
dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu
sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa
penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.

Suwito (1983:54), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi


pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi
pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan.
Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-
unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya dalam bahasa penyerap,
sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap,
diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim.

Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling


dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett
tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan
perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat terjadi di semua
komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata,
dan tatamakna Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses
interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu:

1. bahasa sumber atau bahasa donor


2. bahasa penyerap atau resipien
3. unsur serapan atau importasi

Interferensi dalam bidang fonologi

Contoh : jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat
yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata Bandung, Deli,
Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan
/mBandung/, /nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.

Interferensi dalam bidang morfologi

Interferensi morfologi dipandang oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang
paling banyak terjadi.Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan
menyerap afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada
kata kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran,
duaan. Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena
bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul,
tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah
(bubar), dan berdua.Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses
pembentukan kata yang disebut interferensi morfologi tersebut mempunyai
bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-sfiks dari bahasa
daerah atau bahasa asing.

Interferensi dalam bentuk kalimat

Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi. Hal ini memang perlu dihindari
karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa.
Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau
Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu
kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada
padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali
yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah
saya katakan kepadamu kemarin.Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan
karena ada padanan konteks dari bahasa donor, misalnya: Omahe bapake Ali
sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya
Interferensi Semantik

Berdasarkan bahasa resipien (penyerap) interferensi semantis dapat dibedakan


menjadi,

1. Jika interferensi terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural


beserta namanya dari bahasa lain, yang disebut sebagai perluasan (ekspansif).
Contohnya kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-
Latin.
2. Yang perlu mendapat perhatian, interferensi harus dibedakan dengan alih
kode dan campur kode. Alih kode menurut Chaer dan Agustina (1995:158)
adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur
karena adanya sebab-sebab tertentu, dan dilakukan dengan sengaja. Sementara
itu, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling
memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara
konsisten. Interferensi merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi
sebagai akibat pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang
dwibahasawan, yaitu penutur yang mengenal lebih dari satu bahasa. Penyebab
terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa
tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain (Chaer,1995:158). Biasanya
interferensi terjadi dalam penggunaan bahasa kedua, dan yang menginterferensi
adalah bahasa pertama atau bahasa ibu

2.1.1 Jenis Interferensi

Interferensi merupakan gejala umum dalam sisiolinguistik yang terjadi sebagai


akibat dari kontak bahasa, yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih dalam
masyarakat tutur yang multilingual. Hal ini merupakan suatu masalah yang
menarik perhatian para ahli bahasa. Mereka memberikan pengamatan dari sudut
pandang yang berbeda beda. Dari pengamatan para ahli tersebut timbul
bermacam-macam interferensi.

Secara umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi menjadi lima macam,


yaitu
(1) Interferensi kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh
dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing
sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman
baru.

(2) Interferensi semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan


kata yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.

(3) Interferensi leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata


pinjaman atau integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan
interferensi belum dapat diterima sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur
leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat
mengganggu.

(4) Interferensi fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.

(5) Interferensi gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan


sintaksis.

Interferensi menurut Jendra (1991:106-114) dapat dilihat dari berbagai sudut


sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:

(1) Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan

Kontak bahasa bisa terjadi antara bahasa yang masih dalam satu kerabat
maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga
disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya
interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi
antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga
(external interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan
bahasa Indonesia.

(2) Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan

Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa
penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk
menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi yang timbal
balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada
pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa
lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini disebut interferensi
reseptif.

(3) Interferensi ditinjau dari segi pelaku

Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap


sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan bahasa karena unsur serapan itu
sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau
reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan atau
performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa
asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.

(4) Interferensi ditinjau dari segi bidang.

Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa merasuk ke dalam secara


intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem
bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan
perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik.
Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada
sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat
(sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna
(semantik).

Dennes dkk. (1994:17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi


interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut.

(1) Peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam
peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa yang
unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima
disebut bahasa peminjam.

(2) Penggantian unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu


tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu bahasa
disalin ke dalam bahasa lain yang disebut substitusi.

(3) Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B


juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan
ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A.
(4) Perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B
tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan fungsi
morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa A

Menurut Chair interferensi terdiri atas dua macam, yaitu (1) interferensi reseptif,
yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi unsur-unsur bahasa A, dan
(2) interferensi produktif, yakni wujudnya berupa penggunaan bahasa A tetapi
dengan unsur bahasa B.

Jendra (1991:108) membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan,


antara lain

1. interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)


2. interferensi pada tata bentukan kata (morfologi)
3. interferensi pada tata kalimat (sintaksis)
4. interferensi pada kosakata (leksikon)
5. interferensi pada bidang tata makna (semantik)

Menurut Jendra (1991:113) interferensi pada bidang semantik masih dapat


dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yakni

(1) Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah


ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur
bahasa sumber.

(2) Interferensi semantik penambahan (semantic aditif interference).


Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk
lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.

(3) Interferensi semantik penggantian (replasive semantic interference).


Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti
konsep lama.

Yusuf (1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi empat jenis, yaitu

(1) Interferensi Bunyi (phonic interference)

Interferensi ini terjadi karena pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam bahasa
yang lain dalam tuturan dwibahasawan.
(2) Interferensi tata bahasa (grammatical interference)

Interferensi ini terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasi morfem atau tata


bahasa pertama kemudian menggunakannya dalam bahasa keduanya.

(3) Interferensi kosakata (lexical interference)

Interferensi ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya terjadi pada kata
dasar, tingkat kelompok kata maupun frasa.

(4) Interferensi tata makna (semantic interference)

Interferensi ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (a) interferensi perluasan
makna, (b) interferensi penambahan makna, dan (c) interferensi penggantian
makna.

Huda (1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi


interferensi atas empat macam, yaitu

(1) mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,

(2) adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya
pemindahan,

(3) penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama,

(4) kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada


equivalensi dalam bahasa pertama.

2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi

Selain kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:

(1) Kedwibahasaan peserta tutur

Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan


berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun
bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur
yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2) Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima

Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan


menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah
bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber
yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul
bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur,
baik secara lisan maupun tertulis.

3) Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima

Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada


pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang
bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika
masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan
mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai
kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka
menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara
sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber
untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau
terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru
dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.

Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan


secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari
interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut
memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa
penerima.

4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan

Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan


menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan
menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru
dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah
menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu
penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang
dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak
cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman
itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam
bahasa penerima.

5) Kebutuhan akan sinonim

Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni
sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang
sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan
adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi
kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara
berulang-ulang.

Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan
interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari
bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan
demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya
interferensi.

6) Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa

Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena


pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa
yang dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan
dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi
yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa
sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan

7). Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu

Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang
digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan
kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada
dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun
bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-
kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang
pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang
muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan
dikuasainya.

2.2 Integrasi

Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah


merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya
(Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata
dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.

Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit


dibedakan dari interferensi. Chair dan Agustina (1995:168) mengacu pada
pendapat Mackey, menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain
yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari
bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.

Mackey dalam Mustakim (1994:13) mengungkapkan bahwa masalah


interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat diukur. Menurutnya,
interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan adanya integrasi, yang juga
bersifat nisbi. Dalam hal ini, kenisbian integrasi itu dapat diketahui dari suatu
bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang menganggap bahwa bentuk leksikal
tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah orang yang lain menganggap belum.

Senada dengan itu, Weinrich (1970:11) mengemukakan bahwa jika suatu unsur
interferensi terjadi secara berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau
sekelompok orang sehingga semakin lama unsur itu semakin diterima sebagai
bagian dari sistem bahasa mereka, maka terjadilah integrasi. Dari pengertian ini
dapat diartikan bahwa interferensi masih dalam proses, sedangkan integrasi
sudah menetap dan diakui sebagai bagian dari bahasa penerima.

Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan


keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur
serapan atau interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima,
dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut
belum tercantum dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.

Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau
kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya.
Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa
saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat
apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan
dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat
berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu
menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya.
Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan
penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu penyesuaian unsur integrasi
tergantung pada tiga faktor antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem
bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri,
apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3)
sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.

3. Penutup

Meskipun berbeda, antara interferensi dan integrasi sebenarnya memiliki sisi


yang sama, yaitu bahwa keduanya merupakan gejala bahasa yang terjadi sebagai
akibat adanya kontak bahasa. Integrasi dan interferensi memiliki persamaan
-persamaan antara lain bahwa baik gejala interferensi maupun integrasi bisa
terjadi pada keempat tataran kebahasaan yaitu fonologi, gramatika, kosakata dan
semantik.

http://anaksastra.blogspot.com/2009/02/alih-kode-dan-campur-kode.html

A. Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam
hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada
bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga
mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa
Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas
sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan
kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya
sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau
register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak)
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan
dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan
kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
B. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu
kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa
Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode
merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa
(languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam
masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya
menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa
masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan
masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel
memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian
bahasa karena perubahan situasi.
Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
1. alih kode ekstern
bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa
Inggris atau sebaliknya dan
2. alih kode intern
bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko
merubah ke krama.

Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:


1. Penutur
seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap
mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari
resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur
mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan
penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila
mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih
kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur
ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila
latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan
dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang
bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan
gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat
informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit
emosional, dan serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor
biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya
bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi
walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-
situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode,
sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung
tidak komunikatif.

C. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur
menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu
tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya
berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang
sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa
terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa
tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan
menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu
fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan
(linguistic convergence).

Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala
variasinya
2. Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang
berasal dari bahasa asing.

Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi


dua, yaitu
1. sikap (attitudinal type)
latar belakang sikap penutur
2. kebahasaan(linguistik type)
latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan
identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan
timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi
bahasa.
Beberapa wujud campur kode,
1. penyisipan kata,
2. menyisipan frasa,
3. penyisipan klausa,
4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan
asing).

D. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode


Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini
lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan
dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup
nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang
digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan
dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu
sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar
yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode
yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah
berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai
sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama
atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa
dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga
tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila
dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu
bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi
apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan
terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid
phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi
mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.

Language planning is a delinerate affort to influence the function, structure,or


acquisition of a language or language varietywithin a speech community.
Perencanaan bahasa adalah suatu usaha untuk memengaruhi fungsi, sruktur, atau
penyerapan satu bahasa atau jenisnya di dalam pembicaraan masyarakat.
Language engineering is the creation of natural language processing systems
whose cost and outputs are measurable and predictable as well as establishment
of regulators, such as formal orinformal agencies, committees, societies or
academies as language regulators.

You might also like