You are on page 1of 2

Selasa, 23 Agustus 2005

Kurikulum 2004: Guru dan Siswa sebagai Komunitas Belajar


Oleh Leo Sutrisno

KURIKULUM 2004 secara berangsur-angsur akan diterapkan di seluruh sekolah di


Indonesia. Saat ini, ada sejumlah sekolah yang ditetapkan sebagai 'pilot' (baca:
percobaan), ada sejumlah sekolah yang dengan sukarela menerapkannya, dan ada banyak
sekolah yang sedang melakukan proses sosialisasi Kurikulum 2004. Secara umum, setiap
kurikulum mengandung tiga unsur pokok, yaitu bahan ajar, pedagogi, dan evaluasi.
Dalam berbagai kurikulum yang telah diterapkan di Indonesia sebulum Kurikulum 2004
ini bahan yang dipelajari siswa ditetapkan oleh para ahli dan tidak boleh diganggu gugat,
pedagoginya berupa alih pengetahuan dari para ahli, lewat para guru, ke siswa dan
evaluasinya berupa reproduksi pengetahuan siswa. Tingkat keberhasilan siswa diukur
seberapa jauh pengetahuan siswa sama dengan pengetahuan para ahli. Guru berperan
sebagai agen alih pengetahuan. Tindakan yang dilakukan dihadapan para siswanya adalah
berlaku sebagai intruktur. Kata orang, telunjuk yang bekerja-tunjuk sana tunjuk sini.

Hampir di setiap kegiatan sosialisasi Kurikulum 2004, para penyaji selalu mengatakan
bahwa para guru dalam Kurikulum 2004 tidak lagi sebagai instruktur tetapi sebagai
fasilitator, karena Kurikulum 2004 ini menekankan 'student centred'. siswa yang aktif,
guru hanya mendampingi, dsb-dsbnya. Dalam kunjungan ke banyak sekolah dan
berdialog dengan para guru tergambarkan berbagai tindakan yang dilakukannya, sebagai
guru di kelas, dalam Kurikulum 2004. Ada guru yang setiap hari menyuruh siswa belajar
sendiri lebih dahulu, dengan membaca buku teks, kemudian guru memberi pertanyaan
yang harus dijawab saat itu juga. Ada juga para guru yang menyuruh para siswa
mempelajari di rumah lebih dahulu, kemudian di sekolah diberi pertanyaan seperti
ulangan. Sejumlah guru yang lain lagi, menyuruh siswa-siswa membuat kelompok-
kelompok diskusi yang mendiskusikan bahan ajar, kemudian guru memberi pertanyaan
semacam ulangan. Pendek kata, siswa aktif mempelajarinya sendiri dan guru menunggu
hasilnya dengan cara memberi sejumlah pertanyaan.

Mengapa demikian? Kata mereka, 'Kita kan sebagai fasilitator! Jadi, ya menyediakan
bahan bacaan, alat yang diperlukan dan menunggui kalau-kalau ada siswa memerlukan
bantuan. Kan siswa yang harus aktif sendiri'. Jadi terkesan, 'guru sebagai fasilitator'
dipahami sebagai 'pembantu bidang perlengkapan'. Semestinya bagaimana? Ungkapan
'Guru sebagai fasilitator' sesungguhnya belum selesai. Mestinya berbunyi 'Guru sebagai
fasilitator bagi siswa yang sedang belajar'. Kalau ungkapan ini yang digunakan, maka
tindakan guru adalah memfasilitasi siswa yang sedang belajar. Bagaimana caranya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu ditelaah lebih dahulu tentang kata 'belajar'.
Kurikulum 2004 menganut pendekatan kostruktivisme. Dalam tradisi konstruktivisme
'belajar' diartikan sebagai 'proses aktif siswa dalam mengkontruksi pengetahuan dengan
cara membuat link antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang
sedang dipelajari melalui interaksi dengan orang lain'. Perlu digarisbawahi proses aktif
siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses aktif siswa dalam mencari
pengetahuan.
Jadi, guru memfasilitasi agar proses mengkonstruksi pengetahuan pada diri siswa
berlangsung, bukan agar siswa dapat berhasil dalam mencari pengetahuan. Apa yang
harus dilakukan guru? Untuk memfasilitasi agar proses mengkonstruksi pengetahuan
pada diri siswa dapat berlangsung guru perlu melakukan beberapa kegiatan. Pertama-
tama guru hendaknya menggali konsepsi awal siswa tetang pengetahuan yang sedang
dipalajari saat itu. Konsepsi awal siswa ini dalam proses konstruksi pengetahuan akan
menjadi semacam 'filter' dan 'pengatur fokus' perhatiannya. Ada beberapa kemungkinan
sifat dari konsepsi awal siswa ini, yaitu ada yang sudah konsisten dengan konsepsi
ilmuwan, ada yang mirip dengan konsepsi ilmuwan, dan ada yang sama sekali berbeda
dengan konsepsi ilmuwan.

Tugas guru selanjutnya adalah membantu siswa memperbaiki konsepsinya dengan cara
saling berargumentasi, bersama-sama menelaah kelebihan dan kekurangan konsepsi
siswa itu atau memperbandingkan konsepsi baik antar siswa itu maupun dengan konsepsi
ilmuwan. Pendek kata, guru harus membuat agar siswa mengalami 'perubahan
konsepstual' pada dirinya. Dengan demikian, guru tidak dapat duduk santai sementara
siswa sibuk mencari bahan. Guru dan siswa bersama-sama menjadi anggota komunitas
belajar. Guru dan siswa bersama-sama menjadi penziarah dalam mencari kebenaran.
Dalam suasana seperti ini akan ditemukan pengetahuan yang beragam 'tingkat
kebenarannya'. Masing-masing berupa penjelasan yang terbaik saat itu. Dalam situasi
seperti itu, terbuka bagi siswa dan guru terlibat adu argumentasi. Guru 'hanya' menjadi
salah satu dari sejumlah sumber belajar.**

*) Penulis adalah Pemerhati Pendidikan dan Dosen FKIP Untan

You might also like